Anda di halaman 1dari 40

SEJARAH KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI

INDONESIA

Dosen Pengampu :

R. Cecep Lukman Yasin, M.A., Ph.D.

Disusun Oleh :

1. Mohammad Pansha Adhi Utama (19720030)


2. Hesty Maulida Eka Putry (19720028)
3. Elya Nur Hana (19720063)

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA ARAB

STUDI PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan.


Kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi
politik dan sosial budaya yang berlainan. Proses masuknya agama Islam ke
Indonesia menurut para sarjana dan para peneliti sepakat bahwa penyebaran islam
di Indonesia dilakukan secara damai. Hal ini tidak lepas dari peran para tokoh-
tokoh pembawa berita keislaman yang di dukung dengan kuatnya antusiasme
seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada zaman itu.

Pada awal kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, Kerajaan


memainkan peran penting dalam membangun peradaban islam di Indonesia.
Dimulai dari penyebaran berita keislaman melalui jalur niaga antar kerajaan.
Membuka madrasah atau pesantren untuk mempelajari agama Islam lebih dalam.
Bahkan melalui penaklukan politik yang tak bisa dihindarkan dalam kehidupan
kerajaan.

Adapun kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia tersebar dari pulau


Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Kerajaan-
kerajaan tersebut memiliki keterkaitan dalam penyebaran agama Islam. Karena
faktor kekerabatan, hubungan perdagangan, atau kunjungan dakwah untuk
memeluk Islam datang dari ulama-ulama yang lebih dahulu memeluk Islam.
Adapun Ulama’ terkenal yang menyebarkan Islam di Indonesia adalah Datuk ri
Bandang yang berasal dari tanah Sumatra dan Walisongo atau sembilan wali yang
berasal dari tanah Jawa.

Penulis merangkum beberapa cerita tentang kerajaan-kerajaan Islam yang


ada di Indonesia dari beberapa sumber, dengan harapan dapat menambah
wawasan serta pengetahuan tentang penyebaran Islam pada masa Kerajaan hingga
perlawanannya terhadap kolonial Belanda.
A. Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
1. Kerajaan Peureulak (800-1292 M.)
Kerajaan Peureulak terletak di wilayah Perlak atau (Ferlec) dalam
versi Suma Orietal, Kab. Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam.
Dikenal sebagai kerajaan Islam pada tahun 840 M. Pada awal berdirinya
kerajaan ini menganut sistem pemerintahan dan memeluk Buddha yang
rajanya merupakan garis keturunan dari Maharaja Pho Hela salah seorang
putra raja Siam. Pada tahun 173 H (800 M) dimulai lah perubahan sistem
pemerintahan yang memeluk agama Islam, pada saat itu sebuah kapal
dagang saudagar Islam dari Teluk Kembey (Gujarat) merapat di Bandar
Perlak.
Rombongan dagang tersebut dipimpin oleh nahkoda Khalifah.
Tujuan utama dari rombongan ini adalah berniaga sekaligus menyebarkan
berita islam. Dalam perkembangan selanjutnya dalam kurun waktu kurang
dari setengah abad raja dan rakyatnya telah memeluk agama Islam.
Disebutkan bahwa nahkoda Khalifah menikah kan salah satu anak buah
kepercayaanya yg bernama Ali bin Muhammad Ja’far Shadiq dengan
Tanyir Dewi adik perempuan dari syahir Wuwi yang kala itu menjabat
sebagai pemimpin pemerintahan Perlak.
Dari pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra bernama Saiyid
Maulana Abdul Aziz Syah yang kelak akan menjadi sultan pertama
Kerajaan Perlak. Gelar Alaiddin disematkan kepadanya ketika diangkat
menjadi sultan pada tahun 840M dan memperkenalkan Perlak sebagai
kesultanan islam pertama di bumi nusantara, salah satu literatur yg
disebutkan memuat informasi sejarah peradaban kerajaan ini adalah kitab
Idzharul-Haqq yang masih menuai kontroversi tentang keabsahan catatan
sejarah serta keotentikan karangannya. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana
Abdul Azis Syah memerintah hingga tahun 864 M.
Selepas pemeritahan Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Azis Syah,
tabuk kepemimpinan diteruskan oleh Sultan Alaiddin Saiyid Maulana
Abdul Rahim Syah, yang memerintah sejak 864 M hingga tahun 888 M.
Lalu di teruskan oleh Sultan Alaiddin syed Maulana Abbas syah muali
dari tahun 888 M hingga 913 M.
Setelah wafatnya Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah
tidak ada pelantikan sultan Perlak yg baru. Hal ini didasari oleh
pertentangan dan perang rakyat antara pengikuat Ahlisunnah Wal jamaah
(Sunni) dengan pengikut Syi’ah. Dua tahun setelah itu maka dilantiklah
Sayid Maulana Ali Mughayat Syah sebagai sultan Perlak selanjutnya,
namun hanya berkuasa selama 3 tahun yakni 915-918M. Pada akhir masa
pemeritahan Sultan Ali Mughayat Syah terjadi lagi pertikaian antara sunni
dan syiah. Dalam pertikaian tersebut kaum Sunni memperoleh
kemenangan, sehingga diangkatlah sultan dari kaum Sunni.
Konflik antara kaum Sunni dan syiah pun kembali terjadi pada
akhir masa pemerintahan Sultan Abdul Malik Syah. Yang diakhiri dengan
persetujuan pembagian wilayah kerajaan Perlak menjadi dua yaitu;
1) Perlak bagian pesisir dikuasai oleh kaum Syi’ah. Dipimpin oleh
Alaiddin Saiyid Maulana Syah (976-988)
2) Perlak bagian pedalaman dikuasai oleh kaum Sunni. Dipimpin Oleh
Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim syah Johan Berdaulat, (986-1023)
Kerajaan Perlak kembali bersatu sebagai sebuah kerajaan yang
utuh, setelah terjadinya peristiwa penyerangan kerajaan Sriwijaya Buddha
kepada Perlak pesisir (Syiah). Perang ini berlangsung hebat. Dalam perang
ini, Sultan perlak pesisir wafat sehingga secara keseluruhan pusat
pemerintahan Kerajaan perlak di pegang oleh Sultan Perlak pedalaman.
Perang antara Kesultanan Perlak berakhir pada tahun 1006, ketika riwijaya
mengundurkan diri untuk menghadapi kerajaan Darma Wangsa di pulau
Jawa.
Setelah berakhirnya perang tersebut Kerajaan Perlak di pimpin
oleh keturunan Sultan Malik Ibrahim Syah yang berasal dri kaum Sunni.
Sebagai berikut;
Setelah Sultan terakhir dari kerajaan Perlak wafat, Kesultanan
Perlak digabungkan dengan Kesultanan Samudera Pasai pada masa
pemerintahan sultan Muhammad Malik Al-Zahir, putra Al-Malik Al-
Saleh.1
2. Kerajaan Samudera Pasai (1267-1534 M.)
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan
kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah
Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini
adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh
Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan
Samudera di desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah
timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama
Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-Saleh adalah nama
baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam. Berkuasa lebih kurang 29 tahun.
Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan
Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh.
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar
Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285-
1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia
(Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan
Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar
Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya

1
Darmawijaya, Kesultanan Islam di Nusantara,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010) hlm. 34
digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar
Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad
adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 –
1348).
Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan
terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun
Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batutah seorang utusan dari
Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan
pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan
patihnya bergelar Amir. Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra
Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin
yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas. Menurut
sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam.
Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka
runtuhnya Samudra Pasai tidak diketahui secara jelas.
Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat
mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia
di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang,
sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin
datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga
menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India
Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi
yang cukup luas dengan kerajaan luar.
Pimpinan tertinggi kerajaan samudera pasai berada di tangan sultan
yang biasanya memerintah secara turun temurun. disamping terdapat
seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan
lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar),
seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan
laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris
Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan
beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-
pedagang asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh
kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai
penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.
Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan
penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri,
seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada.
Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan
mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di
kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai
juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang
sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra
Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka.
Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas
pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudra
Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Tahir II.
Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batulah.
Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar,
pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan
besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang
menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil
memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis
karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai
bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis
tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini
diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya
perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu
tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili
untuk menuliskan buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku
tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-
Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan
Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah
dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun
Islam di Asia Tenggara pada masa itu.
Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3
abad, dari abad ke-13 hingga 16 M. Seiring perkembangan zaman,
Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit
sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan
Aceh.2
3. Kerajaan Aceh
Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota
Bandar Aceh Darussalam. Sultan yang pertama memerintah kesultanan
aceh sekaligus pendirinya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8
September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam
menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan

2
https://www.acehprov.go.id/jelajah/read/2018/01/22/64/kerajaan-samudera-pasai.html
yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu
pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika
Kerajaan Samudera Pasai sedang dalam masa keruntuhan. Samudera Pasai
diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada
sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan
Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh
Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas
puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada
sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa,
Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).
Sultan Ali Mughayat mendirikan Kesultanan Aceh pada tahun
1496 yang pada mulanya kerajaan ini berdiri atas wilayah kerajaan lamuri.
Pemerintahaan kesultanan Aceh kemudian menundukan dan menyatukan
beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie,
Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian
dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. ari penemuan yang
dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan,
yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah
memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh
beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Keterangan mengenai keberadaaan
Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu
nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu
nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII
Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal
dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530.
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh
Darussalam hanya selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari
batu nisan Sultan Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Aceh
Darussalam ini meninggal dunia pada 12 Dzulhijah Tahun 936 Hijriah atau
bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1530 Masehi.3 Kendati masa
pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil
membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Sultan Ali Mughayat
Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kesultanan Aceh
Darussalam, antara lain :
1) Mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak
lain.
2) Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam
lain di nusantara.

3
H.Mohammad Said a., Aceh Sepanjang Abad (Medan: Waspada,1981) hlm. 157
3) Bersikap waspada terhadap kolonialisme Barat. - Menerima bantuan
tenaga ahli dari pihak luar.
4) Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya
ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat
Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku,
Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Perang saudara dalam hal perebutan
kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada
masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824). Kesultanan Aceh
Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tiga puluh kali lebih.
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap
masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh :
a. Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang
anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh.
Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
b. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh
Kadli Maiikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang,
semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
c. Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang
Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri, seperti Dewan Menteri atau
Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah
Rakyat yang diangkat.
d. Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka, seperti
Departemen Perdagangan.
e. Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan
perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana
Amirul Harb, kira-kira Departemen Pertahanan.
f. Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar
Seri Raja Panglima Wazir Mizan, seperti Departemen Kehakiman.
g. Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan
perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang
bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham,
seperti Departemen Keuangan. Selain itu terdapat berbagai pejabat
tinggi Kesultanan diantaranya
h. Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
i. Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
j. Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala
Hulubalang; seperti tugas Menteri Dalam Negeri.
k. Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-
hasil dan pengembangan hutan; seperti tugas Menteri Kehutanan.
l. Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan
sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan
gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk, seperti
tugas Sekretaris Negara.
4. Kerajaan Siak Sri Indra Putra (1723-sekarang)
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh
Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja
Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat
kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis
tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ. Sebelum
kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang
memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan
diangkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada
yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk
untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.
Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan
Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang
bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura,
terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian
dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sementara itu pucuk
pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang
bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota
Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru
dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan
Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan
Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana
sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir
Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim
Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908,
dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi
nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Pada
masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan
terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan
melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil
dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan
baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan
gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal
dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia,
beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama
kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan
menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan
Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden. Dan sejak itu
beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta.Baru pada tahun 1960
kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968.
Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama
Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada
tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan
Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik
Indonesia.Makam Sultan Syarif Kasim II terletak di tengah Kota Siak Sri
Indrapura tepatnya di samping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin. 4
5. Kerajaan Minangkabau (1600an-1900an)
Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau
yang merupakan salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi
provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya.
Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan
sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam. Munculnya
nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui
dengan pasti. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh
Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah
menjadi raja di negeri tersebut. Pengaruh Islam di Pagaruyung
berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan
guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu
murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah
Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap
pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17,
Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja
Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama
Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal
yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat
Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah", yang artinya adat.
Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama
Islam bersendikan pada Al-Quran.
Ketika Singosari runtuh, mucul Majapahit. Adityawarman
merupakan seorang pejabat di Majapahit. Suatu ketika, ia dikirim ke
4
Sejarah Kerajaan Siak Sri Indraputra, Situs resmi pemerintah kabupaten Siak
(https://siakkab.go.id/sejarah-siak)
Darmasraya sebagai penguasa daerah tersebut. Tapi kemudian,
Adityawarman justru melepaskan diri dari Majapahit. Dalam sebuah
prasasti bertahun 1347, disebutkan bahwa Aditywarman menobatkan diri
sebagai raja atas daerah tersebut. Daerah kekuasaannya disebut
Pagaruyung, karena ia memagari daerah tersebut dengan ruyung pohon
kuamang, agar aman dari gangguan pihak luar. Karena itulah, negeri itu
kemudian disebut dengan Pagaruyung. Kekuasaan raja Pagaruyung sudah
sangat lemah pada saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap
dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh,
sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka
meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung. Kerajaan ini
runtuh pada masa Perang Padri akibat konflik yang terjadi dan campur
tangan kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19.5
Dari sekian banyak kerajaan Islam di Sumatera beberapa kerajaan
diatas merupakan kerajaan islam ang paling populer. Kerajaan lain yg
belum kami sebutkan secara rinci adalah Kerajaan Indra giri, Kerajaan
Jambi, Kerajaan Palembang, Kerajaan Tulang bawang Lampung. Literatur
dari kerajaan di Sumatera dapat kita ketahui melaluibeberapa perkamen
kuno diantaranya: Kitab Idzharul Haqq, Bustan al-salatiin, Kitab Hikayat
Raja Pasai dan beberapa kitab berbahasa arab jawi yang di ulis hulu balang
kerajaan yang sengaja di simpan rapat oleh para juru kunci.
Adapun buku yang di tulis oleh Tom pierre yang berjudul Suma
orientalis hanya relevan untuk menentukan leak geografis beserta produk
dari masing-masing erajaan. Buku ini tidak menggambarkan secara rinci
kelebihan dan sepak terjang dari kerajaan-kerajaan berikut.

