KAMPUNG RADEN
Oleh:
AFAF : (1072161031)
DHIA MUDHIAH : (1072161014)
RAJA ALI RIDO DAULAY: (1072161032)
DAFTARISI ........................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV KESIMPULAN
A. Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
1. kebiasaan budaya setempat?
2. hubungan kebudayaan dan pengobatan tradisional?
3. faktor pendorong dan penghambat?
BAB II
TEMPAT OBSERVASI
A. Wilayah
Kampung Raden Bekasi ialah perkampungan yang terletak di
daerah Bekasi, tepatnya di Kelurahan Jatiraden. Kelurahan Jatiraden
adalah kelurahan yang berada di kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi,
Jawa Barat, Indonesia. Merupakan pemekaran dari kelurahan
Jatisampurna. Di kampung ini banyak ulama-ulama dan ustadz-ustadz,
bahkan dahulu konon kampung ini di juluki kampung santri di karenakan
banyak pengajian-pengajian dan podok-pondok tempat belajar ilmu agama
islam dan Al-qur'an.
Dengan letak berada pada 64° LS-16° BT Kecamatan Jatisampurna
memiliki struktur tanah yang bergelombang (berbukit-bukit) menjadikan
wilayah ini bebas banjir. Dengan curah hujan rata-rata sebanyak 1993
mm/tahun, dengan ketinggian 110 m dpl, maka suhu udara di wilayah ini
berkisar antara 26 ºC hingga 32 ºC. Secara geografis wilayah Kecamatan
Jatisampurna mempunyai luas 1943,74 Ha yang terbagi menjadi lima (5)
Kelurahan salah satunya kelurahan Jatiraden.
Lokasi Kampung Raden berdekatan dengan wilayah Jatirangga
yang masyarakat biasa menyebut daerah tersebut dengan sebutan
“Kranggan”. Wilayah Kranggan terkenal dengan budayanya yang masih
menganut kepercayaan. Dalam observasi menurut sumber warga masih
banyak masyarakat di Kampung Raden yang berasal dari Kranggan,
sehingga budaya Kranggan tersebut tersebar sampai di wilayah Kampung
Raden.
B. Kebiasaan Budaya Setempat
Meningat penduduk Kampung Raden masih banyak yang berasal dari
Kranggan, sehingga budaya Kranggan terpengaruh di wilayah Kampung
Raden. Penduduk Kranggan dapat digolongkan sebagai penganut agama
dan tradisi yang bersumber pada keyakinan dan ajaran masa lalu. Hampir
semuanya memeluk agama Islam, tetapi diantara mereka ada yang
tergolong santri, buhun, dan aliran kebatinan perjalanan (AKP).
1. Santri
Pengolongan Islam sebenarnya dimulai oleh seorang ilmuwan
bernama Cliford Geertz. Penggolongan santri dalam penelitian Geertz
termasuk dalam kategorisasi Islam Nusantara yang mencakup pola
kehidupan keagamaan masyarakat Jawa berkaitan langsung dengan
representasi perilaku dan praktik-praktik ritual dalam beragama.
Dalam penelitan Geertz, santri merupakan tipe masyarakat yang dinilai
taat dan mantap dalam menjalankan perintah agama yang berkaitan
dengan rukun Islam maupun ajaran-ajaran yang lain. Sebagai
kelompok masyarakat yang mendalami agama Islam dengan sungguh-
sungguh, santri dapat dikategorikan sebagai generasi muslim yang
dapat diandalkan untuk meneruskan estafet kepemimpinan ulama atau
kiai dalam tradisi pesantren.
Dalam penelitian Geertz, santri ditempatkan sebagai kelompok
masyarakat yang paling taat dalam menjalankan perintah agama dan
mampu menguasai ilmu agama dengan baik. Bagi kalangan santri,
peribadatan menjadi aktifitas yang paling penting dalam memperkuat
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Perintah agama seperti shalat,
puasa, zakat, dan lainnya menjadi karakter tersendiri yang melekat
dalam varian santri sehingga menempatkan mereka sebagai penjaga
moral dan sosial dalam kehidupan masyarakat. Tipikal yang melekat
dalam varian santri ini jelas dapat dibedakan dengan varian-varian
lainnya, seperi abangan maupun priyayi.
2. Buhun
Masyarakat Kranggan menampilkan identitas ganda sebagai
penganut agama Islam tetapi pada sisih lain penganut tradisi Buhun,
yakni sebuah kepercayaan diwarisi secara turun temurun dari leluhur
nenek moyang, bentuknya bisa seperti ilmu keasaktian yang diyakini
berasal dari Prabu Siliwangi, yang pernah menjadi penguasa Pajajaran.
Hubungan antara Prabu Siliwangi dan masyarakat Kranggan ada
beberapa macam versi yang tidak dijelaskan dalam makalah ini.
Mungkin salah satu pengaruhnya ialah masih dipertahankannya
sejumlah ilmu kesaktian di sana.
