Anda di halaman 1dari 23

Sejarah Kerajaan Islam Perlak - Sumatera

Kota Islam - Kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah Kerajaan Perlak. Kerajaan Perlak
muncul mulai tahun 840 M sampai tahun 1292 M. Kerajaan Perlak adalah sebuah kerajaan Islam awal
yang terletak di Perlak, Aceh. Perlak merupakan sebuah daerah di pesisir timur daerah Aceh. Kata
Perlak berasal dari nama pohon kayu besar yaitu “Kayei Peureulak” (Kayu Perlak). Kayu ini sangat
baik digunakan untuk bahan dasar pembuatan perahu kapal, sehingga banyak dibeli oleh perusahaan-
perusahaan perahu kapal. Dan di Perlak banyak tumbuh jenis pepohonan ini, sehingga disebut negeri
Perlak. Raja dan rakyat penduduk daerah negeri Perlak adalah keturunan dari Maharaja Pho He La
Syahir Nuwi (Meurah Perlak Syahir Nuwi) dan keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya.

Masa pemerintahan Islam Perlak berlangsung selam 467 tahun dari tahun 225-692 H. Kerajaan
Islam Perlak lahir bertepatan dengan masa pemerintahan Al-Muktashim Billah, khalifah Abbasiyah
terkahir yang memerintah tahun 218-227 H(833-842 M). Sampai awal abad ke-10 tercatat empat orang
raja yang memerintah Kerajaan Islam Perlak, yaitu: Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah
(225-249 H /840-864 M),Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdurrahim Syah (249-285 H/ 864-888 H),
SultanAlaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah (285-300 H / 888-913 H), Sultan Alaiddin Saiyid Maulana
Ali Mughaiyat Syah (302-305 H/ 915-918 M).

Proses Terbentuknya Kerajaan Islam Perlak

Pada tahun 840 ini, datanglah rombongan berjumlah 100 orang yang dipimpin oleh Nakhoda
Khalifah. Tujuan mereka adalah berdagang sekaligus berdakwah menyebarkan agama Islam di Perlak.
Pemimpin dan para penduduk Negeri Perlak pun akhirnya meninggalkan agama lama mereka untuk
berpindah ke agama Islam. Selanjutnya, salah satu anak buah Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad
bin Ja`far Shadiq dinikahkan dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi. Dari perkawinan
mereka inilah lahir kemudian Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan pertama Kerjaan Perlak.
Sultan kemudian mengubah ibukota Kerajaan, yang semula bernama Bandar Perlak menjadi Bandar
Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah. Sultan dan istrinya, Putri Meurah Mahdum
Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo, Perlak, Aceh Timur.

Dalam waktu yang tidak sampai setengah abad, umat Islam Perlak yang telah mempunyai
keturunan Islam dari perkawinan campuran antara rakyat/penduduk asli (putri-putri Perlak) dengan
keturunan Arab, Persi dan Muslim India, telah sanggup mendirikan Kerajaan Islam di negeri Perlak
pada hari Selasa sehari bulan Muharam tahun 225 H (840 M).
1
Sultan pertama yang terpilih adalah Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah (peranakan Arab Quraisy
dengan puteri Meurah Perlak), bergelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah. Kerajaan
Islam yang telah didirikan di Perlak itu, hidup subur dan menjalar luas melalui dinasti raja-rajanya.

Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah merupakan sultan yang beraliran paham Syiah. Aliran
Syi’ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk
pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika
dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi’ah di pantai Sumatera dengan
kelompok Syi’ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah
haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke
pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi’ah di Kesultanan
Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni
mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 913 M terjadi perang saudara antara kaum
Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan. Kaum Syiah memenangkan
perang dan pada tahun 915 M Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik
tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini
dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.

Penobatan Sultan yang keempat tertunda selama tiga tahun karena terjadi pertentangan politik
antara aliran Syiah dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Para saudagar yang dipimpin Nahkoda Khalifah
terdiri atas pemimpin-pemimpin kaum Syiah yang tersingkir oleh penguasa dari dinasti Abbasiyah di
Tanah Arab, Persia dan India. Pertentangan politik antara kedua mazhab ini dalam kerajaan Islam saat
itu sampai meluas ke Perlak.

