Anda di halaman 1dari 12

KELOMPOK 7 (KHALID BIN WALID)

1. Bagaimana kepemimpinan perjuangan nabi Muhammad SAW selama ia menjadi


pemimpin?

Kepemimpinan Muhammad saw pada masa hidupnya telah memberikan arti penting dalam
sejarah peradaban manusia pada umumnya, dan Islam pada khususnya. Kepemimpinan beliau
dipandang tidak hanya sebatas sebagai pemimpin agama, akan tetapi juga sebagai pemimpin
negara. Dengan kata lain, kepemimpinannya tidak hanya sebagai rasul, melainkan juga
sebagai negarawan.

Kepemimpinan Nabi Muhammad saw Periode Mekkah

1. Muhammad Menjadi Nabi dan Rasul

Sejak Muhammad saw belum menjadi nabi, beliau adalah orang yang tidak pernah cacat
(tercela) di tengah masyarakatnya. Selain karena terlahir dari keluarga mulia, Muhammad
juga selalu dikenal hanya mengerjakan perbuatan yang mulia atau terpuji saja. Di samping
itu, beliau memiliki prestasi sejak usia belia. Beliau menjadi pemersatu umat dalam peletakan
kembali Hajar Aswad, sehingga para pemimpin suku dan masyarakat mengakui beliau
sebagai Al-Amin.[1]

Suatu hari di bulan Ramadan 610 M (hari Senin, 17 Ramadan, menurut Ibnu Sa’d) ketika ia
sedang khusyuk bertafakkur di gua, ia melihat malaikat Jibril dan menyuruhnya membaca.
[4] Di saat inilah wahyu pertama turun, yaitu Surat al-‘Alaq ayat 1-5. Turunnya wahyu
pertama ini berarti beliau telah dipilih Tuhan sebagai Nabi.

Dalam wahyu pertama itu, beliau belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu
agama.[5] Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama,
sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’. Dalam keadaan
menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya.[6]Dengan turunnya perintah
itu, maka Nabi Muhammad telah diangkat menjadi Rasulullah (utusan Allah) yang membawa
misi Islam untuk umat. Dan beliau lah Rasul terakhir serta penutup para nabi.

Di masa awalnya, Islam disiarkan secara rahasia. Namun, pada masa ini banyak juga yang
segera masuk Islam. Orang yang pertama masuk ke dalam Islam adalah istrinya Khadijah,
Abu Bakar, Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah serta Ummu Aiman. Setelah mereka
menyusul Ammar bin Yasir, Khabab bin al-Arat, ‘Utsman bin Affan, ‘Abdurrahman bin
‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, Talhah, Arqam, Sa’id bin Zaid, Abdullah bin Mas’ud, Utsman
bin Mazh’un, Ubaidah dan Shuhaib al-Rumi. Misi rahasia ini berlangsung kira-kira tiga
tahun, selama ini empat puluh orang memeluk Islam. Para pemeluk Islam yang pertama-tama
ini terdiri dari orang miskin, bahkan banyak dari mereka yang berasal dari hamba sahaya. [7]

Pada tahun  ketiga dari kenabian, datang perintah Allah untuk menyiarkan ajaran Islam secara
terbuka.[8] Rasulullah kemudian naik ke atas bukit Shafa, Ia memanggil bangsa Quraisy.
Ketika mereka telah berkumpul, ia minta anggota keluarganya dari Bani Abdu Manaf untuk
mendekat. Lalu, ia berpidato: “Apakah saudara-saudara percaya bila kukabarkan bahwa ada
bala tentara musuh yang mendekat dari balik bukit?” “Tentu kami percaya, karena engkau
selalu jujur”, jaawab mereka serentak. Kemudian Nabi meneruskan, “kamu sekalian adalah
orang yang terdekat kepadaku dari suku Quraisy. Saya minta saudara untuk bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah, bila saudara menolak maka saya tidak akan menolong kamu
sekalian baik di dunia maupun di akhirat kelak. Bila saudara beriman kepada Tuhan yang
Maha Esa, saya akan menjadi saksi bagi saudara sekalian di hadapan Allah. Bila saudara
mengabaikan ajaran Allah, maka tentu saudara akan celaka”. Begitu Nabi diam, tiba-tiba Abu
Lahab, salah seorang paman Nabi berkata dengan marah: “Celaka engkau hai Muhammad!
Hanya untuk inikah engkau panggil kami?” Lantas mereka bubar meninggalkan bukit Shafa
dan tidak ambil peduli terhadap apa yang diucapkan oleh Muhammad saw.[9]

