Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan
ini ditaklukan oleh portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M
diambil alih oleh raja Aceh, Ali Mughayat Shah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada
di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
Dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Dhahir (688-725 H) dibentuklah
suatu konfederasi kerajaan- kerajaan Islam yang terdiri atas Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan
Islam Beunua (Tamiang) dan kerajaan Islam Samudera Pasai. Ibnu Batutah pernah
berkunjung ke kerajaan Pasai dan menuliskan catatan bahwa Kerajaan Samudera Pasai
diperintah oleh seorang raja yang sangat alim dan salih. Kerajaan ini ramai dikunjungi oleh
pera pedagang dari berbagai penjuru dunia saat itu untuk keperluan berdagang dan
menuntut ilmu agama Islam.
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul di
bawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan
Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika
Portugis di bawah pimpinan Afonso DAlbuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit di bawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan
Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri
Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam
(1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis untuk menguasai aceh dapat
ditangkis. Disisi lain Aceh juga melakukan berbagai serangan untuk menggulingkan Portugis
di Malaka, yang meghambat ekspansi Portugis di asia tenggara.
2. Perkembangan Islam di Padang Pada Masa Penjajahan
Awal masuk dan berkembangnya islam di Minangkabau menurut berita Cina dari dinasti
T’ang menyebutkan bahwa sekitar abad ke-7 M (674 M) ada kelompok orang Arab (Ta-
Shih) yang perkampungan mereka ada di pesisir barat Sumatera. Ada juga pendapat lain
yang mengatakan bahwa islam datang dan berkembang di daerah Sumatera Barat baru
sekitar akhir abad ke-14 M atau abad ke-15 M, dan islam sudah memperoleh pengaruhnya
di kerajaan besar Minangkabau. Islam masuk ke Minangkabau massuk pada abad ke-15 M
dapat di hubungkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci tentang
Siak Lenih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di Kerinci,
semasa dengan Puteri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai dan Perpatih nan Sabatang,
yang kesemuanya berada di Kerinci. Islam masauk di Minangkabau pada awalnya yaitu di
daerah Ulakan dan Pariaman yang dibawakan oelh Syeikh Burhanuddin langsung dari
Makkah. Semua penduduk Minangkabau beragama Islam, menurut Umar Yunus jika ada
orang Minangkabau yang tidak menganut Islam itu adalah suatu keganjilan. Weekers
mengemukakan bahwa semua muslim Minangkabau adalah Muslin Sunni yang bermadzhab
Syafi’i. Sumatera Barat khususnya Minangkabau merupakan daerah yang sangat berperan
dalam penyebaran cita – cita pembaruan ke daerah-daerah lain. Di daerah ini lah tanda-
tanda pertama dalam pembaruan yang pada waktu daerah lain seakan masih terasa puas
dengan praktik-praktik tradisional mereka. Proses islamisasi di Minangkabau berlangsung
intensif sejak abad ke-13 M sejak raja kerajaan Pagaruyung memegang agama Islam pada
tahun 1960 dan bergelar Sultan Alif. Tome Pires (1512-1515) mencatat keberadaan
tempat-tempat seperti Pariaman, Tiku bahkan Barus didaerah Minangkabau ada tiga raja
yang diragukan apakah beragama islam atau tidak. Berita tentang perdagangan yang
dilakukan melalui pelabuhan Pariaman, Tiku dan Barus yamng merupakan kunci utama
untuk memasuki daerah Minangkabau. Dari ketiga tempat ini dihasilkan barang-barang
perdagangan seperti emas, sutra, damar, lilin, madu, kamper, dan kapur barus. Setiap tahun
daerah tersebut di datangi oleh kapal-kapal Gujarat dua atau tiga kapal yang membawa
barang dagangnya, diantaranya yaitu pakaian. Sejak aabad ke-15 dan ke-16 hubungan
antara Sumatera Barat melalui pelabuhan-pelabuhannya dengan berbagai negeri antara
lain adalah dengan Aceh. Pada masa Iskandar Muda, Pariaman merupakan salah satu
daerah yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Aceh. Pada abad ke-17 M ada ulama
terkenal di Sumatera Barat yang merupakan salah seorang murid Abd. Al-Rauf Al-Sinkili
yang bernama Syekh Burhan Al-Din (1646-1692) di Ulakan. Ia mendirikan surau dan
Ulakan merupakan pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Tarekat Syathriyyah yang
diajarkannya tersebar di daerah Minangkabau dan ajaran Tasawufnya cenderung kepada
Syari’at dan dapat dikatakan sebagai ajaran Neosufisme. Ia dikenal di kalangan masyarakat
sebagai Tuanku Ulakan.
