Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Kerajaan-Kerajaan Islam Di Nusantara

Di Susun oleh :

1. Azizam Cahya Intan.

2. Asywatiah Rafa Nayla A.

3. Ahmad Fadlan Hujianto

4. Muhammad Risky Aditya

MTsN 1 Kendari

Tahun 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok mata
pelajaran SKI, dengan Tema Kerajaan-Kerajaan Di Nusantara

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang
dengan tulus membantu memberi materi dan saran sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak.
Kerajaan-Kerajaan Islam Di Nusantara

1. Kerajaan Palembang
Menurut sejarah, Islam masuk ke Palembang diperkirakan pada awal abad ke-1 H atau awal abad ke-8
Masehi. Sepanjang abad ke-7 sampai abad ke-14 Masehi, Islam di kota Palembang tumbuh dan
berkembang pesat sehingga berdiri sebuah kerajaan Islam Kesultanan Palembang. Kesultanan
Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota
Palembang, Sumatera Selatansekarang. Kerajaan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman
dari Jawa dan dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.

Menurut sumber, ada banyak pendapat tentang masuknya Islam ke Sumatera bagian Selatan :

Pengaruh kekuasaan politik Islam dimasa itu, yaitu : Khulafaur Rasyidin 632-661 Masehi - Dinasti
Umayyah 661-750 Masehi - Dinasti Abbasiyah 750-1268 Masehi - Dinasti Umayyah di Spanyol 757-1492
Masehi - Dinasti Fatimah di Mesir 919-1171 Masehi.

Penguasaan jalan laut perdagangan oleh bangsa Arab jauh lebih maju dari bangsa Barat. Saat itu bangsa
Arab telah menguasai perjalanan laut dari Samudra India yang mereka namakan Samudra Persia kala itu.

Islam masuk didaerah Sriwijaya dapatlah dipastikan pada abad ke-7. Ini mengingat buku sejarah Cina
yang menyebutkan bahwa Dinasti T'ang yang memberitakannya utusan Tache (sebutan untuk orang
Arab) ke Kalingga pada tahun 674 Masehi. Karena Sriwijaya sering dikunjungi pedagang Arab dalam jalur
pelayaran, maka Islam saat itu merupakan proses awal Islamisasi atau permulaan perkenalan dengan
Islam.

Seperti dikisahkan oleh penulis Arab yaitu Ibnu Rusta (900 M), Sulaiman (850 M) dan Abu Zaid (950 M),
maka hubungan dagang antara Khalifah Abbasiyah (750 M - 1268 M) dengan kerajaan Sriwijaya tetap
berlangsung. Khusus untuk kawasan Sumatera Selatan, masuknya Islam selain oleh Bangsa Arab
pedagang utusan dari Dinasti Umayyah (661 - 750 M) dan Dinasti Abbasiyah (750 - 1268 M) juga
pedagang Sriwijaya sendiri berlayar kenegara-negara Timur Tengah.

Pendapat lainnya :

Drs. M. Dien Majid dalam makalahnya berjudul "Selintas Tentang Keberadaan Islam dibumi Sriwijaya"
menulis : Arya Damar, seorang Adipati kerajaan Majapahit di Palembang, secara sembunyi-sembunyi
telah memeluk agama Islam, karena diajari oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel) ketika singgah di
Palembang dari Champa yang akan meneruskan perjalanannya kekerajaan Majapahit. Kemudian Arya
Damar ini yang akhirnya dikenal dengan nama Arya Dillah atau Abdullah, berguru dengan Sunan Ampel
di Ampel Denta ketika beliau sudah menetap disini. Dan ketika Arya Damar kembali ke Palembang, ia
selalu mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang bermukim di Palembang.
Dr. Taufik Abdullah dalam makalahnya yang berjudul "Beberapa aspek perkembangan Islam di Sumatera
Selatan" menulis : Van Senenhoven pada tahun 1822 Masehi membawa 55 manuskrip Arab dan Melayu
yang ditulis sangat indah serta dijilid rapi yang merupakan kepunyaan Sultan Mahmud Badaruddin.
Raden Patah yang menurut tradisi historis adalah anak raja Majapahit, Prabu Brawijaya dengan puteri
Cina, dilahirkan dan berguru di Palembang. Maka setidaknya sejak akhir abad ke-16 Palembang
merupakan salah satu "enclave" Islam terpenting atau bahkan Pusat Islam di bagian Selatan Pulau Emas
ini. Hal ini bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi oleh
pedagang Arab Islam pada abad-abad kejayaan Kerajaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran
Malaka yang tidak pernah melepaskan keterikatannya dengan Palembang sebagai tanah asal. Kejadian
ini berarti peng-Islaman Palembang telah lebih lama daripada Minangkabau atau pedalaman Jawa,
bahkan jauh lebih dahulu dari Sulawesi Selatan (kerajaan Gowa dan kerajaan Laikang). Diceritakan
dalam buku sejarah "Sulu Mindanau" bahwa seorang Syarif yang bernama Syarif Abubakar yang berasal
dari Palembang, telah menyebarkan Islam ke Sulu dan Mindanau, yang kemudian kawin dengan puteri
setempat bernama Paramisuri.

