Anda di halaman 1dari 9

KERAJAAN ISLAM DI PALEMBANG

Disusun oleh:
ARTITA MAWARNI
Guru Bidang Studi:
Iim Ismanto

XII-ADM.PERKANTORAN 1
SMK NEGERI 50 JAKARTA
PENDAHULUAN

Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW,pada abad ke-7
M, menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami
oleh umat manusia. Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan
sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis
dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang
sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat lama dan
pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad
ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke
Indonesia pada abad ke-7 M. (A.Mustofa,Abdullah,1999: 23). Namun yang
pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang
mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.(Taufik Abdullah:1983)
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat
melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat,
serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses
cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia.  
Kegiatan pendidikan Islam di Palembang lahir, tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat
kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan agama
yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam,
mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhan dan
pengajaran tentang moral.
Latar belakang berdirinya kerajaan Palembang

Sejarah kerajaan Palembang atau kesultanan Palembang terjadi dalam


abad ke-17 M dan ke-18 M sampai dengan awal abad ke-19 M. Tempatnya
adalah di kota Palempang dan sekitarnya, baik disebelah sungai Musi maupun
di hulu dan anak-anaknya, yang dikenal dengan Batanghan Sembilan. Letaknya
tidak terlalu jauh dan Kuala (- 90 KM) vang bermuara di selat Bangka.
Kota Palembang semula termasuk wilavah kerajaan Budha Sriwijaya yang
berkuasa dari tahun 683 M sampai kira-kira tahun 1371 M. Catatan mengenai
waktu berakhirnya kerjaan Sriwijaya bermacam-macam, yang pasti setelah
runtuhnya kerajaan ini mengalami kekosongan kekuasaan, dan menjadi
taklukan kerajaan Majapahit pada pertengahan abad ke-15 sampai tahun 1527
M.
Salah seorang adipati Majapahit yang berkuasa di Palembang adalah
Aryo Damar (1455-1478), putra dari Prabu Brawijaya (1447-1451) Aryo Damar
kawin dengan putri Campa bekas istri Brawijaya, Sn Kertabumi (1474-1478)
dengan membawaanak Raden Fatah vang lahir di Palembang dan dibesarkan
oleh ayah tirinva yakni Aryo Damar (1455). Kemudian ia menjadi pendiri
kerajaan Demak pada tahun 1478.[1]
Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit Palembang menjadi daerah
pelindung (protektorat) dari kerajaan Demak-Pajang dan Mataram di Jawa.
Semula hubungan ini berjalan baik dan teratur, namun perkembangan keadaan
membawa perubahan, khususnya semasa kerajaan Mataram.
Dalam sejarah kerajaan Mataram nampak sekali, bahwa hunbungan
antara pusat dan daerah tidak selalu berjalan dengan baik, sebagai mana
pengalaman penguasa-penguasa Palembang pra kesultanan, yang mendapat
perlakuan tidak menenangkan dalam hubungannya dengan kerajaan Mataram,
begitu juga Kyai Mas Endi, Pangeran Ario Kesumo Abdirronim sesudah
menggantikan kedudukan kakaknya.
Pangeran Sedo Ing Rajek sebagai penguasa Mataram di Palembang
mengalami hal yang sama, dimana beliau pada tahun 1668 mengirim urusan ke
Mataram, tetapi ditolak oleh Amangkurat I. Dengan adanya hal ini maka beliau
memelaskan ïkatan dengan Mataram. Maka menjadilah Palembang berdiri
sendiri sebagai kesultanan Palembang Darussalam.[2]
Kapan hal ini mulai terjadi, tidak didapatkan keterangan-keterangan yang
pasti. Disebutkan oleh P. Deroo Defaille dalam bukunya Dari Zaman
Kesultanan Palembang sebagai berikut: Pangeran Ratu dalam tahun 1675
memakai gelar Sultan dan dalam tahun 1681 namanya Sultan Djamaluddin dan
temyata orangnya sama dengan Sultan Ratu Abdurrahman dari tahun1690 yang
dalam cerita terkenal dengan Sunan Tjadebalang, yang sebetulnya
Tjandiwalang.
PEMBAHASAN

