Anda di halaman 1dari 4

Kesultanan Palembang Darussalam Sebagai Tanda Suksesnya Proses Islamisasi di Bumi

Sriwijaya

Oleh : Rifyal Ka’bah

Palembang, merupakan negeri yang kental akan sejarah peradaban. Lebih kurang 7 abad yang silam
telah berdiri kokoh kerajaan besar yang melingkup hampir seluruh daratan Nusantara, melayu, bahkan
terkenal di negeri China, yaitu Kerajaan Sriwijaya. Namun, kejayaan tersebut sirna, setelah pada abad ke
14 (tepatnya tahun 1475 M) kerajaan ini luluh lantah dikarenakan serangan dari kerajaan Majapahit.
Setelah kejadian itu, Sriwijaya tinggal nama dan kenanangan kejayaan saja, beserta puing-puing
peninggalan kemegahan kerajaan pada masa emasnya. Tetapi, kehancuran tersebut ternyata tidak
sepenuhnya. Meskipun kerajaan Majapahit telah mengalahkan kerajaan Sriwijaya, namun Majapahit
belum memegang kendali yang kuat atas wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Hal itu bisa jadi
disebabkan oleh konflik panjang yang menimpah Majapahit, salah satunya perang paragrer yang
menyisahkan banyak kesedihan dan kemiskinan. Palembang, sebagai ibu kota Sriwijaya, tidak bisa
dikuasi secara penuh. Meskipun kekuasaan Sriwijaya telah luluh lantah, tetapi kelak akan berdiri sebuah
kerajaan baru di sana yang bernama Palembang Darussalam, dengan membawa ciri khas Kerajaan
Islam, sehingga dikenal dengan Kesultanan Palembang Darussalam. Lantas bagaimana proses terjadi
islamisasi atau penyebaran agama Islam di negeri Sriwijaya, padahal kita tahu Sriwijaya merupakan
kerajaan Syiwo-Budha.

Islam masuk ke Nusantara melalui metode yang beragam dan berasal dari negeri yang cukup berbeda.
Menurut Prof. Dr. Buya Hamka, Islam masuk ke Indonesia melalui daratan Arab (teori Mekkah).
Sementara untuk wilayah Sriwijaya, Prof. Dr. Buya Hamka menuturkan “Ahli sejarah ada yang berkata
bahwa di zaman pemerintahan Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah yang kedua, telah didapat
sekelompok keluarga Arab dari pesisir Barat pulau Sumatera. Artinya sebelum seratus tahun Nabi kita
Muhammad SAW. Tetapi di kurun-kurun ketiga dan keempat hijriah, di zaman keemasan Daulah Bani
Abbas di Baghdad sudah banyak pelajar dan penggembara bangsa Arab itu menyebut-nyebut pulau yang
dikenal dalam kitab-kitab mereka dengan nama ‘Syarbazah’ atau kerajaan Sriwijaya yang terletak di
Palembang, Ibu negeri Sumatera Selatan sekarang ini”. Bukti lainnya adalah literatur kuno Arab yang
berjudul ‘Aja’ib Al Hind ditulis oleh Burzurg bin Shahriyar Al Ramhurmuzi, menggambarakan adanya
perkampungan muslim di wilayah kerajaan Sriwijaya. Dimana pada saat itu telah terjadi hubungan baik
antara Kerajaan Sriwijaya dengan kekhalifahan di Timur Tengah pada masa Khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Ibnu Umar Rabbih dalam karyanya Al-Iqud Al-Farid menyebutkan bahwa ada proses
korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu, Sri Indrawarman, dengan khalifah yang
terkenal adil, Umar bin Abdul Aziz. Hal ini menunjukan telah adanya interaksi secara pribadi antara raja
Sriwijaya dan Khalifah Islam Bani Ummayah. Meskipun demikian, interaksi ini tidak membuat raja
Sriwijaya langsung menerima Islam sebagai agamanya. Naguib Al-Atas berpendapat bahwa Islam sudah
ada di Palembang pada abad VII M. Pada awal abad VII M ini kedua tempat yakni Palembang dan
Kedah2 yang letak wilayahnya di tepi Selat Malaka merupakan tempat singgah para musafir ataupun
pedagang yang beragama Islam, dan mereka diterima dengan baik oleh penguasa setempat (Raja
Sriwijaya) yang belum beragama Islam, serta dapat menjalankan ibadah menurut agama Islam.
Pendapat-pendapat di atas tentunya memberi petunjuk bahwa Islam telah masuk Palembang pada abad
VII M, yakni didasarkan pada bukti bahwa pelabuhan di Palembang ramai didatangi oleh pedagang
muslim, baik dari Arab, India, Cina, maupun Persia. Namun demikian baru di abad XVII M nantinya
Islam menampakkan aktivitasnya, dan semakin berkembang ketika masa Kesultanan Palembang. Fase
perkembangan Islam di Palembang pada abad XVII M ditandai dengan dirikannya masjid dan mulai
nampak berbagai kegiatan keagamaan.

