Anda di halaman 1dari 68

MAKALAH ASWAJA SEMESTER 1

BAB 1 - BAB 12

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Aminah HJS, M.Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok 1 – kelompok 12

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI GABUNGAN (TEKNIK INDUSTRI, TEKNIK ARSITEKTUR)

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA KALIMANTAN TIMUR

2021
BAB 1

ISLAM PADA MASA RASULULLAH

Latar belakang

Berbicara tentang kemunculan islam, tentu tidak bisa lepas dari sosok Muhammad
SAW sebagai pembawa risalahnya. Pada sekitar tahun 610 M islam diperkenalkan oleh
Allah kepada Muhammad yang ditandai dengan turunnya wahyu pertama di makkah. Sejak
inilah kemudian islam disebarkan di sekitar makkah, atau bahkan di seluruh jazirah arab.
Sebagai pembawa risalah yang dipilih oleh Allah, Nabi Muhamma SAW senantiasa
selalu berdakwah, meskipun banyak rintangan yang harus beliau lewati. Dalam jangka
waktu kurang lebih 22 tahun, beliau berjuang dengan sepenuh hati, melakukan transformasi
budaya, dari alam jahili ke alam Islam yang bersendikan tauhid, kemerdekaan,
persaudaraan, ukhuwah, persatuan dan keadilan.
Perjalanan nabi Muhammad dalam berdakwah semenjak diutus sebagai rasulullah
dapat diklasifikasikan menjadi dua preode. Pertama, preode Makkah. Pada masa ini beliau
melakukan transformasi melalui dakwah bissiri (dengan sembunyi-sembunyi), lalu
dakwah bijahri (terang-terangan). Kedua, masa di Madinah (Yatsrib). Masa ini diawali
dengan berhijrah ke Madinah beserta para kaum Muhajirin, yang selanjutnya beliau mulai
menata masyarakat sesuai dengan nilai-nilai ke-Islaman.
PEMBAHASAN

A. ISLAM DI MAKKAH

1. Awal Munculnya Islam

Masyarakat arab sebelum islam datang dikenal dengan masyarakat jahiliyah.


Mereka hidup dalam bentuk masyarakat yang terkotak kotak, yang dibangun dengan system
kabilah-kabilah, bersuku-suku, yang mana antara kelompok yang satu dengan lainnya
seringkali terjadi pertumbuhan darah, bahkan mereka sudah terbiasa melakukan kekerasan
dan pembunuhan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Kompleksitas masalah yang terjadi pada masyarakat arab jahiliyah inilah yang
membuat nabi Muhammad termotivasi untuk mencari jalan keluar dengan cara
mengasingkan diri berkhulwat di Gua Hira’. Di sana Nabi Muhammad berhari-hari dan
berbulan-bulan melakukan kontemplasi dan bertafakur. Tidak henti-hentianya ia melakukan
hal tersebut sampai menjelang usianya yang keempat puluh. Dan akhirnya pada tanggal 17
Ramadhan tahun 611 M, malaikat pembawa wahyu datang dengan membawa wahyu yang
pertama: “Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmu itu maha mulia. Dia telah mengajar
dengan Qolam.  Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui” (QS. al-Alaq
ayat:1-5’).

Dengan turunnya ayat di atas, merupakan sebuah petanda bahwasanya Muhammad telah
resmi diangkat sebagai seorang Nabi.  Sekeligus mengakhiri zaman jahiliyah masyarakat
arab. Dan selang beberapa bulan kemudian beliau menerima wahyu yang berisi perintah
untuk mendakwahkan islam kepada semua manusia. Hal tersebu tergamabar dalam surat al-
Muddatsir ayat 1-7:
“hai orang-orang berkemul, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan tuhanmu
agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlan, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan
janganlah kamu memberi dengan maksud mendapatkan balasan yang lebih banyak. Dan
untuk memenuhi perintah tuhanmu bersabarlah”, (Q,S. al-Mdtssir, 1-7).

Dengan diturunkannya ayat di atas, memberikan sebuah pengertian  bahwa sejak


itulah nabi Muhammad secara defacto telah resmi diangkat menjadi rasulullah dengan
mengemban tugas untuk memberi peringatan bagi seluruh manusia.
2. Setrategi Dakwah Islam Di Makkah

a. Dakwan bil-Sirri (diam-diam)


Pada awal perjalanannya, nabi Muhammada melakukan dakwah dengan cara diam-
diam sirri. beliau menyampaikan dakwahnya pada keluarga keluarga terdekat dan juga
pada orang-orang yang diyakini akan menerima seruannya. hal ini beliau lakukan sejak
turunnya surah al-Muddatstsir, yang mana isi kandungan ayat tersebut adalah perintah
untuk melakukan seruan dan peringatan kepada umat manusia.

Adapun orang pertama yang masuk islam adalah Khatijah yang tidak lain adalah istri
rasulullah, baru kemudian disusul oleh Ali bin Abi Thalib yang waktu itu baru berumur 10
tahun. Kemudian disusul oleh Abu Bakar yang merupakan sahabat nabi sejak masa kecil.
Dakwah secara diam-diam ini terus beliau lakukan selama tiga tahun, dan berhasil
mengajak belasan orang memeluk islam. Meskipun nabi berdakwah dengan sembunyi-
sembunyi, akan tetapi tetap saja kaum Quraisy memusuhi dan mengejek umat islam. 
b. Dakwah bil-Jahri (terang terangan)

Setelah beberapa tahun Rasulullah hanya berdakwah secara sembunyi-sembunyi, maka


datanglah seruan untuk berdakwa secara terang-terangan dan tidak mempedulikan sikap
orang-orang yang menentangnya. Sebagaimana terkandung dalam firman allah:
Artinya: maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya
kami memelihara kamu dari pada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan
kamu (Q.S. al-Hajr ayat 214-216).
Setelah turun ayat ini, Rasulullah SAW, menyampaikan dakwahnya kepada seluruh
lapisan masyarakat kota Mekah yang pluralistik, dari golongan bangsawan sampai
golongan budak serta pendatang kota Mekah yang mempunyai agama berbeda dan berbagai
suku. Untuk berdakwah secara terang-terangan ini beliau menjadikan bukit “shofa” sebagai
tempat dakwahnya. Rasulullah SAW. Menyampaikan dakwah dibukit Shofa selama dua
kali, namun orang-orang banyak yang mendustakanya. Sebagian ada yang menerima dan
sebagian ada yang menolaknya dengan kasar.
Rasulullah SAW bersabda : “Selamatkan diri kalian dari bahaya api neraka,
sesungguhnya saya memberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih.” Dan Abu-
Lahab menjawab : “Binasalah hai Muhammad ! Adakah engkau mengumpulkan kami
hanya untuk ini saja?
Sehubungan dengan hinaan Abu Lahap ini, maka turunlah surat Al Lahab sebagai
berikut :
Artinya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa,
tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan, kelak Dia akan
masuk ke dalam api yang bergejolak, dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar,
yang di lehernya ada tali dari sabut”.

Sikap Rasulullah Saw, dalam dakwah Islam, meliputi; pertama, tidak terdapat sikap
pribadi yang menuju sifat yang berlebih-lebihan dan memuji unuk kepentingan pribadinya
dan gaya bicaranya simpatik (dapat diterima), kedua, dan tidak terdapat sikap pribadi sifat
kemewah-mewahan menyebabkan orang terkejut dan mencegah akan manusia yang lemah.

Setelah peristiwa Thaif itulah bermulalah sikap kaum quraisy memusuhi rasulullah
secara terang-terangan. Mereka mengobarkan api permusuhan dan mereka sepakat untuk
menentang rasulullah, dan menyakiti para pengikutnya agar mereka kembali ke dalam
agama lamanya, yaitu penyembah Lata dan Uzza. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima factor
yang mendorong orang Quraisy menentang seruan islam. Pertama, mereka tidak dapat
membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada
seruan Muhammad sama halnya dengan tunduk kepada kepemimpinan bani abdul
muthalib, padahal hal tersebut sangat tidak diinginkan oleh mereka.

Kedua, nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba


sahaya. Ketiga, para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan
kembali dan pembalasan hari akhirat. Keempat, taklid kepada nenek moyang adalah
keniasaan yang sudah berakar pada bangsa arab. Kelima, pemahat dan penjual patung
memandang islam sebagai penghalang rezeki.
3. Dua Perjanjian Penting Periode Makkah

Setelah nabi Muhammad melakukakan Isra’ dan Mikraj, suatu perkembangan besar
terjadi bagi kemajuan islam. Embrio kemajuan tersebut datang dari sejumlah penduduk
yasrib yang berhaji ke Makkah. Mereka terdiri dari duan suku, yaitu suku ‘Aus dan
Khazraj, datang menemui nabi Muhammad dan melakukan perjanjian yang kemudian
dikenal dengan perjanjian Aqobah.
a.       Perjanjian Aqobah I
Proses terjadinya perjanjian aqobah I di awali dengan datangnya rombongan dari
Madinah di Makkah, mereka datang untuk menunaikan haji, lalu kedatangan mereka
diketahui oleh nabi, maka beliau segera menemui mereka di dekat bukit aqabah untuk
menyampaikan seruan islam. Mendengar dakwah yang disampaikan oleh nabi, kemudian
mereka berkata: bangsa kami telah lama terjadi permusuhan, yaitu antara suku Khajraj dan
suku ‘Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya tuhan mempersatukan
mereka kembali dengan perantaraan enkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh
karena itu kami akan berdakwah agar mereka mengatahui agama yang kami terima dari
engkau.

Setelah berselang dua tahuan, yaitu pada tahun ke dua belas, mereka datang lagi
menemui nabi dengan jumlah 12 orang (10 kaum Khajraj dan 2 kaum ‘Aus). Mereka
menemui nabi pada tempat yang sama, yang mana dalam pertemuan ini mereka telah
membuat suatu perjanjian dengan nabi yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Aqobah I
”perjanjian wanita”.

b. Perjanjian Aqobah II  

Pada musim haji berikutnya, jamaah haji yang datang dari madinah makin tambah
banyak, yaitu berjumlah 73 orang, diantaranya 2 orang perempuan dari suku ‘Aus. Mereka
kemudian menemui nabi pada tempat yang sama dengan pertemuan-pertemuan
sebelumnya, pertemuan ini kemudian dikenal dengan Perjanjian Aqobah II (perjanjian
peperangan).
B. ISLAM DI MADINAH

1. Hijrah Starting Kebangkitan Islam

Sebelum kedatangan nabi, kota ini bernama Yatsrib. Penduduknya sangat majemuk,
mereka terdiri dari kabilah-kabilah dan suku-suku, dan terbesar adalah suku aus dan
khazraj. Mereka menganut agama yang bermacam-macam, diantaranya adalah nasrani,
yahudi, majusi, sabi’I, dan lain-lain. Sebagai suku yang dominan, suku Aus dan Khazraj
seringkali hidup dalam pertikaian yang melibatkan sentiment keagamaan.
Secara giografis Madinah sangat berbeda dengan mekkah yang terdiri dari padang
pasir dan tandus. Madinah tanahnya yang subur sehingga penduduknya bercocok tanam
seperti kurma. Keadaan ini menjadikan masyarakat madinah mempunyai corak berbeda
dengan masyarakat lainnya, mereka hidup dengan pola yang sederhana, solidaritas
masyarakatnya sangat kuat.

Sekitar pada tahun 622 M. nabi Muhammad beserta pengikutnya berhijrah ke


madinah. Keputusan berhijrah sebenarnya telah dipertimbangkan sejak jauh-jauh hari
sebelumnya, keputusan tersebut didasarkan pada beberapa
pertimbangan: pertama, beratnya perlawanan dan siksaan Quraisy makkah terhadap nabi
dan para pengikutnya. Kedua, adanya harapan dan tawaran dari sebagian masyarakat 
madinah  karena adanya konflik. Ketiga, dilihat dari lingkungannnya, madinah dianggap
lebih memungkinkan untuk masa depan islam. Kelima, adanya perintah allah untuk
melakukan hijrah ke sana.

Hijrah, yang mengakhiri pereode makkah dan mengawali pereode Madinah,


merupakan titik balik perkembangan dan kejayaan islam.  Pada pereode ini rasulullah
berusaha membangun dasar-dasar suatu masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai
keadaban (civility), sebagaimana yang di ajarkan dalam agamanya. Untuk mencapai cita-
cita pembangunan masyarakat yang beradab, nabi Muhammad melakukan langkah-langkah
sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Syalabi, diantaranya:
Pertama, mendirikan masjid. Masjid yang pertama kali dibangun adalah masjid
Quba yang terletak di pinggiran kota madinah. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai
tempat beribadah, tetapi juga digunakan berbagai macam kegiatan, seperti, tempat belajar
agama, latihan berperang, mengadili perkara-perkara, dan administrasi negara. Jadi masjid
ini mempunyai multifungsi, satu sisi berfungsi untuk mengembangkan kehidupan spiritual,
dan pada sisi yang lain untuk melakukan konsolidasi sosial.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwasanya dijadikannya masjid sebagai media
tranformasi baik yang sifatnya dirosi ataupun sebagai konsolidasi social berkontribusi pada
peradaban islam. Melalui media ini tampak keakraban antara nabi dana para sahabat, dan
begitu juga terjadi pada hubungan antara sahabat dengan sahabat yang lain baik muhajirin
dan anshar.

Kedua, mempersatukan sahabat ansor dan muhajirin. Untuk membangun suatu


masyarakat yang dicita-citakan, maka sebelum mempersatukan komponen masyarakat yang
lebih luas dan majmuk, langkah pertama yang dilakukan adalah mempersatukan antara
sahabat ansor dan sahabat muhajirin. Dari komunitas keagamaan inilah kemudian lahir
sebuah negara islam yang lebih besar. Masyarakat baru yang terdiri atas masyarakat anshar
dan muhajirin dibangun atas dasar agama, bukan hubungan darah.

Ketiga, kerjasama antar komponen penduduk madinah, baik muslim dan


nonmuslim. Langka ini dilakukan mengingat penduduk madinah yang majemuk, tentu,
dengan tujuan untuk menjalin harmoni antar golongan muslim dan nonmuslim sehingga
tercipta suatu hubungan kerjasama yang baik antara mereka. Keempat, meletakkan dasar-
dasar  politik, ekonomi, dan social untuk masyarakat baru.

Dari beberapa langkah yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Secara implisit
menegaskan bahwasanya islam sejak awal telah memberikan kontribusi besar terhadap
eksistensi masyarakat arab khususnya masyarakat Madinah dan dan umumnya pada
konstruksi konsep negara medern.

2. SAHIFAH; BANGSA DAN NEGARA ISLAM

Piagam Madinah merupakan basis kajian untuk mendapatkan wawasan tentang


social dan politik, karena hampir semua pengkaji sejarah Islam mengakui “bahwa” Piagama
Madinah” merupakan instrumen hukum ,politik yang membuat komunitas Islam dan non
Islam. Saat itu menuai kebebasan dan kemerdekaan di bawah kepemimpinan Nabi
Muhammad Saw. Bahkan oleh sebagian pakar ilmu politik piagam ini dianggap sebagai
konstitusi atau undang-undang dasar pertama bagi “Negara Islam” yang didirikan Nabi Saw
di Madinah.

