Anda di halaman 1dari 181

Pokok Pikiran

KEBUDAYAAN DAERAH
KOTA PALU TAHUN 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 ii


SAMBUTAN WALI KOTA PALU

Assalamu’ Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah, kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, dengan Rahmat dan hidayah-Nya, Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan
Daerah (PPKD) Kota Palu, Sulawesi Tengah dapat dirampungkan sebagai hasil
kerja riset Tim Penyusun yang terdiri dari unsur pemerintah dan unsur ahli baik
dari kalangan akademisi, budayawan, maupun pelaku seni budaya Kota Palu, yang
dikoordinir langsung oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu.
Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah ini, tentunya menjadi langkah
kongkrit dari pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah dalam
pemajuan kebudayaan daerah dan nasional, setelah ditetapkannya Undang-
Undang Nomor 05 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang merupakan
amanat pemajuan kebudayaan nasional Indonesia.
Oleh karena itu, selaku pemerintah Kota Palu mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada Dirjen Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memilih
dan menunjuk Kota Palu bersama lima Kabupaten/Kota lainnya sebagai wilayah
perioritas dan percontohan Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD)
Tahun 2018, melalui surat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor
1052/E./E1/KB/2018 hal Undangan Rapat Koordinasi daerah Perioritas Penyusunan
PPKD tanggal 17 Mei 2018 di Jakarta.
Sesungguhnya, cita-cita luhur yang melandasi lahirnya Undang-Undang
Nomor 05 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, sangat selaras dengan visi
pemerintah Kota Palu yaitu: “Palu Kota Jasa, Berbudaya dan Beradat Dilandasi
Iman dan Takwa”. Visi ini, mengindikasikan bahwa di antara yang menjadi pusat
perhatian pembangunan pemerintah Kota Palu, adalah pembangunan di bidang
kebudayaan, baik pada dimensi ekspresi budaya dan tradisi maupun pada dimensi
nilai-nilai budaya, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat yang dapat memperkokoh
sikap dan perilaku (karakter) toleransi, kekeluargaan, dan gotong-royong yang
sudah mulai terdegradasi di era global dewasa ini.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 iii


Disadari sepenuhnya bahwa dengan pengkajian dan penyusunan Pokok
Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kota Palu ini, tentu sangat konstruktif untuk
mendukung program-program strategis pemajuan bidang kebudayaan yang telah
dicanangkan, sehingga ke depannya dapat lebih bersinergi lagi dengan program
pemajuan kebudayaan Nasional di Kota Palu, di mana di antaranya sudah
dilaksanakan melalui kegiatan Festival Pesona Palu Nomoni dan beberapa even-
even kebudayaan nasional lainnya.
Sebagai pemerintah, tentu sangat menyambut baik dan menyampaikan
ucapan terima kasih serta memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya, baik
kepada seluruh Tim Penyusun PPKD maupun kepada Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Palu beserta jajarannya, sehingga Dokumen PPKD Kota Palu
Tahun 2018 ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. Ucapan terima kasih
juga kami sampaikan kepada para tokoh adat, tokoh masyarakat, pelaku seni,
budayawan, dan seluruh komponen masyarakat lainnya, atas peran sertanya
dalam membantu memberikan informasi dan mendukung proses penyusunan
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu.
Dengan tersusunnya PPKD ini, tentunya pemerintah daerah memiliki
referensi yang kuat untuk mewujudkan komitmen pemajuan kebudayaan daerah
di Kota Palu, dan semoga Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dapat lebih
fokus dalam melakukan program pengembangan dan pelestarian di bidang
kebudayaan Kota Palu sehingga mampu menjadikan kebudayaan daerah menjadi
kebudayaan yang bertaraf Nasional bahkan Internasional. Dengan demikian, cita-
cita untuk menjadikan Palu sebagai Kota Destinasi dapat diwujudkan.
Sekian dan terima kasih.
Masintuvu Kita Maroso, Morambanga Kita Marisi
Songgo Poasi, Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Palu, Juni 2018


Wali Kota Palu,

Hidayat

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 iv


KATA PENGANTAR
KEPALA DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KOTA PALU

Assalamu’ Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Dengan mengucapkan syukur kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa, dan
atas Rahmat dan Ridho-Nya, sehingga Penyusunan Draft Pokok-pokok
Kebudayaan Daerah (PPKD) Kota Palu, Sulawesi Tengah Tahun 2018 dapat
diselesaikan bersama dengan Tim Penyusun. Pencapaian ini tentunya menjadi
suatu kebanggan tersendiri kami bersama Tim penyusun dengan waktu yang
sangat singkat dapat merampungkan laporan ini sesuai dengan limit waktu yang
ditentukan oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud. RI. Namun demikian, kami
menyadari, draft ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Draft ini sendiri
merupakan langkah awal dari proses panjang pemajuan kebudayaan yang
diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017, sehingga kerja-kerja
penyusunan terus berjalan dalam setiap tahapan pemajuannya.
Mewakili Tim Penyusun, menyadari bahwa selama dalam proses penyusunan
mulai dari pembagian tugas dan tanggung jawab 11 Objek Pemajuan Kebudayaan
(OPK), tahap pengumpulan data melalui wawancara, kajian referensi, kajian
dokumen, dan Focus Group Discussion (FGD) untuk saling menopang dalam
mempercepat proses pengidentifikasian pokok-pokok pikiran kebudayaan yang
tersebar luar dan kompleks di tengah-tengah masyarakat. Meski demikian, tim
penyusun telah dapat memenuhi kebutuhan mengidentifikasi pokok-pokok pikiran
kebudayaan untuk diinput ke dalam sistem Aplikasi Pemajuan Kebudayaan (APIK)
yang selanjutnya ditindak lanjuti dalam penyusunan Drat PPKD.
Kami menyadari, dengan selesainya laporan ini tidak lepas dari bantuan,
saran, bimbingan dari berbagai pihak. Pertama sekali kepada Dirjen Kebudayaan
yang telah mempercayakan kepada Pemerintah Kota Palu melalui Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu untuk menyusun Pokok-pokok Pikiran
Kebudayaan Daerah. Kepada Bapak Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu yang tiada
hentinya memberikan dukungan dan arahan. Sekretaris Daerah Kota Palu yang
telah meluangkan waktu khusus untuk ikut dalam mendukung proses penyusunan
PPKD dengan memberikan banyak informasi, masukan dan kritikan yang sifatnya
konstruktif. Begitu juga kepada tokoh masyarakat, tokoh adat yang sangat baik
memberikan informasi kepada tim penyusun, dan bersedia menerima undangan
FGD dan berbagi pemikiran di dalam proses tersebut. Dan kepada semua

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 v


komponen masyarakat yang tidak sempat kami sebutkan satu persatu, kepada
semuanya kami ucapkan terima kasih.
Harapannya ke depan, draft ini terus mengalami penyempurnaan seiring
dengan dinamika kebudayaan yang terus bergerak. Ke depan, penyempurnaan
atas draft PPKD ini sedapat mungkin merupakan hasil potret dari dinamika yang
berlangsung dalam kondisi kekinian, sehingga setiap perubahan atas pokok-
pokok pikiran kebudayaan yang sudah mengalami kemajuan ataupun yang
mengalami kemunduran, kondisinya tetap dapat terpantau.
Buku ini sendiri adalah sebentuk borang kebudayaan, yang di dalamnya
memaparkan 11 objek pokok pikiran kebudayaan yang ada di Kota Palu. Paparan
yang disajikan dalam draft PPKD ini masih bersifat identifikasi terhadap berbagai
jenis pokok pikiran kebudayaan yang sudah tidak ada tetapi pernah ada dalam
kehidupan leluhur Suku Bangsa Kaili Kota Palu, yang masih eksis, baik yang
bersifat otentik, ataupun yang ada melalui proses kontak-kontak dengan budaya
dari luar suku bangsa Kaili.
Sebagai kajian yang masih bersifat identifikasi dengan tujuan awal untuk
mengisi sistem yang telah dibuat khusus oleh tim Dirjen Kebudayaan, maka
paparan di dalamnya tentu belum ditemukan analisis yang mendalam. Untuk itu,
riset ini tentunya masih perlu dikembangkan melalui kajian yang lebih mendalam
nantinya. Dan, tentu saran dan kontribusi positif untuk penyempurnaan draft
PPKD ini senantiasa kami harapkan.
Kepada seluruh Tim Penyusun, kami ucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya, atas kerjasama, komitmen, dan upaya yang maksimal
dilakukan untuk merampungkan proses penyusunan PPKD Kota Palu Tahun 2018
ini. Semoga draft ini bermanfaat dalam pemajuan kebudayaan dan strategi
nasional pemajuan kebudayaan dalam rangka mewujudkan Palu Kota Destinasi,
Berbudaya dan Beradat di Landasi Iman dan Takwa.
Palu Kana Mapande, dari Palu untuk Indonesia Berbudaya.
Masintuvu Kita Maroso, Morambanga Kita Marisi, Songgo Poasi.
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Palu, Juni 2018
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu,

H. Ansyar Sutiadi, S.Sos., M.Si.


Pembina Utama Muda
NIP. 19721213 199203 1 004

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 vi


NASKAH DRAFT

POKOK PIKIRAN KEBUDAYAAN DAERAH KOTA PALU


TAHUN 2018

Oleh:
TIM PENYUSUN POKOK PIKIRAN KEBUDAYAAN DAERAH
KOTA PALU TAHUN 2018

Telah disetujui Oleh:


Ditetapkan di Palu
Pada Tanggal 25 Juni 2018

Wali Kota Palu

Hidayat

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 vii


DAFTAR ISI
Sambutan Wali Kota Palu ................................................................................................ ii
Kata Pengantar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu ................ iv
Halaman Pengesahan ...................................................................................................... vi
Daftar Isii ............................................................................................................................ vii

BAB I RANGKUMAN UMUM ........................................................................................... 1


BAB II PROFIL KOTA PALU ................................................................................................ 5
II.1. Tentang Kota Palu ........................................................................................................ 5
II.1.1. Wilayah Alam dan Karakteristik Alam ...................................................... 5
II.1.2. Demografi ................................................................................................... 6
II.1.3. Latar Belakang Budaya ...................................................................................... 6
II.1.3.1. Corak Utama ............................................................................................. 6
II.1.3.2. Keragaman Budaya .................................................................................. 6
II.1.4. Sejarah ....................................................................................................................... 7
II.1.4.1. Sejarah Singkat Budaya ............................................................................. 7
II.1.4.2. Sejarah Singkat Wilayah Administratif .................................................. 8
II.1.5. Peraturan Tingkat Daerah Terkait Kebudayaan .............................................. 9
II.1.5.1. Peraturan yang Berlaku ............................................................................ 9
II.1.5.2. Peraturan yang Pernah Ada dan Sudah Tidak Berlaku ....................... 9
II.2. Ringkasan Proses Penyusunan PPKD ................................................................ 10
II.2.1. Tim Penyusun ............................................................................................... 10
II.2.2. Proses Pendataan ........................................................................................ 10
II.2.3. Proses Penyusunan Masalah dan Rekomendasi .................................... 11
II.2.4. Catatan Evaluasi atas Proses Penyusunan ............................................... 11

BAB III LEMBAGA PENDIDIKAN BIDANG KEBUDAYAAN ........................................... 13


III.1. Lembaga Pendidikan Menengah Bidang Kebudayaan .................................... 13
III.2. Lembaga Pendidikan Tinggi Bidang Kebudayaan ........................................... 13

BAB IV DATA OBJEK PEMAJUAN KEBUDAYAAN .......................................................... 14


IV.1. Manuskrip ...................................................................................................................... 14
IV.2. Tradisi Lisan ................................................................................................................. 15
IV.3. Adat Istiadat ................................................................................................................. 18
IV.4. Ritus ........................................................................................................................ 19
IV.5. Pengetahuan Tradisional ..................................................................................... 20
IV.6. Teknologi Tradisional ........................................................................................... 22
IV.7. Seni .......................................................................................................................... 24
IV.8. Bahasa .................................................................................................................... 25
IV.9. Permainan Rakyat ................................................................................................. 26
IV.10. Olahraga Tradisional ........................................................................................... 28
IV.11. Cagar Budaya ........................................................................................................ 29

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 viii


BAB V DATA SUMBER DAYA MANUSIA KEBUDAYAAN DAN
LEMBAGA KEBUDAYAAN ..................................................................... 30
V.1. Manuskrip ................................................................................................................ 30
V.2. Tradisi Lisan ............................................................................................................. 31
V.3. Adat Istiadat ........................................................................................................... 33
V.4. Ritus .......................................................................................................................... 33
V.5. Pengetahuan Tradisional ....................................................................................... 34
V.6. Teknologi Tradisional ............................................................................................. 35
V.7. Seni ........................................................................................................................... 39
V.8. Bahasa ...................................................................................................................... 40
V.9. Permainan Rakyat .................................................................................................. 41
V.10. Olahraga Tradisional ............................................................................................ 42
V.11. Cagar Budaya ......................................................................................................... 42

BAB VI DATA SARANA DAN PRASARANA KEBUDAYAAN ....................................... 43


VI.1. Manuskrip ................................................................................................................ 43
VI.2. Tradisi Lisan ............................................................................................................. 44
VI.3. Adat Istiadat ............................................................................................................ 44
VI.4. Ritus .......................................................................................................................... 44
VI.5. Pengetahuan Tradisional ....................................................................................... 45
VI.6. Teknologi Tradisional ............................................................................................ 45
VI.7. Seni .......................................................................................................................... 45
VI.8. Bahasa ...................................................................................................................... 45
VI.9. Permainan Rakyat .......................................................................................................... 46
VI.10. Olahraga Tradisional ........................................................................................... 46
VI.11. Cagar Budaya ......................................................................................................... 46

BAB VII PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI ....................................................... 48


VII.1. Permasalahan dan Rekomendasi ........................................................................ 48
VII.1.1. Manuskrip ....................................................................................................... 48
VII.1.2. Tradisi Lisan .................................................................................................... 48
VII.1.3. Adat Istiadat ................................................................................................... 49
VII.1.4. Ritus ............................................................................................................... 49
VII.1.5. Pengetahuan Tradisional .............................................................................. 52
VII.1.6. Teknologi Tradisional .................................................................................... 53
VII.1.7. Seni ................................................................................................................... 55
VII.1.8. Bahasa ............................................................................................................. 57
VII.1.9. Permainan Rakyat .......................................................................................... 58
VII.1.10. Olahraga Tradisional ................................................................................... 59
VII.1.11. Cagar Budaya ................................................................................................ 60

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 viii


VII.2. Upaya ...................................................................................................................... 61
VII.3. Permasalahan Umum dan Rekomendasi Umum ............................................. 62

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 ix


Pokok Pikiran
Kebudayaan Daerah Kota Palu
Provinsi Sulawesi Tengah
Tahun 2018
_______________________

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 x


BAB I

RANGKUMAN UMUM

Kota Palu, dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia memiliki


keunikan dan keindahannya tersendiri, di antara keindahan dan kelebihannya
adalah karena kota ini dikenal sebagai kota lima dimensi yang terdiri atas lembah,
lautan, sungai, pegunungan, dan teluk. Selain itu, posisi geografis yang tepat
berada di garis khatulistiwa menjadikan kota ini memiliki cuaca dan suhu yang
relatif lebih panas yang berimplikasi pada karakteristik alamnya. Secara geografis,
Kota Palu berbatasan dengan Kabupaten Donggala di sebelah barat dan Utara,
Kabupaten Sigi di sebelah selatan, dan Kabupaten Parigi Moutong di sebelah
timur. Berbagai kelebihan yang ada di kota Palu memberikan nilai positif tersendiri
yang sangat strategis dan potensial sebagai kota destinasi wisata dan juga
ekonomi (termasuk potensi sumberdaya alamnya).
Secara demografis, berdasarkan proyeksi penduduk kota Palu pada tahun
2016 sebanyak 374.020 jiwa yang terdiri atas 188.017 jiwa penduduk laki-laki dan
186.003 jiwa penduduk perempuan. Kepadatan penduduk tahun 2016 mencapai
947 jiwa/km. Kepadatan penduduk di delapan kecamatan cukup beragam dengan
kepadatan penduduk tertinggi terletak di Kecamatan Palu Timur, Palu Barat,
Tatanga dan Palu Selatan. Sedangkan terendah adalah Kecamatan Mantikulore.
Corak budaya yang dominan di Kota Palu adalah budaya Kaili. Kota Palu
memiliki beberapa ekspresi kebudayaan yang khas, diantaranya: Meaju, Taria
Peulu Cinde, Mokambu, Kakula Nuada. Lalove Nuada, dan Gimba Nuada. Secara
kultural, Kaili juga disebut etnik Kaili adalah merupakan salah satu etnik yang
memiliki rumpun etnik sendiri di Indonesia yang mendiami sebagian besar Kota
Palu yang memiliki lebih dari 30 rumpun suku, seperti, rumpun kaili rai, rumpun
kaili ledo, rumpun kaili ija, rumpun kaili da'a, rumpun kaili unde, rumpun kaili inde,
rumpun kaili tara, rumpun kaili bare'e, rumpun kaili doi, rumpun kaili torai, dan
lain-lain. Dalam setting perkembangannya, persentuhan kebudayaan lokal di
Lembah Palu dengan budaya luar dari Cina, Asia Selatan, Arab, dan Eropa tersebut
menghasilkan akulturasi dalam bentuk arsitektur, bahasa dan dialek, kesenian,
kuliner, dan peralatan hidup. Contoh; bangunan Rumah Raja Palu adalah
perpaduan gaya arsitektur Kaili, Bugis, dan Banjar.
Secara historis, pada masa penjajahan Belanda, Palu menjadi bagian dari
wilayah kekuasaan (Onder Afdeling Palu) yang terdiri dari tiga wilayah yaitu
Landschap Palu yang mencakup distrik Palu Timur, Palu Tengah, dan Palu Barat;
Landschap Kulawi; dan Landschap Sigi Dolo. Pada tahun 1942, terjadi
pengambilalihan kekuasaan dari Pemerintahan Belanda kepada pihak Jepang.
Pada masa ini, kota Donggala yang kala itu merupakan ibukota Afdeling Donggala
dihancurkan oleh pasukan Sekutu maupun Jepang. Hal ini mengakibatkan pusat

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 1


pemerintahan dipindahkan ke kota Palu pada tahun 1950. Saat itu, Palu
berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat wedana dan
menjadi wilayah daerah Sulawesi Tengah yang berpusat di Kabupaten Poso sesuai
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950. Kota Palu kemudian mulai berkembang
setelah dibentuknya Residen Koordinator Sulawesi Tengah Tahun 1957 yang
menempatkan Kota Palu sebagai Ibukota Keresidenan.
Dengan terbentuknya Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1964, status Kota Palu sebagai ibukota ditingkatkan
menjadi Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Pada tahun 1978, Kota
Palu ditetapkan sebagai kota administratif dan tahun 1994 Kota Palu ditingkatkan
statusnya menjadi Kotamadya Palu. Dengan keluarnya Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya mengatur seluruh
Kotamadya di Indonesia berubah dengan sebutan Kota, maka Kotamadya Palu
menjadi Kota Palu dan peringatan hari jadi Kota Palu dilaksanakan pada setiap
tanggal 27 September.
Dalam perkembangannya, sejarah kebudayaan kota Palu memiliki
dinamikanya tersendiri yang melahirkan kekayaan budaya yang sangat unik, elok
dan bermartabat. Kota Palu yang dihuni oleh suku bangsa Kaili adalah suku
bangsa yang masih sangat kuat memegang nilai-nilai keadatan, walaupun tidak
bisa dipungkiri perubahan juga telah mewarnai berbagai dimensi kebudayaan
yang dimiliki. Untuk itu tentu tidak salah jika penyusunan pokok pikiran
kebudayaan daerah di mana kota Palu sebagai salah satu kota perioritas di tahun
2018 ini sangat relevan, apalagi pembangunan kota Palu saat ini mengusung visi:
“Palu Kota Jasa, Berbudaya dan Beradat di Landasi Iman dan Takwa ”. Sebagai
sebuah kajian pokok pikiran kebudayaan, penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan
Darah (PPKD) ini mengkaji 11 objek kebudayaan yang ada di Kota Palu.
Penelusuran dan pengidentifikasian ke-11 objek kebudayaan yang menjadi
pokok-pokok pikiran kebudayaan secara konteksual sangat kompleks. Untuk itu
pengkajian ini dalam proses penelitian mengoperasionalkan sejumlah metode
dengan tujuan mendapatkan informasi yang valid sesuai dengan konteks objek
kajian. Operasionalisai sejumlah metode penelitian dimaksudkan untuk dapat
saling mengisi dalam mendukung validisasi informasi atau data yang diperoleh di
lapangan, selain itu juga untuk mengatasi rentang waktu penelitian yang
berlangsung singkat, kurang lebih satu bulan.
Metode penelitian yang dikembangkan di lapangan adalah, wawancara yang
dilakukan kepada sejumlah informan; kajian pustaka dilakukan di 3 (tiga) tempat
yakni; Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah, Perpustakaan Daerah Kota
Palu, Perpustakaan Museum Propinsi Sulawesi Tengah; Penelusuran Dokumen
dilakukan di Museum Propinsi Sulawesi Tengah dan Dokumen Pribadi; Focus
Group Discussin (FGD) yang melibatkan Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat,
Pelaku seni dan budaya.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 2


Dari hasil survei dan penelitian yang dilakukan, meskipun potensi objek
kebudayaan Kota Palu sangat besar, namun belum ada lembaga sekolah dan
perguruan tinggi yang khusus membuka jurusan salah satu objek kebudayaan
(terutama jurusan seni-budaya). Hanya saja terdapat beberapa SMK yang memiliki
jurusan ada kaitannya dengan bidang kebudayaan. di antara SMK tersebut adalah;
SMK Negeri 1 Palu (Akomodasi Perhotelan; Tata Boga; dan Busana); SMK Negeri 2
Palu (Pariwisata; Perhotelan; dan Multimedia); SMK Negeri 3 Palu (Teknik Audio-
Vusual); dan SMK Negeri 5 Palu (Kerajinan). Adapun lembaga pendidikan tinggi
yang memiliki jurusan ada kaitannya dengan kebudayaan yaitu; Universitas
Tadolaku Palu (Jurusan Sosiologi, Antropologi, Pend. Sejarah, dan Bahasa); IAIN
Datokarama Palu (Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam); dan Universitas Alkhairat
(UNISA) Palu (Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia).
Berdasarkan hasil penelusuran yang mengacu pada instrumen borang OPK,
telah teridentifikasi sejumlah jenis objek kebudayaan, mulai dari objek kebudayaan
berupa; tradisi lisan; manuskrip; adat istiadat; ritus; pengetahuan tradisonal; seni;
bahasa; permainan rakyat; olahraga tradisional; dan cagar budaya. Secara rinci
ditemukan jenis OPK bahasa terdapat 6 (enam) objek bahasa, 17 jenis objek
manuskrip, 29 jenis objek adat istiadat, 20 jenis objek ritus, 11 jenis objek tradisi
lisan, 48 jenis objek pengetahuan tradisional, 30 jenis objek teknologi tradisional,
70 jenis objek seni, 19 jenis objek permainan rakyat, 13 jenis objek olahraga
tradisional, dan satu jenis objek cagar budaya. Untuk lebih jelas data statistik
Borang OPK Kota Palu, dapat dilihat grafik di bawah ini:

Tabel 1:
Statisitik Data OPK Wilayah Kota Palu Tahun 2018

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 3


Beberapa objek kebudayaan Kota Palu yang ada, cenderung mengalami
kepunahan, oleh karena semakin berkurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan
lembaga kebudayaan yang aktif dalam melestarikan, membina dan
mengembangkan suatu objek kebudayaan. Objek kebudayaan yang banyak
mengalami kelemahan SDM dan kelembagaan di antaranya; objek tradisi lisan
yang kekurangan penutur, objek pengetahuan dan teknologi tradisional yang
tergerus oleh kemajuan pengetahuan dan teknologi modern, demikian pula seni,
permainan, dan olahraga tradisional. Adapun pada objek ritus kekurangan SDM
pada aspek penerjemah naskah-naskah konu.
Keseluruhan objek kebudayaan yang ada, memang secara faktual masih
ada yang bertahan dan dilaksanakan, namun frekuensi pelaksanaannya sudah
sangat minim oleh karena kurangnya sarana dan prasarana setiap objek
kebudayaan yang ada, baik difasilitasi oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Meskipun demikian, berdasarkan hasil penelitian ditemukan data dan informasi
masih terdapat sapras jenis objek kebudayaan tertentu berupa lembaga atau
dewan adat, kelompok atau komunitas masyarakat, dan sapras yang disiapkan
oleh pemerintah yang bersifat tentatif, seperti sapras pertunjukan dan pagelaran
seni budaya, serta promosi kerajian dan kuliner tradisional dalam setiap event
seperti; Event Pesona Palu Nomoni, dan lainnya.
Problem mendasar pelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pemajuan
keseluruhan objek kebudayaan di Kota Palu, di samping faktor kesadaran internal
masyarakat dalam menjaga khazanah kebudayaanya, juga tidak terlepas dari
konfogurasi globalisasi, terutama dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan,
perkembangan teknologi, dan perubahan gaya hidup generasi muda yang
berimplikasi pada kurangnya minat, perhatian, kecintaan, dan sense of belonging
terhadap nilai-nilai luhur dan budaya suku bangsanya. Oleh karena itu, upaya
pemerintah Kota Palu untuk merevitalisasi nilai-nilai budaya dan adat berbasis
iman dan takwa melalui visi pembangunan ber budaya dan beradat saat ini,
sangat perlu didukung dan diapresiasi oleh seluruh komponen masyarakat Kota
Palu dan oleh pemerintah pusat, baik dukungan dalam bentuk moril maupun
materil serta regulasi yang mendukung percepatan pemajuan kebudayaan.
Dengan tersusunnya pokok pikiran kebudayaan daerah Kota Palu ini, dapat
menjadi momentum untuk menyusun desain program yang lebih strategis dan
produktif serta sistematis dalam pemajuan kebudayaan Indonesia, khususnya di
Kota Palu.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 4


BAB II

PROFIL KOTA PALU

II.1. Tentang Kota Palu


II.1.1. Wilayah dan Karakteristik Alam
Kota Palu adalah Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Pusat
Pemerintahan Kota Palu terletak di Kecamatan Tanamodindi. Secara geografis,
Kota Palu berbatasan dengan Kabupaten Donggala di sebelah barat dan Utara,
Kabupaten Sigi di sebelah selatan, dan Kabupaten Parigi Moutong di sebelah
timur.
Keunikan karakteristik alam Kota Palu yang telah disebutkan sebelumnya
yakni kota dengan lima dimensi yang terdiri atas lembah, lautan, sungai,
pegunungan, dan teluk, tentunya merupakan proses pembentukan alam yang
panjang sebagai konsekuensi letak geografis yang berada di garis khatulistiwa.
Selain itu, Kota Palu dilewati oleh garis Khatulistiwa. Kota Palu sangat strategis dan
potensial menjadi Kota destinasi dunia.
Wilayah kota Palu yang berada di garis pantai yang membentang
membentuk teluk relatif sedikit ditumbuhi vegetasi. Selain mangrove yang relatif
sedikit jumlahnya, juga terdapat pohon kelapa, mangga, pohon kelor dan kayu
jawa yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai pagar hidup batas lahan.
Sungai di kota Palu pada musim kemarau menjadi tempat produktif bagi
masyarakat di sekitarnya yang bekerja sebagai pemecah batu untuk bahan
material bangunan, namun pada musim penghujan sungai Palu memiliki debit air
yang sangat tinggi. Muara sungai kota Palu yang berawa menjadi habitat yang
mumpuni berkembang biaknya reptil bertubuh besar dengan jenis buaya muara
sungai. Buaya (crocodile) yang hidup di muara sungai walaupun berbahaya bagi
manusia, tetapi seringkali hewan tersebut menjadi objek wisata tersendiri bagi
masyarakat pada saat menikmati keindahan alam pantai Talise. Posisi sungai yang
membelah dua kota Palu mengharuskan pemerintah daerah membangun 4
(empat) jenis jembatan sebagai sarana mobilitas penghubung antara wilayah di
dalam kota Palu. Keempat jembatan tersebut juga sering menjadi penanda arah
batas-batas wilayah adat dari masing-masing sub suku bangsa Kaili yang sangat
beragam jumlahnya.
Sementara itu, daerah pegunungan relatif lebih subur yang ditumbuhi oleh
berbagai jenis vegetasi. Wilayah pegunungan di kota Palu yang relatif gersang
terdapat di antaranya di wilayah kelurahan Mantikulore. Gunungnya sangat jarang
ditumbuhi oleh pepohonan, sehingga beberapa masyarakat sering menyebutnya
sebagai gunung teletabis yang menganalogikan dengan jenis gunung pada film
kartun anak-anak Teletabis yang pernah buming pada salah satu stasiun TV
swasta.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 5


II.1.2. Demografi
Penduduk Kota Palu berdasarkan proyeksi penduduk pada tahun 2016
sebanyak 374.020 jiwa yang terdiri atas 188.017 jiwa penduduk laki-laki dan
186.003 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi penduduk
pada tahun 2015, penduduk Kota Palu mengalami pertumbuhan sebesar 1,61
persen dengan masing-masing persentase pertumbuhan penduduk laki-laki
sebesar 1,57 persen dan penduduk perempuan sebesar 1,65 persen. Kepadatan
penduduk tahun 2016 mencapai 947 jiwa/km. Kepadatan penduduk di delapan
kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di
Kecamatan Palu Timur, Palu Barat, Tatanga dan Palu Selatan. Sedangkan terendah
adalah Kecamatan Mantikulore. Data penduduk Kota Palu tersebut di atas
diperoleh dari Buku Laporan Palu dalam Angka Tahun 2017 oleh Badan Statistik
Kota Palu.
Pertumbuhan penduduk di kota Palu relatif tidak selaju dengan penduduk
kota-kota besar lainnya, karena wilayah ini merupakan daerah tujuan. Penduduk
melakukan migrasi ke kota ini jika ada potensi, misalnya pada saat beroperasinya
pertambangan tradisional masyarakat di wilayah Poboya. Aktifnya tambang emas
tersebut memancing masyarakat dari berbagai daerah datang berkunjung dan
diantaranya menetap menjadi penduduk kota Palu. Pertambahan pertumbuhan
penduduk berdasarkan kelahiran cukup stabil, berbanding dengan jumlah
kematian penduduk dan migrasi keluar kota Palu. Namun demikian perlu
ditambahkan, 10 tahun terakhir ini pertumbuhan penduduk cukup meningkat
salah satu di antaranya karena perguruan tinggi yang ada kota Palu sudah
berbenah meningkatkan kualitas pelayanan, sehingga masyarakat di seluruh
daerah Propinsi Sulawesi Tengah dan tidak sedikit dari Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Barat juga sudah berorientasi menyekolahkan anak-anaknya di
Perguruan Tinggi yang ada di kota Palu.

II.1.3. Latar Belakang Budaya


II.1.3.1. Corak Utama
Corak budaya yang dominan di Kota Palu adalah budaya Kaili. Kota Palu
memiliki beberapa ekspresi kebudayaan yang khas, diantaranya: Meaju, Taria
Peulu Cinde, Mokambu, Kakula Nuada. Lalove Nuada, dan Gimba Nuada.

II.1.3.2. Keragaman Budaya


Keragaman Budaya Kota Palu memiliki beberapa ekpresi yang masih asli
khusus Ritual yang masih berlaku di masyakat hingga kini dan tidak dimiliki
kebudayaan lain di Indonesia,. Lima Wilayah keadatan di lembah Palu, Ledo, Tara,
Rai, Unde, Doi, memiliki ciri tersendiri dalam segi bahasa dan keseniannya.
Kedudukan Palu menjadi pusat Kota dan Ibu kota Propinsi terdapat perpaduan
budaya, China, India, Arab, Eropa serta beberapa penguruh kebudayaan suku suku

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 6


bangsa lain nusantara yang masuk dari Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Kalimantan,
dan Sumatra. Keberagaman ini membuat Palu semakin kaya dengan ornamen dan
kebudayaan lainnya yang saling mempengaruhi. Namun dalam Proses akulturasi
kebudayaan di kota Palu tersebut membuat Palu semakin menguatkan tradisi
aslinya. Bentuk perpaduan budaya Arab ditandai dengan zapin dari timur tengah
dalam tradisi Kaili Lembah Palu menjadi Jepeng, Rabana menjadi Rabana, Pakaian
Pengantin perempuan Terpengaruh budaya Arab disebut Baju Fatimah, konstruksi
bangunan di pengaruhi gaya arsitektur Cina dan Kalimantan, Bugis, Makassar dan
Melayu, untuk makanan di pengaruhi oleh Sulawesi bagian utara, jawa dan
sumatera. Untuk pengetahuan masih sangat asli dan rapalan serta sastra lisan
belum terpengaruh oleh budaya luar diantaranya; Vaino, vae, Dondi, Dulua, Gane,
Kayori. Namun dialeg kaili kini tepengaruh oleh dialeg pendatang lebih spesifik ke
dialeg Sulawesi Utara Manado dan dialeg Arab sebab pusat perguruan Islam
tertua ada di lembah Palu.

II.1.4. Sejarah
II.1.4.1. Sejarah Singkat Budaya
Sebagaimana suku-suku lainnya di wilayah persada Nusantara, Suku Kaili
juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam
kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus
dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat. Penyelenggaraan
upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-
Raego, kesenian berpantun muda-mudi), upacara kematian (no-Vaino,menuturkan
kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji
kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit ( no-Balia,
memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya
agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan
mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan
kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara
menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam
seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari
(Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.
Kebudayaan kota Palu berkembang dari masa prasejarah yang dibuktikan
dengan adanya situs pemukiman megalitik, dan benda cagar budaya seperti
lumpang batu. Pada sekitar abad ke 7 pengaruh budaya Cina mulai memasuki
Sulawesi Tengah yang dibuktikan dengan temuan keramik dari dinasti Tang abad

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 7


ke 7 hingga dinasti Ching pada abad ke 19. Agama Islam menyebar di kota Palu
dimulai awal abad ke 17 oleh ulama-ulama dari Minangkabau.
Penyebaran agama Islam pada abad ke 18 hingga abad ke 20 kemudian
dilanjutkan oleh ulama-ulama dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan dari
Yaman. Catatan atau manuskrip dari Baligau Tatanga menyebutkan bahwa
kerajaan Palu struktur pemerintahannya telah ada 58 tahun sebelum perjanjian
Bungaya Tahun 1667. Selain itu, terdapat naskah tentang silsilah keluarga kerajaan
Palu dan naskah yang berisi hubungan kerajaan Palu dan kerajaan lain di
Nusantara. Budaya kolonial mulai masuk ke kota Palu sejak pihak Hindia Belanda
menjalin hubungan kerjasama dengan beberapa bangsawan di Lembah Palu.
Persentuhan kebudayaan lokal di Lembah Palu dengan budaya luar dari
Cina, Asia Selatan, Arab, dan Eropa menghasilkan akulturasi dalam bentuk
arsitektur, bahasa dan dialek, kesenian, kuliner, dan peralatan hidup. Contoh;
bangunan Rumah Raja Palu adalah perpaduan gaya arsitektur Kaili, Bugis, dan
Banjar. Dalam corak dan tradisi pembuatan gerabah masih berlaku dan hidup
hingga saat ini dengan ukiran khas Kaili. Teknik anyaman rotan dan kulit
pembuatan kain kulit belum dipengaruhi oleh kebudayaan lain sebab tadisi ini di
wilayah pegunungan yang belum bercampur baur dengan kebudayaan lain.

II.1.4.2. Sejarah Singkat Wilayah Administratif


Asal usul nama kota Palu adalah kata Topalu'e yang artinya Tanah yang
terangkat karena daerah ini awalnya lautan, karena terjadi gempa dan pergeseran
lempeng (palu koro) sehingga daerah yang tadinya lautan tersebut terangkat dan
membentuk daratan lembah yang sekarang menjadi Kota Palu.
Istilah lain juga menyebutkan bahwa kata asal usul nama Kota Palu berasal
dari bahasa kaili “Volo” yang berarti bambu yang tumbuh dari daerah Tawaeli
sampai di daerah Sigi. Bambu sangat erat kaitannya dengan masyarakat suku Kaili,
ini dikarenakan ketergantungan masyarakat Kaili dalam penggunaan bambu
sebagai kebutuhan sehari-hari mereka. Baik itu dijadikan bahan makanan
(Rebung), Bahan bangunan (Dinding, tikar, dll), Perlengkapan sehari hari,
permainan (Tilako), serta alat musik (Lalove).
Pada awal mulanya, Kota Palu merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Palu.
Pada masa penjajahan Belanda, Kerajaan Palu menjadi bagian dari wilayah
kekuasaan (Onder Afdeling Palu) yang terdiri dari tiga wilayah yaitu Landschap
Palu yang mencakup distrik Palu Timur, Palu Tengah, dan Palu Barat; Landschap
Kulawi; dan Landschap Sigi Dolo.
Pada tahun 1942, terjadi pengambilalihan kekuasaan dari Pemerintahan
Belanda kepada pihak Jepang. Pada masa Perang Dunia II ini, kota Donggala yang
kala itu merupakan ibukota Afdeling Donggala dihancurkan oleh pasukan Sekutu

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 8


maupun Jepang. Hal ini mengakibatkan pusat pemerintahan dipindahkan ke kota
Palu pada tahun 1950. Saat itu, kota Palu berkedudukan sebagai Kepala
Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat wedana dan menjadi wilayah daerah
Sulawesi Tengah yang berpusat di Kabupaten Poso sesuai Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1950. Kota Palu kemudian mulai berkembang setelah dibentuknya
Residen Koordinator Sulawesi Tengah Tahun 1957 yang menempatkan Kota Palu
sebagai Ibukota Keresidenan.
Terbentuknya Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1964, status Kota Palu sebagai ibukota ditingkatkan menjadi
Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Kemudian pada tahun 1978,
Kota Palu ditetapkan sebagai kota administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1978. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1994 Kota
Palu ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Palu. Dengan keluarnya Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya
mengatur seluruh Kotamadya di Indonesia berubah dengan sebutan Kota, maka
Kotamadya Palu menjadi Kota Palu.

