Anda di halaman 1dari 8

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Proses
Penyebaran Agama Islam Melalui Nabi Muhammad, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Bani
Umayyah Dinasti, Di Nusantara” tepat pada waktunya.

Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Manusia istimewa yang seluruh perilakunya patut untuk diteladani dan seluruh ucapannya adalah
kebenaran.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh
karena itu, kritik serta saran pembaca yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan tugas ini.
1. Kisah Nabi Muhammad SAW dalam Menyebarkan Islam
Di usia memasuki kepala empat, Nabi Muhammad SAW biasa menghabiskan banyak waktu
dalam doa dan penyembahan kepada satu Tuhan. Ini biasa dia lakukan di sebuah gua, yang
dikenal sebagai Hira, di gunung al-Noor dekat kota Mekah. Pada tahun 610 M, pada usia empat
puluh tahun, Muhammad menerima wahyu ilahi pertama ketika dia terlibat dalam pengabdian
dan doa di dalam gua Hira:

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang; Bacalah dengan
menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Menciptakan manusia dari segumpal darah,
Bacalah dan Tuhanmu adalah yang paling mulia, Yang mengajari dengan pena, Mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya... ( 96:1 -5).”

Nabi Muhammad menyampaikan berita dan Pesan kepada Ali dan Khadijah. Ali dan Khadijah
keduanya langsung menerima wahyu baru tanpa ragu-ragu. Khadijah adalah wanita pertama
yang beriman kepada Rasulullah dan wanita pertama yang shalat bersamanya. Dia
mendukungnya dengan sepenuh hati dan menghabiskan semua kekayaannya di jalan Allah

Khadijah adalah wanita pertama yang dinikahi Nabi dan dia tidak menikah dengan yang lain
selama hidupnya. Dia sangat setia kepada Nabi. Malaikat Jibril memerintahkannya untuk
menyampaikan salam khusus dan berkah dari Tuhan dan memerintahkan agar dia memberikan
tanah Fadak kepada Fatimah sebagai penghargaan atas apa yang telah dikeluarkannya di jalan
Allah.

Nabi Muhammad mulai mengajak secara individu orang lain untuk mengikuti wahyu baru,
meskipun secara rahasia. Sangat sedikit pendukung dan orang yang percaya saat itu. Pendekatan
sederhana ini kemudian berlanjut selama tiga tahun.

Setelah itu, atas petunjuk dari Yang Maha Kuasa, ajakan Nabi untuk masuk Islam mulai menjadi
semakin umum. Untuk tujuan ini Nabi Muhammad menyiapkan jamuan makan dan mengundang
para tetua dan kepala Bani-Hasyim, yang berjumlah empat puluh orang. Setelah mereka
dihidangkan dengan pesta yang baik, Nabi mengajak mereka masuk Islam.

Pengikut Islam pun mulai bertambah, begitu pula perhatian orang Quraisy terhadap mereka. Para
tetua Quraisy mengirim Abu Thalib, paman terpercaya Nabi kepadanya, memintanya untuk
menghentikan seruannya untuk agama baru ini, dan sebagai imbalannya mereka akan
memberikan apa pun yang dia inginkan.

Ketika Abu Thalib menyampaikan pesan para tetua Quraisy kepada keponakannya, Rasulullah
menjawab, “Demi Yang Maha Kuasa, jika mereka meletakkan Matahari di tangan kananku dan
Bulan di tangan kiriku dengan syarat agar aku berhenti dari urusan ini saya tidak akan
meninggalkannya sampai Allah membuatnya menang atau saya mati dalam prosesnya.”

Orang Quraisy menyadari bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang nabi yang benar
dan teguh. Sejak saat itu, permusuhan terbuka terhadap agama baru ini, nabinya, dan
pengikutnya mulai meningkat. Tingkat permusuhan ini mencapai penganiayaan terang-terangan
terhadap para pengikut agama baru dan nabinya.
Perjuangan Nabi Muhammad SAW Menyebarkan Agama Islam

Kemudian kaum Quraisy secara terang-terangan memutuskan untuk membunuh Rasulullah.


Ketika berita ini sampai ke Abu Thalib, dia mengumpulkan anak-anak Hasyim dan Abdul-
Muttalib dan membawa Rasulullah ke tempat tinggalnya dan melindunginya dari orang-orang
yang berusaha membunuhnya.