Proses Islamisasi terhadap masyarakat Palembang tidak lepas dari peran para pedagang Arab yang
melakukan proses jual beli sekaligus penyebaran agama Islam. Bukti-bukti arkeologis yang
mengindikasikan masuknya kafilah dagang Muslim Arab ke pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang
adalah ditemukannya artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas botol, jambangan, dan situs-situs di
pantai Timur Jambi. Selain itu juga ditemukannya barang-barang yang dibawa oleh pedagang Arab,
seperti barang berbentuk tasbih yang bertuliskan lafad Allah dan barang yang berbentuk dari kaca yang
sebagiannya ditemukan di situs Air Sugihan wilayah Banyuasin Palembang Sumatera Selatan. Barang-
barang tersebut merupakan komoditi penting yang didatangkan dari Timur Tengah. Dari Nusantara para
pedagang tersebut membawa rempah-rempah hasil bumi dan hasil hutan, seperti kemenyan dan kapur
barus. Hal ini tidak lepas dari pengaruh kebesaran nama kerajaan Sriwijaya dan juga letak geografis di
pinggiran sungai musi yang memudahkan para saudagar untuk datang ke bumi Sriwijaya, termasuk
pedagang muslim yang berasal dari Arab.

Di Palembang pada saat itu telah dihuni oleh banyak etnis, termasuk Tionghoa dan Arab. Mereka adalah
para saudagar-saudagar kaya. Namun, etnis Tionghoa memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi
masyarakat Palembang, dimana saudagar-saudagar mendominasi perdagangan di daerah tersebut.
Pengaruh kuat orang Tionghoa berakhir ketika kerajaan Majapahit mengirimkan utusannya untuk
memimpin Palembang. Utusan tersebut bernama Arya Damar, putra Bre Kerthabumi yang bergelar
Prabu Brawijoyo V seorang Raja Majapahit sebelum dikalahkan oleh Girindro Wardhono dari kerajaan
Daha pada tahun 1978 Masehi. Setibanya di Palembang Arya Damar segera membangun kekuatan untuk
merebut kembali pengaruh yang telah dipegang oleh orang-orang Tiongkok. Setelah beberapa lama
kemudian, Arya Damar kemudian masuk Islam. Keputusan Arya Damar masuk Islam adalah
disebabkan oleh seruan dari Raden Rahmat atau Sunan Ampel pada saat Sunan Ampel singgah di
Palembang dari negeri Champah menuju Jawa. Meskipun sudah masuk Islam, Arya Damar belum
menyatakan keIslamannya secara terang-terangan di hadapan masyarakatnya. Setelah masuk Islam,
Arya Damar mengganti namanya menjadi Ario Abdilla (Ario Dillah).

Sikap Arya Damar (Ario Abdillah) ini dipandang sebagi hasil dakwah secara sembunyi-sembunyi untuk
menghindari resiko penolakan masyarakat Palembang yang saat itu masih menganut agama lama.
Perlahan tapi pasti, akhirnya di masa berikutnya Ario Abdillah bersama istri dan hampir semua
rakyatnya masuk islam dalam jumlah besar tanpa paksaan. Ario Dillah pernah mendapatkan hadiah
seorang putri yang berasal dari negeri Champah (Cina saat ini) bernama Ling Ang. Pada saat itu Ling
Ang sedang mengandung anak dari raja Majapahit yang sedang berkuasa, Prabu Brawijoyo V. Dari
kandungan tersebut, kemudian lahirlah seorang tangguh bernama Raden Fattah (tahun 1448 M), yang
kelak akan menjadi pendiri sekaligus Sultan pertama Kerajaan Islam Demak Bintoro (tahun 1482 M).
Arya Damar (Ario Abdillah) berkuasa di Palembang mulai tahun 1455 M – 1486 M.

Informasi mengenai aktivitas Islam sampai berakhirnya kekuasaan Majapahit di Palembang tidak
banyak ditemukan. Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, Palembang menjadi daerah protektorat
(perlindungan) Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah. Dengan demikian secara tidak
langsung, Palembang telah merupakan bagian daripada kerajaan Islam. Hal tersebut tentunya
berimplikasi bahwa di Palembang pada masa itu telah kelihatan adanya kegiatan-kegiatan yang bercorak
Islam.

Dari catatan sejarah tulisan tangan Arab yang dibuat oleh seorang priyayi di Palembang dapat dibaca
sebagai berikut : “Telah diriwayatkan bahwa telah berpindah beberapa anak raja-raja dari tanah Jawa ke
negeri Palembang di karenakan Sultan Pajang menyerang Demak dan adalah yang bermula menjadi raja
di Palembang ialah Kiyai Geding. Kiyai Geding Suro wafat kemudian digantikan oleh Kiyai Geding
Suro Mudo anak Kiyai Geding Ilir dan ketika itu, anak-anak raja yang berpindah dari tanah Jawa ke
negeri Palembang yaitu 24 orang. Beberapa orang keturunan Pangeran Trenggono yang hijrah ke
Palembang di bawah pimpinan Kiyai Geding Suro Tuo yang menetap di perkampungan Kuto Gawang di
daerah di sekitar kampung Palembang Lamo. Sejak awal dari pemerintahan Kiyai Geding Sedo Ing
Lautan hingga pada masa Pangeran Sedo Ing Rejek, Palembang belum berstatus Kesultanan, tetapi
masuk wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram dan baru pada masa Pangeran Ario Kesumo, Palembang
memutuskan hubungan dengan Kerajaan Mataram dan Pangeran Ario Kesumo yang mendirikan
Kesultanan Palembang Darussalam. Pangeran Ario Kesumo adalah Sultan Palembang Pertama dengan
gelar Sultan Susuhunan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayyidul Imam (Sunan Cindeh Balang)
memerintah dari tahun 1659- 1706 Masehi.