A.  Awal Masuknya Islam Di Palembang
Berdasarkan sumber-sumber Arab dan Cina, pada abad ke-9 di Palembang,
        
yang diyakini sebagai ibukota Kerajaan Buddha Sriwijaya, telah terdapat
sejumlah pemeluk Islam di kalangan penduduk pribumi Palembang. Hal ini
merupakan konsekwensi dari interaksi antara penduduk Sriwijaya dengan kaum
Muslimin Timur Tengah yang sudah berlangsung sejak masa awal kelahiran
Islam. Meskipun Sriwijaya merupakan pusat keilmuan Buddha terkemuka di
Nusantara, ia merupakan kerajaan yang kosmopolitan. Penduduk Muslim tetap
dihargai hak-haknya sebagai warga kerajaan sehingga sebagian dari mereka
tidak hanya berperan dalam bidang perdagangan tetapi juga dalam hubungan
diplomatik dan politik kerajaan. Sejumlah warga Muslim telah dikirim oleh
Pemerintah Sriwijaya sebagai duta kerajaan, baik ke Negeri Cina maupun ke
Arabia.
Pada awal masuknya Islam di Nusantara, Palembang merupakan salah
satu tempat yang pertama kali mendapat pengaruh Islam. Tome Pires, seorang
ahli obat-obatan dari Lisabon (yang lama menetap di Malaka, yaitu pada tahun
1512 hingga 1515), pada tahun 1511, mengunjungi Jawa dan giat
mengumpulkan informasi mengenai seluruh daerah Malaya-Indonesia.dia
mengatakan bahwa pada waktu itu sebagian besar raja-raja Sumatera beragama
Islam, tetapi masih ada negeri-negeri yang masih belum menganut Islam.
Hurgronje (1973), berpendapat bahwa agama Islam secara perlahan-lahan
masuk ke daerah-daerah pantai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan
pulau-pulau kecil lainnya di seluruh Kepulauan Nusantara sejak kira-kira
setengah abad sebelum Baghdad (pusat Khilafah Abbassiyah) jatuh ke tangan
Hulagu (raja Mongol) pada tahun 1258. Hurgronje mengemukakan bahwa Islam
masuk ke Indonesia dari Hindustan yang dibawa oleh pedagang-pedagang
Gujarat. Usaha penyebaran Islam ke pedalaman seterusnya dilakukan juga oleh
orang Muslim pribumi sendiri, dengan daya tariknya pula, tanpa campur tangan
penguasa negara.
           
B. Proses Islamisasi di Palembang
Walaupun pada masa Kerajaan Sriwijaya, sudah ada penduduk Muslim,
agama Islam belummenjadi agama negara. Setelah melalui proses yang panjang
yang berhubungan erat dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, seperti
Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Raden Patah alias Raden
Panembahan Palembang yang lahir di Palembang, sebagai Pendiri dan Raja
Demak yang pertama (1478-1518), sangat besar pengaruhnya terhadap
Palembang atau sebaliknya.
Raden Patah berhasil memperbesar kekuasaan dan menjadikan Demak
sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Akibat pertentangan politik, Kerajaan
Demak tidak dapat bertahan lama. Perebutan kkuasaan antara Aria Penangsang
dari Jipang dan Pangeran Adiwijaya dari Pajang disebabkan masalah suksesi
dan warisan Kerajaan Demak, mengakibatkan Demak tidak dapat bertahan
lama. Kemunduran Demak mendorong tumbuhnya Kesultanan Pajang.
Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan
Demak melarikan diri ke Palembang.

C.  Berdirinya Kesultanan Palembang


Tokoh pendiri Kerajaan Palembang adalah Ki Gede Ing Suro. Keraton
pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di komplek PT.
Pusri. Dimana makam Ki Gede Ing Suro berada di belakang Pusri. Dari bentuk
keraton Jawa di tepi Sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan
lingkungan melayu di sekitarnya.
Dengan diproklamirkannya Kesultanan Palembang Palembang
Darussalam ini maka Agma Islam resmi sebagai Agama Kerajaan (negara)
sampai masa berakhirnya. Dengan Proklamasi Kesultanan Palembang ini,
keterkaitan dengan Mataram, baik kultural maupun politik terputus, dan
Palembang mengembangkan pemerintahan dan kehidupan masyarakat dengan
tradisi dan kepribadian sendiri. Kultural jawa yang selama ini tertanam sebagai
dasar legitimasi keraton Palembang yang menumbuhkan
keterkaitan sembah atau upeti dengan Pajang dan Mataram sudah tidak terjadi
lagi. Kultural masyarakat Palembang lebih banyak didasari kultural Melayu.
Ki Mas Hindi adalah tokoh kerajaan Palembang yang memperjelas jati
diri Palembang, memutus hubungan ideologi dan kultural dengan pusat kerajaan
di Jawa (Mataram). Dia menyatakan dirinya sebagai sultan, setara dengan
Sultan Agung di Mataram. Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahman, yang
kemudian dikenal sebagai Sunan Cinde Walang (1659-1706). Keraton Kuto
Gawang dibakar habis oleh VOC pada tahun 1659, akibat perlawanan
Palembang atas kekurangan ajaran hasil wakil wakil VOC di Palembang, Sultan
Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai
pusat perdagangan). Sultan Mahmud Badaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo
(1741-1757) adalah merupakan tokoh pembangunan Kesultanan Palembang,
dimana pembangunan modern dilakukannya. Antara lain Mesjid Agung
Palembang, Makam Lemabang (Kawah tengkurep), Keraton Kuto Batu
(sekarang berdiri Musium Badaruddin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota
Palembang).

