Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERKEMBANGAN FIQIH
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Rahmat furqan (200501009)
M.Qadafi fajar (200501031)

Dosen Pembimbing

M.Thaib Muhammad, Lc.M.Ag

SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH

TAHUN AJARAN 2020-2021


Kata pengantar

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul
perkembangan fiqh .Terima kasih saya ucapkan kepada bapak M.Thaib
Muhammad,Lc.M.Ag. yang telah membantu saya baik secara moral maupun
materi. Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman seperjuangan yang
telah mendukung saya sehingga saya bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.
Saya menyadari, bahwa Makalah saya buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu,
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca
guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.
Semoga Makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

[Banda Aceh, 27 APRIL 2021]


i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................1
1.1 Latar Belakang .................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................1

1.3 Tujuan Peulisan .....................................................................1

BAB II PEMBAHASAN....................................................................2
2.1 Perkembangan fiqih pada masa Rasulullah SAW ............2
2.2 Perkembangan fiqih pada masa sahabat ..........................2
2.3 Perkembangan fiqih pada masa tabi’n .............................2
2.4 Perkembangan fiqih pada masa pertengahan ...................2
2.5 Perkembangan fiqih pada masa modern ..........................2
BAB III PENUTUP ...........................................................................3
3.1 Penutup .................................................................................3
ii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Fiqh itu berasal dari kata “faqiha yafqahu-faqihan” yang berarti mengerti atau paham.paham
yang di maksudkan adalah upaya Aqilah dalam memahami ajaran-ajaran islam yang bersumber
dari alquran dan as-sunnah.

Fiqih adalah pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai perintah-perintah dan realitas islam
dan tidak memiliki relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu.akan tetapi,dalam terminology
ulama,istilah fiqih secara khusus diterapkan pada pemahaman yang mendalam atas hukum-
hukum islam.

1.2 Rumusan Masalah

1. Perkembangan fiqih pada masa Rasulullah SAW


2. Perkembangan fiqih pada masa sahabat
3. Perkembangan fiqih pada masa tabi’in
4. Perkembangan fiqih pada masa pertengahan
5. Perkembangan fiqih pada masa modern sampai sekarang

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan perkembangan fiqih dari masa
rasulullah , sahabat , tabi’in , pertengahan ,dan pada masa modern sampai sekarang.
1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan fiqih pada masa Rasulullah SAW

llmu fiqih berkembang mulai awal, yaitu pada masa Rasulullah saw. Disinilah dimulai fase
pertumbuhan ilmu fiqih sebelum memasuki pada masa atau fase-fase berikutnya. Fase ini
dimulai sejak Rasulullah saw tinggal di makkah selama 13 tahun, atau 12 tahun 5 bulan dan 13
hari mulai dari 18 Ramadhan tahun 41 sampai pada permulaan Rabi’ul awwal tahun 54 dari
kelahiran beliau. Ayat-ayat Al-qur’an yang turun selama ini disebut dengan makiyyah. Setelah
Rasulullah hijrah ke madinah dan tinggal disana selama 9 tahun 9 bulan dan 9 hari. Sejak awal
bulan Rabiul awwal tahun 54 sampai dengan tahun 63 dari kelahiran beliau. Ayat-ayat yang
turun pada masa itu disebut dengan ayat-ayat madaniyah.
Sesudah Allah mengizinkan Rosul-Nya dan para mukmin hijrah dari Makkah ke Madinah, maka
dimulailah fase kedua dari tasyri’, di sanalah mulai tersusun sendi-sendi pemerintahan Islam
yang mempunyai kepribadian tersendiri dalam bentuknya dan mulai menyusun masyarakat yang
mempunyai corak tersendiri pula, yaitu masyarakat Islam dan timbullah keperluan kepada
hukum amaliyah dan keperluan-keperluan masyarakat dalam masalah hukum untuk mengatur
segala sesuatu yang berhubungan dengan tata cara kemasyarakatan. Rosul tidak membawa ke
Madinah syari’at hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang telah ada, sebagaimana sebelum
nabi berhijrah pun nabi tidak tunduk kepada suatu peraturan. Karena itu, nabi menghadapkan
usaha-usahanya kepada hukum fiqih dan mulailah turun ayat-ayat hukum satu demi satu. Dan
ayat-ayat hukum yang turun itu adakalanya untuk menjawab suatu pertanyaan, ada kalanya
merupakan fatwa dan kadang-kadang untuk mewujudkan suatu hukum.
Begitulah ayat-ayat hukum itu turun secara beruntun sampai sempurnalah turunnya dengan
diakhiri oleh 3 ayat, surat 5, Al Maidah, yang turun lebih 3 (tiga) bulan sebelum nabi wafat, dan
itulah ayat hukum yang penghabisan turunnya.
Hukum-hukum yang turun dalam masa ini bersifat praktis untuk menyelesaikan suatu peristiwa
dan transaksi yang terjadi. Kata fiqih pada masa itu dipergunakan untuk materi hukum yang
difahamkan dari nash Al Qur’an dan Sunnah, yang merupakan urusan aqidah (kepercayaan),
akhlaq dan amaliyah. Penghafal-penghafal AlQur’an di masa itu dinamai Qurra’ dan merekalah
yang bertindak sebagai ahli fiqih. Pada masa itu qurra’ dan fuqoha’ masih satu makna, mereka
menghafal Al qur’an beserta hukum-hukum yang terkandung dalam ayat-ayat itu.
Masa ini, yaitu masa sepanjang hidup Rasulullah setelah hijrah ke madinah, masa ini adalah
masa tasyri’ sebenarnya karena masa inilah turunnya Al-Qur’an dengan berbagai ayat tentang
hukum. Setelah Al-Qur’an, maka datanglah hadits (sunnah) dalam berbagai situasi dan
kondisinya, baik yang bersifat qauliyah (perkataan), atau fi’liyah (perbuatan), maupun taqririyah
(penetapan), untuk menjelaskan berbagai macam peristiwa yang terjadi. Sebagai pelaksanaan
tugas risalah dan menjelaskan wahyu yang diturunkan kepadanya. Seperti dalam Al-qur’an surat
An-Nahl yang artinya :

“ Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir” .
Rasulullah adalah Muballigh dari Allah yang diberi wahyu untuk menyampaikan kepada
manusia dan menjelaskan maksud dan tujuan wahyu itu. Penjelasan Rasulullah terhadap wahyu
adakalanya dengan perkataan saja, adakalanya dengan perbuatan saja dan kadang-kadang dengan
perkataan bersamaan dengan perbuatan.
Hukum-hukum syari’at pada masa Rasulullah bersumber pada dua sumber utama yaitu Al-
qur’anul karim dan sunnah nabawiyah. Maka apabila ada suatu pertanyaan yang datang kepada
Rasulullah atau terjadi suatu peristiwa yang membutuhkan keterangan dari syara, maka
rasulullah menanti turunnya wahyu untuk menjelaskannya, akan tetapi jika wahyu yang
dinantikan, itu tidak turun maka hal itu merupakan isyarat atau pemberitahuan dari Allah maka
Dia melimpahkan kepada Rasul-Nya untuk memberikan jawaban tasyri’ yang telah lazim, karena
rasulullah telah diakui Allah tidak mengucapkan sesuatu dari hawa nafsu semata.
Pada peristiwa yang lain kadang-kadang Rasulullah berijtihad lalu menyatakan pendapatnya,
atau beliau melakukan musyawarah dengan para sahabat-sahabatnya, kemudian beliau
mendukung salah satu pendapat dari sahabatnya. Hal semacam ini tidak selalu mendapat
dukungan dari Allah kecuali yang memang benar. Bahkan sering mendapat celaan dari Allah
swt. Namun karena keputusan beliau telah terlanjur maka Allah memberikan maafNya atas
kekhilafan-kekhilafan itu melalui wahyu. Seperti contoh dalam peristiwa pemberian izin kepada
orang-orang munafik untuk tidak ikut berangkat bersama dengan rombongan Rasulullah dalam
perang tabuk. (peristiwa ini dapat dilihat dalam qur’an surat At-taubah ayat 42-43). Kekhilafan
Rasulullah selalu dimaafkan oleh Allah meskipun diikuti dengan teguran keras. Ayatnya yang
berbunyi:
‫عفى هللا عنك لم اذنت لهم‬
Artinya : Semoga Allah memaafkanmu, mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk
tidak pergi berperang).
Ini merupakan isyarat bahwa Rasulullah saw dalam ijtihadnya itu, tidak disertai taufiq dari Allah.
Demikian pula dalam pemberian izin kepada orang-orang yang meminta izin itu. Walaupun
diantara orang-orang munafiq itu ada juga orang-orang mukmin yang benar.
Adapun ijtihad Rasulullah saw maka rujukannya kepada wahyu pula, Karena Allah tidak
membiarkan RasulNya dalam kekeliruan. Maka penetapannya atas ijtihad Rasul-Nya tanpa
pemberitahuan atas kesalahannya, adalah pembetulan baginya yang setingkat dengan wahyu.
Oleh sebab itu dimasa hidup Rasulullah saw terciptanya dasar-dasar hukum yang bersifat
menyeluruh, dirinci mujmalnya, dibatasi mutlaknya, ditahsiskan umumnya, dan dinashah
(dihapus) yang dikehendaki Allah menghapusnya. Kesemuanya itu telah dikokohkan dasar-
dasarnya, dan telah ditetapkan asas-asasnya yang kesemua itu telah sempurna di zaman
Rasulullah. Sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Qur’an:
) 3 : ‫اليوم اكملت لكم دينكم و اتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم اإلسالم دينا (المائدة‬
Artinya: pada hari ini telah ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maidah: 3).
2

