Anda di halaman 1dari 4

Suku Donggo, Nusa Tenggara Barat

Suku Donggo (Dou Donggo), adalah suku yang mendiami kecamatan Donggo kabupaten Bima
provinsi Nusa Tenggara Barat. Populasi suku Donggo diperkirakan lebih dari 20.000 orang.
Istilah "donggo" atau lengkapnya "dou donggo" berarti "orang gunung". Suku Donggo sendiri
terbagi dari 2 kelompok, yang dibedakan berdasarkan daerahnya, yaitu Donggo Ipa dan Donggo
Ela. Daerah Donggo Ipa terletak di sebelah timur teluk Bima, sedangkan suku Donggo Ela terletak
di sebelah barat teluk Bima. Perkampungan suku Donggo berada di pinggir jalan atau sungai.
Suku Donggo ini merupakan penduduk pertama yang menghuni daerah Bima. Menurut peneliti
bahwa suku Donggo ini memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda dengan suku Bima (Dou
Mbojo). Suku Donggo memiliki kesamaan dengan masyarakat daerah di Lombok bagian utara.
Suku Donggo berbicara dalam bahasa Bima Donggo. Dalam bahasa Bima Donggo ini, terdapat
2 kasta bahasa, yang disebut sebagai bahasa halus dan bahasa kasar.
Rumah tradisional suku Donggo, yang disebut Uma Leme, memiliki bentuk yang berbeda
dengan masyarakat lain di Bima. Rumah dibangun dengan ketinggian mencapai 7 meter dengan
ukuran sekitar 3×4 meter. Rumah adat (Uma Leme) beratap alang-alang, dan berdinding kayu
sangga (kayu yang diyakini bisa menolak bala dan bencana). Rumah ini disebut juga rumah Ncuhi
atau Uma Ncuhi. Di rumah ini disimpan barang-barang sesembakan dan alat-alat kesenian.
Pada suku Donggo, terdapat beberapa seni budaya dan upacara adat, yaitu Upacara Kasaro
(acara untuk orang meninggal), Upacara Sapisari (penguburan), Doa Rasa (doa kampung) yang
diadakan 5 tahun sekali, Tari Kalero dan pesta Raju (anjing hutan).
Orang Donggo sebagian besar adalah pemeluk agama Islam dan sebagian kecil memeluk
agama Kristen. Dahulu sebelum orang Donggo memeluk agama Islam dan Kristen, mereka
menganut agama kepercayaan terhadap dewa-dewa, yang mengandung unsur Hindu-Budha. Mereka
menjunjung tinggi Lewa (dewa) yaitu kekuatan gaib yang ada di alam. Dewa yang tertinggi dan
ditakuti adalah Lewa Langi (Dewa Langit) yang tinggal di matahari. Mereka juga percaya roh-roh
di sekitar mereka yang dalam bahasa Donggo disebut Rawi. Dalam keyakinan mereka, ada roh yang
suka mengganggu dan roh yang suka menolong, misalnya Rawi Ndoe (angin dari roh nenek
moyang atau pelindung).
Masyarakat Donggo sebagian besar mendiami wilayah kecamatan Donggo sekarang, yang
dikenal dengan nama Dou Donggo Sebagian lain mendiami kecamatan Wawo Tengah
(pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele. Pada awalnya,
sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan
mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-
pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Kristen
dan bahkan Hindu-Budha. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian
mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut
datang. Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme).
Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat,
sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya
para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima
agama-agama yang mereka anggap baru tersebut.
Donggo berbeda dengan pakaian adat masyarakat Bima pada umumnya. Pakaian adat suku
Donggo didominasi dengan warna hitam. Pakaian adat berwarna hitam, sudah mereka pakai sejak
zaman nenek moyang dahulu, yang digunakan pada upacara adat dan ritual masyarakat Donggo.
Untuk perempuan dewasa menggunakan Kababu, yang terbuat dari benang katun yang disebut baju
pendek (baju Poro). Di bagian bawah memakai Deko (sejenis celana panjang sampai di bawah
lutut). Untuk perhiasan memakai kalung dan manik-manik giwang. Untuk perempuan remaja tetap
memakai Kababu atau baju lengan pendek. Namun cara memakai perhiasan agak unik yaitu dengan
dililitkan dan dibiarkan terjuntai dari leher ke dada.
Sedangkan laki-laki, mengenakan baju Mbolo Wo’o (baju leher bundar berwarna hitam). Di
bagian bawah mengenakan sarung yang disebut Tembe Me’e Donggo, yang terbuat dari benang
kapas berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Lalu dipinggang dipasang Salongo (sejenis ikat
pinggang berwarna merah atau kuning yang berfungsi sebagai tempat untuk menyematkan pisau
atau keris atau parang). Suku Donggo memiliki senjata yang disebut Pisau Mone (pisau kecil) yang
