Anda di halaman 1dari 13

PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA PADA MASA KOLONIAL BELANDA

1. Perkembangan Islam di Aceh Pada Masa Penjajahan


Kerajaan Islam Samudera Pasai adalah Kerajaan Islam terbesar dan termegah di
AsiaTenggara pada abad ke-13. Kerajaan ini terletak di daerah Aceh Utara, di pesisir timur
laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau
pertengahan abad ke 13 M, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah- daerah pantai yang
pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya.
Sebelum berdirinya Kerajaan Islam Samudera Pasai, di daerah ini telah berdiri kerajaan-
kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja- raja yang bergelar ”Meurah”. Gelar Meurah Cut
Intan misalnya, adalah pahlawan Aceh dari negeri- negeri kecil seperti Jeumpa, Samudera,
Tanoh Data, dan lain-lain.
Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu didukung oleh adanya
nisan kuburan terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui
bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang
diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. Pembentukan kerajaan Islam Samudera
Pasai diawali dengan kedatangan seorang pembaharu Islam ke wilayah itu pada tahun 433
H (1042 M).  Meurah Khair datang ketanoh Data (di sekitar Cot Girek sekarang) untuk
memperkenalkan sistem pemerintahan Islam ke raja Samudera. Meurah Khair, sang
pembaharu, berasal dari keluarga Sultan Mahmud Perlak. Ia datang dengan dua tujuan
sekaligus yaitu untuk mendakwah Islam dan membangun Kerajaan Islam Samudera Pasai.
Akhirnya tujuan in tercapai dan ia menjadi raja pertama yang bergelar Maharaja Mahmud
Syah, ia juga diberi gelar lokal yaitu, Meurah Giri. Masa pemerintahannya dumulai dari
tahun 433 H sampai dengan tahun 470 H (1042-1078 M)
Berikut adalah daftar raja-raja kerajaan Samudera Pasai:
1) Maharaja MahmudSyah (Meurah Giri), 433-470 H (1042-1078 M)
2) Maharaja Mansur Syah, 470-527 H (1078-1113 M)
3) Maharaja Khiyassyudin Syah, 527-550 H (1113-1155 M)
4) Maharaja Nurdin Sultan al-Kamil, 550-607 H (1155-1210 M)
5) Sultan Malikussalih, 659-688 H (659-688 H(1261-1289 M)
6) Sultan Muhammad Malikul Dhahir, 688-725 H (1289-1326 M)
7) Sultan Ahmad Malikul Dhahir, 725-750 H (1326-1350 M)
8) Sultan Zainuddin Malikul Az-Zahir,750-796 H (1350-1394 M)
9) Sultan Zainal Abidin, 1383-1400 H
10) Malikah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, 801-831 H (1400-1427 M)
Sementara menurut pengakuan sarjana-sarjana Barat, Malik as-Saleh merupakan pendiri
kerajaan tersebut. Hal itu diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu
dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat,
khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P. Molquette,J.L. Moens, J.
Hushoff Poll, G.P. Rouffacr, H.KJ. Cowan, dan lain-lain.
Dari segi politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai abad ke-13 M itu sejalan dengan
suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan
penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan,
gelar Malik al- Saleh sebelum menjadi raja adalah bernama Meurah Silu atau Merah Silu. Ia
masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah,
yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik al-Saleh. Nisan kuburan itu didapatkan
diGampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut. Meurah Selu adalah
puteraMerah Gajah. Nama Merah merupakan gelar bangsawan yang lazim di Sumatera
Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata sungkala yang aslinya berasal dari Sanskrit
Chula (wilayah Thailand).
Dari hikayat itu terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai pusat kerajaan
Samudera Pasai adalahMuara Sungai Peusangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan
lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan parahu- perahu dan kapal-kapal
mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak
berseberangan di muara sungai peusangan yaitu, Pasai dan Samudera. Kota Samudera
terletak agak lebih ke pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat
yang terakhir inilah terletak beberapa makam raja-raja. Pendapat bahwa Islam sudah
berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita Cina dan pendapat Ibn
Batutah, seorang pengembara terkenal asal Maroko, yang pada pertengahan abad ke-14 M
(tahun 746H/1345 M) mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke
Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir, putera Sultan Malik
al-Saleh. Menurut sumber-sumber Cina, pada awal tahun1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-
la (Samudera) mengirimkan duta- dutanya ke kerajaan Cina dengan nama- nama muslim
yakni Husein dan Sulaiman.
Ibnu Batutah juga menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di
Samudera Pasai. Ia meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati dan semangat keagamaan
rajanya yang seperti rakyat nya mengikuti mazhab Imam Syafi’i.
Berdasarkan beritanya pula, kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi
agama Islam dan tempat berkumpulnya para ulama dari berbagai negeri Islam untuk
berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan. Dalam kehidupan
perekonomiannya, kerajaan maritim ini, tidak mempunyai basis agraris. Basis
perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan
dan pelayaran itu merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkankerajaan
memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai ada mata
uang dirham. Dikatakannya pula bahwa setiap kapal yang membawa barang- barang dari
Barat dikenakan pajak 6%.
Mata uang dirham dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh H.K.J
Cowanuntuk menunjukkan bukti- bukti sejarah raja- raja Pasai. Mata uang tersebut
menggunakan nama- nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid
dan Abdullah, pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham di antaranya
bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, Sultan
Abdullah,semuanya adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke-14 M dan 15 M.
Atas dasar mata uang emas yang ditemukan itu, dapat diketahui nama-nama raja dan
urutan pemerintahannya sebagai berikut:
1) Sultan Malik al-Saleh yang memerintah sampai pada tahun 1207M,
2) Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M)
3) Mahmud Malik al-zahir (1326-1345M)
4) Manshur Malik al-Zahir (1345-1346 M)
5) Ahmad Malik alZahir (1346-1383 M)
6) Zainal-Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M)
7) Nahrasiyah (1402-)
8) Abu Zaid Malik al-Zahir(7-1455 M)
9) Mahmud Malikal Zahir (1455-1477 M)
10) Zain al-Abidin (1477-1500 M)
11) Abdullah Malik al-Zahir (1501-1513 M)
12) Sultan yang terakhir adalah Zain al-Abidin (1513-1524 M).

Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan
ini ditaklukan oleh portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M
diambil alih oleh raja Aceh, Ali Mughayat Shah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada
di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
Dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Dhahir (688-725 H) dibentuklah
suatu konfederasi kerajaan- kerajaan Islam yang terdiri atas Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan
Islam Beunua (Tamiang) dan kerajaan Islam Samudera Pasai. Ibnu Batutah pernah
berkunjung ke kerajaan Pasai dan menuliskan catatan bahwa Kerajaan Samudera Pasai
diperintah oleh seorang raja yang sangat alim dan salih. Kerajaan ini ramai dikunjungi oleh
pera pedagang dari berbagai penjuru dunia saat itu untuk keperluan berdagang dan
menuntut ilmu agama Islam.
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul di
bawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan
Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika
Portugis di bawah pimpinan Afonso DAlbuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit di bawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan
Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri
Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam
(1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis untuk menguasai aceh dapat
ditangkis. Disisi lain Aceh juga melakukan berbagai serangan untuk menggulingkan Portugis
di Malaka, yang meghambat ekspansi Portugis di asia tenggara.
2. Perkembangan Islam di Padang Pada Masa Penjajahan
Awal masuk dan berkembangnya islam di Minangkabau menurut berita Cina dari dinasti
T’ang menyebutkan bahwa sekitar abad ke-7 M (674 M) ada kelompok orang Arab (Ta-
Shih) yang perkampungan mereka ada di pesisir barat Sumatera. Ada juga pendapat lain
yang mengatakan bahwa islam datang dan berkembang di daerah Sumatera Barat baru
sekitar akhir abad ke-14 M atau abad ke-15 M, dan islam sudah memperoleh pengaruhnya
di kerajaan besar Minangkabau. Islam masuk ke Minangkabau massuk pada abad ke-15 M
dapat di hubungkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci tentang
Siak Lenih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di Kerinci,
semasa dengan Puteri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai dan Perpatih nan Sabatang,
yang kesemuanya berada di Kerinci. Islam masauk di Minangkabau pada awalnya yaitu di
daerah Ulakan dan Pariaman yang dibawakan oelh Syeikh Burhanuddin langsung dari
Makkah. Semua penduduk Minangkabau beragama Islam, menurut Umar Yunus jika ada
orang Minangkabau yang tidak menganut Islam itu adalah suatu keganjilan. Weekers
mengemukakan bahwa semua muslim Minangkabau adalah Muslin Sunni yang bermadzhab
Syafi’i. Sumatera Barat khususnya Minangkabau merupakan daerah yang sangat berperan
dalam penyebaran cita – cita pembaruan ke daerah-daerah lain. Di daerah ini lah tanda-
tanda pertama dalam pembaruan yang pada waktu daerah lain seakan masih terasa puas
dengan praktik-praktik tradisional mereka. Proses islamisasi di Minangkabau berlangsung
intensif sejak abad ke-13 M sejak raja kerajaan Pagaruyung memegang agama Islam pada
tahun 1960 dan bergelar Sultan Alif. Tome Pires (1512-1515) mencatat keberadaan
tempat-tempat seperti Pariaman, Tiku bahkan Barus didaerah Minangkabau ada tiga raja
yang diragukan apakah beragama islam atau tidak. Berita tentang perdagangan yang
dilakukan melalui pelabuhan Pariaman, Tiku dan Barus yamng merupakan kunci utama
untuk memasuki daerah Minangkabau. Dari ketiga tempat ini dihasilkan barang-barang
perdagangan seperti emas, sutra, damar, lilin, madu, kamper, dan kapur barus. Setiap tahun
daerah tersebut di datangi oleh kapal-kapal Gujarat dua atau tiga kapal yang membawa
barang dagangnya, diantaranya yaitu pakaian. Sejak aabad ke-15 dan ke-16 hubungan
antara Sumatera Barat melalui pelabuhan-pelabuhannya dengan berbagai negeri antara
lain adalah dengan Aceh. Pada masa Iskandar Muda, Pariaman merupakan salah satu
daerah yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Aceh. Pada abad ke-17 M ada ulama
terkenal di Sumatera Barat yang merupakan salah seorang murid Abd. Al-Rauf Al-Sinkili
yang bernama Syekh Burhan Al-Din (1646-1692) di Ulakan. Ia mendirikan surau dan