Akhirnya kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah berhasil menumbangkan kerajaan Islam Syiah dan
menggantikannya dengan kerajaan Ahlussunnah Perlak. Dinasti Makhdum merupakan kelanjutan dari
sultan-sultan dinasti Saiyid Maulana yang berjumlah dua belas orang yaitu:

1. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat, (306-310 H / 918-922M).
2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (310-334 H /922-
946 M).
3. Sultan Makhdum Alaiddin Abdulmalik Syah Johan Berdaulat (334-361 H(946-973 M).
4. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (402-450 H /1012-1059 M).
2
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (450-470H /1059-1078 M).
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (470-501 H (1078-1108 M).
7. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat(501-527 H /1108-1134 M).
8. Sultan Makhdum Alaiddin Mahmud Syah Johan Berdaulat,(527-552 H /1134-1158 M).
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah JohanBerdaulat, (552-565 H /1158-1170 M).
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad SyahJohan Berdaulat (565-592 H /1170-1196
M).
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik AbduljalilSyah Johan Berdaulat (592-622 H /1196-1225 M)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-
1263 M (namun menurut catatan yang ada di Wikipedia jumlah sultan pada Dinasti Makhdum
berjumlah 14)
Pada tahun 956 M, setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik
Syah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni
yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian. Bagian pertama, Perlak
Pesisir (Syiah), dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Bagian kedua, Perlak
Pedalaman (Sunni), dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat
(986 – 1023).

Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah
tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil
dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya
kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah
Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai
Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.

Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat,
melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya
dengan para pemimpin kerajaan tetangga. Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan
Malaka, Sultan Muhammad Syah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja
Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.

Perkawinan ini mempunyai arti yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Sumatera dan
Semenanjung Tanah Melayu. Selain itu, Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan yang memiliki
kebudayaan dan peradaban tinggi bersifat terbuka. Dari hasil perkawinan ini melahirkan seorang putera
3
mahkota pewaris dua kerajaan, yakni Sultan Muhammad Malikul Dhahir. Faktor perkawinan ini
menyebabkan lancarnya penyatuan Kerajaan Islam Perlak ke dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai.

Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul
Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan
Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu,
Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.

Kerajaan Perlak merupakan negeri yang terkenal sebagai penghasil kayu Perlak, yaitu kayu yang
berkualitas bagus untuk kapal. Tak heran kalau para pedagang dari Gujarat, Arab dan India tertarik
untuk datang ke sini. Pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak berkembang sebagai bandar niaga yang
amat maju. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar muslim dengan
penduduk setempat. Efeknya adalah perkembangan Islam yang pesat dan pada akhirnya munculnya
Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Pada hari peresmian berdirinya Kerajaan Islam itu, Bandar Perlak ditukar namanya menjadi
Bandar Khalifah sebagai kenang-kenangan kepada Nakhoda Khalifah yang mula-mula membawa
agama Islam ke Bandar Perlak. Bandar Khalifah itu sampai sekarang masih tetap disebut namanya,
tetapi daerah itu telah menjadi dusun yang kecil yang tidak berarti lagi.

Dinasti Saiyid Maulana

1. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah, memerintah pada tahun 225-249 H (840-864
M).
2. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdur-Rahim Syah, memerintah pada tahun 249-274 H (864-
888 M).
3. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah, memerintah pada tahun 274-300 H (888-913 M).
4. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughayah Syah, memerintah pada tahun 302-305 H (915-
918 M).
Dinasti Makhdum Johan Berdaulat

Raja-raja Dinasti Makhdum Johan Berdaulat adalah turunan dari Meurah Perlak asli (Syahir
Nuwi).

1. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul-Kadir Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 306-
310 H (918-922 M).
4
2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat, memerintah pada
tahun 310-334 H (922-946 M).
3. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul-Malik Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 334-
361 H (946-973 M).
4. a Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Mahmud Syah sebagai sultan yang memerintah pada tahun
365-377 H (976-988 M) dari Dinasti Saiyid Maulana. 8.b. Sultan Makdhum Alaiddin Malik
Ibrahim Syah Johan Berdaulat sebagai sultan yang memerintah pada tahun 365-402 H (976-
1012 M) dari dinasti Makhdum Johan Berdaulat.
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 402-
450 H (1012-1059 M).
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 450-
470 H (1059-1078 M).
7. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 470-
501 H (1078-1108 M).
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 501-
527 H (1108-1134 M).
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah II Johan Berdaulat, memerintah pada tahun
527-552 H (1134-1158 M).
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 552-
565 H (1158-1170 M).
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun
565-592 H (1170-1196 M).
12. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 592-622
H (1196-1225 M).
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat, memerintah pada
tahun 622-662 H (1225-1263 M).
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat, yang memerintah pada
tahun 662-692 H (1263-1292 M).
Hasil Budaya