Suatu hari Nabi saw pergi ke Ka’bah di Masjidil Haram dan mengucapkan kalimat syahadah
dengan suara yang keras. Lalu tindakan ini dipandang sebagai penghinaan yang amat besar
terhadap Ka’bah dan adapt istiadat Quraisy, maka muncullah kerusuhan dan orang kafir
mulai menyerang Rasul. Harits bin Abi Hala yang telah memeluk Islam, segera keluar rumah
hendak menyelamatkan Rasulullah, tetapi beliau malah terbunuh menjadi syahid.
[10] Begitulah  penentangan para kafir Quraisy kepada Rasul dan muslimin. Namun
Muhammad saw dan pengikutnya tetap meneruskan misi Islam secara terbuka. Seiring itu,
penindasan dan penganiayaan yang tidak manusiawi terhadap kaum Muslimin makin lama
makin menigkat. Orang-orang Quraisy bahkan semakin semangat berusaha dengan sekuat
tenaga untuk menghancurkan misi Nabi saw. Orang-orang yang berpengaruh seperti Abu
Bakar, Utsman dan Zubair juga tidak terkecuali. Orang-orang muslim yang miskin banyak
ditangkapi lalu dilempari batu kerikil di lembah yang amat panas dan dijemur di bawah terik
matahari pada siang hari. Bilal, budak dari Abyssinia milik orang kafir Mekkah, dipaksa tidur
telentang di atas pasir yang membara di tengah hari, lalu dadanya ditindihi batu besar
sehingga ia tidak bisa menggerakkan anggota badannya sedikitpun. Kemudian Bilal diminta
untuk melepaskan keislamannya, namun ia tetap bertahan dalam ketauhidannya walaupun
tengah disiksa. Lantas Abu Bakar membeli  budak ini dan memerdekakannya.[11]

Secara umum, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh kafir Quraisy untuk menghalangi
Nabi Muhammad dalam  menjalankan misi Islam di Mekkah, yaitu:

1.      Diantara upaya Quraisy yang halus

a.    Melakukan negosiasi kepada Abu Thalin agar Muhammad menghentikan misinya.

b.   Menawarkan kepada Muhammad apa saja yang diinginkan baik harta, wanita, kedudukan,
atau dokter kalau memang beliau memiliki kelainan jiwa.

c.    Menawarkan ibadah secara bergantian.

2.      Diantara upaya yang agak kasar:

a.    Mencemooh, menghina, melecehkan, mendustakan, serta menertawakan, seperti


menuduh Muhammad sebagai orang gila.

b.   Melontarkan propaganda palsu dengan mengatakan bahwa ajaran Muhammad adalah
dongeng orang-orang terdahulu.

3.      Diantara upaya atau tidakan yang kasar

a.    Menebar duri di tempat Rasulullah lewat.


b.   Melakukan penyiksaan kepada beberapa pengikut Islam.

c.    Blokade multidimensi

d.   Upaya pembunuhan terhadap Muhammad saw.[12]

Demikianlah tantangan yang dihadapi Muhammad sebagai Rasul dalam menyebarkan ajaran
Islam di Mekkah. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang Quraisy
menentang seruan Islam, yaitu:

1.      Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira
bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani
Abdul Muthalib. Yang terakhir ini (tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib)
sangat tidak mereka inginkan.

2.      Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal
ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.

3.      Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan
pembalasan di akhirat.

4.      Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.

5.      Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezki.[13]

Ketika terus menerus bangsa kafir Quraisy melakukan penyiksaan sampai tak tertahankan
oleh para pemeluk Islam yang baru, maka mereka datang  menemui Nabi saw memohon izin
untuk pergi ke negeri tetangga menyeberangi laut merah yakni ke Abyssinia (sering juga
disebutkan Habsyi atau Habsyah, sekarang Ethiopia). Nabi mengabulkan permohonan izin
tersebut. Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian, 15 orang (11 lelaki, 4 perempuan)
berangkat ke Abyssinia dalam rombongan pertama. Tidak berapa lama disusul rombongan
kedua, sehingga jumlah semua rombongan kira-kira 80 orang.[14]

Orang-orang yang hijrah diterima dengan baik dan ramah oleh raja Abyssinia, Negus. Orang-
orang Quraisy cukup tergoncang mengetahui kejadian ini, maka tambah meruncinglah rasa
permusuhan mereka. Mereka mengutus ‘Amr bin bin ‘Ash dan ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah
sebagai utusan kepada Negus. Kedua utusan tersebut memohon dengan sangat di hadapan
sang raja untuk menolak atau mengembalikan muhajirin (muslim yang hijrah ke Abyssinia).
Akan tetapi, upaya tersebut gagal, sehingga membuat Quraisy semakin kejam terhadap kaum
muslimin. Bahkan, di tengah menigkatnya kekejaman kafir Quraisy, semakin banyak orang
memeluk Islam. Ditambah lagi masuknya dua tokoh besar Quraisy ke dalam agama ini, yaitu
Hamzah dan Umar. Masuknya dua tokoh ini membuat Islam semakin kuat.

Menguatnya posisi umat Islam, memperkeras reaksi orang musyrik Quraisy. Mereka
menempuh cara baru untuk melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada Bani
Hasyim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum muslimin yang dipimpin Muhammad,
maka mereka harus melumpuhkan Bani Hasyim terlebih dahulu secara keseluruhan. Cara
yang ditempuh adalah pemboikotan.