II.1.5 Peraturan Daerah Terkait Kebudayaan


II.1.5.1. Peraturan Yang Berlaku
Ada beberapa Peraturan Daerah yang berlaku terkait dengan kebudayaan
yang telah diatur dan ditetapkan oleh Pemerintah Kota Palu, diantaranya:
a. Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 9 Tahun 2016 tentang Kelembagaan Adat
Kaili
b. Peraturan Walikota Palu Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kelembagaan Adat kalili.
Selain regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Palu, terdapat juga
regulasi tentang kebudayaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau Gubernur
Provinsi Sulawesi Tengah, yakni; Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah
Nomor 02 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Kebudayaan
Daerah.

II.1.5.2. Peraturan Yang Pernah Ada dan Sudah Tidak Berlaku


Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara khusus tentang
kebudayaan sejak era Orde Baru dapat dikatakan tidak ada. Hanya karena euforia
otonomi daerah, sejumlah lembaga-lembaga adat mulai kembali menunjukkan
eksistensinya dan mendorong pemerintah daerah untuk sebagai bagian dari
institusi pemerintah desa dan kelurahan.
Namun demikian, Pemerintah daerah kota Palu saat ini sudah menginisiasi
sejumlah kebijakan yang dapat menguatkan kebudayaan daerah di kota Palu, dan
kedepannya Pemerintah Daerah bersama DPRD kota Palu diharapkan
merumuskan perda sebagai respon dari UU Nomor 5 tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan yang telah disahkan oleh pemerintah pusat.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 9


II.2. Ringkasan Proses Penyusunan PPKD
II.2.1. Tim Penyusun
Anggota Tim penyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kota Palu berasal
dari berbagai unsur, di antaranya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu,
Akademisi, Praktisi Seni dan Budaya, Tokoh Masyarakat. Adapun susunan anggota
tim sebagai berikut:
Tabel 2
Susunan Tim Penyusun PPKD Kota Palu Tahun 2018

No. Nama Anggota TIM Jabatan dalam TIM Bidang Keahlian


1. H. Anysar Sutiadi, S. Sos., M Si. Koordinator umum Kadis Dikbud Kota Palu
2. Drs. Tjatjo Tuan Sjaichu, M. Pd. Koord. Penyusun Budayawan Kota Palu
3. Drs. Iksam Djorimi, M. Hum. Anggota Penyusun Arkeolog
4. Ashar Yotomaruangi, S. Sos., M. Si. Anggota Penyusun Sosiolog
5. Arifuddin M. Arif, S. Ag., M. Ag. Anggota Penyusun Akademisi
6. Ikhtiar Hatta, S. Sos., M. Hum. Anggota Penyusun Antropolog
7. Smiet, S. Kom. Anggota Penyusun Seniman
8. Ridwan D. Mado Anggota Penyusun Seniman
9. Erwin Laudjeng Anggota Penyusun Budayawan

Selain tim penyusun di atas, dibantu oleh tim kesekretariatan yang terdiri
dari sembilan orang, yaitu:
Tabel 3
Susunan Tim Sekretariat PPKD Kota Palu Tahun 2018

No. Nama Anggota TIM Jabatan dalam TIM Bidang Keahlian


1. Titi Rahma, SE. Kord. Bid Kesekret. Staf Dikbud Kota Palu
2. Ucok S. Pd. Anggota Bid Kesekret. Staf Dikbud Kota Palu
3. Yan Suprandy Djabier, M. Si. Anggota Bid Kesekret. Staf Dikbud Kota Palu
4. Imam Asrofi Anggota Bid Kesekret. Staf Dikbud Kota Palu
5. Ichwanul Fatah Anggota Bid Kesekret. Staf Dikbud Kota Palu
6. Lukman Anggota Bid Kesekret. Staf Dikbud Kota Palu
7. Rahmayuni Anggota Bid Kesekret. Staf Dikbud Kota Palu
8. Siti Rahma Anggota Bid Kesekret. Staf Dikbud Kota Palu
9. Dewi Prasasti Anggota Bid Kesekret. Staf Dikbud Kota Palu

II.2.2. Proses Pendataan


Proses pendataan yang dilakukan oleh Tim PPKD Kota Palu dilakukan
berdasarkan metode penelitian yang telah dijelaskan pada sub bab metode
penelitian. Beragamnya metode penelitian yang dioperasionalkan dalam kajian ini
didasarkan pada kompleksitas 11 pokok pikiran pemajuan kebudayaan Kota Palu.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 10


Secara umum tim yang terbentuk menggunakan wawancara, kajian literatur,
penelusuran dokumen, dan Focus Group Discussion (FGD).
Seluruh tim menggunakan metode Wawancara terhadap setiap informan
dengan menerapkan metode bola salju (snowball). Dalam proses wawancara
setiap tim informan diwawancara langsung, di antaranya tokoh masyarakat, tokoh
adat, budayawan, pelaku seni budaya dan masyarakat umum yang dianggap
memiliki pengetahuan terkait 11 objek pemajuan kebudayaan; Kajian literatur
dilakukan di perpustakaan propinsi Sulawesi Tengah, Perpustakaan Daerah Kota
Palu dan perpustakaan Museum Propinsi Sulawesi Tengah; Penelusuran Dokumen
dilakukan di Museum Daerah Sulawesi Tengah dan dokumen terkait yang terdapat
pada masyarakat; Focuss Group Discussion (FGD) melibatkan tokoh masyarakat,
tokoh adat, budayawan, pelaku seni budaya, pihak pemerintah daerhah kota Palu
dengan cara membentuk kelompok kecil berdasarkan setiap pokok pikiran. Setiap
orang dari peserta FGD dimasukkan ke dalam kelompok berdasarkan
pengetahuan dan perhatian. Peserta FGD yang hadir untuk 11 objek pemajuan
berjumlah 100 orang. 8 (delapan) pokok pikiran terdiri dari 10 orang peserta FGD,
2 pokok pikiran terdiri dari 7 orang peserta FGD dan 1 pokok pikiran terdiri dari 6
orang peserta. Masing-masing kelompok FGD dipandu oleh 1 anggota tim
penyusun sebagai fasilitator.

II.2.3. Proses Penyusunan Masalah dan Rekomendasi


Penyusunan masalah dan rekomendasi dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan:
Pertama, Identifikasi masalah melalui wawancara terbuka terhadap setiap informan
atas setiap jenis dari 11 Objek Pemajuan Kebudayaan; tahap Kedua, Masalah yang
muncul pada tahap pertama didiskusikan oleh setiap peserta FGD untuk setiap
kelompok objek pemajuan dan merumuskan secara kolektif rekomendasi; dan
tahap Ketiga, Masalah dan rekomendasi yang telah dirumuskan melalui FGD
dimatangkan oleh Tim penyusun baik dalam konteks kebahasaan dan konten dari
rekomendasi dan masalah.

II.2.4. Catatan Evaluasi dan Proses Penyusunan


Sebagai implikasi dari keseluruhan proses penyusunan Pokok Pikiran
Kebudayaan Daerah (PPKD) Kota Palu Tahun 2018 ini, maka ada beberapa
catatan-catatn evaluasi dari Tim kerja, sebagai berikut:
a. Aspek Personal dan Tanggung Jawab Kinerja Tim Penyusun:
1) Pembentukan tim penyusun hendaknya dilibatkan dari kolaborasi berbagai
bidang keahlian terkait dibutuhkan dalam proses penelitian, penginputan,
dan pengolahan serta analisis data sehingga terjadi sinergitas tim secara
efektif dan produktif dalam menyelesaikan proses penyusunan PPKD.
2) Tim penyusun memiliki kesibukan masing-masing sehingga progres kerja
penyusunan kurang maksimal dan kurang produktif diakibatkan beberapa

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 11


anggota tim tidak hadir dalam rapat-rapat koordinasi dan konsolidasi
penyusunan PPKD.
3) Kordinasi kinerja dan tanggungjawab tugas masing-masing tim penyusun
yang dibangun melalui jalur komunikasi medsos terkadang kurang responsif
dari anggota tim, menyebabkan diskusi dan proses pemecahana masalah
setiap kendala proses kerja penyusunan menjadi lambat dan tergambat.
b. Aspek Waktu dan Prosedur Penyusunan:
1) Limit waktu penyusunan PPKD sangat singkat dan terbatas, sehingga
pelaksanaan survei, pengumpulan data, pendalaman setiap objek PPKD
belum maksimal.
2) Beberapa masukan terkait tahapan-tahapan kinerja penyusunan dari
beberapa tim yang efektif kurang diakomodir, sehingga target dan capaian
kerja penyusunan kurang sesuai target yang direncanakan.
3) Sistem kerja penyusunan tidak tersusun secara sistemik dan terukur dalam
bentuk time schedule.
c. Proses Pengumpulan dan Pengimputan Data OPK:
1) Pengumpulan data dan survei setiap OPK masih terdapat di antaranya yang
tidak berbasis atau mengacu pada borang dan juknis penyusunan OPK,
sehingga berdampak pada proses kelengkapan penginputan di dalam
APIK.
2) Keterlambatan proses input data setiap OPK ke dalam APIK berdampak
terhadap proses analisis grafik dan tabel di dalam draft PPKD.
3) Sistem APIK belum normal mengakibatkan beberapa data grafik, tabel dan
statistik setiap OPK mengalami eror sehingga memperlambat proses
deskripsi dan narasi dalam draft PPKD.
d. Fasilitasi dan Publikasi Proses Penyusunan:
1) Tim tidak difasilitasi dengan alat transportasi dan akomodasi yang
memadai untuk turun survei dan pendalaman di lapangan terkait
kebutuhan data dan informasi setiap OPK yang akan dikaji.
2) Penguatan anggaran terkait dengan keperluan penyusunan dan proteksi
kinerja tim penyusun masih sangat terbatas sehingga perlu perencanaan
keuangan terkait rencana penyusunan yang rasional, terukur, dan
proporsional, serta berbasis profesionalitas.
3) Sistem publikasi belum maksimal sehingga banyak masyarakat tidak
mengetahui adanya penyusunan PPKD, sehingga masyarakat luas kurang
terlibat dalam memberikan data dan informasi terkait dengan OPK Kota
Palu.
Beberapa catatan di atas, sekaligus sebagai rekomendasi agar langkah
penyusunan tindak lanjut dapat berjalan secara efektif dan maksimal dalam rangka
tersusunnya PPKD dan desain program-program strategis pemajuan kebudayaan
Kota Palu secara berkualitas.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 12


BAB III

LEMBAGA PENDIDIKAN BIDANG KEBUDAYAAN

III.1. Lembaga Pendidikan Menengah Bidang Kebudayaan


Secara spesifik, belum ada lembaga pendidikan menengah dan lembaga
pendidikan tinggi di Kota Palu yang memiliki jurusan khusus di budang
kebudayaan atau sekolah/perguruan tinggi yang khusus di bidang seni budaya.
Namun demikian, terdapat beberapa lembaga pendidikan menengah kejuruan
memiliki jurusan yang berhubungan dengan kebudayaan seperti; jurusan bahasa,
pariwisata, kerajinan, dan tata boga. Diantara lembaga pendidikan tersebut, yaitu;

Tabel 4
Susunan Tim Penyusun PPKD Kota Palu Tahun 2018

No. Nama Sekolah Menengah Jurusan Berhubungan Kebudayaan


1. SMK Neg. 1 Palu Perhotelan; Tata Boga; dan Busana
2. SMK Neg. 2 Palu Pariwisata; Perhotelan; dan Multimedia
3. SMK Neg. 3 Palu Teknik Audio-Vusual
4. SMK Neg. 5 Palu Kerajinan (Industri Kerajinan)
5. SMA/SMU Palu Jurusan IPS dan Bahasa

III.2. Lembaga Pendidikan Tinggi Bidang Kebudayaan


Adapun lembaga pendidikan tinggi (Universitas/Institut) yang memiliki
fakultas/jurusan yang berhubungan dengan kebudayaan di Kota Palu di
antaranya:
Tabel 5
Susunan Tim Penyusun PPKD Kota Palu Tahun 2018

No. Nama Pendidikan Tinggi Fakultas Jurusan Berhubungan


Kebudayaan
1. Universitas Tadulako Palu FISIP Sosilogi; Antropologi.
FKIP Pend. Sejarah; Pend. Bahasa
Indonesia; Pend. Bahasa Inggris
2. IAIN Datokarama Palu FUAD Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
FTIK Pend. IPS; Pend. Bhs. Inggris
3. Universitas Alkhairaat Palu Sastra Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP Pend. Bhs. Indonesia
4. Universitas Muhammadiyah FKIP Pend. Bhs. Inggris

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 13


BAB IV

DATA OBJEK PEMAJUAN KEBUDAYAAN

IV.1. Manuskrip
Manuskrip adalah semua bahan tulisan tangan peninggalan nenek moyang
pada kertas, lontar, kulit kayu, dan sebagainya. Terdapat beberapa manuskrip
skrip (naskah) kuno yang selama ini tersimpan di penjuru tanah air, sejatinya
merupakan sumber peradaban tak ternilai. Manuskrip merupakan sumber
pengetahuan yang masih relevan sampai kini, selain nilai-nilai kehidupan.
Khusus di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, berdasarkan hasil pendataan
dan survei terdapat 17 manuskrip, sebagai berikut:
Tabel 6
Nama-nama OPK Manuskrip Kota Palu Tahun 2018
No. Nama OPK Manuskrip Bahasa
1. Ayat Alkalin Belanda
2. Akte Tahun 1919 Belanda
3. Kontrak Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Belanda
Palu tahun 1954
4. Lontara Baligau Tatanga Bugis
5. Naskah Asal Kejadian Belanda
6. Naskah Kapal Camphyus Belanda
7. Naskah Konu Kutika Arab
8. Naskah Perdagangan Belanda
9. Naskah tentang Iman dan Takwa Arab
10. Salinan Mars Pelantikan Raja Palu Tjatjo Idjaza Belanda
11. SK Landschip Tawaeli tahun 1917 Belanda
12. SK Madika Matua Palu tahun 1921 Belanda
13. SK Madika Malolo dan Madika Matua tahun 1919 Belanda
14. Surat Bestuur Palue 27 Juli 1912 Belanda
15. Surat Controluer Palue tahun 1933 kepada Daeng Melayu
Malinde
16. Surat Keterangan Madika Malolo Palu tahun 1926 Belanda; Melayu
17. Surat Kontroleur Belanda tentang Tawaeli tahun 1912 Belanda;Melayu.Arab.
Sumber: Borang dan APIK PPKD Kota Palu Tahun 2018

Ketujuh belas OPK Manuskrip Kota Palu di atas tersimpan di dua tempat,
yaitu; di Museum Provinsi Sulawesi Tengah dan Lembaga Loigi Indonesia di Kota
Palu. Selain itu, manuskrip-manuskrip ini tertulis dalam tiga bentuk bahan, yaitu
kertas, kulit kayu, dan kain. Mansukrip-manuskrip ini pula memuat berbagai unsur
sejarah, silsilah, ajaran agama dan etika (akhlak), naskah konu. Gambaran bahan
dan bahasa manuskrip tersebut dapat dilihat dalam grafik berikut:

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 14


Grafik 1:
Grafik OPK Manuskrip Menurut Bahan

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Diagram 1:
Diagram Persentase OPK Manuskrip Menurut Bahasa

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Diagram di atas menggambarkan bahwa beberapa manuskrip yang ada


terdapat 65% manuskrip yang berbahasa Belanda, 6% berbahasa Belanda-Melayu,
6% berbahasa Bugis, 6% berbahasa Belanda-Melayu-Bugis, dan 12% naskah
berbahasa Arab.

IV.2. Tradisi Lisan


Tradisi lisan merupakan salah satu jenis warisan kebudayaan masyarakat
setempat yang proses pewarisannya dilakukan secara lisan. Tradisi lisan ini terdiri
atas cerita rakyat, bahasa rakyat, teka-teki rakyat (pertanyaan tradisional),
peribahasa rakyat (ungkapan tradisional), dan nyanyian rakyat. Tradisi Tradisi lisan
merupakan bagian kekuatan kultural suatu suku bangsa. Tradisi lisan sangat
beraneka ragam bentuknya, tidak hanya berupa dongeng, mitos, dan legenda

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 15


atau pantun dan syair. Setiap daerah bahkan setiap suku memiliki tradisi lisan
masing-masing, termasuk suku Kaili yang mendiami lembah Palu.

Grafik 2:
Grafik OPK Tradisi Lisan Menurut Jenis

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Grafik OPK Tradisi lisan di atas menggambarkan ada beberapa jenis tradisi
lisan suku Kaili di Kota Palu, mulia dari tradisi lisan dalam bentuk nyanyian, pantun,
petuah, rapalan, doa dan syair. Beberapa tradisi lisan tersebut, dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tabel 7
Nama-nama OPK Tradisi Kota Palu Tahun 2018
No. Nama OPK Tradisi Lisan Jenis Tradisi Lisan Prekw. Pelaksanaan
1. Basa Potambuli Syair dan Do’a Sering
2. Dadendate Nyanyian Jarang
3. Dandi Nyanyian Jarang
4. Gane Dua Pantun Jarang
5. Gane Nusupa Rapalan Jarang
6. Gane Pangkara Do’a kekebalan Jarang
7. Gane Talua Rapalan; Pantun Jarang
8. Kayori Pantun Jarang
9. Tindua Nyanyian Rakyat Jarang
10. Tutura Ceritra Rakyat Jarang
11. Vadi Rapalan Jarang
Sumber: Borang dan APIK PPKD Kota Palu Tahun 2018

Dalam setting sejarah dan perkembangannya, beberapa tradisi lisan ini,


sepeti; dadendate dinyanyikan (balas pantun) dan diiringi dengan alat musik,
seperti kecapi, gimba kodi, mbasi-mbasi, yori, dan pare’e. Dadendate mendapat

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 16


perhatian dari masyarakat yang kemudian sering dipentaskan pada saat pesta
panen, pesta perkawinan, pesta khitanan, pestan selamatan, dan hari-hari besar.
Sesungguhnya tradisi lisan ini mempunyai daya tarik bagi masyarakat suku Kalili
Kota Palu, bahkan mendapat perhatian dari masyarakat pada umumnya yang
mendiami lembah Palu. Namun, kondisi saat ini sudah mulai sangat jarang
dilakukan
Menurut data dan keterangan yang diperoleh di masyarakat ketika survei
dan forum terbuka bahwa orang-orang muda yang dapat menghafal tradisi lisan
semakin jarang dan tradisi ini terancam punah kalau tidak segera dilakukan usaha
pelestarian. Gambaran frekuensi pelaksanaan tradisi lisan ini dapat dilihat pada
diagram berikut:
Diagram 2:
Diagram OPK Tradisi Lisan Menurut Frekuensi Pelaksanaan

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Tradisi lisan yang terdata pada umumnya dituturkan oleh etnis Kaili, baik
etnik Kaili Tara, Ledo, Rai, dan Unde. Beberapa jenis OPK tradisi lisan yang
disebutkan di atas masih sering disajikan oleh masyarakat atau komunitas tertentu
di kalangan suku Kaili, baik pertunjukan secara langsung maupun melalui media
seperti radio. Deskripsi OPK tentang media penyajian tradisi lisian dapat dilihat
pada grafik di bawah ini:
Grafik 3
Grafik OPK Tradisi Lisan Menurut Etnis

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 17


Oleh karena itu, upaya yang penting dalam melestarikan tradisi lisan
sebagai sumber ilmu pengetahuan pada masa sekarang dan akan datang adalah
sangat urgen untuk merevitalisasi tradisi lisan. Di samping itu, dalam kaitannya
dengan hal ini penting juga memperhatikan upaya pengembangan potensi,
penyusunan langkah-langkah pelindungan termasuk pelindungan atas Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI) dan pemanfaatan tradisi lisan sebagai kekuatan
kultural yang kreatif.

IV.3. Adat Istiadat


Penduduk asli orang Palu adalah suku Kaili, suku Kaili masih terbagi lagi
menjadi sub-suku yang bahasanya pun berbeda yang mana telah terbagi menjadi
berbagai macam dialek seperti: Ledo, Tara, Ria, dan Unde. dan lain-lain. Dari
semua dialek yang ada, dialek Ledo merupakan dialek yang umum digunakan.
Semua dialek Kaili merupakan dialek yang dibedakan dengan kata “sangkal”,
karena semua jenis dialek Kaili mengandung pengertian “tidak”. Terlepas dari itu
mereka tetap bersatu sebai mana bersatunya sebuah suku. suku kaili mempunyai
beberapa tradisi yang tidak bisa dihilangkan sejak zaman nenek moyang mereka.
Berdasarkan hasil survei dan pengumpulan data terkait adat istiadat
masyarakat kota Palu, terdapat 29 jenis objek berkaitan dengan adat istiadat. Di
antara nama atau istilah adat istiadat tersebut yaitu: Givu, Mekayu, Metambani,
Moevu, Molobe Bau, Mombanga Banua, Mosiala Pale, Mosibagi Uve, Moumbu
Banua, Movunja, Holama, Nolelei, Ombo, Petomunaka, Poboti, Santongo Eo,
Mosidondo, Motapi, Motapi, Mombangu Bantaya, dan Mosabu.
Adat istiadat tersebut, berkaitan dengan beberapa jenis, yaitu; adat istiadat
tentang tata perilaku masyarakat, adat adat istiadat terkait perilaku terhadap
agama, perkawinan, gotong-royong, dan sebagainya. Namun sangat disayangkan
karena beberapa adat istiadat tersebut sudah mulai jarang dilaksanakan oleh
masyarakat suku Kaili lembah Palu sebagai pemiliki murni adat istiadat tersebut.
Gambaran frekuensi pelaksanaan dan etnis pelaku adat istiadat tersebut dapat
dilihat pada diagram 3 dan grafik 4 di bawah ini:
Diagram 3:
Diagram OPK Adat Istiadat Menurut Frekuensi Pelaksanaan

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 18


Grafik 4:
Grafik OPK Adat istiadat Menurut Etnis

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

IV.4. Ritus
Di dalam suatu kelompok masyarakat tentu ada suatu bentuk ritual. Suatu
bentuk ritual bukanlah sesuatu yang mandiri, melainkan terkait dengan aspek-
aspek lain. Ritual tersebut sebenarnya terkait dengan suatu sistem kepercayaan
dan/atau sistem religi.
Ritus sebagai salah satu objek kebudayaan berupa tata cara pelaksanaan
upacara atau kegiatan yang didasarkan pada nilai tertentu oleh kelompok
masyarakat, seperti halnya masyarakat lembah Palu. Sesungguhnya, masyarakat
Palu memiliki berbagai banyak perayaan yang diwujudjan dalam bentuk upacara
atau ritual.
Berbagai jenis upacara atau ritual dan pesta rakyat berhasil diidentifikasi
dalam borang dan hasil survei di masyarakat di sini terdapat 20 jenis. Angka ini
nantinya akan terus bertambah seiring proses pengindetifikasian mengingat
khasanah ritual masyarakat Palu sangat kaya yang belum tergali dan teridentifikasi
yang selama ini dilakukan oleh etnik Kaili yang mendiami kota Palu.
Dari sejumlah ritus yang ada berdasarkan hasil survei sudah mulai jarang
dilaksanakan dalam konteks masyarakat global dewasa ini. Adapun gambaran
frekuensi pelaksanaan ritus tersebut, dapat dilihat pada diagram berikut:

Diagram 4
Diagram OPK Ritus Menurut Frekuensi Pelaksanaan

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 19


Diagram di atas menggambarkan bahwa dari 20 ritus yang terdata berkisar
50% yang sudah jarang dilaksanakan dan 50% yang masih aktif dilaksanakan oleh
masyarakat suku Kaili lembah Palu. Keseluruhan ritus yang terinput di dalam APIK
dapat dilihat berikut:
Tabel Tabel 8
Nama-nama OPK Ritus Kota Palu Tahun 2018

No. Ritual Konteks Ritual Suku Pelaksanaan


1. Mo ove Ritual Balia dan Vunja Kaili Jarang
2. Morate Ritual kematian Kaili Sering
3. Mosalama Banua Ritual Mendirikan rumah Kaili Sering
4. Maeraja Ritual agama (Mi’iraj) Kaili Sering
5. Mantale Ritual Balia dan Vunja Kaili Sering
6. Mantengge Ntalu Ritual membuka lahan Kaili Jarang
7. Mogama Ritual adat mogama Kaili Sering
8. Movemba Ritual lembaga adat Kaili Jarang
9. Moini mpae Ritual adat mohavu Kaili Jarang
10. Nandiu Bula Raja Ritual jelang ramadhan Kaili Jarang
11. Nebolai Ritual adat perkawinan Kaili Jarang
12. Neduta Ritual adat perkawinan Kaili Sering
13. No bolo tinja Ritual mendirikan rumah Kaili Jarang
14. Noila Ritual balia Kaili Jarang
15. Nokolintingi Ritual Pernikahan Kaili Sering
16. Nolili bane Ritual menanam padi Kaili Jarang
17. Nompomada Ritual kematian Kaili Jarang
18. Notalaki Ritual kematian Kaili Jarang
19. Tambuli Ritual pernikahan Kaili Sering
20. Vadi Ritual pernikahan Kaili Sering
Sumber: Borang dan APIK PPKD Kota Palu Tahun 2018

IV.5. Pengetahuan Tradisional


Pengetahuan tradisional dapat dipahami sebagai satu bentuk respon kreatif
dari suatu suku bangsa dalam menjaga keberlangsungan kehidupannya, sehingga
tidak satupun suku bangsa yang tidak memiliki pengetahuan tradisional yang
berfungsi untuk melakukan penetrasi terhadap kondisi kehidupan sosial dan
kondisi lingkungan alam (environment) di mana mereka berada.
Sebagai suatu suku bangsa, orang Kaili atau biasa dikenal dengan to Kaili
juga memiliki sejumlah pengetahuan tradisional yang diwujudkan oleh leluhur
mereka, dan tidak sedikit pengetahuan tersebut pada dasarnya masih cukup
relefan dioperasional dalam mendukung proses hidup dari masyarakat dewasa ini.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 20


Seperti terlihat pada data yang telah berhasil ditemukan menunjukkan sangat
beragamnya jenis pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat yang ada
di lembah Palu, baik oleh suku bangsa Kaili dan suku bangsa pendatang lainnya
yang berdiaspora ke tanah Kaili dalam waktu yang cukup lama.
Dari data isian borang OPK dan hasil pendalaman melalui survei, terhimpun
terdapat ± 48 jenis OPK pengetahuan tradisional dari berbagai jenis pengetahuan
tradisional. Jumlah ini kemungkinan terus dapat betambah dalam proses
pengumpulan tahap selanjutnya. Jenis-jenis OPK dan pengelompokan tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut berikut:
Tabel 9
Kalsifikasi dan Jumlah OPK Pengetahuan Tradisional

No. Jenis Penget. Tradisional Jumlah Contoh Jenis OPK


1. Perilaku terhadap alam 4 jenis Tasina; Pasobo; Kasolo Eyona
2. Pengobatan/Penyehatan 4 jenis Balia; Paboso;
3. Penget. Pertanian 2 jenis Paruja; Binggga/Rombe
4. Busana Tradisional 8 ienis Baju Fatima; Puruka Pajama;
Paruka Ndate; Banjar; Siga.
5. Makanan Tradisional 30 jenis Kaledo; Ovempoi; Utadada,
Utakelo; Mandura; dsb.
Sumber: Borang dan APIK PPKD Kota Palu Tahun 2018

Berbagai pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh suku bangsa Kaili pada
awal kemunculannya tersegmentasi berdasarkan wilayah atau keadaan alam.
Artinya, pengetahuan tradisional tersebut muncul diantaranya karena
determinisme lingkungan. Besarnya pengaruh konteks lingkungan menjadi salah
satu faktor adanya variasi pengetahuan tradisional anatar suku bangsa Kaili yang
bermukim di wilayah pegunungan, lembah dan di wilayah garis pantai. Variasi
pengetahuan tradisional semakin tinggi sejak penduduk luar mulai masuk
membangun relasi dan bertempat tinggal dengan penduduk lokal yang
menyebabkan terjadinya penerimaan pengetahuan baru (transfer of knowladge)
yang kelak juga menjadi bagian inti dari kebudayaan suku bangsa Kaili
Transfer pengetahuan yang menjadikan pengetahuan tradisional suku Kaili
menjadi poliponik secara dominan dalam perkembangan awalnya sebagian besar
berasal dari kepulauan Sulawesi di antaranya suku bangsa Bugis, Mandar,
Makassar, Manado dan Gorontalo. Perkembangan berikutnya mendapatkan
pengaruh dari pulau-pulau lainnya seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan bahkan
Arab serta Cina setelah ditemukannya kapal uap yang memudahkan mobilitas
suku bangsa melangsungkan perjalanan jauh bermigrasi ke berbagai wilayah di
seluruh belahan dunia.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 21


Grafik 5:
OPK Pengetahuan Tradisional Menurut Jenis:

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Di antara suku bangsa yang berkontribusi mendorong variasi pengetahuan


tradisonal yang ada di tanah Kaili adalah Suku Bangsa Bugis, Mandar, dan Jawa.
Untuk jejak pengetahuan tradisional yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam yang
sangat dibanggakan oleh Suku Bangsa Kaili momentumnya berawal pada saat
kehadiran seorang penyiar Islam bernama Dato Karama bersama rombongannya,
dan juga kehadiran suku bangsa Arab yang datang dari negeri Yaman, Hadrami
bernama Habib Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufri yang kelak dikenal dengan Guru
Tua oleh seluruh Abnaul Khairat dan masyarakat Palu pada umumnya.
Menariknya tokoh-tokoh yang berasal dari luar tanah Palu, walaupun
menyiarkan agama Islam tidak serta merta meresistensi pengetahuan tradisional
yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Mereka bahkan memasukkan
unsur-unsur yang Islami ke dalam setiap ritus-ritus dan pengetahuan tradisional
seperti proses pengobatan. Proses integrasi nilai dan pengetahuan lokal dengan
pengetahuan dari luar menjadikan pengetahuan tradisional di Palu semakin kaya
dan menarik.

IV.6. Teknologi Tradisional


Sejumlah catatan sejarah dan hasil wawancara yang dilakukan menjelaskan
bahwa dalam sejarahnya kota Palu dihuni oleh penduduk yang bersuku bangsa
Kaili sebagai suku bangsa pertama yang mendiami lembah Palu, tercatat
keberadaannya sudah di wilayah tersebut jauh sebelum terbentuknya NKRI.
Sebagai suatu kelompok masyarakat, penduduk lembah Palu pada saat itu sangat
akrab dan menggantungkan kehidupannya dengan keadaan alam sekitarnya,
yakni lingkungan agraris dan kelautan.
Jejak arkeologis sebagai masyarakat agraris dan nelayan sangat mudah
ditemukan melalui keberadaan sejumlah teknologi, baik yang bersifat tradisional
ataupun modern. Khususnya teknologi tradisional, beberapa jenis teknologi

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 22


sampai saat ini masih sangat akrab dan relevan digunakan oleh masyarakat baik
sebagai petani ataupun sebagai nelayan. Untuk masyarakat nelayan sebut saja
teknologi tangkap seperti; jala, buvu, sementara untuk masyarakat pertanian jauh
lebih variatif seperti; pokata, kekebose, pemanggi, kalampa, kanjai dan
sebagainya. Terkait dengan teknologi transportasi, beberapa yang masih bertahan
digunakan masyarakat terutama dalam mengangkut material dan produksi
pertanian, seperti goroba dan doka.
Secara umum, dari data isian borang OPK dan hasil pendalaman melalui
survei, terhimpun terdapat ± 30 jenis OPK teknologi tradisional dari berbagai jenis.
Jumlah ini kemungkinan terus dapat betambah dalam proses pengumpulan tahap
selanjutnya. Jenis-jenis OPK dan pengelompokan tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut berikut:
Tabel 10
Kalsifikasi dan Jumlah OPK Teknologi Tradisional

No. Jenis Tekno. Tradisional Jumlah Contoh Jenis OPK


1. Teknologi sistem irigasi 2 jenis Kekebose; kekekodi
2. Teknologi pertanian 7 jenis Sarenggo; pokata; pandoli; kate
3. Teknologi perikanan 2 jenis Jala; buvu
4. Transportasi darat 5 jenis Doka; goroba; simbua; aki avo
5. Transportasi laut 4 jenis Sakaya; sande; leva-leva
5. Senjata tradisional 4 jenis Guma; kanjai; keri; toko/tava
6. Teknologi Arsitektur 5 jenis Bantaya; sou; gampiri; rovu
Sumber: Borang dan APIK PPKD Kota Palu Tahun 2018

Jika di cermati tabel di atas menunjukkan keberadaan kelompok teknologi


berdasarkan peruntukannya, terdiri dari; teknologi transportasi, teknologi
pertanian, teknologi perikanan, senjata tradisional, dan tekologi arsitektur.

Grafik 6:
OPK Pengetahuan Tradisional Menurut Etnis:

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 23


Berbagai teknologi tradisional yang menjadi objek pemajuan kebudayaan
yang tercantum pada tabel 9 sebagian besar digunakan dan diproduksi oleh suku
bangsa Kaili sebagaiamana termuat dalam Grafik 6 di atas. Namun demikian,
sejumlah teknologi tradisional yang digunakan tersebut tidak sepenuhnya menjadi
milik otentik dari suku bangsa Kaili melalinkan sebagian melalui proses kontak-
kontak budaya. Persebaran penduduk melalui mobilitas masuk dan keluar dari
tanah Kaili mendukung terjadinya peniruan teknologi dari wilayah yang lain,
khususnya pada wilayah-wilayah yang secara geografis berdekatan dengan
lembah Palu. Teknologi transportasi laut seperti perahu lepa-lepa, jolloro, sandek,
menjadi bukti adanya kontak-kontak budaya yang sudah berlangsung lama antara
suku bangsa Kaili dengan suku Mandar, Bugis dan Makassar. Karena itu, teknologi
transportasi tersebut tidak hanya dapat dikatakan sebagai instrumental semata
yang digunakan secara fungsional untuk kegiatan survive, tetapi lebih dalam lagi
juga sudah menjadi bagian inti dari kebudayaan Kaili seperti menjadi bagian dari
ritus-ritus tertentu yang sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, serta
masuknya kosa kata sakaya (teknologi perahu) misalnya ke dalam tradisi lisan dan
dalam seni gerak tradisonal Kaili.

IV.7. Seni
Banyak sekali warisan seni yang wajib dilestarikan sehingga anak cucu kita.
Banyaknya seni di Palu, tentu menjadi bagian dari kebudayaan nasional Indonesia.
Sebagai salah satu daerah beretnis Kaili, di Kota Palu, alat musik tradisional sering
juga ditampilkan saat ada upacara, pesta, dan ritual adat. Dan beberapa jenis
kesenian daerah ini sudah dikembangkan dalam bentuk yang lebih populer bagi
generasi muda saat ini. Secara umum, dari data isian borang OPK dan hasil
pendalaman melalui survei, terhimpun ada ± 70 jenis OPK seni tradisional dari
berbagai jenis di kota Palu.
Grafik 7
Grafik OPK Seni Menurut Cabang Seni

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 24


Berdasarkan grafik di atas teridentifikasi beberapa cabang seni, yaitu;
Tabel 11
Kalsifikasi dan Jumlah OPK Seni
No. OPK Seni Jumlah Contoh Jenis OPK Seni
1. Seni Tari 15 jenis Sampesuvu; salonde; mokambu
2. Seni Teater 17 jenis Mekianto; Sanganu Bulava, dsb.
3. Seni Sastra 9 jenis Sinanggaroke; naskah panoto
4. Seni Musik 22 ienis Topotara; ina; singgani, dsb.
5. Seni Film 7 jenis Balia Mbaso; Batunya, dsb.
Sumber: Borang dan APIK PPKD Seni Kota Palu Tahun 2018

Tabel di atas Beberapa instrumen seni budaya yang dikenal dalam kesenian
suku Kaili di Palu antara lain: Kakula (disebut juga gulintang, sejenis gamelan
pentatonis),Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba
(gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo (gong), suli (suling) dan lain
sebagainya. Mengingat jumlah OKP seni ini sangat banyak jumlahnya maka secara
lengkap keterangannya dapat dilihat dalam sistem APIK OPK seni tradisional.