1. Mata Uang Perlak

 Mata uang dari emas (Dirham)

5
Pada sebuah sisi uang tersebut tertulis “al A’la” sedangkan pada sisi yang lain tertulis “Sulthan”
. Dimungkinkan yang dimaksud dalam tulisan dari kedua sisi adalah Putri Nurul A’la yang
menjadi perdana Menteri pada masa Sultan Makhdum Alaidin Ahmad Syah Jauhan Berdaulat
yang memerintah Perlak tahun 501-527 H.
 Mata Uang Perak ( Kupang)
 Mata Uang Tembaga ( Kuningan )

2. Stempel Kerajaan

Stempel kerajaan ini bertuliskan huruf arab , model tulisan tenggelam yang membentuk kalimat
“ Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512”. Kerajaan Negeri bendahara adalah menjadi
bagian dari kerajaan Perlak.

3. Makam Raja Benoa

Makam Raja Benoa terletak di tepi sungai Trenggulon. Batu nisan makam tersebut bertuliskan
huruf Arab. Berdasarkan penelitian Dr.Hassan Ambari, nisan makam tersebut dibuat pada sekitar abad
ke-4 H, atau abad ke-11 M. Berdasarkan catatan Idharul Haq Fi Mamlakatil Ferlah Wal Fasi, benoa
adalah negara bagian dari kerajaan Perlak.

6
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana


tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat
itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14
M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil
menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di
kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari
Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang
pernah dicapai sebelumnya.

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang
dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia
berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk
menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di
Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat
Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah
dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan
kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu,
kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari
penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi
Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan
lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan.
Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa
mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng
Portugis di Pasai.

Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek
persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan,

7
karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang
digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.

Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, Mughayat
Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang,
sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga
akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan
untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India.
Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani.
Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir separuh
wilayah pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.

Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya sampai
tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat
Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu:

(1) mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar.

(2) menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

(3) bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat

(4) menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar

(5) menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-
dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.

Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda
Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat
perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki
hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda,
Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh

8
Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer
untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.

Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah mengirim
utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini
ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan
kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan
satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah,
Istana Dalam Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak
kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan
Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai
Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.

Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik dengan Ratu
Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim
utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk
meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab
positif permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang
ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang
Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada Ratu Inggris bertarikh
1585 M:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over
the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the
sunset.

(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh,
tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari
terbit hingga matahari terbenam).

Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai hadiah
kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu imperialisme Inggris
untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin
9
oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye.
Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah
gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut
terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.

Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah
Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani,
Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-
Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun
1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah
mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di
Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama
Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan
menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan uleebalang,
dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah.
Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.

Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris
yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di
Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M,
Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara
resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh.
Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut
Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck
Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar
mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat
Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh,
maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah
Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang
dibakar Belanda.

Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van
Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan
10
Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904,
hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah
tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap
berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya
yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal
J.J.K.De.Moulin.

Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir seiring dengan masuknya
Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong
Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat
umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika Jepang mulai melakukan
pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa masyarakat untuk membungkuk pada matahari
terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan. Di antara tokoh yang dikenal gigih melawan
Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah berakhir ketika Indonesia merdeka dan
Aceh bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2. Silsilah

1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)


2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam/Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678)
11
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah/Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah(1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din/Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode yang berbeda,
diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).

Hasil Budaya

1. Taman Sari Gunongan

Taman ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan


Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. Sultan
Iskandar Muda berhasil mengalahkan Kerajaan Pahang dan
Kerajaan Johor di Semenanjung Malaka. Sultan Iskandar
Muda jatuh cinta kepada Putri Boyongan dari Pahang karena
12
akhlakhnya yang begitu mempesona dan cantik parasnya, hingga akhirnya menjadikannya sebagai
permaisuri. Karena cintanya yang begitu besar, Sultan Iskandar Muda bersedia untuk memenuhi
permintaan Putri Boyongan untuk membangun sebuah taman sari yang indah dilengkapi dengan
Gunongan.

