Anda di halaman 1dari 6

MAKALA KEBUDAYAAN SUKU KAILI

TUGAS:PENGANTAR ANTROPOLOGI

SITI HAJAR N.AEPU,S.SOS M.SI

DI SUSUN OLEH:

WAHYU DERMAWAN

B20121034

PRONGRAM STUDI SOSIOLOGI

UNIVERSITAS TADULAKO

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


 
PEMBAHASAN

1.Sejarahsukukaili
Suku Kaili adalah salah satu suku bangsa yang mendiami lembah Palu. Atau bisa disebut juga sebagai
suku asli lembah Palu.  Kawasan Lembah Palu dan sekitarnya beberapa abad yang lampau merupakan
dataran air sungai Palu, dan merupakan suatu wilayah yang menjadi ciri khas kebudayaan dan
pemerintahan. Adapun lembah Palu ( saat ini dikenal dengan kecamatan Palu Timur dan Palu Barat,
kelurahan Tondo, Petobo, dan kecamtan Marawola) adalah merupakan bagian dari kerajaan Palu yang
dahulu masuk dalam lingkungan kerajaan Gowa.
Ada sejumlah versi mengenai asal-usul nama suku “Kaili” ini. Secara kebahasaan, kata kaili berasal dari
nama pohon. Pohon kaili ini tumbuh subur di tepi sungai Palu dan teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi
pantai Teluk Palu letaknya menjorok kurang lebih 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung
Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan
pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang
demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
Berdasarkan cerita daerah setempat, di dekat kampung Bangga tumbuh menjulang pohon kaili yang
sering dijadikan panduan bagi para pelaut dalam menentukan arah menuju pelabuhan Banggai.

2.DeskripsiLokasi   
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian
besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota
Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung
Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-
Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami
kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una,
sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.
 
3.unsurkebudayaan  
a. Bahasa  
Suku Kaili mengenal lebih dari 20 bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-
hari. Namun, suku Kaili tetap memilki lingua franca ( bahasa pemersatu), mereka menyebutnya sebagai
bahasa “Ledo” yang artinya “Tidak”.  Bahasa Ledo ini dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan
bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih
ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota
Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para
pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise,
Lasoani, Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan
Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro, Tovale dan Kabonga), bahasa Ado
(Sibalaya, Sibovi, Pandere) bahasa Edo (Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahasa Da’a
(Jono’oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare’e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar
bahasa tersebut berarti “tidak”.

