Anda di halaman 1dari 7

Kemilau Masjid

Malam datang berselimutkan gelap, cahaya rembulan hadir menjadi teman.


Angin berhembus santai, dingin dan memberikan banyak hikmah. Jangkrik
bernyanyi pelan di kegelapan untuk menghibur dirinya yang mungkin sedang
kesepian. Masjid masih terang menderang. Malam sudah larut, tetapi aktivitas
masih tetap terjaga. Bersama secangkir kopi hitam, aku dan teman-temanku masih
berkumpul di teras masjid, asyik dalam bersua, larut dalam bincang kehidupan
sampai-sampai malam pekat pun tidak sempat terbincangkan.

Aku duduk dan bersandar ke dinding masjid, di atasnya ada jendela yang diterali
besi tapi belum dipasang kaca. Lantai keramik membuatku sedikit kedinginan.
Walaupun demikian, perbincangan panjang tentang kehidupan mampu
menghangatkan suasana.

Aku meminum kopi dalam cangkir, seteguk demi seteguk, dirasakan, dan
dinikmati filosofi yang terkandung di dalamnya. Sungguh berbincang bersama
teman sembari ditemani seacangkir kopi merupakan sebuah kenikmatan yang luar
biasa, apalagi yang diperbincangkan adalah kerasnya kehidupan, maka sangat
selaras dengan pekat dan pahitnya rasa kopi.

Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam lebih. Kami beranjak dari tempat
duduk. Aku berjalan ke depan masjid untuk mengambil air wudu. Sedangkan
teman-temanku ada yang ke WC dan juga ada yang langsung masuk ke dalam
masjid. Malam ini kami memutuskan untuk tidur di masjid kembali, setelah
sebelumnya kami disibukan oleh urusan masing-masing sehingga tidak sempat
untuk mengisi iman dan merekat tali ukhuwah melalui tidur di masjid.

Pukul tiga dini hari, aku terbangun dari tidurku. Duduk sebentar, mengusap-usap
wajah dengan kedua telapak tangan, meregangkan badan, kemudian beranjak
untuk mengambil air wudhu. Sebelum keluar, lampu masjid kuhidupkan terlebih
dahulu, karena sebelum tiduk kami selalu mematikan lampu. Setelah masjid
terang oleh cahaya, dari tempat salat imam kudapati seseorang yang sedang
khusyuk berzikir, ia duduk di atas sajadah, kepalanya menunduk tenang, jari
tangannya bergantian memutar tasbih. Sesekali terdengar sesegukan, terus tampak
ia sedang menangis tersedu-sedu.

Aku kemudian keluar masjid, mengambil air wudu. Waktu fajar begitu
menenangkan. Gelapnya tidaklah menakutkan. Dinginnya memberikan
ketenangan. Benar saja bahwa waktu fajar adalah waktu terbaik untuk bermunajat.
Malaikat turun ke bumi begitu terasa melalui sejuk dan tenangnya suasan malam
ini. Bulan bersinar terang. Bintang-bintang menghiasi malam, indah dan juga
penuh makna. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana. Tidak ada sesuatupun
yang Allah ciptakan, melainkan pasti ada hikmah di dalamnya. Allah SWT
menciptakan bumi dan langit serta isi di antara keduanya tidaklah sia-sia. Banyak
pelajaran yang bisa dipetik, sehingga mampu menyadarkan manusia bahwa tidak
ada yang bisa disombongkan, karena manusia itu kecil, sedangkan Allah itu Maha
Besar.

Setelah selesai mengambil wudu, aku masuk kembali ke dalam masjid. Aku
membangunkan teman-temanku yang masih larut dalam mimpi indahnya. Satu
persatu dari mereka bangun dengan sendirinya. Ada yang langsung beranjak,
tetapi ada juga yang duduk terlebih dahulu, kemudian tidur kembali. Namun, ada
juga temanku yang susah dibangunkan. Sekuat apa pun menggoyang tubuhnya,
sekeras apa pun suara memanggilnya ia tidak akan bangun. Aku terus
menggoyang tubuhnya, tetapi lagi-lagi ia tidak mau bangun. Sesekali ia hanya
mendehem. Kemudian memutar badannya ke arah lain, lalu tidur pulas kembali.
Sungguh, ini tantangan luar biasa bagiku.