Ulakan merupakan pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Tarekat Syathriyyah yang
diajarkannya tersebar di daerah Minangkabau dan ajaran Tasawufnya cenderung kepada
Syari’at dan dapat dikatakan sebagai ajaran Neosufisme. Ia dikenal di kalangan masyarakat
sebagai Tuanku Ulakan.
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Islam Melayu yang pernah berdiri di provinsi
Sumatera Barat. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat
Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari (Nagari adalah pembagian wilayah administratif
sesudah kecamatan di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Istilah nagari menggantikan
istilah desa, yang digunakan di provinsi lain di Indonesia.) yang bernama Pagaruyung, dan
juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung,
yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai
berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta
kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dā rul Qarā r Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ā lam.
Kerajaan ini mengalami keruntuhan pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya
perjanjian antara Kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan
Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Kerajaan Malayapura. Dalam prasasti
Amoghapasa disebutkan bawah kerajaan Malayapara dipimpin oleh Adityawarman yang
mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Kerajaan
kerajaan lain yang juga masuk dalam wilayah Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya
dan beberapa kerajaan atau daerah yang ditaklukan Adityawarman.
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,
dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat
Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit
dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang
menyebut dirinya Raja Pagaruyungmengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu
itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan
lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah
kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang
mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar
Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa
VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat
dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah
meninggal dunia tahun 1674 dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan
Indermasyah.
Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,
melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan
pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung
merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi
emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk
menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang
Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah
gubernur jenderal Belanda di Malaka.
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang
dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk
mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris. Namun pada tahun 1781
Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu, dan waktu itu datang utusan
dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda
dari Padang. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan
emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja
Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama. Sebelumnya pada tahun
1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang
Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai
tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian setelah pihak
Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun
mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda
ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai
pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas
Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda
peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota
kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi. Setelah terjadi
perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki
Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau
Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824
dengan Inggris.
3. Perkembangan Islam di Jambi Pada Masa Penjajahan
Provinsi Jambi dibentuk tanggal 2 Juli 1958 bersamaan dengan pembentukan Provinsi