2. Pemboikotan Bangsa Quraisy Terhadap Bani Hasyim


Orang-orang kafir Mekkah telah menguras tenaga untuk menganiaya, melukai dan
menghukum Muhammad dan pengikutnya. Sehingga, cara lain yang mereka lakukan adalah
melakukan pemboikotan terhadap Bani Hasyim. Pada tahun ketujuh kenabian, seluruh
pemimpin Mekkah menyusun kesepakatan untuk pemboikotan tersebut. Kesepakatan ini
ditulis oleh Manshur bin ‘Ikrimah dan ditanda tangani oleh seluruh pemimpin Mekkah.
Setelah itu, hasil kesepakatan tersebut digantungkan di Ka’bah. Adapun isi dari kesepakatan
tersebut adalah mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan Bani Hasyim. Tidak
seorang penduduk Mekkah pun yang diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan
suku ini, termasuk menjual makanan. Akibat boikot tersebut, Bani Hasyim menderita
kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan yang sangat menyedihkan. Tindakan yang dilakukan
mulai tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama tiga tahun.[15] Ini merupakan tindakan
yang paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.

Pemboikotan tersebut baru berhenti setelah beberapa pemimpin Mekkah menaruh belas
kasihan kepada Bani Hasyim dan akhirnya merusak lembaran kesepakatan yang
digantungkan di Ka’bah, sebagiannya telah dimakan rayap.[16] Setelah boikot dihentikan,
Bani Hasyim seakan dapat bernafas kembali dan pulang ke rumah masing-masing. Namun,
tidak lama kemudian Abu Thalib, paman Nabi yang merupakan pelindung utamanya wafat.
Tiga hari setelah itu, Khadijah istri Nabi meninggal dunia pula. Peristiwa ini terjadi pada
tahun kesepuluh kenabian. Tahun ini merupakan tahun kesedihan (‘ammul huzn) bagi Nabi
Muhammad saw. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraisy tidak segan-segan lagi
melampiaskan permusuhannya kepada Nabi. Melihat reaksi penduduk Mekkah demikian,
beliau kemudian berusaha menyebarkan ajaran ke luar kota. Lalu ia pergi ke Thaif.[17]

Pada saat Nabi Muhammad sampai di Thaif, para kepala suku menolak bahkan
mendengarkan saja pun enggan, bahkan mereka menghina dan menghadapi Nabi dengan
kasar. Ketika Nabi meninggalkan kota ini, mereka menghasut kaum gelandangan untuk
melempari Nabi dengan batu hingga terluka bagian kepala dan badannya.[18]

Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra’ dan memi’rajkan beliau
pada tahun kesepuluh kenabian itu. Berita tentang isra’ mi’raj ini menggemparkan
masyarakat Mekkah.[19] Bagi orang kafir, ini dijadikan bahan propaganda untuk
mendustakan Nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, hal ini merupakan ujian.

3. Ikrar Aqabah

Pada musim haji, suku-suku bangsa dari berbagai pelosok jazirah datang ke Mekkah untuk
melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji yang dilaksanakan setiap tahun adalah untuk
memperingati Nabi Isma’il dan ibunya, Hajar. Diantara suku bangsa yang datang adalah suku
Aus dan Khajraz dari Yatsrib.

Pada bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian, enam orang dari suku Aus dan Khajraz
mengunjungi Mekkah. Nabi Muhammad menyampaikan ajarannya kepada mereka, kemudian
tanpa ragu-ragu mereka beriman kepada Rasulullah, Nabi yang telah disebutkan dalam kitab-
kitab terdahulu. Beberapa orang Khajraz berkata kepada Nabi, “Bangsa kami telah lama
terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Aus dan Khajraz. Mereka benar-benar
merindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan
engkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu, kami akan berdakwah agar
mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini.” Tahun berikutnya 12 orang
lelaki Yatsrib datang untuk memeluk Islam. Mereka mengucapkan ikrar di ‘Aqabah. Ikrar ini
dikenal dengan ikrar ‘Aqabah pertama.[20] Inilah ikrar mereka:

Kami tidak akan menyekutukan sesuatu dengan Allah, kami tidak akan mencuri tidak pula
berzina. Kami tidak akan membunuh anak-anak kami, dan kami akan hindari fitnah dalam
segala bentuknya. Kami selalu taat kepada Nabi untuk melakukan segala sesuatu yang haq
dan selalu beriman kepadanya baik dalam keadaan gembira maupun sengsara.[21]

Mereka kemudian memohon Nabi saw untuk mengirim seorang guru untuk mengajarkan
Islam kepada mereka. Lalu Nabi mengutus Mush’ab bin ‘Umair untuk mengajarkan Islam.

Pada tahun keduabelas kenabian datang 73 orang Muslim dari Yatsrib di musim haji dan
menerima Islam. Atas nama penduduk Yatsrib mereka meminta pada Nabi agar berkenan
pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala ancaman. Nabi pun
menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini inilah yang dikenal dengan perjanjian
‘Aqabah kedua.[22]

Setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dengan orang-
orang Yatsrib itu, mereka semakin gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin.
Mereka pun mendengar kabar tentang wahyu Allah yang menghalalkan perang bagi Nabi dan
pengikutnya untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Ayat-ayat ini pun beredar dari
mulut ke mulut, sehingga para pemimpin Quraisy secara alami lebih terancam daripada
orang-orang lain.[23] Lalu Nabi mengizinkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib
terlebih dahulu. Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150
orang, telah ,meninggalkan kota Mekkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tinggal di Mekkah
bersama Nabi. Keduanya membela dan menemani Nabi sampai ia pun hijrah ke Yatsrib.