Di sudut lain, tampak dari tempat imam salat masih aku dapati temanku tadi
duduk khusyuk di atas sajadah. Di saat temanku larut dalam mimpinya, di saat
bersamaan juga temanku yang lain larut dalam cengkrama dengan kekasihnya.
Aku sangatlah beruntung bertemu dengan orang-orang seperti itu, satu temanku
adalah ujian kesabaran, sedangkan satunya lagi mengingatkanku akan kenikmatan
beribadah dan kehidupan akhirat.
Aku pun salat, dengan niat salat sunah Tahajud. Takbirratul Ihram sebagai
pembukanya. Aku pun merasakan kekhusyukan. Namun setelah beberapa detik,
pikiranku melayang ke mana-mana. Dunia memenuhi pikiranku. Dari hal yang
terkecil sampai hal yang terbesar hadir dalam ingatanku. Aku terus mengarahkan
pikiran agar tetap fokus dalam bermunajat kepada Rabb Pencipta Alam, tetapi
lagi-lagi hal yang tidak terpikirkan sebelumnya tiba-tiba hadir di saat sholat
sedang berlangsung. Kadang-kadang memikirkan hari ini mau melakukan apa
saja, kadang-kadang juga memikirkan dimana menyimpan telepon genggam, serta
banyak hal-hal lainnya. Aku pun beristigfar sejenak, kemudian melanjutkan
bacaan-bacaan dalam salat. Tidak sampai disitu, saking dunia memenuhi pikiran,
aku sampai lupa sudah raka’at ke berapa, sehingga membuat sholatku pun
semakin tidak khusyuk. Akhirnya setelah salam, aku terus beristigfar. Tidak
terhitung berapa istigfar yang kuucapkan. Ku ingat-ingat kembali kenapa dunia
hadir dalam pikiranku pada saat dimana aku ingin menikmati kenikmatan
bermunajat kepada Tuhanku. Kepalaku tertunduk lesu, lisanku terus menerus
beristigfar, sedangkan pikiranku mengingat-mengingat dosa-dosa yang telah
kulakukan selama ini. Tidak terasa air mataku jatuh, setetes demi setetes, pipiku
pun ikut basah. Aku menangis, bukan karena khusyuk beribadah, bukan karena
rindu Sang Pencipta dan Kekasih-Nya, bukan karena takut akan azab-Nya, tetapi
aku menangis karena tidak mampu menghadirkan hatiku sepenuhnya pada saat
bermunajat kepada Tuhan semesta alam. Aku iri dengan temanku yang menangis
karena kerinduan, yang menangis karena menikmati ibadah kepada-Nya. Aku iri,
kenapa dalam keadaan ibadah pun aku masih larut memikirkan dunia. Bukankah
dunia ini tidak ada harganya, tidak lebih berharga dari sebelah sayap nyamuk,
lantas kenapa aku masih larut dalam memikirkan dunia, padahal di saat itu aku
sedang beribadah kepada Tuhan semesta alam. Aku terus menangis, air mataku
membasahi bajuku. Semakin lama tetesan air mataku semakin banyak. Lisanku
terus mengucap istigfar, tidak terhitung lagi berapa jumlahnya.

Aku bangkit, berniat, dan kemudian mengucapkan Takbirratul Ihram. Air mata
masih membahasi pipiku, sesekali aku mengusapnya, tetapi tetap saja ia mengalir
dengan sendirinya. Setelah membaca surat Al Fatihah, aku membaca surat Al
Qari’ah, perlahan-lahan ku baca sembari merenungkan arti dari setiap ayatnya.
Lidahku keluh, terbata-bata dikarenakan arti dari ayat tersebut. Tangisku tambah
menjadi-jadi.

Tidak lama kemudian azan subuh berkumandang. Aku mengakhiri zikirku.