Sumatera Barat dan Provinsi Riau. Sebelumnya Jambi merupakan salah satu daerah
keresidenan di wilayah Provinsi Sumatera Tengah. Sementara di awal kemerdekaan, hanya
ada satu provinsi di Sumatera, yaitu, provinsi Sumatera dan Jambi adalah salah satu
keresidenan di provinsi yang sangat luas itu.
Pada akhir abad ke 19 di wilayah Jambi terdapat kerajaan atau kesultanan Jambi. Tahun
1855, Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Pada saat Belanda mulai
menduduki Kesultanan Jambi, tepatnya tahun 1858, Sultan Thaha menyingkir dari keraton
dan melakukan perang gerilya. Dia gugur dalam perang melawan penjajah tahun 1904.
Sultan Thaha Syaifuddin merupakan pahlawan nasional asal Jambi. Dilahirkan pada
pertengahan tahun 1816 di Keraton Tanah Pilih Jambi. Beliau adalah sultan terakhir dari
Kesultanan Jambi. Ia merupakan putra dari Sultan M. Fachrudin dengan gelar sultan
Kramat. Nama asli Sultan Thaha adalah Sultan Raden Toha Jayadiningrat. Ketika kecil ia
biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat dan bersikap sebagai seorang bangsawan yang
rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa.
Meskipun ia terlahir dari kalangan bangsawan, ia memiliki sikap yang rendah hati, senang
bergaul dengan masyarakat dan sangat membenci Belanda. Aktivitas melawan Belanda
makin gencar sejak ia naik tahta menjadi Raja Jambi pada tahun 1855. Usahanya melawan
Belanda dilakukan dengan mengalang kekuatan masyarakat dan bekerjasama dengan raja
Sisingamangaraja.Untuk meruntuhkan kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin, Belanda
melakukan politik adu domba dengan mengangkat salah seorang putera sultan yang masih
berusia tiga tahun menjadi Putera Mahkota. Untuk mendampingi putera mahkota yang
masih muda itu diangkat dua orang wali yang memihak kepada Belanda. Namun, usaha
untuk mengadu domba itu tidak berhasil karena kerabat istana dan rakyat tetap bersikap
melawan Belanda.
Hanya satu jalan bagi Belanda untuk menghadapi sultan yaitu dengan berperang secara
ksatria. Untuk itu, Belanda mendatangkan pasukan dari Magelang lewat Semarang dan
Palembang. Untuk menumpas perlawanan dari suatu daerah, Belanda selalu mendatangkan
pasukan dari daerah lain mengingat serdadu yang berkebangsaan Belanda sangat sedikit.
Cara itu terbukti efektif untuk menindas perlawanan rakyat di berbagai wilayah Indonesia.
Pada tanggal 31 luli 1901 pasukan Belanda yang datang mendapatkan perlawanan sengit di
Surolangun. Namun, pasukan Belanda terus mengadakan pengejaran sampai ke pedalaman.
Mereka dapat menawan pasukan dan pengikut Sultan Thaha tetapi tidak berhasil
menemukan pemimpinnya. Dengan berbagai tipu muslihat Belanda dapat menemukan
tempat pertahanan para pejuang. Markas Sultan di Sungai Aro diserbu Belanda pada tahun
1904. Sultan lewat perjuangan sengit dapat meloloskan diri tetapi Jonang Buncit dan
Berakim Panjang, dua orang panglimanya gugur. Belanda tidak mengendorkan tekanannya
pada sultan dan pasukannya. Namun demikian, Sultan Thaha Syaifuddin tidak pernah
tertangkap oleh pasukan musuh. Sebagian besar hidupnya adalah perjuangan melawan
Belanda sampai ia tutup usia di Muara Tebo pada tanggal 26 April 1904 dalam usia 88
tahun.
Kesimpulan salah seorang ahli militer, mengatakan bahwa bila pasukan gerilya dapat
bertahan lebih dari lima tahun berarti mereka didukung oleh rakyat. Sultan Thaha mampu
bertahan hampir lima puluh tahun menghadapi Belanda, meskipun pada akhir hidupnya
perlawanannya tidak efektif lagi. Hal itu terjadi karena dukungan seluruh rakyat dan
kerabat kerajaan yang bersatu melawan penjajah. Namun, dukungan dan semangat
persatuan saja belum cukup untuk menjaga kemerdekaannya itu tanpa peralatan tempur
yang memadai. Peralatan tempur itu yang tidak dimiliki oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Ia
dan pengikutnya telah bergerilya melawan penjajah dengan persenjataan yang minim dan
sederhana. Namun, semangat kecintaan terhadap bangsa dan kebencian akan penjajahan
membuat kekuatannya mampu bertahan selama hampir 50 tahun. Di tanah Jambi, Sultan
Thaha tak pernah mati. Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Jambi.
Setelah gugurnya Sultan Thaha, Belanda menguasai wilayah Jambi sepenuhnya. Tahun
1906, Belanda mulai membentuk administrasi pemerintahan di Jambi. Hal ini berarti