IV.8. Bahasa
Suku kaili adalah suku yang mendiami kota Palu. Atau bisa disebut juga
sebagai suku asli lembah Palu. Masyarakat suku ini mendiami sebagian besar
wilayah Sulawesi Tengah meliputi Kota Palu, Wilayah kabupaten Donggala,
Kabupaten Kulawi, Parigi dan Ampana, sebagian Kabupaten poso dan sejumlah
kecil mendiami kabupaten lainnya seperti Kabupaten Buol dan kabuaten Toli-toli.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata kaili, salah
satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku orang Palu ini berasal
dari nama pohon dan buah kaili, yang umumnya tumbuh dihutan-hutan di
kawasan daerah ini. Dalam suatu karya ilmiah yang komprehensif mengenai
budaya dan tradisi masyarakat ini, dan didukung keterangan dari beberapa
informan, dapat disimpulkan bahwa Bahasa Kaili yang menjadi bahasa
dimasyarakat ini sangatlah unik dan terdapat beberapa ragam dialek.
Berdasarkan data borang dan APIK, paling tidak ditemukan lima jenis dialek
bahasa Kaili dipergunakan oleh masyarakat asli Kota Palu, yaitu: Bahasa Kaili Ledo;
Bahasa Kaili Rai; Bahasa Kaili Unde; Bahasa Kaili Tara. Dan Bahasa Kaili Doi.
Data lapangan yang diperoleh mengenai penggunaan bahasa Kaili sebagai
bahasa daerah setempat pada empat wilayah dialek di Lembah Palu, yaitu; dialek
Ledo di Besusu (kota Palu), dialek Da’a di Marawola, dialek Unde di Loli Tasiburi,
dan dialek Rai di Tawaeli. Meskipun demikian, di antara dialek yang paling umum
digunakan adalah dialek Kaili Ledo. Dialek ini kemudahannya oleh karena dari
beberapa dialek etnis Kalili lainnya dapat memahami bahasa Kaili Ledo. Dan
semua dialek tersebut aktif digunakan dalam berbahasa oleh komunitas
masyarakat Kaili di Kota Palu.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 25


Gambaran persentase frekuensi penggunaan bahasa Kaili oleh penduduk asli
Kota Palu, dapat dilihat pada diagram berikut:
Diagram 5
Diagram OPK Bahasa Menurut Status Penggunaan

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

IV.9. Permainan Rakyat


Ada sejumlah permainan rakyat berhasil terhimpun dan terinput dalam
APIK, sebagai mana tertera dalam tabel berikut:

Tabel 12
Nama-nama OPK Permainan Rakyat Kota Palu Tahun 2018
No. Nama Jenis Permainan Suku Pelaksanaan Ket.
1. Permainan Nobanga Kaili Sering Kota Palu
2. Permainan Nakoba Kaili Jarang Kota Palu
3. Permainan Nogarata/Nokeni Kaili Sering Kota Palu
4. Permainan Nosivalagasi Kaili Jarang Kota Palu
5. Permainan Kadende Kaili Sering Kota Palu
6. Permainan Nogoli Kaili Sering Kota Palu
7. Permainan Kololio Kaili Sering Kota Palu
8. Permainan Lagundi Kaili Sering Kota Palu
9. Permainan Nobesitaka Kaili Sering Kota Palu
10. Permainan Nojapi-japi Kaili Jarang Kota Palu
11. Permainan Nosibua Kaili Jarang Kota Palu
12. Permainan Nosivinti Kaili Jarang Kota Palu
13. Permainan Porogontu Kaili Sering Kota Palu
14. Permainan Supo Kaili Jarang Kota Palu
15. Permainan Teku-teku Kaili Sering Kota Palu
16. Permainan Tilako Avo Kaili Sering Kota Palu
17. Permainan Kalempa Kaili Jarang Kota Palu
18. Permainan Topegugu Kaili Jarang Kota Palu
19. Permainan Nosonggilo Kaili Sering Kota Palu
Sumber: Borang dan APIK PPKD Kota Palu Tahun 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 26


Terdapat beberapa jenis permainan rakyat tradisional yang berhasil
dihimpun dan telah terinput dalam APIK. Paling tidak ada sekitar 19 jenis
permainan rakyat yang telah terangkum dalam instrumen borang penyusunan
PPKD. Jumlah tersebut masih bersifat relatif, mengingat tidak menutup
kemungkinan akan terus bertambah seiring proses pengembangan PPKD yang
akan dilakukan oleh pemerintah kota Palu melalui fasilitasi program
pengembangan dan tindak lanjut oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Cq. Derektorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud. RI.
Gambaran umum terkait dengan etnis dan frekuensi pelaksanaan 19 jenis
permainan rakyat tersebut dapat dilihat pada Grafik 8 dan Diagram 6 berikut:

Grafik 8
Grafik OPK Permainan Rakyat Menurut Etnis

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Diagram 6
Diagram OPK Permainan Rakyat Menurut Frekuensi Pelaksanaan

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Melihat grafik dan diagram di atas, tergambar bahwa etnis Kaili memiliki
kekayaan khazanah permainan rakyat yang hingga saat ini masih banyak yang

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 27


dipertahankan. Berdasarkan persentase di agram 6 di atas, jenis permainan yang
masih sering dimainkan oleh anak-anak atau masyarakat kota Palu sekitar 53%
dan yang sudah jarang sekitar 47%.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa etnis Kaili merupakan penduduk asli
yang mendiami lembah/kota Palu. Sejak dulu, anak-anak orang Kaili juga
mempunyai beberapa jenis permainan tradisional yang cukup menggembirakan
dan menyenangkan. Sehingga, tidak mengherankan kalau beberapa jenis
permainan itu masih bertahan sampai saat ini.

V.10. Olahraga Tradisional


Seperti halnya permainan rakyat tradisional, penduduk lembah/kota Palu
juga sejak dahulu memiliki kekayaan khazanah budaya jenis olahraga tradisional.
Adapun OPK jenis olahraga tradisional masyarakat lembah/kota Palu yang berhasil
terhimpun dalam data borang dan di dalam APIK 2018, berjumlah 13 jenis, seperti
yang terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 13
Nama-nama Olahraga Tradisional Kota Palu Tahun 2018
No. Nama Jenis Olahraga Suku Pelaksanaan Ket.
1. Olahraga Nosibinti Kaili Jarang Kota Palu
2. Olahraga Tariktambang Kaili Sering Kota Palu
3. Olahraga Sakaya layar Kaili Jarang Kota Palu
4. Olahraga Larikarung Kaili Sering Kota Palu
5. Olahraga Kasti Kaili Jarang Kota Palu
6. Olahraga Hadang Kaili Sering Kota Palu
7. Olahraga Supit Kaili Jarang Kota Palu
8. Olahraga Raki’ Kaili Tidak ada Kota Palu
9. Olahraga Tilako Avo Kaili Sering Kota Palu
10. Olahraga Bakiak Kaili Sering Kota Palu
11. Olahraga Pacukuda Kaili Jarang Kota Palu
12. Olahraga Tilako Baya Kaili Sering Kota Palu
13. Olahraga Kuntao Kaili Sering Kota Palu
Sumber: Borang dan APIK PPKD Kota Palu Tahun 2018

Dari tabel di atas, terdapat beberapa jenis olahraga tradisonal yang berhasil
dihimpun dan telah terinput dalam APIK. Jumlah tersebut masih bersifat relatif,
mengingat tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah seiring proses
pengembangan PPKD yang akan dilakukan oleh pemerintah kota Palu melalui
fasilitasi program pengembangan dan tindak lanjut oleh Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan RI Cq. Derektorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud. RI.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 28


Gambaran umum terkait dengan etnis dan frekuensi pelaksanaan 13 jenis
olahraga tradisional tersebut dapat dilihat pada Grafik 9 dan Diagram 7 berikut:

Grafik 9
Grafik OPK Olahraga Tradisional Menurut Etnis

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Diagram 7
Diagram OPK Olahraga Tradisional Menurut Frekuensi Pelaksanaan

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Grafik dan diagram di atas, tergambar bahwa olahraga tradisional yang


hingga saat ini masih banyak yang dipertahankan sekitar 54% dan yang jarang
sekitar 38% dan 8% yang sudah tidak pernah dimainkan saat ini (lihat tabel
10/APIK).

V.11. Cagar Budaya


Adapun OPK cagar budaya Kota Palu, dalam konteks ini oleh tim baru
berhasil mendata satu jenis objek, yaitu jenis candi. Sesungguhnya tedapat
sejumlah cagar budaya di Kota Palu. Oleh karena itu, proses pendataan terus akan
ditindaklanjuti dan akan diupdating secara berkesinambungan dalam sistem APIK
OPK. Objek cagar budaya dari tim, memang tidak terlalu memfokuskan oleh
karena borang OPK dalam juknis juga masih fokus memperioritaskan pada 10 OPK

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 29


BAB V
DATA SUMBER DAYA MANUSIA KEBUDAYAAN DAN
LEMBAGA KEBUDAYAAN

Salah satu pilar pemajuan kebudayaan adalah ketersediaan Sumber Daya


Manusia (SDM) kebudayaan dan lembaga kebudayaan. Eksistensi dari setipa OPK
sebagai kekayaan bangsa Indonesia akan tetap lestari, terjaga, dan berkembang
manakala dimensi SDM dan lembaga kebudayaan di setiap daerah cukup tersedia,
baik dari aspek pembuat, pelaku, pemelihara, maupun pengguna budaya itu
sendiri.
Trend semakin lunturnya nilai budaya dan kurang terapresiasinya ekspresi
budaya bangsa, seperti halnya di kota Palu, diakibatkan karena semakin berkurang
dan lemahnya SDM dan lembaga budaya yang ada di setiap daerah. Gambaran
SDM dan lembaga kebudayaan setiap OPK di Kota Palu dideskripsikan secara
singkat sebagai berikut:

V.1. Manuskrip
Berdasarkan hasil survei dan pendalaman melalui studi dokumen, interview,
dan FGD terkait OPK manuskrip di Kota Palu, secara kelembagaan masih cukup
tersedia, namun terindikasi lemah dalam aspek SDM. Kelemahan SDM dalam
konteks OPK Manuskrip yang ada di Kota Palu terutama pada aspek SDM
pembaca dan penerjemah ahli terhadap beberapa naskah-naskah konu yang ada.
Demikian pula dari jumlah pengakses dan lembaga manuskrip. Untuk lebih jelas
gambaran pengakses dapat dilihat pada grafik berikut:

Grafik 10
Grafik Jumlah Pengakses Menurut OPK Manuskrip

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 30


Adapun jumlah lembaga objek Manuskrip yang ada dalam data borang
dan APIK terdapat beberapa lembaga, diantaranya; Dinas Arsip, Perpustakaan,
Login Indoneseia, KHST, dan Museum dari 17 jenis objek kebudayaan yang ada di
Kota Palu. Berikut Grafik jumlah lembaga menurut objek manuskrip:

Grafik 11
Grafik Jumlah Lembaga menurut OPK Objek Manuskrip Kota Palu Tahun 2018

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

V.2. Tradisi Lisan


Secara faktual, orang-orang muda yang dapat menghafal tradisi lisan
semakin jarang dan tradisi ini terancam punah kalau tidak segera dilakukan usaha
perekaman. Namun demikian, usaha seperti ini jelas bukanlah sekadar ikhtiar
melestarikan suatu warisan yang segera hilang, melainkan memberikan berbagai
dimensi baru dalam pengertian dan apresiasi tentang apa yang dikenal sebagai
kebudayaan tradisional. Bersamaan dengan itu, sudah tentu para penuturnya pun
semakin berkurang atau langka. Kondisi ini pun terlihat terhadap ketersediaan
SDM dan lembaga OPK Tradisi Lisan di Kota Palu.

Grafik 12
Grafik Jumlah Penutur Menurut OPK Tradisi Lisan

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 31


Grafik 13
Jumlah Lembaga menurut Objek Tradisi Lisan

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Catatan: Grafik 12 dan 13 di atas, tampaknya “bermasalah” sebagaimana tertera


dalam sistem APIK ketika draft ini disusun. Namun tampilan grafik dapat diakses
untuk perkembangan penyempurnaan sistem APIK.

Namun demikian, tabel berikut dapat memberikan gambaran terhadap


ketersediaan SDM dan lembaga OPK Tradisi lisan Kota Palu saat ini, yaitu:

Tabel 7
Nama-nama OPK Tradisi Kota Palu Tahun 2018
No. Nama Tradisi Lisan Jenis Tradisi Lisan SDM Penutur Lembaga
1. Basa Potambuli Syair dan Do’a 10 orang 2 lembaga
2. Dadendate Nyanyian 8 orang 2 lembaga
3. Dandi Nyanyian 7 orang Tidak ada
4. Gane Dua Pantun 10 orang Tidak ada
5. Gane Nusupa Rapalan 60 orang Tidak ada
6. Gane Pangkara Do’a kekebalan 50 orang Tidak ada
7. Gane Talua Rapalan; Pantun 6 orang Tidak ada
8. Kayori Pantun 5 orang Tidak ada
9. Tindua Nyanyian Rakyat 7 orang Tidka ada
10. Tutura Ceritra Rakyat 5 orang Tidak ada
11. Vadi Rapalan 10 orang Tidak ada
Sumber: Borang dan APIK PPKD Kota Palu Tahun 2018

Keseluruhan OPK tradisi lisan di atas, pada umumnya dituturkan oleh etnis
suku Kalili, kecuali ada beberapa jenis OPK tradisi lisan yang dituturkan khusus
oleh etnik tertentu, seperti; Tradisi Basa Potamboli (Etnis Kaili Tara, Ledo, dan Rai);
dan tradisi lisan Kayori (etnis Ledo, Rai, dan Unde).

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 32


V.3. Adat Istiadat
Berkaitan dengan SDM dan lembaga beberapa objek jenis adat istiadat
seperti; adat istiadat tentang tata perilaku masyarakat, adat adat istiadat terkait
perilaku terhadap agama, perkawinan, gotong-royong, dan sebagainya terdapat
beberapa adat istiadat tersebut sudah mulai jarang dilaksanakan oleh masyarakat
suku Kaili lembah Palu sebagai pemiliki murni adat istiadat tersebut. Hal ini tidak
terlepas oleh semakin lemahnya SDM dan lembaga objek tersebut.
Kelemahan SDM dalam konteks OPK adat istiadat yang ada di Kota Palu
terutama pada aspek penguatan pelaku adat. Namun demikian, dengan aktifnya
penguatan lembaga dan dewan adat kota Palu saat ini sangat prosfektif dalam
pengembangan SDM adat. Demikian pula, dari aspek kelembagaan. Dari 29 objek
adat istiadat secara keseluruhan hanya terdapat 13 lembaga adat dan dewan adat
pada tingkat kelurahan.

Grafik 14
Grafik Jumlah Lembaga menurut Objek Adat istiadat

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

V.4. Ritus
Ritus sebagai salah satu objek kebudayaan berupa tata cara pelaksanaan
upacara atau kegiatan yang didasarkan pada nilai tertentu oleh kelompok
masyarakat, seperti halnya masyarakat lembah Palu. Sesungguhnya, masyarakat
Palu memiliki berbagai banyak perayaan yang diwujudjan dalam bentuk upacara
atau ritual, dan masyarakat kota Palu masih banyak melakukan, sehingga dari
aspek SDM ritual sesungguhnya masih cukup tersedia.
Dari 20 jenis upacara atau ritual dan pesta rakyat berhasil diidentifikasi
dalam borang dan hasil survei di masyarakat terdapat sekitar 20 lembaga. Artinya,
secara kelembagaan objek ritus ini masih cukup baik. Demikian pula, dari aspek
SDM objek ritus, meskipun masih terdapat pelaku namun ada indikasi semakin

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 33


berkurang oleh karena trend generasi muda millenial kurang perhatian dalam
mempertahankan ritual-ritual leluhurnya.
Pelaku dan SDM objek ritus masih bertahan pada beberapa Totua Nuada,
Totua Nu Ngata, Pegawai Syara’ dan tokoh adat serta tokoh masyarakat. adapun
lembaga, masih banyak lembaga dewan adat. berikut deskripsi grafik jumlah
lembaga objek Ritus kota Palu saat ini berdasarkan APIK, yaitu:
Grafik 15
Grafik Jumlah Lembaga menurut Objek Ritus

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

V.5. Pengetahuan Tradisional


Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian di atas bahwa pengetahuan
tradisional di tanah Kaili eksistensinya masih tetap terjaga disebabkan karena
pengetahuan tersebut masih relevan dari segi fungsi. Diagram dan grafik di bawah
ini menunjukkan bahwa 1178 jenis pengetahuan tradisional yang jarang dilakukan
namun masih tetap dijalankan. Jarangnya dilakukan disebabkan karena bahan
baku yang sudah mulai berkurang, tidak relevan untuk beberapa masyarakat,
orang yang mengetahui sudah semakin berkurang dan terjadinya perubahan
kondisi lingkungan serta sudah mulai tergerus oleh perubahan zaman, sehingga
keberadaannya masih tetap terjaga.
Untuk pelaku pemanfaat pengetahuan tradisional pada berbagai jenis
pengetahuan tradisional sejauh ini masih tersebar luas di Kota Palu. Aspek yang
sangat potensial terutama pada jenis objek makanan (kuliner) tradisional Kaili Kota
Palu yang saat ini masih sangat eksis dan bahkan menjadi icon kota Palu. Di
antaranya, yaitu: makanan tradisional Kaledo, Utadada, Utakelo, Uvempoi, Bawang
Goreng, Surabe; Dange Tabaro, dan sebagainya.
Demikian pula pada aspek pengetahuan tradisional lainnya, seperti busana
tradisional baju adat dan baju upacara perkawinan, upacara adat, siga, dan
sampoulu, saat masih sangat eksis. Hal ini tidak terlepas tingginya komitmen
pemerintah kota Palu dalam menggiatan tema pembangunan berbasis budaya

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 34


dan adat, baik dalam dimensi ekspresi budaya maupun revitalisasi dan penguatan
nilai-nilai budaya dan adat yang di landasi iman dan takwa (religiusitas).
Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa pelaku pemanfaatan dan lembaga
objek pengetahuan tradisional masih cukup lumayan baik di Kota Palu (meskipun
terlihat secara teknis tampilan grafik dari dalam APIK masih bermasalah):

Grafik 16
Jumlah Pelaku Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juli 2018

Grafik 17
Jumlah Lembaga menurut Objek Pengetahuan Tradisional

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

V.6. Teknologi Tradisional


Pelaku pemanfataatan teknologi tradisional oleh masyarakat Kaili dan juga
masyarakat pendatang relatif masih tinggi persentasenya, hal ini disebabkan
karena dewasa ini beberapa teknologi tradisional masih relevan secara fungsional
dalam mendukung daya survive mayarakat, khususnya untuk sektor pertanian dan
nelayan. Namun demikian tetap saja teknologi tradisional sulit menghindari
terjadinya perubahan. Untuk teknologi produksi pertanian yang sudah tidak ada
seperti kekebose, kekekodi, pokata, karena teknologi tersebut selain tidak relevan
dengan sistem irigasi dan proses produksi juga tidak mendukung peningkatan

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 35


capaian volume produksi. Untuk teknologi yang masih bertahan seperti alat
membajak seperti pajeko, selain ramah lingkungan juga dapat digunakan sebagai
alternatif ketika teknologi modern mengalami masalah atau biaya operasionalnya
cukup tinggi. Begitu juga dengan teknologi tradisional di sektor kenelayanan,
mereka masih menggunakan teknologi tradisional sebagai alternatif dan juga
sebagai teknologi yang mendukung nuansa rekreatif bagi penikmat dunia
kenelayanan.
Sementara itu, untuk teknologi arsitektur dan senjata tradisional relatif lebih
sulit mengalami perkembangan pemajuan seiring perubahan dinamika sosial
masyarakat ke arah masyarakat yang lebih modern. Khusus untuk arsitektur,
bentuk rumah Kaili sudah jarang digunakan oleh orang Kaili sendiri, mereka lebih
banyak menggunakan model arsitektur modern dengan bahan baku terbuat dari
batu, semen, dan pasir. Bangunan rumah panggung yang khas Kaili ( Soki-soki)
sudah sangat jarang digunakan atau pun mengambil rumah panggung yang
memiliki kemiripan dengan rumah panggung orang Bugis-Makassar.
Untuk teknologi tradisional senjata bahkan tidak ada lagi perkembangan. Hal
itu disebabkan selain karena fungsi sakral dari senjata yang diperoleh melalui
pewarisan, juga karena kondisi sosial masyarakat yang relatif kondusif. Walaupun
senjata yang menjadi warisan masih tersimpan rapi di rumah tangga orang Kaili
seperti senjata guma, keri, sopu. Dan lainnya, tetapi teknologi tradisional tersebut
jarang bahka ada yang tidak pernah lagi digunakan. Penggunaan teknologi
tradisional senjata umumnya pada saat upacara-upacara ritual atau dalam proses
pengobatan. Lebih jauh, menurut informasi perhatian generasi sekarang mulai
berkurang terhadap senjata tradisional selain karena terbatas jumlahnya, juga
karena penggunaan yang diatur oleh undang-undang, dan yang paling
determinan adalah karena orientasi kehidupan masyarakat Kaili mulai bergeser
membekali diri dengan pendidikan yang lebih formal.

Diagram 8:
OPK TeknologiTradisional Menurut Frekuensi Pelaksanaan:

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 36


Berdasarkan Grafik 3 di atas menunjukkan bahwa frekuensi penggunaan
teknologi tradisional di kalangan suku Kaili lembah Palu secara umum
dipresentasikan sekitar 6% yang sudah tidak dimanfaatkan lagi, 47% yang jarang
dimanfaatkan, dan 47% yang masih sering dimanfaatkan. Pemanfaatan alat
teknologi tradisional yang masih sering dimanfaatkan khususnya untuk pruntukan
produksi pertanian dan teknologi tangkap. Kondisi ini juga mengindikasikan
bahwa berbagai teknologi tradisional masih ada di tengah-tengah masyarakat dan
sangat urgen dipertahankan dan dikembangkan.

Grafik 18:
Jumlah Pelaku Pemanfaatan Teknologi Tradisional:

Grafik 19:
Jumlah Pengguna Pemanfaatan Teknologi Tradisional:

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Eksistensi teknologi tradisional masih sangat populer keberadaannya juga


didukung oleh kapasitas sejumlah masyarakat, baik etnis Kaili atapun masyarakat
dari suku bangsa lainnya yang telah menginternalisasi pengetahuan pembuatan

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 37


dan pemeliharaan teknologi tradisional yang digunakan di tanah Kaili. Teknologi
tradisional yang paling tinggi presentasi pembuat, pemelihara, pembuat dan
pemelihara serta penggunanya adalah; jala, goroba, dan doka. Pengguna
teknologi ini umumnya mengharuskan penggunanya memiliki kapasitas membuat
dan memelihara teknologi tersebut. Berbeda halnya dengan teknologi arsitektur,
sumberdaya manusia yang dapat membuat dan memelihara jumlahnya sangat
kecil seperti yang tertera pada Grafik 4-5 di atas. Terkait dengan Grafik 4-5 di atas
selain menjelaskan sumberdaya manusia yang dapat membuat dan memelihara,
juga dapat dijelaskan bahwa pemelihara dan pembuat teknologi tersebut
membutuhkan perhatian khusus terkait pewarisan pengetahuan tradisional
pembuatan dan pemeliharaannya. Melihat grafik di atas menunjukkan grafik yang
sangat rendah dari aspek SDM teknologi. Berdasarkan informasi wawancara
mendalam yang dilakukan, proses pewarisan pembuatan dan pemeliharaan ke
generasi berikutnya tidak berjalan mulus dan mulai mengalami tantangan, di
antaranya karena orientasi masyarakat sudah mulai bergeser dari kehidupan
agraris, nelayan ke kehidupan perkantoran dan perdagangan, dan juga pengaruh
kebudayaan dari luar yang memiliki image lebih modern dan maju..

Grafik 20:
Jumlah Lembaga menurut Objek Teknologi Tradisional:

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Kompleksitas teknologi tradisional yang sangat fungsional keberadaannya


di tengah masyarakat sejauh ini belum mendapatkan dukungan dan tidak
terkoordinasi dengan maksimal melalui keberadaan lembaga-lembaga yang dapat
menjaga keberlangsungannya. Pada era orde baru tradisi yang bersifat lokal tidak
mengalami perkembangan, karena pada saat itu tidak diberikan ruang yang
memadai untuk berakselerasi memajukan kebudayaannya. Berdasarkan grafik di
atas, tergambar bahwa secara kuantitas lembaga yang eksis untuk menfasilitasi
beberapa objek teknologi tradisional sangat minim. Hanya sebagian masyarakat

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 38


melalui lembaga adat dan/atau komunitas yang tetap menjaga keberadaan
teknologi dengan berbagai keterbatasannya.
Teknologi tradisional yang menjadi bagian dari kebudayaan lokal tidak
luput dari kondisi pemarjinalan. Pada era reformasi dan Pasca reformasi
kebudayaan lokal mendapat ruang yang memungkinkan, tidak terkecuali
menggeliatnya kembali teknologi tradisonal, terlebih dengan disahkannya
Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Kondisi terkini menempatkan lembaga adat muncul sebagai institusi yang sangat
berkepentingan menjaga keberlangsungan berbagai teknologi tradisional yang
telah ada sejak leluhur mereka.

V.7. Seni
Dari keseluruhan OPK yang terdata, objek seni merupakan objek yang paling
terbanyak terekam dalam borang dan APIK tahun 2018. Objek seni dalam konteks
SDM dan kelembagaan di Kota Palu dalam beberapa tahun terakhir ini cukup baik,
oleh karena adanya proaktif dan fasilitasi dari Dewan Kesenian Kota Palu. Dengan
demikian, dari aspek kelembagaan, terdata 55 lembaga dari 70 jumlah total objek
seni yang terdata.
Berikut vusual grafik jumlah pelaku atau pendukung serta lembaga seni
menurut cabang seni:
Grafik 21:
Grafik Jumlah Pelaku/Pendukung Seni Menurut Cabang Seni

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Berdasarkan grafik di atas, tergambar dari masing-masing cabang seni


terdiri 14 (seni tari, 14; seni teater 14; seni sastra 14; seni musik 14; dan seni film 14)
SDM pelaku/pendukung dan terdapat 55 lembaga. Adapun gambaran tentang
lembaga seni di Kota Palu saat ini berdasarkan hasil data borang, dapat dicermati
pada grafik berikut ini:

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 39


Garfik 21:
Grafik Jumlah Lembaga menurut Objek Seni

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

V.8. Bahasa
Sebagaiaman disebutkan sebelumnya, bahwa berdasarkan data borang dan
APIK, paling tidak ditemukan lima jenis dialek bahasa Kaili dipergunakan oleh
masyarakat asli Kota Palu, yaitu: Bahasa Kaili Ledo; Bahasa Kaili Rai; Bahasa Kaili
Unde; Bahasa Kaili Tara. Dan Bahasa Kaili Doi.
Konteks SDM pengguna bahasa Kaili dari lima dialeg terssebut masih tetap
eksis dan digunakan dalam bahasa komunikasi di lingkungan masyarakat suku
Kaili lembah/Kota Palu. Berdasarkan data, bahwa di masing-masing dialek tersebut
terdapat masing-masing lembaga, sebagaimana tergambar dalam grafik di bawah
ini.
Garfik 22:
Grafik Jumlah Lembaga menurut Objek Bahasa

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 40


Selain visualisasi grafik di atas, gambaran keseluruhan SDM Penutur dan
lembaga objek bahasa Kaili Kota Palu berdasarkan data yang terhimpun dalam
borang dan APIK dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8:
Tabel Gambaran SDM dan Lembaga Objek Bahasa Kaili Kota Palu
No. Kel. Etnis Dialek Penutur Lembaga
1. Suku Kaili Ledo 200.000 1 (satu)
2. Suku Kaili Rai 15.000 1 (satu)
3. Suku Kaili Unde 7000 1 (satu)
4. Suku Kaili Tara 10.000 1 (satu)
5. Suku Kaili Doi 500 1 (satu)
Sumber: Borang dan APIK PPKD Kota Palu Tahun 2018

Tabel di atas, menunjukkan pula bahwa dialek mayoritas yang digunakan


oleh masyarakat suku Kaili Kota Palu dalam berbahasa adalah dialek Ledo.
menyusul dialek Rai, Tara, Unde, dan Doi.

V.9. Permainan Rakyat


Berdasarkan persentase di agram 6, digambarkan jenis permainan yang
masih sering dimainkan oleh anak-anak atau masyarakat kota Palu sekitar 53%
dan yang sudah jarang sekitar 47%. Data ini menunjukkan kalau dari SDM objek
permainan rakyat pada prinspnya cukup tersedia, namun sudah mulai terjadi
pergeseran, di mana sudah ada kecenderungan beberapa jenis permainan sudah
mengalami kepunahan.
Demikian pula dari segi jumlah lembaga, masih cukup lumayan di mana
terdapat 19 lembaga yang masih eksis dari 19 jumlah jenis objek permainan yang
ada, sebagaimana tergambar dalam grafik berikut:

Grafik 23:
Jumlah Lembaga menurut Objek Permainan Rakyat

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 41


V.10. Olahraga Tradisional
Memerhatikan grafik dan diagram OPK Olahraga Tardisional, tergambar
olahraga tradisional yang hingga saat ini masih banyak yang dipertahankan sekitar
yaitu; sekitar 54% dan yang jarang sekitar 38% dan 8% yang sudah tidak pernah
dimainkan saat ini (lihat tabel 10/APIK). Dari 13 jenis objek olahraga tradisional
tersebut juga memiliki 13 lembaga yang bersifat informal dalam mempertahankan
olahraga tradisional Kota Palu, di antaranya Dinas terkait bidang olahraga, dan
club-club olah raga yang ada pada masyarakat.
Berikut dikemukakan grafik Jumlah Lembaga menurut Objek Olahraga
Tradisional berdasarkan data borang dan APIK 2018, yaitu:

Grafik 24:
Grafik Jumlah Lembaga menurut Objek Olahraga Tradisional

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

V.11. Cagar Budaya


Eksistensi SDM dan lembaga cagar budaya yang ada di Kota Palu
sesungguhnya masih sangat terbatas dan sangat urgen penguatan SDM dan
kelembagaan dalam rangka memelihara dan melestarikan cagar budaya yang ada
sebagai khazanah kekayaan daerah Kota Palu.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 42


BAB VI

DATA SARANA DAN PRASARANA KEBUDAYAAN

Sebagai daerah yang mengusung tema pembangunan berbasis budaya


dan adat berlandaskan iman dan takwa, pemerintah Kota Palu saat ini terus
berusaha maksimal dan berbuat melakukan pelestarian budaya yang ada di
daerah ini. Pelestarian budaya dengan menjaga eksistensi sumber daya manusia
(SDM), lembaga, dan sarana dan prasarana budaya dan kearifan lokal suatu
daerah sangat urgen menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan hasil survei dan pendataan terkait sarana dan prasarana
kebudayaan di Kota Palu, memang harus diakui masih sangat terbatas, baik sarana
dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah maupun sarana dan prasarana
yang disiapkan oleh masyarakat. Sarana dan prasarana yang tersedia masih perlu
terus ditingkatkan dalam rangka mengakselerasi percepatan pemajuan
kebudayaan daerah dan nasional.
Di Kota Palu, sejak tahun 2016, penyediaan sapras oleh Pemerintah
dilakukan pengadaan ruang dan tempat untuk melakukan pameran, promosi, dan
pertunjukkan seluruh objek kebudayaan pada setiap Even Festival Palu Nomoni
yang diselenggarakan pada bulan September dalam setiap tahunnya. Bahkan,
sejak tahun 2017 Pemerintah telah menetapkan lokasi pelaksanaan Festival Palu
Nomoni dijadikan sebagai “Perkampungan Kaili” dengan membangun “Soki-soki”
sebagai miniatur berbagai macam bentuk arsitektur tradisional suku Kaili
lembah/kota Palu.
Adapun gambaran umum sapras OPK yang ada di Kota Palu saat ini, dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 9:
Data Ketersediaan Sapras OPK Kota Palu

Sarana Prasarana
No. Nama OPK
Pemerintah Masyarakat
1. Manuskrip Terbatas Terbatas
2. Tradisi Lisan Belum ada Kecapi; Gendang; Mbasi-basi
3. Adat Istiadat Buku hukum adat Bantaya; dll.
4. Ritus Belum ada data pasti Totua Nuada; Totua Ngata; dll.
5. Penget. Tradisional Belum ada data pasti Warung Kuliner; pusat produksi;
6. Teknol. Tradisional Belum ada data pasti Terbatas
7. Seni Taman seni budaya; Instrumen seni; komunitas seni
8. Bahasa Buku Tata Bahasa Ledo; Buku pedoman adat; dewan
Buku hukum adat
9. Permainan Rakyat Belum ada data pasti Belum ada data pasti
10. Olahraga Tradisi Belum ada data pasti Belum ada data pasti
11. Cagar Budaya Belum ada data pasti Belum ada data pasti
Sumber: Hasil analisis ketersediaan sapras OPK Kota Palu Tahun 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 43


Adapun gambaran persentase sarana dan prasarana setiap OPK yang
terekam dalam sistem aplikasi APIK dapat dilihat pada beberapa diagram berikut:

Tabel 10
Tabel Diagram Presentase Sarana Prasarana OPK

Diagram Objek Kebudayaan Keterangan


OPK Manuskrip
Sapras Pemerintah: 50%
Sapras Masyarakat: 50%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan diberikan penguatan
dan peningkatan.

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran


Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018
OPK Tradisi Lisan
Sapras Pemerintah: 0%
Sapras Masyarakat: 100%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan diberikan penguatan
dan perhatian pemerintah.

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran


Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018
OPK Adat Istiadat
Sapras Pemerintah: 0%
Sapras Masyarakat: 100%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan saat ini pemerintah
sementara melakukan penguatan
kelembagaan adat.
Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran
Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018
OPK Ritus
Sapras Pemerintah: 50%
Sapras Masyarakat: 50%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan diberikan penguatan
dan peningkatan.

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran


Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 44


OPK Pengetahuan Tradisional Sapras Pemerintah: 46%
Sapras Masyarakat: 54%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan diberikan penguatan
dan peningkatan.

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran


Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018
OPK Teknologi Tradisional
Sapras Pemerintah: 45%
Sapras Masyarakat: 55%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan diberikan penguatan
dan peningkatan.

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran


Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018
OPK Seni
Sapras Pemerintah: 50%
Sapras Masyarakat: 50%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan diberikan penguatan
dan peningkatan.

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran


Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018
OPK Bahasa
Sapras Pemerintah: 58%
Sapras Masyarakat: 42%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan diberikan penguatan
dan peningkatan.

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran


Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 45


OPK Permainan Rakyat:
Sapras Pemerintah: 51%
Sapras Masyarakat: 49%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan diberikan penguatan
dan peningkatan.

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran


Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018
OPK Olahraga Tradisional:
Sapras Pemerintah: 50%
Sapras Masyarakat: 50%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan diberikan penguatan
dan peningkatan.

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran


Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018
OPK Cagar Budaya:
Sapras Pemerintah: 50%
Sapras Masyarakat: 50%

Catatan: Masih rendah dan perlu


didorong dan diberikan penguatan
dan peningkatan.

Sumber: Aplikasi hasil pengimputan Pokok Pikiran


Kebudayaan Kota Palu, Juni 2018
Sumber: Hasil analisis presentase sapras OPK Kota Palu Tahun 2018

Keseluruhan Diagram OPK di atas, menunjukkan adanya komitmen yang


kuat dari pemerintah daerah dan juga masyarakat sudah mulai berkontribusi
mengambil peran dalam menjaga eksistensi seluruh objek kebudayaan.
Sarana prasarana setiap objek kebudayaan yang ada, baik di masyarakat
ataupun yang diadakan oleh pemerintah perlu mendapatkan dukungan kebijakan
pemeliharaan dari lembaga formal pemerintah, baik pada level eksekutif dan
legislatif. Kebijakan ini selain menghindari terjadinya kepunahan terhadap
kekayaan budaya daerah, juga menegaskan otentik kepemilikan dari suatu
kebudayaan yang dimiliki oleh sukubangsa Kaili Kota Palu.
Sarana dan prasarana yang tersedia untuk menjaga dan mengembangkan
kebudayaan di atas, sebagian besar memang masih berasal dari swadaya
masyarakat, sejauh ini pemerintah daerah masih memiliki keterbatasan
menyediakan sarana dan prasarana karena terkendala oleh kebijakan dan

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 46


program yang selama ini lebih mengedepankan pembangunan aspek lainnya
daripada aspek kebudayaan.
Kondisi terbatasnya sarana dan prasarana yang bersumber dari pemerintah
pada diagram-diagram di atas tergambar sangat kecil. Hal ini mengindikasikan
belum maksimalnya perhatian pemerintah terhadap aspek pemajuan dan
pemeliharaan objek kebudayaan daerah Kota Palu. Garfik di atas menunjukkan
bahwa sapras pendukung OPK ini pada umumnya difasilitasi oleh masyarakat
dengan kisaran persentase rata-rata hampir berimbang antara pemerintah dan
masyarakat. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kurang maksimalnya
perhatian terhadap pemeliharaan dan pemajuan teknologi tradisional dikarenakan
terbatasnya pendanaan yang dapat diperuntukkan untuk penyediaan sarana dan
prasarana.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 47


BAB VII
PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI

VII.1. Permasalahan dan Rekomendasi


VII.1.1. Manuskrip
Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Isi dan substansi Penerjemahan Menggali lebih Naskah Mendatangkan Naskah sudah Penggalian Penggalian Penggalian
naskah masih naskah konu dalam makna manuskrip yang Tim ahli diterjemahkan nilai-nilai nilai-nilai nilai-nilai
banyak yang yang terdapat di tersimpan di penerjemah dan disusun historisitas historisitas historisitas
belum diketahui dalam manuskrip museum naskah
secara Penerjemahan
komprehensif dan penyusunan
naskah
2. Banyak naskah Digitalisasi Menjaga Naskah Pengadaan alat Naskah konu Naskah Naskah Naskah konu
yang sudah tua naskah kelestarian mansukip yang digital sudah konu sudah konu sudah sudah
dan usang naskah tersimpan di digitalisasi digitalisasi digitalisasi digitalisasi
dimakan usia museum Proses digitalisasi
naskah

VII.1.2. Tradisi Lisan


Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Penutur tradisi Upaya regenerasi Melestarikan Totua Nuada, Melatih penutur Tersedia SDM Geliat tradisi Desiminasi Desiminasi
sudah usia lanjut dalam rangka tradisi lisan Masyarakat, dan tradisi lisan dari penutur tradisi lisan semakin tradisi lisan tradisi lisan
dan tidak ada melestarikan Generasi muda kalangan pemuda lisan berkembang secara fill secara fill in,
upaya regenerasi tradisi lisan dan pelajar in, kreatif kreatif dan
dan inovatif inovatif
2. Kurang referensi, Penelitian, Pendokumentasi Peneliti, Penelitian budaya Terdokumentas Riset Terbangun Terbangun
tenaga edukasi, penulisan, an dan akademisi, tradisi lisan; i jenis tradisi pengembang laboratoriu laboratorium
dan tenaga pendidikan dan pengadaan buku budayawa, lisan berbasis an nilai-nilai m dan dan pustaka

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 48


peneliti di pengembangan dan tenaga lembaga Penulisan dan riset tradisi lisan pustaka tradisi lisan
bidang tradisi objek tradisi lisan edukasi (SDM) pendidikan, dan pendokumentasian tradisi lisan
lisan objek tradisi komunitas seni jenis objek tradisi
lisan. budaya. lisan.
3. Pertunjukan Pertunjukan Sosialisasi dan Pemerintah, Mempersiapkan Terbangun Tradisi lisan Tradisi lisan Tradisi lisan
tradisi lisan budaya tradisi melestarikan lembaga adat, sapras sapras semakin eksis Kaili go Kaili go
sudah sangat lisan di setiap budaya tradisi lembaga seni pertunujukan; pertujukan dan dan aktual di Internasion Internasional
jarang dilakukan, even budaya lisan budaya, dan membudaya masyarakat al
baik di level pendidikan Pertunjukan tradisi pertunjukan
formal maupun di setiap event tradisi lisan.
informal. secara terorganisir
dan
berkesinambungan
.