2.2 Perkembangan fiqih pada masa sahabat

Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW sampaiakhir abad pertama hijrah.
Pada masa sahabat dunia Islam sudah meluas,yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru
yang timbul, olehkarena itu para mujtahid berupaya melakukan ijtihad dan berusaha untuk
memutuskan, memberikan fatwa dan menetapkan berbagai hukum syariatislam yang disandarkan
pada hukum-hukum pada periode rasulullah.Dengan demikian sumber hukum pada periode ini
adalah al quran, as sunnah dan ijtihad para sahabat.

Berikut penjelasan mengenai sumber hukum tersebut.

Sumber Hukum.

al-qur’an Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al -
Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayatAl-Qur’an dalam satu mushaf
datang dari Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an
gugur dalam peperangan.

Ide ini disampaikan oleh Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanyaAbu Bakar menolak
saran tersebut, karena hal tersebut tidak pernahdilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya
Abu Bakar menerima ideyang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan Zaid bin Tsabit
untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar -pencar tertulis dalam pelepah-
pelepah kurma, kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat.Mushaf ini
disimpan pada Abu Bakar, seterusnya masa Umar dan kemudian setelah Umar meninggal
disimpan pada Hafshah bintiUmar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf
yang ada pada Hafshah kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit untukmemperbanyak
dan membagikannya ke daerah-daerah islam yaitu ke Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah dan
Damaskus. Mushaf itulah yangsampai kepada kita sekarang.Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi
meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar- pencar belum disatukan. Nabi selalu minta
untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan demikian tidak akan
bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu Al-Qur’an banyak dihafal oleh para
sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an.

Adapun Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab,akibat tidak tertulisnya dan
tidak terkumpulnya Hadist dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama dapat
periode selanjutnya harusmeneliti keadaan perawi Hadist dari berbagai segi, sehingga
menimbulkan pembagian Hadist serta muncul Ilmu Musthalah Hadist. Akibat lain adalah
timbulnya perbedaan pendapat karena berbeda dalam menanggapi Satu Hadist tertentu.
Ijtihad Sahabat Pada masa sahabat, Islam telah menyebar luas misalnya ke negeriPersia,
Irak,Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memilikikebudayaan yang tinggi,
mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya
Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada
periode-periode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad parasahabat. Seperti misalnya kasus
Usyuur

(bea cukai barang-barang impor),kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin
Khatab.Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-
Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan
bermusyawarah di antara para sahabat.

Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan
musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin
Khatab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang bersifat khusus
dan musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para
sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugasmemusyawarahkan masalah masalah yang
berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umum dihadiri
oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalahyang
sangat penting.Walaupun demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad parasahabat
dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitansecara langsung dengan
kemaslahatan umum. Mereka menanyakanmasalahnya kepada salah seorang sahabat Nabi dan
diberikan jawabannya Dalam masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam hal-hal yang belum
ada nash-nya para sahabat berijtihad.Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum
yaitu Al-Qur’an,Alsunnah dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan denganijtihad
fardhi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.
2.3 Perkembangan fiqih pada masa tabi’in

Pada masa tabi'in, tabi'-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah
wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan
kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah
tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.

Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut,
menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di
berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.

Periode ini disebut juga periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih
Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum Islam
dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa para sahabat
dan tabi’in, tafsir al-Qur’an, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyususnan ushul fiqih.

Metode tabi’in dalam mengenal hukum

Pada periode ini ialah, “Menerima hukum yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid dan
memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara’ sendiri.” Jadi taqlid itu menerima saja
pendapat seseorang mujtahid sebagai nash hukum syara’. Dalam periode taqlid ini, kegiatan para
ulama’ Islam banyak mempertahankan ide dan mazhabnya masing-masing.

Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja,
metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;

Metode mutakallimin

Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl
nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka
adalah mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode
ini memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan
tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub, karena memberikan istidlal aqly porsi yang
sangat besar dalam perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang
berseberangan dengan ulma lain. Dianut antara lain oleh; Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah
dan Syiah.
Metode Fuqaha

Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam
istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan
memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin
sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis,
pengikut beliau mengumpulkan masail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang memiliki
keserupaan dan menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah.
Sering pula dipahami sebagai takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah kebalikan dari
metode mutakallimin.

Keistimewaan pada masa tabi’in

Berkembangnya beberapa pusat studi Islam, menurut Manna' al-Qatthan telah melahirkan dua
tradisi besar dalam sejarah pemikiran Islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran Ahl al-Ra'y dan
tradisi pemikiran Ahl al-Hadits. Menurutnya, mereka yang tergolong Ahl al-Ra'y dalam
menggali ajaran Islam banyak menggunakan rasio (akal). Sedangkan mereka yang tergolong Ahl
al-Hadits cenderung memarjinalkan peranan akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam
pengambilan keputusan agama.

Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini. Pada masa ini muncul ulam’-ulama’
besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain.Madzhab fiqih pada masa ini sudah berkembang dan yang
paling masyhur adalah 4 madzhab.Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya,
dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang diriwayatkan dari oleh Muhammad
bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al
Kafi oleh al Hakim as Syahid. Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang
diriwayatkan oleh Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i kitab
al Um yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam Ahmad
kitab al Jami’ al Kabir yang dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah mengumpulkannya dari
pere murid imam Ahmad.

Peristiwa pemberlakukan hukum di kawasan pemerintahan Islam tidak hanya terjadi di daerah
kekuasaan Daulah Utsmaniyyah saja. Di Mesir, tarik menarik antara penerapan hukum Islam
dengan penerapan hukum positif (barat) juga terjadi. Dan hukum Islam pun akhirnya harus puas
berkiprah hanya pada tingkat wacana. Sedangkan dalam aplikasinya, pemerintah lebih memilih
untuk menerapkan sistem hukum positif. Bahkan, hukum positif yang diberlakukan di Mesir
tidak hanya menyangkut masalah pidana, namun dalam masalah perdata juga diterapkan.

Sejarah pada periode kemunduran

Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode
ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran dalam bidang
kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada
umumnya, ulama yang berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat
mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada kejayaan seperti
disebut diatas.

Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu ternyata sangat
berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya
Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah
ada, dan meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap
seperti inilah yang mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke
alam pikiran yang jumud dan statis.

Disamping kondisi sosialpolitik tersebut, beberapa faktor lain berikut ini kelihatannya ikut
mendorong lahrnya sikap taklid dan kemunduran. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya Dengan adanya kitab-kitab fiqih
yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, baik untuk persoalan-persoalan yang benar-benar
terjadi atau diprediksi akan terjadi, memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua
persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu.

Fanatisme mazhab yang sempit Pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela
kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing dengan berbagai cara. Mungkin akibat pengaruh
arus keidakstbilan kehidupan politik, dimana frkuensi sikap curiga dan rasa tidak senang antara
seseorang atau antar kelompoknya dengan mnecari-cari argumentasinya yang pada umumnya
apologetic serta menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap emosinalitas yang tinggi.
Akibatnya, mereka tenggelam dalam suasana chauvinism yang tinggi, jauh dari sikap rasionalitas
ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum yang sesungguhnya, Alqur’an dan Hadits.

Pengangkatan hakim-hakim muqallid

Kehidupan taklid pada periode semakin subur ketika pihak penguasa mengangkat para hakim
dari orang-orang yang bertklid. Bila pada periode sebelumnya para penguasa memilih dan
mengangkat hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan berijtihad
sendiri, hasil ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan pedas dari penganut-penganut mazhab
tertentu, termasuk penguasa.Umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka yang
sudah berlangsung semakin lama itu. Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap
perkembangan fiqih. Banyak diantara pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan
dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam meningglakan taklid dan
kembali kepada Alqur’an dan hadits dan mengikuti jejak para ulama’ terdahulu. Mereka inilah
yang disebut sebagai golongan salaf. Periode ini ditandai dengan disusunnya kitab Majallat al-
Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285 H sampai tahun 1293 H (1869-1876 M).
Contoh-contoh ijtihad yang dilakukan

Perluasan daerah dari suatu Negara akan berdampak semakin luas pada jumlah dan bobot
persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang
perlu diselesaikan oleh pemimpin dan para ulam’nya. Mereka, terutama ulama’-ulama’ dituntut
untuk berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang frekuensinya selalu
bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menentang mereka untuk menafsirkan ayat-ayat
Alqur’an atau hadits-hadits nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).