Dalam perjalanan ke Yatsrib Nabi ditemani oleh Abu Bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah
desa yang jaraknya lima kilometer dari Yatsrib, Nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia
menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi membangun masjid.
Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi. Tak lama kemudian Ali menggabungkan diri
dengan Nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Mekkah. Sementara itu, penduduk
Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi
memasuki Yatsrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh
kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap Nabi, nama kota Yatsrib diubah
menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi) atau sering pula disebut Madinatul Munawwarah (kota
yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah
sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja.[24]

C. Kepemimpinan Nabi Muhammad saw Periode Madinah

1. Pembentukan Negara Madinah

Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin
penduduk kota itu. Babak sejarah dalam dunia Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode
Mekkah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang
berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad
mempunyai kedudukan bukan saja sebagai kepala atau pemimpin agama, tetapi juga sebagai
kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan
spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan
kepala negara.[25]

Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, ia segera meletakkan dasar-
dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama, pembangunan masjid. Selain untuk tempat
salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan sebagai tempat
bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Bahkan pada masa Nabi,
masjid juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.

Dasar kedua adalah ukhuwah islamiyyah, persaudaraan sesama muslim. Nabi


mempersaudarakan golongan Muhajirin  dan Anshar. Apa yang dilakukan Rasulullah ini
berarti, menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan
agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.

Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di
Madinah, selain orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan golongan
masyarakat Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas
masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan perjanjian dengan mereka.
Untuk itu, sebuah piagam yang menjamin kebebasan  beragama orang-orang Yahudi sebagai
suatu komunitas telah dibuat. Setiap golongan masyarkat memiliki hak tertentu dalam bidang
politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat
berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar.[26] Dalam perjanjian
itu, jelas disebutkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala pemerintahan karena sejauh
menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam
bidang social, beliau juga meletakkan dasar persamaan antarsesama manusia. Perjanjian ini
dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering disebut dengan Konstitusi Madinah.

2. Pertahanan Negara, Diplomasi dan Peperangan

Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam menjadi semakin  bertambah kuat.


Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekkah dan musuh Islam lainnya
menjadi risau. Kerisauan inilah yang kemudian membuat orang-orang Quraish berbuat apa
saja. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, Nabi sebagai
kepala pemerintahan mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam diizinkan
berperang dengan dua alasan, yaitu untuk mempertahankan diri dan melindungi hak
miliknya; dan untuk menjaga keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan
mempertahankannya dari orang-orang yang menghalanginya.[27]

Dalam sejarah negara Madinah ini memang banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum
muslimin mempertahankan serangan dari musuh. Nabi sendiri, di awal pemerintahannya
melakukan beberapa ekspedisi ke luar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon
pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara
yang baru dibentuk. Perjanjian damai dengan berbagai kabilah di sekitar Madinah juga
diadakan dengan maksud memperkuat kedudukan Madinah.

Perang pertama yang sangat menentukan masa depan negara Islam adalah perang Badar,
perang antara kaum muslimin dengan kaum musyrik Quraisy. Pada tanggal 8 Ramadhan
tahun 2 Hijriah, Nabi bersama 305 orang muslim bergerak ke luar kota membawa
perlengkapan sederhana. Di daerah Badar, kurang lebih 120 kilometer dari Madinah, pasukan
Nabi bertemu dengan pasukan Quaraisy yang berjumlah sekitar 900 sampai 1000 orang.
[28] Nabi sendiri yang memegang komando. Dalam peperangan ini, kaum muslimin keluar
sebagai pemenang. Namun, orang-orang Yahudi Madinah tidak senang. Mereka memang
tidak sepenuh hati menerima perjanjian yang telah diantara mereka dengan  Nabi.

Tidak lama setelah perang tersebut, Nabi menandatangani sebuah piagam perjanjian dengan
beberapa suku Badui yang kuat. Suku Badui ini ingin sekali menjalin hubungan dengan Nabi
setelah melihat kekuatan Nabi semakin meningkat. Selain itu, setelah perang Badar, Nabi
juga menyerang sukuYahudi Madinah, Qainuqa yang berkomplot dengan orang-orang
Mekkah. Orang-orang Yahudi ini akhirnya memilih keluar dari Madinah dan pergi menuju
Adhri’at di perbatasan Syiria.[29]