behulu panjang dengan bentuk agak panjang. Untuk alas kaki atau sandal mereka menggunakan
Sadopa yang terbuat dari kulit binatang.
Dalam bertahan hidup, suku Donggo pada umumnya hidup pada bidang pertanian, seperti
menanam padi di sawah dan menanam berbagai tanaman di ladang dan di kebun. Mereka juga
memelihara hewan ternak, seperti kuda dan sapi. Kegiatan lain adalah berburu di hutan sekitar
perkampungan mereka. Mereka juga terkenal karena ahli dalam meramu. Sebelum mengenal teknik
pertanian, mereka biasanya melakukan perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal
mereka pun selalu berpindah-pindah pula (nomaden)
SUKU BANGSA SUMBA
Nama suku bangsa ini mungkin berasal dar kata humba, yang berarti "asli". Mereka menyebut
diri sebagai Tau Humba, atau penduduk asli yang mendiami Pulau Sumba. Wilayah mereka
sekarang meliputi Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur.
Bahasa Sumba terbagi dua dialek, yaitu dialek Sumba Barat yang disebut bahasa Meiwewa dan
dialek Sumba Timur yang disebut juga bahasa Kambera. Bahasa Meiwewa terdiri atas beberapa
dialek (sub dialek), yaitu dialek Kodi, Wewewa Barat, Wewewa Timur, Waejewa, Laura dan
Walakaka. Sedangkan bahasa Kambera terdiri atas beberapa dialek (sub dialek), yaitu dialek
Manggikina, Manggarikuna dan Kambera. Populasinya tahun 1960 sekitar 250.000 jiwa, sekarang
sekitar 381.000 jiwa.Mata pencaharian utama mereka adalah bertanam di ladang dan sedikit di
sawah serta memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kuda.
Masyarakat ini terkenal pula oleh hasil tenunan tradisionalnya yang dikejakan sebagai mata
pencaharian sampingan. Selain menganyam barang-barang dari pandan dan bambu, mereka juga
membuat barang-barang perhiasan dari tulang dan tanduk kerbau, serta peralatan dari besi.
Perkampungan orang Sumba umumnya didirikan di daerah perbukitan dengan memilih suatu tanah
datarnya sebagai tempat pusat orientasi ritual. Dataran untuk upacara keagamaan ini mereka sebut
paraing dan di dekatnya didirikan rumah adat yang hanya didiami pada musim kemarau, karena
pada musim hujan mereka sibuk di ladang dan tinggal di pondok-pondok sementara. Rumah adat
yang disebut uma kabihu (rumah klan) itu memiliki atap model "joglo" yang menjulang tinggi. Di
lantai tertinggi di bawah atap itu adalah tempat meletakkan barang-barang perlengkapan marapu,
yaitu kepercayaan asli mereka.
Sistem garis keturunannya adalah patrilineal, dimana keluarga inti lebih suka mengelompok ke
dalam keluarga luas terbatasnya yang membentuk lagi kesatuan klan. Sistem kepemimpinan kerabat
masih terasa pengaruhnya sampai sekarang. Setiap klan memiliki seorang pemimpin yang disebut
rato. Klan-klan yang dominan menganggap diri sebagai bangsawan dan mereka biasanya disebut
golongan maramba. Golongan rakyat biasa disebut kabisu. Pada zaman dulu dikenal pula
segolongan hamba sahaya yang mengabdi kepada golongan maramba, mereka disebut ata.
Masyarakat Sumba terbagi ke dalam kelompok-kelompok keluarga luas (klan) yang mereka
sebut kabihu. Perkawinan harus bersifat eksogami klan, karena itu terbentuklah posisi aliansi
perkawinan, dimana ada kabihu yang bertindak sebagai pemberi wanita atau jera, dan kabihu
penerima wanita atau laija. Status jera dianggap lebih tinggi dari pada laija yang ditunjukkan dalam
seremoni-seremoni adat dan ritual. Poligini di antara golongan bangsawan diizinkan. Walaupun
pada masa sekarang orang Sumba sudah banyak yang memeluk agama Kristen dan Islam, akan
tetapi yang masih terikat kepada kepercayaan asli juga cukup banyak. Agama warisan kakek
moyang orang Sumba disebut marapu, lengkapnya marapu humba (agama leluhur yang asli).
Mereka mengenal banyak upacara seputar lingkaran hidup, terutama upacara-upacara yang
berkaitan dengan kematian dan kesuburan tanah.
Pakaian pesta dan upacara wanita Sumba Timur selalu melibatkan pilihan beberapa kain yang
diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan
lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku)
dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung. Di kepala terikat tiara
berwarna polos yang dilengkapi dengan hiduhai atau hai kara. Pada dahi disematkan perhiasan
logam (emas atau sepuhan) yaitu maraga, sedangkan di telinga tergantung mamuli perhiasan berupa
kalung-kalung keemasan juga digunakan pada sekitar leher, menjurai ke bagian dada.

Anda mungkin juga menyukai