VII.1.3. Adat Istiadat


Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Sistem nilai Revitalisasi dan Mempertahanka Lembaga atau Identifikasi ragam Teridentifikasi Adat istiadat Adat Adat istiadat
budaya atau reaktualisasi adat n nilai budaya Dewan adat adat istiadat suku ragam adat terus terjaga istiadat terus terjaga
adat istiadat istiadat dan adat istiadat Kaili Palu; istiadat dan terus dan
lokal yang hukum adat lokal sebagai dilaksanakan terjaga dan dilaksanakan
selama ini dalam sistem nilai Sosialisasi dan Ada produk serta menjadi dilaksanaka serta menjadi
mengatur tata masyarakat. dalam tata Penetapan perda hukum ttg adat kota beradat n serta kota beradat
kelakuan hidup kehidupan. tentang adat; istiadat menjadi
manusia telah kota
kehilangan Pelaksanaan beradat
legitimasinya hukum adat
sehingga posisi
adat-istiadat Pelaksanaan adat
telah diganti dan hukum adat
oleh hukum
positif.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 49


2. Nilai-nilai Revitalisasi nilai- Internalisasi nilai- Lembaga Menyusun buku Ada Buku Tradisi ada Tradisi ada Tradisi ada
kepercayaan nilai dan kearifan nilai kearifan keluarga tentang adat tentng adat hidup hidup di hidup
yang bersumber lokal dalam lokal dalam istiadat istiadat dan dimasyarakat masyarakat dimasyarakat
dari tradisi dan masyarakat yang membangun Lembaga kearifan lokal dan menjadi dan dan menjadi
agama mulai tidak karakter. pendidikan Mengembangkan bagian menjadi bagian
luntur dan bertentangan program Ada Buku program bagian program
posisinya telah dengan nilai pendidikan panduan pendidikan program pendidikan
diganti oleh religi. terintegrasi nilai- pendidikan secara pendidikan secara
nilai-nilai ilmu nilai adat istiadat berbasis nilai- terintegrasi secara terintegrasi
pengetahuan dan budaya lokal nilai adat dan terintegrasi
yang sekuler kearifan lokal
3. Di dalam Reaktualisasi Menciptakan Masyarakat, Membangun Suasana hidup Suasana Suasana Suasana
masyarakat telah pola hidup sikap hidup Keluarga dan program berbasis masyarakat hidup hidup hidup
mulai luntur nilai masyarakat yang gotong-royong generasi muda hidup gotong- yang penuh masyarakat masyarakat masyarakat
gotong-royong bergotong secara beradat royong sikap gotong yang penuh yang yang penuh
dan diganti royong royong sikap gotong penuh sikap gotong
dengan nilai Penguatan royong sikap royong
individualistis pendidikan gotong
yang karakter gotong royong
mengancam royong di
akhlak manusia. keluarga, sekolah,
dan masyarakat.

VII.1.4. Ritus
Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Pelaku ritus Reaktualisasi dan Memelihara Lembaga Reaktualisasi dan Pelaksaan ritus Pelaksaan Pelaksaan Pelaksaan
sudah mulai regenerasi eksistensi ritual- keluarga, adat, sosialisasi kepada hiudp kembali ritus hiudp ritus hiudp ritus hiudp
berkurang dan melalui proses ritual leluhur dan masyarakat. generasi penerus di tengah kembali di kembali di kembali di
yang konsisten trans- masyarakat tengah tengah tengah
melaksanakan internalisasi dan Tersedia masyarakat masyarakat masyarakat
sudah berusia pengetahuan sapras dan Tersedia dan dan Tersedia
lanjut dan tidak ritus yang masih pelaksanaan sapras Tersedia sapras

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 50


ada upaya relevan untuk riutual. pelaksanaan sapras pelaksanaan
regenerasi dikembangkan riutual. pelaksanaa riutual.
n riutual.
2. Nilai-nilai Melakukan riset Mempertemukan Pemerintah, Melakukan riset Ada buku hasil Ada buku Ada buku Ada buku
kepercayaan dan penyusunan sisi rasionalitas tokoh adat, dan penyusunan riset tentang hasil riset hasil riset hasil riset
dalam acara buku yang ritus dengan nilai masyarakat, buku; ritus tentang ritus tentang tentang ritus
ritual sudah mengungkap sisi kearifan lokal akademisi, dan Sosialisasi dan ritus
memudar seiring rasionalitas nilai budayawan serta penguatan Penguatan Penguatan Penguatan
perkembangan ritus dalam generasi muda pemahaman pemahaman pemahaman Penguatan pemahaman
rasionalitas konteks sosial rasional di nilai-nilai nilai-nilai pemahama nilai-nilai
manusia akibat masyarakat lembaga kearifan dalam kearifan n nilai-nilai kearifan
kemajuan ilmu pendidikan. lembaga dalam kearifan dalam
pengetahuan pendidikan lembaga dalam lembaga
moder. pendidikan lembaga pendidikan
pendidikan
3. Lemahnya Penguatan Fungsionalisasi Lembaga adat Penguatan Lembaga adat Lembaga Lembaga Lembaga
penguatan lembaga ada lembaga adat dan masyarakat lembaga adat dan dan adat dan adat dan adat dan
lembaga adat dan masyarakat dan masyarakat masyarakat dalam masyarakat masyarakat masyarakat masyarakat
dan masyarakat dalam dalam melestarikan ritus; yang yang yang yang
dalam memelihara dan melestarikan fungsional fungsional fungsional fungsional
memelihara dan melestarikan budaya lokal Penyediaan sapras dalam dalam dalam dalam
melestarikan ritus. (rituas) yang dibutuhkan memelihara memelihara memelihara memelihara
ritual/tradisi ritus. dalam pelaksanaan ritus; ritus; ritus; ritus;
ritus.
Ada produk Ada produk Ada produk Ada produk
hukum tentang hukum hukum hukum
ritus kota Palu. tentang ritus tentang tentang ritus
kota Palu. ritus kota kota Palu.
Palu.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 51


VII.1.5. Pengetahuan Tradisional
Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Ketersediaan Perlu dilakukan Pelestarian, Bahan baku Pembuatan taman Tersedia Geliat Geliat Geliat
bahan baku upaya beberapa bahan makanan dan lahan taman, lahan aktualisasi aktualisasi aktualisasi
dalam pelestarian dan baku jenis tradisional; pelestarian bahan dan dan promosi dan dan promosi
pembuatan pengembangan pengetahuan busana, dan baku pembuatan sebagainya beberapa promosi beberapa
beberapa jenis bahan baku tradisional masih pengobatan. makanan yang jenis beberapa jenis
pengetahuan pembuatan yang relevan. tradisional, busana memproduksi pengetahuan jenis pengetahuan
tradisional pengetahuan tradisional, dan bahan baku semakin pengetahu semakin
semakin sulit. tradisional yang pengobatan pembuatan berkembang an semakin berkembang
masih relevan. tradisional. beberapa jenis dan berkemban dan
pengetahuan mentradisi. g dan mentradisi.
tradisional. mentradisi.
Sep. Bahan
makan
tradisionl
2. Lemahnya Penguatan Melibatkan Lembaga adat Identifikasi secara Tersedia Buku Produktivitas Produktivit Produktivitas
penguatan lembaga adat lembaga ada dan masyarakat, optimal sejumlah khzanah dan kreasi as dan dan kreasi
lembaga adat dan masyarakat dan masyarakat dan pelaku jenis ilmu pengetahuan jenis kreasi jenis jenis
dan masyarakat dalam menjaga secara luas kuliner dan pengetahuan tradisional. pengetahuan pengetahu pengetahuan
untuk dan memelihara dalam medis tradisional tradisional; tradisional an tradisional
melestarikan pengetahuan melestarikan dan (sando) Proaktif semakin tradisional semakin
khazanah tradisional. mengembangka Penguatan dan lembaga adat berkembang. semakin berkembang.
pengetahuan n pengetahuan pelibatan lembaga dan masyarkat berkemban
tradisional tradisional adat dalam dalam kegiatan g.
melestarikan pelestarian
pengetahuan pengethuan
tradisional; tradisional.

Pembangunan Tersedia ruang


pusat pameran dan sapras
dan promosi pameran dan
sejumlah jenis promosi jenis

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 52


pengetahuan pengetahuan
tradisional, seperti tradisional.
kuliner tradisional
dan busana
tradisional.
3. Belum ada Mendorong Menjaga Pemerintah dan Melakukan Ada atuaran
produk hukum legislatif dan orisinalitas anggota legislatif sosialisasi perlunya hukum formal
tetang legalitas eksekutif sejulmah jenis penetapan hukum tentang
original jenis menetapkan ilmu formal terhadap pengetahuan
pengetahuan status formal pengetahuan jenis ilmu tradisional.
tradisional, jenis tradisional yang pengetahuan
seperti kuliner, pengetahuan ada di Kota Palu tradisional.
busana lokal Palu tradisional yang
ada di Kota Palu Pembuatan
produk hukum
pengetahuan
tradisional.

VII.1.6. Teknologi Tradisional


Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Ketersediaan Perlu dilakukan Pelestarian, Bahan baku Menjaga Tersedia bahan Geliat Geliat Geliat
bahan baku upaya beberapa bahan teknologi ketersediaan dan sapras aktualisasi aktualisasi aktualisasi
dalam pelestarian dan baku jenis tradisional. bahan-bahan jenis produktivitas dan dan dan
pembuatan pengembangan teknologi pengethauan teknologi produktivitas produktivit produktivitas
beberapa jenis bahan baku tradisional yang tradisional yang pertanian teknologi as teknologi
teknologi pembuatan masih relevan masih relevan, tradisional teknologi tradisional
tradisional teknologi seperti; kerajinan, semakin tradisional semakin
semakin sulit. tradisional yang arsitektur, dan berkembang. semakin berkembang.
masih relevan perkakas berkemban
pertanian. g.
2. Lemahnya Penguatan Melibatkan Lembaga adat Identifikasi secara Tersedia Buku Produktivitas Produktivit Produktivitas
penguatan lembaga adat lembaga ada dan masyarakat, optimal sejumlah khzanah dan kreasi as dan dan kreasi

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 53


lembaga adat dan masyarakat dan masyarakat komunitas jenis teknologi teknologi jenis kreasi jenis jenis
dan masyarakat dalam menjaga secara luas petani, nelayan, tradisional; tradisional. teknologi teknologi teknologi
untuk dan memelihara dalam dan arsitek. tradisional tradisional tradisional
melestarikan teknologi melestarikan dan Penguatan dan Proaktif semakin semakin semakin
khazanah tradisional. mengembangka pelibatan lembaga lembaga adat berkembang. berkemban berkembang.
teknologi n teknologi adat dalam dan masyarkat g.
tradisional tradisional melestarikan dalam kegiatan
teknologi pelestarian
tradisional; teknologi
tradisional.
Pembuatan
miniatur rumah- Tersedia ruang
rumah adat dan sapras
berbasis arsitektur pameran dan
yang sekaligus promosi jenis
sebagai wadah teknologi
promosi sejulmah tradisional.
teknologi dan
pengetahuan
tradisional.
3. Belum ada Mendorong Menjaga Pemerintah dan Melakukan Ada atuaran
produk hukum legislatif dan orisinalitas anggota legislatif sosialisasi perlunya hukum formal
tetang legalitas eksekutif sejulmah jenis penetapan hukum tentang
original jenis menetapkan teknologi formal terhadap teknologi
teknologi status formal tradisional yang jenis teknologi tradisional.
tradisional, jenis teknologi ada di Kota Palu tradisional.
seperti kuliner, tradisional yang
busana lokal Palu ada di Kota Palu Pembuatan
produk hukum
pengetahuan
tradisional.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 54


VII.1.7. Seni
Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Perlengkapan Pengadaan alat- Memaksimalkan Sanggar atau Mengidentifikasi Memiliki alat- Memiliki alat- Memiliki Memiliki alat-
alat-alat alat kesenian ekpresi dan dewan kesenian alat-alat kesenian alat kesenian alat kesenian alat-alat alat kesenian
kesenian tradisional dam produktivitas setiap cabang yang dibutuhkan; yang relevan yang relevan kesenian yang relevan
tradisional dan modern yang serta kualitas seni daerah dengan dengan yang dengan
modern sangat representatif kesenian kota Pengadaan alat- kebutuhan kebutuhan relevan kebutuhan
terbatas untuk Palu alat kesenian yang pengembanga pengembang dengan pengembang
sehingga pengembangan dibutuhkan n seni di setiap an seni di kebutuhan an seni di
terkadang kesenian kota cabang seni. setiap pengemba setiap
menggunakan Palu cabang seni. ngan seni cabang seni.
peralatan sewa. di setiap
cabang
seni.
2. Belum ada Pengadaan Ada pusat Sanggar atau Membangun Terbangun Produktivitas Produktivit Produktivitas
gedung gedung pagelaran dan dewan kesenian gedung kesenian gedung pertunjukkan as pertunjukkan
pertunjukan pertunjukan dan pertunjukan seni setiap cabang kesenian dan even pertunjukka dan even
pagelaran musik pagelaran musik kota Palu seni daerah sebagai pusat kesenian n dan even kesenian
tradisional yang tradisional yang pertunjukan semakin kesenian semakin
permanen permanen dan pagelaran menggeliat. semakin menggeliat.
seni menggeliat.
3. Pemahaman dan Pendidikan dan Membina dan Generasi muda, Mengaktifkan Pelaku seni Produktivitas Seni Terbangun
pengetahuan pelatihan seni mengembangka pelajar, dan pelaku seni dalam budaya seni lokal budaya Perguruan
serta skill bagi generasi n bakat dan komunitas seni pembinaan dan semakin secara kreatif lokal Palu Tinggi
generasi muda muda kota Palu potensi seni pelatihan seni; meningkat dan semakin menggloba Kesenian
dalam bidang generasi muda berkembang; berkembang l dan
seni tradisional Penguatan pembangu
semakin pembelajaran Kurikulum nan
berkurang moluk di sekolah Mulok di Perguruan
terkait seni lokal; sekolh dan ada Tinggi seni
sekolah
Mendirikan kesenian
sekolah kesenian.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 55


4. Belum ada Pembagunan Pengembangan Pemkot, dinas Mendirikan pojok Terdapat pojok Geliat literasi Geliat Geliat literasi
gedung pustaka perpustakaan pustaka arsip dan baca dan baca atau sastra daerah literasi sastra daerah
naskah sastra dan pusat litera kesusasteraan perpustakaan; perpustakaan prpustakaan maju dan sastra maju dan
dalam sisastra lokal daerah lembaga sastra sastra daerah brkembang. daerah brkembang.
pengembangan pendidikan; dan Penguatan literasi maju dan
seni sastra pegiat sastra di bidang sastra brkembang
daerah .

5. Belum ada Membangun Mengembagkan Pelaku seni film Membangun Rumah Kuantitas dan Geliat seni Geliat seni
fasilitas dan rumah produksi kreativitas dan rumah produksi; produksi film kualitas film film semakin
rumah produksi seni film lokal produktivitas terbangun pelaku seni semakin maju dan go
yang dan nasional di pelaku seni film Melatih skill secara film semakin maju dan nasional dan
representatif Kota Palu daerah generasi muda di refresentatif baik dan go nasional internasional.
dalam bidang produksi produktif. dan
memproduksi film internasion
seni dan film al.
Produksi film seni
dan dokumenter
daerah, dan film
lainnya.
6. Lembaga/komun Lembaga/Komun Pelestarian dan Lembaga/Sangg Pembentukan Khazanah Khazanah Khazanah Khazanah
itas seni belum itas seni pengembangan ar seni dan keompok binaan kesenian kesenian kesenian kesenian
optmal dalam melakukan kesenian daerah lembaga cabang seni daerah daerah daerah daerah
pelestarian dan pelestarian dan pendidikan semakin lestari semakin semakin semakin
pengembangan pengembangan Pembinaan secara dan lestari dan lestari dan lestari dan
kesenian daerah. kesenian secara informal dan berkembang berkembang berkembng berkembang
optimal formal terkait
kesenian daerah Pembinaan Pembinaan Pembinaan Pembinaan
sanggar seni sanggar seni sanggar sanggar seni
Penguatan seni di semakin semakin seni semakin
lembaga menggeliat menggeliat semakin menggeliat
pendidikan dan dijadikan dan dijadikan menggeliat dan dijadikan
sebagai pelajaran sebagai sebagai dan sebagai
mulok kurikulum kurikulum dijadikan kurikulum
Mulok di Mulok di sebagai Mulok di

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 56


lembaga lembaga kurikulum lembaga
pendidikan. pendidikan. Mulok di pendidikan.
lembaga
pendidikan.

VII.1.8. Bahasa
Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Penutur bahasa Peningkatan Peningkatan Lembaga/Pusta Melakukan diklat Kuantitas dan Kuantitas dan Kuantitas Kuantitas dan
Kaili sebagai kualitas dan kualitas dan bahasa; lembaga dan kualitas kualitas dan kualitas kualitas
bahasa kuantitas kuantitas adat; dan pengembangan penutur penutur penutur penutur
penduduk asli penutur bahasa penutur bahasa lembaga bahasa daerah; bahasa daerah bahasa bahasa bahasa
Kota Palu daerah daerah pendidikan. meningkat; dan daerah daerah daerah
semakin Menyusun kamus tersusunnya meningkat; meningkat; meningkat;
berkurang. bahasa daerah buku dan dan dan dan
secara lengkap kamus bahasa tersusunnya tersusunny tersusunnya
dari seluruh dialek daerah. buku dan a buku dan buku dan
Kaili di Kota Palu kamus kamus kamus
bahasa bahasa bahasa
daerah. daerah. daerah.
2. Di dalam Penguatan Pelestarian Keluarga suku Sosialisasi Bahasa daerah Bahasa Bahasa Bahasa
keluarga telah penggunaan penggunaan Kaili kota Palu pentingnya tetap lestari daerah tetap daerah daerah tetap
mulai jarang bahasa daerah di bahasa daerah mempertahankan dan digunakan lestari dan tetap lestari lestari dan
menggunakan dalam lingkugan dalam kehidupan bahasa ibu dalam digunakan dan digunakan
bahasa Kaili keluarga. keluarga (daerah) dalam lingkungan dalam digunakan dalam
sebagai bahasa lingkungan keluarga suku lingkungan dalam lingkungan
ibu akibat trend keluarga sebagai Kaili di Palu keluarga lingkungan keluarga
modernisasi. upaya pelestarian suku Kaili di keluarga suku Kaili di
bahasa daerah. Palu suku Kaili di Palu
Palu
3. Adanya rasa Penggunaan Membangun Masyarakat dan Sosialisasi dan Bahasa daerah Bahasa Bahasa Bahasa
malu dalam diri bahasa daerah di rasa bangga geberasi muda pembudayaan tetap lestari daerah tetap daerah daerah tetap
generasi muda dalam lingkugan terhadap bahasa penggunaan dan digunakan lestari dan tetap lestari lestari dan

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 57


untuk informal dan daerah sebdiri bahasa daerah oleh generasi digunakan dan digunakan
menggunakan sosial sebagai bahasa dan oleh generasi digunakan oleh generasi
bahasa masyarakat. komunikasi sehari- masyarakat. dan oleh dan
daerahnya. hari. masyarakat. generasi masyarakat.
dan
masyarakat.

VII.1.9. Permainan Rakyat


Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Pelaku dan Reaktualisasi Untuk Lembaga Menyusun buku Buku tentang Permainan Permainan Permainan
pemeran permainan melestarikan pendidikan inventarisasi ttg permainan rakyat rakyat rakyat
permaian rakyat melalui permaian rakyat jenis permainan tradisional semakin semakin semakin
tradisional penguatan rakyat; tersedia dan lestari dan lestari dan lestari dan
semakin moluk di dijadikan berkembang. berkembng berkembang.
ditinggalkan oleh lembaga Membuat buku sebagai .
generasi muda pendidikan panduan kurikulum
akibat pembelajaran Mulok di
modernisasi Mulok permainan sekolah.
budaya tradisional di
lembaga
pendidikan.
2. Jarang dilakukan Menggeliatkan Melestarikan dan Komunitas Melakukan Terlaksana Terlaksana Terlaksana Terlaksana
even even dan festival menjadikan masyarakat dan sosialisasi dan festival festival festival festival
pertandingan permainan permainan lembaga pembinaan permainan permainan permainan permainan
dan pagelaran rakyat rakyat. pendidikan. permainan rakyat di setiap rakyat di rakyat di rakyat di
permainan rakyat tradisional; moment setiap setiap setiap
tertentu di kota moment moment moment
Melakukan even Palu tertentu di tertentu di tertentu di
dan festival kota Palu kota Palu kota Palu
permainan dalam
setiap moment
yang diikuti oleh

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 58


seluruh komponen
masyarakat dan
generasi muda.
3. Tidak ada Menetapkan Melestarikan dan Pemerintah dan Menyusun draft Ada produk
lembaga dan produk hukum menjaga hak lembaga adat. penetapan hukum hukum
produk hukum penetapan legalitas legalitas permainan
yang mengatur permainan permainan permainan rakyat rakyat.
dan melestarikan rakyat sebagai rakyat kota Palu.
eksistensi tradisi origin
permainan rakyat kota Palu

VII.1.10. Olahraga Tradisional


Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Pelaku dan Reaktualisasi Untuk Lembaga Menyusun buku Buku tentang Olahraga Olahraga Olahraga
pemain olahraga olahraga melestarikan pendidikan inventarisasi olahraga tradisional tradisonal tradisional
tradisional tradisional olahraga tentang jenis tradisional semakin semakin semakin
semakin melalui tradisional olahraga tersedia dan lestari dan lestari dan lestari dan
berkurang di penguatan tradisional; dijadikan berkembang. berkembng berkembang.
masyarakat moluk di sebagai .
akibat lembaga Membuat buku kurikulum
perkembangan pendidikan panduan Mulok di
olahraga modern pembelajaran sekolah.
Mulok olahraga
tradisional di
lembaga
pendidikan.
2. Jarang dilakukan Menggeliatkan Melestarikan dan Komunitas Melakukan Terlaksana Terlaksana Terlaksana Terlaksana
even even dan menjadikan masyarakat dan sosialisasi dan pertandingan pertandingan pertanding pertandingan
pertandingan pertandingan olahraga lembaga pembinaan olahraga olahraga an olahraga olahraga
olaharag olahraga tradisional. pendidikan. olahraga tradisonal di tradisional di tradisional tradisional di
tradisional tradsisonal tradisional; setiap moment setiap di setiap setiap
Melakukan even tertentu di kota moment moment moment

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 59


dan pertandingan Palu tertentu di tertentu di tertentu di
olahraga kota Palu kota Palu kota Palu
tradisional dalam
setiap moment
yang diikuti oleh
seluruh komponen
masyarakat dan
generasi muda.
3. Tidak ada Menetapkan Melestarikan dan Pemerintah dan Menyusun draft Ada produk
lembaga dan produk hukum menjaga hak lembaga adat. hukum dan hukum terkait
produk hukum penetapan legalitas penetapan hukum olahraga
yang mengatur olahraga permainan legalitas olahraga tradsional
dan melestarikan tradisional tradisional. tradisonal kota rakyat.
eksistensi sebagai olahraga Palu.
olahraga original kota Palu
tradisional.

VII.1.11. Cagar Budaya


Indikator Capaian
No Permasalahan Rekomendasi Tujuan Sasaran Tahapan Kerja
2024 2029 2034 2039
1. Pemeliharaan Peningkatan Pelestarian dan cagar budaya Pendataan secara Terdata dan Terdata dan Terdata Terdata dan
situs cagar pemeliharaan pemeliharaan kota Palu riil dan tertata secara tertata secara dan tertata tertata secara
budaya belum cagar budaya cagar budaya pemeliharaan baik cagar baik cagar secara baik baik cagar
optimal objek cagar budaya kota budaya kota cagar budaya kota
dilakukan budaya kota Palu Palu Palu budaya Palu.
kota Palu

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 60


VII.2. Upaya
Kebudayaan, baik budaya lokal maupun nasional adalah kebudayaan kita bersama
yakni kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita bangsa Indonesia. Maka dari itu, wajib
untuk menjaga dan melestarikannya. Tanggung jawab untuk melestarikan kebudayaan
tersebut, menjadi kewajiban bersama antara seluruh kemonen masyarakat dengan
pemerintah.
Masyarakat dan pemerintah harus tegas dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan
Indonesia dengan cara revitalisasi, reaktualisasi, rekosntruksi, fill-in, kreasi dan inovasi, serta
membuat peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi budaya
bangsa.
Beberapa upaya pelestarian dan pengembangan kebudyaan, yaitu; (1) Revitalisasasi
(dihidupkan lagi dan didorong agar tumbuh dan berkembang); Reaktualisasi (dihidupkan
kembali); Revisi (disesuaikan dari tujuan semula; Restrukturisasi (dimodifikasi agar sesuai
dengan zamannya); Fill In (diisi dengan nilai-nilai baru); Inovasi (adanya kreativitas
budayawan agar lebih menarik); Kreasi (membuat kreasi baru yang sesuai dengan
daerahnya); dan Delete (adanya penghapusan nilai-nilai yang tidak sesuai).

Dalam konteks upaya pemajuan kebudayaan di Kota Palu saat ini ditemukan beberapa
upaya sebagai befrikut:

No. Upaya yang Dilakukan Objek Kebudayaan


1. Upaya revitalisasi dan reaktualisasi seluruh konteks Seluruh Objek
objek kebudayaan melalui pengidentifikasian seluruh kebudayaan
OPK di Kota Palu.
2. Upaya penguatan lembaga keadatan di Kota Palu Adat istiadat, ritus,
sesuai semangat visi pembangunan kota Palu tradisi lisan,
sebagai kota; Jasa, Berbudaya, dan Beradat di pengetahuan, dan
Landasi Iman dan Takwa. bahasa, dsb.
3. Penguatan peran kelembagaan adat dan Dewan Seluruh Objek
Kesenian Palu dalam pemajuan kebudayaan. Kebudayaan
4. Upaya pelestarian dan promosi budaya lokal melalui Seluruh Objek
even Festival Pesona Palu Nomoni serta even lainnya Kebudayaan
di setiap tahun di mana dengan melakukan
pameran, pertunjukan, pagelaran, dan promosi
budya lokal, seperti: kesenian, ritual, adat,
permainan, olaharaga, dan kuliner lokal.
5. Penyusunan Kamus bahasa, dan karya seni sastra Seni, Bahasa, dan
lokal dengan penguatan literasi kebudayaan di Sastra.
beberapa komunitas seni budaya kota Palu.
6. Penguatan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal Busana, adat-
dalam pembentukan karakter melalui lembaga istiadat, tradisi,
pendidikan melalui program Palu Kana Mapande di seni, pengetahuan,
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. teknologi,
permainan dan
olahraga tradisional
7. Pelaksanaan program dan kebijakan yang berbasis Pengetahuan
kebudayaan; seperti Kaili Day (instansi pemerintah (Busana tradisional)
dan seluruh peserta didik memakai baju adat
daerah)

VII.3. Permasalahan Umum dan Rekomendasi Umum


Permasalahan Umum
Berdasarkan hasil survei, diskusi terbuka, dan pengkajian terhadap berbagai upaya
yang dilakukan baik oleh pemerintah daerah maupun seluruh komponen masyarakat dalam
pemajuan kebudayaan di Kota Palu, ditemukan beberapa permasalahan secara umum, yaitu:
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 1
1. Belum teridentifikasi dan terdokumentasi secara komprehensip seluruh khazanah
kekayaan budaya lokal Kota Palu;
2. Sumber daya manusia (penutur, pembuat, pelaku, pemelihara), dan sarana prasarana
pelestarian seluruh objek kebudayaan daerah semakin berkurang, punah, dan
terdisrupsi oleh kemajuan teknologi dan modernitas;
3. Pelestarian dan revitalisasi beberapa adat dan ritual tardisional daerah mendapat
tantangan dari perspektif relegiusitas sosial, yang dianggap menghidupkan kembali
kepercayaan animisme dan dinamisme;
4. Ketersediaan bahan baku dan alat pembuatan dan pelaksanaan beberapa objek
budaya, seperti; kuliner, busana, alat, dan perlengkapan ritual yang bersumber dari
alam hayati (nabati dan hewani) semakin langkah dan lebih mahal.
5. Kelengkapan pedoman, dokumen, dan kurikulum berbasis nilai-nilai budaya dan
kearifan lokal belum ada secara tersistemik dan terstruktur dengan optimal,
seperti: kurikulum muatan lokal bahasa daerah, kurikulum mulok seni budaya
daerah, kurikulum mulok seni budaya daerah olahraga dan kesehatan, desain
program pendidikan dan pembelajaran seluruh mata pelajaran terintegrasi nilai-
nilai budaya dan kearifan lokal.
6. Masih banyak jenis objek budaya lokal yang belum memiliki produk hukum yang
menetapkan sebagai kekayaan asli (origin) budaya lokal kota Palu.

Rekomendasi Umum:
Berdasarkan keenam permasalahan yang ditemukan di atas, maka direkomendasikan
sebagai berikut:
1. Sebagai tindak lanjut penyusunan PPKD ini, maka dipandang perlu membentuk
tim identifikasi, dokumentasi, dan validasi secara komprehensip seluruh khazanah
kekayaan budaya lokal Kota Palu yang belum sempat terdata;
2. Penguatan tenaga SDM setiap OPK melalui pelatihan, pembinaan, dan
pengembangan, baik secara formal maupun informal, serta penyediaan sarana
prasarana pelestarian seluruh objek kebudayaan daerah;
3. Dibentuk Tim peneliti dan pengkajian untuk mempertemukan sisi positif dari nilai-
nilai budaya dan kearifan lokal dengan konteks ajaran agama, dan atau dalam
kerangka melakukan restrukturisasi secara fill-in budaya lokal dengan nilai ajaran
agama;
4. Menyediakan dan mengembangkan lahan untuk pengembangan bahan baku dan
alat pembuatan dan pelaksanaan beberapa objek budaya, seperti; kuliner,
busana, alat, dan perlengkapan ritual yang bersumber dari alam hayati (nabati
dan hewani);
5. Menysun buku pedoman, dokumen, dan kurikulum berbasis nilai-nilai budaya
dan kearifan lokal belum ada secara tersistemik dan terstruktur dengan optimal,
seperti: kurikulum muatan lokal bahasa daerah, kurikulum mulok seni budaya
daerah, kurikulum mulok seni budaya daerah olahraga dan kesehatan, desain
program pendidikan dan pembelajaran seluruh mata pelajaran terintegrasi nilai-
nilai budaya dan kearifan lokal;
6. Mendorong legislatif dan eksekutif menetapkan produk hukum berkaitan dengan
pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah dan nasional.
7. Mendorong kerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi, lembaga adat, komunitas
seni budaya, dalam pemajuan kebudayaan daerah.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 2


Lampiran
Pokok Pikiran
KEBUDAYAAN DAERAH
KOTA PALU TAHUN 2018

Lampiran 1:
Surat Keputusan Walikota tentang Penyusun PPKD Kota Palu Tahun 2018

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 3


Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 4
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 5
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 6
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 7
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 8
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 9
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 10
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 11
Lampiran:
Notulensi-notulensi dan Rekomendasi Rapat dan Forum Terbuka
Macam – Macam Manuskrip

1. Baligau Tatanga Menggunakan bahasa lontar bu


2. Manuskrip kutika, terbuat dari kulit kayu, yang isinya belum bias di ungkap, tapi
dalam garis besarnya isinya tentang waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu.
Memerlukan Pengkajian Simbol2.
3. Manuskrip Penciptaan Makhluk Hidup, terbuat dari Kain, memakai huruf Arab,
dan memelukan kajian lebih dalam.
4. Surat Controleur Paloe Tahun 193 apabila ada masyarakat memiliki surat
yang lama, bias melporkan kepada Panitia di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kota Palu.

Ritus

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 12


1. Ritus Noragi Ose menggali Makna- Makna pada Ritus
2. Ritus Nosalama Bantaya Istilah Bahasa di utamakan Bahasa Lokal.

Cagar Budaya

1. Kawatuna Menyimpan Sejarah yang sangat Tua, salah satunya pemukiman


yang sangat tua, dan butuh kajian lebih mendalam
2. Contoh Bnagunan Gedung Juang, tempat membacakan Maklumat bahwa kota
Palu Kembali ke NKRI. Dan Apabila ada gedung yang tuah bias di laporkan
kedinas pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu
3. Kelurahan kawatuna dan Poboya merupakan kawasan cagar budaya.,

Bahasa

1. Bahasa Kaili ada 22 dialek 1 di antaranya ende berasal dari Malei yaitu 17 kl dari
Taweli,
Ledo 29
Rai 9
Tara 7
Doi
Unde

Tradisi Lisan

1. Vae sudah tidak digunaka bagi topoledo, dulu terdapat di porame di


prioritaskan pada waktu panen
2. Vaino, terdapat banyak versi tetap tetap sama. Salah satu versinya topoda’a,
pantai barat rai.
3. Dondi, terletak di totara pondate
4. Dulua, sastra tertua dalam kaili di tujukan kepada dewa-dewa untuk suatu
kebutuhan
5. Tindua hamper sama dengan topodade
6. Gane terdapat bagian topontalu ada gane, sebelum masuk.
7. Gane Nusupa tidak masuk dala Gane tetapi termasuk Panginjani
8. Gane Pangkagara termasuk pangginjan.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 13


OBJEK SENI

MenjadwalkanPendataanKomunitas, Persoanaldll.
- Karya??...

- Batas Pendataandaritanggal 11- 21 juniTahun 2018


PelaksanaanDewanKesenianPalu.

MASALAH
1. BelumAdanya Data yang Valid

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 14


2. AkteLembaga

3.Belumada Data basekesenianberbasis IT

4. PendataanKembali data komunitassanggarnovindi/ dll.

5. Data Base Kota/ Propinsi

6. Aplikasi Data Android Data Valid

7. Melengkapi Data 3 TokohBudaya 3 Hari

1. Notulensi FGD
Macam – Macam Manuskrip
1. Baligau Tatanga Menggunakan bahasa lontar bu
2. Manuskrip kutika, terbuat dari kulit kayu, yang isinya belum bias di ungkap,
tapi dalam garis besarnya isinya tentang waktu yang tepat untuk
melakukan sesuatu. Memerlukan Pengkajian Simbol2.
3. Manuskrip Penciptaan Makhluk Hidup, terbuat dari Kain, memakai huruf
Arab, dan memelukan kajian lebih dalam.
4. Surat Controleur Paloe Tahun 193 apabila ada masyarakat memiliki surat
yang lama, bias melporkan kepada Panitia di Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Palu.
Ritus
1. Ritus Noragi Ose menggali Makna- Makna pada Ritus
2. Ritus Nosalama Bantaya Istilah Bahasa di utamakan Bahasa Lokal.
Cagar Budaya
1. Kawatuna Menyimpan Sejarah yang sangat Tua, salah satunya pemukiman
yang sangat tua, dan butuh kajian lebih mendalam
2. Contoh Bnagunan Gedung Juang, tempat membacakan Maklumat bahwa
kota Palu Kembali ke NKRI. Dan Apabila ada gedung yang tuah bias di
laporkan kedinas pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu
3. Kelurahan kawatuna dan Poboya merupakan kawasan cagar budaya.,
Bahasa
1. Bahasa Kaili ada 22 dialek 1 di antaranya ende berasal dari Malei yaitu 17
kl dari Taweli,
Ledo 29
Rai 9
Tara 7
Doi
Unde

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 61


Tradisi Lisan
1. Vae sudah tidak digunaka bagi topoledo, dulu terdapat di porame di
prioritaskan pada waktu panen
2. Vaino, terdapat banyak versi tetap tetap sama. Salah satu versinya
topoda’a, pantai barat rai.
3. Dondi, terletak di totara pondate
4. Dulua, sastra tertua dalam kaili di tujukan kepada dewa-dewa untuk suatu
kebutuhan
5. Tindua hamper sama dengan topodade
6. Gane terdapat bagian topontalu ada gane, sebelum masuk.
7. Gane Nusupa tidak masuk dala Gane tetapi termasuk Panginjani
8. Gane Pangkagara termasuk pangginjan.

2. Notulensi FGD
OBJEK SENI
MenjadwalkanPendataanKomunitas, Persoanaldll.
- Karya??...
- Batas Pendataandaritanggal 11- 21 juniTahun 2018
PelaksanaanDewanKesenianPalu.