B. Kesultanan Islam di Kalimantan


Islam telah mulai memperkenalkan di Kalimantan oleh para pedagang
dan mubaligh Islam yang berasal dai Keling, Gujarat, Melayu, Bugis, dan
Biaju. Perkembangan Islam di Kalimantan semakin baik setelah berdirinya
Kesultanan Banjar dan Kesultanan Kutai. Dua kesultanan inilah yang
mendominasi sejarah Islam di kaasan Kalimantan
1. Kesultanan Banjar (1526-1905M.)
Menurut Hikayat Banjar, Kesultanan Banjar bermula dari konflik
Istana yang terjadi di kerajaan Daha-Hindu, antara Pangeran Tumenggung
dan Pangeran Samudera. Dalam pertikaian ini, Pangeran Samudra dapat
dikalahkan oleh Pangeran Tumenggung. Karena itu Pangeran Samudra pergi
berkelana menelusuri ke Tamban, Muhur, Baladen, Belitung dan akhirnya
sampai di Pulau Jawa dan meminta bantuan pada Kesultanan Demak, yang
ketika itu dipimpin oleh Raden Fatah. Kesultanan Demak bersedia
membantunya, tapi dengan syarat Pangeran Samudera bersedia masuk

5
Fahrul-raziy,Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra
Islam. Syarat tersebut disetujui oleh Pangeran Samudera. Dengan bantuan
balatentara Demak lengkap dengan persenjataannya, kekuatan Pangeran
Samudera begitu besar. Sehingga Pangeran Tumenggung mengurungkan
niatnya untuk berperang dan memilih jalan damai. Akhirnya, Pangeran
Samudera berhasil menjadi sultan pertama di Kesultanan Banjar. Ia diberi
gelar dengan Sultan Suriansyah. Rakyat setempat menyebutnya dengan
Panembahan Habang.
Sultan Suriansyah memerintah pada tahun 1526-1550. Pada masa
pemerintahannya wilayah Kesultanan Banjar meliputi Tabalong, Barito,
Alai, Hamandit, Balangan, Kintap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sebagau, dll.
Secara keseluruhan daerah-daerah ini terletak di di Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Sedangkan pusat
pemerintahannya berada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Sultan Suriansyah juga berusaha mengembangkan ajaran Islam di
Kalimantan. Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaannya pada
masa pemerintahan Sultan Mustain Billah, sultan Inayatullah, dan Sultan
Saidullah. Sekitar pertengahan abad ke 18 hidup seorang ulama yaitu Syaikh
Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812), yang diangkat sebagai
penasehat kesultanan. Pada saat itu pula hidup seorang ulama sufi dia adalah
Syaikh Muhammad Nafis Al-Banjari. Hadirnya ulama-ulama tersebut telah
banyak mempengaruhi Kesultanan Banjar dalam masalah hukum. Dengan
bantuan para ulama, Kesultanan Banjar berusaha menegakkan hukum Islam
dalam masalah keluarga, perkawinan, dan pidana. Secara hukum, sultan
Banjar tak hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga “Ulil Amri” bagi
seluruh rakyat Banjar. Kedudukan semacam ini sesuai dengan hukum
Islam.6
2. Kesultanan Kutai (1732-1844 M.)
Kesultanan Kutai adalah kelanjutan dari Kerajaan Hindu Kutai
Kertanegara yang sudah berdiri sejak 1300. Islam masuk ke Kalimantan
Timur pada abad ke 17 melalui dua arah, yaitu dari Kalimantan selatan,
yang berasal dari Kesultanan Banjar, dan dari arah Timur yang dibawa oleh
para pedagang Bugis-Makasar. Islam yang datang diterima baik oleh
Kerajaan Kutai kemudian berubah menjadi kesultanan pada abad ke-18.
Sultan pertama yang memerintah di Kesultanan Kutai adalah Sultan Aji
Muhammad Idris (1732-1739). Beliau syahid dalam berperang melawan
penjajah Belanda. Sepeninggal Sultan Aji Muhammad, tahta Kesultanan
Kutai direbut oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta
kesultanan. Sejak itu Aji Kado resmi menjadi Sultan Kutai dengan gelar

6
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 158-
163
Sultan Aji Muhammad Aliyuddin. Sultan ini memerintah pada tahun 1739-
1780.
Perlu diketahui bahwa di sana semula terdapat dua Kerajaan Kutai,
masing-masing adalah Kutai Martapura yang telah berdiri sejak abad ke
empat Masehi dan Kutai Kertanegara yang berdiri sekitar abad ke 13M. Pada
abad ke 17 keduanya terlibat pertempuran sengit yang menyebabkan
hancurnya Kutai Martapura Hindu. Akhirnya kedua Kutai tersebut
diintegrasikan menjadi satu yang bernama Kutai Kertanegara Ing
Martadipura.
Pertempuran antara keduanya tersebut terjadi di sekitar sungai Muara
Kaman. Dan pada saat terjadinya pertempuran, raja Kutai Kertanegara sudah
beragama Islam dengan rajanya yang bernama Pangeran Sinum Panji
Mendapa yang memerintah Kutai Kertanegara pada 1605-635 M.
Agama Islam masuk ke daerah Kalimantan Timur diperkirakan sejak
abad ke 13 atau 14 M. yakni pada masa pemerintahan Aji Wirabayan pada
tahun 1360-1420 M. Proses islamisasi ini terjadi seiring dengan terbukanya
hubungan antara kerajaan ini dengan wilayah lain atau kerajaan Islam lain,
dalam hal ini Makassar.
Kesultanan Kutai Kertanegara kemudian menjadi pusat islamisasi di
daerah Kalimantan Timur setelah rajanya masuk Islam. Sebagaimana di
daerah-daerah lain, ketika rajanya masuk Islam, maka rakyatpun segera
masuk Islam. Artinya kekuatan politik merupakan faktor penyebab bagi
mudahnya proses islamisasi di daerah tersebut.
Pengaruh agama Islam mulai menonjol di Kesultanan Kutai pada
masa pemerintahan Sultan Aji Raja Mahkota Mulia Islam yang memerintah
Kutai pada 1525-1600 M dan diteruskan oleh puteranya, Sultan Aji
Dilanggar yang memerintah pada 1600-1605.
Kesultanan Kutai di Tenggarong, akhirnya dapat dikuasai oleh
bangsa Eropa, ketika Belanda datang dari Makassar dan menyerang
Tenggarong sebagai puat Kesultanan. Tenggarong berhasil dihancurkan
Belanda pada tanggal 14 April 1844. Setelah Tenggarong jatuh ke tangan
Belanda, Sultan Muhammad Salihuddin terpaksa menandatangani perjanjian
damai, yang lebih dikenal dengan “Tepian Pandan Traktat”. Perjanjian ini
adalah akhir dari kemerdekaan Kesultanan Kutai, karena setelahnya
Kesultanan Kutai tunduk pada residen Belanda di Kalimantan yang berpusat
di Banjarmasin.7
3. Kerajaan Sukadana (1600an-1787 M.)
Seperti kerajaan-kerajaan lainnya maka nama Kerajaan Sukadana
diambil dari nama ibu kota kerajaan itu, yaitu Kota Sukadana. Hampir

7
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 166-
168
semua kerajaan kuno menggunakan nama ibu kotanya. Ingat nama-nama
Kerajaan Singhasari, Majapahit, Kutai, Demak, Pajang dan Yogyakarta serta
Surakarta. Warna Kerajaan Sukadana sendiri semula adalah Kerajaan Matan.
Dari nama Matan inilah rupanya nama Pulau Kalimantan berasal. Sejak
abad ke-16 orang Dawa juga telah mengenai dan menggunakan nama Matan,
namun lebih luas lagi dipergunakan untuk menamakan seluruh Pulau
Kalimantan.
Kerajaan Sukadana terletak di bagian barat daya Pulau Kalimantan.
Ibu Kota Sukadana merupakan pusat perdagangan intan di Kalimantan
Barat, di samping Tanjunngpura. Intan ini berasal dari Landak, yang
letaknya lebih ke pedalaman. Semua nama-nama itu terdapat dalam Kitab
Negarakertagama, sebab daerah-daerah itu juga menjadi daerah pengaruh
Majapahit.
Pada 1550 agama Islam mulai memasuki Kerajaan Sukadana.
Penyiaran Islam ke daerah kerajaan ini banyak dilakukan olen guru-guru
agama Islam (mubalig) yang berasal dari Jawa, di samping dari Malaka atau
dari Palembang. Rupanya pedagang-pedagang Islam ikut mengambil
peranan dalam penyiaran agama tersebut, mengingat kedudukan Ibu kota
Sukadana sebagai pusat perdagangan intan yang mewah itu. Pada Sekitar
1600 daerah sepanjang pantai telah dapat diislamkan seluruhnya.
Perkembangan Islam yang berkembang pesat itu berkat jasa seorang mubalig
yang bernama Syekh Syamsuddin. Raja Sukadana pada saat itu adalah
Sultan Muhammad Safiuddin yang wafat pada 1677. Semula Kerajaan
Sukadana berkedudukan sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit. Setelah
Majapahit jatuh dan digantikan oleh Kerajaan Demak, maka Kerajaan
Sukadana dengan sendirinya secara sah pula menjadi bagian dari Kerajaan
Islam Demak. Pada masa kekuasaan Demak inilah agama Islam mulai
memasuki Sukadana dan dipeluk oleh penduduknya.
Pada awal abad Ke-17 Sukadana berada di bawah kekuasaan
Surabaya. Setiap tahun Sukadana harus menyerahkan upeti kepada Surabaya
sampai Surabaya ditaklukkan oleh Mataram pada 1622. Pada perjalanan
abad ke-17, secara ekonomi Sukadana makin lama makin bebas dari Jawa,
sehingga sebenarnya Mataram tidak dapat menarik lagikeuntungan atas
penaklukannya pada 1622. Maka apabila kemudian Kerajaan Banjarmasin
menggantikan kedudukan Mataram di sana sebagai penguasa, Mataram
tidaklah merasa kehilangan. Sukadana sebagai bawahan Banjarmasin
berlangsung hingga 1787 hingga saat datangnya kekuasaan Belanda di sana.8

8
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 195-197
C. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
1. Kesultanan Demak (1478-1546)
Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak pada tahun 1478.
Setelah diangkat menjadi Sultan Demak, Raden Fatah diberi gelar Sultan
Al-Fattah Alamsyah Akbar. Sedangkan menurut sumber lain, setelah Raden
Fatah menjadi Sultan Demak, maka diberi gelar oleh Sunan Ampel dengan
nama Senapati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin
Panata Gama.9
Pada tahun 1513, Raden Fatah mengirimkan putranya sendiri,
Adipati Unus untuk memimpin pasukan Islam dari Demak dengan bantuan
dari Palembang guna menghancurkan kedudukan Portugis di Malaka.
Dalam serangan ini, Adipati Unus dilengkapi dengan 90 kapal dan 1200
orang prajurit. Tetapi, serangan yang dipimpin oleh Adipati Unus
mengalami kegagalan. Atas keberanian Adipati Unus dalam memimpin
pasukan Demak dan mengarungi laut Jawa untuk menyerang Portugis di
Malaka, maka diberi gelar Pangeran Sebrang Lor, Pangeran dari Utara.10
Setelah Adipati Unus gagal, maka Raden Fatah kembali mengutus
cucunya sendiri, Ratu Kalimayat, untuk memimpin pasukan Islam dari
Demak guna menghancurkan kedudukan Portugis di Malaka, tetapi
serangan ini kembali gagal. Ketika keinginan Raden Fatah untuk
melumpuhkan kedudukan Portugis di Malaka belum terwujud, Raden Fatah
keburu meninggal pada tahun 1518. Setelah Raden Fatah wafat, maka
jabatannya digantikan oleh Adipati Unus, namun Adipati Unus hanya
berkuasa selama 3 tahun. Sebagai penggantinya, maka diangkatlah Sultan
Trenggana, saudara Adipati Unus. Sultan Trenggono berkuasa pada tahun
1521-1564. Sultan Trenggono bercita-cita untuk mengislamkan seluruh
Tanah Jawa.11
Nasib tragis yang diderita kerajaan Islam Demak, tak ubahnya
sebagaimana kerajaan sebelumnya, Majapahit, di mana intrik intern
keluarga kerajaan menjadi faktor penyebab yang paling besar. Dengan
demikian Pendiri kerajaan ini memiliki citra negatif berupa cacat moral
karena melawan orang tuanya, bahkan merebut tahta kerajaan tersebut.
Baru beberapa saat Sultan Trenggono menduduki tahta kerajaan
Islam Demak, datang seorang muballigh dari Pasai yang baru saja
menyelesaikan studi agama di Makkah al Mukarramah. Pemuda ini pergi ke
Demak karena Malaka dan Pasai, daerah asalnya sudah berada di bawah
kekuasaan Portugis. Karena kepribadian dan kapasitas ilmunya, maka
Sultan Trenggono kemudian berkenan mengawinkannya dengan adik