Mengusap-usap wajahku yang dibasahi oleh air mata. Ku lihat teman-temanku
sudah duduk rapi di shaf depan, kecuali satu, ya temanku yang itu, namanya Eril.
Ia masih saja larut dalam mimpinya. Badannya berbalut sajadah, tampak ia
kedinginan. Salah satu temanku mencoba membangunkannya, tetapi lagi-lagi ia
masih kukuh untuk melanjutkan tidurnya. Hampir seluruh teman-temanku merasa
kesal apabila mencoba membangunkan Eril. Setiap kali tidur di masjid, pasti yang
akhiran bangun adalah Eril. Memang butuh kesabaran yang tinggi dalam
membangunkan temanku satu ini. Maka, semakin sabar artinya pahala yang
diperoleh pun semakin besar. Karena sudah merasa kesal, temanku tadi akhirnya
berhenti membangunkannya. Ia beranjak ke shaf depan, duduk, kemudian
khusyuk mendengarkan lantunan azan shubuh yang indah dan merdu.

Ahmad, temanku yang paling alim, ia adalah orang paling banyak ibadahnya di
antara kami, kemudian mencoba ikut membangunkan Eril. Ahmad keluar masjid,
kemudian masuk kembali dengan membawa sebuah gayung yang berisi air. Ia
kemudian mengusapkan air ke wajah Eril. Tetapi lagi-lagi Eril tidak mau bangun.
Ahmad terus berusaha, tetapi hasilnya sama. Kemudian, mungkin karena sedikit
kesal, Ahmad akhirnya memercikan air dalam jumlah yang cukup banyak ke
wajah Eril. Lantas Eril pun kaget, dan akhirnya terbangun, tetapi masih dalam
keadaan setengah sadar dan seperti orang kebingungan. Karena mendengar Azan,
Eril pun tersadar bahwa sudah azan subuh. Ia pun beranjak dari tidurnya,
kemudian mengambil air wudu.

Melihat kejadian tersebut aku pun tersenyum, lagi dan lagi. Sungguh, kesabaran
adalah kunci dari keberhasilan. Tentunya aku harus pandai-pandai dalam menjaga
diri agar tetap sabar dalam setiap keadaan.

Satu-persatu bapak-bapak datang memasuki masjid, bersarung dan berpeci.


Selain itu, beberapa anak-anak juga turut hadir dalam melaksanakan salat subuh
berjamaah. Setelah sslat selesai dilaksanakan, zikir berjamaah dan doa bersama
sudah dilakukan, maka satu persatu jamaah pun kembali ke rumah masing, siap-
siap pergi ke kebun untuk menjemput rezeki yang telah Allah SWT gariskan.

Sedangkan kami masih bertahan di dalam masjid. Ada yang masih berzikir, ada
yang sudah membaca Al Qur’an, ada yang sudah aktif bermedia sosial, dan juga
ada yang kembali tiduran. Ya, Eril kembali merebahkan badannya kemudian
kembali berkelana di alam mimpi. Tidak lama berselang, seperti kebiasaan
sebelumnya, Raka membacakan sebuah kitab yang banyak hikmah kami petik di
dalamnya. Raka berdiri di tempat imam, tepatnya di samping mimbar, sedangkan
kami berkumpul mendekati Raka, kecuali Eril. Ahmad kembali mencoba
membangunkan Eril, dan alhamdulillah sekali dibangunkan, ia langsung beranjak
dan ikut dalam taklim kami, walaupun masih dalam keadan tidak sepenuhnya
sadar.

Raka membacakan kata demi kata, satu-persatu hadis disampaikan, tidak lupa
juga menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya. Kami khusyuk
mendengarkan, sembari merenungi hikmah yang bisa kami dipetik dan kami
amalka.

“Sesungguhnya” ujar Raka dengan nada yang serius dan seakan-akan menekankan
apa ia akan sampaikan ini adalah hal yang sangat penting.

