Anda di halaman 1dari 6

“SUKU KAILI DI KAYUMALUE”

UTS (UJIAN TENGAH SEMESTER)

MATA KULIAH : ETNOGRAFI

DOSEN PENGAMPU : ANDRIANSYAH, S.S.,M.A

DISUSUN OLEH:

AQBIL AIMAN MANDARLANGI

(214190024)

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI DATOKARAMA PALU


BAB 1

Pendahuluan

1. Latar Belakang
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang mendiami sebagian besar dari Provinsi
Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di
seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung
Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi
Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo Una-Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku
Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo, Moutong,Parigi, Sausu,
Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane,
Uekuli dan pesisir Pantai Poso.

Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan awalan
"To" yaitu To Kaili. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili,
salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama
pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan di kawasan daerah ini,
terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu
letaknya menjorok l.k. 34 Km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai
buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan
pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut
sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.

Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang
pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut
atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.

Suku kaili atau etnik Kaili, merupakan salah satu etnik dengan yang memiliki rumpun etnik
sendiri. Untuk penyebutannya, suku Kaili disebut etnik Kaili, sementara rumpun suku Kaili
lebih dari 30 rumpun suku, seperti, rumpun Kaili Rai, rumpun Kaili Ledo, rumpun Kaili Ija,
rumpun Kaili Moma, rumpun Kaili Da'a, rumpun Kaili Unde, rumpun Kaili Inde, rumpun Kaili
Tara, rumpun Kaili Bare'e, rumpun Kaili Doi, rumpun Kaili Torai, dan lain lain.

Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam
percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa
menemukan bahasa yang berbeda satu dengan lainnya. Namun, suku Kaili memiliki lingua
franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini
dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli
(belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan
Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya
sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama
bahasa Mandar dan bahasa Melayu.

Mata pencaharian utama masyarakat suku Kaili adalah bercocok tanam di sawah, di ladang
dan menanam kelapa. Di samping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal di dataran tinggi,
mereka juga mengambil hasil bumi di hutan seperti rotan, damar, dan kemiri, dan beternak.
masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai selain bertani dan berkebun, mereka juga hidup
sebagai nelayan dan berdagang antarpulau seperti ke Kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran di
lembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim
paceklik masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari
beras jagung (campuran beras dan jagung giling). Alat pertanian suku Kaili di antaranya:
pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi (cangkul), pandoli(linggis), Taono(parang); alat
penangkap ikan di antaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.

Sebagaimana suku-suku lainnya di wilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai
adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum
Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam
hukum adat.

Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano,
no-Raego, kesenian berpantun muda/i), pada upacara kematian (no-Vaino, menuturkan
kebaikan orang yang meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada
Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk
mengobati orang yang sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen,
upacara-upacara adat seperti ini masih dilakukan dengan mantra-mantra yang mengandung
animisme.

Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah
disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya.
Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam
(Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya
berdasarkan ajaran agama Islam.

Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain: Kakula
(disebut juga gulintang, sejenis gamelan pentatonis),Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab
berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo (gong), suli
(suling).

Salah satu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan
para wanita di daerah Wani, Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa
Kaili disebut Buya Sabe, tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung
Donggala. Jenis Buya Sabe ini pun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif
tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung
Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu),
Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).

Di daerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari
kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh
para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.

Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme,
pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan
(Buke/Buriro) dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah Kaili,
setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari
Minangkabau bernama Syekh Abdullah Raqie. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili
setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah Kaili, Syekh Abdullah
Raqie dikenal dengan nama Dato Karama/Datuk Karama (Datuk Keramat), karena
masyarakat sering melihat kemampuan dia yang berada di luar kemampuan manusia pada
umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang di
bawah pengawasan Pemerinta Daerah.

2. Rumusan Masalah
1. Kapan masuknya suku Kaili di kelurahan kayumalue ?
2. Bagaimana Suku Kaili bersosialisasi atau berinteraksi dengan suku pendatang ?
3. Apakah Adat atau budaya suku Kaili di kelurahan kayumalue masih terlaksana ?
4. Apa pekerjaan yang lebih dominan di lakukan suku Kaili kelurahan kayumalue ?