2. Masjid Tua Indrapura

Masjid Indrapuri merupakan bangunan tua berbentuk segi


empat sama sisi. Memiliki bentuk yang khas seperti candi,
karena di masa lalu bangunan ini bekas benteng sekaligus candi
Kerajaan Hindu yang lebih dahulu menguasai Aceh.
Pada tahun 1300 Masehi,
diperkirakan pengaruh
Islam di Aceh mulai
menyebar serta perlahan
penduduknya sudah mengenal Islam. Akhirnya bangunan yang
awalnya candi ini berubah fungsi menjadi masjid. Bangunan
bekas candi ini dirubah

menjadi masjid pada masa Sultan Iskandar Muda yang


berkuasa dari tahun 1607-1637 Masehi

3.Benteng Indrapatra

13
Benteng ini adalah benteng
yang dibangun oleh
Kerajaan Lamuri, yakni
sebuah Kerajaan Hindu
pertama di Aceh. Meskipun
akhirnya Islam
mendominasi di Aceh,
namun sultan dan ratu yang memimpin Aceh tidak pernah berniat sekalipun menghancurkan jejak
peninggalan nenek moyangnya.

4. Pinto Khop

Pinto Khop berada di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan


Baiturahman, Kota Banda Aceh. Tempat ini merupakan sejarah
Aceh zaman dulu yang dibangun pada masa pemerintaha
Sultan Iskandar Muda. Selain itu, tempat ini juga merupakan
pintu penghubung antara istana dan taman putroe phang.

Pinto khop ini adalah pintu gerbang yang berbentuk kubah. Pinto khop ini juga merupakan tempat
beristirahat putri pahang jiksa sudah selesai berenang, posisinya tidak jauh dari gunongan. Nah, di
sanalah dayang-dayang membasuh rambut permaisuri. Selain itu, di sana juga terdapat sebuah kolam
yang digunakan permaisuri untuk mandi bunga.

5. Meriam Kesultanan Aceh

Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa pembuat senjata dan teknisi dari
Turki ke Aceh. Kemudian Aceh menyerap kemampuan ini dan bisa memproduksi meriam sendiri dari
kuningan. Perlu kamu ketahui, meriam ini dipakai untuk mempertahankan Aceh dari serangan
penjajah.

6. Hikayat Prang Sabi

14
Hikayat Prang Sabi adalah suatu karya sastra dalam sastra Aceh yang berbentuk hikayat. Adapun isi
dari hikayat ini adalah membicarakan tentang jihad. Karya sastra ini ditulis oleh para ulama yang berisi
ajakan, nasihat, dan seruan
untuk terjun ke medan jihad
untuk menegakkan
agama Allah dari serangan
kaum kafir. Bisa jadi, mungkin
hikayat inilah yang
membangkitkan semangat
juang rakyat Aceh dulu
untuk mengusir penjajah.

Sejarah Lengkap Kerajaan Malaka Kerajaan Islam di Indonesia

Pertumbuhan Kerajaan Malaka dipengaruhi oleh ramainya perdagangan internasional Samudera


Hindia. Pelabuhan Malaka sebelumnya tidak memiliki kekuasaan politik, kecuali sebagai tempat
persinggahan para pedagang dari berbagai bangsa, terutama pedagang yang beragama Islam. Tidak
diketahui dengan pasti bagaimana awal berdirinya Kerajaan Malaka ini. Menurut beberapa versi,
15
kerajaan ini didirikan oleh seorang pangeran Wilayah kekuasaan kerajaan Malaka dari Palembang
bernama Parameswarayang lari ke Malaka ketika terjadi serangan dari Majapahit. Ia mendirikan
kerajaan Malaka sekitar tahun 1400. Pada mulanya, Parameswara adalah seorang raja yang beragama
Hindu. Setelah memeluk Islam, dia mengganti namanya dengan nama Islam, Muhammad Syah(1400-
1414) . Raja pertama ini kemudian digantikan oleh Sultan Iskandar Syah (1414-1424).

Selanjutnya raja-raja yang berkuasa di Malaka adalah Sultan Muzaffar Syah (1424-1444), Sultan
Mansur Syah(1444-1477), danSultan Mahmud Syah(1477-1511). Malaka didirikan melalui dua kali
kekalahan dalam perang yang dialami oleh pendirinya Parameswara, ia merupakan pangeran dari
kerajaan Hindu, Sriwijaya yang menikah dengan seorang putri dari Majapahit dan kemudian harus turut
serta dalam perang saudara yang terjadi di kerajaan Majapahit setelah pemimpinnya, Hayam Wuruk
meninggal dunia. Parameswara yang kalah dalam perang,akhirnya melarikan diri ke daerah yang kita
kenal sekarang sebagai Singapura dan mendirikan sebuah Kerajaan bernama Tumasik. Namun tak lama
setelah berdiri,kerajaan ini diserang dan berhasil dikuasai oleh armada laut Majapahit. Untuk yang
kedua kalinya Parameswara kalah dalam peperangan yang ia alami.