Bagi kaum Quraisy Mekkah, kekalahan mereka dalam perang Badar merupakan pukulan
berat. Mereka bersumpah akan membalas dendam. Pada tahun 3 H, mereka berangkat menuju
Madinah tidak kurang dari 3000 pasukan berkenderaan unta, 200 pasukan berkuda di bawah
pimpinan Khalid bin Walid (ketika itu masih kafir), 700 orang diantara mereka memakai baju
besi. Nabi Muhammad saw menyongsong kedatangan mereka dengan pasukan sekitar 1000
orang. Namun, baru saja melewati batas kota, Abdullah ibn Ubay, seorang munafik dengan
300 Yahudi membelot dan kembali ke Madinah. Meskipun demikian, dengan 700 pasukan
yang tertinggal Nabi melanjutkan perjalanan. Beberapa kilometer dari kota Madinah,
tepatnya di bukit Uhud, kedua pasukan bertemu. Perang dahsyat  pun terjadi, yang dikenal
dengan perang Uhud. Pertama-tama prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur tentara
musuh yang besar itu. Pasukan berkuda yang dipimpin oleh Khalid bin Walid gagal
menembus pasukan pemanah Islam. Dengan disiplin yang tinggi dan strategi perang yang
jitu, pasukan yang lebih kecil itu ternyata mampu mengalahkan pasukan yang lebih besar.
Kemenangan yang sudah diambang pintu ini pun tiba-tiba gagal karena godaan harta
rampasan perang tanpa menghiraukan gerakan musuh, termasuk di dalamnya anggota
pasukan pemanah yang telah diperingatkan Nabi agar tidak meninggalkan posnya.
Kelengahan kaum muslimin ini dimanfaatkan dengan baik oleh musuh. Khalid bin Walid
berhasil melumpuhkan pasukan pemanah Islam, dan pasukan Quraisy yang tadinya kabur
berbalik menyerang. Perang ini berakhir dengan 70 pejuang Islam syahid di medan laga,
bahkan Nabi sendiri pun terkena serangan dari musuh. Pengkhianatan Abdullah ibn Ubay
diganjar dengan tindakan tegas. Bani Nadir, satu dari dua suku Yahudi yang berkomplot
dengan Abdullah ibn Ubay, diusir ke luar kota. Kebanyakan mereka mengungsi ke Khaibar.
Sedangkan suku Yahudi lainnya, yaitu Bani Quraizah, masih tetap di Madinah.

Masyarakat yahudi yang mengungsi ke Khaibar itu kemudian mengadakan kontak dengan
masyarakat Mekkah untuk menyusun kekuatan bersama guna menyerang Madinah. Mereka
membentuk pasukan gabungan yang terdiri dari 24.000 orang tentara. Di dalamnya juga
bergabung beberapa suku Arab lain. Mereka bergerak menuju Madinah pada tahun 5 H. Atas
usul Salman al-Farisi, Nabi memerintahkan umat Islam untuk menggali parit sebagai
pertahanan. Setelah tentara sekut tiba, mereka tertahan oleh parit itu. Namun, mereka
mengepung Madinah dengan mendirikan kemah-kemah di luar parit hampir sebulan lamanya.
Perang ini disebut perang Ahzab (sekutu beberapa suku) atau perang Khandaq (parit).
[30] Dalam suasana genting itu, orang-orang Yahudi Bani Quraizah di bawah pimpinan
Ka’ab bin Asad berkhianat. Setelah sebulan pengepungan, akhirnya tentara sekutu kembali ke
negeri masing-masing tanpa hasil apapun, disebabkan angin yang amat kencang menghantam
dan menerbangkan kemah-kemah mereka. Sementara itu, pengkhianat dari Bani Quraizah
dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disayri’atkan, Nabi memimpin sekitar seribu kaum
muslimin berangkat ke Mekkah, bukan untuk berperang, melainkan untuk melakukan ibadah
Umrah. Sebelum tiba di Mekkah, mereka berkemah di Hudaibiyah. Penduduk Mekkah tidak
mengizinkan mereka masuk kota. Akhirnya, diadakan perjanjian yang dikenal dengan
nama Perjanjian Hudaibiyah. Isi dari perjanjian itu antara lain:

1.      Kaum muslimin belum mengunjungi Ka’bah tahun ini, tetapi ditangguhkan tahun
depan.

2.      Lama kunjungan dibatasi sampai tiga hari saja.

3.      Kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekkah yang melarikan diri ke
Madinah, sedangkan pihak Quraisy tidak harus menolak orang-orang Madinah yang kembali
ke Mekkah.

4.      Selama sepuluh tahun diberlakukan gencatan senjata antara masyarakat Madinah dan
Mekkah, dan

5.      Tiap Kabilah yang ingin masuk ke dalam persekutuan kaum Quraisy atau kaum
muslimin, bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.[31]

Gencatan senjata telah memberikan kesempatan kepada Nabi untuk menoleh berbagai negeri
lain sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang
ditempuh Nabi adalah mengirim utusan dan surat kepada kepala-kepala negara dan
pemerintahan. Di antara raja-raja yang dikirimi surat adalah raja Ghassan, Mesir, Abesinia,
Persia dan Romawi. Namun, tak seorang pun masuk Islam. Ada yang menolak dengan baik
dan simpati, tetapi ada juga yang menolak dengan kasar, seperti raja Ghassan. Utusan yang
dikirim Nabi dibunuh dengan kejam oleh raja Ghassan. Untuk membalas perlakuan ini, Nabi
mengirim pasukan perang sebanyak tiga ribu orang. Peperangan terjadi di Mut’ah, sebelah 
utara Jazirah Arab. Namun, pasukan Islam atas komando Khalid ibn Walid (sudah masuk
Islam) menarik diri dan kemabli ke Madinah. Pasalnya adalah tentara Ghassan mendapat
bantuan dari Romawi, sehingga memiliki kekuatan tentara ratusan ribu orang.