“Setiap amalan itu tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan
sesuai apa yang ia niatkan.” Raka melanjutkan penjelasannya

Paginya kami gotong royong membersihkan ruangan dan halaman masjid. Di


sekitar halaman masjid banyak rumput-rumput yang bertumbuhan. Ukurannya
sudah lumayan besar, tinginya lebih dari mata kaki. Selain itu, banyak juga
sampah-sampah plastik yang berserakan, dengan warna yang berbeda, merusak
keindahan sebuah tempat ibadah. Kami langsung berbagi tugas, Satria bertugas
menjadi penyedia konsumsi, baik makanan maupun minum, Renaldi, Raka, dan
Ahmad bertugas membersihkan rerumputan dan sampah-sampah dari halaman
masjid, Akmal mengambil alat-alat permbersih halaman, seperti parang dan
cangkul, aku dan Ardi memilih untuk membersihkan ruangan masjid serta
membersihkan sajadah-sajadah dari kotoran dan debu. Sedangkan Eril, apabila
hari belum menunjukan jam 10 ia tidak akan bangun dari tidurnya. Memang aneh
anak ini, yang lain sibuk mencari pahala, sedangkan ia masih larut dalam
mimpinya.

Kami berusaha mencari peran masing-masing. Walaupun sederhana, yang


terpenting ada pahala yang kami peroleh. Karena kami meyakini bahwa sekecil
apapun perbuatan baik yang kita lakukan, maka ia akan dibalas oleh Allah SWT
dengan kebaikan yang berlipat ganda.

“”

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Allah SWT mempertemukan kami
dalam satu bangunan yang sama, dengan harapan untuk mendekatkan diri pada
Zat yang sama, sehingga sampai waktunya tiba, Allah SWT pun menguji dengan
jarak. Satu-persatu dari kami pergi meninggalkan kampung halaman, mencari
pengalaman, dan menggali wawasan dari dunia luar. Aku, Satria, dan Ardi lanjut
kuliah ke kota yang jaraknya tidak terlalu jauh dari desa, Renaldi memilih kuliah
ke salah satu kota di pulau Jawa, Eril dan Raka merantau ke pulau Jawa untuk
mencari kerja, sedangkan Ahmad memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya,
ya maksudnya menikah. Aku tidak tau kenapa ia cepat-cepat menikah, padahal ia
adalah orang yang cerdas lagi rajin beribadah, sangat berpotensial untuk
memperbaiki keadaan sosial masyarakat di desaku, tetapi lag-lagi kita tidak tahu
takdir setiap manusia, manusia bisa berharap, tetapi Allah SWT yang menentukan.
Aku yakin keputusannya untuk menikah adalah yang terbaik baginya, dan
mungkin juga bagi keluarganya. Aku rasa Ahmad sudah memikirkan hal ini
matang-matang, karena aku tahu siapa Ahmad, sudah lebih dari tiga tahun kami
berteman, Ahmad adalah orang yang bijaksana dalam menyelesaikan setiap
perkara, aku harap menikah juga bagian dari kebijaksanaannya.

Aku jadi teringat bagaimana malam itu, ketika Ahmad tersedu-sedu menangis
dalam zikir malamnya. Mungkin kejadian itu adalah awal dari keputusan Ahmad
hari ini. Ah, tidak tau lah, aku hanya bisa berdoa Barakallahu laka, barakallahu
‘alaika wa jama’a bainakuma fii khoir. Semoga kami dikumpulkan kembali
dalam bangunan yang sama, kemudian bergerak bersama dalam mengamalkan
ilmu yang kami dapat dari rantauan di desa yang kami cintai.

Biodata Penulis

Nama Rifyal Ka’bah, lahir di Muara Enim pada tanggal 14 Februari 2000. Lahir
dari seorang ayah yang bernama Muhamad Yamin dan seorang ibu yang bernama
Maspahayati. Berasal dari desa Muara Dua, kecamatan Tanah Abang, kabupaten
Penukal Abab Lematang Ilir, provinsi Sumatera Selatan. Riwiyat pendidikan, SD
Negeri 12 Tanah Abang, SMP Negeri 1 Tanah Abang, SMA Negeri 1 Tanah
Abang, dan sekarang berkuliah di jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya.

Pas Foto

Bukti Follow Akun

Anda mungkin juga menyukai