Dalam sejarah kebudayaan islam, adanya “Piagam Madinah”, mempunyai


kontribusi besar atau bahkan merupakan prasyarat pada terwujudnya sejarah perubahan
masyarakat Arab. Sebab dengan instrument itulah Nabi kemudian membangun masyarakat
baru yang berbeda dari masyarakat manapun pada waktu itu.
Masyarakat yang dibangun oleh Nabi tersebut diikat oleh tali kepentingan dan cita-
cita bersama. Setiap warga negara dituntut untuk menaati kontrak sosial (perjanjian) yang
dibuat bersama. Masyarakat ini lahir berdasarkan kontrak sosial yang dibuat dan disetujui
bersama oleh seluruh penduduk Yasrib (Madinah) dan sekitarnya yang terekam dalam
sebuah piagam yang dikenal dengan nama Piagam Madinah.

Masyarakat yang mendukung piagam ini jelas memperlihatkan karakter masyarakat


majemuk, baik ditinjau dari segi etnis, budaya, dan agama. Di dalamnya terdapat etnis
Arab, Muslim, Yahudi, dan Arab nonMuslim. Keberadaan Piagam Madinah juga sangat
terkait dengan perjalanan politik Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah yang sangat
plural. Piagam ini dibuat sebagai salah satu siasat Nabi untuk membina kesatuan hidup
berbagai golongan warga Madinah. Oleh karena itu, dalam piagam ini dirumuskan
kebebasan beragama, hubungan antarkelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan
hidup dan sebagainya.

Munawir Sjadzali, menerangkan bahwa ada dua poin penting yang merupakan inti
Piagam Madinah, yaitu antara lain sebagai berikut: pertama,  Semua pemeluk agama Islam
merupakan satu komunitas (umat) meskipun berasal dari banyak suku. Kedua, hubungan
Islam dengan komunitas lain didasarkan pada prinsip untuk bertetangga, baik saling
membantu dalam menghadapi musuh membela mereka yang teraniaya, saling menasehati,
dan menghormati kebebasan beragama. Watak masyarakat yang dibina oleh Nabi adalah
berpegang kepada prinsip kemerdekaan berpendapat dan menyerahkan urusan
kemasyarakatan kepada umat sendiri.

Sedangkan Piagam Madinah menurut Ali. K. secara garis besar mengandung pokok
ketentuan antara lain:
a.       Seluruh masyarakat yang turut menandatangi bersatu membentuk satu kesatuan
kebangsaan.
b.      Jika salah satu kelompok yang turut menandatangani piagam ini diserang oleh musuh,
maka kelompok yang lain harus membelanya dengan menggalan kekuatan gabungan.
c.       Tidak suatu kelompokpun diperkenankan mengadakan persekutuan dengan kafir Quraisy
atau memberikan perlindungan kepada mereka atau membantu mereka mengadakan
perlawanan terhadap masyarakat madinah.
d.      Orang islam, yahudi dan seluruh warga madinah yang lain bebas memeluk agama dan
keyakinan masing-masing dan mereka dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Tidak seorangpun yang
diperkenankan mencampuri urusan agama lain.
e.       Urusan pribadi atu perorangan, atau perkara-perkara kecil kelompok nonmuslim tidak
harus melibatkan pihak-pihak yang lain secara keseluruhan
f.        Setiap entuk penindasan dilaran.
g.      Mulai hari ini segala bentuk pertumbuhan darah, pembunuhan, dan pengeniayaan
diharamkan di seluruh negri muslimin.
h.      Muhammad, rasulullah, menjadi kepala republic madinah dan memegang kekuasaan
peradilan yang tinggi.

Penjelasan di atas memberikan sebuah gambaran bawasanya masyarakat yang di


impikan rasulullah yang kemudian dituangkan dalam Piagam Madinah adalah bertumpu
pada beberapa asas yang sangat fundamental:
Pertama, Asas kebebasan beragama. Negara mengakui dan melindungi setiap
kelompok untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Kedua, asas persamaan.
Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling
membantu dan tidak boleh seorangpun diperlakukan secara buruk. Ketiga, Asas
kebersamaan. Setiap dan semua anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang
sama terhadap negra. Keempat, Asas keadilan ataupun asas perdamaian yang
berkeadilan. Kelima, Asas musyawarah. Maka dengan demikian, peraturan yang dibuat
oleh nabi yang telah didasarkan pada beberapa asas tersebut senantiasa mendapat sambutan
dari seluruh lapisan masyarakat madinah kaculai bagi kalangan kaum munafik, sehingga
islam dalam waktu yang tidal lama mampu menjadi kekuatan besar dijazirah arab.

3.      Polarisasi Islam Di Madinah

Usaha-usaha awal yang telah dilakukan Nabi Muhammad di madinah seperti


dikemukakan di atas, khususnya usaha penataan masyarakat dan pembentukan konstitusi
piagam madinah, ternyata melahirkan polarisasi dan dinamika social yang luar biasa baik
yang positif atau negatif. sisi positifnya dalam artian, suatu keadaan yang harmunis dan
beradab, sehingga memungknkan misi nabi berjalan dengan baik. Namun pada sisi lain ada
aspek negatif yang diawali dengan pelanggaran-pelanggaran oleh orang yahudi terhadap
kesepakatan yang telah dibuat bersama. Sehingga menimbulkan peperangan-peperangan
antara orang mulim dengan orang musyrik dan orang kafir
KESIMPULAN

Pada masa rasulullah, islam tampil menjadi kekuatan baru ditengah-tengah kekuatan
kabilah-kabilah dan suku-suku yang mengakar kuat di kalangan masyarakat arab. Dalam
diskursus sejarah perdaban islam, kajian islam pada masa nabi Muhammad dapat dipetakan
menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah.
Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah awalmulanya mentranformasikan nilai-
nilai dan ajaran islam di Makkah. Yang paling penting dalam masa ini adalah ajaran
tentang tauhid, yaitu mengesakan tuhan dari makhluk selain dzatnya. Sedangkan pola
dakwah yang digunakan oleh rasulullaha ada dua cara: pertama, dengan cara sembunyi-
sembunyi bissirri. Cara ini dilakkan oleh nabi pada awal kerasulannya selama tiga
tahun. Kedua, dakwah dengan terang-terangan biljahri. Cara ini dilkukan oleh nabi
Muhammad mulai masa keempat kerasulannya sampai masa ketujuh.
Islam pada periode Makkah tidak banyak berkembang, karena tekanan dari orang-
orang musyrik Quraisy. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengahalangi nabi
menyebarkan islam, diantaranya adalah menyakiti orang-orang yang memeluk islam, lebih-
lebih pada golongan mustad’afin dan hamba sahaya.
Setelah nabi hijrah ke madinah, islam mempunyai sejarah baru. Dalam waktu yang
relative singkat islam mampu menjadi kekuatan domenan di wilayah tersebut. Islam
mampu menjadi landasan moral, social dan politik. Bahkan nabi dengan tuntunan wahyu,
membuat suatu keputusan-keputusan yang dikenal dengan “Piagam Madinah”.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwasanya islam di madinah berbeda dengan di
makkah. Di makkah islam diperkenalkan oleh Nabi Muhammad lebih pada aspek tauhid
dan moralitas. Berbeda dengan itu, di Madinah islam menjadi regulasi social. Islam
menjadi aturan yang mengatur relasi antara masyarakat sekitarnya. Hal tersebut, tertuang
dalam 47 pasal yang ada di Piagam Madinah.
BAB 2

ISLAM PADA MASA SAHABAT

Latar Belakang

Ketika Islam diperkenalkan, kaum muslim telah dijanjikan oleh Al-Qur’an akan
menjadi agama terbaik dipanggung sejarah bagi sesama umat manusia. Terdapat banyak
perspektif dalam membaca banyak fakta sejarah, terutama terhadap sejarah peradaban
umat Islam. Perbedaan cara pandang tersebut sebagai akibat dari khazanah pengetahuan
tentang sejarah yang berbeda. Hal itu dipicu dari keberagaman teori sejarah. Lebih–
lebih sejarah Islam yang sebagian besar adalah sejarah tentang politik dan kekuasaan
yang berujung pada kepentingan kelompok maupun individual semata.

Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang dicintai oleh yang dipimpinnya,
sehingga pikirannya selalu didukung, perintahnya selalu di ikuti dan rakyat
membelanya tanpa diminta terlebih dahulu. Figur kepemimpinan yang mendekati
penjelasan tersebut adalah Rasulullah beserta para sahabatnya (Khulafaur Rasyidin).
Wafatnya Nabi Muhammad sebagai pemimpin agama maupun negara menyisakan
persoalan pelik. Nabi tidak meninggalkan wasiat kepada seorangpun sebagai
penerusnya. Akibatnya terjadilah perselisihan, masing-masing kelompok mengajukan
wakilnya untuk dijadikan sebagai penerus serta pengganti Nabi Muhammad untuk
memimpin umat. Akhirnya muncullah Khulafaur Rasyidin, yang terdiri dari Abu bakar,
Umar, Ustman, dan Ali yang memimpin secara bergantian. Dalam prosesnya banyak
sekali peristiwa-peristiwa yang terjadi dan patut dipelajari sebagai landasan sejarah
peradaban Islam.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Khulafaur Rasyidin


Khulafaur Rasyidin bermakna pengganti-pengganti Rasul yang cendekiawan.
Adapun pencetus nama Khulafaur Rasyidin adalah dari sahabatsahabat yang paling
dekat dengan Rasul setelah meninggalnya beliau. Mengapa demikian, karena mereka
menganggap bahwa 4 tokoh sepeninggal Rasul itu orang yang selalu mendampingi
Rasul ketika beliau menjadi pemimpin dan dalam menjalankan tugas.1

Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah Allah di muka bumi
untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Sedangkan khalifah secara
khusus maksudnya adalah pengganti Nabi Muhammad sebagai Imam umatnya,
Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai
Imam, penguasa, panglima perang, dan lain sebagainya.2

Adapun yang dimaksud dengan Khulafaur Rasyidin adalah para pemimpin


pengganti Rasulullah dalam mengatur kehidupan umat manusia yang adil, bijaksana,
cerdik, selalu melaksanakan tugas dengan benar dan selalu mendapat petunjuk dari
Allah. Tugas Khulafaur Rasyidin adalah menggantikan kepemimpinan Rasulullah
dalam mengatur kehidupan kaum muslimin. Jika tugas Rasulullah terdiri dari dua hal
yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Maka Khulafaur Rasyidin bertugas
menggantikan kepemimpinan Rasulullah dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai
kepala negara atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama. Adapun tugas kerasulan
tidak dapat digantikan oleh Khulafaur Rasyidin karena Rasulullah adalah nabi dan rasul
yang terakhir. Setelah beliau tidak ada lagi nabi dan rasul lagi.

Tugas Khulafaur Rasyidin sebagai kepala negara adalah mengatur kehidupan


rakyatnya agar tercipta kehidupan yang damai, adil, makmur, aman, dan sentosa.
Sedangkan sebagai pemimpin agama Khulafaur Rasyidin bertugas mengatur hal-hal
yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Bila terjadi perselisihan pendapat maka
khalifah yang berhak mengambil keputusan. Meskipun demikian Khulafaur Rasyidin
dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan musyawarah bersama, sehingga
setiap kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan kaum muslimin.

1 Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, cetakan ketiga, 2011), h.
50.
2 Ahmad Jamil, Sejarah Kebudayaan Dinamika Islam, (Gresik: Putra Kembar Jaya, 2011), h. 22.
Khulafaur Rasyidin merupakan pemimpin umat Islam dari kalangan sahabat pasca
nabi wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat
melalui cara demokrasi. Siapa yang terpilih, maka sahabat yang lain memberikan baiat
(sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut. Ada dua cara dalam pemilihan
khalifah ini, yaitu: pertama, secara musyawarah oleh para sahabat nabi. Kedua,
berdasarkan atas penunjukan khalifah sebelumnya.3

B. Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq (11-13 H / 632-634 M)

Namanya ialah Abdullah ibn Abi Quhaifah Attamini. Di zaman pra Islam bernama
Abdullah ibnu Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk
salah seorang sahabat yang utama. Julukannya Abu Bakar (bapak Pemagi) karena dari
pagi-pagi betul memeluk agama Islam, gelarnya as-Shiddiq karena ia selalu
membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ Mi’raj. Jadi nabi
Muhammad sering kali menunjukkannya untuk mendampinginya di saat penting atau
jika berhalangan, dan rasul tersebut mempercayainya sebagai pengganti untuk
menangani tugas-tugas keagamaan.4

Ketika nabi Muhammad wafat, nabi tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang
akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam. Beliau tampaknya
menyerahkan persoalan tersebut pada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat, sejumlah tokoh muhajirin dan anshar
berkumpul dibalai kota Bani Sa’idah, Madinah.

Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin.


Musyawarah cukup alot karena masing-masing pihak, baik muhajirin maupun anshar,
sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun dengan semangat
Ukhuwah Islamiah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih. karena semangat
keagamaan Abu Bakar yang tinggi mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam,
sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.5

Sepak terjang pola pemerintahan Abu Bakar dapat dipahami dari pidato Abu Bakar
ketika ia diangkat menjadi khalifah. Secara lengkap pidatonya sebagai berikut:

3 Machfud Syaefuddin, Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), h. 29.


4 Fatah Syukur, Sejarah…, h. 51.
5 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cetakan keenambelas, 2004), h. 35.
“Wahai manusia sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu kerjakan,
padahal aku bukan orang yang terbaik diantara kamu. Apabila aku melaksanakan
tugasku dengan baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku.
Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu penghianatan. Orang
yang lemah diantara kamu adalah orang yang kuat bagi ku sampai aku memenuhi hak-
haknya, dan orang kuat diantara kamu adalah lemah bagi ku hingga aku mengambil
haknya, Insya Allah. Janganlah salah seorang darimu meninggalkan jihad.
Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah akan
menimpakan suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Jika aku tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, sekali-kali jangan lah kamu
menaatiku.

Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu”.6

Masa awal pemerintahan Abu Bakar banyak di guncang oleh pemberontakan orang-
orang murtad yang mengaku-ngaku menjadi nabi dan enggan membayar zakat, karena
hal inilah khalifah lebih memusatkan perhatiannya memerangi para pemberontak, maka
dikirimlah pasukan untuk memerangi para pemberontak ke Yamamah, dalam insiden itu
banyak hafidz quran yang mati syahid kemudian karena khawatir hilangnya Al-Qur’an
sayyidina Umar mengusulkan pada khalifah untuk membukukan Al-Qur’an, kemudian
untuk menjalankan saran tersebut diutuslah Zaid Bin Tsabit untuk mengumpulkan
semua tulisan Al-Qur’an.7

Abu bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal
dunia. Selain menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam tubuh umat Islam,
Abu Bakar juga mengembangkan wilayah ke luar arab. Dalam kepemimpinannya, Abu
Bakar melaksanakan kekuasaannya sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral;
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan khalifah.8

C. Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H / 634-644 M)

Dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah. Ayahnya bernama Khattab dan


ibunya bernama Khatmah. Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang
6 Dedi Supriyadi, Sejarah Perdaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 70.
7 Hanun Asrohah, Sejarah Peradapan Islam, (Jakarta: Wacana Ilmu, 2001), h. 36.
8 Badri Yatim, Sejarah Peradaban…, h. 36.
menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna
kulitnya coklat kemerah-merahan. Beliau dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi,
salah satu kaum dari suku Quraisy.