9
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 64
10
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 65
11
Ibid, Hlm 65
perempuan Sultan sendiri. Pemuda tersebut adalah Syarif Hidayatullah. Di
samping menjadi adik Sultan, Syarif Hdayatullah diutus oleh Sultan
Trenggono untuk mengislamkan Jawa Barat. Pada tahun 1527, Syarif
Hidayatullah berhasil menguasai Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Setelah
kemenangan itu, maka nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta.12
Pada tahun 1546, Sultan Trenggono berusaha menguasai pelabuhan
Panarukan. Tiga bulan lamanya, Sultan Trenggono memimpin pasukan
Islam dari Demak berperang melawan penarukan yang mendapat bantuan
dari Bali. Dalam perang ini Sultan Trenggono tidak berhasil merebut
penarukan, bahkan ia sendiri wafat di penarukan. Setelah wafatnya Sultan
Trenggono, kondisi kesultanan Demak jatuh dalam konflik istana dalam
merebutkan jabatan Sultan. Akhirnya kesultanan Demak mengalami
kemunduran dan sebagai gantinya, maka lahirlah kesultanan pajang dibawah
kepemimpinan Sultan Adiwijaya alias Jaka Tingkir.13
2. Kesultanan Pengging
Raja pertama Pengging bernama Andayaningrat. Kapan Islam mulai
memasuki pedalaman tidak dapat dipastikan, namun yang jelas sesudah
abad ke-15, itupun belum dapat dikatakan berjalan lancar dikarnakan
kuatnya agama peradaban Hindu-Indonesia dalam masyarakat pedalaman.
Bahasa yang dipergunakan dalam pengantar menyiarkan agama dan
cita-cita Islam adalah Bahasa Jawa, yang berarti tidak bergantung lagi pada
Bahasa Arab. Proses pendidikan agama kuno yang berpusat pada mandala
tetap dipergunakan, hanya namanya saja dirubah menjadi pondok pesantren.
Ajaran-ajaran itu dirumuskan dalam himpunan syair-syair (tembang)
macapat yang kemudian dikenal sebagai buku-buku suluk dan primbon.
Agama Islam pedalaman ini sering disebut pula Islam Jawi
(Kejawen) atau agama Jawi mengingat semakin padunya Islam dengan
unsur-unsur asli Jawa dan mengingat pula lingkup penyebarannya di daerah
yang berkebudayaan Jawa (daerah Kejawen).
Ki Kebo Kenanga, setelah masuk Islam benar-benar dipasang dalam
kesibukan-kesibukan agama, sehingga tidak pernah ditangani kedudukan
yang diatur sebagai pemerintahan Pengging. Setelah Majapahit jatuh,
dengan sendirinya Pengging berada di bawah Demak, karena lebih
menyibukkan diri dalam kegiatan keagamaan, maka sekarang Ki Kebo
Kenanga lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging. la adalah murid
Syekh Siti Jenar. Bersama dengan tiga teman seperguruannya adalah Ki
Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan KI Ageng Ngerang ia membentuk dan
mengikrarkan ikatan persaudaraan rohani di bawah Syekh Siti Jenar.
Sultan Demak mencurigai dan memandang berbahaya terhadap
kegiatan yang dilakukan oleh penguasa Pengging ini. Kecurigaan ini tidak

12
Harun Nasution, dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 2002) Hlm 240-241
13
Darmawijaya, KesultananIslam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 65
hanya terkait dengan masalah religius, tetapi juga terkait dengan konflik,
baik Konflik intern keluarga raja, konflik kepentingan politik dan ekonomi
maupun konflik antarpemerintah pusat dan daerah serta antardaerah
pesisiran dan daerah pedalaman.
Konflik antardaerah pesisiran dan daerah pedalaman sampai pada
masa-masa kerajaan berikutnya. Konflik ini pada dasarnya bersumber pada
perbedaan sikap hidup. Daerah pesisiran yang mengutamakan kepentingan
pekerjaan (sebagai pedagang) lebih dinamis menentang menyukai ajaran
Islam yang puritan, sebaliknya pedalaman yang agraris dan senantiasa akrab
dengan alam lingkungannya lebih memilih agama Islam yang
mengutamakan mistik. Ajaran mistik (tasaswuf) Syekh Siti Jenar, Kawula-
Gusti, dianggap berbahaya karena dapat meniadakan hukum syariat. Masjid,
langgar tidak dapat didatangi orang lagi, salat tidak perlu lagi dan salat
Jumat kembali tidak ada gunanya lagi. Ajaran mistik (tasawuf) -nya kamu
berpangkal pada ana al haq.
Ajaran ini dapat mendorong seseorang untuk menolak kekuasaan
atau kewibawaan orang lain sekalipun ia raja, atau wali, dan ajarannya
dipandang menyimpang dari Islam (bidah). Kedua orang guru dan murid,
Syekh Siti Jenar dan Ki Kebo Kenanga, dianggap sebagai penghujat Allah.
Untuk mematahkan Pengging mula-mula Sultan Demak mengutus orang
kepercayaannya, Ki Wanapala, dan karena tidak berhasil kemudian
mengutus Sunan Kudus. Sementara para penguasa di Tingkir, Butuh dan
Ngerang telah bersedia menyerah, Ki Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging)
tetap mempertahankan pendiriannya dalam perang lidah tentang “ilmu
kebatinan”. Untuk tidak menghadap ke Demak. Akhirnya ia dibunuh oleh
Sunan Kudus. Karena anak laki-lakinya, Mas Krebet, satu-satunya pewaris,
masih terlalu muda, yang kelak menetap di Pajang, maka sesudah Ki Kebo
Kenanga tidak ada penguasa lagi di Pengging. Ki Kebo Kenanga adalah
Raja Pengging terakhir.14
3. Kesultanan Pajang.
Joko Tingkir yang bergelar Sultan Adiwijoyo di kerajaan Pajang
adalah raja pertama di Kesultanan Pajang. Ia adalah putera Ki Ageng
Pengging, murid tokoh antagonis Syeh Siti Jenar. Ki Ageng Pengging
adalah putera Kebo Kanigara, putera Pangeran Andayaningrat, bangsawan
Majapahit.
Setelah berhasil membunuh Aryo Penangsang maka pada tahun
1568, Adiwijaya memindahkan atribut-atribut kesultanan Demak ke Pajang.
Pengesahan Adiwijaya sebagai Sultan pertama di kesultanan Pajang
disahkan dengan suatu upacara yang dilakukan oleh Sunan Giri di Istana

14
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 165
Prapen di Gresik. Setelah diangkat menjadi Sultan pajang, maka ia diberi
gelar dengan Sultan Adiwijaya15.
Kesultanan Pajang adalah kesultanan Islam yang menggantungkan
hidupnya pada budaya agraris, karena secara geografis Pajang jauh terletak
dipedalaman Jawa. Suatu hal lagi yang perlu diperhatikan, bahwa
didirikannya kesultanan Pajang oleh Adiwijaya juga mendapatkan tantangan
dari Sunan Kudus, karena Sunan Kudus tidak mau aliran Islam yang dianut
oleh Syeh Siti Jenar hidup kembali. Model Islam yang dianut Syeh Siti
Jenar adalah model Islam pedalaman yang merupakan sinkritisme dari
ajaran Islam dengan budaya Jawa. Ajaran Islam yang dianut oleh Syeh Siti
Jenar adalah ajaran Wahdatul wujud, yang inti pokoknya adalah
”manunggaling kawulogusti”, yaitu bersatunya hamba dengan tuhan. Dan
inilah barangkali bencana yang selama ini dikhawatirkan oleh Sunan Kudus.
Pada masa pemerintahan sultan Adiwijaya, Pajang berusaha
mengembangkan kesusastraan dan kesenian Islam yang telah berkembang
pada masa kesultanan Demak. Niti Seruti adalah sajak monolistik yang
dikarang oleh pujangga Pajang, Pangeran Karanggayam.
Setelah Sultan Adiwijaya meninggal pada tahun 1587, yang
dimakamkan di Butuh, yang terletak tidak jauh di sebelah Barat Taman
Kerajaan Pajang. Makam itu hingga kini dikenal sebagai Makam Aji.16
Kesultanan Pajang kembali dilanda prahara perebutan tahta
kesultanan oleh mereka yang merasa berhak menjadi pengganti Jaka
Tingkir. Mereka itu adalah Adipati Tuban, Adipati Demak, Adipati
Araosbaya, dan putra Sultan Adiwijaya (Pangeran Benawa). Keadaan ini
tidak mampu membawa Kesultanan Pajang bertahan sebagai satu-satunya
kesultanan yang berkuasa di Jawa. Keadaan ini pula yang menyebabkan
naiknya nama Mataram sebagai pelanjut kerajaan Majapahit kesultanan
Demak dan kesultanan Pajang sebagai penguasa jawa.17
4. Kesultanan Mataram (1586-1694)
Sutawijaya berhasil membangun Mataram. Pada tahun 1586,
Sutawijaya, mengangkat dirinya sebagai Sultan Mataram. Munculnya
Sutawijaya sebagai Sultan Mataram ditentang oleh wilayah-wilayah pesisir
utara jawa. Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan ia baru menguasai
wilayah Jawa Tengah dan sebagian wilayah Jawa Timur. Setelah Sutawijaya
meninggal, posisinya sebagai Sultan Mataram digantikan oleh putranya,
Raden Mas Jolang. Setelah diangkat menjadi Sultan Mataram, Raden Mas
Jolang diberi gelar Sultan Hanyakrawati. Ia memerintah ada tahun 1602-
1613 pada masa pemerintahan raden Mas Jolang, ia hanya mampu