Klan Hasyim yang merupakan pengikut Nabi Muhammad SAW yang juga mengalami
permusuhan pun harus bersembunyi hingga kemudian merasa cukup aman untuk keluar dari
markas mereka dan sekali lagi berbaur dengan orang-orang. Ini terjadi pada tahun kesepuluh
kenabian Muhammad, sekitar tahun 620 M.

Kurang dari enam bulan setelah itu, Abu Thalib meninggal. Kemudian istri Nabi Muhammad,
Khadijah juga meninggal hanya berselang tiga hari setelah Abu Thalib, menurut beberapa
catatan. Rasulullah sangat sedih dan menamakan tahun ini 'Tahun Kesedihan'.

Dengan kematian Abu Thalib, cobaan yang dijatuhkan oleh sukunya kepada Rasulullah menjadi
lebih biadab dan berani. Suatu ketika ketika Nabi sedang sholat di dekat Ka'bah, salah satu orang
musyrik mendekat dan dengan keras mencoba mencekiknya.

Kaum Quraisy dan sekutu mereka membuat keputusan bahwa Muhammad harus disingkirkan
secara fisik untuk mengakhiri dia dan agamanya untuk selamanya. Namun, siapa pun yang
melakukan ini harus menghadapi konsekuensinya dan menghadapi kemarahan klan Bani-Hashim
yang terhormat. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim pembunuh bayaran yang
berjumlah 40 orang dan berasal dari berbagai klan.

Disaat yang sama Allah SWT kemudian memerintahkan Nabi Muhammad untuk berangkat ke
kota Yatsrib, yang kemudian dikenal sebagai Medinat al-Rasul atau Kota Rasul, atau disingkat
Medina. Pada tahun 622 M, setelah sekitar tiga belas tahun menyeru orang-orang masuk Islam,
Rasulullah meninggalkan Mekah menuju Madinah.

Dalam perjalanannya keluar dari Mekah, Abu Bakar bertemu dengan Nabi Muhammad saat dia
meninggalkan kota, dan bertanya kepada Nabi kemana dia akan pergi saat itu. Nabi Muhammad
tidak bisa mengatakan kepadanya selain kebenaran, dan setelah itu Rasulullah memintanya untuk
bergabung dengannya dalam perjalanan ke Madinah.

Karena gagal menangkap Nabi, orang Quraisy mengumumkan hadiah 100 unta bagi siapa pun
yang menangkapnya atau memberikan informasi yang mengarah pada penangkapan Nabi
Muhammad SAW, namun tidak berhasil dan Nabi Muhammad dapat mencapai Madinah dengan
selamat.
2. Kisah Khulafaur Rasyidin dalam Menyebarkan Islam
Khulafaur Rasyidin adalah kekhalifahan pertama yang berdiri setelah wafatnya Nabi Muhammad
pada 632 masehi. Khulafaur Rasyidin berjumlah empat khalifah, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq,
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Pada masa kepemimpinannya,
Khulafaur Rasyidin memberi kontribusi besar dalam peradaban Islam. Para khalifah yang
berkuasa selalu menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kepemimpinannya dan mereka dikenal
mempunyai perilaku terpuji yang patut diteladani umatnya. Pada masa kejayaannya,
Kekhalifahan Rasyidin membentang dari Jazirah Arab, Levant, Kaukasus, sebagian Afrika Utara,
dataran tinggi Iran, dan Asia Tengah.

Setelah Nabi Muhammad wafat, umat muslim sempat mengalami kebingungan karena beliau
tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikanya sebagai pemimpin umat
Islam. Hal itu secara tidak langsung memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk membuat
model pemilihan khalifah. Tidak lama kemudian, sejumlah tokoh Muhajirin dan Ansar
berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan
dipilih menjadi pemimpin selanjutnya. Musyawarah tersebut berjalan cukup alot, karena masing-
masing pihak sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Abu Bakar kemudian
menengahi dengan mengatakan bahwa umat Islam hendaknya memilih seseorang yang tidak
pernah meminta kekuasaan, sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad. Selain itu, kekhalifahan
seharusnya dipegang oleh orang yang mampu memegang amanah, tidak gila akan kekuasaan,
peka terhadap masyarakat, dan tidak silau harta. Dengan kriteria tersebut, umat muslim sepakat
memilih Umar bin Khattab.

