Anda di halaman 1dari 5

Renunganku

Ditulis Oleh : Rifyal Ka’bah

Malam datang berselimutkan gelap, cahaya rembulan hadir menjadi teman. Angin
berhembus santai, dingin dan memberikan banyak hikmah. Jangkrik bernyanyi pelan di
kegelapan untuk menghibur dirinya yang mungkin sedang kesepian. Masjid masih
terang menderang. Malam sudah larut, tetapi aktivitas masih tetap terjaga. Bersama
secangkir kopi hitam, aku dan teman-temanku masih berkumpul di teras masjid, asyik
dalam bersua, larut dalam bincang kehidupan sampai-sampai malam pekat pun tidak
sempat terbincangkan.

Aku duduk dan bersandar ke dinding masjid, di atasnya ada jendela yang diterali besi
tapi belum dipasang kaca. Lantai keramik membuatku sedikit kedinginan. Walaupun
demikian, perbincangan panjang tentang kehidupan mampu menghangatkan suasana.

Aku meminum kopi dalam cangkir, seteguk demi seteguk, dirasakan, dan dinikmati
filosofi yang terkandung di dalamnya. Sungguh berbincang bersama teman sembari
ditemani seacangkir kopi merupakan sebuah kenikmatan yang luar biasa, apalagi yang
diperbincangkan adalah kerasnya kehidupan, maka sangat selaras dengan pekat dan
pahitnya rasa kopi.

Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam lebih. Kami beranjak dari tempat duduk.
Aku berjalan ke depan masjid untuk mengambil air wudu. Sedangkan teman-temanku
ada yang ke WC dan juga ada yang langsung masuk ke dalam masjid. Malam ini kami
memutuskan untuk tidur di masjid kembali, setelah sebelumnya kami disibukan oleh
urusan masing-masing sehingga tidak sempat untuk mengisi iman dan merekat tali
ukhuwah melalui tidur di masjid.

Pukul tiga dini hari, aku terbangun dari tidurku. Duduk sebentar, mengusap-usap wajah
dengan kedua telapak tangan, meregangkan badan, kemudian beranjak untuk
mengambil air wudhu. Sebelum keluar, lampu masjid kuhidupkan terlebih dahulu,
karena sebelum tiduk kami selalu mematikan lampu. Setelah masjid terang oleh cahaya,
dari tempat salat imam kudapati seseorang yang sedang khusyuk berzikir, ia duduk di
atas sajadah, kepalanya menunduk tenang, jari tangannya bergantian memutar tasbih.
Sesekali terdengar sesegukan, terus tampak ia sedang menangis tersedu-sedu.

Aku kemudian keluar masjid, mengambil air wudu. Waktu fajar begitu menenangkan.
Gelapnya tidaklah menakutkan. Dinginnya memberikan ketenangan. Benar saja bahwa
waktu fajar adalah waktu terbaik untuk bermunajat. Malaikat turun ke bumi begitu
terasa melalui sejuk dan tenangnya suasan malam ini. Bulan bersinar terang. Bintang-
bintang menghiasi malam, indah dan juga penuh makna. Sungguh Allah Maha Perkasa
lagi Bijaksana. Tidak ada sesuatupun yang Allah ciptakan, melainkan pasti ada hikmah
di dalamnya. Allah SWT menciptakan bumi dan langit serta isi di antara keduanya
tidaklah sia-sia. Banyak pelajaran yang bisa dipetik, sehingga mampu menyadarkan
manusia bahwa tidak ada yang bisa disombongkan, karena manusia itu kecil, sedangkan
Allah itu Maha Besar.

Setelah selesai mengambil wudu, aku masuk kembali ke dalam masjid. Aku
membangunkan teman-temanku yang masih larut dalam mimpi indahnya. Satu persatu
dari mereka bangun dengan sendirinya. Ada yang langsung beranjak, tetapi ada juga
yang duduk terlebih dahulu, kemudian tidur kembali. Namun, ada juga temanku yang
susah dibangunkan. Sekuat apa pun menggoyang tubuhnya, sekeras apa pun suara
memanggilnya ia tidak akan bangun. Aku terus menggoyang tubuhnya, tetapi lagi-lagi
ia tidak mau bangun. Sesekali ia hanya mendehem. Kemudian memutar badannya ke
arah lain, lalu tidur pulas kembali. Sungguh, ini tantangan luar biasa bagiku.