15
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 167
16
Ibid, Hlm 174
17
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 69
mempertahankan wilayah-wilayah kesultanan Mataram yang sudah dikuasai
oleh ayahnya. Menjelang wafatnya Raden Mas Jolang menunjuk Raden Mas
Rangsang sebagai penggantinya, tetapi kebijakannya ini bertentangan
dengan janjinya terdahulu. Mas Jolang pernah berjanji, bahwa sebagai
penggantinya adalah martapura, adik Raden Mas Rangsang. Setelah Raden
Mas Jolang meninggal para bangsawan lebih memilih menjalankan janji
Mas Jolang terdahulu, yaitu mengangkat Martapura sebagai sultan Mataram.
Tetapi, karena Martapura sakit-sakitan, maka ia tidak lama menjadi Sultan
Mataram. Setelah mendapat nasehat dari Ki Adipati mandakara, maka
Martapura menyerahkan tahta kesultanan Mataram kepada kakaknya, yaitu
Raden Mas rangsang. Setelah dilantik menjadi sultan Mataram, Raden Mas
Rangsang diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senapatio ing
Ngalaga Ngabdurrohman. Ia memerintah dikesultanan mataram dari tahun
1613-1645. Pada masa pemerintahannya, kesultanan Mataram mengalami
masa kejayaan.
Pada tahun 1616, Sultan Agung menghadapi perlawanan dari aliansi
Adipati Lasem, Tuban, Japan, Wonosobo, Pasuruan, Arisbaya, dan
Sumenep. Mereka menyerang Sultan Agung di bawah pimpinan Adipati
Surabaya dengan didampingi oleh Sunan Giri. Tetapi, serangan dari para
Adipati ini mengalami kegagalan, karena kehabisan bekal, bahkan Sultan
Agung dapat mengejar aliansi ini keluar dari Mataram dan akhirnya aliansi
mengalami kekalahan di Wirosobo (Mojokerto).
Dengan berhasilnya Sultan Agung menguasai berbagai wilayah,
maka penghalang utama bagi Sultan Agung. Dalam menyatukan pulau Jawa
di bawah Kesultanan Mataram adalah penjajah Belanda yang berkedudukan
di Batavia. Untuk melumpuhkan kekuatan kompeni Belanda, maka Sultan
Agung melancarkan serangan besar-besaran sebanyak dua kali, yatiu tahun
1628 dan tahun 1629.
Pada tahun 1628, Sultan Agung mengirimkan pasukan dari
Kesultanan Mataram untuk menguasai Batavia. Pasukan Mataram ini
dipimpin oleh Baurekso. Di bawah pimpinan Baurekso, pasukan Mataram
berhasil mengepung Batavia selama satu bulan. Baurekso meminta kepada
J.P.Coen sebagai pemimpin kompeni Belanda untuk menyerah. Tetapi J.P.
Coen tidak mau menyerah dan melakukan perlawanan. Baurekso bersama
pasukanya segera menyerbu Batavia. Dalam penyerangan itu, Bauresko
gugur sebagai syuhada. Atas keberanian Baurekso dalam serangan Batavia,
maka dinamai menjadi legenda dalam masyarakat Jawa.
Pada tahun 1633, Sultan Agung membuat kebijakan baru dalam
membudayakan Islam di Jawa, yaitu membuat kalender Jawa Islam.
Kalender Jawa dihitung berdasarkan perjalanan matahari (365 hari). Setelah
diubah, maka dihitung kalender Jawa yang ditentukan pada perjalanan bulan
(354 hari). Untuk menambah legitimasi atas kepemimpinannya, Sultan
Agung juga memakai gelar sunan. Gelar ini ia pakai setelah berhasil
menguasai Madura. Gelar sunan ketika itu hanya digunakan oleh para wali.
Artinya, Sultan Agung sudah memposisikan dirinya sebagai ulama besar
yang sederajat dengan para wali. Sultan Agung juga dikenal sebagai seorang
yang gemar pada kesusasteraan. Ia mengarang Sastra Gending, sebuah
karangan sastra yang beraliran mistik. Kemudian Sultan Agung juga
mengirim utusan ke Makkah dan utusan itu kembali pada tahun 1641
dengan membawa gelar khusus buat Sultan Agung. Gelar tersebut adalah
Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarami.
Dalam bidang hukum, Sultan Agung telah menerapkan hukum Islam
di Kesultanan Mataram. Sultan Agung yang menerapkan hukum qishas
untuk mereka yang terbukti melakukan tindakan pembunuhan. Sultan
Agung juga menerapkan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan
masalah kenegaraan, seperti perkara-perkara yang membahayakan
keselamatan Kesultanan Mataram.
Dalam upaya menegakkan hukum Islam, Sultan Agung tak hanya
bertindak sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga bertindak sebagai
pemuka agama Islam.
Sebenarnya hal ini telah disinggung di atas bahwa Sultan Agung
telah memposisikan dirinya sebagai sunan yang menguasai ilmu agama.
Demi tegaknya syiar Islam, Sultan Agung tidak hanya belajar agama, tetapi
juga menjalin kerjasama yang baik dengan para ulama. Dengan adanya
kerjasama yang baik dengan para ulama, maka Sultan Agung dapat
mempermudah kerjanya dalam menyiarkan agama kepada rakyat Mataram.
Jika rakyat Mataram sudah mengenal Islam, maka mereka akan berusaha
mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam
bidang moral dan akhlak. Jika rakyat Mataram memiliki moral dan akhlak
yang baik, maka Mataram akan tumbuh menjadi kesultanan yang aman,
damai, dan makmur. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, para ulama
yang ada di Kesultanan Mataram dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
Pertama; ulamayang masih berdarah bangsawan. Kedua; ulama yang
bekerja sebagai alat birokrasi (abdi dalem). Ketiga; ulama pedesaan yang
tidak menjadi birokrasi.
Sebagai penguasa Mataram, Sultan Agung sangat membutuhkan
para ulama karena mereka memiliki moral dan pengetahuan yang sesuai
dengan pengetahuan yang tinggi. Sultan Agung menempatkan ulama
sebagai penasihat di bidang agama, pemerintahan, dan militer. Jika ingin
membuat kebijakan, Sultan Agung selalu meminta nasehat dan
pertimbangan kepada para ulama.
Setelah Sultan Agung wafat, Kesultanan Mataram dipimpin oleh
anak Sultan Agung, Amangkurat I. Anak Sultan Agung ini memerintah pada
tahun 1645-1677. Sebagai penguasa Mataram yang baru, Sultan
Amangkurat I tidak mampu mampu melanjutkan sistem kepemimpinan
yang pernah dijalankan oleh ayahnya. Justru Sultan Amangkurat I membuat
kebijakan-kebijakan yang kontroversial, di antaranya: Pertama, tidak lagi
menghargai para ulama bahkan berusaha untuk menyingkirkannya. Kedua,
Berusaha menghapus lembaga-lembaga agama yang ada di kesultanan,
seperti menghapus Mahkamah Syariah yang telah dibentuk oleh ayahnya,
Sultan Agung. Ketiga, berusaha membatasi perkembangan Islam dan
melarang kehidupan agama mencampuri masalah kesultanan. Keempat,
Mencoba membangun kerjasama yang baik dengan penjajah Belanda yang
menjadi musuh bebuyutan ayahnya. Sebagai seorang penguasa, Amangkurat
I tidak mampu lagi bertindak sebagai Sultan Mataram yang disegani oleh
rakyatnya. Akibatnya Kesultanan Mataram jatuh ke dalam prahara yang tak
berkesudahan antara mereka yang ingin mendapatkan tahta Kesultanan
Mataram.
Pada tahun 1670, Sultan Amangkurat I mengumpulkan ulama dan
keluarganya di alun-alun Plered. Para ulama itu kemudian dibariskan dan
dibantai secara keji. Menurut laporan Van Goens ada sekitar 6.000 ulama
beserta keluarganya yang dibunuh di alun-alun Pleret tersebut. Bahkan,
sumber lain menyebutkan jumlah ulama yang dibunuh oleh Sultan
Amangkurat I lebih dari 6.000 orang.
Dalam kondisi seperti ini, Raden Kajoran, seorang ulama bangsawan
yang lebih banyak menghabiskan waktunya di pedesaan, melakukan
perlawanan. Raden Kajoran segera menyusun kekuatan yang terdiri dari
para santri dan rakyat pedesaan. Raden Kajoran juga mendapat dukungan
dari Adipati Anom, anak Sultan Amangkurat I dan Trunojoyo, bangsawan
dari Madura. Untuk memperkuat barisan, Raden Kajoran juga menikahkan
anaknya dengan Trunojoyo. Mereka bertiga telah sepakat untuk berjuang
melawan kedhaliman Sultan Amangkurat I yang telah berkuasa secara
angkuh lagi kejam. Kekuatan Raden Kajoran, Adipati Anom, dan Trunojoyo
semakin kuat ketika Karaeng Galesong, bangsawan Gowa yang tidak
menerima hasil perjanjian Bongaya, beserta dengan pasukannya untuk
membantu mereka dalam melawan Sultan Amangkurat I yang telah
bersekutu dengan Belanda. Namun dalam perkembangan selanjutnya,
Adipati Anom melakukan pengkhianatan. Adipati Anom keluar dari
aliaansi Raden Kajoran dan Trunojoyo, karena dia sudah diampuni oleh
ayahnya Sultan Amangkurat I. Sebelum Sultan Amangkurat I wafat, ia
sudah menetapkan Adipati Anom sebagai Sultan Mataram yang baru.
Setelah dilantik Adipati Anom diberi gelar Sultan Amangkurat II. Sultan
Amangkurat II segera melanjutkan usaha ayahnya untuk menjalin kerjasama
dengan Belanda. Sultan Amangkurat II berusaha untuk melakukan
rekonsiliasi dengan para ulama supaya tragedi yang menimpa ayahnya,
Sultan Amangkurat I tidak terjadi lagi. Para ulama kembali difungsikan
sebagai penasehat kesultanan. Kebijakan ini tetap dilanjutkan oleh para
penggantinya.
Walaupun, Sultan Amankurat II berhasil mengembalikan wibawa
para ulama, tetapi persoalan Mataram juga belom selesai, terutama tentang
konflik istana dan semakin kuatnya campur tangan Belanda. Setelah
wafatnya Sultan Amangkurat II, Kesultanan Mataram semakin merosot dan
campur tangan Belanda semakin menguat. Pada tahun 1816, Inggris kembali
menyerahkan Indonesia kepada Belanda. Pada 1825-1830 terjadi
perlawanan dari Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Pangeran
Diponegoro ingin kembali menyatukan Jawa di bawah panji-panji Islam,
sebagaimana yang dilakukan oleh Sultan Agung. Usaha Pangeran
Diponegoro mengalami kegagalan, karena ia berhasil ditipu oleh Belanda
dan kemudian ditangkap dan dipindahkan ke Makassar.18
5. Kesultanan Banten
Kesultanan Banten dibuat oleh Fatahillah pada Tahun 1525.
Fatahillah adalah ulama terkenal dari Pasai. Fatahillah meninggal pada
tahun 1570 di Cirebon dalam usia 80 tahun. Setelah meninggal, sosok
Fatahillah dikenal sebagai sosok yang langka, karena ia adalah seorang
ulama, penguasa, dan panglima perang.
Setelah Fatahillah meninggal, posisinya sebagai penguasa Banten
dilanjutkan oleh putranya, Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin berhasil
mengembangkan usaha penyebaran Islam sampai ke wilayah Lampung dan
sekitarnya. Bagi Banten, wilayah Lampung dan sekitarnya merupakan
penghasil lada yang paling produktif. Banten tumbuh menjadi pelabuhan
Lada terbesar di Jawa, karena banyak disinggahi para pedagang dari Cina,
India dan Eropa. Setelah meninggalnya Sultan Trenggono pada tahun 1546,
Banten di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin memisahkan diri dari
Kesultanan Demak. Sultan Hasanuddin meninggal pada tahun 1570. Setelah
meninggal, ia diberi gelar Pangeran Saba Kingking dan posisinya sebagai
Sultan Banten digantikan oleh Maulana Yusuf Panembahan Pangkalan
Gede, yang memerintah pada tahun 1570-1580.
Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf mendirikan Masjid
Agung Banten, membangun benteng yang kuat, memperluas perkampungan
dan pesawahan, serta membangun irigasi dan bendungan-bendungan. Pada
tahun 1579, ia juga berhasil menguasai Kerajaan Pakuan, benteng terakhir
pertahanan Hindu di Jawa Barat. Setelah berhasil menguasai Pakuan,
Maulana Yusuf membuat ibu kota, yaitu Banten Surasowan (Sura Saji).
Setelah meninggalnya Maulana Yusuf, Banten beberapa kali
diperintah oleh sultan yang masih anak-anak. Pengganti Maulana Yusuf
adalah putranya, Maulana Muhammad, yang baru berumur sembilan tahun.