Akan tetapi, Umar bin Khattab menolak dan justru meminta Abu Bakar untuk menjadi
pemimpin. Penyataan Umar bin Khattab pun diamini oleh kaum Muhajirin dan Ansar serta
seluruh umat Islam. Dengan demikian, Abu Bakar resmi diangkat menjadi khalifah pertama yang
mendapat amanah untuk melanjutkan kekhalifahan Islam.

Pemerintahan Khulafaur Rasyidin Khulafaur Rasyidin memegang kendali pemerintahan Islam


selama kurang lebih 30 tahun, dari 632-661 masehi, dan setiap khalifah mempunyai kebijakan
berbeda. 1. Abu Bakar As Siddiq (632-634 M) Pada masa pemerintahan Abu Bakar As Siddiq
(632-634 M), terjadi Perang Riddah atau perang melawan kemurtadan untuk mengatasi
perpecahan yang terjadi setelah Nabi Muhammad wafat. Di akhir kepemimpinannya, Abu Bakar
memperluas daerah kekuasaan dengan mengirim tentara ke luar. 2. Umar bin Khattab (634-644
M) Ketika Abu Bakar digantikan Umar bin Khattab (634-644 M), Islam mengalami kemajuan
sangat pesat. Pasukannya berhasil mengalahkan dua kekuatan besar saat itu, yakni Romawi di
Barat dan Persia di Timur. Selain itu, kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar meliputi
jazirah Arab, Palestina, Suriah, sebagian Persia, dan Mesir. Umar juga mengesahkan ketentaraan,
kepolisian, pekerja umum, sistem kehakiman, hisbah (pengawasan) terhadap pasar, membangun
pusat pengawasan terhadap takaran atau timbangan, mencetak uang negara serta membangun
Departemen Pajak dan Tanah (Diwan al Kharj) dan Departemen Keangan (Diwan al Mal).

3Usman bin Affan (644-655 M) Di masa kepemimpinan Usman, umat Islam mengalami era
paling makmur dan sejahtera. Wilayah Islam diperluas hingga ke Tripoli, Armenia, Turkistan,
dan Cyprus. Namun di periode kedua, terjadi perpecahan dan pemberontakan karena jabatan-
jabatan strategis di pemerintahan diberikan Usman kepada keluarganya dari Bani Umayyah.
Pada 655 M, sekitar 1.500 orang bahkan datang ke Madinah untuk memprotes kebijakan Usman.
4. Ali bin Abi Talib (655-660 M) Ali bin Abi Talib berusaha mengatasi pemberontakan dengan
menarik para amir yang sebelumnya diangkat oleh Usman. Ia juga mengambil alih tanah yang
dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatan kepada negara.
3. Kisah Dinasti Bani Umayyah Dinasti dalam Menyebarkan
Islam.
Dinasti Umayyah merupakan kekhalifahan pertama setelah era Khulafaur Rasyidin dalam sejarah
Islam. Nama dinasti ini diambil dari Umayyah bin 'Abd asy-Syams atau Muawiyah bin Abu
Sufyan alias Muawiyah I, salah seorang sahabat Nabi Muhammad, lalu menjadi khalifah yang
memimpin pada 661-680 Masehi.

Secara garis besar, era Kekhalifahan Umayyah terbagi atas dari dua periode utama, yakni tahun
661-750 M berpusat di Damaskus (kini ibu kota Suriah), kemudian periode 756-1031 M di
Cordoba seiring berkuasanya kekuatan muslim di Spanyol, Andalusia.

Berdirinya Dinasti Umayyah bermula dari peristiwa Tahkim atau Perang Shiffin. Dipaparkan
oleh Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani
Umayyah (2016), ini adalah perang saudara antara kubu Muawiyah 1 kontra Ali bin Abi Thalib,
khalifah ke-4 setelah wafatnya Nabi Muhammad.

Perang Shiffin terjadi usai kematian khalifah ketiga, Utsman bin Affan, pada 17 Juni 656, yang
membuka peluang bagi Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad, untuk memimpin.
Setelah Ali bin Abi Thalib wafat pada 29 Januari 661, kepemimpinan sempat dilanjutkan oleh
Hasan, putra Ali dan cucu Nabi Muhammad, selama beberapa bulan.

Hasan kemudian melepaskan jabatannya. Usai Hasan bin Ali mundur, Muawiyah I tampil
sebagai pemimpin meskipun diwarnai dengan berbagai polemik di antara umat Islam sendiri.
Dari sinilah sejarah Kekhalifahan Umayyah dimulai. Kejayaan Kekhalifahan Umayyah Secara
garis besar, pemerintahan Dinasti Umayyah yang berlangsung selama hampir 90 tahun terbagi
dalam dua periode, yakni masa Kekhalifahan yang berpusat di Damaskus (Suriah) dan era
kejayaan di Spanyol, Andalusia, dengan pusatnya di Cordoba.