bahwa Jambi yang sebelumnya ditangani oleh Keresidenan Palembang, menjadi
keresidenan sendiri. Sebagai residen Jambi yang pertama adalah O.L. Helfrich, sebelumnya
dia menjabat sebagai Asisten Residen Palembang.
Susunan pemerintahan Jambi pada zaman Belanda masih memperhatikan susunan adat
seperti di zaman kesultanan, namun disertai dengan beberapa penyesuaian, disesuaikan
dengan politik jajahannya. Singkatnya, pemerintahan Jambi di era penjajahan Belanda
berturut-turut dari level teratas sampai terbawah adalah Residen-Kontrolir-Demang-
Asisten Demang-Kepala Adat/Pasirah-Penghulu/kepala dusun-Rakyat.
Rakyat Jambi tidak sepenuhnya mengakui pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini terbukti
dengan adanya perlawanan, yaitu, perang Sarikat Abang yang terjadi pada tahun 1916.
Perlawanan ini dapat dihentikan Belanda dan tokoh-tokoh perlawanannya disidangkan
dalam suatu pengadilan yang dinamakan Pengadilan Rapat Besar Istimewa. Tokoh-tokoh
perlawanan tersebut kemudian dibuang ke Digul, Ternate, dan Nusa Kambangan.
Setelah peristiwa pembangkangan tersebut, Belanda semakin memperketat ruang gerak
rakyat dengan mengadakan pembatasan-pembatasan berbagai kegiatan perkumpulan dan
organisasi politik. Akibatnya, semua perkumpulan dan organisasi politik vakum dan
akhirnya mati. Jambi, akhirnya menjadi daerah yang kosong dari organisasi politik.
Larangan Belanda tersebut ternyata tidak hanya pada organisasi politik, melainkan
melebar pada dunia pendidikan. Belanda melarang rakyat Jambi untuk bersekolah atau
mendirikan sekolah. Setelah beberapa tokoh memperjuangkan pendirian sekolah, seperti
yang dilakukan oleh H. Nawawi, H.M. Chatib A.T. Hanafiah, akhirnya ada juga beberapa
sekolah yang berdiri, namun dengan pengawasan yang sangat ketat.
Karena ada pengaruh dari Jawa, tahun 1939 lahir beberapa partai politik di Jambi. Adanya
partai politik ini membuka mata masyarakat Jambi bahwa mereka harus berjuang
mencapai kemerdekaan. Kesadaran ini juga muncul karena, melalui partai-partai ini,
mereka mengetahui bahwa di Eropa sedang terjadi peperangan sehingga terdapat ruang
bagi rakyat di negeri jajahan untuk bangkit.
Harapan untuk merdeka dan hidup sejahtera semakin besar ketika Jepang mendarat di
Jambi. Rakyat tertipu dengan propaganda “Sang Saudara Tua” yang mengatakan bahwa
mereka akan memberi kemakmuran. Namun janji Jepang tersebut ternyata tidak dilakukan.
Alih-alih mensejahterakan rakyat Jambi, Jepang menerapkan pemerintahan yang kejam.
Bahan pangan yang dimiliki rakyat dirampas, dan sebagian rakyat dijadikan romusha.
Kegiatan politik rakyat dilarang, bahkan dalam kegiatan sehari-hari pun selalu dimata-
matai oleh tentara Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Indonesia merdeka, tanggal 17
Agustus 1945.
Di awal kemerdekaan, Jambi yang waktu itu berbentuk keresidenan, tidak pernah tenang.
Kondisi ini disebabkan oleh adanya berbagai rongrongan keamanan, yaitu, dari Belanda
yang berkeinginan menjajah kembali. Tanggal 28 Desember 1948, Belanda membombardir
Jambi. Residen dan staf pemerintahan menyingkir ke dusun Rantaumajo.
Sementara itu para pejuang melakukan perlawanan sengit terhadap Belanda. Dalam
peperangan itu, banyak pejuang Jambi yang gugur dan ditawan. Peperangan itu berakhir
dengan dicapainya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Belanda kemudian
membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berisikan banyak negara bagian. Namun
bentuk negara serikat ini tidak lama karena rakyat Indonesia tidak setuju dengan bentuk
negara serikat dan berkeinginan untuk kembali kebentuk kesatuan. Akhirnya pada tanggal
17 Agustus 1950, Republik Indonesia kembali berdiri.
Setelah Jambi menjadi provinsi, terpisah dari provinsi lama, yaitu, provinsi Sumatera
Tengah, rakyat dan pemerintah Jambi mulai menata administrasi pemerintahannya. Namun
Jambi tidak bisa langsung melakukan pembangunan karena adanya beberapa
pemberontakan, yaitu, PRRI dan PKI. Baru setelah G30S/PKI dapat ditumpas, Jambi mulai
dapat melakukan pembangunan. Kemajuan pembangunan Jambi mulai terlihat pada tahun
1968-1974. Selanjutnya Jambi terus melakukan pembangunan seiring dengan program
pembangunan yang dicanangkan pemerintah pusat. Lancarnya pembangunan ini terkait
erat dengan terjaminnya keamanan sehingga membuat iklim dunia usaha semakin
kondusif.