Selama dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, hampir seluruh Jazirah Arab,
menggabungkan diri dalam Islam. Hal ini membuat orang kafir Quraisy Mekkah merasa
terpojok. Sehingga, secara sepihak mereka membatalkan perjanjian tersebut. Melihat
kenyataan ini, Rasulullah bertolak ke Mekkah dengan 10.000 orang tentara untuk melawan
mereka. Nabi memasuki Mekkah tanpa perlawanan, Beliau tampil sebagai pemenang.
Berhala-berhala di seluruh negeri dihancurkan. Setelah itu, Nabi berkhotbah menjanjikan
ampunan Tuhan terhadap kafir Quraisy. Sesudah khotbah disampaikan, mereka datang
berbondong-bondong memeluk agama Islam. Sejak itu, Mekkah berada di bawah kekuasaan
Nabi.

Meskipun Mekkah telah dikalahkan, namun masih ada dua suku Arab yang masih
menentang, yaitu Bani Tsaqif di Thaif dan Bani Hawazin di antara Thaif dan Mekkah.
Mereka berkomplot ingin memerangi Islam karena telah menghancurkan berhala-berhala
mereka di sekitar Ka’bah. Untuk ini Nabi mengerahkan kira-kira 12.000 pasukan dan
memimpinnya langsung menuju Hunain untuk menghadapi mereka. Umat Islam dapat
menaklukkan kedua suku tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dengan demikian,
seluruh Jazirah Arab berada di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
2. Bagaimana perjuangan sahabat rasulullah selama menjadi pemimpin?

Kepemimpinan Abu Bakar


Abu Bakar adalah khalifah pertama setelah nabi Muhammad saw. wafat. Beliau  dilahirkan
pada tahun 571 M. Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Abi  Khuafah at-Taimi. Gelar
Abu Bakar diberikan oleh nabi Muhammad saw. Karena ia adalah paling cepat masuk Islam.
Sedangkan gelar  as-siddiq  diberikan  karena ia selalu membenarkan nabi  Muhammad saw.
dalam berbagai  peristiwa, terutama membenarkan peristiwa Isra dan Mi’raj.

Abu Bakar memimpin dari tahun  632 M s/d 634 M. Abu Bakar senantiasa meneladani
perilaku nabi Muhammad saw. Dalam menentukan keputusan, beliau selalu mengajak para
sahabat untuk bermusyawarah. Beliau sangat  memperhatikan rakyatnya. Beliau selalu
membantu rakyat yang kekurangan.

Pernah suatu ketika datang kepadanya seorang wanita kampung bernama Unaisar berkata:
“Hai Abu Bakar, apakah  engkau masih dapat menolong kami memerah susu kambing seperti
sebelum  menjadi khalifah?” Jawab Abu Bakar: “Insya Allah aku akan tetap bersedia
menolong kamu.” Meskipun Abu Bakar sudah menjadi pemimpin Negara, beliau  tidak
sombong dan masih mau memerah susu untuk rakyatnya di kampung. Untuk kesejahteraan
rakyatnya, beliau mendirikan Baitul Mal, yaitu suatu  lembaga yang mengurusi kas dan
keuangan negara. 

Kepemimpinan Umar bin Khattab 


Umar bin Khattab adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar. Umar bin Khattab  mempunyai
nama lengkap Umar bin Abdul Uzza.  Umar bin Khattab menjadi  khalifah sejak tahun 634 M
s/d 644 M.  Beliau seorang pemberani, jujur, adil, tegas, bijaksana dan bertanggung jawab
terhadap rakyatnya. Beliau juga seorang pemimpin yang hidup sederhana dan  suka
bermusyawarah. Misalnya suatu ketika khalifah Umar bin Khattab menyuruh  anaknya untuk
mematikan lampu di dalam ruangan (kantor khalifah), karena  lampu itu dibiayai oleh negara,
sedangkan kedatangan anaknya untuk keperluan  pribadi keluarganya. Kalifah Umar bin
Khattab tak mau menggunakan fasilitas  negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya,
walaupun hanya sebatas  cahaya lampu.
Pada masa pemerintahannya, Umar bin Khattab dikenal sebagai pribadi yang  sederhana dan
bertanggung jawab. Sebagai contoh sikap tanggung jawab yang  diperlihatkan Umat bin
Khattab, yaitu: pernah suatu saat beliau berkata ketika ia  melihat kondisi jalan yang rusak
"Aku akan segera perbaiki jalan itu. Sebab aku takut diminta pertanggung jawaban dihadapan
Allah Swt. nanti, hanya karena  ada seekor unta yang terjungkal". Masih banyak lagi perilaku
teladan yang patut  kita contoh dari peribadi khalifah Umar bin Khattab. Jasa khalifah Umar
bin Khattab yang sampai saat ini kita rasakan adalah  penetapan kalender Hijriyah atau
penetapan tanggal 1 Muharam sebagai Tahun  Baru Hijriyah.