Beliau merupakan khalifah kedua didalam Islam setelah Abu Bakar As-

Shiddiq.9

Sewaktu masih terbaring sakit, khalifah Abu Bakar secara diam-diam melakukan
tinjauan pendapat terhadap tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat mengenai
pribadi yang layak untuk menggantikannya. Pilihan beliau jatuh pada Umar bin
Khattab.10

Khalifah kedua itu dinobatkan sebagai khalifah pertama yang sekaligus memangku
jabatan panglima tertinggi pasukan Islam, dengan gelar khusus amir al-mukminin
(panglima orang-orang beriman). Pada masa Umar bin Khattab, kondisi politik dalam
keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam memperoleh hasil yang gemilang.
Wilayah Islam pada masa Umar bin Khattab meliputi Semenanjung Arab, Palestina,
Syria, Irak, Persia dan Mesir.

Pada hari rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar bin Khattab wafat, beliau ditikam
ketika sedang melakukan shalat subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah,
budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan
Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi Muhammad dan Abu Bakar
As-Shiddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.11 Umar dikenal seseorang yang pandai
dalam menciptakan peraturan, karena tidak hanya memperbaiki bahkan mengkaji ulang
terhadap kebijakan yang telah ada. Khalifah Umar juga telah juga menerapkan prinsip
demokratis dalam kekuasaan yaitu dengan menjamin hak yang sama bagi setiap warga
negara.

Khalifah Umar terkenal seorang yang sederhana bahkan ia membiarkan tanah dari
negeri jajahan untuk dikelola oleh pemiliknya bahkan melarang kaum muslimin
memilikinya, sedangkan para prajurit menerima tunjangan dari Baitul Mal, yaitu
dihasilkan dari pajak.12

9 Mufrad, Kisah hidup Umar bin khatab, (Jakarta: Zaman, 2008), h. 17-18.
10 Fatah Syukur, Sejarah…, h. 52.
11 Sulton Adi, Umar bin khattab, (Bandung: Fitrah, 2010), h. 99.
12 Fatah Syukur, Sejarah…, h. 54.
D. Khalifah Ustman bin Affan (23-35 H / 644-656 M)

Nama lengkapnya ialah Ustman ibn Affan ibn abdil Ash ibn Umayyah dari pihak
Quraisy. Ia memeluk Islam lantaran ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang
sahabat dekat nabi. Melalui persaingan ketat dengan Ali, lalu Dewan Syura
menjatuhkan kekhalifan ketiga kepada Ustman bin Affan. Masa pemerintahannya
adalah yang terpanjang dari semua khalifah yaitu 12 tahun.

Tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaannya menjadi saat yang baik
dan sukses bagi beliau. Para pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Ustman bin
Affan menjadi dua periode, enam tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang
baik dan enam tahun terakhir adalah merupakan masa pemerintahan yang buruk.13
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan
Ustman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang
terpenting diantaranya adalah Marwan bin Hakam. Dialah pada dasarnya yang
menjalankan pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar khalifah.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatankegiatan
yang penting. Ustman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang
besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid di Madinah.14

Prestasi yang terpenting bagi khalifah Ustman adalah menulis kembali AlQur’an
yang telah ditulis pada zaman Abu Bakar yang pada waktu itu disimpan oleh Hafsah
binti Umar. Manfaat dibukukan Al-Qur`an pada masa Ustman adalah:

1. Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan
tulisannya.
2. Menyatukan bacaan, walau masih ada perbedaannya, namun harus tidak berlawanan
dengan ejaan mushaf Ustmani.
3. Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib urut yang kelihatan pada
mushaf sekarang ini.

Situasi politik pada masa akhir pemerintahan Ustman semakin mencekam dan
timbul pemberontakan-pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Ustman.
Ustman akhirnya wafat sebagai syahid pada hari jumat tanggal 17 Dzulhijjah 35 H/ 655
13 Fatah Syukur, Sejarah…, h. 55.
14 Badri Yatim, Sejarah Peradaban…, h. 39.
M ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Ustman saat
membaca Al-Qur’an. Persis seperti yang disampaikan Rasulullah perihal kematian
Ustman yang syahid nantinya. Beliau dimakamkan di pekuburan Baqi di Madinah.15

E. Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H / 656-661 M)

Peristiwa pembunuhan Utsman mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam


yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak
yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali Bin Abi
Thallib menjadi khalifah. Waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam
dan Thalhah bin Ubaidillah memaksa beliau sehingga akhirnya Ali menerima baiat
mereka. Menjadikan Ali satu-satunya khalifah yang di baiat secara massal. Karena
khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda. Ali memerintah hanya
enam tahun. Selama masa pemerintahanya, ia menghadapi berbagai rintangan. Tidak
ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil.

Persoalan pertama yang dihadapi Ali adalah pemberontakan yang dilakukan oleh
Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para
pembunuh Ustman dan mereka menuntut bela terhadap darah Ustman yang telah
ditumpahkan secara zalim. Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan Ali juga
mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus. Muawiyyah yang
didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan
kejayaan.16 Peristiwa yang terkenal dalam masa Ali adalah terjadinya perang antara
kubu Ali dan kubu Muawiyyah. Perang tersebut terjadi di daerah bernama Siffin,
sehingga perang ini disebut sebagai perang Siffin.

Pada saat Muawiyyah dan tentaranya terdesak Amr bin Ash sebagai penasehat
Muawiyyah yang dikenal cerdik dan pandai berunding, meminta agar Muawiyyah
memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf Al-Qur’an di ujung tombak sebagai
isyarat berdamai dengan cara menyerahkan keputusan kepada seseorang dan menerima
keputusan tersebut (tahkim). Dengan demikian Muawiyyah terhindar dari kekalahan
total. Seusai perundingan, Abu Musa sebagai yang tertua dipersilahkan untuk berbicara
lebih dahulu. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya antara mereka berdua, Abu Musa
menyatakan pemberhentian Ali dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan
urusan penggantiannya kepada kaum muslimin. Tetapi ketika tiba giliran Amr bin Ash,

15 Fatah Syukur, Sejarah…, h. 56-57.


16 Badri Yatim, Sejarah Peradaban…, h. 40.
ia menyatakan persetujuannya atas pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan khalifah
bagi Muawiyyah. Ternyata Amr bin Ash menyalahi kesepakatan semula yang dibuat
bersama Abu Musa. Ali menolak keputusan tahkim tersebut, dan tetap mempertahankan
kedudukannya sebagai khalifah.

Setelah terjadinya peristiwa tersebut kelompok Ali pecah menjadi dua bagian,
kelompok pertama dinamai sebagai Syi’ah (orang yang mengikuti Ali) dan kelompok
yang keluar dari kelompok Ali dinamai sebagai kelompok Khawarij (orang-orang yang
keluar). Pada 24 Januari 661, ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju masjid
Kuffah, ia terkena hantaman pedang beracun di dahinya. Pedang diayunkan oleh
seorang pengikut kelompok Khawarij, Abd al-Rahman ibn Muljam, yang ingin
membalas dendam atas kematian keluarga dari seorang temannya yang terbunuh di
Nahrawan.

F. Kontribusi Masa Khulafaur Rasyidin

Islam pada masa khulafaur Rasyidin mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Khulafaur Rasyidin juga bisa memasukkan budaya bangsa luar arab ke bangsa arab
dengan prinsip tidak ada pertentangan dan perbedaan antar mereka. Dilihat dari segi
sosiologis bahwa pemimpin-pemimpin pada masa Khulafaur Rasyidin adalah bukan
pemimpin yang otoritas, melainkan masyarakat yang menghimbau bukan kekuasaan
untuk memerintah.

Masa Khulafaur Rasyidin adalah masa yang sangat pantas ditiru dalam pribadinya,
karena mereka adalah seorang pemimpin yang adil, bijaksana, sederhana dan
sebagainya. Mereka juga seorang pemimpin pemerintahan yang ideal dan sejati yang
harus dijadikan contoh. Masa pemerintahan Khulafaur

Rasyidin banyak mengalami kemajuan yang tinggi yakni terbukti dengan luas
kekuasaan Islam dan adanya usaha pembukuan Al-Qur’an yaitu masa Ustman yang
membuat masa ini menjadi masa yang cemerlang.17

Pengembangan agama Islam yang dilakukan pemerintahan Khulafaur Rasyidin


dalam waktu yang relatif singkat telah membuahkan hasil yang gilanggemilang.
Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, dalam waktu tidak
lebih dari setengah abad merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang
sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai.
17 Fatah Syukur, Sejarah…, h. 61.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat, antara lain
sebagai berikut:

1. Islam, di samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan


Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2. Dalam dada para sahabat nabi Muhammad tertanam keyakinan yang sangat kuat
tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) keseluruh penjuru
dunia.
3. Islam datang kedaerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran,
tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
4. Bangsa Sami di Syiria dan palestina, dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa
Arab lebih dekat daripada bangsa Eropa yang memerintah mereka.
5. Mesir, Syiria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu
pengusa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.18

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka yang menjadi kesimpulan makalah ini adalah
sebagai berikut:

1. Perkembangan peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasyidin mengalami


kemajuan yang pesat, hal tersebut ditandai dengan pembangunan di berbagai
bidang. Misalnya: perluasan wilayah kekuasaan, pertahanan militer, pembangunan
armada angkatan laut, pembentukan lembaga Baitul Mal, pembangunan sarana
ibadah, pembukuan Al-Qur’an, pengembangan ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
2. Umat Islam betul-betul masih berpegang kepada agama Allah yang lurus. Dalam
artian ajaran Islam dijadikan sebagai dasar negara. Apa yang diperintahkan oleh
agama diyakini sebagai kebenaran mutlak dan mereka tidak ragu terhadap ajaran
Islam itu sendiri. Amirul mukminin sebagai pelopor secara langsung daripada

18 Samsul Munir Amin, Sejarah Perkembangan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 113-114.
penegakkan syariat Islam itu. Ajaran Islam menjadi ruh dari pada perjuangan
mereka.
3. Disamping perkembangan peradaban Islam yang pesat pada masa

Khulafaur Rasyidin, juga terdapat banyak hambatan, yaitu :


a. Munculnya nabi-nabi palsu setelah pasca meninggalnya Rasulullah Saw.
b. Munculnya kelompok-kelompok pemberontakan baik dari luar Islam terlebih
dari dalam Islam itu sendiri.
c. Terjadinya perpecahan kaum muslimin yang dipicu oleh kelompokkelompok
tertentu yang berkeimginan menduduki posisi kekhalifahan, akhirnya orang-
orang Islam pada masa itu saling membunuh antara satu dengan yang lainnya,
dan salah satu tokoh yang terkenal berambisi merebut kekuasaan adalah
Muawiyyah dan Zubair, dan masih banyak lagi yang lainnya yang berambisi
untuk menjadi khalifah.
4. Usaha-usaha yang dilakukan umat Islam dalam mengatasi hambatanhambatan yang
terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin yaitu para nabi palsu dibasmi, baik dengan
cara damai ataupun dengan cara terakhir adalah dibasmi dengan diperangi. Dalam
mengatasi pemberontak juga ditempuh dua cara yaitu perjanjian damai dan perang,
namun usaha yang dulakukan dalam mengatasi masalah ini tidak berhasil, hingga
akhirnya Ali bin Abi Thalib meninggal terbunuh. Justru situasi kembali damai
ketika Hasan bin Ali menyerahkan tahta kepemimpinan kepada Muawiyyah yang
sangat berambisi menjadi pemimpin kaum muslimin. Dengan penyerahan
kekuasaan itu, maka berakhirlah pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
BAB 3

MEMAHAMI ISLAM PADA PERIODE 4 MADZHAB

Latar Belakang

Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting.
Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu
dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak
pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang
sedang mengalami modernisasi. Perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah
melahirkan pemikiran Islam bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.

Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara amat
dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari
masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih
tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan
baru bagi perkembangan Islam berikutnya.

Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan
sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, dikhususkan pada empat mazhab
yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali serta beberapa
hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut. dan penjelasan madzhab lain
selain madzhab empat tersebut, serta contoh kasus-kasus masalah fikih pada madzhab
madzhab tersebut.
PEMBAHASAN

1. Pengertian Madzhab

Madzhab menurut bahasa Arab, “madzhab” (‫ )مذهب‬berasal dari shighah masdar


mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan keterangan tempat) dari akar
kata fiil madhy “dzahaba” (‫ )ذهب‬yang bermakna pergi. Jadi, mazhab itu secara bahasa
artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq). Sedangkan menurut istilah ada beberapa
rumusan:

1. Menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid


yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta
berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang
saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

2. Menurut A. Hasan, mazhab adalah mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang
hukum suatu masalah atau tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah
istinbathnya.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam
memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Disini bisa disimpulkan pula
bahwa mazhab mencakup ; (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam
mujtahid ; (2) ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuk
menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.

Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum


syariat (fiqh), yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-
dalilnya yang rinci harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul
fiqh yang menjadi metode penggalian (thariqah al-istinbath) untuk melahirkan hukum-
hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan
ushul fiqh menurut Imam Syafi’i.

Sementara pengertian madzhab menurut istilah meliputi dua hal :


(1) madzhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur'an dan
Hadits, (2) madzhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum
suatu peristiwa.

2. Latar Belakang Munculnya Madzhab

Lahirnya berbagai aliran dan madzhab dalam ilmu fiqih dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor antara lain :

a. Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang Lafadz Nash


b. Perbedaan Dalam Masalah Hadits
c. Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash
d. Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil yang berlawanan ( ta’rudl al-adillah)
e. Perbedaan Tentang Qiyas
f. Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil Hukum
g. Perbedaan dalam Pemahaman Illat Hukum
h. Perbedaan dalam Masalah Nasakh

3. Madzhab Pada Masa Rasulullah SAW

Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman Rosulullah
SAW, Madzhab pada zaman Rosululah adalah sebatas Ijitihad (pendapat) para sahabat
dalam memahami agama, karena pada zaman itu sumber hukum islam adalah hanya al-
Quran dan Hadits, sehingga ketika para sahabat terjadi perselisihan dan berijtihad masing-
masing; maka mereka langsung melaporkan masalah tersebut kepada Rosulullah.