Bab 2

Pembahasan

1. Suku Kaili masuk di kelurahan kayumalue


Suku Kaili merupakan suku bangsa di Indonesia yang mendiami sebagian besar dari Provinsi
Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Palu kecamatan Palu Utara kelurahan kayumalue, yang
perlu di ketahui terlebih dahulu bahwasanya suku Kaili adalah suku yang telah lama
mendiami dan di yakini sebagai suku asli tanah celebes, ada pula beberapa suku lainnya yang
menetap di kawasan Palu. Sebut saja Suku Bugis, Suku Minahasa, Suku Banjar, Suku
Gorontalo, Suku Toraja, Suku Jawa dan Suku Batak. Hanya saja secara jumlah, Suku Kaili
lebih mendominasi dibandingkan suku-suku lainnya. Penyebaran Suku Kaili menurut
sejarahnya bersumber dari kebiasaan Ada Nosibolai. Ada Nosibolai ialah kebiasaan di
kalangan para bangsawan yang menyebarkan turunannya melalui perkawinan
antarkeluarga. Itulah sebabnya, orang-orang Suku Kaili memiliki ikatan kekeluargaan yang
erat karena dijalin oleh tali perkawinan antarkeluarga.
Dari asal-usul inilah kemudian masyarakat Suku Kaili berkembang dengan sistem kawin
mawin sesama dan akhirnya menyebar ke daerah yang lebih luas salah satunya di daerah
kayumalue dan menjadi cikal bakal masuknya suku Kaili di kelurahan kayumalue.

2. Cara bersosialisasi atau berinteraksi suku Kaili di kelurahan kayumalue


Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam
percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa
menemukan bahasa yang berbeda satu dengan lainnya, contohnya kelurahan taweli yang
menggunakan Kaili rai dan kelurahan kayumalue yang jaraknya cukup terbilang dekat
menggunakan Kaili doi, Suku Kaili doi itu sendiri di gunakan oleh masyarakat kayumalue dan
Pantoloan yang penyebarannya di Sulawesi tengah dan Sulawesi barat yang memiliki jumlah
penutur sekitar 27.000 orang kaili. Suku kaili yang ada di kelurahan kayumalue berinteraksi
atau bersosialisasi dengan masyarakat setempat termasuk suku pendatang seperti suku
bugis dan suku Jawa cukup terbilang harmonis walaupun dalam berdialek ada penekanan
kata atau intonasi yang menjadi ciri khas suku Kaili berbeda halnya dengan suku Jawa yang
mengedepankan kelembutan Dan Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat
tampak kerjasamanya bisa terlihat pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan
dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).