b.SistemTeknologi   
-    Sistem Teknologi Transportasi dan Komunikasi
Di abad sekaliber dan se-modern saat ini, ada beberapa suku Kaili yang masih sangat tertinggal dengan
akses teknologi modern karena kehidupan masyarakat yang terasing dan terisolasi dari peradaban
modern. Disamping kondisi desa penduduk Kaili dengan perbukitannya yang terjal dan sulitnya medan,
transportasi untuk sampai ke desa ini terbilang sulit didapat. Untuk mencapai desa ini hanya bisa dengan
menggunakan sepeda motor (ojek) dari kota Palu (Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan) yang jaraknya
kurang lebih 80 km, ditambah berjalan kaki sejauh 10 km menapaki bukit terjal.
Suku Kaili yang hidup dipedalaman atau dikawasan hutan mereka tidak memilki akses teknologi
selayaknya suku Kaili yang tinggal di daerah pinggir kota. Akan tetapi mereka masih tetap memilki alat
tradisional berupa gerobak  yang mereka simpan dibawah tempat tidur mereka.
-    Peralatan upacara
Suku Kaili memiliki beberapa upacara adat tertentu, diantaranya adalah upacara adat pengobatan untuk
ibu yang sedang hamil (Novero). Peralatan upacara yang harus dipersiapkan adalah: Suampela, sebuah
tempat penyimpanan sesajian yang dibuat dari kayu bertiang tiga. Pada bagian atas dibuat sebuah
anyaman dari ranting bambu atau kayu tempat sesajian itu disimpan. Kulili, yaitu kayu yang dibuat
berbentuk parang dan diberi warna belang hitam putih. Ose ragi, yaitu beras yang sudah diberi warna-
warni. Pekaolu nuvayo, yaitu tempat berlindungnya bayangan. Tujuan pembuatannya dalah sebagai
tempat roh berlindung bila mendapat gangguan makhlus halus. Toge, adalah peralatan upacara yang
berbentuk tombak dan kuda berkepala dua yang dibuat dari janur. Tuvu mbuli. Mbara-mbara ( barang
perhiasan/ pakaian adat). Mbara-mbara  terdiri dari: vuya (sarung), baju dan bulava (emas). Dula
pulangga, (dulang berkaki), alat ini digunakan sebagai tempat menyimpan mbara-mbara. Banja
mpangana (mayang pinang). Serta daun dan bunga yang wangi seperti : bunga Mbalu, daun pandan,
Tamadi dan Tulasi.
Upacara adat kematian (molumu) ialah masa menyemayamkan jenazah, di mana mayat disimpan dalam
peti kayu yang tertutup rapi. Adapun perlengkapan selama upacara molumu ialah: peti mayat (lumu);
kipas (vara); dekorasi, semacam janur yang dibuat dari daun pandan dan bunga kemboja, yang dijadikan
penghias lumu (peti mayat) serta mayang pinang dan daun-daun kelapa. Perlengkapan lainnya ialah :
ula-ula, jajaka, gimba (gendang), pekabalu (kain pengikat kepala), kepala manusia, dan payung.
Upacara Naik Ayunan (Nosaviraka Ritora) yang dilakukan untuk seorang bayi agar terhindar dari
gangguan makhluk halus dan dari kakak-kakaknya yang masih nakal. Upacara ini berlangsung dalam
rumah, dan diperlengkapi dengan bahan-bahan upacara antara lain 4 macam makanan dari beras ketan,
masing-masing disimpan di bawah ayunan, tengah rumah, satu baki untuk bagian dukun dan satu baki
lagi untuk pangolo nu ngana kodi (bagian untuk bayi).
Ada pula vati dalam keluarga pada masyarakat Kaili yang mengadakan upacara Nompesuvuki ngana
(mengunjungi anak) yaitu suatu upacara di mana dari pihak nenek perempuan dari ayah sang bayi
mengadakan kunjungan kepada bayi dengan satu upacara tertentu pula. Upacara ini bertujuan agar anak
tidak berpenyakit mata (nageri), suka menangis (marenge), dan berwatak jorok (matontoru). Peralatan
yang digunakan adalah sejumlah bahan makanan dan keperluan dapur, seperti makanan dan sayur
masing-masing satu belanga, kayu api, sagu, beras, pisang satu sisir, dan daun pisang 7 lembar. Alat-
alat dapur antara lain tavolo (alat peniup api yang dibuat dari bambu), supi (penjepit arang api), sendok
nasi, dan sayur masing-masing satu buah.
Upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama (Nolama Tai) dengan menggunakan peralatan
upacara berupa mantale njaka (upacara sesajian) dari sejumlah bahan makanan dan bahan-bahan
perlengkapan adat lainnya. Materi-materi yang dipersiapkan di sini ialah punti jaka (pisang rebus), koluku
nikou (kelapa parut), marisa nete (lombok kecil), hati kerbau yang sudah dibakar (sate), nasi masak, dan
darah kambing/ayam yang disembelih. Benda-benda adat lainnya ialah sabala mesa (1 lembar sarung
tenunan zaman dulu), samata doke (satu mata tombak), somata tinggora (satu mata tombak yang
berakit), tatalu suraya ada (tiga piring adat), tatalu tubu (tiga buah mangkok), sang dula (satu dulang
tempat penyimpanan barang-barang tersebut di atas).
Upacara Masa Kanak-kanak pada Suku Kaili (Nosuna / khitan). Upacara ini sudah menjadi adat dan
tradisi di kalangan masyarakat Kaili sejak masuknya Islam hingga dewasa ini, secara turun temurun.
Upacara nosuna (khitan) dilaksanakan pada anak laki-laki dan perempuan. Namun pada bahagian ini
hanya diuraikan khusus pada upacara nosuna bagi anak laki-laki yang dilakukan menjelang anak
berumur sekitar 7 sampai 8 tahun, yaitu pada anak-anak yang belum memasuki puber atau balig
(nabalego).
-    Alat Musik
Peralatan musik tradisional suku Kaili terbuat dari bahan alam. Salah satu peralatan musik suku Kaili
adalah “Kakula”. Namun jauh sebelum alat musik ini masuk, daerah ini sudah mengenal alat musik yang
terbuat dari kayu yang pipih dengan panjang kira-kira 60 cm dan tebal 2 cm serta lebar 5 sampai 6 cm
disesuaikan dengan nada. Alat musik tersebut juga sering mereka katakan sebagai gamba-gamba.
Gamba-gamba kayu adalah salah satu bentuk embrio atau awal dari musik kakula karena nada yang ada
pada musik kakula yang terbuat dari tembaga/kuningan persis dengan nada yang ada pada gamba-
gamba atau Musik Kakula Kayu.
Dan alat musik lainnya seperti Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang),
gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), dan suli (suling).
 