Pertama :

َ ‫ت الصالةُ فتي َّمما‬


‫صعيدًا‬ ِ ‫ فحضر‬،‫ وليس معهما ما ٌء‬،‫ خرج رجال ِن في سفر‬:‫عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه قال‬
‫ ثم أتيا رسول هللا صلى هللا عليه‬،‫ ولم ي ُِعد اآلخر‬،‫ فأعاد أحدُهما الصالة والوضوء‬،‫ ثم وجدا الماء في الوقت‬،‫ فصلَّيا‬،‫طيِّبًا‬
ِ ‫ ((لك األج ُر مر‬:‫ وقال لآلخر‬،))‫ وأجزَأ ْتك صالتك‬،‫• ((أصبت السُّنة‬:‫ فقال للذي لم يُ ِعد‬،‫وسلم فذكرا ذلك له‬
‫َّتين))؛ رواه أبو‬
‫داود والنسائي‬

Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Ada 2 Sahabat dalam perjalanan, ketika waktu
sholat tiba dan tidak menemukan air, maka beliau berdua melakukan Tayammum.
Keduanya pun shalat. Setelah itu mereka menemukan air saat waktu shalat belum habis.”
“Satu dari mereka mengulang shalat dengan berwudhu’. Sahabat yang lain tidak mengulang
shalatnya (cukup dengan Tayammum tadi)” Setelah mereka datang kepada Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam dan bercerita kejadian itu maka Nabi bersabda kepada Sahabat
yang shalat 1 kali saja: “Kamu sudah sesuai Sunnah. Cukup shalatmu itu”. Dan kepada
Sahabat yang shalat 2x (dengan Tayammum dan Wudhu’) Nabi bersabda: “Kamu dapat 2
pahala”.

Kedua  : Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

) ‫صلِّيَ َّن َأ َح ٌد ْال َعصْ َر ِإاَّل فِي بَنِي قُ َر ْيظَةَ ( رواه البخاري‬
َ ُ‫ال ي‬

“Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah” 

           

Ketika mereka mendapati waktu shalat yang disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam tersebut di tengah jalan, sebagian dari mereka mengatakan, “Kita tidak
shalat sampai kita tiba di perkampungan Bani Quraizhah.” Sementara yang lain bersikukuh
tetap melakukan shalat ‘Ashar pada waktunya, karena mereka memandang bahwa
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud menyuruh para shahabat
Radhiyallahu anhum menunda shalat ‘Ashar sampai lewat waktunya. Kemudian dua sikap
yang berbeda dalam menyikapi sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
dilaporkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mencela salah salah satunya.

Pada periode ini, Madzhab hanyalah sebuah pendapat atau Ijtihad para sahabat
dalam memahami sebuah kasus, lalu sahabat melaporkan kepada Rosul akan kasus tersebut,
sehingga Rosulullah SAW langsung memutuskan kasus tersebut apakah salah satu yang
benar atau keduanya benar. Madzhab secara sistematis belum terbentuk, hanya berbentuk
pendapat-pendapat para sahabat dan ijtihad-ijtihadnya yang kemudian disampaikan kepada
Rosulullah.

4. Madzhab Pada Masa Sahabat

Mahzab fiqih itu pada sejak zaman sahabat mulai tumbuh seiring dengan
meninggalnya Rosulullah SAW; karena ketika di zaman Rosulullah para Sahabat
menemukan sebuah masalah, akan tetapi setelah wafatnya Rosulullah, Para sahabat masing-
masing memiliki pendapatnya. Misalnya pendapat Aisyah ra, pendapat Ibn Mas’ud ra,
pendapat Ibn Umar. Masing-masing memiliki kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-
Qur’an Al-Karim dan sunnah, sehinga terkadang pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan
dengan pendapat Ibn Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa disalahkan
karena masing-masing sudah melakukan ijtihad.

Para sahabat melihat Rasulullah Saw mengerjakan suatu tindakan, sebagian sahabat
menafsirkannya sebagai tindakan qurbah (ibadah), sedangkan sebagian yang lain
menyimpulkannya sebagai tindakan mubah (biasa). Contohnya, para sahabat melihat Nabi
Shallalahu Alaihi wa Sallam melakukan lari-lari kecil saat thawaf. Oleh karena itu,
mayoritas mereka berpendapat hal tersebut adalah sunnah dalam tawaf. Sedangkan Ibnu
Abbas, mengintepretasikan tindakan beliau sebagai kebetulan karena ada motivasi yang
muncul.

Rasulullah SAW mengerjakan ibadah haji dan orang-orang menyaksikannya.


Sebagian sahabat berpendapat bahwa beliau mengerjakan ibadah haji secara tamattu’,
sementara sebagian sahabat yang lain menganggapnya mengerjakan ibadah haji
secara qiran. Sebagian sahabat lain menyangka beliau mengerjakan ibadah haji secara
ifrad.

5. Madzhab Pada Masa Tabi’in

Di masa tabi’in, kita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh orang
yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad, Kharijah ibn Zaid,
Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan Ubaidillah. Termasuk juga Nafi’ maula Abdullah ibn
Umar. Di kota Kufah kita mengenal ada Al-Qamah ibn Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’i guru
al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan di kota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri dan Imam
Sufyan as sauri.

Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah Maula Ibn Abbas dan
Atha’ ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad ibn Sirin, Al-Aswad ibn Yazid,
Masruq ibn al-A’raj, Alqamah an Nakha’i, Sya’by, Syuraih, Said ibn Jubair, Makhul ad
Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani.

Dalam kasus iddah wanita hamil karena berzina, Para ulama di kalangan Tabiin
berbeda pendapat :

a). Imam Sufyan as Sauri dan sebagain tabiin berpendapat bahwa tidak ada
iddah bagi wanita hamil karena berzina. Karena iddah untuk menjaga nasab,
sedangkan Pezina tidak menjaga nasab.
b). Imam Hasan basri, Ibrahim An Nakho’i dan sebagian tabiin lainnya
berpendapat bahwa wanita hamil karena berzina tetap ada iddahnya, karena iddah
itu karena Istibro’ (membersihkan Rahim).
6. Periode Terbentuknya 4 Madzhab

A. Madzhab Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah, yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi, mempunyai nama
lengkap: Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. lahir di Irak pada tahun 80
Hijriah/699 M, bertepatan dengan masa khalifah Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan.
Beliau digelari dengan nama Abu Hanifah yang berarti suci dan lurus, karena sejak kecil
beliau dikenal dengan kesungguhannya dalam beribadah, berakhlak mulia, serta menjauhi
perbuatan-perbuatan dosa dan keji. Dan mazhab fiqihnya dinamakan Mazhab Hanafi.

Guru-guru yang pernah beliau temui antara lain adalah : (Hammad bin Abu
Sulaiman Al-Asy’ari (W. : [120 H/ 738M]) faqih kota “Kufah”, ‘Atha’ bin Abi Rabah (W. :
(114 H/ 732 M) faqih kota “Makkah”, ‘Ikrimah’ (W104 H/ 723 M) maula serta pewaris
ilmu Abdullah bin Abbas, Nafi’ (W. : [117 H/ 735 M]) maula dan pewaris ilmu Abdullah
bin Umar serta yang lain-lain. Beliau juga pernah belajar kepada ulama’ “Ahlul-Bait”
seperti missal : Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir
([57-114 H/ 676-732 M]), Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/ 699-765 M) serta
Abdullah bin Al-Hasan. Beliau juga pernah berjumpa dengan beberapa sahabat seperti
missal : Anas bin Malik (10 SH-93 H/ 612-712 M), Abdullah bin Abi Aufa (w. 85 H/ 704
M]) di kota Kufah, Sahal bin Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/ 614-697 M) di kota Madinah
serta bertemu dengan Abu Al-Thufail Amir bin Watsilah (W 110 H/729 M) di kota
Makkah.

Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani,
guru Imam Syafi’i. Melalui goresan tangan para muridnya itu, pandangan-pandangan Imam
Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam, bahkan menjadi salah satu mazhab yang
diakui oleh mayoritas umat Islam.
a. Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang menggagas fiqih perkiraan
(prediksi), dengan memaparkan masalah-masalah yang belum terjadi pada masa
selanjutnya dan menjelaskan hukum-hukumnya dengan harapan apabila kasusnya
terjadi maka hukumnya telah ada, sehingga ilmu fiqih bertambah luas dan
lapangannya bertambah berkembang. Dengan model pengembangan fiqih seperti
ini, madzhab Abu Hanifah merupakan gambaran yang jelas dan nyata tentang
persamaan hukum-hukum fiqih dengan pandangan masyarakat di semua lapisan
kehidupan.

Madzhab Abu Hanifah mendasarkan madzhabnya pada al-Qur’an, sunnah,


ijma’, qiyas, dan istihsan. Dalam hal ini beliau berkata, “Saya memberikan hukum
berdasarkan alQur’an. Apabila tidak saya jumpai dalam al-Qur’an, maka saya
gunakan hadits Rasulullah. Jika tidak ada dalam keduanya (alQur’an dan hadits)
saya dasarkan pada pendapat para sahabat. Saya berpegang pada pendapat salah satu
sahabat yang lebih kuat, dan jika tidak ada pendapat sahabat maka saya akan
berijtihad”

Di bagian akhir ungkapan Abu Hanifah, dapat disimpulkan bahwa beliau


Metode Ijtihad dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah YUDISIA, Vol. 5, No. 2,
Desember 2014 221 menggunakan ijtihad dan pikiran, serta bagaimana pula
penggunaan pikiran untuk membuat perbandingan di antara pendapat-pendapat dan
memilih salah satu dari pendapat yang paling kuat.

Cara beliau berijtihad dan menggunakan pikiran terlihat dari bagaimana


beliau memposisikan al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan. Ada sebagian
kalangan yang menyangka bahwa Imam Abu Hanifah itu sedikit perbendaharaan
haditsnya dan beliau tidak meriwayatkan kecuali 17 hadits saja. Ternyata ini adalah
pendapat yang salah, karena yang benar adalah bahwa beliau meriwayatkan hadits
secara sendiri 215 hadits selain yang dikeluarkan secara berserikat bersama imam-
imam lain. Beliau memiliki kitab musnad yang di dalamnya diriwayatkan sebanyak
118 hadits dalam bab shalat saja.
b. Karakteristik Fiqih Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahli Ra’yi. Meskipun beliau
pernah bermukim di Mekkah dan mempelajari hadis-hadis nabi, serta ilmu-ilmu lain
dari para tokoh yang beliau jumpai, akan tetapi pengalaman yang beliau peroleh
dari sekitar Kufah digunakan untuk memperkaya koleksi hadis-hadisnya, sementara
metodologi kajian fiqhnya mencerminkan aliran Ahli Ra’yi yang beliau pelajari dari
Imam Hammad,
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama dan kedua. Apabila beliau
tidak menemukan ketentuan yang tegas tentang hukum persoalan yang dikaji dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah, maka beliau mempelajarinya dari perkataan sahabat baik
dalam bentuk ijma’ maupun fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakan secara
eksplisit tentang persoalan-persoalan tersebut, maka beliau mengkajinya melalui
qiyas dan istihsan, atau melihat tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyarakat
yang dipegang oleh mereka.

Beliau pernah berkata, “Aku mengambil hukum berdasarkan al-Qur’an,


apabila tidak saya jumpai dalam alQur’an, maka aku gunakan as-Sunnah dan jika
tidak ada dalam kedua-duanya (al-Qur’an dan as-Sunnah), maka aku dasarkan pada
pendapat para sahabat dan aku tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan tetap
berpegang kepada pendapat satu saja.” Beliau juga berkata: “Aku berijtihad
sebagaimana mereka
berijtihad dan berpegang kepada kebenaran yang didapat seperti mereka juga.”

Ada beberapa karakteristik yang dijadikan pegangan oleh Imam Abu hanifah
dalam membangun madzhabnya, di antaranya adalah:(Ahmad asy-
Syurbasyi,2001:20-21)

Pertama, menjaga hak-hak fakir miskin. Contoh: ketentuan wajib zakat


pada pakaian yang terbuat dari emas dan perak, serta tidak diwajibkan zakat pada
orang yang mempunyai hutang.

Kedua, kemudahan dalam beribadah dan dalam pekerjaan sehari-hari.


Contohnya adalah hukum menghadap kiblat: ketika di malam yang gelap atau pada
saat susah ketika
menentukan arah kiblat. Seseorang yang shalat dalam kondisi demikian, kemudian
dia shalat sesuai keyakinannya, maka hukum shalatnya sah sekalipun ternyata ia
tidak menghadap kiblat. Dengan syarat dia sudah berusaha mencari arah kiblat.

Ketiga, memelihara kehormatan dan perikemanusiaan. Contohnya: bagi


anak-anak perempuan yang sudah mencapai umur untuk mencari pasangan hidup
tanpa ada paksaan dari wali. Perkawinan yang dilakukan secara paksa terhadap anak
perempuan, hukumnya tidak sah jika ia menolak perkawinan tersebut.

Keempat, memberikan kuasa penuh kepada pemerintah dan pemimpin-


pemimpin negara. Contoh: pemerintah, kerajaan atau pemimpin negara berhak
mengendalikan kekayaan negara seperti tanah dan sebagainya untuk kepentingan
umum. Pemerintah atau pemimpin yang berkuasa juga berhak memberikan hadiah-
hadiah kepada pejuang-pejuang atau prajurit-prajurit sebagai penghargaan kepada
mereka.

Kelima, mengakui peradaban hidup manusia. Contohnya: pengakuan


keislaman anak-anak yang belum akil sebagai orang Islam yang sempurna sama
seperti orang dewasa juga. Contoh lain adalah bagi orang yang menerima wasiat
hendaknya menjaga harta anak yatim dan menjalankan perniagaan dengan harta
anak yatim tersebut sesuai prinsip amanah.

B. Madzhab Imam Malik

Malik bin Anas bin Malik, Imam maliki di lahirkan di Madinah al Munawwaroh.


sedangkan mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii
dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H.
ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam Malik dilahirkan pada 95 H.
sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Ia menyusun
kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama
waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan
600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib
bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan
Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.

Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang
lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i,
Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj.
Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan
Abi Ishaq.

Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul
Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar,
dan lain-lain. Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu
Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya
al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats
Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-
lain.

a. Metode Ijtihad Imam Malik

Dasar Ijtihad atau Sistematika sumber Istinbāţh Imam Malik, pada dasarnya
ia tidak menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau madzhabnya
menyusun sistematika Imam Malik.

Adapun metode-metode lain yang digunakan Imam Malik selain dari empat
sumber (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas) adalah Atsar Ahli Madinah,
Mashlahah al-Mursalah (istishlâh), Qaul Shahâbi (Fatwa sahabat), Khabar Ahad, al-
Istihsân, Sadd Al-Dzarâi, Istishâb, Syaru man Qablanâ (Syariat sebelum Islam).