18
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 80
Ia memerintah pada tahun 1580-1596. Maulana Muhammad wafat dalam
usia 25 tahun dan posisinya sebagai Sultan Banten digantikan oleh putranya,
Abulmufakhir Mahmud Abdulkadir, yang baru berusia lima tahun. Pada
tahun 1596 inilah, Belanda datang untuk pertama kalinya ke Banten, setelah
berlayar begitu lama dari Eropa.
Kesultanan Banten mulai bangkit kembali, ketika dipimpin oleh
Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa pada tahun 1651-1680. Cita-cita
Sultan Ageng Tirtayasa adalah mempersatukan wilayah Pasundan di bawah
kekuasaan Banten dan memajukan agama Islam. Untuk memajukan agama
Islam, Sultan Ageng Tirtayasa bekerjasama dengan ulama-ulama tasawuf
yang mumpuni, salah satunya adalah Syaikh Yusuf al-Makassari.
Syaikh Yusuf al-Makassari adalah seorang ulama tasawuf yang
terkenal. Syaikh ini lahir di Gowa pada tahun 1626. Pada tahun 1644, ia
pergi berkelana sampai di Jazirah Arabia untuk mendami ajaran Islam.
Pada tahun 1670, Syaikh Yusuf Al-Makassari kembali ke Nusantara.
Setibanya di Nusantara, Syaikh Yusuf Al-Makassari telah mendapati
kampung halamannya, Gowa, telah dikuasai oleh penjajah Belanda. Karena
itu, ia memutuskan untuk menetap di Kesultanan Banten. Di Banten,
Syaikh Yusuf Al-Makassari dijadikan menantu oleh Sultan Ageng
Tirtayasa.
Menetapnya Syaikh Yusuf Al-Makassari di Kesultanan Banten telah
menyebabkan Banten berkembang menjadi salah satu pusat pengajaran
tarekat, terutama tarekat Khalwatiyah dan Rifa'iyah.Melalui tarekat, Sultan
Ageng Tirtayasa berusaha mengasah semangat jihad rakyat Banten untuk
berjuang melawan Belanda. Di Banten, Syaikh Yusuf tidak hanya berperan
sebagai ulama tasawuf, tetapi juga tampil sebagai pejuang yang gigih
berani. Syaikh Yusuf bersama-sama dengan mertuanya, Sultan Ageng
Tirtayasa, bahu membahu dalam berjihad melawan penjajah Belanda.
Petaka Banten dimulai ketika Sultan Muda Abun Nashr Abdul Kahar
(anak Sultan Ageng Tirtayasa), yang dikenal juga dengan sebutan Sultan
Haji bermain mata dengan Belanda. Pihak Belanda mendapat keuntungan
dari sikap yang dipertunjukan oleh Sultan Haji. Belanda juga sering
melakukan tindakan-tindakan yang merugikan Kesultanan Banten. Melihat
gelagat Belanda yang tidak menguntungkan itu, Sultan Ageng Tirtayasa
menyatakan perang kepada Belanda. Namun pernyataan perang dari Sultan
Ageng Tirtayasa itu ditentang oleh putranya sendiri, yaitu Sultan Muda
Abun Nashr Abdul Kahar alias Sultan Haji. Sultan Ageng Tirtayasa tidak
hanya ditentang oleh Sultan Haji, tetapi pada tanggal 1 Maret 1680, ia juga
dipecat oleh Sultan Haji sebagai Sultan Banten. Sultan Tirtayasa dijadikan
tahanan istana oleh Sultan Haji. Pada tahun 1681-1682 perang terbuka
antara Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda yang bekerjasama dengan
anaknya, Sultan Haji berlangsung sengit. Pada tahun 1683, Sultan Ageng
Tirtayasa menyerah kepada Belanda dibawa ke Batavia. Ia wafat pada tahun
1695 dalam penahanan di Batavia.
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa menyerah, perjuangan rakyat Banten
tetap dilanjutkan oleh menantunya, Syaikh Yusuf Al-Makassari yang
dibantu oleh Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul. Pada tanggal 14
Desember 1983, dengan menggunakan cara muslihat, penjajah Belanda
berhasil menangkap Syaikh Yusuf Al-Makassari bersama
pasukannya.cSetelah ditangkap, Syaikh Yusuf Al-Makassari dibuang ke
Ceylon (Sri Langka). Kharisma Syaikh Yusuf yang sangat besar membuat
penjajah Belanda membutuhkan tempat memindahkan dari tempat
pembuangan dari Ceylon ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Syaikh
Yusuf dibuang ke Tanjung Harapan pada tahun 1694, dalam usia 68 tahun.
6. Kesultanan Cirebon (1524-1802)
Kesultanan Cirebon ditetapkan oleh (1524) Fatahillah (ipar dari
Sutan Trenggana), karena mengawini saudara perempuan Raja Demak.
Setelah berhasil merebut Banten sebagai pangkal tolak pengislaman di Jawa
Barat, maka Fatahillah segera merebut dan mengislamkan seluruh pantai
utara Jawa Barat sampai Cirebon. Sunda Kelapa, Bandar Pajajaran, yang
dapat menjadi saingan, direbut pada 1527, dan sebagian dari Banten
diberinya nama Jayakarta.19
Setelah Kesultanan Cirebon dirintis, Fatahillah mempercayakan
kepada putranya, Pangeran Pasarean sebagai Sultan Cirebon yang pertama
dan melanjutkan perjalanannya ke Banten.
Pada tahun 1552, Pangeran Pasarean meninggal. Karena itu,
Fatahillah menyerahkan Banten ke putranya, Hasanuddin. Fatahillah
kemudian kembali ke Cirebon dan wafat pada tahun 1570 di kota tersebut.
Setelah wafat, Fatahillah digantikan secara berurutan oleh Pangeran Dipati
Ratu wafat pada tahun 1650, Pangeran Dipati Anom Karbon, dan
Panembahan Girilaya. Panembahan Girilaya memiliki 3 orang, yaitu
Pangeran Martawijaya, Pangeran kartawijaya, dan Pangeran Wangsakarta.
Pada saat terjadinya perang Trunojoyo, ketiga pangeran ini sementara
berada di Mataram. Ketiganya berhasil ditangkap oleh Trunojoyo, kemudian
dibawa ke daerah Kediri. Tiga pangeran ini berhasil melarikan diri ke
Banten yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Ketiga
Pangeran ini diperintahkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk kembali ke
Cirebon dan membagi kekuasaan di Cirebon dengan adil, serta dilarang
bersahabat dengan Belanda.
Pada tahun 1681 Kesultanan Cirebon dipaksa menandatangani
perjanjian dengan Belanda. Pada tahun 1788, Cirebon bangkit melawan
Belanda di bawah pimpinan Mirsa bersama para ulama. Perlawanan ini

19
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 142-143
berhasil dipatahkan oleh Belanda. Kemudian Cirebon bangkit kembali
melawan Belanda pada tahun 1793, 1796, dan 1802. Semua perlawanan ini
tetap berhasil dilumpuhkan oleh Belanda.
7. Kesultanan Islam di Madura
Sebelum masuknya Islam, Madura berada di bawah kekuasaan
Majapahit. Setelah berdirinya Kesultanan Demak, maka Madura dijadikan
salah satu pusat islamisasi di wilayah Jawa Timur. Pada tahun 1624, Sultan
Agung dari Mataram berhasil menaklukkan Madura. Satu-satunya
keturunan raja Madura yang masih hidup adalah Raden Praseno dan Sultan
Agung membawanya ke Mataram. Setelah dewasa, Raden Praseno
dinikahkan dengan adik Sultan Agung. Kemudian Madura dipercayakan
kepada Raden Praseno dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat I (1624-
1648).20
Setelah wafatnya Sultan Agung, Kesultanan Mataram tidak lagi
memiliki kharisma sebagai penguasa tunggal di Jawa, karena pengganti
Sultan Agung melakukan kompromi dengan penjajah Belanda. Pada tahun
1674, Trunojoyo memimpin rakyat Madura melawan Sultan Mataram yang
telah bekerjasama dengan Belanda. Dalam melawan Mataram dan Belanda,
Trunojoyo dibantu oleh Banten dan laskar dari Makassar. Dalam perang ini,
Trunojoyo dan pasukannya berhasil dikalahkan oleh Belanda. Pada tahun
1679 Trunojoyo menyerahkan diri dan menyerahkan mati pada tahun 1680.
Setelah wafatnya Trunojoyo, Madura tidak mampu lagi mengadakan
perlawanan terhadap pengaruh Mataram dan Belanda. Sejak saat itu,
Madura berada di bawah pengaruh Mataram dan Belanda. Pada akhir abad
ke-19, Kesultanan Islam di Madura 18 dihapuskan oleh Belanda.21

D. Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi


1. Kerajaan Islam Makassar
Kata Makassar diambil dari nama Ibu Kota kerajaan Gowa. Cikal
bakal Kesultanan Makassar adalah Kerajaan Gowa yang didirikan oleh
Tumanurung. Adapun yang dimaksud dengan kerajaan Makassar semula
adalah dua kerajaan yang terletak di daerah ini, yaitu Gowa dan Tallo.
Karena eratnya hubungan antara kedua kerajaan tersebut maka pada
umumnya orang awam menyebutnya dengan “kerajaan Makassar”.
Pada masa pemerintahan raja Gowa VI, Tonatangka Lopi
membagikan wilayah kerajaan kepada dua orang putranya, yaitu Batara
Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Batara Gowa melanjutkan kekuasaan Gowa
sebagai Raja Gowa VII. Wilayah kekuasaannya meliputi Paccelekang,
Pattalasang, Bontomani I-Lau, Bontomani I-Raya, Tombolo dan Mangasa.
Sedang adiknya, Karaeng Loe ri Sero mendirikan kerajaan baru bernama

20
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 92
21
Ibid, Hlm 92
Kerajaan Tallo dengan wilayah kekuasaan meliputi Saumata, Pannampu,
Moncong Loe, dan Parang Loe. Dalam sejarah kedua kerajaan ini disebut
sebagai “Kerajaan Kembar”.
Pada awal abad ke-16, ketika Gowa dipimpin oleh Karaeng
Tumapa’risi’ Kallona. Raja ini memerintahkan pada tahun 1510-1546. Pada
masa pemerintahannya, Karaeng Tumapa’risi’ kallona berhasil
mempersatukan kerajaan Gowa dengan kerajaan Tallo. Setelah bergabung,
kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan Kerajaan Makassar. Karaeng
Tumapa’risi’ Kallona tidak hanya berhasil mendirikan Kerajaan Makassar,
tetapi juga berhasil memindahkan istana Kerajaan Makassar dari Tamalate
yang agraris ke Sumba Opu yang berwilayah maritim. Pindahnya pusat
kerajaan Gowa ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
Makassar cepat berkembang menjadi Kerajaan Maritim di Nusantara bagian
Timur.22
Agama islam masuk pertama kali ke kerajaan Gowa dan Bone
secara resmi sekitar tahun 1602 M atau 1603 M. Sebagai bukti bahwa islam
telah diterima adalah adanya kunjungan tiga orang guru agama Islam dari
Minangkabau kepada raja Gowa, Karaeng Kanigallo. Tiga orang guru
agama tersebut adalah Datuk ri Bandang (Abdul Makmur, Khatib Tunggal),
Datuk ri Tiro (Abdul Jawad, Khatib Bungsu) dan Datuk Patimang
(Sulaiman, Khatib Sulung).
Sultan Alauddin adalah raja Makassar pertama yang memeluk
agama Islam. Ia memimpin Makassar dari tahun 1591-1638. Nama asli dari
Sultan Alauddin adalah Karaeng Ma ‘towaya Tumamenanga Ri Agamanna.
Gelar Sultan Alauddin didapatkannya setelah masuk Islam. Pada tanggal 9
November 1607, sultan Alauddin mengeluarkan dekrit untuk menjadikan
Islam sebagai agama kerajaan dan agama masyarakat. Sultan Alauddin
menyebarkan Islam kepada kerajaan-kerajaan tetangganya di Sulawesi
Selatan, karena sebelumnya sudah ada perjanjian yang telah disepakati
bersama. Perjanjian itu berbunyi:
“… Bahwa barang siapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji
akan memberitahukan (tentang jalan yang baik itu) kepada raja-raja
sekutunya…”23
Seruan dakwah yang di syiarkan oleh Sultan Alauddin ini diterima
baik oleh Kerajaan Sawitto, kerajaan Balanipa di Mandar, kerajaan
Bantaeng, dan Kerajaan Selayar. Tetapi ajakan itu ditolak oleh tiga kerajaan
besar yang tergabung dalam ikatan kerajaan Tellumpocoe, yaitu kerajaan
Bone, Soppeng, dan Wajo. Mereka menganggap bahwa seruan dakwah
Sultan Alauddin hanyalah taktik untuk dapat melakukan hegemoni politik
dan ekonomi di seluruh Kerajaan Tellumpoccoe. Akhirnya pada tahun 1611,