2.4 Perkembangan fiqih pada masa pertengahan

Periode pada masa pertengahan abad ke 1 H sampai awal abad ke 2 H

Periode ini merupakan pembentukan awal fiqih islam, pada periode ini pengertian fiqih sudah
tidak sama lagi dengan pengertian ilmu. Karena fiqih sudah menjelma menjadi salahsatu cabang
keislaman yang mengandung pengertian “mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amali
dari dali-dalilnya yang terperinci”. Disamping berkembangnya fiqih, ushul fiqih pun telah
matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Pada periode ini berbagai metode ijtihad telah
dikembangkan oleh ulama fiqih.

Periode pertengahan abad ke 2 H sampai pertengahan abad keempat H

Pada periode ini disebut sebagai periode gemilang, karena fiqih dan ijtihad ulama semakin
berkembang. Pada masa inilah muncul berbagai madzhab, khususnya madzhab yang empat.

Pertengahan abad ke 4 H sampai abad ke 7 H


Periode ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqih, karena mereka
telah puas dengan fiqih yang telah disusun oleh berbagai madzhab.

Pertengahan abad ke 7 H sampai munculnya majallah al-ahkam adliyyah pada tahun 1286 H

Periode ini ditandai dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta’asub
madzhab.

2
2.5 Perkembangan fiqih pada masa modern

Periode modern dalam sejarah islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai
sekarang. Diawal periode ini kondisi dunia islam secara politis berada dibawah penetrasi
kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20 M, dunia Islam bangkit memerdekaan
negerinya dari penjajah barat.

Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan kembali islam, setelah mengalami
kemunduran diperiode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran
pembaharuan dalam islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal.
Pertama, timbulnya kesadaran dikalangan ulama bahwa ajaran-ajaran ”asing” yang masuk dan
diterima sebagai ajaran islam. Ajaran-ajaran itu bertentangan dengan semangat ajaran islam yang
sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat, dan takhyul. Ajaran-ajaran inilah, menurut mereka, yang
membawa islam menjadi mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk membersihkan islam
dari ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi. Kedua, pada
periode ini barat mendominasi dunia dibidang politik dan peradaban. Persentuahn dengan barat
menyadarkan tokoh-tokoh islam akan ketinggalan mereka. Karena itu, mereka berusaha bangkit
dengan mencontoh barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan
balance power.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan tidak berjalannya upaya penerapan syariat islam diabad
modern ini. Diantaranya :

1. Negara-negara islam sendiri sekarang sudah demikian maju dalam mengikuti modernisasi.
Modernisasi ini meliputi bidang-bidang sosial, politik, pengembangan alat-alat produksi dan teknologi.
Tidak ketinggalan pula pembangunan dibidang pemikiran dan kebudayaan dengan laju yang lebih cepat
dibandingkan laju pembaharuan dibidang syariat dan fiqih.sementara itu negara-negara islam ini
menyaksikan sendiri keberhasilan hukum-hukum positif yang diterapkan didunia barat.

2. Sementara dalam hukum barat tidak ditemui, maka dalam menerapkan hukum islam akan banyak
ditemui perbedaan pendapat antara beberapa mazhad mengenai masalah-masalah yang tidak ada dalil-
dalilnya yang pasti.

3. Hingga saat ini hukum-hukum islam dan fiqih belum terhimpun secara sistematis, materinya belum
disusun secara kronologis sebagaimana hukum positif.

4. Zaman modern ini dikenal sebagai zaman spesialisasi, zaman pembandingan secar kritis. Hal ini
berarti bahwa pada setiap bidang ada spesialisasinya masing-masing. Para spesialis ini tidak akan
berbicara diluar bidangnya. Sementara pada fiqih islam tidak demikian.

5. Pada umumnya pembahasan dalam setiap diskusi, muktamar, simposium dan seminar yang diadakan
untuk membahas penerapan syariat islam terbatas pada ruang lingkup mazhab empat saja:( Abu
Hanifah, Malik bin Anas, Imam syafi’ie dan Ahmad bin Hambal). Atau bahkan juga terbatas pada
sebagian pendapat yang ada dalam literatur(kitab-kitab) fiqih yang populer.
2

BAB III

3.1 Penutup

Demikian yang kami paparkan mengenai perkembangan fiqih yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini,tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,karena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungan nya dengan judul makalah
ini.penulis banyak berharap kepada para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makaah ini dan dan penulisan makalah di
kesempatan – kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khusus
nya juga para pembaca.
3

Anda mungkin juga menyukai