Secara historis, Kesultanan Palembang Darussalam dapat dibagi ke dalam lima periode, yaitu: Perintisan
(awal abad XVII-1659), Penegasan Otoritas (1659-1724), Kejayaan (1724-1812), Kemunduran (1812-
1821), dan Kehancuran (1823). Dalam periode hampir dua abad ini, keraton Kesultanan Palembang ini
telah berpindah sampai empat kali. Keraton yang pertama kali terdapat di situs Kompleks Pabrik Pupuk
Sriwijaya, yang disebut dengan Keraton Kuto Gawang. Keraton ini dihancurkan oleh tentara VOC pada
1659. Selanjutnya, keraton dipindahkan ke Beringin Janggut (sekarang Jl. Segaran, Kawasan Masjid
Lama, Palembang). Pada masa ini, Palembang menegaskan diri sebagai kerajaan merdeka yang tidak
lagi tunduk secara politis kepada Kerajaan Mataram di Jawa.

Keraton Kesultanan Palembang pindah untuk yang ketiga kali ke Kuto Tengkuruk, Palembang.
Meskipun wilayah ini disebut sebagai Kuto Kecil, tetapi pada masa ini Kesultanan Palembang
Darussalam mencapai kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikrama
(1724-1757). Pada masa ini, mulai dilakukan pembangunan besar-besaran, seperti: pembangunan
keraton, Masjid Sultan (Masjid Agung), dan kompleks makam keluarga sultan. Pangeran Adikesumo
merupakan putra kedua dari Sultan Mahmud Badaruddin I yang dinobatkan sebagai Sultan Palembang
Darussalam kelima dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin I yang memerintah dari tahun 1758- 1776.
Kemudian Sultan Ahmad Najamuddin I digantikan oleh putera mahkota yang bergelar Sultan
Muhammad Bahaudin dinobatkan sebagi Sultan Palembang Darussalam yang keenam memerintah
dari tahun 1776-1803. Sultan Muhammad Bahaudin digantikan oleh putra sulungnya yang bernama
Raden Hasan Pangeran Ratu dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai Sultan Palembang
Darussalam yang ketujuh dan memerintah dari tahun 1803-1821.

Adapun keraton Kesultanan Palembang Darussalam yang terakhir adalah Keraton Kuto Besak yang
dibangun oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Keraton Kuto Besak ini berada di sisi barat
Keraton Tengkuruk. Di keraton inilah kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam terus dipertahankan
sampai jatuhnya kesultanan ke pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada 7 oktober 1823. Masa
berakhirnya Kesultanan Palembang tidak terpisahkan dari keberhasilan Belanda dalam memaksa Sultan
Badaruddin II untuk menghentikan perlawanannya. Dengan kekuatan militer yang sangat besar di bawah
pimpinan Jenderal Mayor Hendrik Markus Baron De Kock. Belanda mencoba membalas kekalahannya
dan berusaha mengakhiri perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II. Pengerahan kekuatan militer
secara besar-besaran tidak menjamin penaklukan Palembang berlangsung dengan mudah karena pihak
Kesultanan Palembang juga telah mempersiapkan diri dengan memperkuat benteng pertahanan,
persenjataan, maupun komando dan personelnyaAkhirnya, keraton ini dijadikan benteng pertahanan
pemerintah kolonial dengan nama Benteng Kuto Besak.

Sekian. Semoga bermanfaat.

Sumber Referensi

1. Buku Wali Songo, Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa, karya Racmad Abdulla, S.Si,. M.Pd
2. Jurnal berjudul Bukti-Bukti Proses Islamisasi di Kesultanan Palembang, ditulis oleh Endang
Rochmiatun
3. Jurnal berjudul Peran Sungai Musi Dalam Perkembanga Peradaban Islam di Palembang: Dari
Masa Kesultana Sampai Hindia-Belanda, ditulis oleh Ida Farida dkk
4. Jurnal berjudul Dampak Kekuasaan Maritim Sriwijaya Terhadap Masuknya Pedagang Muslim
Di Palembang Abad VII-IX Masehi, ditulis oleh Ahmad Berkah
5. Jurnal berjudul Kesultanan Palembang
6. Youtube dengan judul Sejarah Islam Indonesia: Kesultanan Palembang Darussalam abad 16

Anda mungkin juga menyukai