POLITIK ISLAM PADA MASA KOLONIAL BELANDA


Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 pemerintah Belanda mengambil alih
kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam
Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang
dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para
penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia
pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Sistem tanam paksa ini adalah salah satu kebijakan yang
diterapkan Hindia Belanda kepada masyarakat Indonesia secara umum.
Meskipun di Jawa pemberontakan besar-besaran di bawah panji Islam telah berhenti setelah
perang diponogoro, frekuensi pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam setempat
makin meningkat,[6] sehingga pemerintah Hindia Belanda dengan demikian mengaharuskan
membuat arah politik baru tentang masalah-masalah-masalah Islam.
Berdasar latar belakan itulah, pada tahun 1889 seorang negarawan kolonial Belanda "Snouck
Hurgronje" (dalam makalah ini dituli SH) yang mengetahui secara mendalam tentang Islam
diangkat menjadi penasehat untuk masalah-masalah arab pribumi. Pemahaman Snouck
Hurgronje tentang hakikat Islam di Indonesia sangat membantu terhadap keberhasilan Hindia
Belanda  untuk mengarahkan kebijakan politiknya terhadap Islam.
Semenjak itulah pemerintah Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje memiliki kebijakan politik
yang jelas terhadap Islam yang dikenal dengan "Islam Politiek" yaitu kebijakan pemerintah
kolonial dalam menangani Islam di Indonesia. Kebijakan tersebut antara lain:
a. Asosiasi Keagamaan
SH yang telah banyak mengetahui tentang Islam, dalam mengusulkan sebuah kebijakan
yang melawan ketakutan Belanda terhadap Islam, dengan menilai secara ralitas tempat
di dalam masyarakat Indonesia, SH selantunya menawarkan suatu sikap toleransi yang
dijabarkan dalam sikap nitral terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, atas
penjelan SH pemerintah Belanda memberikan "kebebasan beragama" termasuk
dihilangkannya rintangan naik haji ke Mekkah. Meski demikian, SH mengaskan bahwa
Islam sama sekali tidak bisa dianggap remeh baik sebagai agama maupu sebagai
kekuatan politik.
Akan tetapi, hubungan pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa dilepaskan dari
hubungan antar hubungan umat beragama (umat Islam dan kristen), hal ini terlihat jelas
pada hubungan Islam - kristen yang melatar belakangi hubungan Indonesia-Belanda.
Kaum elit Belanda yang umumnya beragama kristen ternyata tidak mampu
memperlakukan pribumi yang umumnya beragama Islam sama dengan pribumi yang
beragama kristen, umat Islam seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan
umat kristen yang dianggapnya bagian dari Eropa.
Perlakuan yang kurang nertal tersebut menimbulkan kritik tajam di kalangan umat
Islam, umat Islam memandang pemerintah kolonial melancarkan kertenisgspolitik, yaitu
kebijaksanaan kebijaksanaan yang menonjang kristenisasi.[7] hal itulah yang menjadi
salah satu sebab umat Islam (Kaum santri) selalu tidak setuju dengan pemerintah, dan
menilainya sebagai kafir.
b. Asosiasi kebudayaan
Dalam hal ini, menurut SH pertama, Belanda harus memisahkan antara Islam sebagai
agama dan Islam sebagai doktrin politik, karena makin jauh kedua hal tersebut akan
mempercepat proses kehancuran Islam. Untuk mencapai maksud teresebut pemerintah
harus menghidupkan golongan pemangku adat karena mereka ini akan menentang
Islam[8]. Kedua, Belanda juga harus mengadakan kerja sama kebudayaan Indonesia-
Belanda, hal ini dapat dicapai dengan memperalat golongan priyai yang selalu
berdekatan dengan pemerintah karena kebanyakan dari mereka menjabat sebagai
pamog praja. Ketiga, operasi meliter ke daerah pedalaman dan menindak secara
kekerasan terhadap para ulama, dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk
merekrut para santrinya  sebagai pasukan suka rela. Keempat, Terhadap orang awam,
pemerintah harus meyakinkan bahwa Belanda tidak memusuhi agama Islam dan
bahkan melindungi agama Islam. [9]
c. Asosiasi pendidikan
Dalam bidang pendidikan permerintah Hindia Belanda menempatkan Islam sebagai
saingan yang harus dihadapi, sehingga Hindia Belanda menformalasikan pendidikan
barat sebagai faktor yang akan mengahancurkan Islam di Indonesia, dalam hal ini SH
sangat optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan barat, dan
ia menganngap agama ini beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi
dengan meningkatkan taraf kemajuan primbumi. Akan tetapi pada kenyataannya,
ramalan SH tersebut malah terbalik, hal itu disebabkan munculnya ide modernisasi
Islam yang menjalar kepada umat Islam. SH ternyata juga belum memperhitungkan
kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri.[10] sehingga
dengan kebijakan tersebut, muncullah nasionalis Islam yang belajar ilmu barat
kemudian menjadi musuh bagi Belanda.
Selain itu, kesadaran bahwa pemerintah 'Hindia Belanda adalah Pemerintah kafir yang
menjajah agama mereka (khususnya tertanam di benak para santri) sebagian umat
islam indonesia (kaum santri) mengambil sikap anti Belanda.  Pesantren yang pada
waktu itu merupakan pusat pendidikan Islam mengharamkan menerima gaji guru dari
pemerintah, karena dinilainya haram. Sikap konfrotasi kaum santri tersebut dengan
segala kekuarangan dan kelemahannya berhasil mempertahankan identitas keIslaman
sehingga mengharuskan Belanda membuat kebijakan kebijakan yang mengekang umat
Islam antara lain: Pertama: ordonansi guru, yaitu suatu kebijaksanaan pemerintah
Hindia Belanda yang mengharuskan setiap guru agama Islam untuk meminta dan
memperoleh izin terlebih dahulu utnuk melaksanakan tugasnya sebagai guru agama.
[11] Kebijakan ini menibulkan banyak reaksi umat Islam baik dari kaum pribumi
maupun dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Kedua, Ordonansi sekolah liar,
kebijakan ini dikeluarkan oleh pihak Belanda karena menjalarnya pendidikan Islam
swasta yang dianggapnya mengancam pihak Belanda, dengan begitu Belanda melarang
mendirikan sekolah-sekolah tampa izin pemerintah, kebijakan ini ini mendapat kritik
keras oleh tokoh pendidikan Ki Hadjar. Partai politik turut mendukung protes tersebut
dan memperjuangkanya di Volksraad. Begitu juga dengan surat-surat kabar saat itu.
Akhirnya pada 1935, setelah dua tahun mengalami proses alot, ordonansi sekolah liar
dihapuskan.[12]
Telah disinggung diatas, bahwa pengetahuan SH tentang umat Islam di Indonesia mebuatnya
sangat optimis bahwa "kebijakan-kebijakan" yang diambilnya akan berhasil, akan tetapi
ramalan tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia duga. System politik yang pada
awalnya diarahkan untuk mematahkan peranan umat Islam dalam bidang politik, ekonomi dan
social, ditambah dengan dilancarkannya politik kristenisasi menyebabkan beragam respon
pertama umat Islam berupa usaha perbaikan agama, ekonomi, politik dan social. Wujud dari
respon tersebut antara lain timbulnya orgainisasi Islam seperti Serikat Islam 1906),
Muhammadiyah (1912), Perserikatan Ulama (1916) Persis (1923),  NU (1926), kemudian atas
prakarsa NU dan MD pada tahun 1937 dibentuk MIAI.
Munculnya organisasi tersebut salah satunya adalah disebabkan oleh ide-ide barat yang
diperkenalkan melalui kebijakan-kebijakan Hindia Belanda kepada sebagian umat Islam
Indonesia yang pada akhirnya menyebabkan gagalnya "politk Islam" Hindia Belanda itu sendiri,
Sehingga dalam hal ini berlakulah istilah "Senjata Makan Tuan". Selain itu, kegagalan "Islam
poitiek" juga disebabkan oleh sikap sebagian umat Islam (kaum santri) yang selalu menolak dan
menggunakan kebijakan - kebijakan Hindia Belanda yang dianggapnya "Kafir".