Daftar Sultan Palembang :


 Sri Susuhunan Abdurrahman (1659-1706)
 Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757)
 Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1776)
 Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803)
 Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1812, 1813, 1818-1821)
 Sultan Ahmad Najamuddin II (1812-1813, 1813-1818)
 Sultan Ahmad Najamuddin III (1821-1823)

D.  Perkembangan Pendidikan Islam di Palembang


Persaingan yang terjadi antara pedagang kaya di ibukota Keresidenan
Palembang menyebabkan perubahan struktural di bidang pengajaran agama.
Sesudah tahun 1925, pengajaran agama di Palembang masih bersifat tradisional.
Pengajaran hanya diberikan di langgar dan masjid kepada kelompok murid dari
usia yang berbeda-beda. Pertama-tama diajarkan mengaji Al-Qur’an tanpa
terlalu memperhatikan pemahamannaskah yang dibaca maupun lagu yang tepat.
Tahap awal ini kemudian disusul dengan pengajaran bahasa Arab yang terutama
terdiri dari menghafal naskah sederhana.

Sultan Palembang mempunyai minat dan perhatian khusus pada agama


Islam. Untuk mendorong tumbuhnya ilmu pengetahuan dan budaya Islam.
Sultan melakukan usaha-usaha tertentu untuk menarik dan merangkul para
ulama Arab untuk menetap di wilayahnya. Akibatnya para imigran Arab
terutama dari Hadramaut mulai hijrah ke Palembang dalam jumlah yang
semakin bertambah yang selanjutnya menjadi pemukim terbesar kedua di
Indonesia setelah Surabaya.
Gambaran tentang kehidupan beragama pada paruh pertama abad ke-19
di Palembang berdasarkan Laporan Tahunan Residen Palembang dari tahun
1834 dan 1835, menyatakan bahwa di Palembang pada waktu itu “golongan
ulama” (priesterstand) cukup besar, tetapi mereka tidak bersikap keras terhadap
pemerintah kolonial. Ustadz-ustadz ini hanya mencoba meningkatkan ketaatan
beribadah masyarakat Palembang.
Pada abad ke-18 dan 19, Palembang telah berperan sangat besar dalam
mengembangkan budaya Islam di wilayah Sumatera Selatan maupun Nusantara.
Palembang menjadi salah satu Pusat Pengkajian Islam berbahasa Melayu, selain
Aceh, Banjarmasin, dan Minangkabau.

E. Peran Ulama di Kesultanan atau kerajaan Palembang


Sejarah penyebaran agama Islam di kesultanan ini tak terlepas dari
seorang yang lazim dinamakan Kyai atau guru mengaji. Pada periode
pemerintahan Kyai Mas Endi Pangeran Ario Kesumo Abdurrahman (1659-
1706) terkenal seorang ulama vang bernama K.H. Agus Khotib Komad seorang
ahli tafsir Al-Qur'an dan Fiqih, Tuan Faqih Jalaluddin mengajarkan ilmu Al-
Qur"an dan Ilmu Ushuluddin seorang ulama terkenal pada periode Sultan
Mansur Joyo Ing Lago (1700-1714). Ulama ini masih menjalankan dakwahnya
hingga masa pemerintahan Sultan Agung Komaruddin Sri Terung (1714-1724)
juga pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo (1724-1758)
sampai akhir hayatnya pada tahun 1748. Sebulan setelah beliau wafat Sultan
Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo mendirikan masjid untuk wakaf kaum
muslimin pada tanggal 25 Juni 1748. Masjid tersebut masih ada hingga
sekarang dan dikenal dengan nama Masjid Agung.
Pada masa Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adikesumo (1758-
1776) lahir di Palembang seorang ulama besar yang bernama Syekh
Abdussomad Al-Palembani, beliau aktif mengembangkan agama Islam pada
masa Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Beliau memiliki reputasi
internasional. pernah belajar di Mekkah. dan pad abad ke-18 M. ia kembali ke
Palembang dengan membawa mutiara baru dalam Islam. Mutiara tersebut
adalah Methode baru untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika ia
berada di Mekah sempat hubungan korespondensi dengan Pangeran
Mangkubumi di Yogyakarta.
Mangkunegara di Susuhunan Prabu Djaka di Surakarta. Surat-surat yang
dikirim kepada penguasa formal tradisional, tidak hanya berisikan soal-soal
ilmu agama saja tapi juga hal-hal yang menyangkut politik dalam kaitannva
dengan kolonialisme Belanda. Dengan demikian ia telah memberikan inspirasi
baru berdasarkan doktrin agama, untuk membangkitkan kembali rasa
patriotisme dalam menentang penjajah.
Terlepas pada suatu pemikiran apakah beliau termasuk golongan tasawuf
Al-Ghozali atau Wahdatul wujud yang pernah diajarkan oleh Ibnu Arabi, Beliau
telah menerjemahkan kitab karangannya sendiri yang bernama Sair al-Salikin
dan Hidayat al-Salikm yang sampai sekarang masih banvak dibaca di negara-
negara Asean yang meliputi Philiphina selatan, Brunai, Malaysia, Thailand
Selatan, Singapura dan Indonesia. Begitu penting dan terhormatnya kedudukan
ulama disamping sultan, sampai-sampai ulama mendapat tempat tersendiri
disamping sultan. Dapat pula kita perhatikan posisi makam-makam para sultan
Palembang disampingnya terlihat makam ulama-ulama beserta permaisuri.

Anda mungkin juga menyukai