Tokoh-tokoh adat lokal yang disegani masyarakat masih banyak
dijumpai di sana, di antaranya ialah Abah Kolot yang berpengaruh
besar di kawasan itu. Abah Kolot selain dikenal sebagai tokoh adat
juga menjadi praktisi muslim. Di sebelah rumahnya dibangun mushala
yang ia sendiri juga aktif di dalamnya. Ia terkadang mengundang
penceramah dari muballig muslim/muslimah memberikan pencerahan,
seperti yang sering datang di tempat itu ialah ustadzah Hj. Marwati
dari Kp. Raden.
Yang jelas, mereka seolah merasa bangga dan percaya diri karena
masih bisa mempertahankan kekhususan komunitasnya yang memiliki
nilai-nilai kembar, yaitu nilai agama Islam dan tradisi Buhun di tengah
drastisnya pengaruh modernitas di dalam masyarakat Ibu Kota. Di
antara ajaran dan kepercayaan sebagian masyarakat Kranggan ialah
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi lebih menekankan diri
sebagai penganut kepercayaan, khususnya Kepercayaan 'Perjalanan',
ketimbang sebagai panganut Islam. Bahkan ada di antara mereka tidak
mau mengklaim dirinya sebagai seorang muslim. Mereka
melaksanakan kawin mawin di kantor catatan sipil sebagaimana
layaknya agama non-muslim yang tidak diatur di dalam UU no. 1
tahun 1975, tentang Perkawinan. Mereka merayakan hariraya setiap
tanggal 1 Suro menurut kalender orang Jawa. Mereka juga memiliki
tempat ibadah sendiri yang disebut Pasewakan. Mereka meramaikan
tempat ini setiap malam minggu untuk melakukan pendalaman
kepercayaan.
Masyarakat Kranggan masih sering ditemui melangsungkan
upacara-upacara khusus seperti melakukan praktek sesaji, bebaritan,
ngancak, dan upacara lainnya sebagai media Karuhun, dalam rangka
mengungkapkan rasa syukur dan pengabdian mereka kepada Tuhan
Yang Maha Tinggi. Kini di kawasan itu semakin plural masyarakatnya
karena selain komunitas muslim dan komunitas adat Kranggan juga
sudah hadir sejumlah pendatang yang beragama lain. Bahkan menurut
Walikota Bekasi sebagai pemimpin pemerintahan baru saja
meresmikan dimulainya pembangunan gereja Katolik di kawasan itu,
meskipun pada awalnya ada demonstrasi warga menolak kehadiran
gereja di kawasan itu. Namun pada akhirnya diizinkan karena memang
komunitas penganut agama Katolik sudah banyak di kawasan itu dan
mereka belum memilki rumah ibadah.
3. Aliran Kebatinan Perjalanan
Aliran perjalanan didirikan pada tanggal 17 September 1927 di
Cimerta Kabupaten Subang oleh Mei Kartawinata bersama dua orang
temannya, M. Rasyid dan Sumitra. Aliran ini mempunyai nama lain,
yaitu:
a. Aliran Kuring, sebelum kemerdekaan. Mei Kartawinata
ketika menerangkan ajarannya di mana-mana selalu
menyebut “inilah Agama Kuring” (artinya agama saya),
maksudnya “agama asli Sunda”.
b. “Permai” (perikemanusiaan), sesudah kemerdekaan. Pada
tanggal 7 November 1948, Mei Kartawinata diangkat
sebagai Bapak Rohani.
c. “Agama Yakin pancasila” juga disebut “Agama Sunda”,
disebut lagi “Perjalanan” di Bandung
d. “Agama Petrap” juga disebut “Traju Trisna”, disebut lagi
“Ilmu sejati” dan “Jawa Jawi Mulya”. Di Tulungagung.
e. “Aliran Perjalanan”, yang terakhir.
BAB III
HASIL OBSERVASI
A. Kegiatan Observasi
Kegiatan yang dilakukan adalah wawancara kepada salah satu warga
Kampung Raden, Bekasi yaitu Mpo Jaenab.
B. Hasil Wawancara
1. Selama tinggal disini mpo pernah sakit apa aja?
Jawab: Sakit itu ya paru-paru istilahnya kesambet kata orang sini mah.
2. Kata siapa kesambetnya?
Jawab: Kata tukang urutnya, mpo usi, mama Deni, sama mpo emay.
3. Kok bisa di bilang kesambet, pas ke tukang urut lagi sakit apa?
Jawab: Panas trus diurut dipijet katanya kesambet. Dibilangnya emak
saya kasian sama sayang saya dibilangnya begitu. Saya
jawabin kalo kasian seharusnya jangan diginiin.
4. Di daerah sini biasa kalo lagi sakit sesuatu dibilang kesambet?
Jawab: Ada aja. Kalo batuk pilek di bilang sama tukang urut ya batuk
pilek kalo engga ya engga.