22
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 95
23
Ibid, hlm 98
kerajaan Tellumpoccoe masuk Islam. Sultan tidak hanya berhasil menguasai
kerajaan Tellumpoccoe, tetapi pada masa pemerintahannya, ia berhasil
menguasai seluruh kerajaan di Sulawesi.
Setelah Sultan Alauddin wafat, beliau kemudian digantikan oleh
Sultan Malikus Said pada tahun 1639-1653. Setelah Sultan Malikus Said
meninggal, ia digantikan oleh putranya, Sultan Hasanuddin yang berkuasa
pada tahun 1653-1669. Pada masa pemerintahannya, Sultan Hasanuddin
berusaha menjaga kedaulatan dan kejayaan Kesultanan Makassar dari
cengkeraman Belanda. Bagi Belanda, Kesultanan Makassar merupakan
penghalang utama baginya untuk melakukan monopoli perdagangan
rempah-rempah di kepulauan Indonesia. Dalam sejarah tercatat beberapa
kali peperangan antara kesultanan makassar dibawah pimpinan Sultan
Hasanuddin dengan Belanda. Pada perang tahun 1660, Sultan Hasanuddin
bersedia berdamai dengan Belanda dan mengutus Karaeng Popo untuk
menandatangani perjanjian damai di Batavia.
Setelah perjanjian Batavia, Sultan kembali membangun pertahanan
dengan mengerahkan ribuan prajurit dari suku Makassar, Bone dan Soppeng
dan lain-lain. Dalam usaha mengonsolidasikan kekuatan, Sultan
Hasanuddin kehilangan satu tokoh Bugis, yaitu Arung Palakka yang
bergabung dengan Belanda. Pada tahun 1666, terjadilah perang besar-
besaran antara Kesultanan Makassar dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin
dengan Belanda. Dalam perang ini, Belanda dipimpin oleh Cornelis
Speelman. Akhirnya, Belanda dibawah pimpinan Speelman dan dibantu
Arung Palakka sebagai Bangsawan Bugis berhasil mengalahkan Sultan
Hasanuddin.
Pada tanggal 18 Oktober 1667, Sultan Hasanuddin terpaksa
menandatangani Perjanjian Bongaya. Perjanjian ini sangat merugikan
Kesultanan Makassar. Tidak puas dengan Perjanjian Bongaya, pada tahun
1668 terjadi lagi perang antara Kesultanan Makassar dengan Belanda. Pada
tanggal 24 Juni 1669, Benteng Somba Opu sebagai pertahanan terakhir
Sultan Hasanuddin berhasil dikuasai oleh Belanda. Atas keberanian dan
ketangguhan Sultan Hasanuddin dalam berperang melawan Belanda, maka
oleh Belanda, ia diberi gelar “Ayam Jantan dari Timur” (Haantjes van Het
Oosten). Setelah mengalami kekalahan, Sultan Hasanuddin dipaksa oleh
Belanda untuk menyerahkan tahta Kesultanannya kepada putranya, yaitu I
Mappasomba. Sultan Hasanuddin meninggal pada tanggal 12 Juni 1670.
Para pengganti Sultan Hasanuddin tidak mampu lagi mengangkat kejayaan
Kesultanan Makassar, karena selalu diawasi oleh Belanda.
2. Kerajaan Islam Buton
Kerajaan Buton terletak di Propinsi Sulawesi Tenggara (sekarang).
Di sebelah barat dibatasi oleh pulau Muna; sebelah utara dibatasi oleh pulau
Wowoni dan Sulawesi. Sebelah timur dibatasi oleh laut Banda dan di
sebelah selatan dibatasi oleh laut Flores.
Pada masa raja yang kelima yaitu Raja Mulahe, kerajaan Buton
berubah corak yang semula bercorak Hindu berubah menjadi corak Islam.
Orang yang berjasa menyebarkan Islam di Buton adalah seorang mubaligh
Arab yang bernama Syekh Abdul Wahid yang tiba di Buton untuk
menyiarkan Islam tahun 1527 M. atau tahun 933 H. Sebelum kedatangannya
raja tua Rade Mulahe sudah tertarik kepada Islam. Kedatangan Syekh Abdul
Wahid diterima oleh raja Mulahe sendiri dengan baik. Di istana Syekh
Abdul Wahid berbincang-bincang dengan raja Mulahe Islam secara ringkas
dan jelas.
Agama Islam sangat maju di daerah ini. Terbukti dengan
banyaknya masjid-masjid yang dibangun, terciptanya kitab-kitab tentang
islam, didirikannya perpustakaan yang berfungsi menyimpan buku-buku
agama dan juga adanya pendidikan atau pengajaran-pengajaran tentang
agama islam yang dilakukan di Masjid, masjid juga menjadi pusat
pendidikan kader, dakwah, ibadah dan pemerintahan.
Dilihat dan beberapa kontribusi yang dimainkan kerajaan Buton
dan beberapa faktor dan juga perkembangannya sampai menjadikan agama
Islam sebagai agama resmi kerajaan ini, juga didapati sumbangsih Kerajaan
Buton dan aspek politik yang memasukkan pengaruh Islam yang
termanifestasi dalam pemilihan pejabat mulai dan sultan sampai pejabat
yang paling rendah dibawahnya.
Akan tetapi sepeninggal sultan Muhammad Idrus, perkembangan
Islam mulai menurun dan menjadi awal kemunduran kesultanan Buton. Ini
disebabkan tidak ada lagi sultan-sultan yang sama seperti sebelumnya.
Sebab lain adalah berkurangnya Muballigh Islam yang dating ke Buton
karena adanya beberapa peperangan di daerah Aceh dan Sumatera. Sultan
yang terakhir adalah Sultan Muhammad Falaqi. Dan Kesultanan Buton
sekarang hanyalah menjadi sebuah monument yang dianggap penting oleh
Propinsi Sulawesi Tenggara.Setelah kedatangan Belanda ke Buton tahun
1900 keadaan perkembangan Islam di Kesultanan Buton menjadi surut.
Beberapa Sultan di tangkap, suasana kehidupan beragama merosot.
Kewajiban ibadah seperti sholat, puasa tidak patuhi lagi. Sultan terakhir
adalah Sultan Muhammad Falaqi, setelah kemerdekaan status Kesultanan
Buton menjadi bagian dan Propinsi Sulawesi Tenggara. Sekarang
Kesultanan hanya merupakan monument penting di Sulawesi Tenggara
yang di jadikan sebagai objek pariwisata. Letak kesultanan Buton berada di
puncak sebuah bukit di kota Bau-bau ibukota kabupaten Buton sekarang.
E. Kerajaan-kerajaan Islam di Maluku
1. Kerajaan Ternate
Masyhur Malamo adalah raja Ternate pertama yang memerintah
pada tahun 1257-1272. Marhum adalah Kolano Ternate yang pertama kali
masuk Islam. Ia masuk Islam setelah mendapat seruan dakwah dari seorang
pedagang asal Minangkabau yang juga murid Sunan Giri, yaitu Datu
Maulana Hussein yang datang ke Ternate pada tahun 1465. Murid Sunan
Giri ini adalah seorang mubaligh besar pada masanya. Ia memiliki
pengetahuan Islam yang luas dan dalam, ahli dalam membaca ayat-ayat Al
Qur’an, dan mahir dalam membuat kaligrafi Arab. Pada waktu senggang,
terutama di malam hari, Ia membaca Al-Qur’an dengan suara yang sangat
merdu sehingga menjadi daya tarik bagi penduduk setempat. Ia juga lihai
dalam membuat kaligrafi di atas potongan-potongan papan. Keahliannya
dalam hal agama, membaca ayat-ayat Al- Qur’an dan keindahan dan
kaligrafi nya telah menjadi sarana islamisasi di kawasan Ternate dan
sekitarnya.
Pada tahun 1486, Kolano Marhum wafat dan dimakamkan
berdasarkan syariat Islam. Marhum adalah Kolano Ternate yang pertama.
kali dimakamkan menurut syariat Islam. Setelah wafat, Kolano Marhum
digantikan oleh putranya, Zainal Abidin. Setelah berkuasa, Zainal Abidin
mengganti gelar kolano dengan sultan. Dengan demikian Zainal Abidin
adalah penguasa Ternate yang pertama kali memakai gelar Sultan. Sultan
Zainail Abidin ini memerintah pada tahun 1486 -1500.
Sultan Zainal Abidin adalah seorang sultan yang memiliki
perhatian yang besar terhadap ajaran Islam. Untuk memperdalam ajaran
Islam, pada tahun 1495, Sultan Zainal Abidin meninggalkan istananya dan
pergi berguru pada Sunan Giri di Jawa. Tidak puas memperdalam Islam di
Jawa, Sultan Zainal Abidin kemudian pergi melanjutkannya ke Malaka.
Sultan Zainal Abidin berada di Malaka, ketika wilayah itu dipimpin oleh
Sultan Alauddiri Riayat Syah. Pada masa ini, Malaka adalah pusat
perdagangan dan penyebaran Islam terbesar di Asia Tenggara.
Di daerah Jawa, Sultan Zainal Abidin dikenal dengan sebutan Raja
Bualawa, yang artinya Sultan Cengkeh, karena Sultan Zainal Abidin datang
ke Jawa membawa buah tangan berupa Cengkeh. Setelah belajar selama tiga
bulan di Pesantren Giri, Sultan Zainal Abidin kembali ke Ternate dan
membawa beberapa ulama Jawa untuk mengajarkan Islam di Ternate.
Setelah berjuang mengembangkan Ternate sebagai sebuah kesultanan yang
sangat memperhatikan ajaran Islam, pada tahun 1500 Sultan Zainal Abidin
wafat. Selanjutnya, Ternate dipimpin oleh Sultan Bayanullah, yang
memerintah padatahun 1500-1522. Di kalangan orang Barat, Sultan
Bayanullah dikenal dengan nama “Abu Lais” atau “Sultan Boleif”
Bayanullah adalah seorang sultan yang sangat pandai, terpelajar ksatria, dan
pedagang ulung.
Sebagai seorang sultan, Bayanullah melanjutkan usaha-usaha
Sultan Zainal Abidin dalam melembagakan Islam di Kesultanan Ternate.
Sultan Bayanullah telah mengeluarkan beberapa peraturan. diantaranya
adalah pembatasan poligami, larangan kumpul kebo dan pergundikan.
Sultan Bayanullah juga menerapkan hukum perkawinan Islam, meringankan
biaya dalam perkawinan, mewajibkan perempuan untuk berpakaian secara
pantas, dan mensyaratkan bobato harus beragama Islam, baik di pusat
maupun di daerah-daerah.
Pada tahun 1512, Portugis di bawah pimpinan Antonio de Abreau
sampai di Banda. Mendengar berita kedatangan armada Portugis ini, Sultan
Bayanullah segera mengutus orang kepercayaannya untuk menemui
Francisco Serrao, seorang petinggi portugis yang sedang sakit di Ambon.
Utusan Sultan Bayanullah berhasil membawa Francisco Serrao sampai di
Ternate. Ketik mendarat di Ternate, Sultan Bayanullah sendiri yang
menjemput Francisco Serrao di pelabuhan. Setelah tinggal di Ternate
Francisco Serrao berhasil meyakinkan Sultan Bayanuilah tentang
“kejujurannya” sebagai pembeli tunggal rempah-rempah dengan harga
bersaing dan syarat-syarat yang lunak. Tawaran Francisco Serrao diterima
oleh Sultan Bayanullah, Bahkan Sultan Bayanullah. Atas keberhasilah itu
Francisco Serrao segera mengabarkan kepada Raja Muda Portugis di Goa,
India. Perjanjian Sultan Bayanullah dan Francisco Serrao ini menjadi
langkah awal dan politik monopoli yang akan dijalankan Portugis di
Ternate.
Setelah berkali-kali terjadi pergantian Sultan dengan perlawanan
terhadap konflik dengan Portugis, pada masa pemerintahan Sultan
Baabullah, orang Portugis berhasil diusir dari Kesultanan Ternate. Pada
tahun 1576, Sultan Baabullah mulai mengirim orang-orang kepercayaannya
ke Ambon, Seram, Buru, Manipa, Ambalau, Kelang, dan Boano untuk
menutup wilayah ini dari segala kegiatan bisnis Portugis. Akan tetapi
Portugis kembali dengan membawa armada dengan kekuatan 15 kapal dan
memuat sekitar 2000 pasukan berlabuh di Ternate.
Pada saat itulah Sultan Baabullah dijebak oleh Portugis dan
ditahan di geladak kapal bagian bawah dengan mata tertutup dan kaki
dirantai serta disiksa hingga jatuh sakit dan akhirnya wafat. Mayat Sultan
Baabullah dipotong-potong kemudian dibuang ke laut oleh Portugis.
Menurut sumber lain, mayat Sultan Baabullah tidak dibuang ke laut, tetapi
dicincang dan diberi garam, kemudian diserahkan kepada Raja muda
portugis yang berkedudukan di Goa.
2. Kerajaan Islam di Tidore
Kesultanan Tidore bersaudara dengan Kesultanan Ternate.
Berdasarkan silsilah Kerajaan Maluku Utara, raja Tidore yang pertama,
Sahajati adalah saudara Masyhur Malamo, raja Ternate yang pertama.
Mereka adalah putra Ja’far Shadiq.
Raja Ciriliyati adalah raja Tidore yang pertama masuk Islam ia
masuk Islam setelah mendapatkan seruan dakwah dan seorang mubaligh
Arab yang bernama Syaikh Mansur. Setelah masuk Islam Raja Ciriliyati
diberi gelar Sultan Jamaluddin (1495-1512). Setelah Sultan Jamaluddin
wafat, jabatannya sebagai Sultan Tidore digantikan oleh putra sulungnya,
yaitu Sultan Mansur. Pada tahun 1521 Sultan Mansur menerima kedatangan
Spanyol di Tidore. Spanyol masuk ke di Tidore melalui Filipina. Sultan
Mansur menerima kedatangan Spanyol, karena ia kalah bersaing dalam
membangun hubungan dagang dengan Portugis.
Dua hari setelah kedatangan Spanyol, Sultan Mansur mengundang
para petinggi mereka ke istana di Mareku untuk menghadiri jamuan makan
siang. Setelah itu, Sultan Mansur memberikan izin kepada orang-orang
Portugis untuk menggelar barang dagangan di pasar. Terjadilah
perdagangan secara barter, sepotong kain merah ditukar dengan cengkeh
satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting ditukar dengan satu bokor cengkeh
dan sebagainya.
Kedatangan armada Spanyol di Kesultanan Islam Tidore mendapat
protes keras dari Portugis, karena mereka sudah terikat dengan “Perjanjian
Tordesilas” pada tahun 1494. Namun demikian, Spanyol tetap berhasil
mengumpulkan cengkeh dalam jumlah yang cukup banyak. Pada bulan
Desember 1521M , armada Spanyol bertolak menuju Eropa dari Tidore
dengan membawa muatan Cengkeh dalam jumlah yang besar.
Pada tahun 1526, Sultan Mansyur Wafat, tetapi hinga awal tahun
1529 belum ditetapkan penggantinya. Pada tahun 1526 itu juga. Armada
Spayol yang terdiri dari lima kapal dan 300 orang prajurit datang kembali di
Tidore, dan sudah tentu kedatangan Spayol mendatangkan Keemasan bagi
Portugis di Ternate.
Pada tahun 1529, putra bungsu Sultan Mansur, Amiruddin Iskandar
Zulkarnain dilantik menjadi Sultan Tidore. Pada waktu itu Amiruddin masih
kecil maka Dewan Kesultanan Tidore menunjuk Kaicil Rade sebagai