 MASALAH
1. BelumAdanya Data yang Valid
2. AkteLembaga
3.Belumada Data basekesenianberbasis IT
4. PendataanKembali data komunitassanggarnovindi/ dll.
5. Data Base Kota/ Propinsi
6. Aplikasi Data Android Data Valid
7. Melengkapi Data 3 TokohBudaya 3 Hari

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 62


Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 63
4. Lampiran:
Dukumentasi Foto

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 64


Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 65
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 66
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 67
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 68
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 69
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 70
Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 71
WALI KOTA PALU
PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN WALI KOTA PALU


NOMOR 38 TAHUN 2018

WALI KOTA PALU


PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN WALI KOTA PALU


NOMOR 38 TAHUN 2017

TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN KELEMBAGAAN ADAT KAILI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALI KOTA PALU,

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2),


Pasal 6 ayat (2), Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2) Peraturan
Daerah Kota Palu Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Kelembagaan Adat Kaili perlu menetapkan Peraturan
Wali Kota tentang Pedoman Pelaksanaan Kelembagaan
Adat Kaili;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang


Pembentukan Kotamadya Daerah tingkat II Palu
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3555);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 72


Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007


tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemayarakatan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
34);

4. Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 9 Tahun 2016


tentang Kelembagaan Adat Kaili (Lembaran Daerah
Kota Palu Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Daerah Kota Palu Nomor 9);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN WALI KOTA TENTANG PEDOMAN


PELAKSANAAN KELEMBAGAAN ADAT KAILI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Wali Kota ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah adalah Kota Palu.
2. Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksana urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom.
3. Wali Kota adalah Wali Kota Palu.
4. Kelembagaan Adat Kaili adalah organisasi kemasyarakatan,
baik yang secara sengaja dibentuk maupun yang secara wajar
telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat
Kaili dengan wilayah hukum adat dan hak atas harta
kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta
berhak dan berwenang mengatur, mengurus dan
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang
berkaitan dengan dan mengacu pada adat dan adat istiadat
yang berlaku.
5. Perlindungan adalah upaya untuk menjaga dan memelihara
harta kekayaan adat dan adat istiadat baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak yang mempunyai nilai sejarah
maupun yang menyangkut kelangsungan hidup masyarakat
yang bersifat turun-temurun sehingga tetap menjadi
khasanah budaya daerah.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 73


6. Pemberdayaan adalah upaya-upaya untuk membangun
kemandirian dengan mendorong, memotivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta
berupaya untuk mengembangkannya sehingga hal itu
berperan positif dalam pembangunan daerah dan berguna
bagi masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan tingkat
kemajuan dan perkembangan zaman.
7. Pelestarian adalah upaya untuk menjaga dan memelihara
adat dan adat istiadat serta nilai-nilai sosial yang tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat yang
bersangkutan, terutama nilai-nilai etika, moral, dan adab
yang merupakan inti dari adat dan adat istiadat serta lembaga
adat agar keberadaannya tetap terjaga dan berlanjut.
8. Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan
terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap
memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat, dan
memiliki sanksi sosial.
9. Adat istiadat adalah nilai, norma dan kebiasaan yang tumbuh
dan berkembang secara turun menurun dan terpelihara serta
melembaga dalam kehidupan masyarakat.

10. Hukum Adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik


yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku
untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada
nilai budaya yang diwariskan secara turun menurun yang
senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan
ketertiban masyarakat dan mempunyai akibat hukum atau
sanksi.
11. Dewan adat adalah lembaga kemasyarakatan yang
melindungi, menjaga, memelihara dan melestarikan nilai-nilai
adat istiadat masyarakat Kaili baik di dalam maupun di luar
wilayah Kota Palu.
12. Majelis Adat adalah lembaga kemasyarakatan yang
melindungi, menjaga, memelihara dan melestarikan nilai-nilai
adat istiadat di wilayah kecamatan.
13. Lembaga Adat adalah lembaga kemasyarakatan yang
melindungi, menjaga, memelihara dan melestarikan serta
menjalankan adat di wilayah Kelurahan.
14. Peradilan Adat Kaili yang selanjutnya disebut Potangara
Nuada adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk
menyelesaikan pelanggaran adat berdasarkan hukum adat
Kaili.
15. Libu Nuada adalah rapat tondatalusi dalam menyelesaikan
persoalan sosial.
16. Pasipi Nuada adalah Pemerintah Daerah dan pemangku
agama.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 74


17. Ketua Dewan adat, Ketua Majelis Adat dan Ketua Lembaga
Adat yang selanjutya disebut Balengga Nuada.
18. Sekretaris Dewan Adat, Sekretaris Majelis Adat dan Sekretaris
Lembaga Adat yang selanjutnya disebut Pouki Nuada.
19. Bendahara Dewan Adat, Bendahara Majelis Adat, Bendahara
Lembaga Adat yang selanjutnya disebut Polisa Nuada.
20. Anggota Lembaga Adat yang selanjutnya disebut Pila-Pila
Nuada.
21. Suro adalah Perangkat Lembaga Adat yang bertugas untuk
menerima dan menindaklanjuti laporan atas terjadinya
perbuatan, atau perkataan yang diduga melanggar atau
merugikan orang lain.
22. Pemangku Adat adalah pengurus lembaga adat.
23. Soki adalah Rukun Warga di Kelurahan.
24. Givu adalah sanksi atas pelanggaran adat kaili.
25. Siga adalah semacam kain diikat di kepala sebagai topi,
dipakai kaum pria.
26. Guma adalah pedang, parang pusaka orang Kaili.
27. Kaliavo adalah perisai/tameng.
28. Pae adalah padi.
29. Kalosu adalah buah pinang.
30. Puruka Pajama adalah celana kepanjangnya sampai lutut.
31. Puruka Navuri adalah celana panjang hitam.
32. Buya adalah sarung.
33. Taiganja adalah buah kalung.

Pasal 2

Ruang lingkup dalam Peraturan Wali Kota ini meliputi:


a. struktur organisasi, pembentukan kepengurusan dan keanggotaan
kelembagaan kaili;
b. syarat kepengurusan;
c. berakhirnya keanggotaan kelembagaan adat kaili;
d. pelaksanaan penegakan hukum adat kaili;
e. bentuk, arti lambang dan atribut; dan
f. pembiayaan.

BAB II

STRUKTUR ORGANISASI, PEMBENTUKAN KEPENGURUSAN


DAN KEANGGOTAAN KELEMBAGAAN ADAT KAILI

Bagian Kesatu
Dewan Adat

Paragraf 1

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 75


Struktur Organisasi dan Pembentukan Kepengurusan

Pasal 3

(1) Struktur organisasi Dewan Adat, terdiri dari:


a. Balengga Nuada;
b. Wakele Balengga Nuada;
c. Pouki Nuada;
d. Wakele Pouki Nuada;
e. Polisa Nuada; dan
f. Pila-Pila Nuada, terdiri:
1. Pila-Pila Keadatan;
2. Pila-Pila Peradilan;
3. Pila-Pila Kelembagaan;dan
4. Pila-Pila Pengkaderan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan struktur organisasi
Dewan Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Wali Kota.

Paragraf 2
Keanggotaan

Pasal 4

(1) Keanggotaan Dewan Adat merupakan perwakilan dari Majelis Adat


dan Lembaga Adat dalam wilayah keadatan Kota Palu.
(2) Jumlah anggota Pila-Pila Nuada Dewan Adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f disesuaikan dengan
kebutuhan Dewan Adat pada Libu Nuada.

Paragraf 3
Masa Bhakti

Pasal 5

(1) Periode kepengurusan Dewan Adat adalah 5 (lima) tahun.


(2) Kepengurusan Dewan Adat dapat dipilih kembali untuk periode
kepengurusan berikutnya.

Bagian Kedua
Majelis Adat

Paragraf 1

Struktur Organisasi dan Pembentukan Kepengurusan

Pasal 6

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 76


(1) Struktur organisasi Majelis Adat, terdiri dari:
a. Balengga Nuada;
b. Wakele Balengga Nuada;
c. Pouki Nuada;
d. Polisa Nuada; dan
e. Pila-Pila Nuada, terdiri dari:
1. Pila-Pila Keadatan;
2. Pila-Pila Peradilan;
3. Pila-Pila Kelembagaan;dan
4. Pila-Pila Pengkaderan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan struktur organisasi
Majelis Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Wali Kota.

Paragraf 2
Keanggotaan

Pasal 7

(1) Keanggotaan Majelis Adat merupakan perwakilan dari Lembaga


Adat.
(2) Jumlah anggota Pila-Pila Nuada Majelis Adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e disesuaikan dengan
kebutuhan Majelis Adat pada Libu Nuada.

Paragraf 3
Masa Bhakti

Pasal 8

(1) Periode kepengurusan Majelis Adat adalah 5 (lima) tahun.


(2) Kepengurusan Majelis Adat dapat dipilih kembali untuk periode
kepengurusan berikutnya.

Bagian Ketiga
Lembaga Adat

Paragraf 1
Struktur Organisasi dan Pembentukan Kepengurusan

Pasal 9
Struktur organisasi Lembaga Adat, terdiri dari:

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 77


a. Balengga Nuada;
b. Pouki Nuada;
c. Polisa Nuada;
d. Pila-Pila Nuada; dan
e. Suro,

Paragraf 2
Keanggotaan

Pasal 10
(1) Keanggotaan Lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dipilih secara musyawarah dari tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan tokoh adat di Kelurahan setempat.
(2) Jumlah anggota Lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d paling banyak 9
(sembilan) orang dan berjumlah ganjil.
(3) Anggota Lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf e berjumlah 7 (tujuh) orang.

Pasal 11
(1) Pemilihan anggota Lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) difasilitasi oleh Lurah dengan membentuk
Panitia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Panitia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Lurah.

Pasal 12
Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan
dalam berita acara.

Pasal 13
Penetapan pengangkatan keanggotaan Lembaga Adat hasil pemilihan
ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota berdasarkan usulan Lurah
dan diketahui oleh Camat dengan melampirkan berita acara hasil
pemilihan anggota Lembaga Adat yang terpilih.

Paragraf 3
Masa Bhakti

Pasal 14
(1) Periode kepengurusan Lembaga Adat adalah 5 (lima) tahun.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 78


(2) Kepengurusan Lembaga Adat dapat dipilih kembali untuk periode
kepengurusan berikutnya.

BAB III
SYARAT KEPENGURUSAN

Pasal 15
Syarat kepengurusan kelembagaan adat kaili meliputi:
a. syarat umum; dan
b. syarat khusus.

Pasal 16
Syarat umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 huruf a terdiri
dari:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak pernah terlibat dalam suatu kegiatan yang mengkhianati
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. penduduk Kelurahan setempat;
e. memahami adat kaili dan fasih berbahasa kaili;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. memiliki akhlak terpuji dan keteladanan;
h. tidak menjadi pengurus, anggota dan/atau simpatisan partai
politik;
i. tidak sedang tersangkut kasus hukum Negara atau adat;
j. Dewan Adat dan Majelis Adat berusia paling rendah 40 (empat
puluh) tahun; dan
k. Lembaga Adat berusia paling rendah 45 (empat puluh lima) tahun,
kecuali Suro paling rendah berusia 25 (dua puluh lima) tahun.

Pasal 17
Syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 huruf b terdiri
dari:
a. Natada untona (cerdas dan berwawasan luas);
b. Nanoto pangantoakana (arif dan bijaksana);
c. Nabelo sumba nojarita (sopan dan santun dalam tutur kata serta
berperilaku);
d. Nanasa talingana (peka, sigap, tanggap dan responsif); dan
e. Nanoa ri arantai ri timbanga (jujur, adil, tulus dan ikhlas).

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 79


BAB IV
BERAKHIRNYA KEANGGOTAAN
KELEMBAGAAN ADAT KAILI

Pasal 18
Berakhirnya keanggotaan kelembagaan adat kaili, apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; dan
c. diberhentikan.

Pasal 19
Diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c, karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. melakukan perbuatan tercela;
d. melanggar hukum negara, norma agama, dan hukum adat;
e. melanggar syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
dan
f. menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai
persyaratan menjadi pengurus berdasarkan pembuktian dari
lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen.

BAB V
PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM ADAT KAILI

Pasal 20
Penegakan hukum Adat Kaili dilaksanakan oleh Lembaga Adat melalui
Potangara Nuada.

Pasal 21
Lembaga Adat dalam melaksanakan Potangara Nuada sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 berpedoman pada tata cara beracara
Potangara Nuada dan Atura Nuada ante Givu Nuada yang tercantum

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 80


dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Wali Kota ini.

Pasal 22
Lembaga Adat dalam melaksanakan Potangara Nuada dilarang menolak
menyelesaikan pelanggaran adat.

BAB VI
BENTUK, ARTI LAMBANG DAN ATRIBUT

Bagian Kesatu
Bentuk

Pasal 23
Bentuk lambang kelembagaan adat adalah segi lima.

Pasal 24
Lambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 terdiri dari gambar
sebagai berikut:
a. bintang warna kuning;
b. bantaya warna putih;
c. padi warna kuning;
d. kapas warna putih dan hijau; dan
e. 5 (lima) mata rantai warna kuning emas.

Bagian Kedua
Makna Lambang

Pasal 25
Makna lambang sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 sebagai
berikut:
a. segi lima melambangkan 5 (lima) sila Pancasila;
b. bintang melambangkan kemuliaan dan keagungan;
c. bantaya melambangkan wadah untuk mengayomi nilai
toleransi, kekeluargaan dan kegotongroyongan;
d. padi dan kapas melambangkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat; dan
e. 5 (lima) mata rantai melambangkan 5 (lima) kesatuan wilayah
keadatan Kaili.

Bagian Ketiga
Makna Warna Lambang

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 81


Pasal 26
(1) Makna warna yang terdapat dalam lambang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24, sebagai berikut:
a. warna kuning bermakna keagungan dan keadilan;
b. warna merah bermakna semangat dan keteguhan;
c. warna putih bermakna kesucian dan kebebasan;
d. warna hijau bermakna kebangkitan dan keseimbangan; dan
e. warna hitam bermakna ilmu dan pengetahuan.
(2) Lambang kelembagan Adat Kaili sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Wali Kota ini.

Bagian Keempat
Atribut

Pasal 27
(1) Atribut kelembagaan adat Kaili, meliputi:
a. Balengga Nuada:
1. laki-laki siga motif Bomba warna kuning dan perempuan
sampolu warna kuning;
2. laki-laki baju warna hitam dengan selempang (Buya Sabe)
kuning dan perempuan baju kebaya adat Kaili warna
menyesuaikan;
3. laki-laki guma (parang adat);
4. laki-laki celana hitam dan perempuan Buya Sabe warna
menyesuaikan; dan
5. pin lambang adat warna emas;
b. Pouki Nuada, Polisa Nuada dan Pila-Pila Nuada:
1. laki-laki siga motif Bomba warna coklat bercorak putih dan
perempuan sampolu warna merah;
2. laki-laki baju warna hitam dengan selempang (buya sabe)
merah dan perempuan baju kebaya adat Kaili warna
menyesuaikan;
3. laki–laki guma (parang adat);
4. laki-laki celana hitam dan perempuan Buya Sabe warna
menyesuaikan; dan
5. pin lambang adat warna emas;
c. Suro lembaga adat:
1. siga motif Bomba warna merah;
2. baju warna hitam dengan selempang (buya sabe) merah;
3. guma (parang adat);
4. celana hitam;
5. lambang khusus;
6. papan nama; dan
7. pin lambang adat warna emas untuk ketua dan warna perak
untuk anggota.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 82


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan lambang khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 5 ditetapkan
dengan Keputusan Wali Kota.

Pasal 28
(1) Atribut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 digunakan pada
upacara adat, penganugerahan gelar adat, potangara, libu nuada,
dan hari besar Daerah dan/atau Nasional.
(2) Model atribut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 tercantum
dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Wali Kota ini.

BAB VII
PEMBIAYAAN

Bagian Kesatu
Dewan Adat dan Majelis Adat

Pasal 29
Pembiayaan Dewan Adat dan Majelis Adat dapat bersumber dari:
a. bantuan/sumbangan masyarakat;
b. hasil usaha lembaga adat;
c. kegiatan lain yang sah menurut hukum;
d. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
e. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
f. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Pasal 30
Pembiayaan sebagamana dimaksud dalam Pasal 29 digunakan untuk :
a. insentif kepada pengurus Dewan Adat dan Majelis Adat;
b. pengadaan atribut pengurus Dewan Adat dan Majelis Adat;
c. pengadaan sarana dan prasarana Dewan Adat dan Majelis Adat;
dan
d. biaya operasional pengurus Dewan Adat dan Majelis Adat.

Pasal 31
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 pengelolaannya
dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 83


Bagian Kedua
Lembaga Adat

Pasal 32
(1) Pembiayaan Lembaga Adat bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kota Palu.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui program dan kegiatan Organisasi Perangkat Daerah terkait.

Pasal 33
Pembiayaan Lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
meliputi:
a. insentif kepada pengurus Lembaga Adat;
b. pengadaan atribut pengurus Lembaga Adat;
c. pengadaan sarana dan prasarana Lembaga Adat;
d. biaya operasional pengurus Lembaga Adat; dan
e. pendidikan dan pelatihan pengurus Lembaga Adat.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34
Peraturan Wali Kota ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Wali Kota ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah
Kota Palu.

Ditetapkan di Palu
pada tanggal 5 April 2017
WALI KOTA PALU,

ttd

HIDAYAT

Diundangkan di Palu
pada tanggal 5 April 2017
SEKRETARIS DAERAH KOTA PALU,

ttd

ASRI

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 84


BERITA DAERAH KOTA PALU TAHUN 2017 NOMOR 38

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Bagian Hukum,

Muliati
NIP. 19650805 199203 2 014
LAMPIRAN I
PERATURAN WALI KOTA
PALU
NOMOR 38 TAHUN 2017
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN
KELEMBAGAAN ADAT KAILI

I. GAMBARAN UMUM

Masyarakat Kaili di Kota Palu, sebagai salah satu etnis yang


bermukim di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, memiliki nilai-nilai
budaya serta adat istiadat yang cukup beragam sesuai dengan
jumlah sub etnis suku Kaili yang berjumlah 23 sub dialek. Namun
sangat disayangkan, nilai-nilai budaya kearifan lokal berupa adat
istiadat tersebut, akhir-akhir ini semakin memudar dari praktek
kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai konsekuensinya, selain
memudarnya pemahaman masyarakat kaili terhadap nilai-nilai
sosial budaya yang dimilikinya, disamping itu, munculnya konflik-
konflik sosial antar Kelurahan dan desa bertetangga yang nota bene
memiliki kultur yang sama, mengindikasikan akibat tidak
berfungsinya pranata-pranata adat istiadat masyarakat setempat.
Dengan demikian, betapa pentingnya bagi masyarakat Kaili,
agar tetap melestarikan nilai-nilai budaya berupa adat istiadat,
salah satunya adalah penerapan peradilan dan sanksi adat
masyarakat kaili sebagai bagian integral dari upaya untuk menjaga
keharmonisan hubungan sosial khususnya dalam masyarakat Kaili
di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
Modal sosial (social capital) sengaja dipakai untuk memaknai
nilai-nilai sosial atau kearifan budaya seperti tolong menolong,
gotong royong, jaringan kekerabatan, kepercayaan (trust) etika, dan
lain-lain yang dimiliki oleh setiap etnis, sebagai modal sosial yang
bernilai tinggi dan tentunya sangat berguna untuk mendukung
proses pembangunan yang dilaksanakan baik di Indonesia pada
umumnya dan khususnya di Provinsi Sulawesi Tengah.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 85


Dalam mencermati keberadaan modal sosial yang dimaksud,
salah seorang ahli bernama Robert D.Putman (1993) melalui
penelitian yang dilakukannya mengungkapkan bahwa salah satu
penyebab kegagalan program-program pembangunan yang
dijalankan oleh negara-negara di dunia, adalah disebabkan kurang
dipertimbangkannya modal sosial sebagai independent variable
dalam pembangunan. Yang dimaksud modal sosial oleh Robert
D.Putman adalah norma-norma, jaringan-jaringan kerja yang
membuat orang bertindak secara kolektif (gotong royong), tolong-
menolong, saling percaya, upacara-upacara adat tradisional untuk
memelihara koneksi sosial, dan sebagainya. Dikemukakan lebih
lanjut, banyak negara-negara yang meningkat tingkat
kriminalitasnya, korupsi, social disorder dan kemiskinan karena
kegagalan dalam memanfaatkan modal sosial yang dimilikinya.
Secara historis penduduk asli Kota Palu berasal dari lereng-
lereng pegunungan sebelah barat dan timur Kota Palu, termasuk
etnis to Pakava yang memiliki ciri dengan rumpun bangsa Negroid.
Akibat dari berbagai migrasi yang tidak hanya terjadi di Sulawesi
Tengah, bahkan diseluruh dunia yang menyebabkan campuran
darah dan budaya antara penduduk setempat, (Kruyt. 1983 : 634),
Keduabelas kelompok etnis yang tersebar di Sulawesi Tengah
merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses
awal kedatangan bangsa-bangsa di Sulawesi Tengah sebagai proses
akulturasi peradaban yang terjadi pada masa lampau yang
berlangsung secara turun temurun. Wujudnya dapat dilihat dari
beberapa peninggalan Aerkeologis yang ada di Sulawesi Tengah
berupa Kalamba, Lumpang Batu dan beberapa peninggalan lainnya
seperti bekas permukiman tua di Kota Palu yang sampai saat ini
masih tetap utuh.

1. Komunitas Topo Ledo


Sebagian besar masyarakat Ledo berdiam di Wilayah
Selatan, Barat, dan sebagian di wilayah Timur Kota Palu, dari
wilayah permukiman tersebut sudah terdapat permukiman
masyarakat adat di soki-soki (boya) pada 5 (lima) wilayah
keadatan dan didominasi oleh wilayah keadatan Ledo.
Penyebarannya mayoritas Topo Ledo berada di kelurahan Petobo,
Birobuli Utara, Birobuli Selatan, Tatura Utara, Tatura Selatan,
Nunu, Tatanga, Tawanjuka, Pengavu, Palupi, Lolu Utara, Lolu
Selatan, Karampe, Besusu, Kabonena, Tipo, Boyaoge, Balaroa,
Donggala Kodi, Ujuna, Kampung Lere, Silae, Kamonji dan
Siranindi.
2. Komunitas Topo Rai
Sebagian besar masyarakat Topo Rai mendiami wilayah
sebelah utara kota Palu khususnya di wilayah pesisir laut
diantaranya terdapat di wilayah kecamatan Tawaili dan
Kecamatan Palu Utara, masing-masing di Kelurahan Lambara,

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 86


Baiya, Mpanau, Mamboro, Mamboro Barat, Layana, Taipa,
penyebarannya sebagian besar di wilayah Kabupaten Donggala
dan Kabupaten Parigi Moutong.

3. Komunitas Topo Tara


Sebagian masyarakat Topo Tara mendiami wilayah
Kecamatan Palu Timur Kota Palu, masing-masing di Kelurahan
Talise, Tanamodindi, Lasoani, Poboya, Kawatuna, Layana.
Menurut sejarah masyarakat bahwa leluhur Topo Tara berasal
dari wilayah pegunungan Kota Palu dan menyebar ke wilayah
Kota Palu dan pesisir mendiami Kota Palu mulai dari kelurahan
Poboya, Lasoani, Kawatuna, Tanamodindi, Talise, Tondo, dan
Layana, sebagian besar di wilayah kabupaten Parigi Moutong.

4. Komunitas Topo Unde


Penyebaran masyarakat Unde mendiami wilayah Kecamatan
Ulujadi Kota Palu, masing-masing di kelurahan Watusampu,
Buluri, dan sebagian besar ada diwilayah kabupaten Donggala.

5. Komunitas Topo Doi


Masyarakat Topo Doi mendiami wilayah Kecamatan Tawaili
(Kelurahan Pantoloan : pecah menjadi dua kelurahan) dan
Kecamatan Palu Utara (Kelurahan Kayumalue Ngapa dan
Kayumalue Pajeko).

II. GAMBARAN UMUM EKSISTENSI PERADILAN ADAT DALAM


KONTEKS HUKUM NASIONAL

Secara historis, eksistensi Peradilan Adat dalam Sistem Hukum


Nasional bukan suatu hal baru, sebab jauh sebelum masuknya
Kolonial Hindia Belanda, masyarakat Indonesia telah mengenal
penyelesaian sengketa atau masalah-masalah kemasyarakatan
melalui mekanisme Peradilan Adat. Kesatuan masyarakat adat Kaili
di antaranya telah mengenal cara penyelesaian sengketa atau
pelanggaran adat yang dikenal dengan nama “Potangara Nuada”
yaitu suatu mekanisme penyelesaian pelanggaran adat dan
masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang bertujuan untuk
memulihkan keseimbangan yang terganggu karena adanya perilaku
atau ucapan yang mencederai hubungan kekerabatan dalam
masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai religius
magis. Nilai religius magis adalah nilai-nilai keagamaan (ke-
Tuhanan) dan nilai-nilai alam semesta yang dijunjung tinggi oleh
komunitas masyarakat adat To Kaili.
Kesatuan masyarakat adat Kaili juga sejak lama telah mengenal
“Atura Nuada Ante Givu Nuada To Kaili Ri Livuto Nu Palu “ (Hukum
dan Sanksi Adat Kaili di Kota Palu) yang dalam ilmu hukum dikenal
dengan istilah hukum materiil yaitu peraturan yang mengatur

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 87


perbuatan yang dilarang atau dianjurkan disertai dengan sanksi
yang dalam bahasa Kaili dikenal dengan istilah givu (sanksi). Givu
(sanksi) dalam hukum adat (Atura To Kaili) adalah hukuman yang
dikenakan bagi siapa yang melanggar adat. Hukum materiil
dimaksud hidup dan berkembang dalam masyarakat secara turun-
temurun dari generasi ke generasi pada komunitas masyarakat
Kaili sekalipun tidak tertulis tetapi ditaati dan dihormati oleh
masyarakat. Pelanggaran atas hukum materiil tersebut diancam
dengan givu (sanksi). Untuk menjatuhkan givu (sanksi) bagi
pelanggar komunitas masyarakat adat To Kaili menggunakan
Peradilan Adat (Potangara Nuada) sebagai wadah bagi masyarakat
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam
masyarakat.
Mengutip pendapat Hilman Hadikusuma dan Abdurahman
dinyatakan bahwa jauh sebelum agama Islam masuk di indonesia,
negeri yang serba ragam penduduknya ini sudah melaksanakan
tata tertib peradilannya menurut hukum adat. Hingga masuknya
pemerintahan Kolonial Hindia Belanda keberadaan Peradilan Adat
masih tetap berlangsung. Secara yuridis, keberadaan Peradilan
Adat tersebut diakui secara terpisah dan bertahap dalam berbagai
wilayah yang kemudian dikuasai oleh pemerintah Kolonial Hindia
Belanda.
Kemudian pada 18 Februari 1932 dengan Stb 1932 Nomor 80
tentang Peraturan Peradilan Adat, sementara itu peradilan desa
yang merupakan bagian dari Peradilan Adat baru muncul dengan
disisipkannya Pasal 3a dengan stb 1935 no 102 ke dalam RO
(Ketentuan Pokok Tentang Penulisan Peradilan di Hindia Belanda).
Kembali mengacu kepada Abdurahman dinyatakan bahwa pada
zaman kolonial dahulu ada dua bentuk peradilan untuk orang-
orang pribumi yaitu “Peradilan Adat” dan “peradilan desa”. Antara
keduanya sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Peradilan
desa umumnya terdapat hampir diseluruh nusantara pada
masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial. Namun Peradilan
Adat ditemukan pada masyarakat yang bersifat teritorial maupun
genealogis.
Di zaman penjajahan Jepang keberadaan peradilan swapraja
dan Peradilan Adat tidak disebutkan dalam UU.. No. 34 Tahun
1942, akan tetapi untuk sementara kedua-duanya dengan tegas
dinyatakan tetap berlaku dan dipertahankan oleh pasal 1
Sjihososjiki-rei (Undang-Undang tentang Peraturan Hakim dan
Mahkamah) yang dimuat dalam Tomi-seirei-otsu No. 40 tanggal 1
Desember 1943 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1944
Peradilan Adat pasca kemerdekaan baru diatur berdasarkan
Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-
Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan,
kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil, khususnya pasal
1 (2) huruf b keberadaan Peradilan Adat dihapuskan, yang berbunyi

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 88


: “Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri
Kehakiman dihapuskan: b. Segala Pengadilan Adat (Inheeemse
rechtspraak in rechttreeksbestUU.rd gebied).Kecuali peradilan Agama
jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu
bagian tersendiri dari Peradilan Adat.”
Undang-Undang ini sendiri sebenarnya bertujuan tidak semata-
mata untuk menghapuskan keberadaan Peradilan Adat, namun
untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara
pengadilan-pengadilan sipil. Lahirnya Undang-Undang ini menurut
Wantjik Saleh karena kesemrawutan peradilan, yang ia nyatakan :
“Maka ketika terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada akhir Tahun 1950, menjadi suatu kenyataan dan persoalan
rumit karena begitu semrawutnya keadaan peradilan, baik badan-
badan yang melakukan peradilan maupun peraturan perUndang-
Undangannya, atau seperti dapat dibaca dalam penjelasan Undang-
Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang bermaksud mengadakan
penertiban dan penataan untuk mencapai kesatuan (unifikasi)”.
Hal ini tercermin pada penjelasan Undang-Undang Drt. 1/1951
yang menyebutkan bahwa : Pada saat pemulihan kedaulatan
Kepada Republik Indonesia Serikat Keadaan dalam lingkungan
pengadilan yang dahulu dinamakan ”Gouvernements rechtspraak”
telah menjadi rumit, sehingga hanya beberapa penduduk Indonesia
saja mengetahui bagaimanakah susunan, kekuasaan dan acara
pengadilan-pengadilan regional tersebut.
Alasan yang sama juga berlaku bagi pengadilan adat. Di dalam
penjelasan juga disebutkan bahwa : Pengadilan-pengadilan adat,
yang berdasar staatsblad 1932 No. 80 setelah diubah oleh Stbl.
1938 No. 264 dan 370, dan atas pasal-pasal 1 dan 12 Reglemen
Kalimantan Timur Besar, 1. Reglemen Pengadilan Indonesia Timur,
2. Voorlopig Rechtreglement, 3. VoorlopigeRegeling Rechtswezen, 1
dan 2 Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1
Tahun 1950 Juncto Undang-Undang No. 8 Tahun 1950 dan pasal
101, 102 dan 142 Undang-Undang Dasar Sementara, selain dari
tidak mencukupi syarat-syarat yang Undang-Undang Dasar
Sementara menuntut dari suatu alat perlengkapan pengadilan, juga
tidak diinginkan lagi oleh seluruh rakyat yang telah berulang-ulang
memohon penghapusannya.
Namun, Undang-Undang Drt. No. 1/1951 tidak secara total
menghapuskan secara menyeluruh keberadaan peradilan-peradilan
di tingkat lokal seperti peradilan desa, sehingga keberadaan
Peradilan Desa secara tidak langsung di hapuskan oleh Undang-
Undang No. 14/1970 tentang Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang terakhir kali diubah dengan Undang-Undang No.
48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 2 ayat 3 yang
menyebutkan : “Semua peradilan di seluruh Wilayah Negara
Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan
Undang-Undang”. Sehingga Peradilan Adat sebagai bagian dari

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 89


struktur hukum adat dihapuskan, sedangkan hukum adat sebagai
substansi dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan dan
kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Secara khusus terdapat hubungan pemberlakuan hukum adat
dengan hukum pidana nasional yaitu jika suatu perbuatan yang
melanggar hukum adat, dan perbuatan tersebut tidak ada
padanannya dalam KUHP maka dapat dipidana.
Penjelasan tersebut menempatkan lembaga Peradilan Adat
makin terdesak oleh hukum nasional, sekalipun secara substansial
struktur hukum adat tetap menjadi bagian integral dari sistem
hukum nasional yang dapat digunakan sebagai sumber hukum
(suplement) bagi penyelesaian masalah-masalah hukum in concreto
oleh aparat penegak hukum.
Jaminan penghormatan terhadap eksistensi masyarakat adat
dan peradilannya secara nyata masih ada dan hidup di dalam
masyarakat, sehinga upaya untuk menghapuskannya adalah
sebuah kondisi yang bertentangan dengan hak yang dimiliki oleh
masyarakat adat seperti yang tercantum dalam berbagai
pengaturan Internasional. Salah satunya di dalam ICCPR
menyatakan 11 Pasal 27 International Covenant on Civil and Political
Rights menetapkan, orang-orang yang berasal dari minoritas etnis,
agama atau bahasa akan diakui haknya di dalam masyarakat
termasuk untuk memperoleh budayanya sendiri, mengakui dan
mempraktekan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa
mereka sendiri.
Dalam pandangan umum No. 23 (1994) pada Pasal 27, Komite
Hak Asasi Manusia menyatakan: “[A] Negara berkewajiban
memastikan adanya pemberlakukan hak dan melindunginya dari
penolakan atau pelanggaran. Dengan demikian, langkah-langkah
positif untuk perlindungan diperlukan bukan hanya terhadap
tindakan negara, baik melalui kekuasaan legislatif, kehakiman atau
administratifnya, tetapi juga terhadap tindakan orang lain dalam
negara. Komite Hak Asasi Manusia juga mengamati bahwa
“sepanjang tindakan-tindakan itu ditujukan untuk mengoreksi
keadaan yang mencegah atau mengurangi hak-hak yang dijamin
dalam Pasal 27, maka hal ini sah menurut kesepakatan, sepanjang
semua itu didasarkan pada kriteria yang wajar dan objektif.”
(Dokumen PBB CCPR/C/21/Rev.1/add.5), begitu pula keberadaan
Pasal 34 United Nation Declaration On The Rights Of Indigenous
People (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak
Masyarakat Adat) yang berbunyi :
masyarakat adat berhak untuk meningkatkan, mengembangkan dan
mempertahankan struktur lembaga mereka serta adat istiadat,
spiritualitas, tradisi, tata cara, kebiasaan yang khas dan sistem
hukum atau adat istiadat, sesuai dengan standar hak-hak asasi
manusia.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 90


Konvensi ILO (International Labour Organization) 169 Tahun
1989. 12 mengenai masyarakat adat mengakui hak masyarakat
adat atas adat istiadat dan hukum adat mereka. Ketentuan itu
menyatakan bahwa dalam menerapkan hukum nasional, adat
istiadat dan hukum adat ini harus diperhitungkan. Dan lebih
lanjut, hanya adat istiadat dan institusi yang tidak selaras dengan
hak-hak mendasar yang ditetapkan dalam sistem hukum nasional
yang dikecualikan.
Mandat-mandat dalam hukum Internasional ini, ternyata
selaras dengan apa yang diatur oleh konstitusi dan berbagai macam
peraturan perUndang-Undangan di Indonesia. Pasal 18b ayat 2
UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang. Pasal lain dari UUD
1945 yaitu pasal 28 (i) ayat 3 menyatakan Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 5 ayat (3) yang menyatakan
bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang
rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya. Kemudian Pasal 6 yang
berbunyi : (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan
pemerintah, dan pasal duanya (2) berbunyi identitas budaya
masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Meskipun
pengertian Kelompok Rentan dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-
Undang No.39/1999, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut
usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Namun Human Rights Reference13 menyebutkan, bahwa yang
tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: a. Refugees, b.
Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d.
Migrant Workers; e. Indigenous Peoples, f. Children; dan g. Women.
Selain juga Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU. No. 12 Tahun 2005.
Pada level yang lebih operasional ada dua Undang-Undang
diluar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua yang secara terang-terangan dan
eksplisit menyebutkan Peradilan Adat meskipun posisinya sebagai
prasyarat. Pertama adalah UU. 41/1999 tentang Kehutanan seperti
telah disebutkan di awal tulisan dan UU. 18/2004 tentang
perkebunan yaitu di penjelasan pasal 9 ayat 2 yang menyebutkan

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 91


…d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya Peradilan Adat
yang masih ditaati. Penghormatan atas masyarakat adat dan
dorongan untuk penggunaan mekanisme-mekanisme keadilan
berbasiskan masyarakat adat nampak juga dalam Strategi Nasional
akses terhadap keadilan ini juga memberikan pokok-pokok yang
menjadi usulan strategi Nasional yaitu: Penguatan dan
pemberdayaan sistem keadilan berbasis komunitas.
Berbagai ketentuan di atas menjadikan Negara wajib untuk
menghapuskan berbagai macam peraturan perundang-undangan
yang menghalang-halangi keberadaan Peradilan Adat.
Dalam posisi ini Negara haruslah menghormati keberadaan
institusi-institusi Peradilan Adat yang ada, termasuk Peradilan Adat
pada masyarakat ToKaili yang pada kenyataannya masih dihormati
bagi komunitas tertentu misalnya masyarakat kelurahan Kawatuna
dan beberapa komunitas lainnya di Kota Palu dan sekitarnya.
Keberadaan Peradilan Adat yang bersifat suplenter memiliki
peran strategis dalam pengembangan lembaga peradilan, sebab
keberadaan Peradilan Adat pada prinsipnya dapat meringankan
beban lembaga peradilan Negara, yaitu :
 Membantu dan menghemat energi pihak kepolisian dalam
mengurus kasus-kasus pidana tertentu yang berskala lokal
 Menghindari penumpukan perkara yang tidak perlu di
pengadilan
 Membantu negara menyelesaikan konflik sosial, seperti
peran lembaga-lembaga adat dalam penyelesaian konflik
berdarah di Maluku
 Menjaga keberlanjutan lingkungan hidup seperti
penyelesaian kasus illegal logging oleh Peradilan Adat di
beberapa kampung di Sulawesi Tengah.
Dalam konteks perlindungan masyarakat ini, maka
keberadaan Peradilan Adat akan memperkecil penjatuhan pidana
penjara untuk kasus-kasus kecil, yang dalam kenyataanya pidana
penjara akan meningkatkan kualitas dan kapasitas pelaku
kejahatan tersebut.
Peradilan Adat dan perlindungan terhadap warga negara.
Sebagaimana terjadi dibanyak negara, Indonesia juga
mempraktekan pluralisme hukum yang dalam beberapa hal
memberikan akses dan pilihan-pilihan yang menguntungkan bagi
perempuan. Namun, banyak bukti bahwa pluralisme hukum itu
menjadi hambatan bagi akses perempuan terhadap keadilan dan
penegakan hak asasi perempuan yang dijamin oleh konstitusi.
Salah satu tantangan dari keberadaan Peradilan Adat adalah
kekhawatiran-kekhawatiran bahwa pengakuan terhadap hukum
adat dan pemberlakuannya (termasuk peradilannya) akan
melanggar hak-hak dasar lainnya, karena bertentangan dengan
hukum nasional maupun nilai-nilai HAM yang berlaku universal.
Kekhawatiran tersebut sebenarnya sudah dijawab dalam berbagai