5. Biasanya kalo batuk pilek dikasih obat apa?
Jawab: Obat dari dokter
6. Kalau di tukang urut diapain?
Jawab: Di urut sama di kasih air.
7. Mpo pernah nyobain pengobatan alternatif?
Jawab: Seringnya di buaran di gang sadar satu. Yang pertama saya di
doa-doain trus dada saya di pegang-pegang dikasih air garam
dan air kelapa ijo satu di buat minum satu di buang dikali
dianyutin. Kedua kali saya datang lagi, katanya jin nya masih
ada pakai kain hitam. Jadi saya dan suami disuruh pegangan
katanya jinnya mau lepas trus di suruh merem. Ketiga kali saya
datang lagi kalo gasalah malam jumat, disuruh mandi kembang
tapi saya mikir kok saya kaya orang musrik nih kata suami
saya suruh datang lagi ke tukang urut tersebut tapi saya gamau
malah saya jadi ketakutan.
8. Apa yang dirasakan saat berobat ke alternatif?
Jawab: Saya bilang saya sesak, nafas saya juga kalo diangkat sakit.
Kata suami saya di suruh ke tukang urut tadi, tapi saya gamau
saya minta ke dokter. Pas saya berobat ke dokter ternyata saya
sakit flek paru-paru.
9. Rata-rata orang sini kalo sakit ke alternatif juga atau kedokter?
Jawab: Ada yang ke dokter, ada yang ke alternatif, ada juga yang ke
pak ustad Yunus.
10. Disini masih ada engga budaya atau mitos-mitos?
Jawab: Kalau disini masih, kalo ibu hamil mau keluar disuruh bawa
sapu lidi. Ibu hamil bawa bangle, pisau lipat kalau disini masih
pake. Kalo ibu abis melahirkan cuman boleh makan yang
bening-bening. Engga boleh makan santan, ikan bandeng, tupat
sayur, daun bawang, kangkung juga gaboleh karena bolong.
Karena dari emak saya di bilang gitu jadi ya saya turutin. Kalo
ada orang mau hajatan, suka ada sesajen di taroh di kamar di
tempayan.
11. Kalau makan pantangan tersebut apa yang terjadi?
Jawab: Saya punya sodara kaya gitu, anaknya meninggal pas udah
lahir.
12. Berarti masih kental budaya seperti itu ya?
Jawab: Masih. Kalo kesambet dibalurin bangle. Kalo anak bayi di
bawah bantalnya di taruhin bangle, di atas bantal di kasih sapu
lidi. Kalo kata orang tua mah biar engga di gangguin.
13. Apakah di daerah sini masih ada pengobatan yang aneh-aneh?
Jawab: Ada, itu yang di dekat masjid. Jadi rumahnya di kasih kain
item serem. Biasanya itu kalo berobat disitu dibilangnya di
guna-guna.
14. Menurut mpo mending berobat ke alternatif atau ke dokter?
Jawab: Kalo saya nih jujur mending ke dokter. Abis kalo ke alternatif
percuma saya bolak balik engga sembuh engga ketauan
penyakitnya. Ke dokter langsung ketauan penyakitnya.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Indonesia terdiri dari berbagai macam budaya yang masih dianut
oleh masyarakat, salah satunya di Kampung Raden. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan oleh salah satu warga Kampung Raden dapat
disimpulkan bahwa di daerah tersebut masih banyak masyarakat yang
percaya terhadap hal-hal yang diluar nalar. Sebagian masyarakat di
Kampung Raden sudah melakukan pengobatan di dokter namun sebagian
masyarakat yang masih percaya terhadap pengobatan alternatif atau biasa
disebut tukang urut.
Kampung Raden masih kental akan budaya yang di turunkan oleh
leluhur seperti ibu hamil keluar rumah bawa sapu lidi, bangle, dan pisau
lipat. Sedangkan, untuk ibu-ibu yang habis melahirkan hanya dibolehlan
makan yang bening-bening, tidak boleh makan santan, ikan bandeng, tupat
sayur, daun bawang, kangkung. Budaya lainnya yang masih kental di
daerah ini adalah untuk para gadis yang belum menikah agar cepat
mendapatkan jodoh melakukan puasa mutih, anak gadis tidak boleh makan
jantung pisang karena akan membuat pikiran menjadi kosong, makan
nanas dan timun tidak boleh banyak yang mengatakan bisa becek, jika ada
jemuran pakaian dalam tidak boleh dilewati harus cari jalan yang lain dan
masyarakat Kampung Raden masih mempercayai jika akan melakukan
hajatan maka menyediakan sesajen yang di taruh di dalam sebuah kamar.
Dari hasil observasi tersebut sesuai dengan sumber warga yang
mengatakan masih banyak masyarakat di Kampung Raden yang berasal
dari Kranggan, sehingga budaya Kranggan tersebut tersebar sampai di
wilayah Kampung Raden. Salah satu budayanya yaitu pengobatan
alternatif.