3. Keadaan budaya suku Kaili yang berada di kelurahan kayumalue


Suku Kaili yang ada di Sulawesi tengah khususnya wilayah palu kelurahan kayumalue masih
menjunjung tinggi nilai-nilai budaya padahal sebagian kecil campuran masyarakat suku
bangsa lain, yang telah lama berdomisili di kelurahan tersebut seperti suku Bugis dan suku
Jawa suku Kaili tetap mempertahankan keasliannya. Walaupun adanya pembauran suku lain
di kelurahan tersebut, kebudayaan yang masih tetap di pertahankan keasliannya antara
lain,Sintuvu,molabe,Balia,dan adat perkawinan yang sampai sekarang masih terjaga
kelestariannya yang merupakan salah satu warisan peninggalan para leluhur mereka, seperti
adat perkawinan yang mana dirasakan sangat penting manfaatnya untuk dipertahankan dan
dilestarikan sebagai warisan budaya. Yang menarik di sini ialah adat perkawinan kaili di
karenakan tahapannya begitu banyak di bandingkan adat perkawinan suku lainnya.
Pelaksanaan adat perkawinan suku Kaili di Kelurahan Kayumalue Kecamatan Palu Utara ada
beberapa tahapan yakni Di awali dengan membuka Jalan (Notate Dala) sekaligus Melamar
(Neduta) dan dilanjutkan dengan menentukan berapa kemampuan atau beban lamaran
pihak laki-laki, Antar Belanja (Nanggeni Balanja) sekaligus mentukan hari yang baik
pelaksanaan perkawinan (Noovo), Membersihkan bulu cilaka (Nogigi), Malam Pacar
(Nokolontigi), Pelaksanaan akad nikah (Mponikah) dan Kunjungan pertama pengantin
perempuan (Mematua). Membuka Jalan (Notate Dala), cara pendekatan yang dilakukan oleh
pihak laki-laki kepada pihak perampuan, seperti menanyakan apakah sang perempuan masih
belum ada ikatan dengan laki-laki lain dan sebagainya, apabila perempuan masih belum ada
ikatan, pihak keluarga laki-laki yang terdiri atas keluarga terdekat dari laki-laki atau Lembaga
adat, dan dirangkaikan dengan tahapan selanjutnya yaitu Melamar (Neduta). Melamar,
artinya mengadakan Pelamaran atau peminangan, dan apabila lamaran diterima oleh pihak
perempuan, kedua belah pihak lalu berembuk untuk membicarakan penawaran kemampuan
atau beban lamaran dari pihak laki-laki pada pihak perempuan. Antar Belanja (Nanggeni
Balanja) sekaligus mentukan hari (Noovo), sebagai kelanjutan dari hasil rembukan tadi, pihak
laki-laki mengantarkan belanja ke pihak perempuan sekaligus menyerahkan isi Sambulu
Gana (adat sanjasio) sebagai kelengkapan adat dalam mengantar belanja, adapun isi
Sambulu Gana sebagai berikut : 1) Kalosu (Pinang) sebanyak 9 biji, 2) Tagambe (Gambir)
sebanyak 9 Buah, 3) Baulu (Sirih) sebanyak 9 helai, 4) Toila (kapur) sebanyak 9 bungkus, 5)
Tambako (Tembakau) sebanyak 9 tempat/bungkus, dan kemudian kedua belah pihak
berembuk kembali untuk menentukan hari yang baik untuk melangsungkan perkawinan.
Rombongan antar belanja ini terdiri atas para wanita dengan pakaian sopan serta tertutup
dan para prianya memakai jas dengan model tertutup. Menghilangkan bulu cilaka (Nogigi),
upacara Nogigi ini mencukur sebagian bulu badan, terutama pada alis, tengkuk dan bagian
dahi baik calon pengantin laki-laki maupun calon pengantin perempuan. Utamanya bagi
calon pengantin perempuan, rambut bagian depan termaksud bulu-bulu tengkuk, alis mata,
bagian bulu kepala, bagian muka serta tangan dan kaki. Sedangkan pada laki-laki bagian alis
saja.arti dari nogigi ini adalah untuk menghilangkan bulu cilaka. Malam Pacar (Mokolontigi),
malam pacar dilakukan sehari sebelum menjelang hari perkawinan. Selanjutnya Pelaksanaan
akad nikah (Mponikah), setelah tiba hari yang telah ditetapkan, pengantin laki-laki menuju
kerumah pengantin perempuan dengan membawa barang-barang adat perkawinan seperti:
1) Doke (tombak), 2) Tinggora (parang), dan 3) Mesa (kain panjang) serta pakaian pengantin
perempuan, dan buah-buahan. Setelah akad nikah selesai, tahapan terakhir yaitu Kunjungan
pengantin perempuan (Mematua), kunjungan pengantin perempuan ini adalah kunjungan
yang pertama dilakukan oleh pengantin perempuan kerumah mertuanya sebagai
penghormatan dan penghargaan kepada mertuanya bahwa mereka telah terjalin hubungan
kekeluargaan.

4. Pekerjaan yang mendominan di lakukan oleh Suku Kaili kelurahan kayumalue


Mayoritas pekerjaan yang dikerjakan oleh masyarakat setempat sama hal nya dengan
pekerjaan orang-orang di desa tidak lain adalah berkebun atau nelayan karena letak
geografis kelurahan kayumalue sendiri tidaklah jauh dari pesisir pantai sehingga beberapa
masyarakat setempat menjadikan itu sebagai mata pencaharian mereka ataupun ,warung
atau usaha mikro.Seiring berkembang nya zaman pekerjaan, berkebun atau nelayan mau
pun pekerjaan sampingan lainya seperti berternak ayam, sapi, dan kambing. Berwarung atau
pun usaha mikro itu hanya di lakukan oleh orang-orang tua dari suku kaili. Karena mengikuti
perkembangan zaman untuk anak mudanya kebanyakan melanjutkan pendidikan mereka
atau bekerja di perusahaan di luar kota.

Anda mungkin juga menyukai