Anda di halaman 1dari 60

SEJARAH KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI

INDONESIA

Dosen Pengampu :

R. Cecep Lukman Yasin, M.A., Ph.D.

Disusun Oleh :

1. Mohammad Pansha Adhi Utama (19720030)


2. Hesty Maulida Eka Putry (19720028)
3. Elya Nur Hana (19720063)

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA ARAB

STUDI PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Kerajaan-


kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politik dan
sosial budaya yang berlainan. Proses masuknya agama Islam ke Indonesia
menurut para sarjana dan para peneliti sepakat bahwa penyebaran islam di
Indonesia dilakukan secara damai. Hal ini tidak lepas dari peran para tokoh-tokoh
pembawa berita keislaman yang di dukung dengan kuatnya antusiasme seluruh
lapisan masyarakat Indonesia pada zaman itu.

Pada awal kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia, Kerajaan


memainkan peran penting dalam membangun peradaban islam di Indonesia.
Dimulai dari penyebaran berita keislaman melalui jalur niaga antar kerajaan.
Membuka madrasah atau pesantren untuk mempelajari agama Islam lebih dalam.
Bahkan melalui penaklukan politik yang tak bisa dihindarkan dalam kehidupan
kerajaan.

Adapun kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia tersebar dari pulau Sumatera,


Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Kerajaan-kerajaan
tersebut memiliki keterkaitan dalam penyebaran agama Islam. Karena faktor
kekerabatan, hubungan perdagangan, atau kunjungan dakwah untuk memeluk
Islam datang dari ulama-ulama yang lebih dahulu memeluk Islam. Adapun
Ulama’ terkenal yang menyebarkan Islam di Indonesia adalah Datuk ri Bandang
yang berasal dari tanah Sumatra dan Walisongo atau sembilan wali yang berasal
dari tanah Jawa.

Penulis merangkum beberapa cerita tentang kerajaan-kerajaan Islam yang ada


di Indonesia dari beberapa sumber, dengan harapan dapat menambah wawasan
serta pengetahuan tentang penyebaran Islam pada masa Kerajaan hingga
perlawanannya terhadap kolonial Belanda.
A. Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera

1. Kerajaan Peureulak
Kerajaan Peureulak terletak di wilayah Perlak atau (Ferlec) dalam versi
Suma Orietal,Kab. Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam. Dikenal sebagai
kerajaan Islam pada tahun 840 M. Pada awal berdirinya kerajaan ini menganut
sistem pemeribtahan dan memeluk Buddha yang rajanya merupakan garis
keturunan dari Maharaja Pho Hela salah seorang putra raja Siam. Pada tahun
173 H (800 M) dimulai lah perubahan sistem pemerintahan yang memeluk
agama Islam, pada saat itu sebuah kapal dagang saudagar Islam dari Teluk
Kembey (Gujarat) merapat di Bandar Perlak.
Rombongan dagang tersebut dipimpin oleh nahkoda Khalifah. Tujuan
utama dari rombongan ini adalah berniaga sekaligus menyebarkan berita
islam. Dalam perkembangan selanjutnya dalam kurun waktu kurang dari
setengah abad raja dan rakyatnya telah memeluk agama Islam. Disebutkan
bahwa nahkoda Khalifah menikah kan salah satu anak buah kepercayaanya yg
bernama Ali bin Muhammad Ja’far Shadiq dengan Tanyir Dewi adik
perempuan dari syahir Wuwi yang kala itu menjabat sebagai pemimpin
pemerintahan Perlak.
Dari pernikahan tersebut dikaruniai seorang putra bernama Saiyid
Maulana Abdul Aziz Syah yang kelak akan menjadi sultan pertama Kerajaan
Perlak. Gelar Alaiddin disematkan kepadanya ketika diangkat menjadi sultan
pada tahun 840M dan memperkenalkan Perlak sebagai kesultanan islam
pertama di bumi nusantara, salah satu literatur yg disebutkan memuat
informasi sejarah peradaban kerajaan ini adalah kitab Idzharul-Haqq yang
masih menuai kontroversi tentang keabsahan catatan sejarah serta keotentikan
karangannya. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Azis Syah memerintah
hingga tahun 864 M.
Selepas pemeritahan Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Azis Syah, tabuk
kepemimpinan diteruskan oleh Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Rahim
Syah, yang memerintah sejak 864 M hingga tahun 888 M. Lalu di teruskan
oleh Sultan Alaiddin syed Maulana Abbas syah muali dari tahun 888 M
hingga 913 M.
Setelah wafatnya Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah tidak
ada pelantikan sultan Perlak yg baru. Hal ini didasari oleh pertentangan dan
perang rakyat antara pengikuat Ahlisunnah Wal jamaah (Sunni) dengan
pengikut Syi’ah. Dua tahun setelah itu maka dilantiklah Sayid Maulana Ali
Mughayat Syah sebagai sultan Perlak selanjutnya, namun hanya berkuasa
selama 3 tahun yakni 915-918M. Pada akhir masa pemeritahan Sultan Ali
Mughayat Syah terjadi lagi pertikaian antara sunni dan syiah. Dalam
pertikaian tersebut kaum Sunni memperoleh kemenangan, sehingga
diangkatlah sultan dari kaum Sunni antara lain:
1. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat,
memerintah tahun 928 – 932 M.
2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat,
memerintah tahun 932 – 956 M.
3. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, memerintah
tahun 956 – 983 M.
Konflik antara kaum Sunni dan syiah pun kembali terjadi pada akhir
masa pemerintahan Sultan Abdul Malik Syah. Yang diakhiri dengan
persetujuan pembagian wilayah kerajaan Perlak menjadi dua yaitu;
1. Perlak bagian pesisir dikuasai oleh kaum Syi’ah. Dipimpin oleh Alaiddin
Saiyid Maulana Syah (976-988)
2. Perlak bagian pedalaman dikuasai oleh kaum Sunni. Dipimpin Oleh Makhdum
Alaiddin Malik Ibrahim syah Johan Berdaulat, (986-1023)
Kerajaan Perlak kembali bersatu sebagai sebuah kerajaan yang utuh,
setelah terjadinya peristiwa penyerangan kerajaan Sriwijaya Buddha kepada
Perlak pesisir (Syiah). Perang ini berlangsung hebat. Dalam perang ini, Sultan
perlak pesisir wafat sehingga secara keseluruhan pusat pemerintahan Kerajaan
perlak di pegang oleh Sultan Perlak pedalaman. Perang antara Kesultanan
Perlak berakhir pada tahun 1006, ketika riwijaya mengundurkan diri untuk
menghadapi kerajaan Darma Wangsa di pulau Jawa.
Setelah berakhirnya perang tersebut Kerajaan Perlak di pimpin oleh
keturunan Sultan Malik Ibrahim Syah yang berasal dri kaum Sunni. Sebagai
berikut;
1. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat, memerintah
tahun 1023-1059.
2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat, memerintah
tahun 1059-1078.
3. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat, memerintah
tahun 1078-1109.
4. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat, memerintah
tahun 1109-1135.
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat, memerintah
tahun 1135-1160.
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan Berdaulat, memerintah
tahun 1160-1173.
7. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat,
memerintah tahun 1173-1200.
8. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat, memerintah
tahun 1200-1230
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat,
memerintah tahun 1230-1267
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat,
memerintah tahun 1267-1292.
Setelah Sultan terakhir dari kerajaan Perlak wafat, Kesultanan Perlak
digabungkan dengan Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan
sultan Muhammad Malik Al-Zahir, putra Al-Malik Al-Saleh.1

2. Kerajaan Samudera Pasai


Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan
Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada
tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah
ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara.
Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di
desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur
Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan
Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah
Silu setelah ia masuk Islam. Berkuasa lebih kurang 29 tahun. Kerajaan
Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan
raja pertama Malik al-Saleh.
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar
Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 –
1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia
(Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan
Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar
Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya
digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan
Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah
Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348).
Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan
terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun
Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batutah seorang utusan dari
Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan
yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya
bergelar Amir. Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak
banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga
bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas. Menurut sejarah
Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam. Dengan
demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya
Samudra Pasai tidak diketahui secara jelas.

Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat


mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di
1
Darmawijaya, Kesultanan Islam di Nusantara,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010) hlm. 34
Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-
sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina
untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan
Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini
membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan
luar.
Pimpinan tertinggi kerajaan samudera pasai berada di tangan sultan
yang biasanya memerintah secara turun temurun. disamping terdapat seorang
sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti
Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara,
seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal
dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala
Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar
yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota
pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para
Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan
pedagang-pedagang asing.
Selain itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat
Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana.
Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar
Negeri

Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan


penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri,
seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada.
Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata
uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan
tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga
merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang
sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra
Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka.
Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas
pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudra Pasai
berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Tahir II. Hal ini
juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batulah.
Komoditi perdagangan dari Samudra yang penting adalah lada,
kapurbarus dan emas. Dan untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal
uang sebagai alat tukar yaitu uang emas yang dinamakan Deureuham
(dirham).
Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar,
pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di
kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis
yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab
yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa
Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya
disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai
(HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP
menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara.
Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-
Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku
tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-
Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan
Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan
oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia
Tenggara pada masa itu.
Berikut adalah nama-nama sultan yang memerintah di Kerajaan
Samudera Pasai:
1. Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345)
4. Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412)
8. Sultan Sallah Ad-Din yang memerintah (1412-?)
9. Sultan Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)
10.Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (1455- 1477)
11.Sultan Zain Al-‘Abidin, memerintah (1477-1500)
12.Sultan Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (1501-1513)
13.Sultan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun (1513-1524)

Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad,


dari abad ke-13 hingga 16 M.Seiring perkembangan zaman, Samudera
mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit sekitar tahun
1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.2

2
https://www.acehprov.go.id/jelajah/read/2018/01/22/64/kerajaan-samudera-pasai.html
3. Kerajaan Aceh
Kesultanan Aceh terletak di utara pulauSumatera dengan ibu kota
Bandar Aceh Darussalam. Sultan yang pertama memerintah kesultanan aceh
sekaligus pendirinya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada
pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam
sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan
sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme
bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik,
mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin
hubungan diplomatik dengan negara lain.
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika
Kerajaan Samudera Pasai sedang dalam masa keruntuhan. Samudera Pasai
diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar
abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam
pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai
lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-
kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan
Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan
Indrapura (Indrapuri).
Sultan Ali Mughayat mendirikan Kesultanan Aceh pada tahun 1496
yang pada mulanya kerajaan ini berdiri atas wilayah kerajaan lamuri.
Pemerintahaan kesultanan Aceh kemudian menundukan dan menyatukan
beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur.
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari
kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. ari penemuan yang dilacak
berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari
batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah
Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di
Kutaraja (Banda Aceh). Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh
Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata
adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan
Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan
bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun
936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530.
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam
hanya selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan
Sultan Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Aceh Darussalam ini
meninggal dunia pada 12 Dzulhijah Tahun 936 Hijriah atau bertepatan dengan
tanggal 7 Agustus 1530 Masehi.3 Kendati masa pemerintahan Sultan
Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh
3
H.Mohammad Said a., Aceh Sepanjang Abad (Medan: Waspada,1981) hlm. 157
yang besar dan kokoh. Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar
politik luar negeri Kesultanan Aceh Darussalam, antara lain :
1. Mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak lain.
2. Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di
nusantara.
3. Bersikap waspada terhadap kolonialisme Barat. - Menerima bantuan tenaga
ahli dari pihak luar.
4. Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah
makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka,
ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli,
Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan
Belanda. Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar
dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar
Alamsyah (1795-1824). Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti
sultan hingga tiga puluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah
yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
Sulthan Muda (1575)
Sulthan Sri Alam (1575-1576)
Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan 31 adalah orang yang sama )
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap
masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh :
- Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang
anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh.
Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
- Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli
Maiikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang, semacam Dewan
Perwakilan Rakyat sekarang.
- Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya
Laksamana Seri Perdana Menteri, seperti Dewan Menteri atau Kabinet kalau
sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang
diangkat.
- Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka, seperti
Departemen Perdagangan.
- Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang,
yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb,
kira-kira Departemen Pertahanan.
-Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri
Raja Panglima Wazir Mizan, seperti Departemen Kehakiman.
- Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan
perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar
Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham, seperti
Departemen Keuangan. Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan
diantaranya
- Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
- Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
- Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala
Hulubalang; seperti tugas Menteri Dalam Negeri.
- Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil
dan pengembangan hutan; seperti tugas Menteri Kehutanan.
- Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan
sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar
lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk, seperti tugas
Sekretaris Negara.

4. Kerajaan Inderagiri
Kerajaan Indragiri diperkirakan berdiri tahun 1298 dengan raja
pertama bergelar Raja Merlang I berkedudukan di Malaka. Demikian pula
dengan penggantinya Raja Narasinga I dan Raja Merlang II, tetap
berkedudukan di Malaka. Sedangkan untuk urusan sehari-hari dilaksanakan
oleh Datuk Patih atau Perdana Menteri. pada tahun 1473, waktu Raja
Narasinga II yang bergelar Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah
Johan Zirullah Fil Alam ( Sultan Indragiri IV ), beliau menetap di ibu kota
kerajaan yang berlokasi di Pekan Tua sekarang.
Indragiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu “Indra” yang berarti
mahligai dan “Giri” yang berarti kedudukan yang tinggi atau negeri, sehingga
kata Indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri Mahligai Kerajaan Indragiri
diperintah langsung dari Kerajaan Malaka pada masa Raja Iskandar yang
bergelar Narasinga I.

Pada generasi Raja yang ke 4 (empat) barulah istana Kesultanan


Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah
Johan Zirullah Fil Alamin, bergelar Nara Singa II beristerikan Putri Dang
Purnama, bersamaan didirikannya Rumah Tinggi di Kampung Dagang.
Pada tahun 1815, dibawah Sultan Ibrahim, ibu kota kerajaan
dipindahkan ke Rengat. dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim ini, Belanda
mulai campur tangan terhadap kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda
yang berkedudukan di Peranap dengan batas wilayah ke Hilir sampai dengan
batas Japura.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sultan Isa, berdatanganlah orang
- orang dari suku Banjar dan suku Bugis sebagai akibat kurang amannya
daerah asal mereka. Khusus untuk suku Banjar, perpindahannya akibat
dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Gubernement pada tahun 1859 sehingga
terjadi peperangan sampai tahun 1963.
Adapun Silsilah dari Kerajaan ini sebagai berikut :4
1. Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang I. Memerintah pada tahun 1298 –
1337, beliau adalah Sultan Indragiri pertama yang merupakan Putra Mahkota
dari Kerajaan Melaka.

4
https://kampungrison.wordpress.com/2008/08/04/kerajaan-indragiri/
2. Raja Iskandar alias Nara Singa I. Memerintah pada tahun 1337 – 1400 M dan
merupakan Sultan Indragiri ke dua.
3. Raja Merlang II bergelar Sultan Jamalluddin Inayatsya. Memerintah pada
tahun 1400 – 1473 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tiga.
4. Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin
bergelar Nara Singa II. Memerintah pada tahun 1473 – 1452 M dan
merupakan Sultan Indragiri ke empat, dimakamkan di Pekan Tua / Kota
Lama.
5. Sultan Usulluddin Hasansyah. Memerintah pada tahun 1532 – 1557 M dan
merupakan Sultan Indragiri ke lima.
6. Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah. Memerintah pada tahun 1557 –
1599 M dan merupakan Sultan Indragiri ke enam.
7. Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah. Memerintah
pada tahun 1559 – 1658 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tujuh.
8. Sultan Jamalluddin Suleimansyah. Memerintah pada tahun 1658 – 1669 M
dan merupakan Sultan Indragiri ke delapan.
9. Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun 1669 – 1676 M dan
merupakan Sultan Indragiri ke Sembilan.
10. Sultan Usulluddin Ahmadsyah. Memerintah pada tahun 1676 – 1687 M dan
merupakan Sultan Indragiri ke sepuluh.
11. Sultan Abdul Jalilsyah. Memerintah pada tahun 1687 – 1700 M dan
merupakan Sultan Indragiri ke sebelas.
12. Sultan Mansyursyah. Memerintah pada tahun 1700 – 1704 M dan merupakan
Sultan Indragiri ke dua belas.
13. Sultan Modamadsyah. Memerintah pada tahun 1704 – 1707 M dan merupakan
Sultan Indragiri ke tiga belas.
14. Sultan Musafarsyah. Memerintah pada tahun 1707 – 1715 M dan merupakan
Sultan Indragiri ke empat belas.
15. Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri. Pada awalnya beliau
merupakan Mangkubumi Indragiri kemudian menjadi Sultan Indragiri ke lima
belas yang memerintah pada tahun 1715 – 1735 M dan dimakamkan di Kota
Lama.
16. Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah. Memerintah pada tahun
1735 – 1765 M dan merupakan Sultan Indragiri enam belas. Dimakamkan di
Kampung Tambak sebelah hilir Kota Rengat.
17. Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan. Memerintah pada tahun 1765 – 1784
M dan merupakan Sultan Indragiri ke tujuh belas. Dimakamkan di Mesjid
Daik Riau.
18. Sultan Ibrahim. Memerintah pada tahun 1784 – 1815 M dan merupakan Sultan
Indragiri ke delapan belas. Beliau adalah yang mendirikan kota Rengat dan
pernah ikut dalam perang Teluk Ketapang untuk merebut kota melaka dari
tangan Belanda pada tanggal 18 Juni 1784. Dimakamkan di Mesjid Raya
Rengat.
19. Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu. Memerintah pada tahun 1815 – 1827
M dan merupakan Sultan Indragiri ke sembilan belas, beliau pernah bertapa di
puncak Gunung Daik.
20. Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal. Memerintah pada
tahun 1827 – 1838 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh.
21. Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah. Memerintah pada tahun 1838 –
1876 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh satu.
22. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah. Memerintah pada tahun 1876 M –
hanya seminggu naik tahta kerajaan kemudian meninggal dunia karena sakit
dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh dua.
23. Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan Husinsyah. Memerintah
pada tahun 1877 – 1883M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua tiga.
Dimakamkan di Raja Pura ( Japura).
24. Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun 1887 –
1902 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh empat. Dimakamkan di
Mesjid Raya Rengat.
25. Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri, memangku pada tahun 1902 – 1912
M.
26. Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah. Memerintah pada tahun 1912
– 1963 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh lima. Oleh T.N.I
diberikan pangkat Mayor Honorair TNI dengan surat penetapan Panglima
T.N.I No. 228/PLM/Pers/1947 tanggal 11 Desember 1947.

5. Kerajaan Siak Sri Indra Putra


Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja
Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor
(Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan
berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-
tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ. Sebelum kerajaan Siak
berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan
mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan
Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah.
Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai
hasil hutan dan hasil laut.
Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud
Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong
pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam
perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan
Pagaruyung Minangkabau. Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor
diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil
Riayat Syah.
Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil
merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut
kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan
Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman
dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang
mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka
akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor
mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan
dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak
Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan. Namun,
pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan.
Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan
pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali
lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan
Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak
dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai
akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir
Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul
Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908, dibangunlah istana
yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah
Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan
Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan
masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan
Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan
sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru
pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar
Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan
nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II). Bersamaan dengan
diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun
mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian
beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung
dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang
sebesar Sepuluh Ribu Gulden. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan
bermukim di Jakarta.Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di
Rumbai pada tahun 1968.

Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama


Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada tahun
1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan
sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia.Makam Sultan Syarif
Kasim II terletak di tengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya di samping
Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.5
6. Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau
yang merupakan salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi
provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Kerajaan ini
pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun
1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam. Munculnya nama
Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan
pasti. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman,
menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri
tersebut. Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-
16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari
Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh
Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan,
adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di
Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah
menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat
Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan
dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam
adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang
terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat
Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam
bersendikan pada Al-Quran.
Ketika Singosari runtuh, mucul Majapahit. Adityawarman merupakan
seorang pejabat di Majapahit. Suatu ketika, ia dikirim ke Darmasraya sebagai
penguasa daerah tersebut. Tapi kemudian, Adityawarman justru melepaskan
diri dari Majapahit. Dalam sebuah prasasti bertahun 1347, disebutkan bahwa
Aditywarman menobatkan diri sebagai raja atas daerah tersebut. Daerah
kekuasaannya disebut Pagaruyung, karena ia memagari daerah tersebut
dengan ruyung pohon kuamang, agar aman dari gangguan pihak luar. Karena
itulah, negeri itu kemudian disebut dengan Pagaruyung. Kekuasaan raja
Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat menjelang perang Padri, meskipun
raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam
pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi
kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

5
Sejarah Kerajaan Siak Sri Indraputra, Situs resmi pemerintah kabupaten Siak
(https://siakkab.go.id/sejarah-siak)
Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri akibat konflik yang terjadi dan
campur tangan kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19.6
7. Kesultanan Palembang
pada awalnya Palembang merupakan pusat kerajaan budha sriwijaya.
Setelah sriwijaya jatuh, maka Palembang menjadi protektorat dari kerajaan-
kerajaan jawa,kerajaan Palembang ketika dilindung oleh kerajaan mataram
sudah dipimpin oleh seorang sultan yang beragama islam yaitu ario damar
yang dikenal dengan Ario dillah (abdillah) 1455-1486 yang beristrikan
muslimah china, janda dari prabu brawijaya. Lalu ario darma digantikan oleh
raden suhu dan pangeran surodirjo. Setelah runtuhnya majapahit kesultan
Palembang dipimpin oleh para bangsawan dari Demak dan panjang, mereka
adalah:
1. Pangeran sedo ing lautan (1547-1552)
2. Kyai gadeh ing suro tuo (1552-1573)
3. Kyai gadeh ing suro mudo (1573-1590)
4. Kyai mas adipati (1590-1995)
Setelah runtuhnya kerajaan panjang, maka kerajaan Palembang
dibawah kekuasan kerajaan mataram, yang memerintah antara lain:
1. Pangeran madi ing angsoko (1595-1630)
2. Pangeran madi alit (1630-1633)
3. Pangeran sedo ing puro (1633-1639)
4. Pangeran sedo ing pesarean (1651-1652)
5. Pangeran sedo ing rajek (1652-1659)
Terus berganti sampai akhirnya sultan susuhan Mahmud baharuddin II
memerintah tahun (1803-1825). Dimna dimasa pemerintahannya ini, terjadi
perperangan diantara Palembang dengan inggris, seelah inggris meninggalkan
Palembang pada tahun 1816 barulah Palembang kembali berperang dengan
belanda 1819-1821. Dalam perang ini sultan Mahmud baharuddin II beserta
keluarganya ditangkap oleh belanda, dan perang dilanjutkan oleh sultan
Ahmad najamuddin prabu anom beserta rakya Palembang, yang akhirnya
kerajaan Palembang dihapauskan oleh belanda.7
8. Kesultanan Deli
9. Kesultanan Serdang
10. Kerajaan Islam Jambi
11. Kerajaan Tulang Bawang
(untuk penulisan sub tema diatas belum sempurna dikarenakan
keterbatasan literatur yang mendukung, untuk membuka tabir sejarah
kerajaan islam tersebut, namun secara kultural banyak dari masyarakat
sumatera sendiri yang mengatahui bahkan beberapa ada yang menjadi
juru kunci hikayah dari bebetrapa kerajaan diatas... semoga kedepannya
6
Fahrul-raziy,Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra
7
Darmawijaya, Kesultanan Islam di Nusantara,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010) hlm. 44
pengungkapan tabir sejarah tentang kerajaan diatas segera rampung..
Allahumma amiin Wallahu A’lam)

B. Kesultanan Islam di Kalimantan

Islam telah mulai memperkenalkan di Kalimantan oleh para pedagang dan


mubaligh Islam yang berasal dai Keling, Gujarat, Melayu, Bugis, dan Biaju.
Perkembangan Islam di Kalimantan semakin baik setelah berdirinya Kesultanan
Banjar dan Kesultanan Kutai. Dua kesultanan inilah yang mendominasi sejarah
Islam di kaasan Kalimantan

1. Kesultanan Banjar
Menurut Hikayat Banjar, Kesultanan Banjar bermula dari konflik Istana
yang terjadi di kerajaan Daha-Hindu, antara Pangeran Tumenggung dan
Pangeran Samudera. Dalam pertikaian ini, Pangeran Samudra dapat dikalahkan
oleh Pangeran Tumenggung. Karena itu Pangeran Samudra pergi berkelana
menelusuri ke Tamban, Muhur, Baladen, Belitung dan akhirnya sampai di
Pulau Jawa dan meminta bantuan pada Kesultanan Demak, yang ketika itu
dipimpin oleh Raden Fatah. Kesultanan Demak bersedia membantunya, tapi
dengan syarat Pangeran Samudera bersedia masuk Islam.Syarat tersebut
disetujui oleh Pangeran Samudera.Dengan bantuan balatentara Demak lengkap
dengan persenjataannya, kekuatan Pangeran Samudera begitu besar.Sehingga
Pangeran Tumenggung mengurungkan niatnya untuk berperang dan memilih
jalan damai.Akhirnya, Pangeran Samudera berhasil menjadi sultan pertama di
Kesultanan Banjar.Ia diberi gelar dengan Sultan Suriansyah. Rakyat setempat
menyebutnya dengan Panembahan Habang.
Sultan Suriansyah memerintah pada tahun 1526-1550. Pada masa
pemerintahannya wilayah Kesultanan Banjar meliputi Tabalong, Barito, Alai,
Hamandit, Balangan, Kintap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sebagau, dll. Secara
keseluruhan daerah-daerah ini terletak di di Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Tengah.Sedangkan pusat pemerintahannya berada di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Sultan Suriansyah juga berusaha mengembangkan ajaran Islam di
Kalimantan. Adapun Sultan yang pernah menduduki Kesultanan Banjar adalah:
1. Sultan Suriansyah (1526-1550)
2. Sultan Rahmatullah (1550-1570)
3. Sultan Hidayatullah (1570-1595)
4. Sultan Mustain Billah (1595-1620)
5. Sultan Inayatullah (1620-1637)
6. Sultan Saidullah
7. Pangeran Tamjidillah gelar Sultan Sulaiman Muda (1852-1859)
8. Pangeran Antasari gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin (1859-1862)
9. Muhammad Seman (1862-1905)
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaannya pada masa
pemerintahan Sultan Mustain Billah, sultan Inayatullah, dan Sultan
Saidullah.Sekitar pertengahan abad ke 18 hidup seorang ulama yaitu Syaikh
Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812), yang diangkat sebagai penasehat
kesultanan. Pada saat itu pula hidup seorang ulama sufi dia adalah Syaikh
Muhammad Nafis Al-Banjari. Hadirnya ulama-ulama tersebut telah banyak
mempengaruhi Kesultanan Banjar dalam masalah hukum.Dengan bantuan para
ulama, Kesultanan Banjar berusaha menegakkan hukum Islam dalam masalah
keluarga, perkawinan, dan pidana.Secara hukum, sultan Banjar tak hanya
sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga “Ulil Amri” bagi seluruh rakyat
Banjar.Kedudukan semacam ini sesuai dengan hukum Islam.8

2. Kesultanan Kutai
Kesultanan Kutai adalah kelanjutan dari Kerajaan Hindu Kutai
Kertanegara yang sudah berdiri sejak 1300. Islam masuk ke Kalimantan Timur
pada abad ke 17 melalui dua arah, yaitu dari Kalimantan selatan, yang berasal
dari Kesultanan Banjar, dan dari arah Timur yang dibawa oleh para pedagang
Bugis-Makasar. Islam yang datang diterima baik oleh Kerajaan Kutai
kemudian berubah menjadi kesultanan pada abad ke-18.Sultan pertama yang
memerintah di Kesultanan Kutai adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1732-

8
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 158-
163
1739).Beliau syahid dalam berperang melawan penjajah Belanda. Sepeninggal
Sultan Aji Muhammad, tahta Kesultanan Kutai direbut oleh Aji Kado, yang
sebenarnya tidak berhak atas tahta kesultanan. Sejak itu Aji Kado resmi
menjadi Sultan Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyuddin.Sultan ini
memerintah pada tahun 1739-1780.
Perlu diketahui bahwa di sana semula terdapat dua Kerajaan Kutai,
masing-masing adalah Kutai Martapura yang telah berdiri sejak abad ke empat
Masehi dan Kutai Kertanegara yang berdiri sekitar abad ke 13M. Pada abad ke
17 keduanya terlibat pertempuran sengit yang menyebabkan hancurnya Kutai
Martapura Hindu.Akhirnya kedua Kutai tersebut diintegrasikan menjadi satu
yang bernama Kutai Kertanegara Ing Martadipura.
Pertempuran antara keduanya tersebut terjadi di sekitar sungai Muara
Kaman.Dan pada saat terjadinya pertempuran, raja Kutai Kertanegara sudah
beragama Islam dengan rajanya yang bernama Pangeran Sinum Panji Mendapa
yang memerintah Kutai Kertanegara pada 1605-635 M.
Agama Islam masuk ke daerah Kalimantan Timur diperkirakan sejak
abad ke 13 atau 14 M. yakni pada masa pemerintahan Aji Wirabayan pada
tahun 1360-1420 M. Proses islamisasi ini terjadi seiring dengan
terbukanyahubungan antara kerajaan ini dengan wilayah lain atau kerajaan
Islam lain, dalam hal ini Makassar.
Kesultanan Kutai Kertanegara kemudian menjadi pusat islamisasi di
daerah Kalimantan Timur setelah rajanya masuk Islam. Sebagaimana di daerah-
daerah lain, ketika rajanya masuk Islam, maka rakyatpun segera masuk Islam.
Artinya kekuatan politik merupakan faktor penyebab bagi mudahnya proses
islamisasi di daerah tersebut.
Pengaruh agama Islam mulai menonjol di Kesultanan Kutai pada masa
pemerintahan Sultan Aji Raja Mahkota Mulia Islam yang memerintah Kutai
pada 1525-1600 M dan diteruskan oleh puteranya, Sultan Aji Dilanggar yang
memerintah pada 1600-1605.
Kesultanan Islam Kutai Kertanegara mulai menampakkan tanda-tanda
kemundurannya setelah ditinggalkan Aji Sultan Muhammad Salehuddin yang
memerintah pada 1780-1850 M. Sebagaimana halnya dengan kasus yang lain
terjadinya kemunduran adalah karena adanya faktor intern, khususnya tentang
kapasitas kepemimpinan yang lemah dan juga adanya faktor ekstern yaitu
intervensi dan dominasi pemerintah kolonial Belanda. Di bawah ini disebutkan
daftar sultan-sultan Kutai Kertanegera:
1. 1732 – 1739 : Aji Sultan Muhammad Idris
2. 1739 – 1780 : Aji Sultan Muhammad Muslihuddin
3. 1780 – 1850 : Aji Sultan Muhammad Solehuddin
Kesultanan Kutai di Tenggarong, akhirnya dapat dikuasai oleh bangsa
Eropa, ketika Belanda datang dari Makassar dan menyerang Tenggarong
sebagai puat Kesultanan. Tenggarong berhasil dihancurkan Belanda pada
tanggal 14 April 1844.Setelah Tenggarong jatuh ke tangan Belanda, Sultan
Muhammad Salihuddin terpaksa menandatangani perjanjian damai, yang lebih
dikenal dengan “Tepian Pandan Traktat”.Perjanjian ini adalah akhir dari
kemerdekaan Kesultanan Kutai, karena setelahnya Kesultanan Kutai tunduk
pada residen Belanda di Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.9

3. Kesultanan Brunei
Kerajaan Brunei berdiri pada awal abad ke 16.Kerajaan ini terletak di
Pesisir Barat Kalimantan Utara.Pengaruh Islam kerajaan ini terasa sampai di
Filipina.Banyak mubalig-mubalignya yang dikirim ke pulau-pulau di Filipina
Selatan.
Peranan Brunei dalam perdagangan cukup penting.Itulah sebabnya
maka Pada 1530 Portugis datang ke Sultan Brunei untuk memohon
perkenankan membuka kembali hubungan dagang dengan Malaka setelah
putus akibat Malaka direbutnya pada 1511. Kapal-kapal Portugis agar diizinkan
pulamengunjungi Brunei.Rupanya permononan itu diperkenankan oleh Sultan
Brunei, yang memang menyebabkan semakin ramainya lalu lintas perdagangan
di pelabunan Brunei.
Perdagangan dengan Filipina cukup ramai. Legaspi, pelaut Spanyol
yang mendarat di Filipina pada 1565, menjumpai banyak agen Sultan Brunei di

9
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 166-
168
sana. Barang-barang perdagangan yang diperjual-belikan di sana antara lain
tembaga, timah, porselen dari Cina, kemenyan, katun dari India, dan besi. Ke
Filipina, Brunei sendiri banyak mengekspor baja.Diketahui juga bahwa
kekuasaan Sultan Brunei meluas sampai ke Serawak, Mindanao dan Luzon.
Melihat perkembangan kekuasaan Brunei itu Spanyol berusaha untuk
membendungnya.Raja Spanyol Filip V memerintahkan De Sande, raja
mudanya di Filipina, untuk menuntut kepada Sultan Reksar dari Brunei agar
menghentikan kegiatannya dalam menyebarkan agama Islam di Filipina.Untuk
menuntut kepada Sultan Reksar dari Brunei agar menghentikan kegiatannya
dalam menyebarkan agama Islam di Filiphina.Jelas tuntutan itu akan ditolak
oleh Sultan Brunei dengan angkatan lautnya yang cukup kuat De Sande berhasil
mengusir Sultan Reksar. Sultan ini mengundurkan diri ke pengunungan.Maka
pada 20 April 1578 De Sande menyatakan bahwa sejak saat itu Kalimantan
menjadi milik Spanyol.Kemudian angkatan perang Portugis datang membantu
Sultan Brunei.Sultan Reksar berhasil mengusir Spanyol dari Brunei dan
merebut kembali kekuasaannya.Tetapi.tak lama kemudian Spanyol dapat
mengalahkannya lagi. Reksar digantikan oleh Sirela yang memegang
kekuasaan Brunei atas nama Spanyol. Sejak saat pengaruh asing di kesultanan
Brunei semakin bertambah kuat.Kekuasaan Spanyol di daerah ini berakhir
ketika Belanda datang di Indonesia.Kelalaian Belanda dalam memelihara
kedaulatannya di daerah luar Jawa akhirnya menyebabkan Brunei pada 1841
jatuh ke tangan Inggris.10

4. Kerajaan Sukadana
Seperti kerajaan-kerajaan lainnya maka nama Kerajaan Sukadana
diambil dari nama ibu kota kerajaan itu, yaitu Kota Sukadana. Hampir semua
kerajaan kuno menggunakan nama ibukotanya. Ingat nama-nama Kerajaan
Singhasari, Majapahit, Kutai, Demak, Pajang dan Yogyakarta serta
Surakarta.Warna Kerajaan Sukadana sendiri semula adalah Kerajaan
Matan.Dari nama Matan inilah rupanya nama Pulau Kalimantan berasal. Sejak
abad ke-16 orang Dawa juga telah mengenai dan menggunakan nama Matan,
10
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 194-195
namun lebih luas lagi dipergunakan untuk menamakan seluruh Pulau
Kalimantan.
Kerajaan Sukadana terletak di bagian barat daya Pulau Kalimantan.Ibu
Kota Sukadana merupakan pusat perdagangan intan di Kalimantan Barat, di
samping Tanjunngpura.Intan ini berasal dari Landak, yang letaknya lebih ke
pedalaman.Semua nama-nama itu terdapat dalam Kitab Negarakertagama,
sebab daerah-daerah itu juga menjadi daerah pengaruh Majapahit.
Pada 1550 agama Islam mulai memasuki Kerajaan Sukadana.Penyiaran
Islam ke daerah kerajaan ini banyak dilakukan olen guru-guru agama Islam
(mubalig) yang berasal dari Jawa, di samping dari Malaka atau dari Palembang.
Rupanya pedagang-pedagang Islam ikut mengambil peranan dalam penyiaran
agama tersebut, mengingat kedudukan Ibu kota Sukadana sebagai pusat
perdagangan intan yang mewah itu. Pada Sekitar 1600 daerah sepanjang pantai
telah dapat diislamkan seluruhnya.Perkembangan Islam yang berkembang pesat
itu berkat jasa seorang mubalig yang bernama Syekh Syamsuddin.Raja
Sukadana pada saat itu adalah Sultan Muhammad Safiuddin yang wafat pada
1677.Semula Kerajaan Sukadana berkedudukan sebagai bagian dari Kerajaan
Majapahit.Setelah Majapahit jatuh dan digantikan oleh Kerajaan Demak, maka
Kerajaan Sukadana dengan sendirinya secara sah pula menjadi bagian dari
Kerajaan Islam Demak.Pada masa kekuasaan Demak inilah agama Islam mulai
memasuki Sukadana dan dipeluk oleh penduduknya.
Pada awal abad Ke-17 Sukadana berada di bawah kekuasaan
Surabaya.Setiap tahun Sukadana harus menyerahkan upeti kepada Surabaya
sampai Surabaya ditaklukkan oleh Mataram pada 1622.Pada perjalanan abad
ke-17, secara ekonomi Sukadana makin lama makin bebas dari Jawa, sehingga
sebenarnya Mataram tidak dapat menariklagikeuntungan atas penaklukannya
pada 1622.Maka apabila kemudian Kerajaan Banjarmasin menggantikan
kedudukan Mataram di sana sebagai penguasa, Mataram tidaklah merasa
kehilangan. Sukadana sebagai bawahan Banjarmasin berlangsung hingga 1787
hingga saat datangnya kekuasaan Belanda di sana.11