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 92


konvensi maupun deklarasi internasional. Konvensi ILO 169 Tahun
1969 misalnya memberikan batasan bahwa hukum adat yang tidak
boleh diberlakukan yakni hukum adat yang tidak selaras dengan:
(1) peraturan perUndang-Undangan nasional maupun ; (2)
ketentuan Internasional hakhak asasi manusia. Artinya, ketentuan
hukum Nasional yang tidak selaras dengan hukum Internasional
hak asasi manusia tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk
membenarkan penolakan atas adat istiadat masyarakat adat.
Sebaliknya, adat istiadat masyarakat adat tidak dapat dibenarkan
bila melanggar hak-Hak Asasi Manusia (HAM).
Prinsip yang sama dalam pemberlakuan hukum adat, terdapat
dalam Pasal 34 Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat
yang menegaskan prinsip-prinsip bahwa hukum Internasional hak-
hak asasi manusia menetapkan standar untuk menentukan adat
istiadat yang tidak dapat diterima. Deklarasi menyatakan bahwa
masyarakat adat berhak untuk meningkatkan, mengembangkan
dan mempertahankan struktur lembaga mereka serta adat istiadat,
spiritualitas, tradisi, tata cara, kebiasaan yang khas dan sistem
hukum atau adat istiadat, sesuai dengan standar hak-hak asasi
manusia. Selain itu, Pasal 35 Deklarasi menyatakan bahwa
masyarakat adat berhak untuk menetapkan tanggung jawab
perorangan dari masyarakatnya. Ketentuan ini berkaitan erat
dengan masalah hukum adat, karena hukum adalah sumber
penting untuk menggambarkan hak dan tanggung jawab masing-
masing anggota masyarakat dalam masyarakat adat.
Demikian halnya untuk metode penghukuman, menurut
Konvensi No. 169 harus dihargai dan juga diperhitungkan dalam
penyelenggaraan hukum secara umum. Negara berkewajiban untuk
menghargai metode tradisional masyarakat adat untuk menghukum
pelaku tindak pidana dan pelanggaran lainnya, asal metode
tersebut selaras dengan sistem hukum Nasional dan hukum
Internasional serta hak-hak asasi manusia. Dengan demikian,
metode penghukuman oleh masyarakat adat yang melanggar hak-
hak asasi manusia tidak sah menurut ketentuan itu. Banyak
masyarakat adat masih melaksanakan metode tradisional untuk
menangani pelanggaran kecil yang dilakukan oleh anggotanya,
tanpa campur tangan negara. Sementara pelanggaran yang lebih
berat ditangani menurut proses hukum nasional. Namun demikian,
dalam kasus-kasus di mana proses diberlakukan untuk menangani
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat adat, cara-
cara masyarakat adat yang bersangkutan harus dipertimbangkan
oleh pemerintah dan pengadilan yang menanganinya.
Pada tingkatan Negara, Putusan Mahkamah konstitusi Nomor
31/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi telah memberikan
penafsiran terhadap Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 41
ayat (1) huruf b UU. MK berkenaan dengan ada-tidaknya

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 93


kedudukan hukum (legal standing) kesatuan masyarakat hukum
adat dalam upaya melindungi hak-hak konstitusionalnya yaitu :
Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat
apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut menyatakan
Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh
warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun
masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-
hak asasi manusia.
Berdasarkan berbagai ketentuan tersebut di atas, maka negara
berkewajiban menetapkan standar nilai yang tidak boleh dilanggar
dalam penerapan hukum adat dan melakukan intervensi terhadap
hukum adat yang tidak selaras dengan hukum nasional dan hak
asasi manusia. Namun untuk itu, maka dibutuhkan pengakuan
terhadap keberadaan Peradilan Adat. Pengakuan tidak semata-
mata merupakan bentuk penghormatan kepada keberadaan
masyarakat adat sebagai sebuah kesatuan. Namun pengakuan ini
juga merupakan bentuk perlindungan kepada warga negara yang
kebetulan merupakan anggota dari kesatuan masyarakat adat.
Posisi Peradilan Adat dalam konteks Kitab Undang-Undang
Hukum acara Pidana dan masa yang akan datang perlu mendapat
perhatian dari pembuat Undang-Undang, agar keberadaannya
diakui dan dapat berfungsi sesuai harapan masyarakat. Terkait
dengan keberadaan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana) yang akan datang, kita tidak bisa menutup mata bahwa
Peradilan Adat tidak ada sama sekali. Namun dalam prakteknya
Peradilan Adat masih ada dan berlaku. Bahkan dibanyak tempat
kadang-kadang berbenturan dengan sistem hukum negara. Dari
segi peraturan perundangan keberadaan Peradilan Adat mendapat
dukungan baik secara tersirat maupun tersurat. Tingkat
kepercayaan masyarakat dan kemanfaatannya bagi efektifitas,
kinerja, dan keberadaan hukum negara pun tidak kalah besarnya.
Di luar ketiga hal di atas, pengakuan tersebut merupakan
bentuk tanggung jawab negara dalam bentuk penghormatan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia, seperti mandat Pasal 28 ( i ) ayat
4 (4) UUD 1945 “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah” Sehingga KUHAP masa mendatang haruslah
memberikan ruang pengakuan terhadap keberadaan Peradilan
Adat. Pemberian ruang tersebut bisa dilakukan dengan
membangun mekanisme yang mengakui keberadaan putusan-
putusan yang dibuat berdasarkan mekanisme-mekanisme lokal dan
atau mendorong penggunaan mekanisme-mekanisme lokal untuk
penyelesaian sengketa-sengketa tertentu. Ruang tersebut harus
diiringi dengan penetapan standar nilai terutama tentang Hak Asasi
Manusia dan mekanismenya, guna menjamin diberlakukannya
nilai-nilai hak azazi manusia dalam proses-proses Peradilan Adat.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 94


III. KELEMBAGAAN DAN FUNGSI PERADILAN ADAT KAILI

Peradilan Adat Kaili adalah peradilan perdamaian melalui


musyawarah mufakat yang dipimpin oleh Pemangku Adat dan
didampingi oleh Pasipi Nuada (tokoh masyarakat, tokoh agama, dan
Cendekiawan). Adapun substansi dari Peradilan Adat Kaili
mengandung makna sebagai berikut :
1. Adat Kaili adalah aturan yang sudah menjadi kebiasaan atau
wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari budaya,
norma, hukum dan aturan-aturan yang satu dengan
lainnya berkaitan menjadi satu sistem
2. Adat Istiadat Kaili adalah kebiasaan atau tradisi yang baik
dan hidup dalam suatu masyarakat yang selalu diikuti,
diamalkan dan dipatuhi serta ditaati.
Keberadaan lembaga adat Kaili sebagai wahana partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
pembinaan dan penyelesaian masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Secara spesifik tugas dan fungsi Lembaga Adat
Kaili adalah sebagai berikut :
a. Tugas Lembaga Adat Kaili
Menyelenggarakan upaya-upaya pelestarian dan
pengembagan adat serta adat-istiadat Kaili yang bernilai luhur
dan masih diakui keberadaannya di tengah-tengah masyarakat
Kaili sebagai modal sosial guna mendukung penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.

b. Fungsi Lembaga Adat Kaili


Dalam melaksanakan tugas kelembagaannya, fungsi
lembaga adat Kaili adalah sebagai berikut:
1. Menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan dan
ketertiban masyarakat
2. Membantu Pemerintah dalam pelaksanaan Pembangunan
3. Mengembangkan dan mendorong partisipasi Masyarakat
4. Menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yg
tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama
5. Menerapkan ketentuan adat
6. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan
7. Mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat
8. Menegakan hukum adat

IV. ASAS-ASAS PERADILAN ADAT KAILI

Penyelenggaraan Peradilan Adat pada masyarakat Adat Kaili


menganut beberapa prinsip/asas-asas penting sebagai rambu-
rambu yang mengikat penyelenggara Peradilan Adat dan pihak-

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 95


pihak yang terlibat dalam penyelesaian perkara adat. Asas-asas
dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Peradilan Adat dilaksanakan setelah ada permintaan untuk
menyelesaikan suatu kasus. Peradilan Adat dilakukan dengan
penundukan sukarela dari para pihak (Peradilan Adat
dilakukan setelah musyawarah keluarga memutuskan untuk
menyelesaikan sengketa melalui mekanisme Peradilan Adat).
Dalam konteks hukum nasional asas ini dikenal dengan asas
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Asas peradilan
cepat, sederhana, dan biaya ringan telah dikenal saat berlaku
hukum acara pidana HIR (Herziene Inlands Reglemen) yang
berlaku sebelulm Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 sudah
tersirat dengan kata-kata lebih konkret daripada yang
digunakan di dalam KUHAP. Untuk menunjukan sistem
peradilan cepat, dalam KUHAP banyak ketentuan
menggunakan istilah “segera” yang menyandung makna bahwa
tahapan proses dalam sistem peradilan pidana harus
dilakukan secara cepat untuk menghindarkan pesakitan
(tersangka atau terdakwa) dari perlakuan sewenang-wenang
dari aparat penegak hukum. Istilah “satu kali dua puluh empat
jam” yang digunakan dalam ketentuan HIR lebih mengandung
kepastian daripada istilah “segera” yang digunakan dalam
KUHAP. Demikian sehingga ketentuan yang sangat baik ini
perlu diwujudkan dalam praktek oleh penegak hukum.
Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy
trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan
istilah “segera”. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya
ringan yang dianut di dalam KUHAP sebenarnya merupakan
penjabaran dari Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Lebih jauh, asas peradilan cepat (terutama untuk
menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan
hakim) merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia. Begitu
pula peradilan bebas, jujur dan tidak memihak yang
ditonjolkan dalam Undang-Undang tersebut.
Sebagai pembanding berikut dikemukakan penjelasan
umum yang dijabarkan dalam banyak pasal KUHAP berkenaan
dengan asas ini, antara lain sebagai berikut:
a. Pasal-pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat
(4), dan 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal
tersebut dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat
waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat
sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum, dan
hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau
terdakwa dari tahanan demi hukum. Dengan
sendirinya hal ini mendorong penyidik, penuntut
umum, dan hakim untuk mempercepat penyelesaian
perkara tersebut.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 96


b. Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan
terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas
dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa
yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai
pemeriksaan ayat (1), segera perkaranya diajukan ke
pengadilan oleh penuntut umum, ayat (2) segera diadili
oleh pengadilan, ayat (3).
c. Pasal 102 ayat (1) mengatakan penyelidik yang
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya
suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan
yang diperlukan.
d. Pasal 106 mengatakan hal yang sama tersebut di atas
bagi penyidik.
e. Pasal 107 ayat (3) mengatakan bahwa dalam hal tindak
pidana selesai disidik oleh penyidik tersebut pada
pasal 6 ayat (1) huruf b, segera menyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui
penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a.
f. Pasal 110 mengatur tentang hubungan penuntut
umum dan penyidik yang semuanya disertai dengan
kata segera begitu pula pasal 138.
g. Pasal 140 ayat (1) dikatakan: dalam hal penuntut
umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, dalam waktu secepatnya
membuat surat dakwaan.
2. Peradilan Adat dipimpin oleh Pemangku adat dan
didampingi Pasipi Nuada yang bebas dan tidak memihak
dan karena pengalamannya dalam memutuskan
pelanggaran adat diangap sebagai Totua Nuada
(fungsionaris hukum Adat). Asas ini dimaksudkan agar
dalam penyelenggaraan Peradilan Adat senantiasa
menempatkan tokoh-tokoh tersebut sebagai Figur panutan
yang independen dan mendapat legitimasi masyarakat
luas. Atas dasar tersebut, Peradilan Adat dapat berfungsi
menjaga keseimbangan, kedamaian, dan kepastian dalam
masyarakat.
3. Peradilan Adat dilakukan oleh majelis fungsionaris hukum
adat (Pemangku Adat), bukan individu. Asas ini
mengandung makna bahwa penyelenggaraan Peradilan
Adat hanya mengenal persidangan yang dipimpin oleh
majelis hakim, bukan individu.
4. Persidangan dilakukan secara terbuka dan dinyatakan
dibuka untuk umum. Asas ini sesuai dengan asas
“pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum” yang
dianut dalam KUHAP.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 97


Pemeriksaan pengadilan yang berarti pemeriksaan
pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan tidak terbuka
untuk umum. Dalam hal ini dapat diperhatikan pula pasal 153
ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam
perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”
ayat (3).
Hakim dalam hal ini dapat menetapkan apakah suatu sidang
dinyatakan selurunya atau sebagiannya ditutup untuk umum
yang artinya persidangan dilakukan dibelakang pintu
tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan
kepada hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya
atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi
pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup
untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya.
Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi korban memohon agar
sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan
kesaksiannya.
Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun
keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka
untuk umum. Bahkan Undang-Undang pokok Kekuasaan
Kehakiman dan KUHAP Pasal 195 tegas menyatakan: “semua
putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Ketentuan ini
juga dikenal dalam Peradilan Adat Kaili dimana pemeriksaan
pengadilan adat diselenggarakan pada sidang terbuka untuk
umum. Hal ini berarti bahwa jauh sebelum adanya KUHAP
komunitas masyarakat adat Kaili telah menerapkan asas ini.
5. Semua orang sama di hadapan hukum. Asas ini sama
dengan asas yang dianut dalam sistem peradilan pidana
nasional. Asas ini adalah asas yang umum dianut di
negara-negara yang berdasarkan hukum, hal ini tegas
tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman dan KUHAP yakni dalam penjelasan umum
butir 3a. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
menegaskan bahwa ”pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
6. Tempat berlangsungnya prosesi sidang adat ditentukan
sesuai dengan prinsip fleksibilitas (dapat dilakukan di
balai desa, masjid, atau ditempat umum lainnya dan
dirumah fungsionaris hukum adat atau di rumah
perangkat desa) paling lama keesokan hari setelah suatu
peristiwa pelanggaran adat terjadi).
7. Adanya pengakuan dari pelaku, karena penjatuhan sanksi
didasarkan pada berat ringannya pelanggaran yang

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 98


dilakukan dan kondisi pelaku dan korban, sehingga
sanksi dapat dipenuhi oleh pelaku dan/atau keluarganya.
8. Biaya sidang diambil dari sebagian denda dan atau ganti
kerugian yang dijatuhkan kepada pelaku atau
keluarganya.
9. Proses Peradilan Adat dicatat dan ditandatangani oleh
Majelis Fungsionaris adat dan diketahui oleh aparat
perangkat Kelurahan di mana pelaku dan korban
bertempat tinggal.
10. Putusan Peradilan Adat diucapkan di depan sidang yang
terbuka untuk umum, dirangkaikan dengan suatu
upacara selamatan dan doa bersama setelah para pihak
sepakat dan saling memaafkan.
11. Keputusan Peradilan Adat dilaksanakan dalam sidang
adat dengan persetujuan para pihak.

V. KEWENANGAN PERADILAN ADAT KAILI

Kewenangan atau kompetensi yang dimiliki oleh Peradilan Adat


di Tanah Kaili tentu saja tidak setara dengan kompetensi yang
dimiliki oleh peradilan negara. Sesuai dengan peraturan
Perundang-undangan, kompetensi Peradilan Adat masyarakat Kaili
lebih kepada aspek umum dan tidak membedakan jenis perkara
perdata dan pidana. Kompetensi yang berada di bawah Peradilan
Adat antara lain mencakup persoalan: (1) Sala Kana (2) Sala Baba
(3) Sala Mbivi.

1. Sala Kana/Nakaputu Tambolo


Sala Kana adalah salah satu jenis hukum yang
diberikan/dikenakan kepada seseorang yang melanggar norma-
norma Adat yang berhubungan dengan ucapan, perilaku dan
perbuatan dalam kategori berat.

2. Sala Baba/Sala Mpale


Sala Baba/Sala Mpale adalah salah satu jenis hukum yang
diberikan/dikenakan kepada seseorang yang melanggar norma-
norma Adat yang berhubungan dengan ucapan, perilaku dan
perbuatan dalam kategori sedang.

3. Sala Mbivi
Sala Mbivi salah satu jenis hukum yang diberikan/dikenakan
kepada seseorang yang melanggar norma-norma Adat yang
berhubungan dengan ucapan, perilaku dan perbuatan dalam
kategori ringan.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 99


Pengadilan Adat Kaili tidak mengenal pengadilan Banding dan
Kasasi, sebab keputusan Peradilan Adat Kalili bersifat final, kecuali
para pihak tidak menyelesaikannya melalui Peradilan Adat dan
hukum adat itu sendiri tidak mampu menyelesaikan
sengketa/pelanggaran Adat tersebut.

VI. PIHAK-PIHAK DALAM PERADILAN ADAT KAILI

Pihak-pihak yang terlibat dalam Sistem Peradilan Adat To Kaili


adalah pelaku (To Sala), korban (To Rugi), Suro (Orang Kepercayaan
Pemangku Adat), Ketua Pemangku Adat (Balengga Potangara) , dan
sesepuh pemangku adat (Totua Nuada). Pihak-pihak tersebut
adalah yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan Peradilan
Adat (Potangara Nuada).
a. Pelaku (To Sala) adalah orang yang karena perbuatannya
atau keadaannya berdasarkan bukti-bukti permulaan patut
duduga sebagai pelaku yang merugikan korban (To Rugi).
b. Korban (To Rugi) adalah orang yang merasa dirugikan oleh
tindakan atau perkataan pelaku (To Sala).
c. Suro adalah orang yang ditunjuk oleh pemangku adat
untuk menerima dan menindaklajuti laporan atas
terjadinya perbuatan, atau perkataan yang di duga
melanggar atau merugikan orang lain.
d. Ketua pemangku adat adalah seorang pemangku adat yang
ditunjuk oleh totua nuada untuk memimpin kesatuan
masyarakat adat.
e. Totua Nuada adalah tokoh-tokoh masyarakat yang
terhimpun dalam kepengurusan lembaga adat.
Kelima unsur tersebut yang terlibat langsung dalam prosesi
penyelenggaraan Peradilan Adat To Kaili. Tanpa kehadiran salah
satu unsur tersebut peradilan tidak boleh dilaksanakan.

VII. PENYELENGGARAAN PERADILAN ADAT KAILI

1. Prosedur Penyelenggaraan Peradilan Adat Kaili


Jika masyarakat melaporkan suatu peristiwa, perbuatan,
atau masalah hukum atau masalah sosial lainnya kepada
Pemangku Adat yang dianggap melanggar aturan adat, maka
prosedur/mekanisme pengajuannya adalah sebagai berikut :
a. Adanya laporan To Rugi atau anggota masyarakat
diketahui sendiri oleh Suro atau ketua RT;
b. Suro meneruskan laporan To Rugi atau masyarakat
kepada Pemangku Adat;
c. Pemangku Adat yang menerima laporan segera
menindaklanjuti laporan tersebut dengan mengutus Suro
untuk memanggil pelaku (To Sala) agar menghadap
kepemangku Adat, untuk mencari tau atau meneliti

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 100


masalahnya. Jika sudah menghadap ke pemangku adat,
maka To Sala dijamin keselamatannya dari tindakan
balas dendam atas ketidakpuasan korban;
d. Selanjutnya Suro mengundang To Rugi atas permintaan
Ketua Adat untuk memberikan kejelasan atas
kasus/pelanggaran adat yang menimpanya;
e. To Rugi bersama Suro menghadap Ketua Adat
menceritrakan kasusnya dan menyatakan keberatan atas
tindakan pelaku dan memberikan wewenang kepada
Dewan Adat untuk memutuskan atau menetapkan
sanksi kepada pelaku.
f. Setelah menerima laporan dan mendengar kasus
langsung dari korban, saat itu juga Pemangku Adat
menetapkan waktu Potangara atau sidang adat (paling
lambat satu minggu setelah ada laporan dari To Rugi).
g. Ketua Pemangku Adat segera mengundang atau menemui
Pemangku Adat lainnya untuk melakukan Potangara
sesuai dengan waktu yang ditentukan dan membagi
tugas masing-masing kepada anggotanya.
h. Totua Nuada mengutus Suro untuk memanggil pelaku
untuk mengahadiri Potangara Nuada (sidang Adat). Suro
menyampaikan isi laporan dan keberatan dari pihak
korban. Suro juga menyampaikan bahwa kasus ini telah
ditangani Pemangku Adat, dan meminta atau
mengundang pelaku untuk dimintai keterangan atas
perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
i. Pemangku adat melakukan sidang/musyawarah adat
(Potangara) sesuai waktu yang ditetapkan dengan
menghadirkan To Sala yang dihadiri To Rugi untuk
meminta keterangan dari saksi, termasuk saksi korban
(To Rugi).

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 101


Masyarakat adat To Kaili mengenal proses persidangan
(Potangara) dalam menyelesaikan pelanggaran adat sebagai
berikut:
Setelah penentuan tempat dan waktu potangara biasanya
dilaksanakan di rumah masyarakat yang bersedia menampung
serta memiliki ruangan agak luas dan pemilik rumah harus
bersifat netral tidak memihak kepada pelaku atau korban.

2. Tahap Persidangan :
a. Korban datang dengan didampingi Suro atau ketua RT
tempat domisilinya, totua nuada mempersilahkan duduk
pada posisi yang telah ditentukan.
b. Totua Nuada mengatur ruang sidang dengan menetapkan
posisi duduk korban di sebelah kiri dan posisi pelaku di
sebelah kanan Pemangku Adat di tengah dan masyarakat
di depan (posisi terlampir dalam gambar)
c. Totua Nuada memeriksa kelengkapan adat sambulu dan
kesiapan Pemangku Adat lainnya yang telah diberikan
tugas masing-masing.
d. Ketua Sidang adat atau totua nuada membuka sidang
adat (Potangara Nuada) dengan bertanya Tabe mamalamo
mompamula Potangara, nagopa mo? Artinya sudah
bolehkah dimulai persidangan adat apakah sudah genap
dan siap? jika dijawab nagopa mo, mamalamo
mompamula.
e. Ketua Pemangku Adat menyampaikan salam layaknya
umat muslim dan selanjutnya menjelaskan panjang lebar
mengenai bagaimana latar belakang Potangara ini
dilaksanakan. Dimulai dari laporan To Rugi sampai pada
utusan Suro dan penetapan waktu seperti pada pra
persidangan adat.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 102


f. Kemudian mempertanyakan pelaku bagaimana sikapnya
atas perlakuan yang dituduhkan padanya menanyakan
kebenarannya.
g. Pelaku diberi kesempatan berbicara untuk
mengungkapkan masalah sesungguhnya, jika merasa
bersalah kadang diakui saja bersalah, jika tidak pelaku
melakukan pembelaan diri atau mengelak. Pemangku Adat
menanyakan satu persatu atas kronologis kasus meminta
penjelasan atas kebenaran laporan dari Korban ke To Sala
.
h. Jika pelaku mengakui kesalahannya maka Pemangku
Adat mengambil inisiatif untuk mengajukan pertanyaan”.
Tahapan persidangan (Potangara), sebagai berikut :

a. Tahapan Pertama :
Pemeriksaan saksi-saksi termasuk saksi korban (To Rugi).
Pemeriksaan saksi-saksi berkenaan dengan pengetahuan saksi
yang dilihat sendiri, didengar sendiri, atau yang dirasakan
sendiri sehubungan dengan peristiwa/sengketa yang
disidangkan. Tidak boleh menjadi saksi mereka yang hanya
mendengar peristiwa/sengketa itu dari orang lain.
b. Tahapan Kedua :
Pemeriksaan terhadap To Sala berkenaan dengan
perbuatan/peristiwa yang diduga dilakukan oleh To Sala
sesuai laporan To Rugi. Sedapat mungkin dalam pemeriksaan
pada tahapan ini To Sala “mengakui kesalahannya” agar
persidangan berjalan lancar dan mempermudah pemangku
adat dalam pengambilan keputusan. Pada tahap ini, To Sala
dapat melakukan pembelaan diri dengan alasan-alasan yang
logis. Alasan-alasan To Sala dipertimbangkan oleh Majelis
Pemangku Adat dalam pengambilan keputusan sebagai faktor
yang meringankan atau memberatkan.
c. Tahapan Ketiga :
Pemeriksaan pada tahapan ini tidak lagi melibatkan To Rugi
dan To Sala . Keterangan To Sala akan dikonfirmasi dengan
keterangan saksi-saksi termasuk keterangan saksi pelapor (To
Rugi) oleh majelis Pemangku adat. Hasil konfirmasi keterangan
To Sala dengan keterangan saksi-sasi termasuk keterangan
saksi To Rugi dijadikan dasar Majelis untuk mengambil
keputusan yang seadil-adilnya menurut nilai-nilai keadilan
masyarakat saat sidang (Potangara) itu dilaksanakan.
d. Tahapan Keempat:
Penyampaian keputusan dihadapan sidang terbuka dan
dibuka untuk umum. Totua Nuada / Hakim Ketua sidang

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 103


membacakan/menyampaikan putusan disaksikan oleh To
Sala, To Rugi, dan masyarakat pengunjung sidang.
e. Tahapan Kelima:
Pelaksanaan Putusan dilaksanakan oleh majelis Pemangku
adat dengan persetujuan kedua bela pihak dan disaksikan oleh
masyarakat melalui sebuah upacara adat.

3. Alat Bukti dalam Peradilan Adat Kaili


Alat bukti pada Peradilan Adat Kaili, tentu tidak sama persis
dengan jenis alat bukti dan kualitas alat bukti pada Peradilan
Negara/umum. Peradilan Negara mengenal beberapa alat bukti
yaitu :Keterangan Saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk , dan
keterangan terdakwa. Peradilan Adat Kaili mengenal alat bukti
sebagai berikut:
a. Keterangan saksi
b. Surat
c. Petunjuk
d. Keterangan terdakwa (To Sala)
Keempat alat bukti tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Keterangan saksi
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pelanggaran adat Kaili yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa/pelanggaran adat untuk membuat
terang suatu peristiwa/pelanggaran adat yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.
b. Surat
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981) Pasal 187 mengatur tentang surat yang
dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara pidana.
Pasal 187 berbunyi sebagai berikut :
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
adalah :
1) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat
atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 104


2) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
Perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
3) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
dari padanya;
4) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.
Peradilan Adat Kaili juga mengenal alat bukti surat,
sekalipun surat dimaksud berbeda dengan surat sebagai
dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP, surat yang dimaksud
tidak terikat pada bentuk/ format surat menurut KUHAP
tetapi sudah cukup jika surat itu memiliki hubungan dengan
isi dari alat pembuktian lain seperti dimaksud pada poin c
Pasal 187 KUHAP.

c. Petunjuk
Petunjuk sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur
dalam Pasal 188 KUHAP yang mengatur, bahwa :
1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya.
2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat diperoleh dari:
a) keterangan saksi;
b) surat;
c) keterangan terdakwa.
3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu
petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk juga dikenal dalam sistem Peradilan Adat
Kaili. Petunjuk dalam sistem Peradilan Adat Kaili berarti perilaku
atau gerak-gerik, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun terhadap pelanggaran adat yang sedang ditangani
menunjukkan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran adat dan
siapa pelakunya. Petunjuk pada Peradilan Adat Kaili diperoleh
dari gerak-gerik saksi saat memberi keterangan, gerak gerik To

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 105


Sala dan gerak geri To Rugi saat memberikan keterangan dan
suarat jika dalam penyelesaian pelanggaran adat yang diperiksa
terdapat alat bukti surat. Petunjuk pada Peradilan Adat Kaili
merupakan salah satu alat bukti penting dalam penyelesaian
perkara/pelanggaran Adat To Kaili yang kekuatan
pembuktiannya sangat tinggi. Bahkan alat bukti petunjuk ini
menjadi penentu dalam pengambilan keputusan. Hal ini
mengandung arti bahwa jauh sebelum KUHAP lahir, masyarakat
adat To Kaili telah mengenal dan menerapkan alat bukti
petunjuk dalam penyelesaian sengketa/pelanggaran adat.

4. Sistem Pembuktian dan Pengambilan Keputusan pada


Peradilan Adat Kaili
Pembuktian merupakan salah satu rangkaian dalam sistem
Peradilan Adat Kaili yang memegang peranan penting dalam
pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan pembuktian
merupakan proses yang menentukan bersalah atau tidaknya
seseorang. Apabila bukti yang diajukan di pengadilan tidak
mencukupi atau tidak sesuai dengan yang disyaratkan maka
tersangka akan dibebaskan. Namun apabila bukti yang
disampaikan mencukupi maka tersangka dapat dinyatakan
bersalah. Karenanya proses pembuktian merupakan proses yang
penting agar jangan sampai orang yang bersalah dibebaskan
karena bukti yang tidak cukup. Atau bahkan orang yang tidak
bersalah justru dinyatakan bersalah. Oleh sebab itu, sebelum
membahas sistem pembuktian dalam perdilan adat Kaili terlebih
dahulu akan dikemukakan beberapa teori/sistem pembuktian
yang berlaku pada penyelenggaraan peradilan umum.
Sistem pembuktian dari satu negara ke negara lainnya
tentunya berbeda. Hal tersebut biasanya disesuaikan dengan
budaya atau paham yang dianut negara tersebut. Pada umumnya
sistem pembuktian di suatu negara dibedakan berdasarkan
sistem hukum yang dianut oleh negara bersangkutan. Negara
yang menganut paham civil law dan negara yang menganut
common law. Selain itu, juga dibedakan berdasarkan pada
beberapa teori/sistem pembuktian yang dianut sehingga antara
satu negara dengan negara lainnya memiliki perbedaan sistem
pembuktian. Sistem pembuktian dapat dibagi menjadi empat
yaitu sistem/teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang
secara positif, berdasarkan keyakinan hakim saja, berdasarkan
keyakinan hakim yang didukung oleh alasan yang logis, dan
berdasarkan Undang-Undang negatif. Sistem atau teori
Pembuktian dimaksud adalah :
a. Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah
tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh
penilaian “keyakinan” hakim. Dalam sistem pembuktian ini

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 106


hakim memiliki andil yang sangat besar, jika hakim telah
merasa yakin bahwa terdakwa benar melakukan apa yang
didakwakan kepadanya maka hakim bisa menjatuhkan
pidana terhadapnya, dan sebaliknya. Persoalan darimana
hakim mendapatkan keyakinan tidak menjadi permasalahan.
Kelemahan dari sistem pembuktian conviction-in time
yaitu jika alat-alat bukti yang diajukan dipersidangan
mendukung kebenaran dakwaan terhadap terdakwa namun
hakim tidak yakin akan itu semua maka tetap saja terdakwa
bisa bebas. Dan sebaliknya, jika alat-alat bukti yang
dihadirkan dipersidangan tidak mendukung adanya
kebenaran dakwaan terhadap terdakwa namun hakim
meyakini terdakwa benar-benar melakukan apa yang
didakwakan oleh Penuntut Umum maka pidana dapat
dijatuhkan oleh Hakim.
b. Conviction-Raisonee
Dalam sistem pembuktian conviction raisonee
“keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam
menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam
sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”.
Memang pada akhirnya keputusan terbukti atau tidak
terbuktinya dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa
ditentukan oleh hakim tapi dalam memberikan putusannya
hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dan
reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasarkan alasan
yang dapat diterima. Arti diterima disini hakim dituntut
untuk menguraikan alasan-alasan yang logis dan masuk
akal.

c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif


Maksud dari pembuktian menurut Undang-Undang
secara positif adalah untuk membuktikan terdakwa bersalah
atau tidak bersalah harus tunduk terhadap Undang-Undang.
Sistem ini sangat berbeda dengan sistem pembuktian
conviction-in time dan conviction-raisonee. Dalam sistem ini
tidak ada tempat bagi “keyakinan hakim”. Seseorang
dinyatakan bersalah jika proses pembuktian dan alat-alat
bukti yang diajukan di persidangan telah menunjukkan
bahwa terdakwa bersalah. Proses pembuktian serta alat bukti
yang diajukan diatur secara tegas dalam Undang-Undang.
d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif
Berbeda dengan sistem pembuktian menurut Undang-
Undang secara positif, dalam sistem pembuktian menurut
Undang-Undang secara negatif disyaratkan adanya keyakinan
hakim untuk menentukan apakah terdakwa bersalah atau

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 107


tidak. Dalam sistem pembuktian ini alat-alat bukti diatur
secara tegas oleh Undang-Undang, demikian juga dengan
mekanisme pembuktian yang ditempuh. Ketika alat-alat bukti
telah mendukung benarnya dakwaan yang didakwakan
kepada terdakwa maka haruslah timbul keyakinan pada diri
hakim akan kebenaran dari alat-alat bukti tersebut. Jika alat-
alat bukti telah mendukung kebenaran bahwa terdakwa
bersalah namun belum timbul keyakinan pada diri hakim
maka pidana tidak dapat dijatuhkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Peradilan
Adat Kaili menganut sistem yang mirip dengan sistem
pembuktian Conviction-Raisonee, sekalipun tidak persis
sama. Dalam sistem pembuktian Peradilan Adat Kaili
keyakinan pemangku adat sebagai hakim memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya To Sala. Akan
tetapi, dalam pembuktian ini, faktor keyakinan hakim
“dibatasi” oleh nilai-nilai yang hidup dan berkembang pada
masyarakat To Kaili, sebab keyakinan hakim saja tidak cukup
tanpa dukungan nilai-nilai tersebut. Memang pada akhirnya
keputusan terbukti atau tidak terbuktinya dakwaan yang
didakwakan terhadap To Sala ditentukan oleh hakim tapi
dalam memberikan putusannya hakim dituntut untuk
menguraikan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan To Sala . Dengan kata lain
keyakinan hakim harus berdasarkan alasan yang dapat
diterima. Arti diterima disini hakim dituntut untuk
menguraikan alasan-alasan yang logis dan masuk akal dalam
mengambil keputusan.

5. Kriteria Pemangku Adat (sebagai Hakim) dalam Sistem


Peradilan Adat Kaili
Pemangku adat pada kesatuan masyarakat adat Kaili, tidak
hanya berwewenang menjadi hakim dalam Peradilan Adat,
melainkan juga berwewenang mengurus kepentingan masyarakat
adat pada umumnya. Perlu ditegaskan bahwa tidak semua
pemangku adat dapat mengemban tugas sebagai hakim dalam
sistem Peradilan Adat Kaili, kecuali pemangku adat yang
memenuhi syarat yang disepakati oleh masyarakat adat To Kaili.
Syarat-syarat pemangku adat yang dapat menjadi hakim
dalam Sistem Peradilan Adat Kaili adalah sebagai berikut :
a. Natada Untona ( Cerdas dan Bijaksana);
b. Nanoto Pangantoakana (Luas Wawasannya);

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 108


c. Nabelo Sumba Nojarita (Sopan dan Santun dalam
berbicara);
d. Nanasa Talingana (Tajam Pendengarannya);
e. Nanoa Riarantai Ritimbanga (Adil dalam memutuskan
Perkara).
Syarat-syarat tersebut sekalipun tidak tertulis, namun
menjadi dasar penilaian (tolok ukur/parameter) masyarakat
dalam memilih hakim yang akan menangani penyelesaian
pelanggaran adat. Dengan mengacu pada syarat-syarat tersebut,
diharapkan mereka dalam kapasitasnya sebagai hakim dalam
penyelesaian pelanggaran adat dapat berlaku adil tanpa
diskriminasi dalam mengambil keputusan. Keputusan yang
diambil sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang
serta ditaati oleh masyarakat adat To Kaili, sehingga diharapkan
keputusan itu merupakan perwujudan dari rasa keadilan
masyarakat yang dapat memulihkan keseimbangan yang
terganggu karena pelanggaran adat tersebut.

6. Model Persidangan (Potangara Nuada):

Gambar 2 : Skema Peradilan Adat

Model persidangan (Potangara Ada) berbentuk segi empat


dengan model/posisi sebagai berikut :
a. Majelis hakim yang terdiri dari atas 5 (lima) orang
dipimpin oleh Ketua Adat sebagai hakim ketua, dan
pemangku adat 4 orang sebagai hakim anggota.
b. To Sala didampingi oleh Suro berada di posisi Kanan
Majelis Hakim.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 109


c. To Rugi didampingi keluarga 4 (empat) orang diposisi kiri
majelis hakim.
d. Pengunjung Potangara (masyarakat) diposisi berhadapan
dengan majelis Hakim.

7. Pertanyaan Baku bagi To Sala :


a. Benarkah komiu bernama si A .........(jika pelaku belum
dikenal baik)
b. Benarkah komiu melakukan hal yang dianggap kurang
terpuji sesuai yang dilaporkan masyarakat atau Suro
(lewat perwakilan lembaga adat)
c. Bagaimana masalah itu bisa terjadi ?
d. Bagaimanakah cara komiu melakukan pelanggaran
e. Siapa saja yang membantu komiu atau siapa yang
menyuruh atau memerintahkan (jika kasusnya
melibatkan pihak lain)
f. Maukah komiu mengakui bahwa komiu benar-benar
bersalah (jika tidak mengakui maka dewan adat mencari
keterangan lebih jauh lagi kepada pelapor (korban) atas
kebenaran pada libu Adat yang mempertemukan kedua
belah pihak .
g. Jika komiu mengakui kesalahan dan menyatakan diri
bersalah dan apakah siap diberi sanksi adat atas
kesalahan yang diperbuat?
h. Jika pelaku sudah mengakui dan siap diberikan sanksi
Pemangku Adat akan menetapkan sanksi yang diberikan
sesuai dengan hasil libu Pemangku Adat.
i. Bersediakah komiu membayar sanksi Adat yang
diberikan sesuai perbuatan komiu?
j. Pemberian sanksi adat dengan menentukan besar Sompo
dan batas pembayarannya, sebelum pemberian sanksi
orang tua adat berembuk menentukan besarnya sompo
dan jangka waktu yang diberikan pada To Sala. Meminta
pertimbangan kepada To Rugi tentang besaran Sompo
yang ditetapkan apakah setimpal dengan perbuatan To
Sala, dan Jika torugi menyatakan puas maka sompo
ditetapkan, jika to Torugi keberatan maka diambil jalan
terbaik lewat rembuk adat dan membuat sompo
tambahan sesuai dengan kondisi Pelaku dengan berbagai
alasan dan pertimbangan.