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Islam Melayu yang pernah berdiri di provinsi
Sumatera Barat. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat
Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari (Nagari adalah pembagian wilayah administratif
sesudah kecamatan di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Istilah nagari menggantikan
istilah desa, yang digunakan di provinsi lain di Indonesia.) yang bernama Pagaruyung, dan
juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung,
yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai
berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta
kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dā rul Qarā r Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ā lam.
Kerajaan ini mengalami keruntuhan pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya
perjanjian antara Kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan
Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Kerajaan Malayapura. Dalam prasasti
Amoghapasa disebutkan bawah kerajaan Malayapara dipimpin oleh Adityawarman yang
mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Kerajaan
kerajaan lain yang juga masuk dalam wilayah Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya
dan beberapa kerajaan atau daerah yang ditaklukan Adityawarman.
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,
dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat
Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit
dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang
menyebut dirinya Raja Pagaruyungmengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu
itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan
lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah
kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang
mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar
Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa
VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat
dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah
meninggal dunia tahun 1674 dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan
Indermasyah.
Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,
melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan
pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung
merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi
emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk
menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang
Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah
gubernur jenderal Belanda di Malaka.
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang
dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk
mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris. Namun pada tahun 1781
Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu, dan waktu itu datang utusan
dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda
dari Padang. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan
emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja
Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama. Sebelumnya pada tahun
1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang
Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai
tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian setelah pihak
Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun
mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda
ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai
pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas
Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda
peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota
kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi. Setelah terjadi
perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki
Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau
Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824
dengan Inggris.
3. Perkembangan Islam di Jambi Pada Masa Penjajahan
Provinsi Jambi dibentuk tanggal 2 Juli 1958 bersamaan dengan pembentukan Provinsi
Sumatera Barat dan Provinsi Riau. Sebelumnya Jambi merupakan salah satu daerah
keresidenan di wilayah Provinsi Sumatera Tengah. Sementara di awal kemerdekaan, hanya
ada satu provinsi di Sumatera, yaitu, provinsi Sumatera dan Jambi adalah salah satu
keresidenan di provinsi yang sangat luas itu.
Pada akhir abad ke 19 di wilayah Jambi terdapat kerajaan atau kesultanan Jambi. Tahun
1855, Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Pada saat Belanda mulai
menduduki Kesultanan Jambi, tepatnya tahun 1858, Sultan Thaha menyingkir dari keraton
dan melakukan perang gerilya. Dia gugur dalam perang melawan penjajah tahun 1904.
Sultan Thaha Syaifuddin merupakan pahlawan nasional asal Jambi. Dilahirkan pada
pertengahan tahun 1816 di Keraton Tanah Pilih Jambi. Beliau adalah sultan terakhir dari
Kesultanan Jambi. Ia merupakan putra dari Sultan M. Fachrudin dengan gelar sultan
Kramat. Nama asli Sultan Thaha adalah Sultan Raden Toha Jayadiningrat. Ketika kecil ia
biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat dan bersikap sebagai seorang bangsawan yang
rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa.
Meskipun ia terlahir dari kalangan bangsawan, ia memiliki sikap yang rendah hati, senang
bergaul dengan masyarakat dan sangat membenci Belanda. Aktivitas melawan Belanda
makin gencar sejak ia naik tahta menjadi Raja Jambi pada tahun 1855. Usahanya melawan
Belanda dilakukan dengan mengalang kekuatan masyarakat dan bekerjasama dengan raja
Sisingamangaraja.Untuk meruntuhkan kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin, Belanda
melakukan politik adu domba dengan mengangkat salah seorang putera sultan yang masih
berusia tiga tahun menjadi Putera Mahkota. Untuk mendampingi putera mahkota yang
masih muda itu diangkat dua orang wali yang memihak kepada Belanda. Namun, usaha
untuk mengadu domba itu tidak berhasil karena kerabat istana dan rakyat tetap bersikap
melawan Belanda.
Hanya satu jalan bagi Belanda untuk menghadapi sultan yaitu dengan berperang secara
ksatria. Untuk itu, Belanda mendatangkan pasukan dari Magelang lewat Semarang dan
Palembang. Untuk menumpas perlawanan dari suatu daerah, Belanda selalu mendatangkan
pasukan dari daerah lain mengingat serdadu yang berkebangsaan Belanda sangat sedikit.