11
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 195-197
C. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
1. Kesultanan Demak
Babad Tanah Jawi mengkisahkan bahwa Raden Patah atas petunjuk Sunan
Ampel membuka hutan di Glagah Wangi dan kota baru di Glagah Wangi itu
diberi nama Bintara. 12
Ketika Prabu Brawijaya mengetahui bahwa sebenarnya Raden Patah adalah
putranya sendiri dari selir putri Cina yang dihadiahkan kepada Arya Damar,
Adipati Palembang, Raden Patah tumbuh dan dibesarkan di Palembang, kemudian
Raden Patah diangkat sebagai Adipati di Bintara tersebut dan sebagai bawahan
Majapahit berkewajiban menghadap Sang Prabu setahun sekali di Istana
Majapahit. Sejak saat itu nama Bintara diganti dengan Demak.Raden Patah
mendirikan Kesultanan Demak pada tahun 1478.13
Setelah diangkat menjadi Sultan Demak, Raden Fatah diberi gelar Sultan Al-
Fattah Alamsyah Akbar. Sedangkan menurut sumber lain, setelah Raden Fatah
menjadi Sultan Demak, maka diberi gelar oleh Sunan Ampel dengan nama
Senapati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panata
Gama.14
Raden Fatah adalah salah satu murid Sunan Kudus yang ulung, karena itu,
ketika ia diangkat menjadi Sultan Demak, maka Sunan Kuduslah yang selalu
mendampinginya. Untuk menjaga kewibawaan Negara, maka dibangunlah
angkatan perang Kesultanan Demak.Angkatan perang ini bukan saja sebagai
penjaga dan pengayom Negara, tetapi juga untuk mewujudkan cita-cita agama
Islam sebagaimana yang telah dirintis oleh Walisongo.Atas nasehat Sunan Kudus,
maka raden Fatah membuat strategi sebagai berikut:15
1. Mengahncurkan kekuatan Portugis di Luar Indonesia,
2. Membuat pertahanan yang kuat di Indonesia.
Pada tahun 1513, Raden Fatah mengirimkan putranya sendiri, Adipati Unus
untuk memimpin pasukan Islam dari Demak dengan bantuan dari Palembang guna
menghancurkan kedudukan Portugis di Malaka.Dalam serangan ini, Adipati Unus
dilengkapi dengan 90 kapal dan 1200 orang prajurit.Tetapi, serangan yang
dipimpin oleh Adipati Unus mengalami kegagalan.Atas keberanian Adipati Unus
dalam memimpin pasukan Demak dan mengarungi laut Jawa untuk menyerang
Portugis di Malaka, maka diberi gelar Pangeran Sebrang Lor, Pangeran dari
Utara.16
Setelah Adipati Unus gagal, maka Raden Fatah kembali mengutus cucunya
sendiri, Ratu Kalimayat, untuk memimpin pasukan Islam dari Demak guna
menghancurkan kedudukan Portugis di Malaka, tetapi serangan ini kembali gagal.
12
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 123
13
Ibid, Hlm 123
14
Ibid, Hlm 64
15
Ibid, Hlm 65
16
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 65
Ketika keinginan Raden Fatah untuk melumpuhkan kedudukan Portugis di
Malaka belum terwujud, Raden Fatah keburu meninggal pada tahun 1518.Setelah
Raden Fatah wafat, maka jabatannya digantikan oleh Adipati Unus, namun
Adipati Unus hanya berkuasa selama 3 tahun.Sebagai penggantinya, maka
diangkatlah Sultan Trenggana, saudara Adipati Unus.Sultan Trenggono berkuasa
pada tahun 1521-1564.Sultan Trenggono bercita-cita untuk mengislamkan seluruh
Tanah Jawa.17
Nasib tragis yang diderita kerajaan Islam Demak, tak ubahnya sebagiamana
kerajaan sebelumnya, Majapahit, di mana intrik intern keluarga kerajaan menjadi
faktor penyebab yang paling besar.Dengan demikian Pendiri kerajaan ini memiliki
citra negatif berupa cacat moral karena melawan orang tuanya, bahkan merebut
tahta kerajaan tersebut.
Sebagaimana dimaklumi bahwa Adipati Yunus tidak memiliki putera untuk
meneruskan pemerintahan Islam Demak.Putera Pangeran Trenggono yang
bernama Sunan Prawoto (Pangeran Mukmin) berupaya keras bagaimana ayahnya
bisa menduduki tahta kerajaan. Untuk tujuan itu ia melakukan tindakan tercela,
membunuh saudara ayahnya (kakak ayahnya) yakni Pangeran Seda Lepen, ayah
Arya Penangsang. Maka dengan mangkatnya Pangeran Seda Lepen, sudah tidak
ada lagi menurut anggapannya, orang yang akan menjadi rival ayahnya, Raden
Trengono.
Baru beberapa saat Sultan Trenggono menduduki tahta kerajaan Islam Demak,
datang seorang muballigh dari Pasai yang baru saja menyelesaikan studi agama di
Makkah al Mukarramah.Pemuda ini pergi ke Demak karena Malaka dan Pasai,
daerah asalnya sudah berada di bawah kekuasaan Portugis.Karena kepribadian
dan kapasitas ilmunya, maka Sultan Trenggono kemudian berkenan
mengawinkannya dengan adik perempuan Sultan sendiri.Pemuda tersebut adalah
Syarif Hidayatullah.Di samping menjadi adik Sultan, Syarif Hdayatullah diutus
oleh Sultan Trenggono untuk mengislamkan Jawa Barat.Pada tahun 1527, Syarif
Hidayatullah berhasil menguasai Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Setelah
kemenangan itu, maka nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta.18
Pada tahun 1546, Sultan Trenggono berusaha menguasai pelabuhan
Panarukan.Tiga bulan lamanya, Sultan Trenggono memimpin pasukan Islam dari
Demak berperang melawan penarukan yang mendapat bantuan dari Bali. Dalam
perang ini Sultan Trenggono tidak berhasik merebut penarukan, bahkan ia sendiri
wafat di penarukan. Setelah wafatnya Sultan Trenggono, kondisi kesultanan
Demak jatuh dalam konflik istana dalam merebutkan jabatan Sultan.Akhirnya
kesultanan Demak mengalami kemunduran dan sebagai gantinya, maka lahirlah
kesultanan pajang dibawah kepemimpinan Sultan Adiwijaya alias Jaka Tingkir.19

17
Ibid, Hlm 65
18
Harun Nasution, dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 2002) Hlm 240-241
19
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 65
Adapun raja-raja yang pernah menduduki tahta kerajaan Islam Demak adalah
sebagai berikut :20
1. 1478 s/d 1518 Raden Fatah
2. 1518 s/d 1521 Adipati Yunus
3. 1521 s/d 1546 Raden Trenggono
4. 1546 s/d 1549 Sunan Prawoto

2. Kesultanan Pengging
Pengging terletak di lereng Tenggara Gunung Merapi, antara Bayalali
(Boyolali), Klaten dan Kartasura sekarang. Kelak daerah Pengging ini akan tetap
menjadi inti daerah wilayah Kerajaan Pajang. Kerajaan pajang sendiri adalah
sebagai kelanjutan dari dari Pengging.
Raja pertama Pengging bernama Andayaningrat.Wilayah kekuasaannya
meliputi daerah Bayalali Selatan ditambah daerah Kabupaten Klaten
sekarang.Kapan Islam mulai memasuki pedalaman tidak dapat dipastikan, namun
yang jelas sesudah abad ke-15, itupun belum dapat dikatakan berjalan lancar
dikarnakan kuatnya agama peraddaban Hindu-Indonesia dalam masyarakat
pedalaman.
Bahasa yang dipergunakan dalam pengantar menyiarkan agama dan cita-cita
Islam adalah Bahasa Jawa, yang berarti tidak bergantung lagi pada Bahasa
Arab.Proses pendidikan agama kuno yang berpusat pada mandala tetap
dipergunakan, hanya namanya saja dirubah menjadi pondok pesantren. Ajaran-
ajaran itu dirumuskan dalam himpunan syair-syair (tembang) macapat yang
kemudian dikenal sebagai buku-buku suluk dan primbon.
Agama Islam pedalaman ini sering disebut pula Islam Jawi (Kejawen)atau
agama Jawi mengingat semakin padunya Islam dengan unsur—unsur asli Jawa
dan mengingat pula lingkup penyebarannya di daerah yang berkebudayaan Jawa
(daerah Kejawen).
Ki Kebo Kenanga, setelah masuk Islam benar-benar dipasang dalam
kesibukan-kesibukan agama, sehingga tidak pernah ditangani kedudukan yang
diatur sebagai pemerintahan Pengging. Sudah lama Ki Kebo Kenanga tidak
menghadap Demak. Setelah Majapahit jatuh, dengan sendirinya Pengging berada
di hawah Demak, karena lebih menyibukkan diri dalam kegiatan keagamaan,
maka sekarang Ki Kebo Kenanga lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.
la adalah murid Syekh Siti Jenar. Bersama dengan tiga teman seperguruannya
adalahKi Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan KI Ageng Ngerang ia membentuk
dan mengikrarkan ikatan persaudaraan rohani di bawah Syekh Siti Jenar.
Sultan Demak mencurigai dan memandang berbahaya terhadap kegiatan yang
dilakukan oleh penguasa Pengging ini. Kecurigaan ini tidak hanya terkait dengan
masalah religius, tetapi juga terkait dengan konflik, baik Konflik intern keluarga

20
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 138
raja, konflik kepentingan politik dan ekonomi maupun konflik antarpemerintah
pusat dan daerah serta antardaerah pesisiran dan daerah pedalaman.
Konflik antardaerah pesisiran dan daerah pedalaman sampai pada masa-masa
kerajaan berikutnya. Konflik ini pada dasarnya bersumber pada perbedaan sikap
hidup. Daerah pesisiran yang mengutamakan kepentingan pekerjaan (sebagai
pedagang) lebih dinamis menentang menyukai ajaran Islam yang puritan,
sebaliknya pedalaman yang agraris dan senantiasa akrab dengan alam
lingkungannya lebih memilih agama Islam yang mengutamakan mistik.Ajaran
mistik (tasaswuf) Syekh Siti Jenar, Kawula-Gusti, dianggap berbahaya karena
dapat meniadakan hukum syariat.Masjid, langgar tidak dapat didatangi orang lagi,
salat tidak perlu lagi dan salat Jumat kembali tidak ada gunanya lagi.Ajaran mistik
(tasawuf) -nya kamu berpangkal pada ana al haq.
Ajaran ini dapat mendorong seseorang untuk menolak kekuasaan atau
kewibawaan orang lain sekalipun ia raja, atau wali, dan ajarannya dipandang
menyimpang dari Islam (bidah). Kedua orang guru dan murid, Syekh Siti Jenar
dan Ki Kebo Kenanga, dianggap sebagai penghujat Allah.Untuk mematahkan
Pengging mula-mula Sultan Demak mengutus orang kepercayaannya, Ki
Wanapala, dan karena tidak berhasil kemudian mengutus Sunan Kudus.
Sementara para penguasa di Tingkir, Butuh dan Ngerang telah bersedia menyerah,
Ki Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging) tetap mempertahankan pendiriannya
dalam perang lidah tentang “ilmu kebatinan”. Untuk tidak menghadap ke Demak.
Akhirnya ia dibunuh oleh Sunan Kudus. Karena anak laki-lakinya, Mas Krebet,
satu-satunya pewaris, masih terlalu muda, yang kelak menetap di Pajang, maka
sesudah Ki Kebo Kenanga tidak ada penguasa lagi di Pengging.Ki Kebo Kenanga
adalah Raja Pengging terakhir.21

3. Kesultanan Pajang.
Setelah Wafatnya Sultan Trenggana, maka terjadilah kekacauan akibat
perebutan tahta antara calon pengganti Sultan Trenggana. Para pengganti Sultan
Trenggana adalah Pangeran Prawoto (anak Sultan Trenggana) dan Pangeran Sedo
ing Lepen (Adik Sultan Trenggana).Dalam pertikaian ini Pangeran Sedo Ing
Lepen mati terbunuh dan Pangeran Prawoto beserta keluarganya mati dibunuh
oleh anak Pangeran Sedo ing Lepen, Aryo penangsang.Aryo Penangsang terkenal
sebagai seorang yang sangat kejam. Untuk dapat merebut tahta kesultanan
Demak, maka ia harus mengalahkan menantu sultan Trenggana (Adiwijaya). Pada
masa ini, Adiwijaya kedududkannya adalah sebagai Adipati Pajang.Akhirnya atas
bantuan beberapa Adipati, Adi Wijaya berhasil membunuh Aryo Penangsang.22
Joko Tingkir yang bergelar Sultan Adiwijoyo di kerajaan Pajang adalah
raja pertama di Kesultanan Pajang.Ia adalah putera Ki Ageng Pengging, murid

21
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 165
22
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 67
tokoh antagonis Syeh Siti Jenar. Ki Ageng Pengging adalah putera Kebo
Kanigara, putera Pangeran Andayaningrat, bangsawan Majapahit.
Setelah berhasil membunuh Aryo Penangsang maka pada tahun 1568,
Adiwijaya memindahkan atribut-atribut kesultanan Demak ke Pajang.Pengesahan
Adiwijaya sebagai Sultan pertama di kesultanan Pajang disahkan dengan suatu
upacara yang dilakukan oleh Sunan Giri di Istana Prapen di Gresik. Setelah
diangkat menjadi Sultan pajang, maka iadiberi gelar dengan Sultan Adiwijaya23.
Pindahnya pusat kesultanan Demak ke Pajang sangat mempengaruhi pola
penyebaran dan perekonomian Islam di Jawa. Kesultanan demak adalah
kesultanan islam yang menggantungkan hidupnya pada budaya maritim dan
sangat bersemangat dalam memperangi portugis.Sedangkan kesultanan Pajang
adalah kesultanan Islam yang menggantungkan hidupnya pada budaya agraris,
karena secara geografis Pajang jauh terletak dipedalaman Jawa. Suatu hal lagi
yang perlu diperhatikan, bahwa didirikannya kesultanan Pajang oleh Adiwijaya
juga mendapatkan tantangan dari Sunan Kudus, karena Sunan Kudus tidak mau
aliran Islam yang dianut oleh Syeh Siti Jenar hidup kembali. Model Islam yang
dianut Syeh Siti Jenar adalah model Islam pedalaman yang merupakan sinkritisme
dari ajaran Islam dengan budaya Jawa. Ajaran Islam yang dianut oleh Syeh Siti
Jenar adalah ajaran Wahdatul wujud, yang inti pokoknya adalah ”manunggaling
kawulogusti”, yaitu bersatunya hamba dengan tuhan. Dan inilah barangkali
bencanayang selama ini dikhawatirkan oleh Sunan Kudus.
Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Adiwijaya tidak mudah
mendapatkan pengakuan dari adipati-adipati yang setia pada kesultanan Demak.
Gresik dibawah pimpinan Sunan Giri Perapen (Sunan Giri IV) dan Sedayu,
Surabaya dan Pasuruan dibawah pengaruh pangeran Langgar (menantu Sultan
Trenggana), pada mulanya tidak mau mengakui Pajang sebagai kesultanan
tertinggi di jawa. Setelah melalui perjuangan yang cukup lama, Akhirnya
pengaruh Pangeran Langgar mulai memudar, terutama setelah keluarnya fatwa
dari Sunan Giri Perapen bahwa untuk menghindari pertumpahan darah, maka
lebih baik bersatu dibawah kesultanan Pajang.
Setelah daerah-daerah diatas, maka daerah Tuban, Pati, Pemalang,
Madiun, Blitar, Banyumas, Demak, dan Mataram ikut pula mengakui kesultanan
Pajang.Khususnya wilayah Demak sendiri, statusnya berubah menjadi kadipaten
yang dipimpin oleh seorang adipati, yaitu Arya Pangiri anak Pangeran Prawoto
(cucu Sultan Trenggana).Akhirnya kesultanan pajang tampil sebagai pewaris
kesultanan Demak yang mendapatkan pengakuan dari berbagai adipati yang
berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada masa pemerintahan sultan Adiwijaya, Pajang berusaha mengembangkan
kesusastraan dan kesenian Islam yang telah berkembang pada masa kesultanan

23
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 167
Demak.Niti Seruti adalah sajak monolistik yang dikarang oleh pujangga Pajang,
Pangeran Karanggayam.
Setelah Sultan Adiwijaya meninggal pada tahun 1587, yang dimakamkan di
Butuh, yang terletak tidak jauh di sebelah Barat Taman Kerajaan Pajang.Makam
itu hingga kini dikenal sebagai Makam Aji.24
Kesultanan Pajang kembali dilanda prahara perebutan tahta kesultanan oleh
mereka yang merasa berhak menjadi pengganti Jaka Tingkir.Mereka itu adalah
Adipati Tuban, Adipati Demak, Adipati Araosbaya, dan putra Sultan Adiwijaya
(Pangeran Benawa).Keadaan ini tidak mampu membawa Kesultanan Pajang
bertahan sebagai satu-satunya kesultanan yang berkuasa di Jawa. Keadaan ini pula
yang menyebabkan naiknya nama Mataram sebagai pelanjut kerajaan Majapahit
kesultanan Demak dan kesultanan Pajang sebagai penguasa jawa.25

4. Kesultanan Mataram
Pada awalnya Mataram adalah wilayah yang dihadiahkan oleh Sultan Adi
Wijaya(Sultan Pajang) kepada Ki Gede Pemanahan.Sultan Adi Wijaya
menghadiahkannya, karena Ki Gede Pemanahan telah berhasil membantu Sultan
Adi Wijaya dalam membunuh Aryo Penangsang, ketika merebutkan tahta
kesultanan Demak setelah meninggalnya Sultan Trenggana.
Ditangan Ki Gede Pemanahan, Mataram mulai menunjukkan kemajuan.
Pada tahun 1575, Ki Gede Pemanahan meninggal, maka usaha memanjukan
Mataram dilanjutkan oleh anaknya, yaitu sultan Wijaya. Sultan Wijaya terkenal
sebagai orang pemberani dan mahir dalam berperang, karena itu ia diberi geelar
dengan panembahan Senopati ing Alaga Sayyidin Panatagama.
Sutawijaya berhasil membangun Mataram.Pada tahun 1586, Sutawijaya,
mengangkat dirinya sebagai Sultan Mataram.Pada waktu itu, wilayah yang
mengakui kesultanan Mataram adalah Mataram, Kedu, Dan
Banyumas.Munculnya Sutawijaya sebagai Sultan Mataram ditentang oleh
wilayah-wilayah pesisir utara jawa. Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan ia
baru menguasai wilayah Jawa Tengah dan sebagian wilayah Jawa Timur. Setelah
Sutawijaya meninggal, posisinya sebagai Sultan Mataram digantikan oleh
putranya, Raden Mas Jolang.Setelah diangkat menjadi Sultan Mataram, Raden
Mas Jolang diberi gelar Sultan Hanyakrawati.Ia memerintah ada tahun 1602-1613
pada masa pemerintahan raden Mas Jolang, ia hanya mampu mempertahankan
wilayah-wilayah kesultanan Mataram yang sudah dikuasai oleh ayahnya,
Sutawiajaya. Seringnya terjadi perlawanan dari wilayah pesisir merupakan salah
satu penyebab mengapa Raden Mas Jolang tidak mampu memperluas Wilayah
kesultanan Mataram.Menjelang wafatnya Raden Mas Jolang menunjuk Raden
Mas Rangsang sebagai penggantinya, tetapi kebijakannyaini bertentangan dengan