Maka, wilayah kekuasaan Kekhalifahan Umayyah sangat luas. Dikutip dari History of Islamic
Civilization (2017) karya Muhammad Fathurrohman, wilayah tersebut meliputi sebagian besar
Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tengah, pesisir Afrika Selatan hingga Andalusia, yakni
kawasan yang kini ditempati Portugal dan Spanyol. Luasnya wilayah kekuasaan Kekhalifahan
Umayyah tidak lepas dari serangkaian penaklukan yang secara bersambung dilakukan dan
dikomandani oleh para pemimpinnya, dengan seabrek dinamika yang terjadi di kalangan Bani
Umayyah sendiri.

Rangkaian penaklukan ini merupakan embrio dari Perang Salib dalam misi melawan Eropa. Misi
tersebut dilakukan baik dari jalur timur menuju Konstantinopel maupun lewat jalur barat yang
akhirnya sampai di Spanyol. Dinasti Umayyah memiliki peran penting dalam perkembangan
Islam. Kekhalifahan ini pernah dipimpin oleh tokoh-tokoh berpengaruh, di antaranya adalah Al-
Walid bin Abdul-Malik dan Umar bin Abdul Aziz.

Di masa pemerintahan Al Walid bin Abdul-Malik (705-715), kekuasaan Kekhalifahan Umayyah


meluas hingga ke Spanyol. Penaklukan Andalusia terjadi pada 711 Masehi. Pembangunan
diutamakan pada masa ini. Dibangunnya rumah sakit dan Masjid Al Amawi di Damaskus,
Masjid Al Aqsa di Yerussalem, perluasan Masjid Nabawi di Madinah, merupakan sejarah
penting dari peran Dinasti Umayyah. Ketika Umar bin Abdul Aziz (717-720) menjadi khalifah,
bidang keilmuan Islam merupakan prioritas utama.

Pengarsipan hadis, pengembangan bahasa Arab, ilmu qiraah (membaca Alquran), fikih, hingga
berbagai karya tulis maupun produk ilmiah berkembang pesat pada masa ini.
Keruntuhan Dinasti Umayyah Kejayaan Dinasti Umayyah mulai menurun ketika kelompok yang
tidak puas terhadap pemerintahan mulai muncul. Bani Abbasiyyah memimpin upaya perlawanan
ini dan pada akhirnya melemahkan kekuasaan Bani Umayyah. Pertengahan abad ke-6 menjadi
masa-masa krusial Kekhalifahan Umayyah. Pada periode ini, Umayyah mulai mengalami
kekalahan dari pasukan Abbasiyyah.

Hingga akhirnya, pada 750 M Damaskus berhasil direbut oleh Abbasiyyah yang praktis
membuat pemerintahan Umayyah jatuh. Khalifah terakhir Dinasti Umayyah di Damaskus, tulis
Imam Subchi dalam Pendidikan Agama Islam: Sejarah Kebudayaan Islam (2015), adalah
Marwan II bin Muhammad (744-750). Sejak itu, berakhirlah era Umayyah di Damaskus dan
dimulailah era baru di Andalusia dengan pusatnya di Cordoba, Spanyol.

Pemerintahan Kekhalifahan Umayyah di Cordoba berlangsung cukup lama. Namun, keruntuhan


mulai terlihat pada perjalanan awal abad ke-9. Mulai muncul intrik dan pergolakan di kalangan
sendiri. Wilayah kekuasaan Umayyah pun sedikit demi sedikit tercerai-berai. Pada 1031, Hisyam
III selaku Khalifah Umayyah di Cordoba saat itu, mengundurkan diri dari jabatannya. Situasi
semakin kacau lantaran mengalami krisis kepemimpinan.

Tidak adanya pemimpin yang mumpuni membuat dewan menteri terpaksa menghapus jabatan
khalifah. Pemerintahan Umayyah di Andalusia pun terpecah-belah menjadi negara-negara kecil
hingga akhirnya kekuasaan Islam di Cordoba benar-benar musnah.
3. Proses Penyebaran Agama Islam di Nusantara.