Kepemimpinan Usman bin Afan 


Kahlifah Usman bin Afan memerintah  selama dua belas tahun atau dari tahun 644 s/d 656
M.  Beliau dikenal sebagai orang kaya  dan dermawan. Bukti kedermawanan Usman  bin
Afan, yaitu pada masa pemerintahan Abu  Bakar, beliau pernah memberikan gandum  yang
diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di  musim kering. 

Di masa pemerintahannya, Usman bin  Afan melakukan kodifkasi (menyusun  atau


membukukan) kitab  al–Quran, karena  beliau khawatir akan terjadi perbedaan al–Quran.
Kemudian beliau membentuk panitia penyusunan  al–Quran yang diketuai oleh  Zaid bin
Sabit dengan anggotanya Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin  Haris. Panitia tersebut
bertugas menyalin ulang ayat-ayat al–Qur±n dalam sebuah  buku yang disebut Mushaf dan
diperbanyak 4 (empat) buah (exemplar). Satu buah  disimpan di Madinah yang disebut
Mushaff al-Imam atau Mushaf Usmani, empat  buah lainnya dikirim ke Mekah, Suriah,
Basrah dan Kufah. Di samping itu beliau  juga merenovasi Masjid Nabawi di kota Madinah,
dengan cara memperluas dan  memperindah bentuknya.

Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib 


Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang  khulafurasyidin yang terakhir. Ali  merupakan anak
dari paman Rasulullah saw., yaitu: Abu Thalib yang selalu  membela dakwah nabi
Muhammad saw.. Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang  pemberani. Hal itu sudah
dibuktikan Ali bin Abi Thalib ketika harus menggantikan tidur Rasulullah saw.. Padahal di
luar rumah pemuda-pemuda Quraisy ingin  menyakiti Rasulullah saw. yang akan pergi hijrah.

Masa pemerintahan Ali  kurang lebih selama lima tahun (656-661 M). Selain  pemberani Ali
bin Abi Talib juga seorang pemimpin yang  peduli terhadap pendidikan. Sebagai contoh,
beliau mendirikan beberapa madrasah untuk tempat  belajar anak-anak.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Ali bin Abi Thalib mengharuskan  pegawainya jujur,
cakap, dan bertanggung jawab. Beliau juga memajukan bidang Ilmu Bahasa, serta
mengembangkan bidang pembangunan, terutama di kota Kufah sebagai pusat Ilmu Tafsir,
Ilmu Hadis, Ilmu Nahwu dan ilmu pengetahuan  lainnya

3. Cara memimpin dari tokoh Buy Hamka

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil


orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian
mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan
barangsiapa yang menjadikan mereka pemimpin di antara kamu,
maka sesungguhnya dia itu telah tergolong dari mereka.
Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum
yang zalim.” (QS al-Maidah: 51).

Sejak tahun 1959, Prof. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih terkenal dengan
sebutan Buya Hamka, sudah mengajar Tafsir al-Quran di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta.
Tahun 1964, Buya Hamka dijebloskan ke dalam tahanan oleh Rezim Orde Lama. Ketika
itulah, Ketua MUI Pertama itu berkesempatan menyelesaikan Tafsir al-Azhar, yang kini
masih menjadi salah satu Buku Tafsir rujukan di Indonesia. Dari waktu ke waktu, Tafsir ini
berganti-ganti penerbit. Terakhir, tahun 2015, Tafsir al-Azhar diterbitkan oleh penerbit Gema
Insani Press (GIP) Jakarta dalam bentuk edisi mewah.

Di tengah gegap gempita pembahasan QS al-Maidah ayat 51 – yang dipicu pernyataan


Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – ada baiknya kita menelaah bagaimana Buya Hamka
menafsirkan QS al-Maidah: 51. Sebab, selama puluhan tahun, belum pernah kita dengar satu
makhluk pun di muka bumi yang berani menuduh para mufassir al-Quran seperti Buya
Hamka ini, telah membohongi dan membodohi umat Islam pakai al-Maidah:51.

Karena itulah, ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, sangat bersejarah.
Dalam pernyataannya,  11 Oktober 2016, MUI secara resmi menyatakan, bahwa Ahok telah
menghina al-Quran dan menghina ulama-ulama Islam.  Kita simak kembali petikan ucapan
Ahok yang juga dikutip dalam pernyataan resmi MUI: “… Jadi jangan percaya sama orang,
kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat
al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih
nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..”

Maka, adalah menarik untuk menelaah isi Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka tentang QS al-
Maidah:51. Setelah itu, kita bertanya, layakkah ulama terkemuka seperti Buya Hamka ini
dikatakan telah membohongi dan membodohi umat Islam? Juga, kepada siapa seharusnya
penghina al-Quran dan ulama itu meminta maaf? Siapa pula yang pantas memberikan maaf?

Buya Hamka mengawali penjelasan tentang QS al-Maidah:51 dengan kata-kata yang tegas:
“Untuk memperteguh disiplin, menyisihkan mana kawan mana lawan, maka kepada orang
yang beriman diperingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin.” (pangkal ayat 51).