24
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 174
25
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 69
janjinya terdahulu.Mas Jolang pernah berjanji, bahwa sebagai penggantinya
adalah martapura, adik Raden Mas Rangsang.Setelah Raden Mas Jolang
meninggal para bangsawan lebih memilih menjalankan janji Mas Jolang
terdahulu, yaitu mengangkat Martapura sebagai sultan Mataram. Tetapi, karena
Martapura sakit-sakitan, maka ia tidak lama menjadi Sultan Mataram. Setelah
mendapat nasehat dari Ki Adipati mandakara, maka Martapura menyerahkan tahta
kesultanan Mataram kepada kakaknya, yaitu Raden Mas rangsang.Setelah dilantik
menjadi sultan Mataram, Raden Mas Rangsang diberi gelar Sultan Agung
Hanyakrakusuma Senapatio ing Ngalaga Ngabdurrohman.Ia memerintah
dikesultanan mataram dari tahun 1613-1645. Pada masa pemerintahannya,
kesultanan Mataram mengalami masa kejayaan.
Seperti para pendahulunya, Sultan Agung juga mengalami banyak rintangan,
terutama dari mereka yang menganggap bahwa Sultan Mataram bukanlah
keturunan dari Raja Majapahit atau Demak.Pada tahun 1616, Sultan Agung
menghadapi perlawanan dari aliansi Adipati Lasem, Tuban, Japan, Wonosobo,
Pasuruan, Arisbaya, dan Sumenep.Mereka menyerang Sultan Agung di bawah
pimpinan Adipati Surabaya dengan didampingi oleh Sunan Giri. Tetapi, serangan
dari para Adipati ini mengalami kegagalan, karena kehabisan bekal, bahkan
Sultan Agung dapat mengejar aliansi ini keluar dari Mataram dan akhirnya aliansi
mengalami kekalahan di Wirosobo (Mojokerto).Setelah berhasil mengalahkan
aliansi adipati ini, pada tahun 1616 Sultan agung dapat menguasai Lasem.Tahun
1617 Sultan Agung menguasai Pasuruan.Tahun 1620, Sultan Agung menguasai
Tuban, Tahun 1624 Sultan Agung menguasai Madura.Dan, Tahun 1625 Sultan
Agung berhasil menguasai Surabaya.
Dengan berhasilnya Sultan Agung menguasai berbagai wilayah, maka
penghalang utama bagi Sultan Agung.Dalam menyatukan pulau Jawa di bawah
Kesultanan Mataram adalah penjajah Belanda yang berkedudukan di Batavia.
Untuk melumpuhkan kekuatan kompeni Belanda, maka Sultan Agung
melancarkan serangan besar-besaran sebanyak dua kali, yatiu tahun 1628 dan
tahun 1629.
Pada tahun 1628, Sultan Agung mengirimkan pasukan dari Kesultanan
Mataram untuk menguasai Batavia.Pasukan Mataram ini dipimpin oleh
Baurekso.Di bawah pimpinan Baurekso, pasukan Mataram berhasil mengepung
Batavia selama satu bulan.Baurekso.meminta kepada J.P.Coen sebagai pemimpin
kompeni Belanda untuk menyerah. Tetapi J.P. Coen tidak mau menyerah dan
melakukan perlawanan.Baurekso bersama pasukanya segera menyerbu
Batavia.Dalam penyerangan itu, Bauresko gugur sebagai syuhada.Atas keberanian
Baurekso dalam serangan Batavia, maka dinamai menjadi legenda dalam
masyarakat Jawa.
Pada tahun 1629, Sultan Agung kembali mengirimkan pasukan untuk merebut
Batavia dari tangan kompeni Belanda.Pasukan Mataram kembali berhasil
mengepung Batavia dan J.P Coen meninggal ketika Batavia sedang dikepung oleh
pasukan Mataram.Namun demikian, pasukan Mataram kembali gagal merebut
Batavia.Kegagalan itu disebabkan oleh cuaca yang semakin parah pasukan
Mataram yang syahid sebelum bertempur, karena sakit.Kegagalan ini juga
menyebabkan bocornya berita penyerangan melalui para pedagang Cina dan mata-
mata Mataram yang tertangkap.
Kondisi Mataram setelah gagalnya Sultan Agung dalam penguasaan Batavia
dari tangan Belanda yang digunakan oleh Giri.Pada tahun 1635, Giri
memberontak kepada Mataram, tapi Sultan Agung dapat mengatasinya.Pada
tahun 1639, Sultan Agung berhasil menguasai Blambangan.Namun tidak lama
kemudian, Blambangan kembali bergabung dengan Bali.
Pada tahun 1633, Sultan Agung membuat kebijakan baru dalam
membudayakan Islam di Jawa, yaitu membuat kalender Jawa Islam.Kalender
Jawa dihitung berdasarkan perjalanan matahari (365 hari).Setelah diubah, maka
dihitung kalender Jawa yang ditentukan pada perjalanan bulan (354 hari).Untuk
menambah legitimasi atas kepemimpinannya, Sultan Agung juga memakai gelar
sunan. Gelar ini ia pakai setelah berhasil menguasai Madura. Gelar sunan ketika
itu hanya digunakan oleh para wali.Artinya, Sultan Agung sudah memposisikan
dirinya sebagai ulama besar yang sederajat dengan para wali.Sultan Agung juga
dikenal sebagai seorang yang gemar pada kesusasteraan.Ia mengarang Sastra
Gending, sebuah karangan sastra yang beraliran mistik. Kemudian Sultan Agung
juga mengirim utusan ke Makkah dan utusan itu kembali pada tahun 1641 dengan
membawa gelar khusus buat Sultan Agung. Gelar tersebut adalah Sultan Abdul
Muhammad Maulana Matarami.
Dalam bidang hukum, Sultan Agung telah menerapkan hukum Islam di
Kesultanan Mataram.Sultan Agung yang menerapkan hukum qishas untuk mereka
yang terbukti melakukan tindakan pembunuhan.Sultan Agung juga menerapkan
hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masalah kenegaraan, seperti perkara-
perkara yang membahayakan keselamatan Kesultanan Mataram.
Dalam upaya menegakkan hukum Islam, Sultan Agung tak hanya bertindak
sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga bertindak sebagai pemuka agama Islam.
Sebenarnya hal ini telah disinggung di atas bahwa Sultan Agung telah
memposisikan dirinya sebagai sunan yang menguasai ilmu agama.Demi tegaknya
syiar Islam, Sultan Agung tidak hanya belajar agama, tetapijuga menjalin
kerjasama yang baik dengan para ulama. Dengan adanya kerjasama yang baik
dengan para ulama, maka Sultan Agung dapat mempermudah kerjanya dalam
menyiarkan agama kepadarakyat Mataram. Jika rakyat Mataram sudah mengenal
Islam, maka mereka akan berusaha mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari, terutama dalam bidang moral dan akhlak. Jika rakyat Mataram
memiliki moral dan akhlak yang baik, maka Mataram akan tumbuh menjadi
kesultanan yang aman, damai, dan makmur. Pada masa pemerintahan Sultan
Agung, para ulama yang ada di Kesultanan Mataram dapat dibagi dalam tiga
bagian, yaitu: Pertama; ulamayang masih berdarah bangsawan. Kedua; ulama
yang bekerja sebagai alat birokrasi (abdi dalem). Ketiga; ulama pedesaan yang
tidak menjadi birokrasi.
Ulama bangsawan adalah ulama yang lahir dari pernikahan para bangsawan
Mataram dengan putri dari keluarga ulama atau ulama yang lahir dari pernikahan
ulama dengan putri dari para keluarga bangsawan. Ulama yang bekerja sebagai
abdi dalem adalah ulama yang bertugas mengurusi soal-soal yangberkaitan
dengan agama di lingkungan kesultanan. Penghulu adalah pangkat tertingginya
dari seorang ulama abdi dalem.Ulama pedesaan adalah ulama yang bertempat
tinggal di pelosok pedesaan.Tingkat kepandaian ulama pedesaan tidak jauh dari
bedanya dengan ulama lainnya.Mereka sengaja menyingkir dari keramaian dan
berdakwah atas kemauan sendiri, oleh karena itu mereka lebih independen.Ulama
Pedesaan sangat disukai oleh masyarakat yang ada di sekitarnya, karena
merekamemiliki kharisma yang tinggi.Dari tiga jenis ulama di atas, hanya ulama
abdi dalem yang selalu tunduk pada sultan, Walaupun Sultan menyimpang dari
kaidah agama.Ulama bangsawan dan alama pedesaan adalah ulama yang berani
melawan sultan, apabila sultan keluar dari ajaran Islam. Di masa pemerintahan
Sultan Agung semua tipe ulama ini memperlihatkan loyalitas yang tinggi pada
lembaga kesultanan, tidak ada sumber yang menceritakan bahwa ada gerakan
ulama untuk menentang pemerintahan Sultan Agung. Sebagai penguasa
Mataram, Sultan Agung sangat membutuhkan para ulama karena mereka memiliki
moral dan pengetahuan yang sesuai dengan pengetahuan yang tinggi.Sultan
Agung menempatkan ulama sebagai penasihat di bidang agama, pemerintahan,
dan militer.Jika ingin membuat kebijakan, Sultan Agung selalu meminta nasehat
dan pertimbangan kepada para ulama.Dalam bidang kemiliteran, ulama juga
mengambil bagian, baik sebagai penasehat spiritual juga bertindak sebagai prajurit
bersama-sama dengan santrinya.
Sultan Agung adalah sultan Mataram yang memiliki pengaruh dan kharisma
yang besar.Sultan Agung juga memiliki cita-cita yang besar, yaitu menyatukan
Jawa di bawah Kesultanan Mataram.Sebelum Sultan Agung berhasil mencapai
cita-citanya itu, la keburu meninggal 1645. Namun kebesaran dan keberaniannya
sebagai Sultan Mataram tetap diakui oleh lawan juga kawan.Setelah Sultan
Agung wafat, Kesultanan Mataram dipimpin oleh anak Sultan Agung,
Amangkurat I. Anak Sultan Agung inimemerintah pada tahun 1645-1677.Sebagai
penguasa Mataram yang baru, Sultan Amangkurat I tidak mampu mampu
melanjutkan sistem kepemimpinan yang pernah dijalankan oleh ayahnya, Sultan
Agung. Justru Sultan Amangkurat I membuat kebijakan-kebijakan yang
kontroversial, di antaranya: Pertama, tidak lagi menghargai para ulama bahkan
berusaha untuk menyingkirkannya. Kedua, Berusaha menghapus lembaga-
lembaga agama yang ada di kesultanan, seperti menghapus Mahkamah Syariah
yang telah dibentuk oleh ayahnya, Sultan Agung.Ketiga, berusaha membatasi
perkembangan Islam dan melarang kehidupan agama mencampuri masalah
kesultanan.Keempat, Mencoba membangun kerjasama yang baik dengan penjajah
Belanda yang menjadi musuh bebuyutan ayahnya.Sebagai seorang penguasa,
Amangkurat I tidak mampu lagi bertindak sebagai Sultan Mataram yang disegani
oleh rakyatnya.Akibatnya Kesultanan Mataram jatuh ke dalam prahara yang tak
berkesudahan antara mereka yang ingin mendapatkan tahta Kesultanan Mataram.
Sultan Amangkurat I terkenal sebagai sultan yang doyan pertahanan.Ia telah
menindas Pangeran Alit, adiknya sendiri. Ia juga mengasingkan anaknya, Adipati
Anom.Dan pada masanya, ribuan ulama syahid dibunuh oleh Sultan Amangkurat
I.
Pada tahun 1646, Sultan Amangkurat I menjalin kerjasama yang lebih erat
dengan penjajah Belanda.Sultan Amangkurat I menyerahkan hasil berasnya di
Pesisir utara Jawa kepada Belanda dan Belanda pun selalu memberikan hadiah
oleh Sultan Amangkurat I. Hubungan mesra Sultan Amangkurat I dengan Belanda
inilah yang menyebabkan konflik di Kesultanan Mataram meningkat, jadi
berakibat semakin terpuruknya kekuasaan Mataram ke tingkat yang paling
menyedihkan.
Pada tahun 1647, Pangeran Alit, adik Sultan Amangkurat I melakukan
perlawanan terhadap kakaknya.Pangeran Alit sangat kecewa dengan berbagai
tindakan Sultan Amangkurat I, terutama dengan dijadikannya penjajah Belanda
sebagai teman.Namun, perlawanan Pangeran Alit dapat dipadamkam oleh Sultan
Amangkurat I, sehingga Pangeran Alit berhasil dibunuh.
Pada tahun 1670, Sultan Amangkurat I mengumpulkan ulama dan keluarganya
di alun-alun Plered.Para ulama itu kemudian dibariskan dan dibantai secara
keji.Menurut laporan Van Goens ada sekitar 6.000 ulama beserta keluarganya
yang dibunuh di alun-alun Pleret tersebut. Bahkan, sumber lain menyebutkan
jumlah ulama yang dibunuh oleh Sultan Amangkurat I lebih dari 6.000 orang.
Cara Sultan Amangkurat I dalam meminta yang tidak memperhatikan nilai-
nilai kearifan yang telah mendatangkan kemarahan masyarakat.Masyarakat.Dalam
kondisi seperti ini, Raden Kajoran, seorang ulama bangsawan yang lebih banyak
menghabiskan waktunya di pedesaan, melakukan perlawanan.Raden Kajoran
segera menyusun kekuatan yang terdiri dari para santri dan rakyat pedesaan.Raden
Kajoran juga mendapat dukungan dari Adipati Anom, anak Sultan Amangkurat I
dan Trunojoyo, bangsawan dari Madura.Untuk memperkuat barisan, Raden
Kajoran juga menikahkan anaknya dengan Trunojoyo.Mereka bertiga telah
sepakat untuk berjuang melawan kedhaliman Sultan Amangkurat I yang telah
berkuasa secara angkuh lagi kejam. Kekuatan Raden Kajoran, Adipati Anom, dan
Trunojoyo semakin kuat ketika Karaeng Galesong, bangsawan Gowa yang tidak
menerima hasil perjanjian Bongaya, beserta dengan pasukannya untuk membantu
mereka dalam melawan Sultan Amangkurat I yang telah bersekutu dengan
Belanda. Namun dalam perkembangan selanjutnya, Adipati Anom melakukan
pengkhianatan. Adipati Anom keluar dari aliaansi Raden Kajoran dan Trunojoyo,
karena dia sudah diampuni oleh ayahnya Sultan Amangkurat I. Aliansi Raden
Kajoran, Trunojoyo,dan Karaeng Galesong terus berjuang melawan Sultan
Amangkurat I. Pada Bulan Juni 1677, aliansi Raden Kajoran, Trunojoyo, dan
Karaeng Galesong berhasil mengepung pusat pemerintahan Sultan Amangkurat I
di Plered. Pada tanggal 12 Juli 1677, aliansi tersebut berhasil merebut istana
Plered, sedangkan Sultan Amangkurat I beserta anaknya, Adipati Anom berhasil
menyelamatkan diri dan kemudian lari menuju Batavia untuk meminta bantuan
penjajah Belanda.Sultan Amangkurat I jatuh sakit dalam perjalanan menuju
Batavia dan meninggal di hutan Wanayasa.Amangkurat I dimakamkan di Tegal
Wangi.
Sebelum Sultan Amangkurat I wafat, ia sudah menetapkan Adipati Anom
sebagai Sultan Mataram yang baru. Setelah dilantik Adipati Anom diberi gelar
Sultan Amangkurat II.Sultan Amangkurat II segera melanjutkan usaha ayahnya
untuk menjalin kerjasama dengan Belanda. Kerja sama itu diharapkan dapat
kembali merebut tahta Mataram dari tangan aliansi Raden Kajoran, Trunojoyo,
dan Karaeng Galesong. Pada tanggal 20 Oktober 1677, Sultan Amangkurat II
menandatangani perjanjian kerjasama dengan penjajah Belanda di Jepara. Dalam
perjanjian kerjasama, telah disepakati beberapa hal penting, yaitu: Pertama,
daerah sebelah Timur Kerawang hingga Sungai Pemanukan diserahkan kepada
penjajah Belanda. Kedua, Sultan Amangkurat II mengakui berhutang kepada
penjajah Belanda sebesar 250.000 real Spanyol, 3.000 koyan beras, mengganti
biaya perang Belanda sebesar 20.000 real setiap bulannya. Ketiga, daerah ujung
Timur pantai Utara Jawa hingga Kerawang menjadi daerah pengawasan penjajah
Belanda. Keempat, semuaimport kain cita dan candu di daerah jawa menjadi
monopoli belanda. Setelah perjanjian Jepara ditandatangani, maka Sultan
Amangkurat II dan penjajah Belanda segera melakukan penyerangan besar-
besaran terhadap Mataram.Aliansi Raden Kajoran dan Trunojoyo tidak berhasil
menahan gerak laju pasukan Sultan Amangkurat II yang berkolaborasi dengan
kompeni Belanda.Akhimya, Raden Kajoran melarikan ke Gunung Kidul dan
Trunojoyo melarikan diri ke Jawa Timur.Raden Kajoran berhasil ditangkapdan
dibunuh oleh Belanda pada tanggal 14 September 1679.Sementara Trunojoyo
berhasil ditangkap oleh Belanda di lereng Utara Gunung Kidul pada tanggal 25
Desember 1679.Pada tanggal 2 Januari 1680, Trunojoyodibunuh oleh Sultan
Amangkurat II.Dengan demikian, Sultan Amangkurat II berhasil kembali merebut
tahta Mataram dari tangan aliansi Raden Kajoran dan Trunojoyo.Setelah berkuasa,
Sultan Amangkurat II berusaha untuk melakukan rekonsiliasi dengan para ulama
supayatragedi yang menimpa ayahnya, Sultan Amangkurat I tidak terjadi lagi.Para
ulama kembali difungsikan sebagai penasehat kesultanan.Kebijakan ini tetap
dilanjutkan oleh para penggantinya.
Walaupun, Sultan Amankurat II berhasil mengembalikan wibawa para ulama,
tetapi persoalan Mataram juga belom selesai, terutama tentang konflik istana dan
semakin kuatnya campur tangan Belanda.Setelah wafatnya Sultan Amangkurat II,
Kesultanan Mataram semakin merosot dan campur tangan Belanda semakin
menguat.Pada tahun 1816, Inggris kembali menyerahkan Indonesia kepada
Belanda. Pada 1825-1830 terjadi perlawanan dari Pangeran Diponegoro terhadap
Belanda.Pangeran Diponegoro ingin kembali menyatukan Jawa di bawah panji-
panji Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Sultan Agung. Usaha Pangeran
Diponegoro mwngalami kegagalan, karena ia berhasil ditipu oleh Belanda dan
kemudian ditangkap dan dipindahkan ke Makassar.26