Sebagaimana qadhi’ iyyad dalam kitabnya al-Mudharrak, sebagai berikut:


“sesungguhnya manhaj Imam dar al-Hijrah, pertama ia mengambil kitabullah, jika
tidak ditemukan dalam kitabullah, ia mengambil as-Sunnah (kategori as-Sunnah
menurutnya hadits-hadits nabi dan fatwa-fatwa sahabat), amal ahli al-Madinah, al-
Qiyas, al-Mashlahah al-Mursalah, Sadd adz-Dzara’i, al-‘Urf dan al-‘Adat”.
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan diuraikan metode-metode atau dasar-dasar yang
digunakan Imam Malik dalam berijtihad :

1. Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan


hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada
ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.
2. Sunnah Rasulullah SAW yang beliau pandang sah.
3. Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang menolak hadits apabila
nyata-nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.
4. Qiyas, yaitu menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena
adanya sebab yang antara keduanya.
Seperti halnya para Ulama mujtahid yang lain Imam Malik juga sepakat menjadikan
empat sumber dalil utama dalam hokum Islam trsebut di atas. Namun beliau berbeda
dengan ulama yang lain dalam penggunaan metode-metode berikut ini :
5. Itsar Ahli Madinah, Ijma ahli Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma ahlul Madinah
yang asalnya dari An-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil
ijtihad ahlul Madinah, seperti tentang ukuran kadar mudd, sho , dan penentuan suatu
tempat, seperti tempat mimbar Nabi Muhammad, atau tempat dilakukannya amalan-
amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma semacam ini
dijadikan hujjah oleh Imam Malik. Menurut Ibnu Taimiyyah, yang dimaksud dengan
ijma ahlul madiinah tersebut adalah ijma ahlul madiinah pada masa lampau yang
menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
amalan-amalan ahli Madinah di kemudian hari, sama sekali tidak dijadikan hujjah oleh
Imam Malik. Di kalangan mazhab Maliki sendiri, ijmaahlil Madiinah lebih diutamakan
dari pada khabar Ahad, sebab ijma ahlil Madinah merupakan pemberitaan oleh
jamaah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan. Ijma Ahlil
Madiinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu
a. Kesepakatan ahli Madinah yang sumbernya dari naql.
b. Amalan ahli Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Sebelum terjadinya
peristiwa pembunuhan Saidina Utsman tersebut, amalan ahli Madinah menjadi hujjah
bagi Imam Maliki.
c. Amalan ahli Madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang
saling bertentangan. Artinya apabila ada dua dalil yang satu sama lain bertentangan,
sedang untuk mentarjih salah satu dari dua dalil tersebut ada yang merupakan amalan
ahli Madinah, maka tarjih itulah yang dimenangkan menurut Imam Maliki. Hal ini
pula yang dilakukan Imam As-Syafii, muridnya. d. Amalan ahli Madinah sesudah
masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Ijma ahlil Madinah seperti ini
bukan hujjah, baik menurut as-Syafi`i, Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah, maupun
menurut para ulama di kalangan mazhab Malik
6. Mashalahah Al-Mursalah (Istishlaah), Abdul Wahab Khalaf mendefiniskan maslahah
mursalahadalah “Sesuatu yang di anggap maslahah umum namun tidak ada ketegasan
hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang
mendukung maupun yang menolaknya”. Dari dua defenisi diatas dapat dipahami
bahwa: a. Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dalam
al-Qur’an maupun hadist. b. Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut
akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan meghindari keburukan.
Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya tidak bertentangan dengan
tujuan syara’ secara umum.
Kehujaan Maslahah Mursalah Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah mursalahah
adalah bukan dalil yang berdiri sendiri. Maslahah mursalah tidak terlepas dari petunjuk
syara’. Ulama tidak akan menggunakan maslahah mursalah dalam menghukumi
sesuatu itu mendatangkan manfaat menurut tinjauan akal dan sejalan dengan tujuan
syara’ (mendatangkan keselamatan ), tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip nash,
maka ketika itu nash harus didahulukan. Dan ketika itu ada maslahah mursalah tidak
dapat digunakan.
Imam Malik dan pengikutnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan
maslahah mursalah sebagai salah satu metode ijtihadnya. Tetapi Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafi’I tidak memakainya sebagai metode ijtihad. Kelompok yang
menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu menerimanya
kecuali maslahah itu memenuhi syarat yang cukup ketat. Syarat yang besifat umum
adalah ketika sesuatu itu tidak ditemukan hukumnya dalam nash yang sharih. Selain
itu, ada syarat-syarat yang bersifat Khusus yang harus di penuhi yaitu: – Maslahah
mursalah itu bersifat hakiky dan bukan maslahah yang bersifat perorangan dan bersifat
zhan, dapat diterima oleh akal sehat bahwa hal itu benar-benar mendatangkan manfaat
bagi manusia dan menghindarkan dari madharat secara utuh dan menyeluruh sejalan
dengan tujuan syara’ tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada baik
dalam al-Qur’an maupun hadist. Contohnya, menjatuhkan talak itu bagi hakim saja
dalam segala keadaan. – Sesuatu yang dianggap maslahah itu hedaknya bersifat
kepentingan umum bukan kepentingan pribadi. – Sesuatu yang dianggap maslahah itu
tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadist dan ijma.
7. Fatwa Sahabat, yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat besar, yang
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql. Ini berarti,
yang dimaksudkan dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadis-hadis yang wajib
diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi
fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian,
beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadis
marfuyang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan
dari pada qiyas. Juga adakalanya Imam Malik menggunakan fatwa tabiin besar
sebagaimana peganngan dalam menentukan hukum. Fatwa sahabat yang bukan hasil
dari ijtihad sahabat, tidak diperselisihkan oleh para ulama untuk dijadikan hujjah,
begitu pula ijma` sahabat yang masih diperselisihkan di antara para ulama adalah fatwa
sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka. Di kalangan mutaakkhirin mazhab
Maliki, fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka dijadikan sebagai hujjah.
8. Khabar Ahad dan Qiyas, Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu
yang datang dari Rasulullah, jika kahabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang
sudah dikenal oleh masyarakat madinah, sekali pun hanya dari hasil istimbat, kecuali
khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang sifatnya qoth`i. dalam
menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik terkadang inkonsisten. Kadang-kadang ia
mendahulukan qiyas dari padakhabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau
tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai
petunjuk bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW.
9. Istihsaan, Dengan digunakannya istihsan dalam mazhab Maliki, maka di antara imam
empat mazhab yang memegang istihsan sebagai sumber hukum adalah Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik. Adapun As-Syafii dan Ahmad tidak menggunakan istihsan
sebagai sumber hukum. Bahkan as-Syafii mendebat keras siapapun yang menggunakan
istihsan sebagai sumber hukum.
10. Sad al-Dzarâi, Imam Malik menggunakan Sadd Ad-Dzarai sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang
haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab
yang menuju kepada halal, maka hukumnya halal.
11. Istishâb, Imam Malik menjadikan istishaab sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau
yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau.
Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya
sesuatu yang telah diyakini sebelumnya, maka keraguan tersebut tidak dapat merubah
status hukum yang lampau. Artinya ia masih tetap berhukum seperti hukum yang lama.
Contohnya seseorang yang sudah dalam posisi berwudhu, ia dalam keadaan suci.
Bahkan diyakini baru saja usai mendirikan shalat. Kemudian ia ragu apakah terjadi
hal-hal yang membatalkan atau tidak. Dalam kasus ini, berlakukan hukum istishaab
yang berarti mengembalikan kepada asal hukum; yaitu adanya wudhu. Jika asalnya
memang tidak berwudhu, kemudian ia ragu apakah detik ini ia memiliki wudhu atau
tidak, maka hukumnya pun kembali pada yang asal, yaitu tidak ada wudhu. Inilah yang
disebut dengan istishaab.
12. Syaru Man Qablanâ, Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa Imam Malik
menggunakan kaidah syaru man qoblanaa syarun lanaasebagai dasar hukum. Tetap
menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam
Malik yang mengatakan demikian. Lebih lanjut menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa
apabila al-Qur’an dan al-Sunnah mengisahkan tentang suatu hukum buat ummat
sebelum ummat nabi Muhammad, maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita.
contoh yang paling sering kita dengar adalah ayat tentang puasa di surat al-Baqarah
ayat 183 yang menjelaskan bahwa puasa ternyata telah diwajibkan pula kepada para
ummat terdahulu, sebelum datangnya syariat nabi Muhammad SAW. Kemudian bila di
dalam al-Quran ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh, maka hukum
syaru man qoblanaa tersebut tidaklah berlaku lagi. Demikianlah pemaparan singkat
dari metode-metode ijtihad yang digunakan oleh Imam Malik.

C. Madzhab Imam Syafi’i

Mazhab Syafi’i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi’i. Ia
wafat pada 767 masehi 158 H.  Selama hidup Beliau pernah tinggal di Baghdad, Madinah,
dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara
rasionalis dan tradisionalis. Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab
Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az
Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia
merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang
mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim
ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-
Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian dia juga belajar dari
Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad
bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id
bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin
menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah
ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji
kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad
bin Syafi’ dan lain-lain. Adapun Murid beliau yang paling terkenal antara lain adalah Imam
ahmad bin hanbal.

a. Metode Ijtihad Imam Syafi’i

Imam Syafi‟I beranggapan bahwa ilmu terdiri dari lima tingkatan, yang saling
berkaitan dengan yang lainnya7 , yaitu:

1. Al-Qur‟an dan as-Sunnah yang autentik (tsabit), karena Imam Syafi‟I hanya mau
mengambil dari al-Qur‟an dan Hadist yang shahih pada satu tingkatan, yang dianggap
sebagai penjelas bagi al-Qur‟an sekaligus memperinci ayatayatnya yang bersifat global.

2. Penggunaan Ijma‟ pada permasalahan yang tidak dijumpai dalilnya, didalam al-
Qur‟an maupun as-Sunnah. Yang dimaksud Ijma‟ disini adalah ijma‟ para ulama yang
dikarunian ilmu khusus dan tidak hanya sebatas ilmu umum. Dengan demikian, ijma‟
mereka dapat dijadikan sebagai hujjah (dasar hukum) bagi orang lain setelah mereka.
mereka berijma‟ tidak hanya berdasarkan logika. Sebab, jika hanya menggunakan logika
semata, pasti mereka akan berselisih dan tidak mungkin bersatu.

3. Pendapat sebagian sahabat Rasulullah SAW, tanpa ada seorang pun diketahui
menentangnya. Oleh karena itu, pendapat sahabat Rasulullah lebih baik daripada pendapat
kita sendiri, jika diriwayatkan melalui sumber yang dijamin selamat dari kesalahan.

4. Perbedaan pendapat para sahabat Rasulullah SAW pada suatu masalah tertentu.
Dengan demikian, sikap kita adalah mengambil pendapat sebagian dari mereka yang lebih
dekat kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah, atau yang ditarjih (diunggulkan) qiyas dan tidak
keluar dari pendapat para sahabat.
5. Qiyas atau suatu permasalahan yang diketahui hukumnya dari salah satu
tingkatan yang telah disebutkan (al-Qur‟an, as-Sunnah, al-Ijma‟). Oleh karena itu, masalah
tersebut diqiyaskan hukumnya disalah satu dari al-Qur‟an dan asSunnah, atau yang
diketahui hukumnya melalui jalan ijma‟, atau pendapat mereka yang berbeda dari pendapat
sahabat lainnya.

D. Madzhab Imam Ahmad

Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-
Syaibani. Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak,
pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat peradaban dunia dimana para
ahli dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu.
Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di
lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki
lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang
besar pula.

Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad
Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-
Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin `Uyainah,
Abdurrazaq, serta Ibrahim bin Ma’qil.

Adapun muridnya adalah Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal Abdullah bin Imam
Ahmad bin Hambal  Keponakannya, Hambal bin Ishaq.

a. Metode Ijtihad Imam Ahmad

Sumber pertama adalah nash Alquran dan hadis. Pada tahap ini, Mazhab


Hanbali sama dengan mazhab fikih lainnya. Karena memang sumber pertama ini
merupakan pusat utama ajaran Islam lahir.

Sumber kedua adalah fatwa para sahabat Nabi yang tidak menimbulkan
perbedaan pendapat. Posisi para sahabat merupakan orang-orang istimewa dan
terbaik dibandingkan umat Islam pada umumnya.
Selain itu, juga karena para sahabat ini yang menemani dan menyaksikan
perjuangan Nabi. Sehingga bisa disebut mereka orang paling paham terhadap
maksud dan kehendak Nabi. Contoh fatwa para sahabat adalah diterimanya
persaksian seorang budak.

Sumber ketiga adalah memilih fatwa sahabat yang lebih cocok dengan nash.
Ini disebabkan adanya perbedaan pendapat para sahabat dalam suatu permasalahan.

Jika dicermati, dengan sumber ketiga ini sudah terlihat akan komitmen
Mazhab Hanbali, khususnya Imam Ahmad sendiri dalam berfatwa dengan lebih
memprioritaskan nash ketimbang sumber hukum yang lain.

Abu Zahrah mengatakan bahwa pada tahap ini, Imam Ahmad bin Hanbal
berbeda dengan Imam Syafi’i. Bagi Imam Syafi’i, ketika mendapatkan perbedaan
fatwa sahabat, maka memilihnya dengan cara tarjih, yakni memilih pendapat yang
lebih kuat meskipun harus menempuh dengan metode qiyas (analogi). Maka,
pendapat sahabat yang lebih kuat dan cocok dengan qiyas tersebut akan dipilihnya.

Cara tersebut berbeda dengan Imam Ahmad yang memilih pendapat sahabat
yang tidak bertentangan dengan nash Alquran dan hadis. Dia tidak menggunakan
metode qiyas layaknya Imam Syafi’i, karena baginya posisi qiyas berada di bawah
fatwa para sahabat.

Sumber keempat adalah Hadis Mursal, yaitu hadis yang dalam rentetan


perawinya tidak disebutkan nama sahabat, atau Hadis Dlaif (lemah) yang tingkat
kelemahan tak separah Hadis Maudlu’ (palsu). Dari sini pula Imam Ahmad terlihat
lebih mendahulukan sumber ini ketimbang qiyas.

Sumber kelima adalah metode qiyas. Sumber ini merupakan cara terakhir


dalam menjawab permasalahan umat jika memang jawabannya tidak ditemukan di
dalam nash, fatwa sahabat, pendapat tabi’in, atau riwayat-riwayat yang disandarkan
kepada Nabi yang keabsahaannya masih dipersoalkan.

Bagi Imam Ahmad, mengamalkan Hadis Dlaif dalam cakupan fadlailul


a’mal (keutamaan perbuatan) sah-sah saja selama kelemahan hadis tersebut tidak parah.
Berbeda jika berkaitan dengan penetapan hukum syari’at, maka Hadis yang dijadikan dasar
harus Hadis Shahih.

Pengambilan lima sumber hukum dalam Mazhab Hanbali ini bersifat hirarkis. Artinya
harus berurutan secara tertib dari sumber pertama sampai terakhir.
Dari sini bisa terlihat, porsi akal dalam penetapan fatwa bagi Mazhab Hanbali
sangat sedikit, dan lebih banyak memberikan porsi nash dan riwayat-riwayat perkataan
sahabat dan tabi’in.

Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah menyatakan, mazhab Hanbali


memperketat dan meminimalisir ruang ijtihad (penafsiran). Karena bagi mereka, selama
masih ada nash atau riwayat para sahabat dan tabi’in yang dapat dijadikan pijakan dalam
mengeluarkan fatwa ruang ijtihad makin sempit.

Mazhab Hanbali mencukupkan diri dengan memahami teks-teks tersebut berdasarkan


riwayat yang dihafalkan dan diwariskan dari masa ke masa. Makanya kemudian mereka
mengklaim sebagai mazhab berhaluan (manhaj) salaf, di mana mereka (orang-orang salaf)
begitu memprioritaskan nash dan fatwa sahabat dalam menyelesaikan persoalan
keagamaan.

Dengan kata lain, Mazhab Hanbali begitu menekankan nash dan riwayat-riwayat


tersebut untuk dijadikan solusi dalam menjawab fenomena keagamaan seiring
perkembangan zaman.