8. Tempat Pelaksanaan Sidang Adat (Potangara Nuada)

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 110


Syarat tempat pelaksanaan Potangara Nuada yang
dilaksanakan di rumah warga adalah :
a. Warga pemilik rumah ikhlas digunakan,
b. Cukup luas dan menampung 10 orang atau lebih dalam
satu ruangan,
c. Formasi duduk bersilah
d. pemilik rumah harus bersikap Netral (Tidak memihak di
antara kedua pihak)
Catatan : jika kasusnya besar dan melibatkan
masyarakat banyak sebaiknya dilaksanakan di
Bantaya Adat.

9. Waktu Untuk Membayar Sanksi Adat


Menentukan waktu Pembayaran sanksi adat sesuai
kebiasaan dan berdasarkan pada situasi dan kondisi saat
itu, pemangku adat memutuskan paling cepat satu minggu
setelah persidangan atau pemutusan pembayaran Denda. Si
To Sala harus segera memenuhi tuntutan yang dibebankan
padannya.

10. Peserta Sidang Adat dalam Potangara :


a. Pemangku Adat, Ketua, Sekretaris, Bendahara;
b. Keluarga Korban, dan Korban;
c. Pelaku , keluarga pelaku;
d. Suro; dan
e. Masyarakat sebagai saksi.

11. Syarat menjadi Suro


a. Dapat dipercaya, jujur , berani dan amanat;
b. Bersikap netral, Tidak memihak atau pilih kasih;
c. Cakap dan dapat berkomuikasi dengan baik;
d. Berpengalaman dalam mengatur warga (setingkat Rukun
Tetangga);
e. Memahami dan menguasai aturan adat;
f. Bekerja Ihklas tanpa pamrih; dan
g. Bertakwa Kepada Tuhan yang Maha Esa.

12. Givu (Sanksi)


Besarnya sanksi berupa uang di putuskan dalam
Potangara Ada pada masyarakat adat To Kaili, antara lain:
Uang sebesar Rp . 2.500.000 sebagai pengganti 5 ekor ternak
kambing (satu gandisi, satu dula, satu mata guma dan tiga
puluh pingga), bila givu berupa ternak maka satu ekor wajib
dipotong dan dimakan bersama warga yang hadir saat itu,
sisanya diserahkan kepada korban (To Rugi).

13. Indikator perkara dinyatakan selesai

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 111


Selesainya perkara dalam Peradilan Adat Kaili dapat
dilihat dari beberapa aspek berikut :
a. Pelaku sudah mengakui kesalahannya
b. Pelaku bersedia membayar denda (Sompo)
c. To Rugi dan To Sala berdamai didepan masyarakat,
selesai persidangan
d. Kedua belah pihak berjabat salam
e. To Rugi ihklas memberi maaf kepada To Sala
f. Dan To Sala ihklas memohon maaf
g. Makan adat secara bersama jika dendanya kambing
disembelih dirumah tempat memutuskan perkara

14. Proses pasca pembayaran denda adat


a. Pemangku Adat melakukan libu pembagian hasil Sompo,
misalnya 5 ekor kambing 4 ekor diserahkan kepada To
Rugi, satu ekor dimakan bersama dengan todea yang
hadir saat itu.
b. Jika bentuknya uang Pemangku Adat seluruhnya
menyerahkan kepada To Rugi dan tidak meminta dan
berharap dari pemberian To Rugi.
c. Pemangku Adat diberikan sebagian dari uang Sompo,
uang tersebut sebagai ucapan terima kasih yang telah
membantu dalam penyelesaian perkara. Jumlah nya
tidak menentu tergantung keikhlasan keluarga To Rugi.

15. Perangkat Adat Saat Persidangan


Dalam pelaksanaan persidangan secara adat, sudah menjadi
syarat mutlak yang harus disiapkan adalah sebagai berikut :
a. Sambulu (perangkat adat terdiri atas : sirih,pinang,
gambir, kapur sirih, dan tembakau sebagai simbol dasar
hukum adat Kaili) yang menjadi kunci utama keabsahan
pelaksanaan adat . Sebagai simbol hidup laksana satu
orang manusia.
b. Dulang Palangga (baki berkaki yang terbuat dari
kuningan untuk meletakan sajian (sambulu) sebagai
simbol keterbukaan dalam pengadilan adat. Bahannya
biasanya terbuat dari kuningan tembaga perak, atau
perunggu.
c. Pingga Bula (piring berwarna putih yang akan di
pecahkan pada saat pengambilan sumpah kepada
seluruh peserta sidang adat sebagai simbol atas
kejujuran dalam Peradilan Adat). Jika bersaksi atau
menyampaikan suatu penjelasan, atau mengambil
keputusan bersifat putih dan berhati bersih tidak boleh
ternodai, jika tidak amanat maka akan hancur bagai
kepingan piring putih yang akan dipecahkan.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 112


16. Sanksi Tambahan Jika To Sala Mengulang perbuatannya
Dalam tradisi Kaili sangat toleran dengan sesama
manusia dibuktikan dengan masih diterimanya kembali To
Sala dalam kehidupan sosial ditengah masyarakat, dan
beraktivitas seperti biasanya. Namun jika dalam proses
kehidupan sosial selanjutnya To Sala mengulangi
perbuatannya atau melakukan pelanggaran lain secara
disengaja maka pemangku adat mengambil keputusan
selanjutnya sesuai adat Kaili Nibeko (dikucilkan dari
kegiatan sosial dilingkungannya) dan jika masih terus-
menerus melakukan kesalahan yang sama, adat
memutuskan untuk Nipali (diusir dari Kampung). Jika tosala
tidak membayar sompo maka pemangku adat akan
mengenakan sanksi tambahan berupa Nopanaa.

WALI KOTA PALU,

ttd

HIDAYAT

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Bagian Hukum,

Muliati
NIP. 19650805 199203 2 014

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 113


LAMPIRAN II
PERATURAN WALI KOTA
PALU
NOMOR 38 TAHUN 2017
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN
KELEMBAGAAN ADAT KAILI

I. GAMBARAN UMUM
Amanat Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945), menegaskan bahwa pengakuan sekaligus penghormatan
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, di jelaskan dalam Pasal
18B ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang”.Selanjutnya pada Pasal 28 ayat (3):
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Terkait dengan masyarakat Hukum Adat, UUD 1945 juga
memberikan jaminan konstitusional terhadap kebudayaan
Indonesia, termuat dalam Pasal 32 yaitu : Ayat (1): “Negara
memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara
dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Selanjutnya, Ayat (2):
“Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional”.
Manusia dan kebudayaanya merupakan suatu hal yang tidak
dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat, sebab kebudayaan
merupakan impelementasi dari segenap aktivitas manusia dalam
menciptakan sesuatu. Baik itu dalam wujud kebudayaan maupun
dalam bentuk tingkahlaku, yang diwarisi secara turun temurun
kepada setiap generasinya sebagai suatu tatanan sosial budaya yang

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 114


harus ditaati sebagai bagian dari warisan leluhur,sehingga perlu
dipertahankan dan dilestarikan, oleh masyarakat pendukungnya.
Inventarisasi dan Kajian Hukum dan Sanksi Adat Suku Kaili di
Kota Palu belum banyak dilakukan dan belum terdokumentasikan
dengan baik. Inventarisasi dan Kajian ini mengungkapkan hukum
berdasarkan sejarah masa silam, sebagian besar masyarakatnya
belum mengenal tulisan namun kepatuhan atas hukum yang
berlaku sangat dijunjung tinggi demi menjaga ketentraman hidup
dan kesejahteraan bersama.
Hukum dan Sanksi Adat di Tanah Kaili berlaku sebelum adanya
agama masuk di Kota Palu dan juga adanya penjajahan bangsa
asing. Hal ini merupakan bagian dari proses kebudayaan masyarakat
Kaili, yang memegang teguh adat istiadatnya.
Hukum dan sanksi Adat aplikasinya berorientasi pada
ketetapan Givu (Sanksi) bagi masyarakat Kaili yang berdominsili di
Kota Palu. Bila ditelusuri dari aspek budaya dan kearifan lokal,
ternyata Hukum dan Sanksi Adat memiliki nilai-nilai luhur dan tetap
dijunjung tinggi serta ditaati. Namun di era modern sekarang ini
sebagian besar orang sudah melupakannya dan bahkan dianggap
sebagai pamali (pantangan) dalam kesehariannya. Akan tetapi
hukum dan sanksi adat masih tetap dipedomani untuk menjaga
pengaruh negatif modernisasi dalam merusak tatanan kehidupan.
Untuk menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan
PenciptaNya, hubungan sesama manusia, manusia dengan alam,
dan lingkungannya, maka setiap orang didalam kelompok
masyarakat Kaili selalu mengembangkan berbagai macam tata nilai
dan etika, baik dalam bentuk pergaulan, perilaku, tutur kata dan
tindakan, senantiasa selalu dalam kesepakatan adat.

1.1 Lokasi dan Penduduk


Secara historis penduduk asli Kota Palu berasal dari lereng-
lereng pegunungan sebelah barat dan timurKota Palu, termasuk
etnis to Pakava yang memiliki ciri dengan rumpun bangsa
Negroid.Akibat dari berbagai migrasi yang tidak hanya terjadi di
SulawesiTengah, bahkan diseluruh dunia yang menyebabkan
campuran darah dan budaya antara penduduk setempat, (Kruyt.
1983 : 634), Keduabelas kelompok etnis yang tersebar di Sulawesi
Tengah merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan
dari proses awal kedatangan bangsa-bangsa di Sulawesi Tengah
sebagai proses akulturasi peradaban yang terjadi pada masa
lampau yang berlangsung secara turun temurun. Wujudnya dapat
dilihat dari beberapa peninggalan Aerkeologis yang ada di Wilayah
Sulawesi Tengah berupa Kalamba, Lumpang Batu dan beberapa
peninggalan lainnya seperti bekas pemukiman tua di Kota Palu
yang sampai saat ini masih tetap utuh.

1.2 Komunitas Topo Ledo

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 115


Sebagian besar masyarakat Ledo berdiam di Wilayah Selatan,
Barat, dan sebagian di wilayah Timur Kota Palu, dari wilayah
permukiman tersebut sudah terdapat permukiman masyarakat
adat di soki-soki (boya) pada 5 (lima) wilayah keadatan dan
didominasi oleh wilayah keadatan Ledo. Penyebarannya mayoritas
Topoledo berada di kelurahan Petobo, Birobuli Utara, Birobuli
Selatan, Tatura Utara, Tatura Selatan, Nunu, Tatanga, Tawanjuka,
Pengavu, Palupi, Lolu Utara, Lolu Selatan, Karampe, Besusu,
Kabonena, Tipo, Boyaoge, Balaroa, Donggala Kodi, Ujuna, Kampung
Lere Dan Silae, Kamonji, dan Siranindi.

1.3 Komunitas Topo Rai


Sebagian besar masyarakat topo Rai mendiami wilayah sebelah
utara kota Palu khususnya di wilayah pesisir laut diantaranya
terdapat di wilayah kecamatan Tawaili dan Kecamatan Palu Utara,
masing-masing di Kelurahan Lambara, Baiya, Mpanau, Mamboro,
Mamboro Ngapa, Layana, Taipa, penyebarannya sebagian besar di
wilayah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong.

1.4 Komunitas Topo Tara


Sebagian masyarakat Topo Tara mendiami wilayah Kecamatan
Palu Timur Kota Palu, masing-masing di Kelurahan Talise,
Tanamodindi, Lasoani, Poboya, Kawatuna, Layana. Menurut
sejarah masyarakat bahwa leluhur Topo Tara berasal dari wilayah
pegunungan Kota Palu dan menyebar kewilayah Kota Palu dan
pesisir mendiami Kota Palu mulai dari kelurahan Poboya, Lasoani,
Kawatuna, Tanamodindi, Talise, Tondo, dan Layana, sebagian besar
diwilayah kabupaten Parigi Moutong.

1.5 Komunitas Topo Unde


Penyebaran masyarakat Unde mendiami wilayah Kecamatan
Ulujadi Kota Palu, masing-masing di kelurahan Watusampu dan
Buluri,dan bagian besar ada diwilayah kabupaten Donggala.

1.6 Komunitas Topo Doi


Masyarakat Kaili Doi mendiami wilayah Kecamatan Tawaili
(Kelurahan Pantoloan : pecah menjadi dua kelurahan) dan
Kecamatan Palu Utara (Kelurahan Kayumalue Ngapa dan
Kayumalue Pajeko).

1.7 Mata Pencaharian


Dalam kelangsungan kehidupan manusia untuk memenuhi
kebutuhannya sejak zaman pra sejarah sudah terlihat adanya pola
berpindah-pindah atau Nomaden menjadi ciri masyarakat pada saat
itu, sehingga membentuk kelompok–kelompok permukiman (soki)

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 116


pada gilirannya melahirkan satu boya. Demi mencari kehidupan
yang lebih baik, maka perlakuan manusia terhadap alam sekitarnya
menjadi penting yang diwujudkan sebagai cerminan dari sistem
mata pencaharian.
Akibat pola berpindah-pindah menyebabkan komunitas
menyebar luas. Dalam memanfaatkan potensi alam yang tersedia,
maka masyarakat memilih pekerjaan sebagai sebagai petani,
nelayan, wiraswasta maupun Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional
Indonesia (TNI)dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang dapat
menopang kelangsungan hidup mereka.

1.8 Bahasa
Bahasa adalah sistem perlambangan yang digunakan manusia
dalam bentuk tulisan maupun lisan untuk dapat berkomunikasi
satu dengan lainnya dalam suatu kelompok masyarakat. Walaupun
disadari bahwa menentukan luas batas penyebaran suatu bahasa
sangatlah sulit, karena kadang di daerah perbatasan tempat tinggal
dua kelompok etnis yang berbeda seringkali intensif berhubungan
sehingga ada proses pengaruh yang sangat cepat antara unsur-
unsur bahasa dari kedua belah pihak, lagi pula karena Sulawesi
Tengah tidak mempunyai bahasa tulisan (abjad) termasuk di Kota
Palu, sehingga bahasa suatu etnis hanya dapat dikenali lewat
penuturan etnis pendukung bahasa tersebut.
Walaupun penduduk asli Suku Kaili sebagai penghuni pertama
yang mendiami Kota Palu dan sekitarnya, namun suku-suku
lainya dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Kaili. Hal ini
menyebabkan terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya ditandai
dengan adanya kawin-mawin.(jasrum:2001)
Berdasarkan hasil inventarisasi dan kajian Hukum dan Sanksi
Adat Kaili Kota Palu sebagai lokus Penelitian menunjukan bahwa
bahasa di Kota Palu memiliki lima wilayah keadatan dengan
penutur bahasa Ledo, Rai, Tara, Doi, dan Unde.

1.9 Sistem Kepercayaan


Religi merupakan salah satu unsur kebudayaan yang
universal tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat
akibat adanya suatu dorongan getaran jiwa yang biasanya disebut
emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini pada dasarnya dialami
setiap orang, walaupun getaran emosional itu mungkin hanya
berlangsung beberapa detik saja. Hal inilah yang mendorong
manusia untuk melakukan tindakan yang bersifat religi dan itu
pula yang membuat manusia melakukan berbagai macam untuk
komunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan gaib yang
dianggap lebih dari padannya. (Jasrum, 1998 :8)
Adapun tiga konsep yang mendasari timbulnya sistem
kepercayaan (religi) pada zaman purba, yakni pendekatan yang

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 117


berorientasi pada: (a) keyakinan religi; (b) sikap terhadap alam gaib;
dan (c) upacara religi (koentjaraningrat, 1987 : 58).
Kruyt sebagai seorang penyiar agama Nasrani di Sulawesi
Tengah tertarik untuk mengembangkan teori keyakinan untuk
mendeskripsikan kepercayaan orang-orang pribumi dengan
mengacu pada kepercayaan Animisme dan spritisme.
Dengan sistem kepercayaan yang ada di Sulawesi Tengah,
pendekatannya berorientasi pada keyakinan religi, maka di
Sulawesi Tengah pada umumnya terdapat dua dasar kepercayaan
leluhur yakni:

a. Animisme
Kepercayaan ini merupakan kepercayaan terhadap zat halus.
Zat ini memberikan kekuatan hidup dalam gerak kepada banyak
hal di dalam alam semesta. Zat halus yang memiliki kekuatan itu
dapat berbeda dengan tumbuhan, hewan dan manusia serta
benda-benda lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian,
karena sifatnya gaib dan super natural yang biasa disebut mana,
dan ia dapat mengalami inkarnasi dari satu jiwa kejiwa yang
lainnya.

b. Spiritisme
Disamping kepercayaan Animisme, masyarakat Sulawesi
Tengah Juga mengenal kepercayaan Spiritisme yakni kepercayaan
akan adanya mahluk halus. Menurut kepercayaan, sebagaian
masyarakat suku Kaili menganggap bahwa mahluk halus ini juga
mempunyai sifat sama seperti manusia, ada yang bersifat baik dan
ada yang jahat, sehingga bila masyarakat akan melakukan
sesuatu terlebih dahulu memohon izin kepada mahluk halus
tersebut.
Menurut kepercayaan tradisional asal-usul mahluk halus
tersebut dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu :
1. Mahluk halus yang asal kajadiannya sudah gaib, seperti
Tarapotika, Topepa, Butolova, Tauta Tampilangi, Viata dan
sebagainya.
2. Mahluk Halus dari manusia yang lenyap tanpa melalui
proses kematian seperti Tauleru dan Talivarani
3. Mahluk halus dari roh manusia yang sudah meninggal
tetapi tidak wajar seperti dibunuh dan sebagainya.

Dalam hubungan antara dunia mahluk halus dengan dunia


manusia biasannya lewat suatu medium dukun sebagai
perwujudan dari penyembahan kepada roh-roh yang dapat
memberikan perlindungan, baik didunia nyata maupun dialam
roh. Ini merupakan wujud dari perlakuan seseorang dalam
menyelaraskan dan menyeimbangkan antara mikrokosmos dan
makrokosmos.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 118


Dengan demikian bahwa perubahan yang ada pada setiap
suku khususnya suku Kaili terbuka untuk menerima
unsurbudaya dari luar sepanjang tidak bertentangan dengan
kaidah dan norma-norma yang mengikat dalam tatanan
kehidupan suku Kaili, maka sistim religi yang dianut leluhur
mereka, lambat laun ditinggalkan dan menerima agama yang ada
(Islam dan Kristen) sebagai agama yang dianuti. Nampak bahwa
sekitar 90 persen Suku Kaili menganut Agama Islam dan
selebihnya beragama Kristiani.
Tentang Agama Islam kehadirannya di Tanah Kaili tidak
dapat dipisahkan dengan kedatangan Dato Karama (Abdur Raqie)
dari Minangkabau ke Sulawesi Tengah pada Tahun 1612 (Abad 17
M). Sebagai peletak dasar Agama Islam, yang membawa sebagian
budayanya, yang dapat dilihat pada busana Suku Kaili yakni
busana Fatimah yang sudah dimodifikasi sehingga terlihat adanya
akulturasi budaya dengan budaya lokal. Dapat juga dilihat pada
penetapan sanksi adat membayar denda menggunakan hewan
babi, sekarang di beberapa tempat sudah diganti menjadi
kambing.
Kedatangannya membawa pengaruh besar terhadap proses
perjalanan Islamisasi di Tanah Kaili. Dan mencapai puncak
perkembangannya setelah kedatangan Guru Tua (Sayed Idrus Bin
Salim Al-djufri) pada 11 Juni 1930 yang gigih memperjuangkan
Agama Islam sampai kepelosok-pelosok Sulawesi Tengah dan
menyebar ke provinsi lainya di Kawasan Timur Indonesia.

1.10 Stratifikasi Sosial


Dalam tatanan kehidupan masyakat terdapat yang dihargai.
Inilah cikal bakal terjadinya sistem stratafikasi dalam suatu
masyarakat. Bentuk konkrit dari pelapisan-pelapisan itu tidak
sedikit, namun pada dasarnya secara prinsipil bentuk lapisan itu
dapat diklasisifikasikan ke dalam tiga kelas yakni: kelas ekonomi,
kelas politik dan kelas tokoh masyarakat. Ketiga kelas tersebut
saling berhubungan mempengaruhi berdasarkan pada jabatan-
jabatan tertentu di dalam suatu masyarakat. Sistem pelapisan yang
ada dalam suatu masyarakat itu sendiri, tetapi adapula yang
sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama (Hermina dkk,
2001:14).
Istilah pengkelasan dalam suatu masyarakat merupakan
hakekat dari perwujudan dan sistem kedudukan yang pokok dalam
suatu masyarakat. Pengertian kelas akan sangat tegas karena
setiap orang dari kelas tertentu akan memperoleh sejumlah hak
dan kewajiban yang dilindungi hukum adat dalam suatu
masyarakat bersangkutan, sehingga warga masyarakat sekitarnya
seringkali mempunyai kesadaran serta presepsi yang jelas tentang
seluruh susunan pelapisan dalam masyarakat karena kadang
seseorang dalam suatu masyarakat memiliki beberapa kedudukan

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 119


karena dengan sendirinya ciri tersebut seolah sudah menjadi
bagian dari hidupnya sebagai simbol orang bersangkutan, sekaligus
merupakan ciri pengenalannya.
Hukum adat merupakan salah satu simbol status sosial,
mempunyai kedudukan sangat menentukan untuk menampakan
status seseorang dalam masyarakat suku Kaili, khususnya bagi
golongan kaum bangsawan (madika), sebab dengan beratnya sanksi
dan besarnya denda dapat mencerminkan status dalam suatu
masyarakat.
Olehnya itu setiap mayarakat dalam kelompok etnis Kaili
selalu mengembangkan berbagai macam sanksi adat sebagai
pengukuhan aturan yang berlaku. Hal ini memberikan interpretasi
bahwa oknum adat identik dengan preventif artinya ada peran dan
partisipasi masyarakat di dalamnya, sehingga masyarakat tunduk
dan taat terhadap oknum dan sanksi adat sebagai nilai-nilai luhur
budaya.

II. TUJUAN HUKUM DAN SANKSI ADAT

2.1 Hukum Adat (Atura Nuada)


Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-
nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya
berkaitan menjadi suatu sistem.
Hukum adat adalah aturan-aturan atau tata kelakuan secara
turun-temurun dari generasi kegenerasi sebagai warisan yang kuat
integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.
Dalam konteks masyarakat Kaili yang mendiami Kota Palu,
untuk menata kehidupan sosial kemasyarakatan telah hidup dan
berkembang tatanan kehidupan yang diatur sesuai nilai-nilai dan
norma-norma yang disepakati secara turun-temurun meliputi
Posumba (ucapan), Ampena (perilaku), dan Kainggua (tindakan).

2.2 Sanksi Adat (Givu Nuada)


Sanksi Adat adalah sesuatu yang diterima akibat dari
pelanggaran nilai dan norma adat yang berlaku dimasyarakat.
Sanksi adat diberlakukan bagi siapa saja yang melanggar adat
termasuk dari golongan Madika(bangsawan/Raja), Ntina (Tokoh
dan Pemangku Adat) sampai Todea (masyarakat umum). Demi
menjunjung penegakan nilai dan norma adat, seluruh warga
masyarakat yang berada dalam 5 (lima) wilayah keadatan
memperoleh hukum atau sanksi yang sama walaupun suku,
pangkat, dan golongan berbeda,dengan menggunakan falsafah:
”Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung”, makna strategisnya
kata berpijak dan menjunjung adalah menaati dan menghormati
Hukum dan Sanksi Adat yang berlaku pada suatu wilayah.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 120


2.3 Tujuan Hukum dan Sanksi Adat
Tujuannya adalah untuk memberikan penanaman nilai budi
pekerti,yang gunanya melindungi seluruh warga dari perbuatan
sewenang-wenang dan tindakan yang tidak terpuji. Oleh karena itu
Hukum dan Sanksi Adat dimaksudkan untuk menciptakan
peradaban dalam kehidupan sosial kemasyarakatan menuju suatu
kehidupan yang damai aman dan berkeadilan, sehingga bila
dimaknai secara seksama hukum adat dapat menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusian.
Implementasi Hukum dan Sanksi Adat Kaili mencakup berbagai
aspek kehidupan sosial, sehingga berbagai persoalan dalam
kehidupan masyarakat dapat dipecahkan berdasarkan nilai-nilai
dan norma-norma adat yang berlaku di Kota Palu.Dengan demikian
ucapan, perilaku dan tindakan kesewenang-wenangansetiap
individu atau Kelompok senantiasa menciptakan suasana
keharmonisan, kegotong-royongan dan saling menghormati dalam
kehidupan bermasyarakat. Keputusan Sanksi Adat dapat diterima
dengan baik dan mendapat dukungan sepenuhnya dari seluruh
lapisan masyarakat.

III. HUKUM DAN SANKSI ADAT KAILI DI KOTA PALU (ATURA


NUADA ANTE GIVU NUADATO KAILI RI LIVUTO NU PALU

Berdasarkan hasil Inventarisasi dan Kajian Hukum dan Sanksi


Adat Kaili di Kota Paluyang tersebar pada 5 (lima) wilayah keadatan
berdasarkan dialek Suku Kaili yaitu Topo Ledo, Topo Rai, Topo
Tara, Topo Unde dan Topo Doi, maka dapat dihasilkan penulisan
Atura Nuada Ante Givu Nuada To Kaili Ri Livuto Nu Palu (Hukum
dan Sanksi Adat Kaili di Kota Palu) sebagai berikut:

3.1. Atura Nuada (Hukum Adat)


3.1.1. Sala Kana/Nakaputu Tambolo
Sala Kana adalah salah satu jenis hukum yang
diberikan/dikenakan kepada seseorang yang melanggar norma-
norma Adat yang berhubungan dengan ucapan, tindakan dan
perilaku dalam kategori berat.

3.1.2. Sala Baba/Sala Mpale


Sala Baba/Sala Mpale adalah salah satu jenis hukum yang
diberikan/dikenakan kepada seseorang yang melanggar norma-
norma Adat yang berhubungan dengan ucapan, tindakan dan
perilaku dalam kategori sedang.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 121


3.1.3.Sala Mbivi
Sala Mbivi salah satu jenis hukum yang diberikan/dikenakan
kepada seseorang yang melanggar norma-norma Adat yang
berhubungan dengan ucapan, tindakan dan perilaku dalam
kategori ringan.

3.2. Givu (sanksi Adat)


3.2.1. Givu Salakana (Sanksi Adat Berat)
3.2.1.1. Nilabu
Sanksi Adat Nilabu merupakan pelanggaran terhadap hukum
Adat Salakana, yang dikenakan kepada seseorang dengan cara
ditenggelamkan di laut.

3.2.1.2. Nipali
Sanksi Adat Nipali merupakan pelanggaran terhadap hukum
Adat Salakana, yang dikenakan kepada seseorang/keluarga
dengan cara diasingkan atau diusir dari kampung.

3.2.1.3.Nibeko
Sanksi Adat Nibeko merupakan pelanggaran terhadap hukum
Adat Salakana, yang dikenakan kepada seseorang/keluarga
dengan cara dikucilkan dari kehidupan sosial kemasyarakatan.

3.2.1.4. Bangu Mate


Sanksi Adat Bangu Mate merupakan pelanggaran hukum Adat
Salakana, yang dikenakan kepada seseorang/keluarga dengan
cara mengganti/membayar denda berupa hewan besar dan
perlengkapan adat lainnya sesuai ketentuan.

3.2.2. Givu Sala Baba/Salampale (Sanksi Adat Sedang)


Doc. Iksam
Givu Sala Baba/Salampale bentuk sanksinya hanya satu
kategori yaitu sanksi Bangu Mate. Sanksi Bangu Mate merupakan
pelanggaran hukum Adat Sala Baba/Salampale, yang dikenakan
kepada seseorang/keluarga dengan cara mengganti/membayar
denda berupa hewan kecil (kambing) minimal 2 ekor dan
perlengkapan adat lainnya sesuai ketentuan.

3.2.3. Givu Sala Mbivi (Sanksi Adat Ringan)


Givu Sala Baba/Salampale bentuk sanksinya hanya satu
kategori yaitu sanksi Bangu Mate. Sanksi Bangu Mate merupakan
pelanggaran hukum Adat Sala Mbivi, yang dikenakan kepada
seseorang/keluarga dengan cara mengganti/membayar denda
berupa hewan kecil (kambing) minimal 1 ekor dan perlengkapan
adat lainnya sesuai ketentuan.

3.3.Vaya (Pelanggaran)

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 122


Vaya merupakan perbuatan yang melanggar Atura Nu Ada
(hukum adat) dan dikenakan Givu Nuada (sanksi adat).

3.3.1 Nosimpogau Santina


Nosimpogau Santina merupakan perbuatan (berzinah dalam
hubungan darah) yaitu:
a. Bapak dan anak kandung atau ibu dan anak kandungnya
b. Kakak dengan adik kandungnya
c. Mertua dengan menantu dan nenek dengan cucu
d. Bibi (tante) atau paman saudara kandung dari bapak atau
ibu
e. Ipar dari saudara kandung dengan suami atau istri
Semua pelanggaran di atas merupakan pelanggaran Sala Kana
dan dikenakan givu (sanksi) dengan cara Nilabu dan atau Nipali.

3.3.2. NopogauAna Ante Sampesuvu Numadika


(berzina dengan Permaisuri atau keluarga Raja atau sebaliknya).
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana dan
dikenakan givu (sanksi) dengan cara Nilabu dan atau Nipali

3.3.3. Nobualo
merupakan bentuk pelanggaran perzinahan seorang Perempuan
yang mempunyai suami yang sah dengan seorang lelaki lain atas
keinginan/godaan perempuan.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana Bangumate,
dikenakan givu (sanksi) yaitu :
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),
e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada,maka notovali (Pengganti)dengan piring
biasa.

3.3.4. Nebualosi
merupakan bentuk pelanggaran perzinahan seorang laki-laki yang
mempunyai isteri yang sah dengan seorang perempuan lain atas
keinginan/godaan Laki-laki.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana Bangumate,
dikenakan givu(sanksi) yaitu :
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 123


e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada, maka notovali (Pengganti) dengan
piring biasa.

3.3.5. Nopangadi,
adalah perzinahan seorang perempuan yang mempunyai suami
yang sah dengan seorang lelaki lain (atas keinginan/godaan laki-
laki).
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana
Bangumate, dikenakan givu(sanksi) kepada laki-laki dan
perempuan, yaitu :
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),
e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada, maka notovali (Pengganti) dengan
piring biasa.

3.3.6. Noleva Janji Noberei Nuada,


dimaksudkan apabila seorang laki-laki dengan sengaja tidak
datang pada saat Pernikahan.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana Bangumate
dan dikenakan givu (sanksi):
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),
e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada, maka notovali (Pengganti) dengan
piring biasa.

3.3.7. Mbasuaki Paturua Nuboti,


dimaksudkan seorang laki-laki dengan sengaja memasuki kamar
pengantin wanita dengan melakukan tidakan kurang baik
(memeluk, memegang/merabah tubuh pengantin perempuan).

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 124


Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana Bangumate
dan dikenakan givu (sanksi):
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),
e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada, maka notovali (Pengganti) dengan
piring biasa.

3.3.8.Mbasuaki Paturua NumombineAnte Nepogau,


dimaksudkan seorang laki-laki memasuki atau tidur dengan
sengaja pada tempat tidur seseorang gadis atau janda.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana dan
dikenakan givu (sanksi): Sampomava bengga.

3.3.9.Nepeneki,
dimaksudkan adalah seorang laki-laki bertamu dengan sengaja ke
rumah seseorang perempuan gadis, janda atau perempuan yang
telah bersuami tanpa ada orang ketiga yang diyakini akan berbuat
kurang baik, apabila seorang perempuan keberatan/berteriak,
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana dan
dikenakan givu (sanksi): Sampomava bengga.
Selanjutnya perempuan tersebut tidak berteriak namun ada orang
yang menyaksikan.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala baba dan
dikenakan givu (sanksi): Samporesi Tovau.

3.3.10. Nolipasinggani Ante Berei Ntona,


dimaksudkan seorang laki-laki berjalan seiring secara sengaja
dengan seseorang perempuan yang telah berumah tangga tanpa
ada orang ketiga dan diyakini mempunyai maksud yang tidak
baik, dan ada saksi melihat dan keluarga pihak perempuan
keberatan.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana dan
dikenakan givu (sanksi): Sampomava Bengga.

3.3.11. Movala Kuvava,


dimaksudkan ucapan berkelakar yang melewati batas etika dan
moral yang dapat mengakibatkan seseorang tersinggung.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Salam Mbivi dan
dikenakan givu (sanksi): Samporesi Tovau.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 125


Apabila Movala Kuvava mengakibatkan “permasalahan besar”
maka merupakan pelanggaran Sala Kana, dan dikenakan Givu
(sanksi) Sampomava Bengga.

3.3.12. Nogero Poberei Ntona,


dimaksudkan tindakan seseorang (pihak ketiga) yang sengaja
memutuskan tali ikatan perkawinan atau merusak rumah tangga
orang lain mengakibatkan perceraian.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana dan
dikenakan givu (sanksi): Ruampomava Bengga.
Keterangan :
Bahwa sanksi Ruampomava Bengga atas pelanggaran di atas
dikenakan kepada masing-masing : Sampomava kepada pihak
ketiga dan sampomava kepada yang memutuskan tali perkawinan.

3.3.13. Noleva Janji Posiduta,


dimaksudkan tindakan pihak laki-laki atau perempuan yang telah
sepakat dalam peminangan untuk melangsungkan rencana
perkawinan, dan Salah satu pihak ingkar janji terhadap
kesepakatan tersebut.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana dikenakan
givu (sanksi): Sampomava Bengga.

3.3.14. Noleva janji Poboti,


dimaksudkan seorang laki-laki atau perempuan yang ingkar janji
terhadap pelaksanaan perkawinan (pernikahan) yang telah
disepakati kedua belah pihak dan salah satu pihak.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana, kepada
pihak yang ingkar Janji dikenakan givu (sanksi): Sampomava
Bengga.
Perbuatan tersebut di atas juga dikenakan givu (sanksi) bagi pihak
perempuan yang Ingkar Janji, maka hantaran harta dikembalikan
dua kali lipat. Dan apabila pihak laki-laki ingkar janji maka semua
hantaran menjadi milik perempuan.

3.3.15. Nesarabago,
dimaksudkan perbuatan zina yang dilakukan oleh calon pengantin
laki-laki dengan calon pengantin perempuan yang telah diikat oleh
perjanjian rencana pernikahan secara adat dan perbuatan
tersebut diketahui oleh pihak ketiga.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana dikenakan
givu (sanksi): Sampomava Bengga.

3.3.16. Neboli Mombine,

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 126


dimaksudkan seorang istri meninggalkan rumah karena telah
melakukan perzinaan dengan laki-laki lain.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana bangumate
dikenakan kepada laki-laki givu (sanksi):
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),
e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada,maka notovali (Pengganti)dengan piring
biasa.
Kepada perempuan dikenakan Givu(sanksi): semua harta Gonogini
tidak berhak dimiliki oleh perempuan tersebut dan turun dari
rumah hanya menggunakan pakaian dibadan.

3.3.17. Nosimpalaisaka,
dimaksudkan bila seorang lelaki dengan sengaja membawa lari
seorang perempuan atas kemauan mereka bersama.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana dikenakan
kepada laki-laki givu (sanksi): Sampomava Bengga

3.3.18. Neduku,
dimaksudkan seorang perempuan turun dari rumah kediaman
orang tuannya, lalu tinggal menetap di kediaman orang tua pihak
laki-laki yang memang telah mempunyai hubungan asmara.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana yang
dikenakan kepada laki-laki givu (sanksi): Sampomava Bengga

3.3.19. Nepungu,
dimaksudkan seorang perempuan yang telah kehilangan
kehormatan dan menahan seorang lelaki yang telah memiliki
hubungan asmara, sehingga pihak laki-laki tidak bisa turun atau
keluar dari rumah wanita tersebut.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Kana yang
dikenakan kepada laki-laki givu (sanksi): Sampomava Bengga

3.3.20. Nobaga Mombine,


a. Ribanua, dimaksudkan seorang laki-laki dengan sengaja
memasuki rumah seorang perempuan yang kebetulan
tinggal sendiri dalam rumah dan lelaki itu memasuki
kamar tidur, sehingga melakukan kelancangan dengan
niat kurang terpuji (memeluk, memegang/meraba tubuh
perempuan tersebut). Pihak perempuan tetap

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 127


mempertahankan kehormatannya sambil berteriak minta
tolong dan menangis.
b. Ridala, dimaksudkan seseorang laki-laki dengan sengaja
mengikuti dari belakang seorang perempuan, berjalan di
tempat sunyi yang dapat menimbulkan dugaan
mempunyai niat jahat karena berlagak kurang sopan dan
merasa bebas. Apabila niat itu terjadi dilakukannya
(memeluk, memegang/meraba tubuh perempuan tersebut)
dan perempuan bersangkutan keberatan.
c. Ribuvu, dimaksudkan seseorang laki-laki dengan sengaja
memasuki tempat/ruang mandi perempuan dan diduga
mempunyai niat jahat karena berlagak kurang sopan dan
merasa bebas. Apabila niat itu terjadi dilakukannya
(memeluk, memegang/meraba tubuh perempuan tersebut)
dan perempuan bersangkutan keberatan.
Pelanggaran di atas merupakan pelanggaran Sala Baba yang
dikenakan kepada laki-laki givu (sanksi): Ruamporesi tovau,
Samata Guma dan Sampulu ntonga Pingga (sepuluh buah piring).

