DI
OLEH:
2021
1.Masa kerasulan
Menjelang usia Nabi yang ke empat puluh, Nabi sudah terlalu biasa
memisahkan diri dari pergaulan masyarakat, berkontemplasi ke gua hira, yang
bertepatan beberapa kilometer dari Makkah. Disana nabi Muhammad mula-
mula hanya berjam-jam kemudian berhari-hari untuk bertafakkur. Pada tanggal
17 Ramadhan tahun 611 M, Malaikat Jibril datang kehadapan nabi untuk
menyampaikan wahyu dari Allah yang pertama yaitu: bacalah dengan nama
tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan tuhanmu itu maha mulia. Dia telah mengajar dengan
qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang mereka tidak ketahui (QS al-alaq
1-5 ). Dengan turunnya wahyu pertama ini, berarti Nabi Muhammad telah
dipilih tuhan sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, Nabi Muahmmad belum
diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.
Setelah wahyu pertama ini datang, Jibril tidak pernah muncul lagi untuk
beberapa lama, sementara itu Nabi Nuhammad menantikannya dan selalu
datang ke Gua Hira. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang
membawa perintah kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagai berikut: Hai orang-
oramg yang berselimut, bangun, dan berilah peringatan. Hendaklah engkau
besarkan tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa,
dan janganlah engkau memberi ( dengan maksud ) memperoleh ( balasan )
yang lebih banyak dan untuk ( memenuhi perintah ) tuhanmu, bersabarlah ( QS.
Al-Muddatsir: 1-7 ).
Sebelum itu, Nabi telah berdoa kepada Allah untuk keislamannya. At- Tirmidzi
mentakhrij dari Ibnu Umar, dan dia menshahihkannya, Ath-Thabarani dari Ibnu
Mas’ud dan Anas, bahwa Nabi bersabda pada doanya, “Ya Allah, kokohkanlah
Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai, dengan Umar
bin Al-Kaththab atau dengan Abu jahal bin Hisyam.” Ternyata orang yang
paling dicintai Allah adalah Umar bin Kaththab.
Umar dikenal sebagai orang yang menjaga kehormatan dirinya dan memiliki
watak yang temperamental. Setiap kali dia berpapasan dengan orang-orang
Muslim, pasti dia menimpakan berbagai macam siksaan. Yang pasti, didalam
hatinya bergolak berbagai perasaan sebernarnya saling bertentangan.
Penghormatannya terhadap tradisi-tradisi leluhur, kebebasan menenggak
minuman keras hingga mabuk dan bercanda ria, bercampur baur dengan
ketaajubannya terhadap ketabahan dan kesabaran orang-orang Muslim dalam
menghadapi cobaan dalam rangka mempertahankan akidahnya. Keadaan ini
2
Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 87-90
masih ditambah lagi dengan keraguan-raguan yang bernari-nari di dalam
benaknya dan berhak siapapun yang berakal, bahwa apa yang diserukan Islam
jauh lebih bagus dan agung daripada yang lain. Umar benar-benar bingung
hingga dia menjadi lemas sendiri. Begitulah yang dikatakan Muhammad Al-
Ghazali.”
( Al-Haqqah: 40-41 )
Beliau membaca,
“Dan, bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kalian mengambil
pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb semesta alam.”
Inilah awal benih-benih Islam merusak ke dalam hati Umar bin Al-Khaththab.
Tetapi, selubung jahiliyah dan fanatisme terhadap tradisi yang sudah mandarah
daging serta pengagungan terhadap agama leluhur tetap tampil sebagai
pemenang dari inti hakikat yang merusak ke dalam hatinya. Sehingga dia tetap
berkeras bermusuhi Islam, tidak peduli terhadap perasaan yang bersembunyi di
balik selubung itu.
Di antara gambaran wataknya yang temperamental dan permusuhannya yang
sengit terhadap Rasulullah, suatu dia keluar rumah sambal menghunus
pedangnya, dengan bermaksud ingin menghabisi beliau. Di tengah jalan dia
berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah An-Nahham Al-adwi, atau seorang
laki-laki dari Bani Zuhrah, atau seorang laki-laki dari Bani Makhzum.
“ Apa suara bisik-bisik yang sempat kudengar dari kalian tadi/’ tanya
Umar tatkala sudah masuk rumah.
“ Wahai umar,” kata adik iparnya, apa pendapatmu jika kebenaran ada
dalam agama selain agamamu?”
Sekitar Umar melompat kea rah adik iparnya dan menginjaknya keras-keras.
Adiknya mendekat untuk menolong suaminya dan mengangkat badannya.
Namun, Umar menonjok fathimah hingga wajahnya berdara. Menurut riwayat
Ibnu Ishaq, Umar memukul Fathimah hingga terluka.
Umar mulai merasa putus asa. Dia lihat darah yang meleleh dari wajah
adiknya. Maka dia merasa menyersal dan malu atas perbuatannya.
Adiknya menjawab “ Engkau adalah orang yang najis. Al-Kitab ini tidak
boleh disentuh kecuali orang-orang yang suci, Bagaimana dan mandilah
jika mau!”