Saluran perdagangan
Saluran masuknya Islam ke Indonesia yang paling efektif adalah melalui perdagangan.
Penyebaran Islam melalui perdagangan dianggap paling efektif alasannya adalah kegiatan ini
melibatkan semua golongan masyarakat.

Pola perdagangan pada awal berkembangnya Islam di Nusantara bahkan melibatkan raja dan
para bangsawan, yang umumnya menjadi pemilik kapal dan saham. Saluran perdagangan
didukung oleh kesibukan lalu lintas perdagangan selama abad ke-7 hingga abad ke-16 yang
melewati Indonesia. Pada saat itu, pedagang-pedagang Muslim dari Arab, Persia, India, turut
ambil bagian dalam perdagangan dengan pedagang dari Barat dan Asia bagian timur.

Wilayah Indonesia menjadi tujuan sekaligus tempat singgah para pedagang Muslim yang
melewati Selat Malaka. Selain berdagang, mereka juga menggunakan kesempatan ini untuk
menyebarkan agama Islam. Para pedagang tersebut tidak jarang harus menunggu angin muson
agar dapat kembali ke negerinya dengan selamat.

Selama menunggu, terjadi proses interaksi dengan masyarakat setempat, bangsawan, bahkan
raja, dalam waktu yang cukup lama, hingga membuat mereka tertarik untuk belajar dan masuk
Islam.

Saluran perkawinan
Para pedagang Muslim yang datang ke negeri lain, termasuk Indonesia, biasanya tidak membawa
istri. Karena itu, mereka biasanya cenderung membentuk keluarga di tempat yang mereka
datangi. Tidak sedikit pedagang Muslim Arab, Persia, dan India, yang kemudian menikah
dengan orang-orang pribumi Indonesia.

Melalui perkawinan tersebut, terbentuk ikatan kekerabatan yang menjadi awal terbentuknya
masyarakat Islam. Selain golongan pedagang, cara penyebaran Islam melalui perkawinan juga
banyak dilakukan oleh keluarga ulama. Misalnya pernikahan Raja Majapahit dengan putri Syekh
Bentong yang melahirkan Raden Patah.
Raden Patah kemudian menjadi pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa.

Saluran tasawuf
Tasawuf mengajarkan umat Islam agar selalu membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada
Allah. Para ahli tasawuf atau sufi mengajarkan latihan spiritual yang sebagian konsepnya telah
dikenal oleh masyarakat Indonesia.

Misalnya latihan hidup sederhana, perilaku toleran, dan pembiasaan kejujuran. Para sufi, yang
kemudian dianggap sebagai teladan bagi masyarakat, biasanya memiliki keahlian yang dapat
membantu orang lain, misalnya seperti menyembuhkan penyakit.

Kepercayaan penduduk kepada para sufi kemudian digunakan untuk mengajarkan Islam dengan
cara yang mudah diterima masyarakat. Hasilnya, penduduk akan masuk Islam tanpa perlu adanya
paksaan.
Saluran pendidikan
Penyebaran Islam melalui saluran pendidikan dilakukan dalam pesantren-pesantren. Di
pesantren, para ulama atau kiai mengajar para santri dari berbagai daerah. Setelah lulus, para
santri kembali ke kampung halaman dan menyebarkan ajaran Islam yang diterimanya selama di
pesanren. Dengan cara itulah, agama Islam akhirnya menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.

Saluran kesenian Proses penyiaran Islam di Indonesia melalui saluran kesenian dapat ditemukan
dalam bentuk tembang, sastra, dan pertunjukan wayang. Saluran kesenian kerap digunakan oleh
Wali Songo dalam berdakwah. Sunan Bonang misalnya, mahir dalam memainkan alat musik
Jawa dan menggubah lirik-lirik tembang yang bernuansa religi.

Sunan Kalijaga merupakan tokoh Wali Songo yang mahir dalam pementasan wayang, di mana ia
memodifikasi ceritanya dengan menyisipkan nilai-nilai Islam.

Saluran politik
Penyiaran Islam di Nusantara dapat dilihat dari pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam di berbagai
daerah. Di kawasan Maluku, seperti Ternate dan Tidore, serta Sulawesi seperti Bone dan Gowa-
Tallo, terjadi perubahan corak kerajaan dari Hindu menjadi Islam. Konversi sang raja menjadi
Muslim pun turut diikuti oleh rakyat kerajaan. Dengan demikian, politik keagamaan penguasa
berperan besar dalam penyiaran Islam.

Anda mungkin juga menyukai