Pengikut mazhab Hanbali cenderung menolak kegiatan ibadah yang tidak


ditemukan di dalam riwayat-riwayat nash. Sebab bagi mereka, riwayat-riwayat tersebut
merupakan cerminan atas kehidupan umat Islam pada masa Nabi Muhammad.

Adanya riwayat hadis yang membahas larangan membuat ibadah baru dalam
agama, makin menguatkan pandangan mereka dalam mengkritik kegiatan ibadah yang
belum ada riwayat dari orang-orang salaf.

Sehingga, jika terdapat kegiatan ibadah yang tidak ada contohnya berdasarkan
riwayat-mereka akan menolak, bahkan mengkritik dan menyalahkannya. Gaya hidup dan
ekspresi keberagamaan mereka disesuaikan dengan orang-orang yang ada dalam zaman
periwayat nash. Contohnya seperti kehidupan di Saudi Arabia.

Oleh karena itu, dapat disingkat jika mazhab ini cenderung tekstual dalam
memahami nash dan riwayat-riwayat yang disandarkan pada sahabat dan tabi’in.
7. Periode Keemasan, Periode Kemunduran, dan Periode Kebangkitan

A. Periode Keemasan (Abad ke 3 - 9 H)

              Pada  periode ini muncul lah ulama-ulama besar yang menisbatkan diri ke
madzhab tertentu di antaranya : Dari kalangan Syafiiyyah seperti Imam An Nawawi, Imam
a-Muzani, Imam Ibnu hajar al Asqolani, Ibnu hajar al haistami dan lain-lain. Dari Kalangan
Hanafiyyah seperti Imam Abu Yusuf, Imam As syaibani, Imam al Maruzi dan lain lain.
Dari kalangan Hanabilah seperti Imam Ibnu Qoyyim, Ibnu taimiyyah, Ibnu Rojab dan lain
lain. Dari kalangan Malikiyyah seperti Imam Ibnu Qosim, Imam Syahnun, Imam Ibnu
Rusyd dan lain lain.

            Mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama abad ke 3 -9 telah banyak kitab
yang membahasnya, masing masing menguatkan prndapat Imam mazhabnya, walau tak
jarang ada sebagian ulama yang berbeda dengan imam mazhabnya.

B. Periode Kemunduran (Abad ke 10 – 13 H)

Pada periode ini, Madzhab mengalami kemunduran karena faktor penjajahan di


dunia islam, dan tidak kuatnya kekuasaan muslim pada saat itu di bawah kepemimpinan
daulah usmaniyyah pada periode akhir.

C. Periode Kebangkitan (Abad ke 14 – Sekarang)

Pada periode ini, madzhab mengalami kebangkitan kembali, di mulai dengan


munculnya para ulama dengan kitab-kitabnya yang terkenal seperti Syekh Wahbah Zuhaili,
Syekh Muhammad bin Sholeh al Usaimin, Syekh Yusuf al Qordhowi, Syekh Ali Jum’ah
dan lain lain, ada yang masih mengukuti dan selaras dengan metodologi para Imam
madzhab yang empat, adapula yang mulai berusaha keluar dari metodologi para ulama
terdahulu karena pertimbangan zaman
Kesimpulan

Menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa
hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah
(qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama
lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Meskipun beliau pernah bermukim di Mekkah dan mempelajari hadis-hadis nabi, serta
ilmu-ilmu lain dari para tokoh yang beliau jumpai, akan tetapi pengalaman yang beliau peroleh
dari sekitar Kufah digunakan untuk memperkaya koleksi hadis-hadisnya, sementara metodologi
kajian fiqhnya mencerminkan aliran Ahli Ra’yi yang beliau pelajari dari Imam Hammad,
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama dan kedua.

Beliau pernah berkata, “Aku mengambil hukum berdasarkan al-Qur’an, apabila tidak
saya jumpai dalam alQur’an, maka aku gunakan as-Sunnah dan jika tidak ada dalam kedua-
duanya (al-Qur’an dan as-Sunnah), maka aku dasarkan pada pendapat para sahabat dan aku
tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang kepada pendapat satu saja.” Beliau
juga berkata: “Aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad dan berpegang kepada kebenaran
yang didapat seperti mereka juga.”

Itsar Ahli Madinah, Ijma ahli Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma ahlul Madinah
yang asalnya dari An-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahlul
Madinah, seperti tentang ukuran kadar mudd, sho , dan penentuan suatu tempat, seperti tempat
mimbar Nabi Muhammad, atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di
tempat yang tinggi dan lain-lain.

Selain itu, ada syarat-syarat yang bersifat Khusus yang harus di penuhi yaitu: – Maslahah
mursalah itu bersifat hakiky dan bukan maslahah yang bersifat perorangan dan bersifat zhan,
dapat diterima oleh akal sehat bahwa hal itu benar-benar mendatangkan manfaat bagi manusia
dan menghindarkan dari madharat secara utuh dan menyeluruh sejalan dengan tujuan syara’
tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada baik dalam al-Qur’an maupun
hadist.

Fatwa sahabat yang bukan hasil dari ijtihad sahabat, tidak diperselisihkan oleh para
ulama untuk dijadikan hujjah, begitu pula ijma` sahabat yang masih diperselisihkan di antara
para ulama adalah fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka.
Khabar Ahad dan Qiyas, Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang
datang dari Rasulullah, jika kahabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal
oleh masyarakat madinah, sekali pun hanya dari hasil istimbat, kecuali khabar ahad itu
dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang sifatnya qoth`i.

Al-Qur‟an dan as-Sunnah yang autentik (tsabit), karena Imam Syafi‟I hanya mau
mengambil dari al-Qur‟an dan Hadist yang shahih pada satu tingkatan, yang dianggap sebagai
penjelas bagi al-Qur‟an sekaligus memperinci ayatayatnya yang bersifat global.

Dengan demikian, sikap kita adalah mengambil pendapat sebagian dari mereka yang
lebih dekat kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah, atau yang ditarjih (diunggulkan) qiyas dan tidak
keluar dari pendapat para sahabat.

Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di
lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki lingkungan
yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.

Pada periode ini, madzhab mengalami kebangkitan kembali, di mulai dengan munculnya
para ulama dengan kitab-kitabnya yang terkenal seperti Syekh Wahbah Zuhaili, Syekh
Muhammad bin Sholeh al Usaimin, Syekh Yusuf al Qordhowi, Syekh Ali Jum’ah dan lain lain,
ada yang masih mengukuti dan selaras dengan metodologi para Imam madzhab yang empat,
adapula yang mulai berusaha keluar dari metodologi para ulama terdahulu karena pertimbangan
zaman.
BAB 4

MEMAHAMI ISLAM PADA PERIODE ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

Latar Belakang

Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam telah


memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah
wafatnya Rosulullah. Ada beberapa factor yang menyebabkan munculnya berbagai golongan
dengan segala pemikiranya. Diantaranya adalah faktor poitik sebagaimana yang telah terjadi
pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan
golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain
sebagai reaksi dari golongan satu pada golingan yang lain.

Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda antara satu


dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor Al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada
juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada
wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu.
Dan ada juga yang mnamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.

Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan yang
dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam
Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari yang merupakan pendiri aliran Asy’ari
dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Aliran Asy’ariah
dan Maturidiyah inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
PEMBAHASAN

A. Sejarah asy’ariyah dan Maturidiyah

1. Sejarah Asy’ariyah

Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua abad ke-10
(awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah dan Salafiyah, mangaku
termasuk golongan ahlus sunnah wal jama’ah. Aliran asy’ariyah dibangun oleh Abu Hasan Ali
ibn Ismail Al-Asy’ari ( 873-935M ). Pada mulanya, Al-Asy’ari adalah seorang tokoh Mu’tazilah.
Karena itulah, menurut Al-Askari, Al-Juba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan
kepada Al-Asy’ari[1]. Ini merupakan indikasi bahwa Al-Asy’ari  sebagai salah seorang pengikut
Mutazilah yang tangguh.

Namun, karena sebab-sebab yang tidak begitu jelas, Al-Asy’ari, walaupun telah puluhan
tahun menganut paham Mu’tazilah, ia akhirnya meninggalkan ajaran tersebut. Ada dua faktor
yang menjadi penyebab keluarnya Asy’ari dari aliran Mu’tazilah.

Pertama faktor subyektif, yaitu pengakuan Al- Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan
Rasulullah SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, malam ke-20, malam ke-30 bulan
Ramadhan.Dalam tiga mimpinya itu Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham
Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

Kedua faktor obyektif ialah beliau menemukan adanya beberapa pandangan yang
kontroversial dalam aliran Mu’tazilah. Salah satunya adalah dialog Asy’ari dengan al-Juba’i
yang berakhir dengan ketidakpuasan imam Asy’ari karena al-Juba’i tidak bisa menjawab
pertanyaan yang beliau utarakan. Salah satu diaolog itu adalah mengenai kedudukan seorang
mukmin, kafir dan anak kecil.

Sebagaimana yang telah terangkum dalam perdebatan dengan Asy’ari bersama Al-juba’i

Al-Asy’ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut yakni, mukmin, kafir, dan anak kecil
di akhirat ?

Al Jubba’i : Yang mukmin mendapat tingkat baik didalam surga, yang kafir masuk neraka dan
yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi disurga, mungkinkah
itu ?

Al Jubba’i : Tidak yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada
tuhan, sedang si kecil itu belum mempunyai kepatuhan.

Al-Asy’ari : Kalau anak kecil itu mengatakan kepada tuhan, itu bukan salahku. Jika sekiranya
engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik
seperti yang dilakukan orang-orang mukmin.

Al Jubba’i :Allah akan menjawab : Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan
berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukuman. Maka untuk kepentingan mu.
Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai pada umur tanggung jawab.

Al-Asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan Engkau ketahui masa depanku sebagaimana
Engkau ketahui masa depannya.Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?

Dan sampai disini al Jubba’Ii terpaksa diam. Untuk selanjutnya al Asy’ari menjadi
merasa ragu-ragu akan kebenaran doktrin Mu’tazilah yang selama ini beliau anut. Kemudian
beliau mengasingkan diri dirumah selama lima belas tahun untuk memikirkan ajaran-ajaran
Mu’tazilah.

Menurut Ahmad Mahmud Subhi perasaan syak dalam diri al Asy’ari yang kemudian
mendorongnya untuk meninggalkan faham Mu’tazilah ialah karena al Asy’ari menganut
madzhab Syafi’i.yang konsep teologinya berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sebagaiman
dalam pernyataan al Syafi’i bahwa

Al-qur’an adalah tidak diciptakan tetapi bersifat qadim dan Tuhan dapat dilihat diakhirat nanti.

Terlepas dari sebab-sebab diatas, yang jelas ajaran Asy’ariyah  ini muncul sebagai alternatif
yang menggantikan kedudukan ajaran Mu’tazilah yang sudah hilang pasca penghapusannya oleh
Al-Mutawakkil sebagai mazhab negara. Ini menunjukkan bahwa aliran Asy’ariyah muncul
karena kondisi yang menuntut demikian.

Selain oleh Al-Asy’ari, aliran Asy-a’riyah ini dikembangkan pula oleh murid-muridnya
seperti Muhammad Thayyib bin Muhammad Abu Bakr Al-Baqillani, Abd Al-Malik Al-Juwani
(419-478 H), Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (450-505 H), dan Alauddin Al-‘Ijji (w. 756
H).
Sebagai sebuah aliran teologi, Asy’ariyah mempunyai ajaran-ajaran yang banyak diikuti
masyarakat, khususnya yang cenderung mengikutinya. Ajaran-ajaran tersebut dapat diketahui
dari buku yang ditulis Al-Asy’ari sendiri dan para muridnya.

2.  Sejarah Maturidiyah

aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin
Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad
Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian
namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur  al-Maturidi yang
berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya
seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah
Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam
yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah  Wal
Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.

Aliran al-Maturidiyah ini sehenarnya tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah.
Keduanya dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk
memenuhi kehutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas
kaum rasionalis dimana yang berada dibarisan paling depan adalah Mu’iazilah, maupun kaum
tekstualitas yang dipelopori oleh kaum Hanbaliyah (para pengikut Imam Ibnu Hanbal).
Keduanya herbeda pendapat hanya dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas.
Aliran al-Maturidiyah berdiri atas prakarsa al-Maturidi pada tahun pertama abad ke-4 H di
wilayah Samarkand.
Pada awalnya antara kedua aliran ini dipisahkan oleh jarak. aliran Asy’ariyah
berkembang di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas sampai ke Mesir sedangkan aliran al-
Maturidiyah berkembang di Samarkand dan di daerah-daerah seberang sungai (Oxus). Kedua
aliaran mi bisa hidup dalam aliran yang kompleks dan memhentuk suatu mazhab. Nampak jelas
hahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah fiqih kedua aliran ini merupakan
faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (pengikut imam Hanafi
membentengi aliran-aliran Maturidiyah dan mereka kaitkan akarnya sampai pada imam Abu
Hanifah sendiri. Teologi yang juga bermazhab Hanafiyah seperti Maturidi adalah Abu Ja’far al-
Tahawi di Mesir. Dia adalah seorang ulama besar dibidang hadis dan fiqih yang teiah
mengembangkan dogma-dogma teologi yang lebih besar. Lebih dari satu abad, mazhab
Asy’ariyah tetap populer hanya diantara pengikut Syafi‘iyah sementara mazhab Maturidiyah dan
begitu juga Tahawiyah terbatas penganutnya diantara pengikut Hanafi.

Aliran Maturidiah diperkirakan muncul ketika popularitas Mu’tazilah mulai menurun. Pada
masanya, Al-Maturidi menyaksikan terjadinya perdebatan-perdebatan dalam masalah
keagamaan, seperti yang terjadi antara mazhab fiqih Hanafiah dan Syafi’iah, dan juga perdebatan
antara para ahli fiqih dan ahli hadits disatu pihak, dan aliran Mu’tazilah dipihak yang lain.
Menyaksikan perdebatan-perdebatan itu menjadikan Al-Maturidi sangat tertarik untuk
memperdalam masalah teologi.

Al-Maturidi dikenal sebagai pengikut Abu Hanafiah, yang banyak menggunakan rasio dalam
pandangan keagamaannya. Ia memang banyak menggunakan akal dalam sistem teologinya.
Menurut para ulama Hanfiah, dalam bidang akidah, Al-Maturidi mirip dengan pendapat Abu
Hanafiah .

Tokoh lain dari Maturidiyah antara lain Al-Bazdawi, At-Taftazani, Al-Nasafi, dan Ibn Al-
Hamman. Diantara mereka yang terkenal yaitu Al-Bazdawi. Karena itu, dalam aliran
Maturidiyah terdapat dua golongan yaitu Maruridiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.

Dalam masalah teologi, Maturidiyah Samarkand lebih dekat dengan pemikiran mu’tazilah.
Sedangkan dalam masalah sifat-sifat Allah terdapat persamaan antara Al-Maturidi dan Al-
Asy’ariah. Maturidiyah Samarkand sendiri kebanyakan pengikutnya adalah pendukung Al-
Maturidi sendiri.