3.3.21.Nepogau,
a. Perbuatan zina seorang laki-laki terhadap seorang wanita
tidak normal/cacat mental.
Pelanggaran di atas merupakan pelanggaran Sala Baba yang
dikenakan kepada laki-laki givuna(sanksi): Sampomava Bengga
b. Perbuatan zina yang dilakukan oleh beberapa orang laki-
laki terhadap seorang perempuan.
Pelanggaran di atas merupakan pelanggaran Sala Kana,
kepada pelaku di kenakan givu (sanksi): masing-masing
sampomava Bengga.

3.3.22. Netatopo/Netadilo,
dimaksudkan perbuatan seseorang laki-laki dengan sengaja
mengintip wanita mandi, wanita sedang tidur, wanita yang sedang
mengganti busana dan atau mengintip suami istri yang sedang
berada di kamar tidur.
Pelanggaran di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
laki-lakidi kenakan givu (sanksi): Ruamporesi tovau

3.3.23. Posinggarau Njamboko,


dimaksudkanPertengkaran dalam rumah tangga dengan
melakukan penganiayaan dan merusak alat-alat perabot rumah
tangga atau lainya.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi): ruamporesi tovau.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 128


3.3.24. Mosimpogau Mombine Ntemombine, Langgai Nte
Langgai,
dimaksudkan perbuatan hubungan homoseks/Lesbian yang
diikuti dengan tindakan penganiayaan anggota tubuh.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba yang
dikenakan kepada masing-masing givu (sanksi): Samporesi tovau

3.3.25. Nanggaremba Ri Banua Ntona,


dimaksudkan perbuatan tidak menyenangkan seorang laki-laki
dan atau perempuan yang dilakukan di rumah orang lain.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi): Ruamporesi Tovau

3.3.26. Negogo/NegayoMombine,
adalah tindakan seorang laki-laki yang berusaha menjamah atau
memegang alat vital perempuan yang membuat orang tersebut
keberatan.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi): ruamporesi tovau

3.3.27. Mbaboba To Tua,


dimaksudkan tindakan seseorang anak memukul orang tua
kandung baik laki-laki maupun perempuan karena emosi amarah.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi):Ruamporesi tovau

3.3.28. Mbaboba To Tua Nungata,


dimaksudkan tindakan memukul Tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh adat, pemangku adat, dan pejabat pemerintahan
Kampung.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi):Ruamporesi tovau

3.3.29. Netiku,
dimaksudkan tindakan beberapa orang mengeroyok, walaupun
korban memiliki kesalahan.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
masing-masing pelaku dikenakan givu (sanksi): samporesi tovau
dan melakukan penggantian biaya perawatan bagi orang yang
dicederai.

3.3.30. Nelea,
dimaksudkan tindakan seseorang yang melakukan penganiayaan
dengan cara sembunyi-sembunyi.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 129


Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi): samporesi tovau dan melakukan
penggantian biaya perawatan bagi orang yang dicederai.
Apabila korban meninggal dunia maka pelanggaran tersebut
masuk dalam SalaKana Bangumate dikenakan Givu (sanksi):
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),
e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada,maka notovali (Pengganti)dengan piring
biasa.

3.3.31. Netampa,
dimaksudkan tindakan emosional seseorang dengan sengaja
melukai ternak orang lain.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi): mengganti dengan ternak sesuai
yang dilukainya.

3.3.32. Neanyu-anyuka,
dimaksudkan dengan sengaja secara berolok-olok dengan kata-
kata atau prilaku yang tidak sopan di hadapan orang lain.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Mbivi, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi):Samporesi tovau.

3.3.33. Nesauru,
dimaksudkan perilaku yang tidak sopan (penghinaan) terhadap
orang lain, Pemangku adat dan Madika.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi): ruamporesi tovau.

3.4.34. Nangangga,
dimaksudkan mengambil barang orang lain yang bukan miliknya
tanpa izin.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Baba, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi): ruamporesi tovau
Di samping itu pelaku dikenakan givu (sanksi) mengganti barang
sesuai dengan yang dicurinya.

3.3.35. Netunai/Netuasi,
dimaksudkan ucapan seseorang memaki-maki orang lain dengan
kata-kata yang tidak sopan (menyebut kemaluan laki-laki dan

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 130


atau perempuan, nama binatang, kekurangan fisik orang lain,
menghina keturunan orang lain).
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Mbivi, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi): Samporesi Tovau.
Perbuatan tersebut di atas apabila ditujukan kepada tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, pemangku adat, dan
pejabat pemerintahan Kampung dikenakan Givu (sanksi):
talumporesi tovau tambah talupulu pingga, sangu dula.

3.3.36. Nebagiu,
dimaksudkan perbuatan penipuan terhadap orang lain,
menyebabkan kerugian orang lain.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Mbivi, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi): samporesi tovau.
Perbuatan tersebut di atas apabila mengakibatkan “ permasalahan
besar ” (terjadi korban jiwa dan harta) maka masuk pelanggaran
Sala Kana bangu mate dikenakan Givu (sanksi):
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),
e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada,maka notovali (Pengganti) dengan piring
biasa.

3.3.37. Nedavai,
dimaksudkan perbuatan membohongi orang lain, menyebabkan
kerugian orang lain.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Mbivi, kepada
pelaku dikenakan givu (sanksi): samporesi tovau.
Perbuatan tersebut di atas apabila mengakibatkan “ permasalahan
besar ” (terjadi korban jiwa dan harta) maka masuk pelanggaran
Sala Kana bangu mate dikenakan Givu (sanksi):
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),
e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada,maka notovali (Pengganti)dengan piring
biasa.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 131


3.3.38.Nenavusaka,
dimaksudkan perbuatan menjatuhkan martabat orang, tetapi
dalam pembuktiannya tuduhan tersebut tidak benar.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Mbivi, kepada
pelaku dikenakan Givu (sanksi): samporesi tovau.
Perbuatan tersebut di atas apabila mengakibatkan “ permasalahan
besar ” (terjadi korban jiwa dan harta) maka masuk pelanggaran
Sala Kana bangu mate dikenakan Givu (sanksi):
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),
e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada,maka notovali (Pengganti)dengan piring
biasa.

3.3.39.Nerasaki,
dimaksudkan perbutan memuji orang lain secara berlebihan
melampaui batas kewajaran dan menyebabkan ketersinggungan
orang lain.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Mbivi, kepada
pelaku dikenakan Givu (sanksi): samporesi tovau.

3.3.40. Nosintutu,
dimaksudkan perbuatan dengan sengaja menyebarkan berita
bohong ataupun aib orang lain meskipun benar, yang dapat
mencemarkan nama baik seseorang maupun kelompok.
Perbuatan di atas merupakan pelanggaran Sala Mbivi, kepada
pelaku dikenakan Givu (sanksi): samporesi tovau.
Perbuatan tersebut di atas apabila mengakibatkan “ permasalahan
besar ” (terjadi korban jiwa dan harta) maka masuk pelanggaran
Sala Kana bangu mate dikenakan Givu (sanksi):
a. Sampomava Bengga (seekor Kerbau jantan besar)
b. Sanggayu gandisi (satu pes kain putih),
c. Samata guma (satu buah Parang Adat),
d. Santonga dula (satu buah dulang),
e. Santonga tubu mputi (mangkuk kramik putih),
f. Sudakana (mahar) 11 sampai dengan 99 Reyal.
g. Suraya (piring adat) Posanga (Pinekaso, Tava Kelo) dengan
hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah, jika hal
tersebut tidak ada,maka notovali (Pengganti)dengan piring
biasa.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 132


Catatan: Givu (sanksi) merupakan sompoh (denda) yang telah
ditetapkan dalam musyawarah adat harus dibayar kepada Polisa
(bendahara) adat.
”Nopanaa” dimaksudkan apabila sompoh (denda) Givu (sanksi)
adat salakana bangumate, salababa, dan salambivi yang telah
ditetapkan saat musyawarah adat tidak dibayar pada waktunya,
maka Dewan Adat akan memberikan peringatan kepada pelaku
dan apa bila dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, pelaku
belum juga membayar sompoh (denda), maka dikenakan Givu
(sanksi) salakana Nipali.

4.4. Hukum Dan Sanksi Adat Ombo Nungata


4.4.1. Pengertian Ombo
1.Secara etimologi kata ombo memiliki arti :
a. Rusak , misalnya Naombo banua= rusak rumah, sou
naombo = pondok yang rusak, vala naombo= pagar
rusak.
b. Runtuh, seperti tanah runtuh (kaombona) longsor (erosi)
kerusakan pada pantai (abrasi).
c. Bencana duka pada negeri seperti wafatnya seorang raja
atau bangsawan/pembesar.
d. Bencana akan kepunahan habitat binatang dan
tumbuhan tertentu pada saat atau bencana lingkungan
hidup.
2.Secara terminologi ombo dapat diartikan sebagai:
a. Melindungi lingkungan alam dari ulah manusia dengan
sengaja melakukan pengrusakan;
b. Menjaga kelestarian alam;
c. Keprihatinan atas peristiwa dan kejadian yang menimpa
kampung (Bencana Alam, Bencana Sosial, Kematian
Raja/Madika, dll).

4.4.2. Jenis-Jenis Ombo


Ombo dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu :
a. Ombo Kamate Numaradika (meninggalnya raja),
b. Ombo Pekanolu Riara Ngata (Menjaga kepunahan
Tumbuhan ),
c. Ombo Pekanolu olo-kolo (menjaga kepunahan binatang ),
d. Ombo Pekanolu Nutuda-tuda (menjaga kepunahan
tanaman),
e. Ombo Pekanolu Mpangale (menjaga kelestarian Hutan),
f. Ombo Pekanolu Dua: (menjaga terjangkitnya wabah
Penyakit),
g. Ombo Pekanolu Isi Nurarantasi(menjaga kelestarian
habitat dan biota Laut),

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 133


h. Ombo PekanoluKarona, Binangga, Keke (menjaga
kelestarian lingkungan daerah aliran sungai dan aliran
air),
i. Ombo Pekanolu Mata Nu Uve (menjaga kelestarian sumber
mata air),
j. Ombo Pekanolu Tana Ntodea, Tana Nuada (menjaga
kelestarian ruang publik).
4.4.3. Tujuan Pelaksanaan Ombo
a. Agar masyarakat dapat mentaati aturan yang telah
disepakati bersama (Tokoh Adat, Pemangku Adat, dan
masyarakat umum).
b. Agar menjaga, melindungi dan melestarikan semua jenis-
jenis ombo demi menjaga keseimbangan alam.

4.4.4.Givu (Sanksi)
4.4.4.1.Ombo Kamate Numaradika (meninggalnya raja)
Pantangan/larangan: memasak, membuat minyak kelapa
dirumah,menggoreng apa saja dalam rumah, menenun kain dalam
rumah, membersihkan rambut (Moboka/Mosiuka bulua/Mosigea,
Mosisalaga) bagi perempuan, mencuci pakaian, menyembelih
hewan dalam kampung, bagi pejalan kaki dari luar kampung sejak
memasuki batas wilayah ombo (livuto) yang diberi simbol novera
(janur kuning), tidak diperkenankan memakai topi, mengendarai
kuda, atau naik kuda mainan bagi anak-anak, memikul sesuatu
secara berimbang atau dua ujung pikulan (molemba), sebaiknya
harus mobantia (memikul sesuatu hanya pada satu ujung pikulan
saja, sedang pikulan bagian depan harus ditekan dengan tangan,
atau cukup dengan menjinjing) bagi semua penumpang kendaraan
tidak turun kecuali Kusir.
Pelanggaran terhadap larangan atau pantangan ombo tersebut
diatas, dikenakan Givu (sanksi): Samporesi Tovau.
Catatan : Ombo Kamate Numadika memiliki jangka waktu tertentu
berdasarkan keputusan pemanggku adat.

4.4.4.2. Ombo Pekanolu Nungata


(Menjaga Kelestarian lingkungan pemukiman) dimaksudkan
Pantangan/larangan: membuang/membakar sampah
sembarangan, menebang pohon, mengolah tanah,
memetik/memanen buah tanaman milik sendiri maupun orang
lain, mengambil (memanen) ikan di danau (rano), salu (Payau).
Pelanggaran pantangan/larangan kesepakatan ombo tersebut
diatas dikenakan Givu(sanksi): Samporesi Tovau.
Catatan : Jangka waktu Ombo ditetapkan atas kesepakatan
Dewan Adat.

4.4.4.3. Ombo Pekanolu Olo-kolo

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 134


(menjaga dan, melindungi hewan tertentu) dimaksudkan
Pantangan/Larangan: membunuh, menganiaya, memburu,
memperjual belikan hewan tertentu.
Pelanggaran pantangan/larangan kesepakatan ombo tersebut di
atas dikenakan Givu(sanksi): Samporesi Tovau.
Catatan :Jangka waktu Ombo ditetapkan atas kesepakatan Dewan
Adat.

4.4.4.4. Ombo Pekanolu Nutuda-tuda


(menjaga tanaman tertentu) dimaksudkan Pantangan/Larangan:
mengambil dan merusak tanaman tertentu.
Pelanggaran pantangan/larangan kesepakatan ombo tersebut di
atas dikenakan Givu (sanksi): Samporesi Tovau.
Catatan : Jangka waktu Ombo ditetapkan atas kesepakatan
Dewan Adat.

4.4.4.5. Ombo Pekanolu Mpangale


(menjaga kelestarian Hutan tertentu) dimaksudkan
pantangan/Larangan: merusak Kawasan Hutan.
Pelanggaran pantangan/larangan kesepakatan ombo tersebut di
atas dikenakan Givu (sanksi): Samporesi Tovau.
Catatan : Jangka waktu Ombo ditetapkan atas kesepakatan
Dewan Adat.

4.4.4.6. Ombo Pekanolu Nudua


(menjaga terjangkitnya wabah Penyakit) dimaksudkan
pantangan/larangan : membuang bangkai hewan, sisa makanan,
kotoran hewan sembelihan di sungai dan laut di lingkungan
pemukiman penduduk, memelihara dan melepas ternak piaraan
yang terjangkit penyakit.
Pelanggaran pantangan/larangan kesepakatan ombo tersebut di
atas dikenakan Givu (sanksi): Samporesi Tovau.
Catatan : Jangka waktu Ombo ditetapkan atas kesepakatan
Dewan Adat.

4.4.4.7. Ombo Pekanolu livutontasi


(menjaga kelestarian lingkungan habitat dan biota Laut)
dimaksudkan pantangan/larangan : melakukan reklamasi,
membuang limbah beracun, menebang pohon bakau (mangrove),
merusak terumbu karang, menangkap ikan (dengan cara
pemboman, meracuni, menggunakan pukat Harimau, bagang
modern yang menggunakan mata jaring kecil) dan penambangan
di kawasan pantai tertentu.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 135


Pelanggaran pantangan/larangan kesepakatan ombo tersebut
di atas dikenakan Givu (sanksi): Samporesi Tovau.
Catatan : Jangka waktu Ombo ditetapkan atas kesepakatan
Dewan Adat.

4.4.4.8. Ombo Pekanolu Karona, binangga, keke


(menjaga kelestarian lingkungan daerah aliran sungai) dimaksud
pantangan/larangan : mendirikan bangunan, mengambil material
sirtu dalam wilayah tertentu, membuang bangkai dan kotoran
hewan, membuang sampah rumah tangga, membuang hajat besar
di wilayah tertentu.
Pelanggaran pantangan/larangan kesepakatan ombo tersebut di
atas dikenakan Givu (sanksi): Samporesi Tovau.
Catatan : Jangka waktu Ombo ditetapkan atas kesepakatan
Dewan Adat.
4.4.4.9. Ombo Pekanolu Mata Nuuve
(menjaga kelestarian sumber mata air) dimaksudkan
Pantangan/larangan : menebang pohon di sekitar sumber air,
mengambil air untuk diperjualbelikan, membuang kotoran di
sumber mata air, menambang pasir dan batu, mendirikan
bangunan di sekitar mata air.
Pelanggaran pantangan/larangan kesepakatan ombo tersebut
di atas dikenakan Givu (sanksi): Samporesi Tovau.
Catatan : Jangka waktu Ombo ditetapkan atas kesepakatan
Dewan Adat.

4.4.4.10. Ombo Pekanolu Tana Ntodea, Tanah Nuada


(melindungi, kawasan lahan tertentu) dimaksudkan
pantangan/larangan: mengalihfungsikan tanah adat, tanah untuk
kepentingan umum, termasuk tanah sengketa untuk kepentingan
pribadi atau kelompok.
Pelanggaran pantangan/larangan kesepakatan ombo tersebut di
atas dikenakan Givu (sanksi): Samporesi Tovau.
Catatan : Jangka waktu Ombo ditetapkan atas kesepakatan
Dewan Adat.

4.4.5.Tata Cara Pelaksanaan Ombo Kamate Numaradika


Petugas yang memberlakukan ombo ialah anggota Pemangku
adat, melalui suatu musyawarah (libu Totua nungata).
Musyawarah tersebut dilakukan segera setelah Madika mangkat.
Noombo dilakukan selama masa nolomu (masa persemayaman
jenazah sampai dikebumikan) selama patampulu eona (empat
puluh hari).
Bila hasil musyawarah tersebut sudah ditetapkan, maka
ombo segera diberlakukan. Pengumuman dilakukan oleh Topelelei,
dengan suara lantang pada sudut-sudut jalan yang strategis yang
dapat didengar orang banyak.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 136


Waktu dan lamanya masa ombo (masa berkabung) ini berlangsung
7 hari 7 malam dan ditentukan oleh hasil musyawarah Pemangku
adat, termasuk batas wilayah/kampung diberlakukan mo ombo.
Batas desa yang diberlakukan mo ombo diberi tanda atau simbol
dari tau-tau (boneka yang terbuat dari daun kelapa), digantung
pada sebuah tiang di tepi jalan masuk kampung. Untuk
penentuan waktu ombo demi menjaga kelestarian alam tidak
memiliki batasan waktu, diputuskan berdasarkan pertimbangan
pemangku adat. Tau-tau
Suombo dimaknai setelah selesai prosesi pemakaman, maka
Ketua pemangku adat mengundang ibu-ibu dan gadis-gadis dari
tiap-tiap Boya (kampung), gadis-gadis dan ibu-ibu tersebut diberi
tugas mompasiromu pekasuvia ntodea (membawa Tapi (nyiru)
dari rumah ke rumah untuk diisi pangan hasil bumi oleh
masyarakat sebagai ungkapan berkabung). Hasilnya dibawa dan
dikumpulkan di rumah Pemangku adat. Bila seluruhnya telah
terkumpul maka nyiru yang telah berisi pangan hasil bumi
(pekasuvia) tersebut diantar oleh Pemangku adat ke rumah
keluarga Raja yang berduka (Numadika).
Mo osuombo adalah acara pencabutan ombo dilaksanakan
oleh pemangku adat dengan mencabut seluruh atribut/simbol
yang dipasang di batas wilayah ombo dengan demikian Selesailah
masa ombo. Catatan : Upacara mo ombo Ngata (kematian raja),
hanya berlaku bagi raja dan pejabat kerajaan, sedangkan bagi
bangsawan lain, upacara ini tidak diberlakukan sebelum
melalui/berdasarkan keputusan Dewan Adat .

WALI KOTA PALU,

ttd

HIDAYAT
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Hukum,

Muliati
NIP. 19650805 199203 2 014

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 137


LAMPIRAN III
PERATURAN WALI KOTA
PALU
NOMOR 38 TAHUN 2017
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN
KELEMBAGAAN ADAT KAILI

LAMBANG KELEMBAGAAN ADAT KAILI

WALI KOTA PALU,

ttd

HIDAYAT
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Hukum,

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 138


Muliati
NIP. 19650805 199203 2 014

LAMPIRAN IV
PERATURAN WALI KOTA
PALU
NOMOR 38 TAHUN 2017
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN
KELEMBAGAAN ADAT KAILI

ATRIBUT KELEMBAGAAN ADAT KAILI

Baju Warna Hitam

WALI KOTA PALU,

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 139


ttd

HIDAYAT

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Bagian Hukum,

Muliati
NIP. 19650805 199203 2 014

WALI KOTA PALU


.
PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN DAERAH KOTA PALU


NOMOR 9TAHUN 2016

TENTANG

KELEMBAGAAN ADAT KAILI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PALU,

Menimbang : a. bahwa kelembagaan adat Kaili sebagai bagian


integral dari masyarakat hukum adat dan adat
istiadat yangtumbuh dan berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman merupakan basis
pembangunan budaya dan karakter bangsa
Indonesia sebagai sarana menumbuhkan semangat
musyawarah, kekeluargaan, toleransi dan gotong
royong sebagai elemen dasar BhinnekaTunggal Ika
sesuai dengan falsafah Pancasila dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia;

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 140


b. bahwa kelembagaan adat Kaili memiliki potensi
besar untuk berperan serta dalam pembangunan
daerah, melalui pengembangan dan pelestarian
adat dan adat istiadat yang merupakan bagian dari
upaya untuk memelihara ketahanan budaya
bangsa sebagai pilar dari ketahanan nasional;

c. bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam


perlindungan, pemberdayaan,pelestarian adat dan
adat istiadat Kaili, perlu penguatan kelembagaan
adat kaili yang diatur dengan Peraturan Daerah;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Kelembagaan Adat Kaili;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang


Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Palu
(Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 1994
Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3555);

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);

4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun


2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga
Kemasyarakatan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 34);

Dengan Persetujuan Bersama

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 141


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALU

dan

WALIKOTA PALU

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG KELEMBAGAAN


ADAT KAILI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

34. Daerah adalah Kota Palu.

35. Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara


Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksana urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

36. WaliKota adalah WaliKota Palu.

37. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan DPRD
dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah.

38. Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat Daerah


Kota.

39. Kelurahan adalah Wilayah Kerja Lurah Sebagai Perangkat Daerah


dalam Wilayah Kecamatan.

40. Kelembagaan Adat Kaili adalah organisasi kemasyarakatan, baik


yang secarasengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah
tumbuh danberkembang dalam kehidupan masyarakat Kaili
dengan wilayah hukumadat dan hak atas harta kekayaan di dalam
wilayah hukum adat tersebut,serta berhak
danberwenangmengatur, mengurus danmenyelesaikan berbagai
permasalahan kehidupan yang berkaitandengan dan mengacu
pada adat dan adat istiadat yang berlaku.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 142


41. Perlindungan adalah upaya untuk menjaga dan memelihara harta
kekayaan adat dan adat istiadat baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak yang mempunyai nilai sejarah maupun yang
menyangkut kelangsungan hidup masyarakat yang bersifat turun-
temurun sehingga tetap menjadi khasanah budaya daerah.

42. Pemberdayaan adalah upaya-upaya untuk


membangunkemandirian dengan mendorong, memotivasi
danmembangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki
sertaberupaya untuk mengembangkannya sehingga hal itu
berperanpositif dalam pembangunan daerah dan berguna bagi
masyarakatyang bersangkutan sesuai dengan tingkat
kemajuan danperkembangan zaman.

43. Pelestarian adalah upaya untuk menjaga dan memelihara adat


dan adat istiadat serta nilai-nilai sosial yang tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan,
terutama nilai-nilai etika, moral, dan adab yang merupakan inti
dari adat dan adat istiadatserta lembaga adat agar keberadaannya
tetap terjaga dan berlanjut.

44. Masyarakat Hukum Adat adalah warga negara Indonesia yang


memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis
sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur
dan/atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat
dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya,
hukum dan memanfaatkan satuwilayah tertentu secara turun
temurun.

45. Wilayah Adat adalah satuan budaya tempat adat itu tumbuh,
hidup dan berkembang sehingga menjadi penyangga keberadaan
adat yang bersangkutan.

46. Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan


terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap
memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat, dan
memiliki sanksi sosial.

47. Adat istiadat adalah nilai, norma dan kebiasaan yang tumbuh dan
berkembang secara turun menurun dan terpelihara serta
melembaga dalam kehidupan masyarakat.

48. Hukum Adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk
mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai
budaya yang diwariskan secara turun menurun yang senantiasa

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 143


ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat
dan mempunyai akibat hukum atau sanksi.

49. Dewan adat adalah lembaga kemasyarakatan yang melindungi,


menjaga, memelihara dan melestarikan nilai-nilai adat
istiadatmasyarakat Kaili baik di dalam maupun di luarwilayah
Kota Palu.

50. Majelis Adat adalah lembaga kemasyarakatanyang melindungi,


menjaga, memelihara dan melestarikan nilai-nilai adat istiadat di
wilayah kecamatan.

51. Lembaga Adat adalahlembaga kemasyarakatan yang melindungi,


menjaga, memelihara dan melestarikan serta menjalankan adat di
wilayah Kelurahan.

52. Pasipi Nuada adalah Pemerintah daerah, Penegak hukum dan


pemangku agama.

Pasal 2

Kelembagaan Adat Kaili berasaskan pada Pancasila, Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan nilai-nilai agama.

Pasal 3

Kelembagaan Adat Kaili bertujuan untuk:

a. membina dan menjaga kerukunan, kekeluargaan, toleransi dan


kegotongroyongan dalam kehidupan masyarakat;

b. menghimpun dan mendayagunakan potensi adat dan adat istiadat


untuk membantu penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
pelaksanaan pembangunan; dan

c. menjaga, memelihara dan melestarikan serta menjalankan nilai-


nilai yang terkandung dalamadat dan adat istiadat kepada generasi
penerus melalui ketahanan keluarga.

BAB II
KELEMBAGAANADAT KAILI

Bagian Kesatu
Organisasi

Pasal 4

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 144


(1) Organisasi kelembagaan Adat Kaili terdiri dari :
a. Dewan Adat;
b. Majelis Adat;dan
c. Lembaga Adat.

(2) kepengurusan organisasi kelembagaan Adat Kaili sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dipilih melalui musyawarah mufakat sesuai
adat istiadat dan/atau kebiasaan yang berlaku.

Bagian Kedua
Kepengurusan

Pasal 5

(1) Struktur organisasi Kelembagaan Adat Kaili sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 ayat (1) dibentuk sesuai keperluan dan tradisi
setempat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan


pembentukankepengurusan kelembagaan Adat Kaili sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.

Bagian Ketiga
keanggotaan

Pasal 6

(1) Keanggotaan organisasi kelembagaan adat kaili sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan organisasi


kelembagaan adat kaili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Wali Kota.

Bagian Keempat
Kedudukan

Pasal 7

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 145


(1) Organisasi kelembagaan Adat Kaili sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) berada di luar organisasi pemerintahan.

(2) kelembagaanAdatKaili merupakan mitra Pemerintah Daerah, aparat


penegak hukum dan organisasi keagamaan serta organisasi
kemasyarakatan lainnya.

Pasal 8

(1) Dewan Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a
berkedudukan di daerah.

(2) Majelis Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b
berkedudukan di kecamatan.

(3) Lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
c berkedudukan di kelurahan.

Bagian Kelima
Hubungan Kerja

Pasal 9

(1) Hubungan kerja antara organisasi kelembagaanAdat Kaili dengan


Pasipi Nuada serta organisasi kemasyarakatan lainnya bersifat
fungsional dan konsultatif.

(2) Pasipi Nuada dan organisasi kemasyarakatan lainnya dapat


menghadirimusyawarah dewan Adat dan majelis adat sesuai
dengan fungsinya dan dapat memberikan penjelasan yang
diperlukan.

(3) Pasipi Nuadadapat menghadiri Peradilan lembaga adat sesuai


dengan fungsinya dan dapat memberikan penjelasan yang
diperlukan.

Bagian Keenam
Program Kerja

Pasal 10

(1) Kelembagaan adat kaili sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat


(1) menyusun program kerja.

(2) Program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan


melalui musyawarah pengurus atau sesuai kebiasaan yang
berlaku.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 146


Bagian Ketujuh
Tugas dan Fungsi

Paragraf 1
Dewan Adat

Pasal 11

Dewan adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a


mempunyai tugas dan fungsi :

a. membantu pemerintah daerah dalam penyelenggaraan


pembangunan di segala bidang;
b. melakukan pembinaan dan pemberdayaan majelis adat dan
lembaga adat;
c. membina, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan
nilai-nilai budaya;
d. menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis antara
Organisasi Adat, Pemangku Adat, pemuka agama dan Pemerintah
Daerah; dan
e. membantu Pemerintah Daerah dan aparat penegak hukum dalam
pencegahan danpenyelesaian konflik sosial.

Paragraf 2
Majelis Adat

Pasal 12

(1) Majelis adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b
mempunyai tugas dan fungsi :
a. membantu pemerintah kecamatan dalam penyelenggaraan
pembangunan di segala bidang;
b. mengkoordinasikan pembinaan dan pemberdayaan Lembaga
Adat;
c. mengkoordinasikan pelestarian dan pengembangkan adat
istiadat dan nilai budaya;
d. menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis antara
Lembaga Adat, pemangku adat, pemuka agama dan Pemerintah
Daerah; dan
e. membantu Pemerintah Daerah dan aparat penegak hukum
dalam pencegahan dan penyelesaian konflik sosial di wilayah
masing-masing.

Paragraf 3
Lembaga Adat

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 147


Pasal 13

Lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c


mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :

a. membantu Pemerintah Kelurahan dalam penyelenggaraan


pembangunan di segala bidang dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
b. melaksanakan penegakan hukum adat kailidalam penyelesaian
perselisihan dan permasalahan sosial dilakukan secara adil, jujur,
dan tidak diskriminatif;
c. menetapkan keputusan lembaga adat;
d. menjaga dan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat;
e. menciptakan hubungan yang demokratis, harmonis dan selaras
antara lembaga adat, Pasipi Nuada dan Lembaga kemasyarakatan
lainnya; dan
f. menjaga, memelihara dan melestarikan lingkungan alam untuk
keseimbangan dan kelangsungankehidupan masyarakat.

Pasal 14

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan penegakan


hukum adatKaili sebagaimana dimaksud Pasal 13 huruf b diatur
dalam Peraturan Wali Kota.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 15

Kelembagaan Adat Kaili berhak :

a. untuk mengatur,menyelesaikan dan memutuskan hal-hal yang


berkaitan dengan adat dan adat istiadat kaili;
b. mengelola pendapatan dan kekayaan kelembagaan adat kaili;
c. ikut serta menjaga dan mengendalikan kelestarian lingkungan
hidup;dan
d. memberikan penghargaan kepada orang dan/atau lembaga yang
berjasa terhadap pelestarian adat dan adat istiadat;

Pasal 16

Kelembagaan Adat Kaili mempunyai kewajiban:

a. menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 148


b. menciptakan kondisi dan suasana yang menjamin tetap
terpeliharanya kebhinekaan masyarakat adat dalam rangka
persatuan dan kesatuan bangsa;dan

c. menyampaikaninformasi pelaksanaan tugas dan fungsi,


pengelolaan pendapatan dan kekayaan kelembagaan adat kepada
Wali Kota selaku Pembina Kelembagaan adat.

BAB IV
SUMBER KEKAYAAN

Pasal 17

(1) Sumber kekayaan organisasi kelembagaan Adat Kaili terdiri dari


atas:
a. harta kekayaan yang tidak bergerak meliputi bangunan rumah
adat, tanah adat dan termasuk kekayaan yang ada diatasnya
serta peninggalan adat yang memiliki nilai sejarah;
b. bantuan dari pemerintah dan Pemerintah Daerah;dan
c. bantuan dari pihak ketiga dan pendapatan lain yang tidak
mengikat.

(2) Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk


pelaksanaan tugas dan fungsi kelembagaan adat kaili.

BAB V
PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN, DAN PELESTARIAN

Bagian Kesatu
Perlindungan

Pasal 18

(1) Pemerintah Daerah wajib membina, melindungi dan menghormati


pelaksanaan tugas, fungsi dan keputusan kelembagaan adat kaili
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

(2) Dalam membuat kebijakan program pembangunan,


penyelenggaraan pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan,
Pemerintah Daerah memperhatikan keberadaan Adat dan adat
istiadat Kaili.

Bagian Kedua

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 149


Pemberdayaan

Pasal 19

(1) Pemerintah daerah berkewajiban mendorong, memotivasi, dan


memberdayakan kelembagaan adat kaili.

(2) Kewajiban Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dapat memberikan biaya operasional dan penyediaan sarana
dan prasarana untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas
dan fungsi kelembagaan adat kaili.

(3) Pemberian biaya operasional dan penyediaan sarana dan


prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan
dengan kemampuan keuangan daerah.

Bagian Ketiga
Pelestarian

Pasal 20

Pemerintah Daerah wajib mendorong pelestarian nilai-nilai adat dan


adat istiadat melalui kelembagaan Adat kaili.

Pasal 21

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman perlindungan,


pemberdayaan dan pelestarian Kelembagaan Adat kaili sebagaimana
diatur dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20diatur dengan Peraturan
Wali Kota.

BAB VI
KEUANGAN

Pasal 22

(1) Keuangan kelembagaan adat Kaili dapat bersumber dari:


g. bantuan/sumbangan masyarakat;
h. hasil usaha lembaga adat;
i. kegiatan lain yang sah menurut hukum;
j. anggaran pendapatan belanja Negara dananggaran pendapatan
belanja Daerah;dan
k. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 150


(2) Keuangan kelembagaan adat kaili sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dikelola secara transparan dan akuntabel.

(3) Dalam hal melaksanakan pengelolaan keuangan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) kelembagaan adat kaili menggunakan
rekening pada bank nasional.

Pasal 23

(1) Dalam hal kelembagaan adat kaili menghimpun dan mengelola


bantuan/sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) huruf a, lembaga adat wajib
mengumumkan laporan keuangan kepada publik secara berkala.

(2) Sumber keuangan lembaga adat sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 22 ayat (1) huruf b sampai denganhurufe dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 24

(1) Pembinaan dan pengawasan kelembagaan adat kaili dilaksanakan


oleh Wali Kota.

(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilaksanakan perangkat daerah yang membidangi
pemberdayaan masyarakat.

Pasal 25

Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24


ayat (2), meliputi:

a. Memfasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi kelembagaan adat


kaili;
b. Memberikan pedoman teknis pelaksanaan dan pengembangan
kelembagaan adat kaili;
c. Melaksanakan penyelenggaraan perlindungan,pemberdayaan dan
pelestarian adat kaili;dan
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi kelembagaan
adat kaili.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 151


BAB VIII
LAMBANG DAN ATRIBUT

Pasal 26

(1) Pengurus Kelembagaan adat menggunakan pakaian yang khusus


yang dilengkapi dengan lambing dan atribut.

(2) Jenis, bentuk dan arti lambang serta atribut sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 27

Pada saat Peraturan daerah ini mulai berlaku, organisasi kelembagaan


adat kaili yang telah ada masih tetap berlaku sampai dengan selesainya
masa kepengurusan dan paling lambat 6 (enam) bulan menyesuaikan
dengan Peraturan Daerah ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku,Pasal 1 angka 13,Pasal 6


huruf b, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 Peraturan Daerah Kota Palu
Nomor 2 Tahun 2010 tentang Kelembagaan Masyarakat Kelurahan (
Lembaran Daerah Kota Palu Tahun 2010 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 12) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dalam Lembaran Daerah Kota Palu.

Ditetapkan di Palu
pada tanggal 26
Oktober 2016

WALIKOTA PALU,

ttd

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 152


HIDAYAT

Diundangkan di Palu
pada tanggal 26 Oktober 2016

Plt. SEKRETARIS DAERAH KOTA PALU,

ttd

DHARMA GUNAWAN MOCHTAR

LEMBARAN DAERAH KOTA PALU TAHUN 2016 NOMOR 9

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Bagian Hukum,

Muliati, SH.,MM
Pembina Tkt.I (IV/b)
NIP. 19650805 199203 2 014

NOREG 59 PERATURAN DAERAH KOTA PALU, PROVINSI SULAWESI


TENGAH:09/ 2016

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA PALU


NOMOR 9 TAHUN 2016

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 153


TENTANG

KELEMBAGAAN ADAT KAILI

I. UMUM.
Lembaga adat Kaili pada dasarnya merupakan bahagian
daripadaMasyarakat Adat dan hukum adat. Masyarakat adat Kaili
mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya didalam
kehidupan sosial, memililki hukum adat sebagai aturan dan
norma yang harus dipatuhi, dan mempunyai aturan, sanksi
dalam hukum adat serta kearifan lokal yang melingkupi
kehidupan penduduk etnis Kaili.

Masyarakat Hukum Adat Kaili di Kota Palu mengenal sistem


“Givu”, sebagai norma yang mengatur hubungan sesama manusia
sebagai tata sosial di antara pihak untuk menciptakan harmoni
kehidupan. Tentunya, tertib sosial dan tertib hukum tersebut,
tercipta dan mampu menjawab kekosongan hukum formal
negara. Terutama, ketika terjadi peristiwa hukum yang jauh dari
jangkauan pranata hukum formil. Tertib sosial dan tertib hukum
itu, berangkat dari pergulatan hidup manusia dan kelompoknya
terhadap situasi dan lingkungan di sekitarnya.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup Jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 154


Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”bersifat fungsional dan
konsultatif” adalah menyamakan persepsi dan memberikan
peran subtansial secara fungsional dalam melaksanakan
tugas dan fungsi sesuai wewenang organisasi.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup Jelas.

Pasal 11
Cukup Jelas.

Pasal 12
Cukup Jelas.

Pasal 13
Cukup Jelas.

Pasal 14
Cukup Jelas.

Pasal 15
Cukup Jelas.

Pasal 16
Cukup Jelas.

Pasal 17
Cukup Jelas.

Pasal 18
Cukup Jelas.

Pasal 19
Cukup Jelas.

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 155


Pasal 20
Cukup Jelas.

Pasal 21
Cukup Jelas.

Pasal 22
Cukup Jelas.

Pasal 23
Cukup Jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 9

Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Palu Tahun 2018 156

Anda mungkin juga menyukai