5. Kesultanan Banten
Kesultanan Banten dibuat oleh Fatahillah pada Tahun 1525.Fatahillah adalah
ulama terkenal dari Pasai. Setelah Pasai dikuasai oleh Portugis, ia meninggalkan
wilayah itu dan pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kembali dari Makkah,
ia tidak mau lagi kembali ke Pasai, tetapi pergi menuju Kesultanan Demak. Di
Demak, ia diterima oleh Sultan Trenggono dan dinikahkan dengan saudara
perempuan Sultan Trenggana. Setelah menikah, ia ditugaskan oleh Sultan
Trenggono untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat. Pada tahun 1525, ia berhasil
menyingkirkan bupati Sunda dan pada tahun 1527 berhasil membebaskan
pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Fatahillah meninggal pada tahun
1570 di Cirebon dalam usia 80 tahun. Setelah meninggal, sosok Fatahillah dikenal
sebagai sosok yang langka, karena ia adalah seorang ulama, penguasa, dan
panglima perang.
Setelah Fatahillah meninggal, posisinya sebagai penguasa Banten dilanjutkan
oleh putranya, Sultan Hasanuddin.Sultan Hasanuddin berhasil mengembangkan
usaha penyebaran Islam sampai ke wilayah Lampung dan sekitarnya. Bagi
Banten, wilayah Lampung dan sekitarnya merupakan penghasil lada yang paling
produktif. Banten tumbuh menjadi pelabuhan Lada terbesar di Jawa, karena
banyak disinggahi para pedagang dari Cina, India dan Eropa.Setelah
meninggalnya Sultan Trenggono pada tahun 1546,Banten di bawah pimpinan
Sultan Hasanuddin memisahkan diri dari Kesultanan Demak, karena Kesultanan
Demak sudah runtuh dan digantikan dengan Kesultanan Pajang. Sultan
Hasanuddin meninggal pada tahun 1570. Setelah meninggal, ia diberi gelar
Pangeran Saba Kingking dan posisinya sebagai Sultan Banten digantikan oleh
Maulana Yusuf Panembahan Pangkalan Gede, yang memerintah pada tahun 1570-
1580.
Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf mendirikan Masjid Agung
Banten, membangun benteng yang kuat, memperluas perkampungan dan
pesawahan, serta membangun irigasi dan bendungan-bendungan. Pada tahun
1579, ia juga berhasil menguasai Kerajaan Pakuan, benteng terakhir pertahanan
Hindu di Jawa Barat. Setelah berhasil menguasai Pakuan, Maulana Yusuf
membuat ibu kota, yaitu Banten Surasowan (Sura Saji).
Setelah meninggalnya Maulana Yusuf, Banten beberapa kali diperintah oleh
sultan yang masih anak-anak.Pengganti Maulana Yusuf adalah putranya, Maulana
Muhammad, yang baru berumur sembilan tahun.Ia memerintah pada tahun 1580-
26
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 80
1596. Maulana Muhammad wafat dalam usia 25 tahun dan posisinya sebagai
Sultan Banten digantikan oleh putranya, Abulmufakhir Mahmud Abdulkadir,
yang baru berusia lima tahun. Pada tahun 1596 inilah, Belanda datang untuk
pertama kalinya ke Banten, setelah berlayar begitu lama dari Eropa.
Kesultanan Banten mulai bangkit kembali, ketika dipimpin oleh Sultan Ageng
Tirtayasa yang berkuasa pada tahun 1651-1680.Cita-cita Sultan Ageng Tirtayasa
adalah mempersatukan wilayah Pasundan di bawah kekuasaan Banten dan
memajukan agama Islam.Untuk memajukan agama Islam, Sultan Ageng Tirtayasa
bekerjasama dengan ulama-ulama tasawuf yang mumpuni, salah satunya adalah
Syaikh Yusuf al-Makassari.
Syaikh Yusuf al-Makassari adalah seorang ulama tasawuf yang
terkenal.Syaikh ini lahir di Gowa pada tahun 1626. Pada tahun 1644, ia pergi
berkelana sampai di Jazirah Arabia untuk mendami ajaran Islam. Pada tahun
1670, Syaikh Yusuf Al-Makassari kembali ke Nusantara. Setibanya di Nusantara,
Syaikh Yusuf Al-Makassari telah mendapati kampung halamannya, Gowa, telah
dikuasai oleh penjajah Belanda. Karena itu, ia memutuskan untuk menetap di
Kesultanan Banten. Di Banten, Syaikh Yusuf Al-Makassari dijadikan menantu
oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Menetapnya Syaikh Yusuf Al-Makassari di Kesultanan Banten telah
menyebabkan Banten berkembang menjadi salah satu pusat pengajaran tarekat,
terutama tarekat Khalwatiyah dan Rifa'iyah.Melalui tarekat, Sultan Ageng
Tirtayasa berusaha mengasah semangat jihad rakyat Banten untuk berjuang
melawan Belanda. Di Banten, Syaikh Yusuf tidak hanya berperan sebagai ulama
tasawuf, tetapi juga tampil sebagai pejuang yang gigih berani. Syaikh Yusuf
bersama-sama dengan mertuanya, Sultan Ageng Tirtayasa, bahu membahu dalam
berjihad melawan penjajah Belanda.
Pada Masa Sultan Ageng Tirtayasa, pelabuhan Banten mampu berkembang
menjadi pelabuhan ekspor internasional. Dari pelabuhan Banten, banyak
komoditi dagang yang diekspor ke Persia, India, Arab, Manila, Tiongkok, dan
Jepang.Sultan Ageng Tirtayasa juga melakukan hubungan dagang dengan Inggris,
Prancis, Denmark, dan Portugis.Di sektor pertanian, Sultan Ageng Tirtayasa
membuka lading-ladang baru, perluasan sawah, dan perbaikan pengairan.Banten
di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mengalami kemajuan yang sangat
pesat. Sultan Ageng Tirtayasa membangun kapal pesiar "Lancang Kuning", yang
dapat ia pakai bersama bangsawan Banten untuk berburu rusa dan banteng.
Petaka Banten dimulai ketika Sultan Muda Abun Nashr Abdul Kahar (anak
Sultan Ageng Tirtayasa), yang dikenal juga dengan sebutan Sultan Haji bermain
mata dengan Belanda. Pihak Belanda mendapat keuntungan dari sikap yang
dipertunjukan oleh Sultan Haji.Belanda juga sering melakukan tindakan-tindakan
yang merugikan Kesultanan Banten.Melihat gelagat Belanda yang tidak
menguntungkan itu, Sultan Ageng Tirtayasa menyatakan perang kepada
Belanda.Namun pernyataan perang dari Sultan AgengTirtayasa itu ditentang oleh
putranya sendiri, yaitu Sultan Muda Abun Nashr Abdul Kahar alias Sultan Haji.
Sultan Ageng Tirtayasa tidak hanya ditentang oleh Sultan Haji, tetapi pada
tanggal 1 Maret 1680, ia juga dipecat oleh Sultan Haji sebagai Sultan Banten.
Sultan Tirtayasa dijadikan tahanan istana oleh Sultan Haji.Melihat perlakuan
Sultan Haji yang tidak berpihak pada Kesultanan Banten, maka rakyat melakukan
perlawanan terhadap Sultan Haji.Merasa tidak sanggup menghadapi
pemberontakan rakyat Banten, Sultan Haji meminta bantuan Belanda.Pada tahun
1681-1682 peran terbuka antara Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda yang
bekerjasama dengan anaknya, Sultan Haji berlangsung sengit.Pada tahun 1683,
Sultan Ageng Tirtayasa menyerah kepada Belanda dibawa ke Batavia.Ia wafat
pada tahun 1695 dalam penahanan di Batavia.Setelah menyerahnya Sultan Ageng
Tirtayasa, Kesultanan Banten tidak lagi mampu mengembangkan dirinya sebagai
kesultanan, Banten lebih banyak menghasilkan kemauan Belanda.
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa menyerah, perjuangan rakyat Banten tetap
dilanjutkan oleh menantunya, Syaikh Yusuf Al-Makassari yang dibantu oleh
Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul.Pasukan yang dimiliki Syaikh Yusuf
diperkirakan sekitar 5.000 orang sampai 1.000 orang yang diantaranya adalah
orang Makassar, Bugis, dan Melayu.Mereka semua siap menjemput syahid
bersama dengan Syaikh Yusuf. Pada tanggal 14 Desember 1983, dengan
menggunakan cara muslihat, penjajah Belanda berhasil menangkap Syaikh Yusuf
Al-Makassari bersama pasukannya. Setelah ditangkap, Syaikh Yusuf Al-
Makassari dibuang ke Ceylon (Sri Langka).Kharisma Syaikh Yusuf yang sangat
besar membuat penjajah Belanda membutuhkan tempat memindahkan dari tempat
pembuangan dari Ceylon ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Syaikh Yusuf
dibuang ke Tanjung Harapan pada tahun 1694, dalam usia 68 tahun.
Selama masa pembuangan di Tanjung Harapan, Syaikh Yusuf terus
mengajarkan ilmu agama kepada para pengikutnya.Pada tanggal 22 Mei 1699,
Syaikh Yusuf Al-Makassari wafat di Tanjung Harapan.Sebagai ulama sekaligus
pejuang, Syaikh Yusuf Al-Makassari telah meninggalkan karya-karya yang
ditulisnya ketika berada di Banten, Ceylon, dan Tanjung Harapan.Salah satu
karyanya adalah Risalah Al-Ghayat Al- Ikhtisar wa Al-Nihayat Al-Intizhar.27

6. Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon ditetapkan oleh (1524) Fatahillah (ipar dari Sutan
Trenggana), karena mengawini saudara perempuan Raja Demak.Peranannya yang
cukup besar, tidak saja dalam agama, tetapi lebih-lebih juga dalam militer,
rupanya menyebabkan dia mendapat kepercayaan dari Sultan Trenggana untuk
mengadakan ekspansi ke Jawa Barat.Setelah berhasil merebut Banten sebagai
pangkal tolak pengislaman di Jawa Barat, maka Fatahillah segera merebut dan
mengislamkan seluruh pantai utara Jawa Barat sampai Cirebon. Sunda Kelapa,

27
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 83-
87
Bandar Pajajaran, yang dapat menjadi saingan, direbut pada 1527, dan sebagian
dari Banten diberinya nama Jayakarta.28
Setelah Kesultanan Cirebon dirintis, Fatahillah mempercayakan kepada
putranya, Pangeran Pasarean sebagai Sultan Cirebon yang pertama dan
melanjutkan perjalanannya ke Banten.
Pada tahun 1552, Pangeran Pasarean meninggal.Karena itu, Fatahillah
menyerahkan Banten ke putranya, Hasanuddin. Fatahillah kemudian kembali ke
Cirebon dan wafat pada tahun 1570 di kota tersebut. Setelah wafat, Fatahillah
digantikan secara berurutan oleh Pangeran Dipati Ratu wafat pada tahun 1650,
Pangeran Dipati Anom Karbon, dan Panembahan Girilaya. Panembahan Girilaya
memiliki 3 orang, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran kartawijaya, dan
Pangeran Wangsakarta. Pada saat terjadinya perang Trunojoyo, ketiga pangeran
ini sementara berada di Mataram.Ketiganya berhasil ditangkap oleh Trunojoyo,
kemudian dibawa ke daerah Kediri.Tiga pangeran ini berhasil melarikan diri ke
Banten yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa.Ketiga Pangeran ini
diperintahkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk kembali ke Cirebon dan
membagi kekuasaan di Cirebon dengan adil, serta dilarang bersahabat dengan
Belanda.
Pada tahun 1681 Kesultanan Cirebon dipaksa menandatangani perjanjian
dengan Belanda.Pada tahun 1788, Cirebon bangkit melawan Belanda di bawah
pimpinan Mirsa bersama para ulama.Perlawanan ini berhasil dipatahkan oleh
Belanda.Kemudian Cirebon bangkit kembali melawan Belanda pada tahun 1793,
1796, dan 1802.Semua perlawanan ini tetap berhasil dilumpuhkan oleh Belanda.29

7. Kesultanan Islam di Madura


Sebelum masuknya Islam, Madura berada di bawah kekuasaan
Majapahit.Setelah berdirinya Kesultanan Demak, maka Madura dijadikan salah
satu pusat islamisasi di wilayah Jawa Timur.Pada tahun 1624, Sultan Agung dari
Mataram berhasil menaklukkan Madura.Satu-satunya keturunan raja Madura yang
masih hidup adalah Raden Praseno dan Sultan Agung membawanya ke
Mataram.Setelah dewasa, Raden Praseno dinikahkan dengan adik Sultan
Agung.Kemudian Madura dipercayakan kepada Raden Praseno dan diberi gelar
Pangeran Cakraningrat I (1624-1648).30
Setelah wafatnya Sultan Agung, Kesultanan Mataram tidak lagi memiliki
kharisma sebagai penguasa tunggal di Jawa, karena pengganti Sultan Agung
melakukan kompromi dengan penjajah Belanda.Pada tahun 1674, Trunojoyo
memimpin rakyat Madura melawan Sultan Mataram yang telah bekerjasama
dengan Belanda.Dalam melawan Mataram dan Belanda, Trunojoyo dibantu oleh
Banten dan laskar dari Makassar.Dalam perang ini, Trunojoyo dan pasukannya
28
Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta,
Penerbit Ombak, 2012), Hlm 142-143
29
Ibid, Hlm 147
30
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 92
berhasil dikalahkan oleh Belanda.Pada tahun 1679 Trunojoyo menyerahkan diri
dan menyerahkan mati pada tahun 1680.
Setelah wafatnya Trunojoyo, Madura tidak mampu lagi mengadakan
perlawanan terhadap pengaruh Mataram dan Belanda.Sejak saat itu, Madura
berada di bawah pengaruh Mataram dan Belanda.Pada akhir abad ke-19,
Kesultanan Islam di Madura 18 dihapuskan oleh Belanda.31

D. Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi


1. Kerajaan Islam Makassar
Kata Makassar diambil dari nama Ibu Kota kerajaan Gowa. Cikal bakal
Kesultanan Makassar adalah Kerajaan Gowa yang didirikan oleh
Tumanurung. Adapun yang dimaksud dengan kerajaan Makassar semula
adalah dua kerajaan yang terletak di daerah ini, yaitu Gowa dan Tallo. Karena
eratnya hubungan antara kedua kerajaan tersebut maka pada umumnya orang
awam menyebutnya dengan “kerajaan Makassar”.
Pada masa pemerintahan raja Gowa VI, Tonatangka Lopi membagikan
wilayah kerajaan kepada dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng
Loe ri Sero. Batara Gowa melanjutkan kekuasaan Gowa sebagai Raja Gowa
VII. Wilayah kekuasaannya meliputi Paccelekang, Pattalasang, Bontomani I-
Lau, Bontomani I-Raya, Tombolo dan Mangasa. Sedang adiknya, Karaeng
Loe ri Sero mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Tallo dengan wilayah
kekuasaan meliputi Saumata, Pannampu, Moncong Loe, dan Parang Loe.
Dalam sejarah kedua kerajaan ini disebut sebagai “Kerajaan Kembar”.
Pada awal abad ke-16, ketika Gowa dipimpin oleh Karaeng Tumapa’risi’
Kallona. Raja ini memerintahkan pada tahun 1510-1546. Pada masa
pemerintahannya, Karaeng Tumapa’risi’ kallona berhasil mempersatukan
kerajaan Gowa dengan kerajaan Tallo. Setelah bergabung, kerajaan Gowa dan
Tallo lebih dikenal dengan Kerajaan Makassar. Karaeng Tumapa’risi’ Kallona
tidak hanya berhasil mendirikan Kerajaan Makassar, tetapi juga berhasil
memindahkan istana Kerajaan Makassar dari Tamalate yang agraris ke Sumba
Opu yang berwilayah maritim. Pindahnya pusat kerajaan Gowa ini merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan Makassar cepat berkembang menjadi
Kerajaan Maritim di Nusantara bagian Timur.32
Pada akhir abad ke-15, Makassar sudah ramai dikunjungi oleh para
pedagang Jawa dan Malaka. Jadi perkembangan perdagangan yang ada di
pelabuhan Makassar merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan
Karaeng Tumpa’risi’ Kallona memindahkan pusat kerajaan ke pinggir pantai.
Dengan pindahnya pusat kerajaan ke pinggir pantai, maka Karaeng
Tumapa’risi’ kallona dapat dengan mudah mengembangkan Makassar sebagai
salah satu pusat perdagangan di Nusantara bagian timur.
31
Ibid, Hlm 92
32
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 95
Karaeng Tumapa’risi’ Kallona adalah seorang raja yang lahir dari keluarga
pedagang. Ibunya, I Rerasi, adalah seorang putri pedagang kapur dari utara,
yang mengunjungi Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-7, Batara
Gowa. Darah pedagang yang mengalir dari ibunya telah mengalir pula dalam
tubuh Karaeng Tumapa’risi’ Kallona dan itu pula yang mendorong Karaeng
ini menjadikan Makassar sebagai kerajaan yang berorientasi pada
perdagangan maritim.
Setelah Karaeng Tumapa’risi kallona meninggal, Kerajaan makassar
dipimpin oleh Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung
Tunipalangga (1546-1565). Pada masa pemerintahan Karaeng Lakiung
Tunipalangga sudah banyak para pedagang islam Nusantara yang menetap di
Makassar. Setelah Karaeng lakiung Tunipalangga meninggal, ia digantikan
oleh I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta sebagai raja Gowa
XI. Karaeng Data Tunibatta ini hanya memerintah selama 40 hari, karena
tewas dalam pertempuran melawan kerajaan Bone. Setelah itu Kerajaan
Makassar dipimpin oleh Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa
Tunijallo. Raja Gowa XII ini memerintah pada tahun 1565-1590. Setelah
Tunijallo meninggal, kerajaan Makassar dipimpin oleh Raja Gowa XIII, I
Tepu Karaeng Daeng Parambung Karaeng ri Bontolangkasa Tunipasulu’. Raja
Gowa XIII ini memerintah pada tahun 1590-1593. Tunipasulu’ dipecat
sebagai raja Gowa, karena banyak melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Sebagai gantinya, maka diangkatlah I Mangarangi Daeng Manrabia Sultan
Alauddin sebagai Raja Gowa XIV. Sultan Alauddin merupakan raja Makassar
yang pertama masuk Islam. Ia memerintah pada tahun 1593-1639.33
Agama islam masuk pertama kali ke kerajaan Gowa dan Bone secara
resmi sekitar tahun 1602 M atau 1603 M. Sebagai bukti bahwa islam telah
diterima adalah adanya kunjungan tiga orang guru agama Islam dari
Minangkabau kepada raja Gowa, Karaeng Kanigallo. Tiga orang guru agama
tersebut adalah Datuk ri Bandang (Abdul Makmur, Khatib Tunggal), Datuk ri
Tiro (Abdul Jawad, Khatib Bungsu) dan Datuk Patimang (Sulaiman, Khatib
Sulung).
Sultan Alauddin adalah raja Makassar pertama yang memeluk agama
Islam. Ia memimpin Makassar dari tahun 1591-1638. Nama asli dari Sultan
Alauddin adalah Karaeng Ma ‘towaya Tumamenanga Ri Agamanna. Gelar
Sultan Alauddin didapatkannya setelah masuk Islam. Pada tanggal 9
November 1607, sultan Alauddin mengeluarkan dekrit untuk menjadikan
Islam sebagai agama kerajaan dan agama masyarakat. Sampai di sini
penerimaan Islam berlangsung secara damai. Tetapi kemudian muncul
masalah ketika Sultan Alauddin mencoba untuk mewujudkan cita-citanya
dalam menyebarkan ajaran Islam kepada kerajaan-kerajaan tetangga. Sultan
Alauddin menyebarkan Islam kepada kerajaan-kerajaan tetangganya di
33
Ibid, hlm 96
Sulawesi Selatan, karena sebelumnya sudah ada perjanjian yang telah
disepakati bersama. Perjanjian itu berbunyi:
“… Bahwa barang siapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia
berjanji akan
memberitahukan (tentang jalan yang baik itu) kepada raja-raja
sekutunya…”34
Seruan dakwah yang di syiarkan oleh Sultan Alauddin ini diterima baik
oleh Kerajaan Sawitto, kerajaan Balanipa di Mandar, kerajaan Bantaeng, dan
Kerajaan Selayar. Tetapi ajakan itu ditolak oleh tiga kerajaan besar yang
tergabung dalam ikatan kerajaan Tellumpocoe, yaitu kerajaan Bone, Soppeng,
dan Wajo. Mereka menganggap bahwa seruan dakwah Sultan Alauddin
hanyalah taktik untuk dapat melakukan hegemoni politik dan ekonomi di
seluruh Kerajaan Tellumpoccoe. Karena kerajaan Tellumpoccoe menolak
ajakan Sultan Alauddin unutk masuk Islam secara damai, maka terjadilah
perang antara Kesultanan Makassar dengan Kerajaan Tellumpoccoe. Pada
tahun 1609, kesultanan Makassar berhasil mengalahkan Kerajaan Soppeng,
kemudian diikuti oleh kerajaan Wajo, sedangkan Bone baru bias dikalahkan
pada tahun 1611. Pada tahun 1609, Raja Soppeng masuk islam kemudian
diikuti oleh Raja Wajo tahun 1610. Setelah berhasil mengajak Soppeng dan
Wajo masuk Islam, maka hanya kerajaan Bone yang belum masuk Islam.
Akhirnya pada tahun 1611, Raja Bone mengikuti rekan-rekannya sesama Raja
Tellumpoccoe untuk masuk Islam. Sultan tidak hanya berhasil menguasai
kerajaan Tellumpoccoe, tetapi pada masa pemerintahannya, ia berhasil
menguasai seluruh kerajaan di Sulawesi.
Setelah Sultan Alauddin wafat, beliau kemudian digantikan oleh Sultan
Malikus Said. Sultan ini memerintah pada tahun 1639-1653. Untuk
mewujudkan Makassar sebagai Kesultanan yang sukses dalam dunia
kemaritiman, maka Sultan Malikus Said membangun hubungan diplomatic
dengan dunia internasional, diantaranya dengan Gubernur Spanyol di Manila,
Gubernur Portugis di Goa (India), penguasa Keling di Koromandel, Raja
Inggris, Raja Portugal, Raja Kastila dan Mufti di Makkah.
Langkah-langkah diplomatik yang dijalankan oleh Sultan Makassar dalam
menghadapi ancaman yang datang dari kompeni Belanda. Usaha-usaha
tersebut membuahkan hasil yang nyata, karena sultan Malikus Said berhasil
membawa Kesultanan Makassar mengalami masa keemasannya.35
Setelah Sultan Malikus Said meninggal, ia digantikan oleh putranya,
Sultan Hasanuddin. Sebenarnya, Sultan Hasanuddin bukanlah pewaris utama
tahta Kesultanan Makassar, karena ia bukan Anak Pattola. Tetapi, karena
Sultan Hasanuddin memiliki berbagai kelebihan dibanding saudaranya yang
lain, maka dialah yang diangkat menjadi Sultan Makassar.
34
Ibid, hlm 98
35
Ibid, hlm 102
Sultan Hasanuddin berkuasa pada tahun 1653-1669. Pada masa
pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berusaha menjaga kedaulatan dan
kejayaan Kesultanan Makassar dari cengkeraman Belanda. Pada tahun 1653
juga, Sultan Hasanuddin sering mengirimkan angkatan lautnya untuk berlayar
menuju kepulauan Maluku untuk mengawal para pedagang dari Makassar
melakukan perdagangan di luar pengawasan Belanda. Hal inilah yang
membuat Belanda sangat membenci Kesultanan Makassar. Bagi Belanda,
Kesultanan Makassar merupakan penghalang utama baginya untuk melakukan
monopoli perdagangan rempah-rempah di kepulauan Indonesia. Dalam sejarah
tercatat beberapa kali peperangan antara kesultanan makassar dibawah
pimpinan Sultan Hasanuddin dengan Belanda. Pada perang taahun 1660,
Sultan Hasanuddin bersedia berdamai dengan Belanda dan mengutus Karaeng
Popo untuk menandatangani perjanjian damai di Batavia.
Setelah perjanjian Batavia, Sultan kembali membangun pertahanan dengan
mengerahkan ribuan prajurit dari suku Makassar, Bone dan Soppeng dan lain-
lain. Dalam usaha mengonsolidasikan kekuatan, Sultan Hasanuddin
kehilangan satu tokoh Bugis, yaitu Arung Palakka yang bergabung dengan
Belanda. Pada tahun 1666, terjadilah perang besar-besaran antara Kesultanan
Makassar dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin dengan Belanda. Dalam
perang ini, Belanda dipimpin oleh Cornelis Speelman. Akhirnya, Belanda
dibawah pimpinan Speelman dan dibantu Arung Palakka sebagai Bangsawan
Bugis berhasil mengalahkan Sultan Hasanuddin.
Pada tanggal 18 Oktober 1667, Sultan Hasanuddin terpaksa
menandatangani Perjanjian Bongaya. Perjanjian ini sangat merugikan
Kesultanan Makassar. Tidak puas dengan Perjanjian Bongaya, pada tahun
1668 terjadi lagi perang antara Kesultanan Makassar dengan Belanda. Pada
tanggal 24 Juni 1669, Benteng Somba Opu sebagai pertahanan terakhir Sultan
Hasanuddin berhasil dikuasai oleh Belanda. Atas keberanian dan ketangguhan
Sultan Hasanuddin dalam berperang melawan Belanda, maka oleh Belanda, ia
diberi gelar “Ayam Jantan dari Timur” (Haantjes van Het Oosten). Setelah
mengalami kekalahan, Sultan Hasanuddin dipaksa oleh Belanda untuk
menyerahkan tahta Kesultanannya kepada putranya, yaitu I Mappasomba.
Sultan Hasanuddin meninggal pada tanggal 12 Juni 1670. Para pengganti
Sultan Hasanuddin tidak mampu lagi mengangkat kejayaan Kesultanan
Makassar, karena selalu diawasi oleh Belanda.
Setelah Makassar jatuh ke tangan Belanda, maka para pelaut dan pedagang
Bugis-Makassar melakukan migrasi ke berbagai wilayah Nusantara,
diantaranya menuju Sulu, Kutai, Banjarmasin, Riau dan Semenanjung Malaka.
Bahkan, mereka selalu melakukan perdagangan dengan penduduk Maluku dan
sekitarnya di luar pengawasan Belanda.