Maturidiyah Bukhara sendiri dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia


merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Al-
Bazdawi, dalam teologinya tidak selamanya sepaham dengan gurunya, Al-Maturidi. Antara
Maturidiyah Samarkand dan Bukhara terdapat perbedaan yang berkisar pada persoalan
kewajiban mengetahui Allah. Matruridiyah Samarkand kewajiban mengetahui Allah dapat
diketahui dengan akal, sedangkan Maturidiyah Bukhara tidak demikian. Menurut Maturidiyah
Bukhara, kewajiban mengetahui Allah hanya dapat diketahui dengan wahyu, begitu pula dengan
kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat.

B. TEOLOGI ASY’ARIAH DAN MATURIDIYAH

1.      Teologi Asy’ariah

Adapun teologi atau pemikiran-pemikiran dari aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut :

a.       Sifat-sifat Allah

Mengesahkan Allah adalah wajib, namun perbedaan pendapat tentang sifat-sifat Allah
tidak dapat dihindarkan.Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentu imam Asy’ariyah
berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat.Menurut beliau, mustahil tuhan mengetahui dengan
dzat-Nya karena dengan demikian dzat-Nya adalah pengetahuan dan tuhan sendiri adalah
pengetahuan.
Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim).Tuhan mengetahui
dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah dzat-Nya.

Dalam rumusan tersebut, rumusan yang diberikan oleh Al-Asy’ari membuat kita bisa
mengibaratkannya dengan seorang laki-laki, katakanlah si A. Wujud si A hanya satu,
sendiri,tetapi ia memiliki sifat-sifat dan juga perbuatan-perbuatan, akan tetapi sifat-sifat itu
bukanlah wujud dari si A.

Pengkiyasan semacam ini tidak bisa diartikan sebagi pemersamakan antara tuhan dengan
manusia, melainkan harus difahami sebagai sesuatu metode yang agak dekat bisa diterima secara
rasio dalam menjelaskan tentang sifat dan zat Tuhan. Asy-Ari’yah sebagai aliran tradisonal yang
memberikan daya kecil kepada akal juga menolak faham-faham Tuhan mempunyai sifat jasmani
dipandang sama dengan sifat jasmani manusia.

Hal ini tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiahnya.Oleh
sebab itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ari mempunyai mata, wajah, tangan serta bersemayam
disinggasana. Namun semua itu la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan
batasnya).

b.      Pelaku Dosa Besar

Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada,
tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang yang berdosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman
dengan demikian bukanlah ia atheis dan bukanlah pula monotheis, tidak teman dan tidaj
musuh.Hal serupa ini tidak mungkin, oleh karena itu pula mungkin bahwa orang yang berdosa
besar bukan mukmin dan pula kafir.

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.Mengingat


kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu
diantaranya.Jika tidak mukmin, ia kafir. Sehinnga al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa
selain kufur.

c.       Dalil Adanya Allah

Menurut Mu’tazilah, alasan manusia harus percaya kepada Allah karena akal manusia sendiri
yang menyimpulkan bahwa Allah itu ada. Sedangkan menurut asy’ariyah, manusia wajib
meyakini Allah karena Nabi Muhammad mengajarkannya bahwa Allah itu ada sebagaimana
yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Jadi, manusia wajib percaya terhadap adanya Allah karena
diperintahkan Allah dan perintah itu ditangkap oleh akal. Di sini Al-Qur’an menjadi sumber
pengetahuan dan akal sebagai instrumennya.

d.      Kekuasaan Allah dan Perbuatan Manusia

Dalam masalah ini Asy’ariah mengambil posisi tengah antara pendapat Jabariah dan
Mu’tazilah. Menurut Jabariah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
perbuatannya, sedangkan menurut Mu’tazilah manusia itulah yang mewujudkan perbuatannya
dengan daya yang diberikan Allah kepadanya. Sebagai jalan keluar dari dua pendapat yang
bertentangan itu, Asy’ari mengambil paham kasb sebagai jalan tengahnya, yang sulit dimengerti,
kecuali bila paham kasb itu dipandang sebagai usaha untuk menjauhi Jabbariah dan Qadariah.
Namun setelah melalui jalan yang berkelok-kelok, akhirnya Asy’ari  menjatuhkan pilihannya
kepada paham Jabbariah.

Kasb yang dimaksud Asy’ari bukan berarti usaha atau perbuatan, tetapi perolehan.
Sebagaimana yang dijelaskannya, suatu perbuatan terjadi dengan perantara daya yang diciptakan
Allah dalam diri manusia, dengan demikian, menjadi perolehan( kasb ) baginya. Perbuatan-
perbuatan manusia bukan diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi oleh Allah, perbuatan yang
diciptakan Allah inilah yang diperoleh manusia, dan kasb, atau perolehan itu juga diciptakan
Allah.

e.       Melihat Allah di Akhirat

Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang
menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dengan mempercayai bahwa Allah bersemayam
di ‘Arsy.Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengikari ru’yatullah
(melihat Allah) di akhirat. Dengan berdalilkan firman Allah Ta’ala:

‫صا ۚ َر َوهُ َو اللَّ ِطيْفُ ْال َخبِ ْي ُر‬


َ ‫ك ااْل َ ْب‬ َ ‫اَل تُ ْد ِر ُكهُ ااْل َ ْب‬
ُ ‫صا ُر َوه َُو يُ ْد ِر‬

“ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan
itu. “ (QS. Al-An’am : 103)

Dan dalam firman Allah yakni surah Qiyamah ayat 22-23 dan surah Al-Araf ayat 143 yang
berbunyi :

ِ َّ‫اِ ٰلى َربِّهَا نَا ِظ َر ‌ةٌ ُوج ُۡوهٌ ي َّۡو َم ِٕٮ ٍذ ن‬


ٌ‫اض َرة‬

” Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.” (QS. Al Qiyamah : 22-23)
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat. Tetapi tidak dapat digambarkan.
Kemungkinan ru’yat dapat dijadikan terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.

Menurut Al-Asy’ari karena Allah adalah Wujud, maka Allah dapat dilihat.Allah
mempunyai sifat al-Bashar, yaitu sifat qadim yang lekat pada Dzat-Nya, tanpa menggunakan biji
mata ataupun alat-alat penglihatan yang dikenal manusia. Sebagaimana pula bahwa Allah
mempunyai sifat Al-Mukhalafah lil Hawadits (tidak sama dengan barang baru/ makhluk),
sehingga Allah tidak memiliki sifat sedikitpun yang mirip dengan sifat mahluk-Nya, dan tidak
bisa digambarkan. Dan kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.

f.       Qodimnya Al-Qur’an

Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam persoalan qadimnya Al-
Qur’an diciptakan (makhluk), dan tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah
yang menyatakan bahwa Al- Qur’an adalah kalam Allah (yang qadimnya tidak
diciptakan).Bahkan, Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi al-Qur’an
adalah qadim.

Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari
mengatakan bahwa walaupun al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu
tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa al-Qur’an bagi
Al-Asy’ari tidak diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengat ayat :

ُ‫ࣖ اِنَّ َما قَوْ لُنَا لِ َش ْي ٍء اِ َذٓا اَ َر ْد ٰنهُ اَ ْن نَّقُوْ َل لَهٗ ُك ْن فَيَ ُكوْ ن‬

“ Sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami hanya
mengatakan kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah sesuatu itu.” (Q.S. An-Nahl:40

g.      Pemakaian Akal dan Wahyu

Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan


wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi peersoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif
dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan
akal.Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.Al-Asy’ari
berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah
mendasarkannya pada akal.

Berbeda dengan Mu'tazilah, kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui
adanya Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk
mengetahui hal-hal tersebut diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya.
Tanpa wahyu, manusia tidak akan tahu.

Jadi dapat dirangkum pokok-pokok ajaran Asy’ariyah ialah :

1. Tentang pelaku dosa besar, tidak menjadi kafir, ia tetap mukmin. Sebagai orang berdosa
masih terbuka pintu taubat untuk memperoleh ampunan-Nya.
2. Mengakui sifat Tuhan bukan Dzat-Nya, maka tuhan mengatuhui bukan dengan dzat-Nya,
melainkan den
3. Soal imamah tidak jauh dengan Khawarij dan Mu’tazilah karena islam sesudah
Rasulullah, maka menunjuk seseorang imam harus didasarkan azas musyawarah dan
pilihan syah.
4. Qur’an bukan diciptakan, Qur’an sebagi kalamullah adalah qadim bukan hadits ataupun
diciptakan, sedangkan al-Qur’an yang terdiri dari huruf-huruf dan suara adalah baru.
5. Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akherat.
6. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan Tuhan.
7. Semua yang diperintahkan adalah baik dan sebaliknya segala sesuatu yang dilarang tuhan
adalah buruk. Namun tidak ada baik dan buruk secara mutlak, karena semuanya itu
menurut perintah Allah.
8. Keadilan Tuhan adalah kekuasaan mutlak yang tanpa batas itu, adalah adil kalau tuhan
mensurgakan dan menerakakan semua orang.
9. Tuhan menghendaki kebaikan dan keburukan.
10. Tuhan tidak berkewajiban membuat yang baik dan terbaik dan memberi pahala kepada
orang yang taat dan memberi siksaan atas orang yang durhaka.
11. Kebaikan dan keburukan bukan ditentukan oleh akal melainkan wahyu.
Demikianlah aliran Asy’ariyah tibul dengan semangat perlawanan yang gigih terhadap
kaum Mu’tazilah. Dan untuk perkembangan aliran ini, selanjutnya akan tampak jelas
dalam kaum muslimin yang dikenal dengan ahlus sunnah wal jamaah.

2. Teologi Maturidiyah

Adapun teologi atau pemikiran-pemikiran dari aliran Maturidiyah adalah sebagai berikut

a.       Sifat Allah

Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan
keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan
mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar,
kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-
Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren)
dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud
tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang
qadim (taadud al-qadama).

Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham
Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.

b.      Pelaku Dosa Besar

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah
balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik
tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar
(selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.

c.       Kekuasaan Allah dan Perbuatan Manusia

Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah
ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah
mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang
dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara
ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya
(kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada
pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.

Dalam masalah pemakaian daya ini Al-Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu
adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan
perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang
diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan
Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun
dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.

d.      Melihat Allah di Akhirat

Sama dengan pendapat Asy’ariah, Maturidiah juga mengatakanAllah bisa dilihat pada Hari


Qiyamat. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan
mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di
akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia. Hal ini diberitahukan
oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23 yang berbunyi :
ِ َّ‫اِ ٰلى َربِّهَا نَا ِظ َر ‌ةٌ ُوج ُۡوهٌ ي َّۡو َم ِٕٮ ٍذ ن‬
ٌ‫اض َرة‬

” Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.” (QS. Al Qiyamah : 22-23)

e.       Kedudukan Al-Qur’an

Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang tersusun dengan huruf dan
bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah
sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu
(hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat
dengannya, kecuali dengan suatu perantara.

Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al-qur’an sebagai makhluk Allah,


tapi Al-Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-
Qur’an.

f.       Pemakaian Akal dan Wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam
bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.  Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan
akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui
pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak
mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh
manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh
iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-
ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban
lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk
sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah
mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu
diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu.
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran
wahyu. Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk
karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari
Mutazilah dan Al-Asy’ari.

C. PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

1. Persamaan

a.   Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.

b.   Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.

c.   Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan beranggapan bahwa
al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.

d.   Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari
kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan
wujud-Nya.

e.  Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah ahlu
sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu
sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Sebagian dari
mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan
salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan
mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah[9].”

Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid ahlu
sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Al-Asy’ari dan Al-Maturidi[10].”  

2.      Perbedaan
a.       Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah sedangkan Al-Maturidi
menganut paham Qadariyah

b.      Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-
kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-
kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan

c.  Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa
orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka, sedangkan Al-Maturidi
beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang
durhaka akan mendapat siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui.

Kesimpulan

Kelompok Asy’ariyah dan Maturidiyah muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-
Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap
argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Pokok-pokok
ajaran Asy’ariah dan Maturidiyah pada dasarnya memiliki beberapa perbedaan dan persamaan

Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al-
Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan
Asy’ari yang memberikan otoritas yang seimbang antara akal dan wahyu. Namun demikian di
kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran
yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang
paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu
pengikut al-Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah

Melihat uaraian makalah diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan :

1. Ada dua faktor yang menjadi penyebab keluarnya Asy’ari dari aliran Mu’tazilah dan
munculnya faham Asy’ariyah yakni pertama faktor subyektif, yaitu pengakuan Al- Asy’ari
telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak 3 kali dan alam tiga mimpinya
itu Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela
faham yang telah diriwayatkan dari beliau. Kedua faktor obyektif ialah beliau menemukan
adanya beberapa pandangan yang kontroversial dalam aliran Mu’tazilah.
2. Pemikiran atau doktrin-doktrin dari aliran Asy’ariyah yakni Tuhan dan sifat-sifat-Nya,
Kebebasan dalam berkehendak (free-will), Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk,
Qadimnya Al-Qur’an, Melihat Allah, Keadilan, dan Kedudukan orang yang berdosa besar.
3. Aliran Asy'ariyah sepeninggal pendirinya sendiri mengalami perkembangan dan perubahan
yang cepat karena pada akhirnya, aliran Asy'ariyah lebih condong kepada segi aliran
mendahulukannya sebelum nash dan memberikan tempat yang lebih luas daripada tempat
untuk nash-nash itu sendiri.
4. Tokoh-tokoh dalam aliran Asy-ariyah yang terkenal yakni Al Baqillani (wafat 403 H), Ibnu
Faurak (wafat 406 H), Ibnu Ishak al Isfaraini (wafat 418 H), Abdul Kahir al Bagdadi (wafat
429 H), Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H), Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat
478 H), Al Ghazali (wafat 505 H), Ibnu Tumart (wafat 524 H), As Syihristani (wafat 548
H), Ar Razi (1149-1209 H), Al- Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Al Iji (wafat
756 H / 1359 M), dan AL Sanusi (wafat 895).
5. Dampak positif Asy’ariyah yakni Tuhan dapat dilihat di akhirat sedangkan dampak
negatifnya yakni Anggapan yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar apabila ia meninggal
dan tidak sempat bertobat, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha
Berkehendak Mutlak.
6. Aliran al-Maturidiyah ini sehenarnya tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah.
Keduanya dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama.
7. Pemikiran atau doktrin-doktrin dari aliran Asy’ariyah yakni akal dan wahyu, Perbuatan
Manusia, Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, Sifat Tuhan, Melihat Tuhan, Kalam
Tuhan, Perbuatan Manusia, Pelaku Dosa Besar, dan Pengutusan Rasul.
BAB 5

PENGERTIAN AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

A. Latar Belakang

Aswaja merupakan mata pelajaran khusus bagi satuan pendidikan tertentu. Pembelajaran
Aswaja diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa visi Aswaja adalah untuk mewujudkan
manusia yang berpengetahuan, rajin berinadah, cerdas, produktif, etis, jujur dan adil,
berdeisiplin, toleransi, menjaga keharmonisan, secara personal dan sosial serta mengembangkan
budaya Ahlussunnah wal Jama’ah (amar makruf nahi munkar). Aswaja merupakan salah satu
mata pelajaran yang dalam kajiannya merujuk pada al-Qur’an dan asSunnah. Dalam tahap
pemahaman Aswaja menggunakan cara logis dan rasional, karena mengaitkan materi dengan
pengalaman peserta didik dalam kehidupan sehari-hari bukan dengan dogmatis dan doktrin
tertentu. Pembelajaran Aswaja juga bertujuan untuk mendorong peserta didik supaya mendalami
dan mengamalkan ajaran Islam Ahlusunnah wal Jama’ah, yang diharapkan nantinaya akan lahir
generasi-generasi kiyai yang unggul serta mampu menjadi pilar-pilar kokoh dalam mensyi’arkan
Islam ditengah-tengah masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai tawasut, tawazun,
tasamuh.