c.    Sistem Mata Pencaharian
Suku Kaili penduduk asli Sulawesi Tengah adalah sebagai penduduk agraris. Suku Kaili memilki mata
pencaharian sebagai petani, yang bercocok tanam di sawah, diladang dan menanam kelapa. Disamping
itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti
rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping
bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah
Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat
menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan
jagung giling).
Alat pertanian suku Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi, pandoli(linggis),
Taono(parang); alat penangkap ikan diantaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.

. d.    Sistem Mata Pencaharian


Suku Kaili penduduk asli Sulawesi Tengah adalah sebagai penduduk agraris. Suku Kaili memilki mata
pencaharian sebagai petani, yang bercocok tanam di sawah, diladang dan menanam kelapa. Disamping
itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti
rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping
bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah
Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat
menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan
jagung giling).
e.    Sistem Pengetahuan
Suku Kaili banyak mendiami tempat-tempat dan daerah-daerah yang berbeda dikawasan Sulawesi
Tengah, diantara sekian banyak masyarakat suku Kaili terdapat sebuah rumpun masyarakat suku Kaili
yang dikenal dengan suku Kaili Da’a yang berbahasa Da’a di Jono’oge Sulawesi Tengah.
Hingga di abad teknologi muktahir yang berkembang pesat di kota-kota dimana kita tinggal, Orang Kaili
Da’a ini tidak pernah mengadopsi satu bagian pun dari kemajuan teknologi itu. Anak-anak mereka
bertumbuh apa adanya dengan pengetahuan yang minim yang tak lebih dari miskinnya peradaban
kebudayaan Kaili. Kesulitan akses ini yang menjadikan mereka tetap terasing dan nyaris terisolasi dari
peradaban modern. f.    Sistem Kesenian
Salah satu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita
didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe
tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun
mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja.
Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna
Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah
ludah sirih).
Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang
disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk
rok dan baju adat.
g.    Religi
Sebagian besar dari mereka sudah memeluk agama Islam terutama yang menetap di daerah pantai,
sedangkan mereka yang tinggal di daerah pedalaman menganut agama Kristen atau kepercayaan nenek
moyang. Mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di samping penduduk asli suku Kaili, di Sulawesi Tengah juga terdapat suku bangsa pendatang, seperti
orang Bugis dari selatan serta orang Gorontalo dan Minahasa dari sebelah utara.
Hubungan dengan suku-suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan membawa pengaruh pula
dalam hal agama, dalam hal ini agama Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk Sulawesi
Selatan. Bukti sejarah menyatakan bahwa masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah berasal dari
daerah Minangkabau melalui Makassar, yang dibawa oleh seorang mubalig pada saat sedang
berdagang. Diperkirakan masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah pada abad XVII, yang mana saat
itu penduduk setempat masih memeluk kepercayaan nenek moyang yaitu animisme dan dinamisme.
Namun, kepercayaan animisme dan dinamise serta kepercayaan-kepercayaan lainnya seperti
kepercayaan terhadap orang yang memiliki ilmu hitam dan dapat membunuh musuhnya dengan kekuatan
roh jahatnya, percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang mendiami dan menguasai . h.     
Pemerintahan
Pemerintahan pada masa dahulu, sudah dikenal adanya struktur organisasi pemerintahan di dalam suatu
Kerajaan (KAGAUA) dikenal adanya MAGAU (Raja), MADIKA MALOLO (Raja Muda). Didalam
penyelenggaraan pemerintahan Magau dibantu oleh LIBU NU MARADIKA (Dewan Pemerintahan
Kerajaan) yang terdiri dari: MADIKA MATUA (Ketua Dewan Kerajaan/Perdana Menteri) bersama