Melihat kerajaanya hancur begitu saja, akhirnya Parameswara memutuskan melarikan diri dan
mencari daerah sebagai harapan baru untuk kedua kalinya. Setelah mencari-cari akhirnya Parameswara
memutuskan untuk mendirikan sebuah kerajaan di daerah Semenanjung Malaya, kerajaan ini kemudian
dikenal sebagai Kerajaan Malaka. Dengan semangat baru Parameswara kemudian berupaya untuk
mengembangkan kerajaanya dengan membangun sebuah pelabuhan sebagai pusat perdagangan
mengingat lokasi Kerajaan Malaka berada di lokasi yang strategis. Dari pelabuhan inilah harapan untuk
Malaka yang jaya muncul. Pedagang dari bangsa – bangsa hebat pada masa itu seperti Gujarat, Arab,
Tiongkok dan sebagainya bermunculan di pelabuhan Malaka. Pembangunan pelabuhan inilah
kemudian yang menjadi faktor utama kejayaan kerajaan Malaka.

Bermunculan pedagang – pedagang dari Arab dan Gujarat yang notabene sebagian besar beragama
Islam menyebabkan perekonomian Kesultanan semakin baik dan agama Islam juga semakin kental di
wilayah Kesultanan Malaka. Kuatnya pengaruh Islam di wilayah kesultanan juga menyebabkan
Parameswara memeluk Islam,mengganti namanya menjadi Iskandar Syah dan kemudian menjadikan
Malaka sebagai kesultanan kedua yang ada di Nusantara setelah Samudra Pasai.

Dalam eksistensinya yang hanya mencakup satu abad, Kesultanan Malaka mengalami pergantian
pemimpin hingga empat kali setelah wafatnya sang pendiri, Iskandar Syah. Tak lama setelah Iskandar

16
Syah wafat, kepemimpinan Kesultanan Malaka dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Muhammad
Iskandar Syah atau lebih dikenal sebagai Megat Iskandar Syah.Di masa pemerintahanya yang hanya
sepuluh tahun ia berhasil memajukan Kesultanan Malaka di bidang pelayaran dan berhasil menguasai
jalur perdagangan di kawasan Selat Malaka dengan taktik perkawinan politik. Muhammad Iskandar
Syah bahkan berhasil menguasai Samudra Pasai dengan mudah.Dengan menikahi seorang putri
Samudra Pasai,kerajaan Islam pertama di Nusantara itu pun akhirnya tunduk pada Malaka.

Kerajaan Malaka memiliki peran yang sangat besar di bidang perdagangan. Perdagangan menjadi
sumber utama penghasilan Kerajaan Malaka. Terdapat beberapa ciri mengenai perdagangan di Malaka.
Raja dan pejabat tinggi kerajaan terlibat dalam kegiatan dagang. Mereka memiliki kapal, nakhoda, dan
awak kapal yang bekerja kepadanya. Selain itu, mereka juga menanamkan modalnya kepada
perusahaan pelayaran.

Pajak bea cukai yang dikenakan terhadap setiap barang dibedakan atas asal barang. Barang yang
berasal dari Asia Barat, seperti India, Persia, Arab, dan lain-lain, dikenakan bea sebesar 6%. Sedangkan
barangbarang dari Asia Timur, termasuk pedagang dari kepulauan Nusantara tidak dikenakan bea
cukai, namun mereka harus memberikan upeti kepada raja dan para pembesar pelabuhan.

Perdagangan dijalankan dalam dua jenis. Pertama, pedagang memasukkan modal dalam bentuk
barang dagangan yang diangkut dengan kapal untuk dijual ke negeri lain. Kedua, pedagang menitipkan
barang atau meminjamkan uang kepada nakhoda yang akan membagi keuntungannya dengan pedagang
pemberi modal.

Kerajaan mengeluarkan berbagai undang-undang yang mengatur perdagangan di Kerajaan Malaka,


agar perdagangan berjalan lancar.