Sesuai sabda Nabi yaitu “orang-orang Yahudi bergolong-golong terpecah menjadi 71 atau

72 golongan, orang Nasrani bergolong-golong menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku (kaum
muslimin) akan bergolong-golong menjadi 73 golongan. Yang selamat dari padanya satu
golongan dan yang lain celaka. Ditanyakan ’Siapakah yang selamat itu?’ Rasulullah SAW
menjawab, ‘Ahlusunnah wal Jama’ah’. Dan kemudian ditanyakan lagi, ‘apakah assunah wal
jama’ah itu?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang aku berada di atasnya, hari ini, dan beserta para
sahabatku (diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diamalkan beserta para sahabat).
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah

2.1.1 Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah secara bahasa

Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wal Jamaah. Ada tiga kata yang
membentuk istilah tersebut, yaitu:

1. Ahl, berarti keluarga, golongan, atau pengikut.

2. Al-Sunnah, bermakna al-thariqoh wa law ghaira mardhiyah (jalan atau cara walaupun tidak
diridhoi)
3. Al-Jamaah, berasal dari kata jama’a artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan
sebagian ke sebagian lain. Kata “jama’ah” juga berasal dari kata ijtima’ (perkumpulan), yang
merupakan lawan kata dari tafarruq (perceraian) dan juga lawan kata dari furqah (perpecahan).
Jadi jama’ah adalah sekelompok orang banyak dan dikatakan juga sekelompok manusia yang
berkumpul berdasarkan satu tujuan. Selain itu, jama’ah juga berarti kaum yang bersepakat
dalam suatu masalah.

2.1.2 Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah secara istilah

Menurut istilah “sunnah” adalahsuatu cara untuk nama yang diridhai dalam
agama,yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW atau selain dari kalangan orang yang mengerti
tentang islam.Seperti para sahabat Rasulullah.Secara terminologi aswaja atau Ahlusunnah wal
jama’ah golongan yang mengikuti ajaran rasulullah dan para sahabatsahabatnya.

Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah:


‫بف ُي لم د لسّ رتي بو لسّر د اَ لخفـا دءا رَّا د دي بن دن بع دي‬

“ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafa Rasyidin setelahku”

Menurut Hasyim Asy’ari, dalam istilah syariat (fikih) “Sunnah” artinya sesuatu yang
dianjurkan untuk dilakukakan tetapi tidak wajib. Menurut para ulama Ushul Fiqh, kata “Sunnah”
berarti apapun yang dilakukan, dikatakan, atau ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw, yang dapat
dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum syar’i.

Menurut para ahli kalam (para teolog), “Sunnah” ialah kenyakinan (i’tiqad) yang
didasarkan pada dalil naql (al-quran, hadis, qawl atau ucapan shahabi, bukan semata bersandar
pada pemahaman akal (rasio). Menurut para ahli polotik, “Sunnah” ialah jejak yang ditinggalkan
oleh Rasulullah dan para Khulafa Rasyidin.

Sedangkan jama’ah secara istilah adalah kelompok kaum muslimin dari para dahulu dari
kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari
kiamat. Mereka berkumpul berdasarkan Al-quran dan Sunnahdan mereka berjalan sesuai dengan
yang telah ditempuh oleh Rasulullah baik secara lahir maupun batin. Definisi lain berdasarkan
hadis Rasullallah jama’ah adalah apa yang telah disepakati oleh sahabat Rosul pada masa
Khulafau Rosidi. Pada hadis Nabi ketika menjawab pertanyaan sahabat tentang (akan) adanya
perpecahan menjadi 71 atau 72 golongan, dan yang selamat hanya satu golongan,.yaitu al-
َ ‫بح باب ََّر ب َبفيبف ب دم ا‬
jama’ah. Rasulullah bersabda: ‫ب بَِب‬ ِ ‫بن أب اب بَل َح و‬

“Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai disurga, maka hendaklah ia
mengikuti al-jama’ah (kelompok yang menjadi kebersamaan).” (HR. Al-Tirmidzi (2091), dan al-
Hakim (1/77-78) yang menilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).

Dengan demikian Aswaja adalah golongan pengikut setia Nabi Muhammad SAW dan
sahabatnya, jadi Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada
sunnah Nabi Muhammad SAW dan jalan para sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan,
amalan-amalan lahiriyah serta ahlak baik dan islam murni yang langsung dari Rasullallah
kemudian diteruskan oleh sahabatnya. KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287-1336 H/ 1871-
1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta’liqat (hal. 23-24) sebagai berikut:

‫واَ دـق د َإد ر لهم ا لَِهتِب لو بنا لَِتِب‬ ‫بح ديد• ب‬ ِ َ‫بوا‬ ‫أب ِرأبه ل اَ سسّب د بل هم أبهل اَترـد سيل‬
َ
‫َّ ِر د َءب ل اَّر د يب‬ ‫ب دسُّ لو بن د لسّر د اَّر ديي صفي ا في د وسفم واَ لخفبـب دء بع بُال َّراِ د دي بن بو لهم ا‬
َ‫ب َِد ديسو د بوا‬ َِ ‫ل ب لو ب َوب اَ تِب بعبت اَيبو بم دي بَِا دهَ بّأب بعب ة اَ ب ّح ب دـيسو بن بوا َِر َِد دعيسو بن بوا‬
‫بحَّبفيسو بن‬

“Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih.
Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi Muhammad saw dan
sunnah Khufaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah
alnajiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam
madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali.”

Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang menjadi pendiri ajaran Ahlussunnah
WalJama’ah. Yang ada hanyalah ulama yang telah merumuskan kembali ajaran Islam tersebut
setelah lahirnya beberapa faham dan aliran keagamaan yang berusaha mengaburkan ajaran
Rasulullah dan para sahabatnyayang murni.

2.1.3 Ahlussunnah wal Jamaah menurut para ulama

1. Aswaja Menurut KH Hasyim Asy’ari

KH Hasyim Asy’ari memberikan gambaran tentang ahlussunnah waljamaah sebagaimana


ditegaskan dalam al-qanun al-asasi, bahwa faham ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul
Ulama’ yaitu mengikuti Abu Hasan al-asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi secara teologis,
mengikuti salah satu empat madzhab fiqh ( Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) secara fiqhiyah,
dan bertashawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam al-Ghazali atau Imam Junaid al-
Baghdadi.

Penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul


Ulama’ dapat difahami sebagai berikut:

a. Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari, jangan dilihat dari pandangan ta’rif


menurut ilmu Manthiq yang harus jami’ wa mani’ (‫ )مانع جامع‬tapi itu merupakan gambaran (
‫ )تصــور‬yang akan lebih mudah kepada masyarakat untuk bisa mendaptkan pembenaran dan
pemahaman secara jelas ( ‫)يق تصــد‬. Karena secara definitif tentang ahlussunnah waljamaah para
ulama berbeda secara redaksional tapi muaranya sama yaitu maa ana alaihi wa ashabii.
b. Penjelasan aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari, merupakan implimentasi dari
sejarah berdirinya kelompok ahlussunnah waljamaah sejak masa pemerintahan Abbasiyah yang
kemudian terakumulasi menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh
madzhab yang empat dan bertashuwf al-Ghazali dan Junai al-Baghdadi.
c. Merupakan “Perlawanan” terhadap gerakan ‘wahabiyah’ (islam modernis) di
Indonesia waktu itu yang mengumandangkan konsep kembali kepada al-quran dan as-sunnah,
dalam arti anti madzhab, anti taqlid, dan anti TBC. ( tahayyul, bid’ah dan khurafaat). Sehingga
dari penjelasan aswaja versi NU dapat difahami bahwa untuk memahami al-qur’an dan As-
sunnah perlu penafsiran para Ulama yang memang ahlinya. Karena sedikit sekali kaum m
uslimin mampu berijtihad, bahkan kebanyakan mereka itu muqallid atau muttabi’ baik mengakui
atau tidak.
2. Menurut KH. Said Aqil Siradj

Maka Said Aqil Siradj dalam mereformulasikan Aswaja adalah sebagai metode berfikir
(manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar
modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam
rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik
lagi dihadapan dunia modern.

Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah tidak ada batasan dan ketentuan harus persis seperti Imam
Abu Hasan al-Asy’ari ataupun al-Maturidi namun pilar-pilar paham Ahlu al-Sunnah wa al-
Jamaah ini yang harus dipertahankan dengan demikian perbedaan pendapat dan pandangan
dalam menginterpretasikan sumber agama tidak menjadi jurang pemisah selama masih
memegang pilar-pilar (Rukun) Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaahyaitu ketuhanan

(Uluhiyah), Kenabian (Nubuwah) dan hari akhir (Al Ma’d).19

19 Muhammad Endy Fadlullah, “Ahlu Al-Sunnah Wa Al-Jamaah Dalam Perspektif Said Aqil Siradj”,
(Nidhomul Haq, 2018), h. 42.
Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Ahlu sunnah waljamaah berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan
atau pengikut. Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran
atau amal perbuatan Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan Wal Jama’ah memiliki arti Mayoritas
ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul. Aswaja berarti orangorang atau mayoritas
para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.
2. Aswaja menurut:

A. KH. Hasyim Asyari’ adalah suatu paham berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah,
berfiqh madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali) dan bertashuwf alGhazali
dan Junaid al-Baghdadi. Selain itu dalam mengimplementasikan Aswaja adalah dengan prinsip
at-Tawazun (keseimbangan), at-Tasamuh (toleran), at-Tawasuth (moderat), at-Ta'adul (patuh
pada hokum/adil), dan amar makruf nahi mungkar.
B. KH. Said Aqil Siradj memandang Aswaja adalah sebagai Manhaj al Fikr
(landasan berpikir). Dalam hal inilah Aswaja dapat dipahami sebagai sesuatu yang bisa ditafsiri
secara kontekstual dan lebih modern.
BAB 6

MEMAHAMI SEJARAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

Latar belakang

Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah
Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur
Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka,
Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan,
Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia). Penyebaran Islam semakin berhasil,
khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Sanga. Dari murid – murid Wali Sanga
inilah kemudian secara turun – temurun menghasilkan Ulama – ulama besar di wilayah
Nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar,
Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan lain – lain.

Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman –
merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk
mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita
anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu
aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan
aktualisasinya tertentu.

Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama
halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan
tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan
interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi
berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-
ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan
beraktivitas (hurriyah al-harokah).

Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut
bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul
gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat
dipergunakan dengan cara lain?
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahlussunah waljama’ah


1. pengertian ahlussunah waljama’ah secara bahasa

• Ahlun : keluarga, golongan atau pengikut.


• Ahlussunnah : orang – orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal
perbuatan Nabi Muhammad SAW.)
• Wal Jama’ah : Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengukut sunnah Rasul.

Dengan demikian secara bahasa /aswaja berarti orang – orang atau mayoritas para ‘Ulama atau
umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.

2. Secara Istilah

Berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu
Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut
Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) serta dalam bidang tasawuf menganut pada
Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.

Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam menurut faham
Ahlussunnah wal Jamā’ah mengikuti salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali

Perubahan-perubahan anggaran dasar di atas bukanlah soal yang penting untuk menilai
pokok faham keagamaan NU. Bahkan boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar
hanyalah aspek formal dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas itu terdapat
warna yang sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi inti pokok kehidupan
keagamaan NU.

Jika dilihat dari anggaran dasar NU di atas, tampak jelas bahwa faham Ahlussunah wa
alJama'ah merupakan sistem nilai yang mendasari semua prilaku dan keputusan yang berlaku di
NU. Oleh karena itu, paham ahlussunah waljama’ah (aswaja) tidak hanya dijadikan landasan
dalam kehidupan keagamaan NU, namun merupakan landasan moral dalam kehidupan sosial
politik. Dalam hal ini, ada empat prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan
kemasyarakatan bagi NU yaitu :
1. Tawasuth

2. Tasamuh

3. Tawazun

4. Amar ma’ruf nahi munkar [2]

B. sejarah petumbuhan ahlussunah waljama’ah

Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan tujuan
memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Dengan demikian
antara NU dan Aswaja ( ahlussunah waljama’ah) mempunyai hubungan yang tidak dapat
dipisahkan, NU sebagai organisasi / Jam‘iyyah merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan
Aswaja merupakan aqidah pokok Nahdlatul ‘Ulama.

‘Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang pandai, dalam hal
ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama, sampai Nabi pernah bersabda yang
artinya : “Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham atau dinar,
melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil
bagian yang cukup banyak.”.

Sejak berdirinya tahun 1926, NU telah memproklamirkan dirinya sebagai penganut setia
paham ahlussunah waljama’ah (aswaja) dengan mempertahankan, melestarikan dan
mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya secara eksplisit, tujuan NU adalah
mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah dan melindunginya dari
penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Pernyataan ini terlihat dari Anggaran Dasar NU
sebagai berikut :

”Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe : Memegang dengan tegoeh pada salah
satoe dari mazhabnja Imam Empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik
bin Anas, Imam Aboe Hanifah an Noe’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan
apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.”[3]

Di Indonesia, seorang ‘Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai” yang berarti orang
yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh gelar “Ulama” atau “Kyai”, maka ada 3
kriteria yaitu :

• Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ‘Ulama adalah ketaqwaan kepada Allah
SWT.
• Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Rasulullah SAW, meliputi :
ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya.

• Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari – hari seperti : tekun beribadah,
tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan kepentingan umat & mengabdikan
hidupnya di jalan Allah SWT.

C. Kyai Hasyim Asy’ari dan NU

Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875
tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya
bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal
dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren
Tambakberas di Jombang. Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11
bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya
yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan
ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain;
mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban),
Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).

Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di
Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi,
gurunya di bidang hadis.

Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di
sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng
yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900,
Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi
pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi
juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-
buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim
Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan
mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari
ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi


Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3
Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah
berakhir tugastugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik,
semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.”

Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.


Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di Surabaya
tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama
Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan
tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres
Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924). Kemudian pada Desember 1924
berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh

Komite Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk


mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah.
Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik
Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan
lagi pada 6 Februari 1926 di Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU),
Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari sampai 1
Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam.

Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi


perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam akibat perbedaan
pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furû’iyah (cabang), seperti dilakukan
sebelumnya pada Kongres Umat Islam (Kongres al-Islam Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2
November 1922. Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan
persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah.
KESIMPULAN

Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara


etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi
sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara
evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat
eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini
masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan Al-
Basri (110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam
Al-Syafi’i (205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua
setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan
diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi
teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode
rasional dalam memahami agama. para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja
sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat),
tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan
selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode
berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang
berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan
tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print)
yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.

Anda mungkin juga menyukai