Menurut H. Rusdy Cosim B.A. dalam makalahnya yang berjudul "Sejarah Kerajaan Palembang dan
Perkembangan Hukum Islam" mengemukakan : Menukil kisah pelayaran Sulaiman didalam bukunya
Akhbar As Sind Wal H

2. Kerajaan Bima

Kerajaan Bima adalah salah satu kerajaan di nusantara yang pernah mengalami masa-masa Hindu dan
akhirnya berubah menjadi bercorak Islam.

Kerajaan yang terletak di Bima, Nusa Tenggara Barat, ini pertama kali didirikan pada sekitar abad ke-13.

Pendiri Kerajaan Bima adalah seorang musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima, yang akhirnya
menurunkan raja-raja Bima.

Kerajaan Bima kemudian berubah menjadi kesultanan pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1620.

Penguasa pertama yang masuk Islam adalah Ruma Ta Ma Bata Wadu atau Abdul Kahir, raja Bima ke-27
yang berkuasa antara 1620-1640.

Sejarah berdirinya Kerajaan Bima

Sebelum berbentuk kerajaan, wilayah Bima terbagi dalam beberapa kekuasaan yang pimpinan
wilayahnya disebut Ncuhi.

Para Ncuhi yang awalnya membentuk federasi kemudian sepakat mengangkat Sang Bima, yang
mengajarkan agama Hindu, sebagai pemimpin.
Setelah membentuk kerajaan, Sang Bima justru pergi ke Kerajaan Medang di Jawa Timur.

Dalam perkembangannya, Sang Bima mengirim putranya, Idra Zamrud dan Indra Kumala ke Kerajaan
Bima.

Indra Zamrud inilah yang dinobatkan sebagai raja Bima yang pertama.Selama empat abad menjadi
kerajaan bercorak Hindu, terdapat 26 raja yang pernah memerintah Bima

Sejarah berdirinya Kerajaan Bima

Sebelum berbentuk kerajaan, wilayah Bima terbagi dalam beberapa kekuasaan yang pimpinan
wilayahnya disebut Ncuhi.

Para Ncuhi yang awalnya membentuk federasi kemudian sepakat mengangkat Sang Bima, yang
mengajarkan agama Hindu, sebagai pemimpin.

Setelah membentuk kerajaan, Sang Bima justru pergi ke Kerajaan Medang di Jawa Timur.

Dalam perkembangannya, Sang Bima mengirim putranya, Idra Zamrud dan Indra Kumala ke Kerajaan
Bima.

Indra Zamrud inilah yang dinobatkan sebagai raja Bima yang pertama.

Selama empat abad menjadi kerajaan bercorak Hindu, terdapat 26 raja yang pernah memerintah Bima.

Masuk dan berkembangnya Islam di Bima

Agama Islam diperkirakan mulai masuk ke Kerajaan Bima mulai abad ke-16, di bawa oleh para mubalig
dan pedagang dari Demak.Penyebaran Islam di Bima semakin meluas pada abad ke-17, saat Kesultanan
Gowa-Tallo menaklukkan wilayah-wilayah di Nusa Tenggara.

Kerajaan Bima kemudian berubah menjadi kesultanan saat Putra Mahkota La Kai yang bergelar Ruma Ta
Ma Bata Wadu masuk Islam.

Setelah masuk Islam, raja ke-27 Kerajaan Bima ini berubah nama menjadi Abdul Kahir.Sejak saat itu,
Islam menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Bima.

Hubungan kekerabatan antara Bima dan Gowa-Tallo juga semakin kuat setelah Sultan Abdul Kahir
menikahi adik ipar sultan Gowa-Tallo.