2. Kerajaan Islam Buton


Kerajaan Buton terletak di Propinsi Sulawesi Tenggara (sekarang). Di
sebelah barat dibatasi oleh pulau Muna; sebelah utara dibatasi oleh pulau
Wowoni dan Sulawesi. Sebelah timur dibatasi oleh laut Banda dan di sebelah
selatan dibatasi oleh laut Flores.
Asal usul nama Buton sampai saat ini belum bisa dipastikan secara tepat.
Beberapa pendapat menyebutkan sebagai berikut : pertama Buton berasal dari
Bahasa Arab Butun yang berarti mengandung. Pengertian ini dikiaskan bahwa
tanah Buton berisi banyak sekali kandungannya; banyak hasil bumi yang
terrpendam. Kedua, kata Button berasal dari sejenis pohon yang diketemukan
oleh para pelaut yang banyak tumbuh di pesisir pulau ini yang dinamakan
dengan pohon Buton. Ketiga, berasal dari kitab Negara Kertagama karangan
Empu Prapanca, pujangga pada masa Majapahit yang menyebut daerah Buton
sebagai wilayah dari pada kerajaan Majapahit. Keempat, Buton berasal dari
pohon kayu tempat penyembahan ghaib yang oleh penduduk di masa lampau
dinamakan pohon “Futub”.36
Berdasarkan sumber lisan yang banyak dituturkan oleh masyarakat Buton
munculnya kerajaan Buton diawali dengan datangnya dua rombongan imigran
yang berasal dari Melayu-Johor ke Buton pada abad ke-13 dan awal abad ke-
14. Dijelaskan masa itu ada imigrasi yang dilakukan kedua rombongan
tersebut akibat adanya permasalahan politik di dalam negeri.
Kerajaan Buton didirikan Oleh seseorang yang bernama Si Pajongga
sekitar abad ke-13. Pada masa raja yang kelima yaitu Raja Mulahe, kerajaan
Buton berubah corak yang semula bercorak Hindu berubah menjadi corak
Islam. Proses pengislaman ini dibawa oleh seorang Muballigh Islam yang
bernama Syekh Abdul Wahid. Agama Islam sangat maju di daerah ini.
Terbukti dengan banyaknya masjid-masjid yang dibangun, terciptanya kitab-
kitab tentang islam, didirikannya perpustakaan yang berfungsi menyimpan
buku-buku agama dan juga adanya pendidikan atau pengajaran-pengajaran
tentang agama islam yang dilakukan di Masjid, masjid juga menjadi pusat
pendidikan kader, dakwah, ibadah dan pemerintahan.
Akan tetapi sepeninggal sultan Muhammad Idrus, perkembangan Islam
mulai menurun dan menjadi awal kemunduran kesultanan Buton. Ini
disebabkan tidak ada lagi sultan-sultan yang sama seperti sebelumnya. Sebab
lain adalah berkurangnya Muballigh Islam yang dating ke Buton karena
adanya beberapa peperangan di daerah Aceh dan Sumatera. Sultan yang
terakhir adalah Sultan Muhammad Falaqi. Dan Kesultanan Buton sekarang
hanyalah menjadi sebuah monument yang dianggap penting oleh Propinsi
Sulawesi Tenggara.
Setelah kedatangan Belanda ke Buton tahun 1900 keadaan perkembangan
Islam di Kesultanan Buton menjadi surut. Beberapa Sultan di tangkap, suasana
kehidupan beragama merosot. Kewajiban ibadah seperti sholat, puasa tidak
36
Ahwan Mukarrom, Sejarah Islam di Indonesia 1, (Surabaya: UIN Sunan Ampel,2014) hlm 212
patuhi lagi. Sultan terakhir adalah Sultan Muhammad Falaqi, setelah
kemerdekaan status Kesultanan Buton menjadi bagian dan Propinsi Sulawesi
Tenggara. Sekarang Kesultanan hanya merupakan monument penting di
Sulawesi Tenggara yang di jadikan sebagai objek pariwisata. Letak kesultanan
Buton berada di puncak sebuah bukit di kota Bau-bau ibukota kabupaten
Buton sekarang.
Dilihat dan beberapa kontribusi yang dimainkan kerajaan Buton dan
beberapa faktor dan juga perkembangannya sampai menjadikan agama Islam
sebagai agama resmi kerajaan ini, juga didapati sumbangsih Kerajaan Buton
dan aspek politik yang memasukkan pengaruh Islam yang termaifestasi dalam
pemilihan pejabat mulai dan sultan sampai pejabat yang paling rendah
dibawahnya.
Orang yang berjasa menyebarkan Islam di Buton adalah seorang mubaligh
Arab yang bernama Syekh Abdul Wahid yang tiba di Buton untuk menyiarkan
Islam tahun 1527 M. atau tahun 933 H. Sebelum kedatangannya raja tua Rade
Mulahe sudah tertarik kepada Islam. Kedatangan Syekh Abdul Wahid
diterima oleh raja Mulahe sendiri dengan baik. Di istana Syekh Abdul Wahid
berbincang-bincang dengan raja Mulahe Islam secara ringkas dan jelas.
Raja-raja yang berkuasa di kerajaan Buton sebelum Islam ialah pertama,
adalah Wakana, seorang putri dan keturunan raja Jayakatwang dari Kediri
Jawa Timur dan Ku Bilai Khan dari, Cina memerintah dan tahun 1332-1350
M. Kedua, ratu Bulawambona seorang putri tertua dan Wakana, ia memerintah
dan 1350-1411. Ketiga, adalah Bancopata Ratu Bulawambona yang
memerintah kerajaan Buton dari tahun 1411 sampai tahun1441 M. Keempat
adalah Raja Rade, anak dari Bancopata yang menjadi raja dari tahun 1441
sampai dengan 1491 M. Adapun raja yang kelima adalah Mulahe, yang
kemudian memeluk agama Islam, dan berganti nama/gerlar dengan nama
Marhum, atau Murhum, yang memeribtah tahun 1491 sampai 1537 M.
Dengan demikian maka kerajaan Buton menjadi bercorak Islam dan berubah
menjadi Kesultanan Islam Buton.
Mulai dengan sultan Qoimuddin diadakan perubahan kerajaan yang
bercorak kehinduan berubah dengan corak Keislaman. Dengan adanya
perubahan status pemerintahan in maka pada saat itu pula Islam dijadikan
sebagai agama resmi dalam lingkungan kesultanan.

E. Kerajaan-kerajaan Islam di Maluku


1. Kerajaan Ternate
Masyhur Malamo adalah raja Ternate pertama yang memerintah pada
tahun 1257-1272289. Dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang tergabung
dalam “Moloku Kie Raha” lainnya, Masyhur Malamo memiliki beberapa
kelebihan. Pertama; Masyhur Malamo adalah anak bungsu dari pasangan
Ja’far Shadiq dan Nur Sifa. Kedua; Masyhur Malamo tidak lahir di bumi,
tetapi lahir di alam khayangan. Ketiga; Masyhur Malamo mendapat hadiah
khusus dan kakeknya, penguasa alam khayangan, berupa kopiah dan
kemudian kopiah ini menjadi mahkota Kerajaan Ternate.
Sepeninggalan Masyhur Malamo, Ternate dipimpin secara berturut-turut
oleh Kaicil Yamin (1272-1284), Kaicil Siale (1284-1298), Kamalu (1298-
1304), dan Kaicil Ngara Lamo (1304-1317). Kaicil Ngara Lamo dapat
dianggap sebagai Kolano Ternate yang pertama kali meletakkan dasar-dasar
politik ekspansionisme. Pada masa pemerintahannya, Ternate telah menguasai
Jailolo, Setelah Kaicil. Ngara Lamo wafat, ia digantikan oleh Patsyaranya
Malamo (1317-1322), kemudian dilanjutkan oleh Sida Arif Malamo (1317-
1331).37
Pada masa pemerintahan Sida Arif Malamo, banyak terjadi perkembangan
pada Ternate diantaranya Ternate berkembang sebagai Bandar niaga yang
didatangi oleh berbagai pedagang dari Makassar, Jawa, Melayu, Cina, Gujarat
dan Arab. Dengan banyaknya pedagang yang dating dari luar, Sida Arif
Malamo bergaul secara luwes dengan pada pedagang, bahkan ia juga belajar
bahasa Arab dan Cina, serta mengenakan jubah Arab dan pakaian yang
digunakan para pedagang Cina.
Sebagai pemimpin yang berpikiran maju, Sida Arif Malamo segera
mengambil langkah-langkah yang tepat. Pada tahun 1322, Sida Arif Malamo
mengundang para Kolano Tidore, Jailolo, dan Bacan untuk mengadakan
pertemuan di Moti. Agenda pertemuan Moti ini membahas upaya perdamaian
sekaligus meredam ketegangan antar “Kolano Moloku Kie Raha”,
penyeragaman bentuk-bentuk kelembagaan kolano, serta menentukan
peringkat senioritas peserta pertemuan. Pertemuan Moti berhasil menyepakati
seluruh pertemuan, kecuali tentang penentuan peringkat senioritas.
Setelah pertemuan Moti 1322, bumi “Moloku Kie Raha” mengalami masa
aman dan damai dan berbagai intrik politik dan permusuhan. Perseteruan dan
persaingan antara Ternate dan Tidore merosot secara drastis. Rakyat “Moloku
Kie Raha” dapat menikmati suasana damai dan aman lebih dan 20 tahun.
Keadaan berubah kembali, ketika Tulu Malamo naik tahta pada tahun 1343.
Tulu Malamo secara sepihak membatalkan pertemuan Moti yang telah susah
payah dirintis oleh Sida Arif Malamo. Tulu Malamo melakukan penyerbuan
terhadap Makian, sebuah pulau yang menghasilkan cengkeh yang berkualitas
prima. Kepemimpinan yang ekspansionisme ini dilanjutkan oleh Bayanullah
(1350-1375) dan Marhum (14651486).
Marhum adalah Kolano Ternate yang pertama kali masuk Islam. Ia masuk
Islam setelah mendapat seruan dakwah dari seorang pedagang asal
Minangkabau yang juga murid Sunan Giri, yaitu Datu Maulana Hussein yang
datang ke Ternate pada tahun 1465. Murid Sunan Giri ini adalah seorang
mubaligh besar pada masanya. Ia memiliki pengetahuan Islam yang luas dan
37
Ahwan Mukarrom, Sejarah Islam di Indonesia 1, (Surabaya: UIN Sunan Ampel,2014) hlm 222
dalam, ahli dalam membaca ayat-ayat Al Qur’an, dan mahir dalam membuat
kaligrafi Arab. Pada waktu senggang, terutama di malam hari, Ia membaca Al-
Qur’an dengan suara yang sangat merdu sehingga menjadi daya tarik bagi
penduduk setempat. Ia juga lihai dalam membuat kaligrafi di atas potongan-
potongan papan. Keahliannya dalam hal agama, membaca ayat-ayat Al-
Qur’an dan keindahan dan kaligrafi nya telah menjadi sarana islamisasi di
kawasan Ternate dan sekitarnya.
Pada tahun 1486, Kotano Marhum wafat dan dimakamkan berdasarkan
syariat Islam. Marhum adalah Kolano Ternate yang pertama. kali dimakamkan
menurut syariat Islam. Setelah wafat, Kolano Marhum digantikan oleh
putranya, Zainal Abidin. Setelah berkuasa, Zainal Abidin mengganti gelar
kolano dengan sultan. Dengan demikian Zainal Abidin adalah penguasa
Ternate yang pertama kali memakai gelar Sultan. Sultan Zainail Abidin ini
memerintah pada tahun 1486 -1500.
Sultan Zainal Abidin adalah seorang sultan yang memiliki perhatian yang
besar terhadap ajaran Islam. Untuk memperdalam ajaran Islam, pada tahun
1495, Sultan Zainal Abidin meninggalkan istananya dan pergi berguru pada
Sunan Giri di Jawa. Tidak puas memperdalam Islam di Jawa, Sultan Zainal
Abidin kemudian pergi melanjutkannya ke Malaka. Sultan Zainal Abidin
berada di Malaka, ketika wilayah itu dipimpin oleh Sultan Alauddiri Riayat
Syah. Pada masa ini, Malaka adalah pusat perdagangan dan penyebaran Islam
terbesar di Asia Tenggara.
Di daerah Jawa, Sultan Zainal Abidin dikenal dengan sebutan Raja
Bualawa, yang artinya Sultan Cengkeh, karena Sultan Zainal Abidin datang ke
Jawa membawa buah tangan berupa Cengkeh. Setelah belajar selama tiga
bulan di Pesantren Giri, Sultan Zainal Abidin kembali ke Ternate dan
membawa beberapa ulama Jawa untuk mengajarkan Islam di Ternate. Setelah
berjuang mengembangkan Ternate sebagai sebuah kesultanan yang sangat
memperhatikan ajaran Islam, pada tahun 1500 Sultan Zainal Abidin wafat.
Selanjutnya, Ternate dipimpin oleh Sultan Bayanullah, yang memerintah
padatahun 1500-1522. Di kalangan orang Barat, Sultan Bayanullah dikenal
dengan nama “Abu Lais” atau “Sultan Boleif” Bayanullah adalah seorang
sultan yang sangat pandai, terpelajar ksatria, dan pedagang ulung.
Sebagai seorang sultan, Bayanullah melanjutkan usaha-usaha Sultan
Zainal Abidin dalam melembagakan Islam di Kesultanan Ternate. Sultan
Bayanullah telah mengeluarkan beberapa peraturan. diantaranya adalah
pembatasan poligami, larangan kumpul kebo dan pergundikan. Sultan
Bayanullah juga menerapkan hukum perkawinan Islam, meringankan biaya
dalam perkawinan, mewajibkan perempuan untuk berpakaian secara pantas,
dan mensyaratkan bobato harus beragama Islam, baik di pusat maupun di
daerah-daerah.
Pada tahun 1512, Portugis di bawah pimpinan Antonio de Abreau sampai
di Banda. Mendengar berita kedatangan armada Portugis ini, Sultan
Bayanuilah segera mengutus orang kepercayaannya untuk menemui Francisco
Serrao, seorang petinggi portugis yang sedang sakit di Ambon. Utusan Sultan
Bayanullah berhasil membawa Francisco Serrao sampai di Ternate. Ketik
mendarat di Ternate, Sultan Bayanullah sendiri yang menjemput Francisco
Serrao di pelabuhan. Setelah tinggal di Ternate Francisco Serrao berhasil
meyakinkan Sultan Bayanuilah tentang “kejujurannya” sebagai pembeli
tunggal rempah-rempah dengan harga bersaing dan syarat-syarat yang lunak.
Tawaran Francisco Serrao diterima oleh Sultan Bayanullah, Bahkan Sultan
Bayanullah. Atas keberhasilah itu Francisco Serrao segera mengabarkan
kepada Raja Muda Portugis di Goa, India. Perjanjian Sultan Bayanullah dan
Francisco Serrao ini menjadi langkah awal dan politik monopoli yang akan
dijalankan Portugis di Ternate.
Keakraban Sultan Bayanullah dengan Francisco Serrao telah menuai
masalah bagi diri Sultan Bayanullah. Pada tahun 1522, Sultan Bayanullah,
wafat karena diracun oleh rakyatnya sendiri yang tidak senang melihat
keakraban Sultan Bayanuliah dengan Francisco Serrao. Sumber lain
menyebutkan, Sultan Bayanullah meninggal arena diracun oleh para pedagang
Islam yang cemburu atas diberikannya hak monopoli perdagangan rempah-
rempah kepada Portugis oleh Sultan Bayanullah.
Ketika. Sultan Bayanullah wafat, ia meninggalkan seorang istri, Nyai Cili
Nukila, dan dua orang putra yang masih kecil, yaitu Deyalo dan Boheat.
Karena putra sulung Sultan Bayanullah masih kecil, maka untuk sementara
pemerintahan dijalankan oleh Nyai Cili Nukila sebagai Mangkubumi dan
Taruwese sebagai raja muda. Taruwese adalah orang kuat kesultanan yang
sangat ambisius dan bekerja sangat erat dengan Gubernur Portugis de
Menezes.
Pada tahun 1528, putra sulung Sultan Bayanullah, Deyalo dilantik menjadi
Sultan Ternate. Pada waktu itu, Deyalo berusia 20 tahun. Deyalo hanya
mampu berkuasa selama satu tahun. Pada tahun 1529, Deyalo disingkirkan
oleh Taruwese yang bekerjasama. dengan Portugis. Atas tindakan itu,
Taruwese pun tewas karena dibunuh oleh rakyat Ternate yang marah atas
penyingkiran Deyalo sebagai Sultan Ternate.38
Setelah Deyalo dilengserkan, adiknya Boheyat dilantik menjadi Sultan
Ternate. Boheyat pun tidak berkuasa dalam waktu yang lama karena konflik
dengan portugis serta kemarahan rakyat Ternate karena kelemahan Boheyat
dalam memerintah Ternate. Akhirnya Boheyat ditangkap oleh saudara tirinya,
Tabariji dan wafat dalam pembuangan ke Malaka.
Pada tahun 1533, dalam usia 15 tahun, Tabariji, adik bungsu Deyalo (Putra
Nyai Cili Nukila dengan suami keduanya, Pati Sarangi), dilantik menjadi
38
Ibid, hlm 227
Sultan Ternate oleh Gubernur Portugis de Fonceca. Hubungan Tabariji dengan
Portugis tidak berjalan mulus, sering diwarnai konflik, karena Portugis terlalu
jauh campur tangan dalam masalah internal Kesultanan Ternate. Konflik
tersebut berakhir dengan ditangkapnya Sultan Tabariji oleh Gubernur Portugis
Ataide atas tuduhan pengkhianatan. Sultan Tabariji beserta orangtuanya, Nya
Cili Nukila dan Pati Sarangi, dibawa ke Goa untuk diadili oleh Raja Muda
Portugis.
Setelah berkali-kali terjadi pergantian Sultan dengan perlawanan terhadap
konflik dengan Portugis, pada masa pemerintahan Sultan Baabullah, orang
Portugis berhasil diusir dari Kesultanan Ternate. Pada tahun 1576, Sultan
Baabullah mulai mengirim orang-orang kepercayaannya ke Ambon, Seram,
Buru, Manipa, Ambalau, Kelang, dan Boano untuk menutup wilayah ini dari
segala kegiatan bisnis Portugis. Akan tetapi Portugis kembali dengan
membawa armada dengan kekuatan 15 kapal dan memuat sekitar 2000
pasukan berlabuh di Ternate.
Pada saat itulah Sultan Baabullah dijebak oleh Portugis dan ditahan di
geladak kapal bagian bawah dengan mata tertutup dan kaki dirantai serta
disiksa hingga jatuh sakit dan akhirnya wafat. Mayat Sultan Baabullah
dipotong-potong kemudian dibuang ke laut oleh Portugis. Menurut sumber
lain, mayat Sultan Baabullah tidak dibuang ke laut, tetapi dicincang dan diberi
garam, kemudian diserahkan kepada Raja muda portugis yang berkedudukan
di Goa.