Selanjutnya, kita ikuti uraian Buya Hamka dalam Kitab Tafsirnya tersebut:

“Disini jelas dalam kata seruan pertama, bahwa bagi orang yang beriman sudah ada satu
konsekuensi sendiri karena imannya. Kalau dia mengaku beriman pemimpin atau
menyerahkan pimpinannya kepada Yahudi atau Nasrani. Atau menyerahkan kepada mereka
rahasia yang tidak patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian yang
akan didapat, melainkan bertambah kusut…”

“… Sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian.” Maksud ayat ini
dalam dan jauh. Artinya jika pun orang Yahudi dan Nasrani itu yang kamu hubungi atau
kamu angkat menjadi pemimpinmu, meskipun beberapa orang saja, ingatlah kamu, bahwa
sebagian yang berdekat dengan kamu itu akan menghubungi kawannya yang lain, yang tidak
kelihatan menonjol ke muka. Sehingga yang mereka kerjakan diatas itu pada hakikatnya ialah
tidak turut dengan kamu. Kadang-kadang lebih dahsyat lagi dari itu. Dalam kepercayaan
sangatlah bertentangan di antara Yahudi dan Nasrani; Yahudi menuduh Maryam berzina dan
Isa al-Masih anak Tuhan, dan juga Allah sendiri yang menjelma jadi insan. Sejak masa Isa al-
Masih hidup, orang Yahudi memusuhi Nasrani, dan kalau Nasrani telah kuat kedudukannya,
merekapun membalaskan permusuhan itu pula dengan kejam sebagaimana selalu tersebut
dalam riwayat lama dan riwayat zaman baru. Tetapi apabila mereka hendak menghadapi
Islam, yang keduanya sangat membencinya, maka yang setengah mereka akan memimpin
setengah yang lain. Artinya di dalam menghadapi Islam, mereka tidak keberatan bekerja
sama.

Sebagaimana pernah terjadi di Bandung pada masa Republik Indonesia telah memilih
Anggota Badan Konstituante. Wakil-wakil partai-partai Islam ingin agar di dalam Undang-
Undang Dasar yang akan dibentuk itu dicantumkan tujuh kalimat, yaitu, “Dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Maka seluruh partai yang membenci cita-cita
Islam itu sokong-menyokong, pimpin-memimpin, beri-memberi, menentang cita-cita itu,
walaupun diantara satu sama lain berbeda ideologi dan berbeda kepentingan. Dalam
menghadapi Islam mereka bersatu. Bersatu Katolik, Protestan, partai-partai nasional, partai
sosialis, dan partai komunis.

Dalam gelanggang internasional pun begitu pula. Pada tahun 1964 Paus Paulus VI, sebagai
Kepala Tertinggi dari gereja Katolik mengeluarkan ampunan umum bagi agama Yahudi.
Mereka dibebaskan dari dosa yang selama ini dituduhkan kepada mereka yaitu karena usaha
merekalah Nabi Isa al-Masih ditangkap oleh Penguasa Romawi dan diserahkan kepada orang
Yahudi, lalu disalib, (menurut kepercayaan mereka). Sekarang setelah 20 abad Yahudi
dikutuk, Yahudi dihina dimana-mana dalam dunia Kristen, tiba-tiba Paus memberi mereka
ampun. Ampun apakah ini, sehingga pegangan kepercayaan 2.000 tahun dapat diubah
demikian saja? Tidak lain, adalah Ampunan Politik. Tenaga Yahudi yang kaya raya dengan
uang harus bersatu padu dengan Kristen didalam menghadapi bahaya Islam. Kemudian, 1967,
negeri-negeri Arab diserang Yahudi dalam masa empat hari dan Jerusalem (Baitul Maqdis)
dirampas dari tangan kaum Muslimin, padahal telah 14 abad mereka punyai. Dan tiba-tiba
datanglah gagasan dari gereja Katolik agar kekuasaan atas Tanah Suci kaum Muslimin,
wilayah turun temurun selama 1.300 tahun lebih dari bangsa Arab supaya diserahkan kepada
satu Badan Internasional. Tegasnya, kepada PBB sedangkan yang berkuasa penuh dalam
PBB itu adalah negara-negara Kristen. (Perancis Katolik, Amerika Protestan, Inggris
Anglicant, dan Rusia Komunis)…”

“… Sambungan ayat, “Dan barangsiapa yang menjadikan mereka itu pemimpin diantara
kamu, maka sesungguhnya dia itu telah termasuk golongan dari mereka.”

Suku ayat ini amat penting diperhatikan. Yaitu barangsiapa yang mengambil Yahudi atau
Nasrani menjadi pemimpinnya, tandanya dia telah termasuk golongan mereka, Artinya telah
bersimpati kepada mereka. Tidak mungkin seseorang yang mengemukakan orang lain jadi
pemimpinnya kalau dia tidak menyukai orang itu. Meskipun dalam kesukaannya kepada
orang yang berlain agama itu, dia belum resmi pindah kedalam agama orang yang disukainya
itu. Menurut riwayat dari Abdu Humaid, bahwa sahabat Rasulullah saw yang terkenal
Hudzaifah bin al-Yaman berkata:  “Hati-hati tiap-tiap seorang daripada kamu, bahwa dia
telah menjadi Yahudi atau Nasrani sedang dia tidak merasa.” (Fathul Qodir, Juz 2 hlm. 53)

Anda mungkin juga menyukai