Kerajaan ini mengalami keruntuhan setelah Malaka dikuasai oleh Portugis di bawah pimpinan Alfonso
d’Albuquerque,pada tahun 1511. Dengan demikian, kekuasaan politik Kerajaan Malaka hanya
berlangsung kurang lebih satu abad.

Hasil Budaya dan Peninggalan

1. Hikayat Hang Tuah

2. Masjid Kubro, Kampar Timur

17
Sejarah Kerajaan Islam Samudera Pasai – Sumatera

Kota Islam - Sejarah dan Perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai. Kesultanan Pasai, juga
dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di
pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi
Aceh, Indonesia. Berdasarkan berita Marcopolo (th 1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267
telah berdiri kerajaan Islam di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan
adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai.

Sejak abad ke-9 sampai ke-11 M berita-berita pelayaran dan geografi Arab juga telah menambah
sumber-sumber sejarah. Berita-berita itu, antara lain dari Ibn Khurdazbih (850),Ya’qubi (875-880),

18
Ibnu Faqih (902), Ibnu Rusteh (903), Ishaq Ibn Iman (lk.907), Muhammad Ibnu Zakariyya al-Razi,
Abu Zaid dari sirat (lk. 916), Abu Dulaf (lk.940), Mas’udi (943), dan Buzurg Ibn Syahriyar (awal abad
ke-10). (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:22). Hal ini membuktikan bahwa islamisasi telah ada sebelum
kerajaan Samudra Pasai didirikan. Oleh karena itu, sejak abad ke-7 dan ke-8 sampai abad ke-11 M di
daerah pesisir selat Malaka dan juga di Cina Selatan tumbuh komunitas-komunitas muslim akibat
islamisasi

Proses Pembentukan awal Kerajaan Samudera Pasai

Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana
laut Mesir. Pada tahun 1238 M, ia mendapat tugas merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat yang
dijadikan tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari timur. Nazimuddin al-Kamil juga
mendirikan satu kerajaan di Pulau Sumatera bagian utara. Tujuan utamanya adalah untuk dapat
menguasai hasil perdagangan rempah-rempah dan lada. Beliau kemudian mengangkat Marah Silu
menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (1285 – 1297).

Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke
Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini
pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521. Makam
Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan
bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345
Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah
mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan
penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota
besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.

Namun Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah
Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah
Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik
tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M. Dalam Hikayat Raja-raja
Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan
yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali.
Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur

19
Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara
(Samudera).

Pada pemerintahan Sultan Malik Al Saleh masih belum terlihat tanda-tanda kejayaan yang
signifikan, namun pada pemerintahannya setidaknya kerajaan Samudra pasai merupakan kerajaan yang
besar dari wilayah Aceh sendiri. letak kerajaan Samudra Pasai kurang lebih 15 Km disebelah timur
Lhoukseumawe, Nangroe Aceh. Diapit oleh sungai besar yaitu sungai Peusungan dan sungai Jambo
Aye, jelasnya Kerajaan Samudra Pasai adalah daerah aliran sungai yang hulunya berasal jauh ke
pedalaman daratan tinggi Gayo Kab. Aceh Tengah. Letaknya yang sangat strategis membuat Samudra
pasai menjadi kerajaan yang besar dan berkembang pesat pada zaman itu.

Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-
Zahir dari perkawinannya dengan Ganggang Sari putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan
berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan
dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya
Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia
dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera)
menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.

Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Zhahir sebagai
raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun
ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan
hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan
duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-
Zahir, datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai
terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.

Pada awal abad ke-16 mungkin masa memuncaknya kerajaan Samudra Pasai sebagaimana
diberitakan oleh Tome Pires (1512-1515) tengah mengalami berbagai kemajuan dibidang politik
pemerintahan, di bidang keagamaan, terutama di bidang pertanian dan perdagangan.
(Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23), adapun Pasai yang selalu menjalin hubungan persahabatan

20
dengan kerajaan lain, seperti Malaka yang saat itu Malaka menjadi pusat perdagangan Dunia, yang
diikuti pula pernikahan antara raja-raja malaka dengan para putri Pasai (Gade Ismail, M.1997:28).