2. Kerajaan Islam di Tidore


Kesultanan Tidore adalah bersaudara dengan Kesultanan Ternate.
Berdasarkan silsilah Kerajaan Maluku Utara, raja Tidore yang pertama,
Sahajati adalah saudara Masyhur Malamo, raja Ternate yang pertama. Mereka
adalah putra Ja’far Shadiq.
Raja Ciriliyati adalah raja Tidore yang pertama masuk Islam ia masuk
Islam setelah mendapatkan seruan dakwah dan seorang mubaligh Arab yang
bernama Syaikh Mansur. Setelah masuk Islam Raja Ciriliyati diberi gelar
Sultan Jamaluddin (1495-1512). Setelah Sultan Jamaluddin wafat, jabatannya
sebagai Sultan Tidore digantikan oleh putra sulungnya, yaitu Sultan Mansur.
Pada tahun 1521 Sultan Mansur menerima kedatangan Spanyol di Tidore.
Spanyol masuk ke di Tidore melalui Filipina. Sultan Mansur menerima
kedatangan Spanyol, karena ia kalah bersaing dalam membangun hubungan
dagang dengan Portugis.
Sewaktu Spanyol berlabuh di Tidore, pimpinan armada Spanyol telah
memberikan hadiah berupa sebuah jubah, kursi Eropa, kain linen halus, sutera
broklat, beberapa potong kain India yang dibordir dengan emas dan perak,
berbagai rantai kalung dan manik-manik, tiga cermin besar, cangkir minum,
sejumlah gunting sisir, pisau serta berbagai benda berharga lainnya. Sultan
Mansur sendiri menerima kedatangan Spanyol dengan senang hati, bahkan
saking hangatnya, sampai-sampai Sultan Mansur mengatakan kepada Spanyol
untuk menganggap Tidore sebagai wilayahnya sendiri.
Dua hari setelah kedatangan Spanyol, Sultan Mansur mengundang para
petinggi mereka ke istana di Mareku untuk menghadiri jamuan makan siang.
Setelah itu, Sultan Mansur memberikan izin kepada orang-orang Portugis
untuk menggelar barang dagangan di pasar. Terjadilah perdagangan secara
barter, sepotong kain merah ditukar dengan cengkeh satu bahar (550 pon), 50
pasang gunting ditukar dengan satu bokor cengkeh dan sebagainya.
Kedatangan armada Spanyol di Kesultanan Islam Tidore mendapat protes
keras dari Portugis, karena mereka sudah terikat dengan “Perjanjian
Tordesilas” pada tahun 1494. Namun demikian, Spanyol tetap berhasil
mengumpulkan cengkeh dalam jumlah yang cukup banyak. Pada bulan
Desember 1521M , armada Spanyol bertolak menuju Eropa dari Tidore
dengan membawa muatan Cengkeh dalam jumlah yang besar.
Pada tahun 1526, Sultan Mansyur Wafat, tetapi hinga awal tahun 1529
belum ditetapkan penggantinya. Pada tahun 1526 itu juga. Armada Spayol
yang terdiri dari lima kapal dan 300 orang prajurit datang kembali di Tidore,
dan sudah tentu kedatangan Spayol mendatangkan Keemasan bagi Portugis di
Ternate.
Pada tahun 1529, putra bungsu Sultan Mansur, Amiruddin Iskandar
Zulkarnain dilantik menjadi Sultan Tidore. Pada waktu itu Amiruddin masih
kecil maka Dewan Kesultanan Tidore menunjuk Kaicil Rade sebagai
Mangkubumi. Kaicil Rade adalah seorang bangsawan yang amat terpelajar,
seorang negoisator ulung yang fasih berbahasa Spanyol dan Portugis, dan
seorang prajurit yang handal dan pemberani. Dengan demikian, Kaicil Rade
sangat disegani oleh Portugis dan Spanyol.
Pada masa pemerintahan Amiruddin Iskandar Zulkarnain terjadi beberapa
kali peperangan dengan Portugis dan Ternate Peperangan tersebut terjadi
karena Amiruddin Iskandar Zulkarnain. melindungi Sultan Deyalo, Sultan
Ternate yang dilengserkan oleh Portugis. Atas prakarsa Sultan Amiruddin dan
Mangkubuminya. Kaicil Rade, perang antara Tidore dan Portugis dapat
diselesaikan melalui sebuah perjanjian damai. Isi pokok perjanjian damai
terdiri dari dua pasal, yaitu: Pertama; Semua rempah-rempah hanya boleh
dijual kepada Portugis dengan harga yang sama yang dibayarkan Portugis
kepada Ternate. Kedua; Portugis akan menarik armadanya dari Tidore.
Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain tutup usia. Kaicil
Rade sendiri sudah berusia lanjut terlalu tua menerima jabatan Sultan Tidore.
Sejak wafatnya Sultan Amiruddin hingga berkuasanya Sultan Afriruddin, di
Tidore telah berkuasa tiga orang sultan, yaitu Kie Mansyur, Iskandar Sani,
Dan Gapi Baguna.
Pada tahun 1657, Saifuddin dilantik menjadi Sultan Tidore. Sultan ini
berkuasa hingga tahun 1689. Ketokohan Sultan Saifuddin hampir sama
dengan ketokohan Sultan Khairun di Ternate. Sultan Saifuddin adalah orang
yang tenang dalam berpikir dan hati-hati dalam bertindak. Selama 32 tahun
memerintah, tidak terbetik berita bahwa Sultan Saifuddin pernah menghunus
pedang untuk menyelesaikan suatu persoalan.
Salah satu ide Sultan Saifuddin diri yang kuat dan tetap diperjuangkannya
secara konsisten adalah membangun kembali Maluku berdasarkan pada empat
pilar kekuasaan, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sultan Saifuddin
selalu mengemukakan kepada Gubernur Belanda di Maluku bahwa di masa
lalu ada empat kekuasaan politik yang eksis di wilayah ini. Dengan berdiri
tegak di atas empat pilar itu, wilayah Maluku selalu bersatu, aman, dan
Makmur. Sultan Saifuddin juga selalu mengingatkan kepada semua Sultan
Maluku untuk mengenang kembali masa lalu dan kejayaan wilayah ini.
Diakhir masa pemerintahannya, Sultan Saifuddin menderita penyakit
lepra. Sultan memerintah dari dalam kamar yang disediakan khusus baginya.
Namun, penyakitnya makin lama makin memburuk, sehingga pada tanggal 2
Oktober 1987, Sultan Saifuddin wafat di istana Kesultanan Tidore. Beberapa
hari kemudian, Kaicil Seram dilantik menggantikannya sebagai Sultan Tidore.
setelah berkuasa Kaicil Seran diberi gelar Sultan Hamzah Fahruddin.
Wafatnya Sultan Saifuddin membawa implikasi yang berat bagi
Kesultanan Tidore. Dalam kurun waktu hampir seratus tahun, Tidore tidak
lagi memiliki sultan yang setara dengan Sultan Saifuddin. Pergolakan demi
pergolakan mulai terjadi terutama di daerah-daerah seberang laut, yang harus
dihadapi oleh sultan-sultan pengganti Sultan Saifuddin.
Kesultanan Tidore diperhitungkan kembali dalam sejarah Nusantara ketika
Sultan Nuku dari Tidore bangkit melawan belanda. Belanda turut campur
tangan dalam urusan internal Kesultanan Tidore. Belanda menurunkan secara
paksa Sultan jamaluddin sebagai penguasa Tidore dan mengangkat Patra
Alam sebagai Sultan Tidore yang baru, padahal yang berhak menggantikan
Sultan Jamaluddin adalah Kaicil Nuku. . Pada tahun 1783, rakyat Tidore
menyerbu istana Tidore. Patra Alam akhir terpaksa dicopot oleh Belanda dari
tahta Kesultanan Tidore dan kemudian dilarikan ke Jawa. Sebagai gantinya,
pemerintah kolonial Belanda melantik Kamaluddin sebagai sultan Tidore yang
baru. Sultan Kamaluddin memerintah pada tahun 1784-1797.39
Sultan Nuku memerintah di Kesultanan Tidore sejak tahun 1797 hingga ia
wafat pada tahun 1805. Pada masa pemerintahan sultan Nuku, Tidore
mencapai masa kejayaannya, yang mana wilayah kekuasaannya sampai di
Papua bagian Barat, Kepulauan Raja Ampat, Seram bagian Timur, Kepulauan
Kei, Kepulauan Aru, bahkan sampai di Kepulauan Pasifik. Menurut catatan
sejarah Tidore, bahkan Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi nama
39
Ahwan Mukarrom, Sejarah Islam di Indonesia 1, (Surabaya: UIN Sunan Ampel,2014) hlm 238
pulau-pulau yang ia kuasai, mulai dan Mikronesia hingga Melanesia dan
kepulauan Solomon. Hingga saat ini masih didapati pulau-pulau yang
namanya memakai nama Sultan Nuku, diantaranya adalah Nuku Hifa, Nuku
Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-Lae, Nuku Fetau, dan Nuku Nono.
Sultan Nuku berhasil menghidupkan kembali kebesaran Kesultanan Tidore
dengan kembali menguasai seluruh wilayah Tidore seutuhnya, bahkan Sultan
Nuku berhasil membawa Tidore pada puncak kejayaannya, yang wilayah
kekuasaannya sampai di Kepulauan Pasifik. Sultan Nuku Juga berhasil
menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo yang telah mati dalam waktu yang
cukup lama.
Pada tanggal 14 November 1805, Sultan Nuku wafat dalam usia 67 tahun.
Dengan wafatnya Sultan Nuku, Maluku kehilangan seorang sultan yang
semasa hidupnya dikenal sebagai Jou Barakati, di kalangan orang Inggris
disapa dengan Lord of Fortune atau Sultan keberuntungan. Nuku adalah salah
seorang sultan yang sukar dicarikan padanannya di Asia Tenggara. Selain
memiliki kecerdasan dan kharisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan
keberanian dan kekuatan batinnya. Sultan Nuku berhasil mengubah Maluku
yang kelam menuju Maluku yang baru, yaitu Maluku terbebas dari segala
keterikatan, ketidakbebasan, dan penindasan dari bangsa asing.
Sepeninggal Sultan Nuku, sejarah berulang kembali. Sultan-sultan setelah
Nuku sering terlibat konflik dalam merebutkan jabatan sebagai sultan di
kiesultanan Islamk Tidore. Keadaan bertambah parah dengan adanya campur
tangan kolonislis Belanda dalam setiap alih kepemimpinan di Kesultanan
Islam Tidore. Hal ini menyebabkan Kesultanan Tidore terpuruk menjadi
kesultanan yang lemah dan kembalinya hegemoni kolinalis Belanda di
kawasan Maluku.

3. Kerajaan Islam Jailolo


Kesultanan Jailolo merupakan saudara dari Kesultanan ternate dan Tidore.
Darajati adalah merupakan kolane (Raja) pertama yang berkuasa di jailolo.
Setelah Darajati secara berturur-turut yang berkuasa di Jailolo adalah
Fataruba, Tarakabun, Nyiru, Yusuf, Dias, Bantari, Sagi, dan Sultan
Hasanuddin.
Sebelum berubah menjadi kesultanan, Jailolo sering menjadi daerah
taklukan Ternate. Pada tahun 1284, Kolano Siale dan Ternate berhasil
menguasai beberapa daerah yang dikuasai Jailolo. Pada tahun 1304, Kolano
Ngara Malamo kembali menguasai beberapa wilayah kekuasaan Jailolo.
Kolano Jailolo mengalami masa damai ketika Sida Arif Malamo dari Kolano
Ternate berhasil memprakarsai Pertemuan Moti pada tahun 1322. Pada tahun
1343, Kolano Ternate Tutu Malamo, membatalkan secara sepihak hasil
Pertemuan Moti dengan melakukan penyerangan terhadap Jailolo. Usaha-
usaha penaklukan Jailolo tetap dilakukan oleh para kolano yang berkuasa di
Ternate.
Sultan Hasanuddin adalah penguasa Jailolo yang pertama menerima Islam.
Sultan Hasanuddin masuk Islam setelah mendapat seruan dakwah dan para
pedagang Melayu, karena pada waktu itu banyak para pedagang Melayu yang
tinggal di wilayah Jailolo dan sekitarnya.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berhasil membuat
beberapa kebijakan yang sangat membantu penyebaran Islam di wilayah
Kesultanan Jailolo. Pertama; apabila seorang laki-laki terbukti berzina dengan
wanita Islam maka laki-laki tersebut harus menikahkannya dan masuk Islam.
Kedua; bila ada wanita Alifuru yang kawin dengan laki-laki muslim, maka ia
harus ikut agama Suaminya. Ketiga; pelanggaran terhadap ketentuan dan
hukum resmi lainnya dapat ditebus dengan masuk Islam. Keempat; orang-
orang yang diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan kesultanan harus
beragama Islam. Dengan berbagai kebijakan tersebut, Sultan Hasanuddin
berhasil mengembangkan Islam di wilayah Kesultanan Jailolo termasuk suku
Alifuru yang tinggal di pedalaman.
Pada tahun 1521, Spanyol sampai di Tidore. Kesempatan ini dimanfaatkan
oleh Zainal Abidin Syah untuk menjalin persahabatan dengan Spanyol untuk
menghadapi Ternate. Pada tahun 1527, Sultan Sultan Zainal Syah wafat dan
putranya, Sultan Yusuf, dilantik menjadi Sultan Jailolo yang baru. Pada tahun
1529, Katarabumi di angkat menjadi Mangkubumi Kesultanan Jailolo. Pada
tahun 1533, Sultan Yusuf wafat dan putranya, Firus Alauddin, dilantik
menjadi sultan Jailolo yang baru. Karena Firus Alauddin masih kecil maka
roda pemerintahan Kesultanan Jailolo dijalankan oleh Katarabumi sebagai
Mangkubumi. Pada tahun 1534, Katarabumi mengambil-alih kesultanan
Jailolo. Pada masa pemerintahan Katarabumi, Jailolo berhasil membebaskan
diri dan tekanan Ternate.
Pada tahun 1551, Portugis berhasil menaklukkan Jailolo. Katarabumi
sebagai penguasa Jailolo meninggalkan istana dan pada tahun 1551 itu juga,
Katarabumi meninggal karena minum racun. setelah Katarabumi meninggal,
Jailolo kehilangan dinamika dan kekuatannya sebagai sebuah kerajaan. Pada
tahun 1657, Saifuddin dilantik menjadi Sultan Tidore. Sultan ini berkuasa
hingga tahun 1689.
Salah satu ide Sultan Saifuddin adalah menghidupkan kembali kesultanan
Jailolo sebagai salah satu pilar dan empat pilar Moloku Kie Raha. Ide Sultan
Saifuddin tidak bisa diwujudkan pada masa Hidupnya. Pada tahun 1797,
Sultan Nuku berhasil merebut Tidore dari Belanda. Setelah berkuasa, sultan
Nuku kembali melanjutkan ide yang digagas oleh Sultan Saifuddin dulu, yaitu
menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo. Kerja Sultan Nuku tidak sia-sia, ia
berhasil menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo. Sultan Nuku mengangkat
Sultan Muhammad Arif Billah sebagai Sultan Jailolo yang baru. Dengan
demikian, Sultan Nuku berhasil menghidupkan kembali Moloku Kie Raha
yang berdiri diatas empat pilar kekuasaan. yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan
Bacan. Setelah Sultan Nuku wafat pada tahun 1805, kawasan Maluku,
Kesultanan Jailolo kembali Lemah dan berada di bawah hegemoni Belanda.

4. Kerajaan Islam Bacan


Kesultanan Bacan adalah salah satu dari empat kesultanan bersaudara di
Moloku Kie Raha. Berdasarkan Hikayat Bacan, Kaicil Buka alias Said
Muhammad Baqir adalah Kolano Bacan yang pertama Ia adalah anak dan
pasangan Ja’far Shadiq dan Nur Sifa. Said Muhammad Baqir berkuasa selama
10 tahun. Pada awalnya, Said Muhammad Baqir berkuasa di puncak Gunung
Makian dengan gelar Maharaja Yang Bertahta Kerajaan Moloku Astana
Bacan, Negeri Komala Besi Limau Dolik. Said Muhammad Baqir wafat di
Makian.
Pada tahun 1322, Kesultanan Bacan ikut dalam Pertemuan Moti. Setelah
Pertemuan Moti, pusat Kesultanan Bacan dipindahkan. dan Makian ke Bacan.
Pertemuan Moti berhasil menciptakan Moloku Kie Raha yang lebih aman dan
damai sekitar duapuluh tahun. Pada tahun 1343, Tulu Malamo dilantik
menjadi Kolano Ternate Setelah berkuasa, Tulu Malamo melanggar secara
sepihak hasil Pertemuan Moti dengan menguasai Pulau Makian dan tangan
Kolane Bacan. Namun demikian, Sida Hasan sebagai Kolano Bacan yang
bekerjasama dengan Kolano Tidore berhasil merebut kembali Pulau Makian
dan beberapa desa di sekitar Pulau Bacan dari tangan Kolane Ternate, Tulu
Malamo.
Kolane Bacan yang pertama menerima Islam adalah Zainal Abidin.
Setelah masuk Islam ia bergelar Sultan Zainal Abidin. Sultan ini masuk Islam
pada tahun 1521. Sultan Zainal Abidin memiliki dua orang putra, yaitu Kaicil
Bolatu dan Kaicil Kuliba. Setelah Sultan Zainal Abidin wafat, jabatannya
sebagai sultan Bacan digantikan oleh Kaicil Bolatu. Setelah berkuasa, Kaicil
Bolatu bergelar Sultan Bayanu Sirullah. Setelah Sultan Bayanu Sirullah yang
memerintah di Kesultanan Bacan adalah Sultan Alauddin I dan setelah itu
yang berkuasa adalah Sultan Muhammad Ali dan kemudian dilanjutkan oleh
Sultan Alauddin II (1660-1706).
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin II, Ternate mengembalikan
seluruh Pulau Makian kepada Bacan. Sultan Alauddin II lalu mempercayakan
adiknya, Kaicil Musa untuk menjalankan pemerintahan di Pulau Makian. Pada
masa pemerintahannya, Sultan Alauddin II pernah melakukan perbuatan yang
menghebohkan, yaitu menjual Pulau Obi kepada kompeni Belanda seharga
800 ringgit. Setelah Sultan Alauddin II wafat, yang berkuasa di Bacan adalah
Kaicil Müsa yang bergelar Sultan Malikiddin. Sementara itu, Pulau Makian
diserahkan kepada Kaicil Tojimlila. Setelah Sultan Malikiddin wafat, Bacan
diperintah oleh Kaicil Kie dengan gelar Sultan Nasruddin, sedangkan
pemerintahan di Pulau Makian diserahkan kepada Kaicil Lewan. Kaicil Lewan
adalah perwakilan Bacan terakhir di Pulau Makian karena setelah itu Pulau
Makian dikuasai oleh Ternate.
Sumber lain menyebutkan bahwa yang menggantikan Sultan
Alauudinbukan Kaicil Musa melainkan Sultan Musom, kakak Sultan Alauddin
II. Setelah itu, Kesultanan Bacan dipimpin oleh Sultan Mansur yang dilantik
pada tanggal 19 Juli 1683. Dalam catatan sejarah, Sultan Mansur adalah
seorang sultan yang cerdas dan memiliki kekuatan fisik yang bagus. Di
samping itu, Sultan Mansur juga terkenal sebagai ahli dalam masalah emas
sehingga ia mampu membuat berbagai perhiasan kesultanan dan emas dan
perak. Sultan Mansur memerintah dengan tegas dan berusaha mendidik
rakyatnya untuk tidak bermalas-malasan.
Setelah Sultan Mansur wafat, jabatan Sultan Bacan dipegang oleh adiknya
Musom. Musom dilantik menjadi Sultan Bacan ketika berusia 50 tahun.
Setelah Musom yang berkuasa di Bacan adalah Sultan Tarafannur. Pada masa
pemerintahan Sultan Tarafannur Bacan berhasil memperoleh lima daerah baru,
yaitu Gane, Saketa Obi, Foya, dan Mafa.
Sebagaimana halnya Jailolo, Bacan juga tidak mampu memainkan peranan
penting dalam sejarah Moloku Kie Raha. Mereka selalu bisa ditekan oleh
Kerajaan Islam Ternate dan Kerajaan Islam Tidore. Maska dari itu Setelah
masuknya bangsa Eropa, khususnya Portugis dan Spanyol Bacan juga tidak
lagi mampu untuk memainkan peranan yang cukur penting dan siginifikan.
Kerajaan Islam Ternate, seperti sudah sangat diketahui, memiliki tokoh
kharismatik dan poipuler seperti Sultan Khairun dan Sultan Baabullah.
Kerajaan Islam Tidore juga telah memiliki tokoh seperti Sultan Saifuddin
Sultan Nuku. Namun, dalam catatan sejarah yang ada, Kerajaan Islam Bacan
belum diketahui apakah telah memiliki memiliki tokoh-tokoh sekaliber Sultan
Khairun Sultan Baabullah dari Kerajaan Islam Ternate, Sultan Saifuddin, dan
Sultan Nuku tersebut dari Kerajaan Islam Tidore.

F. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusa Tenggara Barat


1. Islam di Lombok dan Sumbawa
Sekitar abad ke-13, di wilayah NTB telah berdiri kerajaan selaparang.
Kerajaan ini dibangun oleh seorang pangeran dari Majapahit. Kerajaan ini
menguasai wilayah yang terdapat di Lombok Barat dan Lombok Timur.
Setelah runtuhnya Majapahit, banyak kerajaan-kerajaan kecil memisahkan diri
dari Kerajaan Selaparang, salah satunya adalah kerajaan Pejanggik.40
Pada tahun 1640, kesultanan Makassar berhasil menguasai wilayah ini,
sehingga kerajaan Selaparang, Kerajaan Pejanggik dan kerajaan-kerajaan kecil
lainnya mengakui Kesultanan Makassar.

40
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2010), Hlm 149
Di Lombok terdapat cerita tentang adanya kepercayaan “Islam Tilu”
(telu=tiga). Artinya mereka beranggapan bahwa salat dalam agama Islam
adalah tiga waktu. Tidak jelas apa ketiga salat tersebut. Pada dasarnya ajaran
Islam menegaskan adanya lima salat. Salah satu cerita menuturkan bahwa
sesampainya di Lombok, Sunan Prapen terus dengan tekun mengajarkan
rukun Islam, dan khususnnya salat lima waktu. Namun oleh karena satu dan
lain hal, beliau mendadak pulang ke Giri, Gresik sebelum tuntas sempurna
pengajaran salat lima waktu, dan terhenti ketika pengajaran sampai pada salat
ketiga.
Dengan terhentinya pengajaran, di masyarakat terjadi distorsi pemahaman,
bahwa salat dalam Islam hanya tiga kali. Demikianlah, maka islamisasi Bima
setidaknya juga terkait dengan proses islamisasi Lombok, meskipun ajaran
“Islam Tilu” tidak terdapat di Bima. (wallhu a’lam) 41
Perhubungan dagang antara Kerajaan Makassar dengan pulau-pulau
disebelah selatannya, merupakan saluran bagi masuknya agama Islam ke
pulau Sumbawa dan sekitarnya. Kerajaan Bima merupakan Islam pertama di
pulau Sumbawa. Sultan Salahuddin yang meninggal di Jakarta sesudah
kemerdekaan adalah raja terakhir dari Kesultanan Bima tersebut. Seluruh
penduduk asli Bima adalah penganut Islam yang setia.
Terkenal seorang penganjur Islam di Sumbawa yang hidup pada abad ke-
19 adalah Haji Ali. Ajaran-ajarannya banyak membawa perubahan-perubahan
dalam masyarakat Sumbawa, sehingga menjadikan Sumbawa sebagai kerajaan
Islam yang terkenal dengan nama Sumbawa Besar.

2. Kerajaan Islam di Bima


Agama Islam baru masuk ke Bima ketika di kerajaan Bima muncul
kemelut akibat perebutan kekuasaan antara putera Msa Tua Asi Suwo dengan
pamannya. Raja Gowa mengirimkan para muballigh ke Bima yang terdiri dan
orang-orang Tab, Bone, Luwu dan Gowa sendiri. Ini terjadi kira-kira pada
tahun 1028 H bertepatan dengan 1617 Masehi. Akhirnya pada tahun 1620 M,
empat keturunan kerajaan Bima masuk Islam dengan mengucapkan kredo
kalimat syahadat disaksikan oleh para utusan Raja Gowa. Kemudian keempat
putera raja Bima tersebut mengganti namanya dengan nama Islam. Masing-
masing adalah sebagai berikut:
1. Putera La Kai berganti nama dengan Abdul Kahir.
2. La Mbila berganti nama dengan nama Jalaluddin.
3. Bumi Jaara Sape berganti nama dengan Awaluddin.
4. Manuru Bata berganti nama dengan Sirajuddin.
Setelah berkali-kali kerajaan Gowa mengirimkan bantuan militer kepada
keempat putera raja Bima tersebut, akhirnya konflik internal perebutan
kekuasaan bisa dimenangkan oleh para putera raja tersebut, sementara sang
41
Ahwan Mukarrom, Sejarah Islam di Indonesia 1, (Surabaya: UIN Sunan Ampel,2014) hlm 253
paman, Salisi melarikan diri di Mata. Pada saat itu pula maka Abdul Kahir
dinobatkan sebagai raja Islam Bima.
Keempat putera raja ini pernah mengembara mencari ilmu ke Gowa, Luwu
dan sebagainya. Di sana ia belajar ilmu agama kepada seorang tokoh
kharismatik, Dato’ Ri Bandang, seorang ulama yang sebenarnya berasal dan
Minangkabau, Sumatera Barat. Dato’ Ri Bandang adalah murid Sunan Girl,
sebagaimana juga Sultan Ternate, Zainul Abidin. 382 Oleh sebab itu wajar jika
kemudian ada sementara pendapat yang mengaitkan proses islamisasi di Bima
bahkan Lombok dengan posisi dan peran Sunan Prapen (cucu Sunan Giri)
Setelah dinobatkan menjadi raja Islam Bima, maka bersama gurunya,
Dato’ Ri Bandang, Sultan Abdul Kahir menanamkan nilai-nilai keislaman di
masyarakat Bima lewat “kekuasaan” hingga akhirnya meninggal dunia pada
tanggal 14 Desember 1640 M dan dimakamkan di Tanah Taraha.
Sepeninggalnya maka tampil Sultan Abdul Khoir Sirajuddin yang memerintah
Bima mulai tahun 1640 sampai dengan 1682 M.
Sebagai penerus tahta kerajaan Bima, maka hubungan bilateral antara
Bima dengan Gowa diteruskan bahkan lebih intensif. ini dilakukan oleh sultan
Abdul Khair Sirajuddin sebagai langkah membendung supremasi Belanda
yang terus mengancam eksistensi kerajaan Bima maupun Gowa. Ia sangat
tidak asing bagi raja Gowa, sebab sejak muda sudah berguru agama Islam di
Gowa. Maka dengan hubungan tersebut ia kemudian kawin dengan puteri
Gowa, menjadi saudara ipar sultan Hasanuddin.
Bersekutunya kerajaan Bima dengan Gowa (Makassar) sungguh sangat
meresahkan Kompeni Belanda, sebab bagaimanapun juga Belanda yang telah
menetapkan perjanjian Bongaya justru semakin terancam. Akhirnya Belanda
membuat persekutuan dengan Bone, Aru Palaka untuk mengalahkan
Makassar. Namun apapun kenyataannya, Belanda telah memiliki landasan
pijak di Bima. Dengan segala siasat dan cam Belanda berusaha melikwidasi
kekuasaan Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang sebenarnya telah terikat dan
terlibat dengan perjanjian Bongaya. Keterlibatan ini terjadi karena Bima
merupakan sekutu terdekat dari Makassar (Gowa).
Akhirnya dengan masih menanggung beban berat, yakni berhadapan
dengan penjajah Belanda, Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang telah
membangun kerajaan Islam Bima mi meninggal dunia setelah memerintah di
kerajaan Islam Bima selama 42 tahun. Sepeninggalnya, beliau digantikan
puteranya, Sultan Nuruddin Abu Bakar Syah.

Perlawanan Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang tidak bisa dipatahkan


dengan perjanjian Bongaya, (1667) perjanjian Roterdam I (1669) dan
perjanjian Roterdam II, (1674) sangat mengilhami Sultan berikutnya, Sultan
Nuruddin Abu Bakar Syah. Semangat ini di samping merupakan karakter
ayahnya, juga terwarisi dan pamannya, sultan Hasanuddin.
Walaupun memerintah dalam waktu yang relatif singkat, Sultan
Nusiruddin cukup berjasa memantapkan agama Islam dengan ajaran-
ajarannya, mendasari budaya masyarakat Bima. Ia telah memberlakukan
syareat Islam dan menetapkan para pejabat keagamaan dilengkapi dengan
jabatan Qodli dan Khatib sebagai law enforcement bagi perundang-undangan
Bima. Di dalam istana ada petugas keagamaan yang kedudukannya sama
dengan mufti. Ia juga menempatkan beberapa pejabat negara di beberapa
daerah sekaligus sebagai juru dakwah.
Akhirnya sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Syah wafat pada tanggal 23 Juli
1687 M dalam usia yang masih amat muda, yakni 32 tahun, setelah
memerintah di Bima tidak lebih dan lima tahun. Ia dimakamkan di
pemakaman Gilipanda berdampingan dengan ayahnya. Sepeninggalnya, Ia
digantikan puteranya, Sultan Jamaluddin Ali Syah. Ia menggantikan ayahnya
ketika telah berlaku Perjanjian Rotterdam II (1674 M) yang isinya antara lain
menyatakan bahwa Bima menjadi wilayah monopoli Kompeni.
Sepeninggal beliau, tahta kesultanan Bima diduduki oleh puteranya, yang
bergelar Hasanuddin Ali Syah. Ia naik tahta kerajaan ini ketika kondisi politik
di Bima sedang kacau. Akhirnya Sultan Hasanuddin Ali Syah meninggal
dunia pada tanggal 23 Juni 1731 M. setelah memerintah kesultanan Bima
mulai tahun 1696 sampai dengan 1731 M. Beliau dimakamkan di Tanah
Taraha.
Sepeninggal Sultan Hasanuddin Ali Syah, pemerintahan kesultanan Bima
dipegang oleh Sultan Alauddin Muhammad Syah. Pada tahun 1732 terjadi
ketegangan antara Bima dengan Sultan Sirajuddin dan Gowa yang nota bene
adalah mertuanya, yang mengakibatkan tidak aktifnya Sultan Alauddin
Muhammad Syah dalam pemerintahan Bima. Keadaan ini terus berlangsung
hingga meninggalnya sultan Alauddin Muhammad Syah pada tahun 1748 M
setelah memerintah di kesultanan Bima dad 1731 sampai dengan 1748.

Sepeninggal Sultan Alauddin Muhamad Syah, maka tampil puterinya


Sulthanah Komala Syah. Ia sebenarnya sudah mulai tampil di pemerintahan
ayahnya ketika sang ayah mulai tidak aktif mulai tahun 1732, karena
ketegangannya dengan sang mertua, Sultan Sirajuddin di Gowa. Pengangkatan
Sulthanah ini dianggap oleh Belanda sebagai tindakan pembangkangan, sebab
berdasar atas perjanjian Rotterdam II, pengangkatan sultan di Bima harus
mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral. Akhirnya Sulthanah Komala
Syah diturunkan dari tahtanya oleh Kompeni Belanda pada tanggal 28 Juni
1751, setelah memerintah kesultanan Islam Bima mulai tahun 1748 sampai
dengan 1751 M.
Sebagaimana disebutkan di atas, Sultan Alauddin Muhammad Syah tidak
memiliki putera mahkota. Maka menurut ketentuan yang berlaku
penggantinya diambil dari keturunan lurus ke samping, yakni saudara sepupu
dari garis ayah. Maka Sri Nawa menggantikan Sultan Alauddin Muhamad
Syah sekaligus juga Sulthanah Komala Syah dengan gelar Sultan Abdul
Kadim Muhammad Syah Dzilullah fil Alam. Sultan Abdul Kadim
Muhammad Syah Dzillullah fil Alam memerintah dari tahun 1751-1773 M.
Beliau kemudian digantikan oleh putranya Abdul Hamid. Ketika
memegang tampuk pemerintahan, sultan Abdul Hamid tidak hanya
dihadapkan pada permasalahan dengan kompeni Belanda, akan tetapi saat itu
pula terjadi kelaparan yang merajalela karena meletusnya gunung Tambora
yang amat dahsyat pada 11, 12 dan 13 April 1815 M. Akibatnya, seluruh
infrastruktur perekonomian, menyebabkan ribuan manusia meninggal dunia
dan bencana kelaparan dimana-dimana.
Walaupun Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah telah berusaha keras
membangun kembali semangat masyarakat dan infrastruktur perekonomian
Bima, akhirnya dia sendiri tidak dapat melihat basil usahanya yang besar itu.
Dia meninggal dunia 24 Juni 1817, setelah memerintah di kesultanan Bima
mulai tahun 1773 sampai dengan 1817 M.
Pengganti berikutnya adalah Sultan Ismail Muhammad Syah, putera
mahkota yang dilantik sebagai sultan Bima pada tanggal 26 Nopember 1817
M. Dia berusaha keras meneruskan usaha Sultan Abdul Hamid untuk
memulihkan keadaan Bima yang hancur akibat bencana alam gunung
Tambora. Namun di tengah usaha yang berat itu muncul perampokan besar-
besaran akibat malaise yang berkepanjangan dan para bajak laut, khususnya
Bajak laut Pabelo.
Perampokan dan penyerangan yang ganas dan bajak laut ini baru terhenti
setelah sultan dengan kekuatan penuh menghalau mereka kembali ke laut
lewat peperangan yang sengit yang mengakibatkan terbunuhnya pimpinan
bajak laut tersebut. Sementara itu Kompeni Belanda hanya diam melihat
penderitaan ini, tanpa memberi solusi yang baik. Barangkali hal mi dilakukan
karena Belanda tengah menghadapi Perang Jawa, (Perang Diponegoro)
Perang Paderi (Perang Imam Bonjol) dan Perang Sisingamangaraja.
Sultan Muhammad Ismail Syah meninggal dunia pada tahun 1858 dan
dimakamkan di pemakaman kerajaan, di halaman masjid Sigi. Ia wafat setelah
memerintah selama tidak kurang dan empat puluh tahun di kesultanan Bima,
yakni mulai tahun 1817 sampai dengan 1858 M.
Sultan berikutnya yang memegang pemerintahan kesultanan Bima adalah
Sultan Abdullah yang naik tahta pada tahun 1858. Ia memerintah Bima setelah
kesultanan ini terikat pada ketentuan-ketentuan pemerintah Belanda, yang
mengakibatkan kesulitan bagi sultan Abdullah untuk menentukan sendiri
jalannya pemerintahan, meskipun tetap berasaskan hukum adat dan hukum
Islam. Akhirnya Sultan Abdullah meninggal dunia setelah memerintah
kesultanan Bima tahun 1858 sampai dengan 1868 M.
Pengganti Sultan Abdullah adalah puteranya, Sultan Abdul Aziz, yang
pada waktu meninggalnya sultan Abdullah, ia masih berusia 5 tahun. Maka
selaku pemangku jabatan pemerintahan ditunjuk Muhammad Saleh Bumi
Luma, yang sebelumnya ia sudah memangku jabatan ini. Jadi hanya tinggal
meneruskan jabatan dan tugas-tugasnya saja.
Ketika mangkat, sultan Abdul Aziz bin sultan Abdullah belum sempat
berkeluarga (menikah). Oleh sebab itu kesultanan Bima diteruskan oleh
adiknya, sultan Ibrahim bin Abdullah. Ia menggantikan kakaknya setelah
sultan Abdul Aziz memerintah Bima selama 14 tahun, mulai 1868 sampai
dengan 1881 M.
Peristiwa monumental pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim adalah
munculnya perlawanan terbuka rakyat Bima terhadap pemerintah Hindia
Belanda. Perlawanan mi muncul akibat dari semakin sulitnya kehidupan
rakyat setelah Belanda memonopoli hak pemungutan pajak, cukai.
Secara garis besar perang rakyat terjadi sebanyak tiga kali masing-masing
di Ngali pada tahun 1908-1909 M. Kemudian disusul Perang Dena pada tahun
1910 dan berikutnya adalah Perang Kala pada tahun 1909-1910 M. Hampir di
semua pertempuran Belanda selalu unggul, dan yang lebih tragis lagi adalah
dominasi Belanda semakin kuat. ini dibuktikan, bahwa setelah Perang Rakyat
Sara Dana Mbojo yang berasaskan Hukum Adat dan Hukum Islam dicabut
dan diganti dengan asas Hukum Hindia Belanda. Mahkamah as Syar’iyyah
dirubah dan dialihkan menjadi semacam Badan Sosial Keagamaan.
Sultan Ibrahim meninggal dunia pada tahun 1915 dan dimakamkan di
pemakaman kerajaan di halaman masjid kampung Sigi setelah memerintah
kesultanan Bima mulai 1881. M sampai dengan 1915. M
Sepeninggal Sultan Ibrahim, tahta kesultanan Bima diduduki oleh
puteranya, Muhammad Salahuddin yang sebelumnya menjabat sebagai
TurelliDonggo. Sejak kecil ia sudah mempelajari ilmu-ilmu agama Islam dan
berbagai guru. Diantaranya adalah H.M. Siddiq, H Abdurrasyid, Haji
Abdullah dan Haji Abdul Ghani. Pengetahuan agama ini diperdalam lagi
dalam asuhan Haji Idris dan Haji Hasan Betawy serta Syeikh Abdul Wahab as
Syafi’i dan Mekkah.
Dengan melihat periode kesultanan saat mana dia berkuasa, dapat
dipastikan bahwa beliau mengendalikan kekuasaan Bima pada saat-sat mulai
bermunculannya Pergerakan-pergerakan nasional, baik yang berasaskan
Nasional semata maupun keagamaan. Dan sebagai penguasa Bima, beliau
membuka selebar-lebarnya sayap pergerakan-pergerakan ini. Diantara
organisasi pergerakan-pergerakan tersebut adalah Sarekat Islam (SI),
Muhammadiyyah, Persatuan Penuntut Ilmu (PERPI), Persatuan Islam Bima,
Partai Indonesia Raya (PARINDRA), Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagaimana kerajaan Islam Palembang dan Siak Sri Indrapura, maka
setelah Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945, Kesultanan Islam Bima
menjadi bahagian tidak terpisahkan dan Negara Republik Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 12 Juli 1951, dalam usianya yang ke 64 tahun,
Sultan Muhammad Salahuddin meninggal dunia di Jakarta. Jenazahnya
dimakamkan di pemakaman umum Karet, Tanah Abang, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA

Darmawijaya, 2010, Kesultanan Islam di Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-


Kautsar)

Daliman, 2012, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerjaan Islam Di


Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak)

Said Mohammad, 1981, Aceh Sepanjang Abad (Medan: Waspada)

Harun Nasution, dkk. 2002, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan)

Mukarrom Ahwan, 2014, Sejarah Islam di Indonesia 1, (Surabaya: UIN Sunan


Ampel)

https://www.acehprov.go.id/jelajah/read/2018/01/22/64/kerajaan-samudera-
pasai.html

https://kampungrison.wordpress.com/2008/08/04/kerajaan-indragiri/

Sejarah Kerajaan Siak Sri Indraputra, Situs resmi pemerintah kabupaten Siak
(https://siakkab.go.id/sejarah-siak)

Anda mungkin juga menyukai