PUNGGAWA (Pengawas Pelaksana Adat/ Urusan Dalam Negeri), GALARA (Hakim Adat), PABICARA
(Juru Bicara), TADULAKO (Urusan Keamanan/ Panglima Perang) dan SABANDARA (Bendahara dan
Urusan Pelabuhan).
Disamping dewan Libu nu Maradika, juga ada LIBU NTO DEYA (Dewan Permusyawaratan Rakyat) yang
merupakan perwakilan Rakyat berbentuk KOTA PITUNGGOTA (Dewan yg Mewakili Tujuh Penjuru
Wilayah) atau KOTA PATANGGOTA (Dewan yg Mewakili Empat Penjuru Wilayah). Bentuk Kota
Pitunggota atau Kota Patanggota berdasarkan luasnya wilayah kerajaan yang memiliki banyaknya
perwakilan Soki (kampung)dari beberapa penjuru. Ketua Kota Pitunggota atau Kota Patanggota disebut
BALIGAU. Strata sosial masyarakat Kaili dahulu mengenal adanya beberapa tingkatan yaitu
MADIKA/MARADIKA, (golongan keturunan raja atau bangsawan),TOTUA NUNGATA (golongan
keturunan tokoh-tokoh masyarakat), TO DEA (golongan masyarakat biasa), dan BATUA (golongan
hamba/budak).
Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, daerah Tanah Kaili mempunyai beberapa raja-raja yang
masing2 menguasai daerah kekuasaanya, seperti Banawa, Palu, Tavaili, Parigi, Sigi dan Kulavi. Raja-
raja tersebut mempunyai pertalian kekeluargaan serta tali perkawinan antara satu dengan lainnya,
dengan maksud untuk mencegah pertempuran antara satu dengan lainnya serta mempererat
kekerabatan.
Pada saat Belanda masuk kedaerah Tanah Kaili, Belanda mencoba mengadu domba antara raja yang
satu dengan raja lainnya agar mempermudah Belanda menguasai seluruh daerah kerajaan di Tanah kaili.
Tetapi sebagian besar daripada raja-raja tersebut melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda,
mereka bertempur dan tidak bersedia dijajah Belanda. Tetapi dengan kelicikan Belanda setelah
mendapat bala bantuan dari Jawa akhirnya beberapa raja berhasil ditaklukan, bahkan ada diantaranya
yang ditangkap dan ditawan oleh Belanda kemudian dibuang ke Pulau Jawa.
Beberapa alat senjata perang yang digunakan oleh suku Kaili diantaranya : Guma (sejenis parang),
Pasatimpo (sejenis keris), Toko (tombak), Kanjai (tombak trisula), Kaliavo (perisai).

4.    Nilai- nilai Budaya


Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat
sebagai bagian kekayaan budaya didalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan
norma yang harus dipatuhi, dan mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat serta kearifan lokal yang
melingkupi kehidupan penduduk suku Kaili.
Salah satu nilai kehidupan yang berbunyi nilinggu mpo taboyo merupakan manifestasi keakraban
hubungan kekerabatan. Pada hakikatnya nilai ini dapat diartikan sebagai suatu sikap hidup yang tidak
menginginkan adanya jarak atau perbedaan yang dalam antara sesama kerabat, dalam hal ini perbedaan
kaya dan miskin. Biasanya mereka yang tergolong mampu atau berkecukupan dalam hidup selalu
menolong kerabatnya agar dapat hidup lebih layak.
Terdapat pula nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu
nilai gotong royong (nolunu). Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam
menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari,
seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi
pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang
akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama.

5. Kesimpulan  
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian
besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup
dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km
kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya.
Mata pencaharian utama masyarakat Kili adalah bercocok tanam disawah,diladang dan menanam
kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil
bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir
pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau
ke kalimantan. Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah
dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan.
Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat
sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan
norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat. Hubungan kekerabatan
masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian,
perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).

Anda mungkin juga menyukai