Cara itu terbukti efektif untuk menindas perlawanan rakyat di berbagai wilayah Indonesia.
Pada tanggal 31 luli 1901 pasukan Belanda yang datang mendapatkan perlawanan sengit di
Surolangun. Namun, pasukan Belanda terus mengadakan pengejaran sampai ke pedalaman.
Mereka dapat menawan pasukan dan pengikut Sultan Thaha tetapi tidak berhasil
menemukan pemimpinnya. Dengan berbagai tipu muslihat Belanda dapat menemukan
tempat pertahanan para pejuang. Markas Sultan di Sungai Aro diserbu Belanda pada tahun
1904. Sultan lewat perjuangan sengit dapat meloloskan diri tetapi Jonang Buncit dan
Berakim Panjang, dua orang panglimanya gugur. Belanda tidak mengendorkan tekanannya
pada sultan dan pasukannya. Namun demikian, Sultan Thaha Syaifuddin tidak pernah
tertangkap oleh pasukan musuh. Sebagian besar hidupnya adalah perjuangan melawan
Belanda sampai ia tutup usia di Muara Tebo pada tanggal 26 April 1904 dalam usia 88
tahun.
Kesimpulan salah seorang ahli militer, mengatakan bahwa bila pasukan gerilya dapat
bertahan lebih dari lima tahun berarti mereka didukung oleh rakyat. Sultan Thaha mampu
bertahan hampir lima puluh tahun menghadapi Belanda, meskipun pada akhir hidupnya
perlawanannya tidak efektif lagi. Hal itu terjadi karena dukungan seluruh rakyat dan
kerabat kerajaan yang bersatu melawan penjajah. Namun, dukungan dan semangat
persatuan saja belum cukup untuk menjaga kemerdekaannya itu tanpa peralatan tempur
yang memadai. Peralatan tempur itu yang tidak dimiliki oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Ia
dan pengikutnya telah bergerilya melawan penjajah dengan persenjataan yang minim dan
sederhana. Namun, semangat kecintaan terhadap bangsa dan kebencian akan penjajahan
membuat kekuatannya mampu bertahan selama hampir 50 tahun. Di tanah Jambi, Sultan
Thaha tak pernah mati. Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Jambi.
Setelah gugurnya Sultan Thaha, Belanda menguasai wilayah Jambi sepenuhnya. Tahun
1906, Belanda mulai membentuk administrasi pemerintahan di Jambi. Hal ini berarti
bahwa Jambi yang sebelumnya ditangani oleh Keresidenan Palembang, menjadi
keresidenan sendiri. Sebagai residen Jambi yang pertama adalah O.L. Helfrich, sebelumnya
dia menjabat sebagai Asisten Residen Palembang.
Susunan pemerintahan Jambi pada zaman Belanda masih memperhatikan susunan adat
seperti di zaman kesultanan, namun disertai dengan beberapa penyesuaian, disesuaikan
dengan politik jajahannya. Singkatnya, pemerintahan Jambi di era penjajahan Belanda
berturut-turut dari level teratas sampai terbawah adalah Residen-Kontrolir-Demang-
Asisten Demang-Kepala Adat/Pasirah-Penghulu/kepala dusun-Rakyat.
Rakyat Jambi tidak sepenuhnya mengakui pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini terbukti
dengan adanya perlawanan, yaitu, perang Sarikat Abang yang terjadi pada tahun 1916.
Perlawanan ini dapat dihentikan Belanda dan tokoh-tokoh perlawanannya disidangkan
dalam suatu pengadilan yang dinamakan Pengadilan Rapat Besar Istimewa. Tokoh-tokoh
perlawanan tersebut kemudian dibuang ke Digul, Ternate, dan Nusa Kambangan.
Setelah peristiwa pembangkangan tersebut, Belanda semakin memperketat ruang gerak
rakyat dengan mengadakan pembatasan-pembatasan berbagai kegiatan perkumpulan dan
organisasi politik. Akibatnya, semua perkumpulan dan organisasi politik vakum dan
akhirnya mati. Jambi, akhirnya menjadi daerah yang kosong dari organisasi politik.