Di sudut lain, tampak dari tempat imam salat masih aku dapati temanku tadi duduk
khusyuk di atas sajadah. Di saat temanku larut dalam mimpinya, di saat bersamaan juga
temanku yang lain larut dalam cengkrama dengan kekasihnya. Aku sangatlah beruntung
bertemu dengan orang-orang seperti itu, satu temanku adalah ujian kesabaran,
sedangkan satunya lagi mengingatkanku akan kenikmatan beribadah dan kehidupan
akhirat.

Aku pun salat, dengan niat salat sunah Tahajud. Takbirratul Ihram sebagai
pembukanya. Aku pun merasakan kekhusyukan. Namun setelah beberapa detik,
pikiranku melayang ke mana-mana. Dunia memenuhi pikiranku. Dari hal yang terkecil
sampai hal yang terbesar hadir dalam ingatanku. Aku terus mengarahkan pikiran agar
tetap fokus dalam bermunajat kepada Rabb Pencipta Alam, tetapi lagi-lagi hal yang
tidak terpikirkan sebelumnya tiba-tiba hadir di saat sholat sedang berlangsung. Kadang-
kadang memikirkan hari ini mau melakukan apa saja, kadang-kadang juga memikirkan
dimana menyimpan telepon genggam, serta banyak hal-hal lainnya. Aku pun beristigfar
sejenak, kemudian melanjutkan bacaan-bacaan dalam salat. Tidak sampai disitu, saking
dunia memenuhi pikiran, aku sampai lupa sudah rakaat ke berapa, sehingga membuat
salatku pun semakin tidak khusyuk. Akhirnya setelah salam, aku terus beristigfar. Tidak
terhitung berapa istigfar yang kuucapkan. Ku ingat-ingat kembali kenapa dunia hadir
dalam pikiranku pada saat dimana aku ingin menikmati kenikmatan bermunajat kepada
Tuhanku. Kepalaku tertunduk lesu, lisanku terus menerus beristigfar, sedangkan
pikiranku mengingat-mengingat dosa-dosa yang telah kulakukan selama ini. Tidak
terasa air mataku jatuh, setetes demi setetes, pipiku pun ikut basah. Aku menangis,
bukan karena khusyuk beribadah, bukan karena rindu Sang Pencipta dan Kekasih-Nya,
bukan karena takut akan azab-Nya, tetapi aku menangis karena tidak mampu
menghadirkan hatiku sepenuhnya pada saat bermunajat kepada Tuhan semesta alam.
Aku iri dengan temanku yang menangis karena kerinduan, yang menangis karena
menikmati ibadah kepada-Nya. Aku iri, kenapa dalam keadaan ibadah pun aku masih
larut memikirkan dunia. Bukankah dunia ini tidak ada harganya, tidak lebih berharga
dari sebelah sayap nyamuk, lantas kenapa aku masih larut dalam memikirkan dunia,
padahal di saat itu aku sedang beribadah kepada Tuhan semesta alam. Aku terus
menangis, air mataku membasahi bajuku. Semakin lama tetesan air mataku semakin
banyak. Lisanku terus mengucap istigfar, tidak terhitung lagi berapa jumlahnya.

Aku bangkit, berniat, dan kemudian mengucapkan Takbirratul Ihram. Air mata masih
membahasi pipiku, sesekali aku mengusapnya, tetapi tetap saja ia mengalir dengan
sendirinya. Setelah membaca surat Al Fatihah, aku membaca surat Al Qari’ah,
perlahan-lahan ku baca sembari merenungkan arti dari setiap ayatnya. Lidahku keluh,
terbata-bata dikarenakan arti dari ayat tersebut. Tangisku tambah menjadi-jadi.

Tidak lama kemudian azan subuh berkumandang. Aku mengakhiri zikirku. Mengusap-
usap wajahku yang dibasahi oleh air mata. Ku lihat teman-temanku sudah duduk rapi di
shaf depan, kecuali satu, ya temanku yang itu, namanya Eril. Ia masih saja larut dalam
mimpinya. Badannya berbalut sajadah, tampak ia kedinginan. Salah satu temanku
mencoba membangunkannya, tetapi lagi-lagi ia masih kukuh untuk melanjutkan
tidurnya. Hampir seluruh teman-temanku merasa kesal apabila mencoba
membangunkan Eril. Setiap kali tidur di masjid, pasti yang akhiran bangun adalah Eril.
Memang butuh kesabaran yang tinggi dalam membangunkan temanku satu ini. Maka,
semakin sabar artinya pahala yang diperoleh pun semakin besar. Karena sudah merasa
kesal, temanku tadi akhirnya berhenti membangunkannya. Ia beranjak ke shaf depan,
duduk, kemudian khusyuk mendengarkan lantunan azan shubuh yang indah dan merdu.