Tome Pires menceritakan tentang hubungan antara Pasai dan Malaka,terutama pada masa
pemerintahan Saquem Darxa yang dapat disamakan dengan nama sultan Iskandar Syah raja kedua
Malaka. (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23). Kemajuan kemajuan Kerajaan Samudera Pasai Pada
Masa Kejayaannya Sekitar Awal Abad ke 16 antara lain: Perdagangan, Pelayaran, Perekonomian,
Hubungan internasional dan politik

Akhir pemerintahan

Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi


beberapa pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang saudara.
Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan kepada
Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun
Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh
Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524
wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.

Hasil Budaya

1. Dirham

Dirham-dirham yang ada di Kerajaan Samudera Pasai dibuat dari 70% emas murni 18 karat tanpa
campuran kimia kertas. Koin ini berukuran mungil, berdiameter 10 mm dengan 0,6 gram setiap
koinnya. Dirham ini dicetak dengan dua jenis, yakni satu Dirham dan setengah Dirham. Pada satu sisi
dirham atau mata uang emas itu tercetak tulisan Muhammad Malik Al-Zahir. Sementara di sisi lainnya
tercetak tulisan nama Al-Sultan Al-Adil. Dirham ini banyak digunakan sebagai alat transaski, terutama
tanah.
 
Dirham ini tetap berlaku hingga bala tentara Nippon mendarat di Seulilmeum, Aceh Besar pada tahun
1942. Namun ternyata sampai hari ini pun di daerah Sumatera Barat masih bisa dijumpai pemakaian
satuan mas dirham ini (1 mas = 2,5 gram). Tradisi mencetak Dirham mas kemudian menyebar ke

21
seluruh Sumatera, bahkan sampai semenanjung Malaka semenjak Aceh menaklukkan Pasai pada tahun
1524.

2. Cakra Donya
Cakra Donya adalah sebuah lonceng yang bisa dibilang keramat. Cakra Donya ini merupakan
lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina tahun
1409 M. Lonceng ini memilik tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra
sendiri memiliki arti poros kereta, lambang-lambang Wishnu,
matahari atau cakrawala. Sementara Donya berarti dunia. Pada bagian
luar Cakra Donya terdapat sebuah hiasan dan simbol-simbol
berbentuk aksara Arab dan Cina. Aksara Arab tidak dapat dibaca lagi
karena telah aus. Sedangkan aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat
Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang sudah dituang dalam
bulan 12 dari tahun ke 5). Intinya, Cakra Donya ini adalah sebu

ah lonceng impor. Cakra Donya sendiri merupakan hadiah dari kekaisaran Cina kepada Sultan Samudra
Pasai. Kemudian hadiah lonceng ini dipindahkan ke Banda Aceh sejak portugis berhasil dikalahkan
oleh Sultan Ali Mughayat Syah.

3. Naskah Surat Sultan Zainal Abidin

Naskah surat Sultan Zainal Abidin merupakan surat yang ditulis oleh Sultan Zainal Abidin sebelum
meninggal pada tahun 1518 Masehi atau 923 Hijriah. Surat ini ditujukan kepada Kapitan Moran yang
bertindak atas nama wakil Raja Portugis di India. Surat ini ditulis
menggunakan bahasa arab, isinya menjelaskan mengenai keadaan
Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-16. Selain itu, dalam
surat ini juga menggambarkan tentang keadaan terakhir yang
dialami Kesultanan Samudera Pasai setelah bangsa Portugis
berhasil menaklukkan Malaka pada tahun 1511 Masehi. Nama-
nama kerajaan atau negeri yang memiliki hubungan erat dengan
Kesultanan Samudera pasai juga tertulis di dalamnya. Sehingga bisa diketahui pengejaan serta dan

22
nama-nama kerajaan atau negeri tersebut. Adapun kerajaan atau negeri yang tertera dalam surat
tersebut antara lain Negeri Mulaqat (Malaka) dan Fariyaman (Pariaman).

4. Stempel Kerajaan
Stempel ini diduga milik Sultan Muhamad Malikul Zahir yang merupakan Sultan Kedua
Kerajaan Samudera Pasai. Dugaan tersebut dilontarkan oleh oleh tim peneliti sejarah kerajaan Islam.
Stempel ini ditemukan di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Stempel
ini berukuran 2×1 centimeter, diperkirakan terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Adapun kondisi
stempel ketika ditemukan sudah patah pada bagian gagangnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
stempel ini sudah digunakan hingga masa pemerintahan pemimpin terakhir Kerajaan Samudera Pasai,
yakni Sultan Zainal Abidin.

23

Anda mungkin juga menyukai