Daftar Rujukan:
Benda, Harry J. (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980

Nata, Abudin, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2007

Negara, Ahmad Mansur Surya, Menemukan Sejarah, Bandung, Mizan.,1996

Suminto, H. Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan


Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan,
Depdikbud, 1995.

Jurnal al-Hikmah, Paratai Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba, vol.1/no.2 Mei 2009

Josef H. Wenas, Identitas Politik Islam Hindia Belanda, dalam Opini kompas.com: 24
February 2011

[1] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan
Jepang : Jakarta 1980  Pustaka Jaya. Hlm 28

[2] Josef H. Wenas, Identitas Politik Islam Hindia Belanda.dalam Opini kompasia, kompas.com:
24 februari 2011
[3] Jurnal al-Hikmah, Paratai Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba, vol.1/no.2 Mei 2009. Hlm.19
[4] Abudin Nata, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakrta : Rajawali Press, 2007., hlm 234
[5]Ibid., hlm 235
[6] Harry J. benda (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya,1980., hlm 40
[7] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 23.
[8] Ahmad Mansur Surya Negara, Menemukan Sejarah, Bandung, Mizan., hlm, 140
[9] Ibid., hlm
[10] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 51
[11] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996.,hlm 51
[12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan
Pendidikan Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan, Depdikbud, hlm. 20-21.

Anda mungkin juga menyukai