Ahmad, temanku yang paling alim, ia adalah orang paling banyak ibadahnya di antara
kami, kemudian mencoba ikut membangunkan Eril. Ahmad keluar masjid, kemudian
masuk kembali dengan membawa sebuah gayung yang berisi air. Ia kemudian
mengusapkan air ke wajah Eril. Tetapi lagi-lagi Eril tidak mau bangun. Ahmad terus
berusaha, tetapi hasilnya sama. Kemudian, mungkin karena sedikit kesal, Ahmad
akhirnya memercikan air dalam jumlah yang cukup banyak ke wajah Eril. Lantas Eril
pun kaget, dan akhirnya terbangun, tetapi masih dalam keadaan setengah sadar dan
seperti orang kebingungan. Karena mendengar Azan, Eril pun tersadar bahwa sudah
azan subuh. Ia pun beranjak dari tidurnya, kemudian mengambil air wudu.

Melihat kejadian tersebut aku pun tersenyum, lagi dan lagi. Sungguh, kesabaran adalah
kunci dari keberhasilan. Tentunya aku harus pandai-pandai dalam menjaga diri agar
tetap sabar dalam setiap keadaan.

Satu-persatu bapak-bapak datang memasuki masjid, bersarung dan berpeci. Selain itu,
beberapa anak-anak juga turut hadir dalam melaksanakan salat subuh berjamaah.
Setelah sslat selesai dilaksanakan, zikir berjamaah dan doa bersama sudah dilakukan,
maka satu persatu jamaah pun kembali ke rumah masing, siap-siap pergi ke kebun untuk
menjemput rezeki yang telah Allah SWT gariskan.

Sedangkan kami masih bertahan di dalam masjid. Ada yang masih berzikir, ada yang
sudah membaca Al Qur’an, ada yang sudah aktif bermedia sosial, dan juga ada yang
kembali tiduran. Ya, Eril kembali merebahkan badannya kemudian kembali berkelana
di alam mimpi. Tidak lama berselang, seperti kebiasaan sebelumnya, Raka membacakan
sebuah kitab yang banyak hikmah kami petik di dalamnya. Raka berdiri di tempat
imam, tepatnya di samping mimbar, sedangkan kami berkumpul mendekati Raka,
kecuali Eril. Ahmad kembali mencoba membangunkan Eril, dan alhamdulillah sekali
dibangunkan, ia langsung beranjak dan ikut dalam taklim kami, walaupun masih dalam
keadaan tidak sepenuhnya sadar.

Raka membacakan kata demi kata, satu-persatu hadis disampaikan, tidak lupa juga
menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya. Kami khusyuk mendengarkan,
sembari merenungi hikmah yang bisa kami dipetik dan kami amalkan.

“Sesungguhnya” ujar Raka dengan nada yang serius dan seakan-akan menekankan apa
ia akan sampaikan ini adalah hal yang sangat penting.

“Setiap amalan itu tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan sesuai apa
yang ia niatkan.” Raka melanjutkan penjelasannya.

Aku menghayati apa yang disampaikan oleh Raka prihal niat tersebut. Aku kembali
teringat kebaikan yang kulakukan seringkali diniatkan untuk hal-hal yang bersifat dunia.
Alangkah berdosanya aku, aku beribadah, tetapi niatnya bukan karena Allah SWT. Aku
beristigfar. Apa yang disampaikan Raka sangatlah menyentuh dan juga menamparku.
Lidahku terus beristigfar, memohon agar Allah SWT berkenan menerima amal
ibadahku yang telah berlalu. Aku jadi teringat bagaimana aku menangis karena tidak
mampu merasakan nikmatnya beribadah. Aku sadar, mungkin kenapa itu bisa terjadi,
bisa jadi karena niatku yang salah ketika hendak melakukan suatu ibadah.

Sebelum mengerjakan suatu kebaikan, aku mencoba untuk selalu meluruskan terlebih
dahulu niat dalam melakukan kebaikan tersebut. Agar apa-apa yang kulakukan bernilai
ibadah, bukan malah habis karena terbakar sifat dunia. Dimulai dengan basmalah, dan
ditutup dengan hamdalah. Aku bertekad untuk terus menata hati, memperbaiki diri, dan
juga meningkatkan ibadah kepada ilahi, karena aku yakin bahwa surga itu hanya
menginginkan orang-orang baik yang akan menjadi penghuninya.

Anda mungkin juga menyukai