Berikut ini daftar raja-raja Kerajaan Bima saat masih bercorak Hindu.

•Indera Jambrut

•Batara Indera Bima

•Batara Sang Luka


•Batara Sang Bima

•Batara Matra Indarwata

•Batara Matra Inderatarati

•Manggampo Jawa

•Puteri Ratna Lila

•Maharaja Indera Kumala

•Batara Indera Luka

•Maharaja Bima Indera Seri

•Mawaä Paju Longge

•Mawaä Indera Mbojo

•Mawaä Bilmana

•Manggampo Donggo

•Mambora ba Pili Tuta

•Tureli Nggampo

•Mawaä Ndapa

•Ruma Samara

•Ruma Sarise

•Ruma Mantau Asi Sawo

•Ruma Manuru Sarei

•Tureli Nggampo

•Mambora di Sapega

•Mantau Asi Peka

Berikut ini daftar raja-raja Kerajaan Bima setelah berubah menjadi kesultanan Islam.

•Abdul Kahir I atau Ruma-ta Ma Bata Wadu (1620-1640 M)

•I Ambela Abdul Kahir Sirajuddin atau Mantau Uma Jati (1640-1682 M)


•Nuruddin Abu Bakar All Syah atau Mawa’a Paju (1682-1687 M)

•Jamaluddin Ali Syah atau Mawa’a Romo (1687-1696 M)

•Hasanuddin Muhammad Syah atau Mabata Bo’u (1696-1731 M)

•Alauddin Muhammad Syah atau Manuru Daha (1731-1748 M)

•Kamalat Syah atau Rante Patola Sitti Rabi’ah (1748-1751 M)

•Abdul Kadim Muhammad Syah atau Mawa’a Taho (1751-1773 M)

•Abdul Hamid Muhammad Syah atau Mantau Asi Saninu (1773-1817 M)

•Ismail Muhammad Syah atau Mantau Dana Sigi (1817-1854 M)

•Abdullah atau Mawa’a Adil (1854-1868 M)

•Abdul Aziz atau Mawa’a Sampela (1868-1881 M)

•Ibrahim atau Ma Tahi Parange (1881-1915 M)

•Muhammad Salahuddin (1915-1951 M).

Kehidupan Kerajaan Bima

Sejak dinobatkan sebagai raja Bima pada 1620 hingga wafat pada 1640, Sultan Abdul Kahir aktif
menyebarkan Islam kepada rakyatnya.

Setelah Sultan Abdul Kahir wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putranya, I Ambela Abdul Kahir Sirajuddin.

Pada saat itu, rakyatnya dipimpin dengan berdasar pada adat dan hukum Islam.

Hal ini terus berlangsung sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-1915).

Sementara itu, masyarakatnya dikenal memiliki tiga sifat yang konon diwariskan oleh Sang Bima, yaitu
sabar, pemalu, dan takut.

Di sisi lain, masyarakat Bima juga dibekali ilmu bertani dan berdagang untuk meningkatkan sektor
ekonomi mereka.

Bahkan pada awal berdirinya kerajaan, diketahui bahwa masyarakatnya hidup makmur, serta bidang
ekonomi, keagamaan, dan sosial-budayanya berkembang pesat.

Pada abad ke-19, wilayah kekuasaan Kerajaan Bima meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, Manggarai di
Pulau Flores, dan Selat Alas.

Namun, dalam catatan sejarah tidak disebutkan tentang masa kejayaan Kerajaan Bima.
Sebab, periode Kesultanan Bima selalu diwarnai perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Kemunduran Kerajaan Bima

Kemunduran Kerajaan Bima dimulai pada 1908, saat kerajaan telah dikuasai oleh pemerintah Hindia
Belanda.Bahkan semua urusan kerajaan harus mendapat persetujuan dari pemerintah kolonial Belanda.

Kesultanan Bima kemudian berakhir pada 1951, setelah Sultan Muhammad Salahuddin wafat.

Peninggalan Kerajaan Bima

•Istana Asi Mbojo

•Istana Asi Bou

•Masjid Sultan Muhammad •Salahuddin

•Masjid Al-Muwahiddin

3. Kerajaan Siak Sri Indapura


Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya

Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura serta jejak peninggalannya. (Istana Siak Sri Indrapura, Foto:
iStockphoto/Imam Fahroji)

Kerajaan Siak Sri Indrapura atau Kesultanan Siak merupakan kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri
sekitar tahun 1723 Masehi.