Mangkubumi. Kaicil Rade adalah seorang bangsawan yang amat terpelajar,
seorang negoisator ulung yang fasih berbahasa Spanyol dan Portugis, dan
seorang prajurit yang handal dan pemberani. Dengan demikian, Kaicil Rade
sangat disegani oleh Portugis dan Spanyol.
Pada tahun 1657, Saifuddin dilantik menjadi Sultan Tidore. Sultan
ini berkuasa hingga tahun 1689. Sultan Saifuddin adalah orang yang tenang
dalam berpikir dan hati-hati dalam bertindak. Selama 32 tahun memerintah,
tidak terbetik berita bahwa Sultan Saifuddin pernah menghunus pedang
untuk menyelesaikan suatu persoalan.
Salah satu ide Sultan Saifuddin adalah membangun kembali
Maluku berdasarkan pada empat pilar kekuasaan, yaitu Ternate, Tidore,
Bacan, dan Jailolo. Sultan Saifuddin selalu mengemukakan kepada
Gubernur Belanda di Maluku bahwa di masa lalu ada empat kekuasaan
politik yang eksis di wilayah ini. Dengan berdiri tegak di atas empat pilar
itu, wilayah Maluku selalu bersatu, aman, dan Makmur. Sultan Saifuddin
juga selalu mengingatkan kepada semua Sultan Maluku untuk mengenang
kembali masa lalu dan kejayaan wilayah ini.
Diakhir masa pemerintahannya, Sultan Saifuddin menderita
penyakit lepra. Sultan memerintah dari dalam kamar yang disediakan
khusus baginya. Namun, penyakitnya makin lama makin memburuk,
sehingga pada tanggal 2 Oktober 1687, Sultan Saifuddin wafat di istana
Kesultanan Tidore. Beberapa hari kemudian, Kaicil Seram dilantik
menggantikannya sebagai Sultan Tidore. setelah berkuasa Kaicil Seran
diberi gelar Sultan Hamzah Fahruddin.
Wafatnya Sultan Saifuddin membawa implikasi yang berat bagi
Kesultanan Tidore. Dalam kurun waktu hampir seratus tahun, Tidore tidak
lagi memiliki sultan yang setara dengan Sultan Saifuddin. Pergolakan demi
pergolakan mulai terjadi terutama di daerah-daerah seberang laut, yang
harus dihadapi oleh sultan-sultan pengganti Sultan Saifuddin.
Kesultanan Tidore diperhitungkan kembali dalam sejarah
Nusantara ketika Sultan Nuku dari Tidore bangkit melawan belanda. Sultan
Nuku memerintah di Kesultanan Tidore sejak tahun 1797 hingga ia wafat
pada tahun 1805. Pada masa pemerintahan sultan Nuku, Tidore mencapai
masa kejayaannya, yang mana wilayah kekuasaannya sampai di Papua
bagian Barat, Kepulauan Raja Ampat, Seram bagian Timur, Kepulauan Kei,
Kepulauan Aru, bahkan sampai di Kepulauan Pasifik. Menurut catatan
sejarah Tidore, bahkan Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi nama
pulau-pulau yang ia kuasai, mulai dan Mikronesia hingga Melanesia dan
kepulauan Solomon. Hingga saat ini masih didapati pulau-pulau yang
namanya memakai nama Sultan Nuku, diantaranya adalah Nuku Hifa, Nuku
Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-Lae, Nuku Fetau, dan Nuku
Nono.
Sultan Nuku berhasil menghidupkan kembali kebesaran Kesultanan
Tidore dengan kembali menguasai seluruh wilayah Tidore seutuhnya,
bahkan Sultan Nuku berhasil membawa Tidore pada puncak kejayaannya,
yang wilayah kekuasaannya sampai di Kepulauan Pasifik. Sultan Nuku Juga
berhasil menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo yang telah mati dalam
waktu yang cukup lama.
Pada tanggal 14 November 1805, Sultan Nuku wafat dalam usia 67
tahun. Dengan wafatnya Sultan Nuku, Maluku kehilangan seorang sultan
yang semasa hidupnya dikenal sebagai Jou Barakati, di kalangan orang
Inggris disapa dengan Lord of Fortune atau Sultan keberuntungan. Nuku
adalah salah seorang sultan yang sukar dicarikan padanannya di Asia
Tenggara. Selain memiliki kecerdasan dan kharisma yang kuat, Sultan Nuku
terkenal akan keberanian dan kekuatan batinnya. Sultan Nuku berhasil
mengubah Maluku yang kelam menuju Maluku yang baru, yaitu Maluku
terbebas dari segala keterikatan, ketidakbebasan, dan penindasan dari
bangsa asing.
Sepeninggal Sultan Nuku, sejarah berulang kembali. Sultan-sultan
setelah Nuku sering terlibat konflik dalam merebutkan jabatan sebagai
sultan di kisultanan Islamk Tidore. Keadaan bertambah parah dengan
adanya campur tangan kolonislis Belanda dalam setiap alih kepemimpinan
di Kesultanan Islam Tidore. Hal ini menyebabkan Kesultanan Tidore
terpuruk menjadi kesultanan yang lemah dan kembalinya hegemoni
kolonialis Belanda di kawasan Maluku.
3. Kerajaan Islam Jailolo
Kesultanan Jailolo merupakan saudara dari Kesultanan ternate dan
Tidore. Darajati adalah merupakan kolane (Raja) pertama yang berkuasa di
jailolo. Setelah Darajati secara berturur-turut yang berkuasa di Jailolo
adalah Fataruba, Tarakabun, Nyiru, Yusuf, Dias, Bantari, Sagi, dan Sultan
Hasanuddin.
Sebelum berubah menjadi kesultanan, Jailolo sering menjadi
daerah taklukan Ternate. Pada tahun 1284, Kolano Siale dan Ternate
berhasil menguasai beberapa daerah yang dikuasai Jailolo. Pada tahun 1304,
Kolano Ngara Malamo kembali menguasai beberapa wilayah kekuasaan
Jailolo. Kolano Jailolo mengalami masa damai ketika Sida Arif Malamo
dari Kolano Ternate berhasil memprakarsai Pertemuan Moti pada tahun
1322. Pada tahun 1343, Kolano Ternate Tutu Malamo, membatalkan secara
sepihak hasil Pertemuan Moti dengan melakukan penyerangan terhadap
Jailolo. Usaha-usaha penaklukan Jailolo tetap dilakukan oleh para kolano
yang berkuasa di Ternate.
Sultan Hasanuddin adalah penguasa Jailolo yang pertama
menerima Islam. Sultan Hasanuddin masuk Islam setelah mendapat seruan
dakwah dan para pedagang Melayu, karena pada waktu itu banyak para
pedagang Melayu yang tinggal di wilayah Jailolo dan sekitarnya.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berhasil membuat
beberapa kebijakan yang sangat membantu penyebaran Islam di wilayah
Kesultanan Jailolo. Pertama; apabila seorang laki-laki terbukti berzina
dengan wanita Islam maka laki-laki tersebut harus menikahkannya dan
masuk Islam. Kedua; bila ada wanita Alifuru yang kawin dengan laki-laki
muslim, maka ia harus ikut agama Suaminya. Ketiga; pelanggaran terhadap
ketentuan dan hukum resmi lainnya dapat ditebus dengan masuk Islam.
Keempat; orang-orang yang diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan
kesultanan harus beragama Islam. Dengan berbagai kebijakan tersebut,
Sultan Hasanuddin berhasil mengembangkan Islam di wilayah Kesultanan
Jailolo termasuk suku Alifuru yang tinggal di pedalaman.
Pada tahun 1521, Spanyol sampai di Tidore. Kesempatan ini
dimanfaatkan oleh Zainal Abidin Syah untuk menjalin persahabatan dengan
Spanyol untuk menghadapi Ternate. Pada tahun 1527, Sultan Sultan Zainal
Syah wafat dan putranya, Sultan Yusuf, dilantik menjadi Sultan Jailolo yang
baru. Pada tahun 1529, Katarabumi di angkat menjadi Mangkubumi
Kesultanan Jailolo. Pada tahun 1533, Sultan Yusuf wafat dan putranya,
Firus Alauddin, dilantik menjadi sultan Jailolo yang baru. Karena Firus
Alauddin masih kecil maka roda pemerintahan Kesultanan Jailolo
dijalankan oleh Katarabumi sebagai Mangkubumi. Pada tahun 1534,
Katarabumi mengambil-alih kesultanan Jailolo. Pada masa pemerintahan
Katarabumi, Jailolo berhasil membebaskan diri dan tekanan Ternate.
Pada tahun 1551, Portugis berhasil menaklukkan Jailolo.
Katarabumi sebagai penguasa Jailolo meninggalkan istana dan pada tahun
1551 itu juga, Katarabumi meninggal karena minum racun. setelah
Katarabumi meninggal, Jailolo kehilangan dinamika dan kekuatannya
sebagai sebuah kerajaan. Pada tahun 1657, Saifuddin dilantik menjadi
Sultan Tidore. Sultan ini berkuasa hingga tahun 1689.
Salah satu ide Sultan Saifuddin adalah menghidupkan kembali
kesultanan Jailolo sebagai salah satu pilar dan empat pilar Moloku Kie
Raha. Ide Sultan Saifuddin tidak bisa diwujudkan pada masa Hidupnya.
Pada tahun 1797, Sultan Nuku berhasil merebut Tidore dari Belanda.
Setelah berkuasa, sultan Nuku kembali melanjutkan ide yang digagas oleh
Sultan Saifuddin dulu, yaitu menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo.
Kerja Sultan Nuku tidak sia-sia, ia berhasil menghidupkan kembali
Kesultanan Jailolo. Sultan Nuku mengangkat Sultan Muhammad Arif Billah
sebagai Sultan Jailolo yang baru. Dengan demikian, Sultan Nuku berhasil
menghidupkan kembali Moloku Kie Raha yang berdiri diatas empat pilar
kekuasaan. yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Setelah Sultan Nuku
wafat pada tahun 1805, kawasan Maluku, Kesultanan Jailolo kembali
Lemah dan berada di bawah hegemoni Belanda.
4. Kerajaan Islam Bacan
Kesultanan Bacan adalah salah satu dari empat kesultanan
bersaudara di Moloku Kie Raha. Berdasarkan Hikayat Bacan, Kaicil Buka
alias Said Muhammad Baqir adalah Kolano Bacan yang pertama Ia adalah
anak dan pasangan Ja’far Shadiq dan Nur Sifa. Said Muhammad Baqir
berkuasa selama 10 tahun. Pada awalnya, Said Muhammad Baqir berkuasa
di puncak Gunung Makian dengan gelar Maharaja Yang Bertahta Kerajaan
Moloku Astana Bacan, Negeri Komala Besi Limau Dolik. Said Muhammad
Baqir wafat di Makian.
Pada tahun 1322, Kesultanan Bacan ikut dalam Pertemuan Moti.
Setelah Pertemuan Moti, pusat Kesultanan Bacan dipindahkan. dan Makian
ke Bacan. Pertemuan Moti berhasil menciptakan Moloku Kie Raha yang
lebih aman dan damai sekitar duapuluh tahun. Pada tahun 1343, Tulu
Malamo dilantik menjadi Kolano Ternate Setelah berkuasa, Tulu Malamo
melanggar secara sepihak hasil Pertemuan Moti dengan menguasai Pulau
Makian dan tangan Kolane Bacan. Namun demikian, Sida Hasan sebagai
Kolano Bacan yang bekerjasama dengan Kolano Tidore berhasil merebut
kembali Pulau Makian dan beberapa desa di sekitar Pulau Bacan dari tangan
Kolane Ternate, Tulu Malamo.
Kolane Bacan yang pertama menerima Islam adalah Zainal Abidin.
Setelah masuk Islam ia bergelar Sultan Zainal Abidin. Sultan ini masuk
Islam pada tahun 1521. Sultan Zainal Abidin memiliki dua orang putra,
yaitu Kaicil Bolatu dan Kaicil Kuliba. Setelah Sultan Zainal Abidin wafat,
jabatannya sebagai sultan Bacan digantikan oleh Kaicil Bolatu. Setelah
berkuasa, Kaicil Bolatu bergelar Sultan Bayanu Sirullah. Setelah Sultan
Bayanu Sirullah yang memerintah di Kesultanan Bacan adalah Sultan
Alauddin I dan setelah itu yang berkuasa adalah Sultan Muhammad Ali dan
kemudian dilanjutkan oleh Sultan Alauddin II (1660-1706).
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin II, Ternate
mengembalikan seluruh Pulau Makian kepada Bacan. Sultan Alauddin II
lalu mempercayakan adiknya, Kaicil Musa untuk menjalankan
pemerintahan di Pulau Makian. Pada masa pemerintahannya, Sultan
Alauddin II pernah melakukan perbuatan yang menghebohkan, yaitu
menjual Pulau Obi kepada kompeni Belanda seharga 800 ringgit. Setelah
Sultan Alauddin II wafat, yang berkuasa di Bacan adalah Kaicil Müsa yang
bergelar Sultan Malikiddin. Sementara itu, Pulau Makian diserahkan kepada
Kaicil Tojimlila. Setelah Sultan Malikiddin wafat, Bacan diperintah oleh
Kaicil Kie dengan gelar Sultan Nasruddin, sedangkan pemerintahan di
Pulau Makian diserahkan kepada Kaicil Lewan. Kaicil Lewan adalah
perwakilan Bacan terakhir di Pulau Makian karena setelah itu Pulau Makian
dikuasai oleh Ternate.
Sumber lain menyebutkan bahwa yang menggantikan Sultan
Alauudin bukan Kaicil Musa melainkan Sultan Musom, kakak Sultan
Alauddin II. Setelah itu, Kesultanan Bacan dipimpin oleh Sultan Mansur
yang dilantik pada tanggal 19 Juli 1683. Dalam catatan sejarah, Sultan
Mansur adalah seorang sultan yang cerdas dan memiliki kekuatan fisik yang
bagus. Di samping itu, Sultan Mansur juga terkenal sebagai ahli dalam
masalah emas sehingga ia mampu membuat berbagai perhiasan kesultanan
dan emas dan perak. Sultan Mansur memerintah dengan tegas dan berusaha
mendidik rakyatnya untuk tidak bermalas-malasan.
Setelah Sultan Mansur wafat, jabatan Sultan Bacan dipegang oleh
adiknya Musom. Musom dilantik menjadi Sultan Bacan ketika berusia 50
tahun. Setelah Musom yang berkuasa di Bacan adalah Sultan Tarafannur.
Pada masa pemerintahan Sultan Tarafannur Bacan berhasil memperoleh
lima daerah baru, yaitu Gane, Saketa Obi, Foya, dan Mafa.
Sebagaimana halnya Jailolo, Bacan juga tidak mampu memainkan
peranan penting dalam sejarah Moloku Kie Raha. Mereka selalu bisa ditekan
oleh Kerajaan Islam Ternate dan Kerajaan Islam Tidore. Maska dari itu
Setelah masuknya bangsa Eropa, khususnya Portugis dan Spanyol Bacan
juga tidak lagi mampu untuk memainkan peranan yang cukur penting dan
siginifikan. Kerajaan Islam Ternate, seperti sudah sangat diketahui,
memiliki tokoh kharismatik dan poipuler seperti Sultan Khairun dan Sultan
Baabullah. Kerajaan Islam Tidore juga telah memiliki tokoh seperti Sultan
Saifuddin Sultan Nuku. Namun, dalam catatan sejarah yang ada, Kerajaan
Islam Bacan belum diketahui apakah telah memiliki memiliki tokoh-tokoh
sekaliber Sultan Khairun Sultan Baabullah dari Kerajaan Islam Ternate,
Sultan Saifuddin, dan Sultan Nuku tersebut dari Kerajaan Islam Tidore.

F. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusa Tenggara Barat


1. Islam di Lombok dan Sumbawa
Sekitar abad ke-13, di wilayah NTB telah berdiri kerajaan
selaparang. Kerajaan ini dibangun oleh seorang pangeran dari Majapahit.
Kerajaan ini menguasai wilayah yang terdapat di Lombok Barat dan
Lombok Timur. Setelah runtuhnya Majapahit, banyak kerajaan-kerajaan
kecil memisahkan diri dari Kerajaan Selaparang, salah satunya adalah
kerajaan Pejanggik.24
Pada tahun 1640, kesultanan Makassar berhasil menguasai wilayah
ini, sehingga kerajaan Selaparang, Kerajaan Pejanggik dan kerajaan-
kerajaan kecil lainnya mengakui Kesultanan Makassar.
Di Lombok terdapat cerita tentang adanya kepercayaan “Islam
Tilu” (telu=tiga). Artinya mereka beranggapan bahwa salat dalam agama
Islam adalah tiga waktu. Tidak jelas apa ketiga salat tersebut. Pada dasarnya
ajaran Islam menegaskan adanya lima salat. Salah satu cerita menuturkan
bahwa sesampainya di Lombok, Sunan Prapen terus dengan tekun
mengajarkan rukun Islam, dan khususnnya salat lima waktu. Namun oleh
karena satu dan lain hal, beliau mendadak pulang ke Giri, Gresik sebelum
tuntas sempurna pengajaran salat lima waktu, dan terhenti ketika pengajaran
sampai pada salat ketiga.

24
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 149
Dengan terhentinya pengajaran, di masyarakat terjadi distorsi
pemahaman, bahwa salat dalam Islam hanya tiga kali. Demikianlah, maka
islamisasi Bima setidaknya juga terkait dengan proses islamisasi Lombok,
meskipun ajaran “Islam Tilu” tidak terdapat di Bima. (wallhu a’lam) 25
Perhubungan dagang antara Kerajaan Makassar dengan pulau-
pulau disebelah selatannya, merupakan saluran bagi masuknya agama Islam
ke pulau Sumbawa dan sekitarnya. Kerajaan Bima merupakan Islam
pertama di pulau Sumbawa. Sultan Salahuddin yang meninggal di Jakarta
sesudah kemerdekaan adalah raja terakhir dari Kesultanan Bima tersebut.
Seluruh penduduk asli Bima adalah penganut Islam yang setia.
Terkenal seorang penganjur Islam di Sumbawa yang hidup pada
abad ke-19 adalah Haji Ali. Ajaran-ajarannya banyak membawa perubahan-
perubahan dalam masyarakat Sumbawa, sehingga menjadikan Sumbawa
sebagai kerajaan Islam yang terkenal dengan nama Sumbawa Besar.
2. Kerajaan Islam di Bima
Agama Islam baru masuk ke Bima ketika Raja Gowa mengirimkan
para muballigh ke Bima yang terdiri dan orang-orang Tab, Bone, Luwu dan
Gowa sendiri. Ini terjadi kira-kira pada tahun 1028 H bertepatan dengan
1617 Masehi. Akhirnya pada tahun 1620 M, empat keturunan kerajaan
Bima masuk Islam dengan mengucapkan kredo kalimat syahadat disaksikan
oleh para utusan Raja Gowa. Kemudian keempat putera raja Bima tersebut
mengganti namanya dengan nama Islam. Masing-masing adalah sebagai
berikut:
1) Putera La Kai berganti nama dengan Abdul Kahir.
2) La Mbila berganti nama dengan nama Jalaluddin.
3) Bumi Jaara Sape berganti nama dengan Awaluddin.
4) Manuru Bata berganti nama dengan Sirajuddin.
Keempat putera raja ini pernah mengembara mencari ilmu ke
Gowa, Luwu dan sebagainya. Di sana ia belajar ilmu agama kepada seorang
tokoh kharismatik, Dato’ Ri Bandang, seorang ulama yang sebenarnya
berasal dan Minangkabau, Sumatera Barat. Dato’ Ri Bandang adalah murid
Sunan Giri, sebagaimana juga Sultan Ternate, Zainul Abidin. Oleh sebab itu
wajar jika kemudian ada sementara pendapat yang mengaitkan proses
islamisasi di Bima bahkan Lombok dengan posisi dan peran Sunan Prapen
(cucu Sunan Giri).
Setelah dinobatkan menjadi raja Islam Bima, maka bersama
gurunya, Dato’ Ri Bandang, Sultan Abdul Kahir menanamkan nilai-nilai
keislaman di masyarakat Bima lewat “kekuasaan” hingga akhirnya
meninggal dunia pada tanggal 14 Desember 1640 M dan dimakamkan di

25
Ahwan Mukarrom, Sejarah Islam di Indonesia 1, (Surabaya: UIN Sunan Ampel,2014) hlm 253
Tanah Taraha. Sepeninggalnya maka tampil Sultan Abdul Khoir Sirajuddin
yang memerintah Bima mulai tahun 1640 sampai dengan 1682 M.
Sebagai penerus tahta kerajaan Bima, maka hubungan bilateral
antara Bima dengan Gowa diteruskan bahkan lebih intensif. ini dilakukan
oleh sultan Abdul Khair Sirajuddin sebagai langkah membendung
supremasi Belanda yang terus mengancam eksistensi kerajaan Bima
maupun Gowa. Ia sangat tidak asing bagi raja Gowa, sebab sejak muda
sudah berguru agama Islam di Gowa. Maka dengan hubungan tersebut ia
kemudian kawin dengan puteri Gowa, menjadi saudara ipar sultan
Hasanuddin.
Bersekutunya kerajaan Bima dengan Gowa (Makassar) sungguh
sangat meresahkan Kompeni Belanda, sebab bagaimanapun juga Belanda
yang telah menetapkan perjanjian Bongaya justru semakin terancam.
Akhirnya dengan masih menanggung beban berat, yakni berhadapan dengan
penjajah Belanda, Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang telah membangun
kerajaan Islam Bima ini meninggal dunia setelah memerintah di kerajaan
Islam Bima selama 42 tahun. Sepeninggalnya, beliau digantikan puteranya,
Sultan Nuruddin Abu Bakar Syah.
Perlawanan Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang tidak bisa
dipatahkan dengan perjanjian Bongaya, (1667) perjanjian Roterdam I (1669)
dan perjanjian Roterdam II, (1674) sangat mengilhami Sultan berikutnya,
Sultan Nuruddin Abu Bakar Syah. Semangat ini di samping merupakan
karakter ayahnya, juga terwarisi dan pamannya, sultan Hasanuddin.
Walaupun memerintah dalam waktu yang relatif singkat, Sultan
Nusiruddin cukup berjasa memantapkan agama Islam dengan ajaran-
ajarannya, mendasari budaya masyarakat Bima. Ia telah memberlakukan
syareat Islam dan menetapkan para pejabat keagamaan dilengkapi dengan
jabatan Qodli dan Khatib sebagai law enforcement bagi perundang-
undangan Bima. Di dalam istana ada petugas keagamaan yang
kedudukannya sama dengan mufti. Ia juga menempatkan beberapa pejabat
negara di beberapa daerah sekaligus sebagai juru dakwah.
Walaupun Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah telah berusaha
keras membangun kembali semangat masyarakat dan infrastruktur
perekonomian Bima, akhirnya dia sendiri tidak dapat melihat hasil usahanya
yang besar itu. Dia meninggal dunia 24 Juni 1817, setelah memerintah di
kesultanan Bima mulai tahun 1773 sampai dengan 1817 M.
Pengganti berikutnya adalah Sultan Ismail Muhammad Syah,
putera mahkota yang dilantik sebagai sultan Bima pada tanggal 26
Nopember 1817 M. Dia berusaha keras meneruskan usaha Sultan Abdul
Hamid untuk memulihkan keadaan Bima yang hancur akibat bencana alam
gunung Tambora. Namun di tengah usaha yang berat itu muncul
perampokan besar-besaran akibat malaise yang berkepanjangan dan para
bajak laut, khususnya Bajak laut Pabelo.
Perampokan dan penyerangan yang ganas dan bajak laut ini baru
terhenti setelah sultan dengan kekuatan penuh menghalau mereka kembali
ke laut lewat peperangan yang sengit yang mengakibatkan terbunuhnya
pimpinan bajak laut tersebut. Sementara itu Kompeni Belanda hanya diam
melihat penderitaan ini, tanpa memberi solusi yang baik. Barangkali hal ini
dilakukan karena Belanda tengah menghadapi Perang Jawa, (Perang
Diponegoro) Perang Paderi (Perang Imam Bonjol) dan Perang
Sisingamangaraja.
Secara garis besar perang rakyat terjadi sebanyak tiga kali masing-
masing di Ngali pada tahun 1908-1909 M. Kemudian disusul Perang Dena
pada tahun 1910 dan berikutnya adalah Perang Kala pada tahun 1909-1910
M. Hampir di semua pertempuran Belanda selalu unggul, dan yang lebih
tragis lagi adalah dominasi Belanda semakin kuat. ini dibuktikan, bahwa
setelah Perang Rakyat Sara Dana Mbojo yang berasaskan Hukum Adat dan
Hukum Islam dicabut dan diganti dengan asas Hukum Hindia Belanda.
Mahkamah as Syar’iyyah dirubah dan dialihkan menjadi semacam Badan
Sosial Keagamaan.
Sepeninggal Sultan Ibrahim, tahta kesultanan Bima diduduki oleh
puteranya, Muhammad Salahuddin yang sebelumnya menjabat sebagai
TurelliDonggo. Sejak kecil ia sudah mempelajari ilmu-ilmu agama Islam
dan berbagai guru. Diantaranya adalah H.M. Siddiq, H Abdurrasyid, Haji
Abdullah dan Haji Abdul Ghani. Pengetahuan agama ini diperdalam lagi
dalam asuhan Haji Idris dan Haji Hasan Betawy serta Syeikh Abdul Wahab
as Syafi’i dan Mekkah.
Dengan melihat periode kesultanan saat mana dia berkuasa, dapat
dipastikan bahwa beliau mengendalikan kekuasaan Bima pada saat-saat
mulai bermunculannya Pergerakan-pergerakan nasional, baik yang
berasaskan Nasional semata maupun keagamaan. Dan sebagai penguasa
Bima, beliau membuka selebar-lebarnya sayap pergerakan-pergerakan ini.
Diantara organisasi pergerakan-pergerakan tersebut adalah Sarekat Islam
(SI), Muhammadiyyah, Persatuan Penuntut Ilmu (PERPI), Persatuan Islam
Bima, Partai Indonesia Raya (PARINDRA), Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagaimana kerajaan Islam Palembang dan Siak Sri Indrapura,
maka setelah Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945, Kesultanan Islam
Bima menjadi bahagian tidak terpisahkan dan Negara Republik Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 12 Juli 1951, dalam usianya yang ke 64
tahun, Sultan Muhammad Salahuddin meninggal dunia di Jakarta.
Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Karet, Tanah Abang,
Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA

Darmawijaya, 2010, Kesultanan Islam di Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-


Kautsar)

Daliman, 2012, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di


Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak)

Said Mohammad, 1981, Aceh Sepanjang Abad (Medan: Waspada)

Harun Nasution, dkk. 2002, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan)

Mukarrom Ahwan, 2014, Sejarah Islam di Indonesia 1, (Surabaya: UIN Sunan


Ampel)

https://www.acehprov.go.id/jelajah/read/2018/01/22/64/kerajaan-samudera-
pasai.html

https://kampungrison.wordpress.com/2008/08/04/kerajaan-indragiri/

Sejarah Kerajaan Siak Sri Indraputra, Situs resmi pemerintah kabupaten Siak
(https://siakkab.go.id/sejarah-siak)

Anda mungkin juga menyukai