Larangan Belanda tersebut ternyata tidak hanya pada organisasi politik, melainkan
melebar pada dunia pendidikan. Belanda melarang rakyat Jambi untuk bersekolah atau
mendirikan sekolah. Setelah beberapa tokoh memperjuangkan pendirian sekolah, seperti
yang dilakukan oleh H. Nawawi, H.M. Chatib A.T. Hanafiah, akhirnya ada juga beberapa
sekolah yang berdiri, namun dengan pengawasan yang sangat ketat.
Karena ada pengaruh dari Jawa, tahun 1939 lahir beberapa partai politik di Jambi. Adanya
partai politik ini membuka mata masyarakat Jambi bahwa mereka harus berjuang
mencapai kemerdekaan. Kesadaran ini juga muncul karena, melalui partai-partai ini,
mereka mengetahui bahwa di Eropa sedang terjadi peperangan sehingga terdapat ruang
bagi rakyat di negeri jajahan untuk bangkit.
Harapan untuk merdeka dan hidup sejahtera semakin besar ketika Jepang mendarat di
Jambi. Rakyat tertipu dengan propaganda “Sang Saudara Tua” yang mengatakan bahwa
mereka akan memberi kemakmuran. Namun janji Jepang tersebut ternyata tidak dilakukan.
Alih-alih mensejahterakan rakyat Jambi, Jepang menerapkan pemerintahan yang kejam.
Bahan pangan yang dimiliki rakyat dirampas, dan sebagian rakyat dijadikan romusha.
Kegiatan politik rakyat dilarang, bahkan dalam kegiatan sehari-hari pun selalu dimata-
matai oleh tentara Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Indonesia merdeka, tanggal 17
Agustus 1945.
Di awal kemerdekaan, Jambi yang waktu itu berbentuk keresidenan, tidak pernah tenang.
Kondisi ini disebabkan oleh adanya berbagai rongrongan keamanan, yaitu, dari Belanda
yang berkeinginan menjajah kembali. Tanggal 28 Desember 1948, Belanda membombardir
Jambi. Residen dan staf pemerintahan menyingkir ke dusun Rantaumajo.
Sementara itu para pejuang melakukan perlawanan sengit terhadap Belanda. Dalam
peperangan itu, banyak pejuang Jambi yang gugur dan ditawan. Peperangan itu berakhir
dengan dicapainya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Belanda kemudian
membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berisikan banyak negara bagian. Namun
bentuk negara serikat ini tidak lama karena rakyat Indonesia tidak setuju dengan bentuk
negara serikat dan berkeinginan untuk kembali kebentuk kesatuan. Akhirnya pada tanggal
17 Agustus 1950, Republik Indonesia kembali berdiri.
Setelah Jambi menjadi provinsi, terpisah dari provinsi lama, yaitu, provinsi Sumatera
Tengah, rakyat dan pemerintah Jambi mulai menata administrasi pemerintahannya. Namun
Jambi tidak bisa langsung melakukan pembangunan karena adanya beberapa
pemberontakan, yaitu, PRRI dan PKI. Baru setelah G30S/PKI dapat ditumpas, Jambi mulai
dapat melakukan pembangunan. Kemajuan pembangunan Jambi mulai terlihat pada tahun
1968-1974. Selanjutnya Jambi terus melakukan pembangunan seiring dengan program
pembangunan yang dicanangkan pemerintah pusat. Lancarnya pembangunan ini terkait
erat dengan terjaminnya keamanan sehingga membuat iklim dunia usaha semakin
kondusif.
Daftar Rujukan:
Benda, Harry J. (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980
Jurnal al-Hikmah, Paratai Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba, vol.1/no.2 Mei 2009
Josef H. Wenas, Identitas Politik Islam Hindia Belanda, dalam Opini kompas.com: 24
February 2011
[1] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan
Jepang : Jakarta 1980 Pustaka Jaya. Hlm 28
[2] Josef H. Wenas, Identitas Politik Islam Hindia Belanda.dalam Opini kompasia, kompas.com:
24 februari 2011
[3] Jurnal al-Hikmah, Paratai Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba, vol.1/no.2 Mei 2009. Hlm.19
[4] Abudin Nata, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakrta : Rajawali Press, 2007., hlm 234
[5]Ibid., hlm 235
[6] Harry J. benda (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya,1980., hlm 40
[7] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 23.
[8] Ahmad Mansur Surya Negara, Menemukan Sejarah, Bandung, Mizan., hlm, 140
[9] Ibid., hlm
[10] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 51
[11] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996.,hlm 51
[12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan
Pendidikan Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan, Depdikbud, hlm. 20-21.