Berdasarkan sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura yang dikutip situs Siakkab, kesultanan ini terletak di
Kabupaten Siak, Provinsi Riau, dengan pusat pemerintahannya di Buantan.

Asal Usul Berdirinya Kerajaan Siak

Pekanbaru, Indonesia, 04 April 2016: Siak Sri Inderapura Palace or Asserayah Hasyimiah Palace or East
Sun Palace is the official residence of Sultan Siak which was built in 1889, during the reign of Sultan
Syarif Hasyim.

Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura serta jejak peninggalannya. (Foto Istana Siak Sri
IndrapuraatauAsserayah Hasyimiah: iStockphoto/Imam Fahroji)
Pada 1723 M, seorang putra Raja bernama Raja Kicik (Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah) dari pasangan
Sultan Mahmud Syah (Raja Johor) dan Encik Pong menjadi pendiri Kerajaan Siak.

Tapi sebelum resmi mendirikan kerajaannya sendiri, Raja Kicik ini sempat mengalami perang saudara
dengan pihak Johor.

Serpihan catatan sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura menyebut bahwa Raja Kicik memisahkan diri ke
pinggiran sungai Buantan atau anak sungai Siak.

Sedangkan pihak Johor memilih pergi ke wilayah Pahang. Raja Kicik pun mulai mendirikan kerajaan
sendiri dengan nama Siak yang diambil dari tumbuhan siak-siak.

Raja Kerajaan Siak

Berikut nama-nama raja Kerajaan Siak yang diurutkan berdasarkan periode pemerintahannya.

Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1746)

Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1746-1760)

Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760-1761)

Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1761-1766)

Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1765-1779)

Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1779-1781)

Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (1781-1791)

Sultan As-Sayyid Al-Sharif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1791-1811)

Sultan As-Sayyid Al-Sharif Ibrahim Abdul Jalil Khalliludin (1811-1827)

Sultan As-Sayyid Al-Sharif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827-1865)

Sultan As-Sayyid Al-Sharif Kassim Abdul Jalil Syaifuddin (1864-1889)

Sultan As-Sayyid Al-Sharif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908)

Sultan As-Sayyid Al-Sharif Kassim Abdul Jalil Syaifuddin II (1915-1945)

Masa Kejayaan Kerajaan Siak

Keberadaan Kerajaan Siak cukup memiliki pengaruh besar terutama di pesisir Timur Sumatera sampai
Semenanjung Malaya.
Bahkan kerajaan ini pun dapat berpengaruh hingga ke Sambas, Kalimantan Barat, dan menjadi
pengendali jalur pelayaran antara Sumatera dengan Kalimantan.

Terutama di masa kepemimpinan Sultan Syarif Hasyim, bangunan istana megah Siak berdiri dan terjadi
kemajuan ekonomi sampai dirinya bisa melawat ke Eropa yaitu Jerman serta Belanda.

Kedudukan raja di istana Asserayah Hasyimiah (istana Siak) diwariskan ke putranya Sultan Kasim Abdul
Jalil Syaifuddin II pada 1915.

Masa Runtuhnya Kerajaan Siak

Awal mula penyebab runtuhnya Kerajaan Siak yaitu saat kolonial Belanda melakukan ekspansi ke
wilayah Pulau Sumatera.

Kemudian pihak Belanda pernah memaksa salah satu Sultan Siak untuk menandatangani perjanjian
bahwa kawasan Siak menjadi bagian pemerintahan Hindia Belanda.

Meski dalam situasi diambang kemunduran karena wilayah Siak semakin dipersempit. Kesultanan Siak
mampu bertahan sampai periode kemerdekaan Indonesia.

Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Sultan Syarif Kasim II menemui Bung Karno
untuk menyerahkan Kerajaan Siak dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.

Peninggalan Kerajaan Siak

Seluruh jejak peninggalan sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura masih dapat dilihat sampai sekarang, yaitu
di Istana Siak Sri Indrapura (Asseraiyah Hasyimiah atau istana Siak).

Istana Siak ini pernah menjadi tempat tingga l Sultan Hasyim yang berlokasi di Jalan Sultan Syarif
Kasim, Kampung Dalam, Kp. Dalam, Siak, Kabupaten Siak, Riau, dan terbuka untuk umum.

Anda mungkin juga menyukai