TUGAS:PENGANTAR ANTROPOLOGI
DI SUSUN OLEH:
WAHYU DERMAWAN
B20121034
UNIVERSITAS TADULAKO
1.Sejarahsukukaili
Suku Kaili adalah salah satu suku bangsa yang mendiami lembah Palu. Atau bisa disebut juga sebagai
suku asli lembah Palu. Kawasan Lembah Palu dan sekitarnya beberapa abad yang lampau merupakan
dataran air sungai Palu, dan merupakan suatu wilayah yang menjadi ciri khas kebudayaan dan
pemerintahan. Adapun lembah Palu ( saat ini dikenal dengan kecamatan Palu Timur dan Palu Barat,
kelurahan Tondo, Petobo, dan kecamtan Marawola) adalah merupakan bagian dari kerajaan Palu yang
dahulu masuk dalam lingkungan kerajaan Gowa.
Ada sejumlah versi mengenai asal-usul nama suku “Kaili” ini. Secara kebahasaan, kata kaili berasal dari
nama pohon. Pohon kaili ini tumbuh subur di tepi sungai Palu dan teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi
pantai Teluk Palu letaknya menjorok kurang lebih 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung
Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan
pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang
demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
Berdasarkan cerita daerah setempat, di dekat kampung Bangga tumbuh menjulang pohon kaili yang
sering dijadikan panduan bagi para pelaut dalam menentukan arah menuju pelabuhan Banggai.
2.DeskripsiLokasi
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian
besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota
Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung
Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-
Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami
kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una,
sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.
3.unsurkebudayaan
a. Bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari 20 bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-
hari. Namun, suku Kaili tetap memilki lingua franca ( bahasa pemersatu), mereka menyebutnya sebagai
bahasa “Ledo” yang artinya “Tidak”. Bahasa Ledo ini dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan
bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih
ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota
Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para
pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise,
Lasoani, Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan
Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro, Tovale dan Kabonga), bahasa Ado
(Sibalaya, Sibovi, Pandere) bahasa Edo (Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahasa Da’a
(Jono’oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare’e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar
bahasa tersebut berarti “tidak”.
b.SistemTeknologi
- Sistem Teknologi Transportasi dan Komunikasi
Di abad sekaliber dan se-modern saat ini, ada beberapa suku Kaili yang masih sangat tertinggal dengan
akses teknologi modern karena kehidupan masyarakat yang terasing dan terisolasi dari peradaban
modern. Disamping kondisi desa penduduk Kaili dengan perbukitannya yang terjal dan sulitnya medan,
transportasi untuk sampai ke desa ini terbilang sulit didapat. Untuk mencapai desa ini hanya bisa dengan
menggunakan sepeda motor (ojek) dari kota Palu (Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan) yang jaraknya
kurang lebih 80 km, ditambah berjalan kaki sejauh 10 km menapaki bukit terjal.
Suku Kaili yang hidup dipedalaman atau dikawasan hutan mereka tidak memilki akses teknologi
selayaknya suku Kaili yang tinggal di daerah pinggir kota. Akan tetapi mereka masih tetap memilki alat
tradisional berupa gerobak yang mereka simpan dibawah tempat tidur mereka.
- Peralatan upacara
Suku Kaili memiliki beberapa upacara adat tertentu, diantaranya adalah upacara adat pengobatan untuk
ibu yang sedang hamil (Novero). Peralatan upacara yang harus dipersiapkan adalah: Suampela, sebuah
tempat penyimpanan sesajian yang dibuat dari kayu bertiang tiga. Pada bagian atas dibuat sebuah
anyaman dari ranting bambu atau kayu tempat sesajian itu disimpan. Kulili, yaitu kayu yang dibuat
berbentuk parang dan diberi warna belang hitam putih. Ose ragi, yaitu beras yang sudah diberi warna-
warni. Pekaolu nuvayo, yaitu tempat berlindungnya bayangan. Tujuan pembuatannya dalah sebagai
tempat roh berlindung bila mendapat gangguan makhlus halus. Toge, adalah peralatan upacara yang
berbentuk tombak dan kuda berkepala dua yang dibuat dari janur. Tuvu mbuli. Mbara-mbara ( barang
perhiasan/ pakaian adat). Mbara-mbara terdiri dari: vuya (sarung), baju dan bulava (emas). Dula
pulangga, (dulang berkaki), alat ini digunakan sebagai tempat menyimpan mbara-mbara. Banja
mpangana (mayang pinang). Serta daun dan bunga yang wangi seperti : bunga Mbalu, daun pandan,
Tamadi dan Tulasi.
Upacara adat kematian (molumu) ialah masa menyemayamkan jenazah, di mana mayat disimpan dalam
peti kayu yang tertutup rapi. Adapun perlengkapan selama upacara molumu ialah: peti mayat (lumu);
kipas (vara); dekorasi, semacam janur yang dibuat dari daun pandan dan bunga kemboja, yang dijadikan
penghias lumu (peti mayat) serta mayang pinang dan daun-daun kelapa. Perlengkapan lainnya ialah :
ula-ula, jajaka, gimba (gendang), pekabalu (kain pengikat kepala), kepala manusia, dan payung.
Upacara Naik Ayunan (Nosaviraka Ritora) yang dilakukan untuk seorang bayi agar terhindar dari
gangguan makhluk halus dan dari kakak-kakaknya yang masih nakal. Upacara ini berlangsung dalam
rumah, dan diperlengkapi dengan bahan-bahan upacara antara lain 4 macam makanan dari beras ketan,
masing-masing disimpan di bawah ayunan, tengah rumah, satu baki untuk bagian dukun dan satu baki
lagi untuk pangolo nu ngana kodi (bagian untuk bayi).
Ada pula vati dalam keluarga pada masyarakat Kaili yang mengadakan upacara Nompesuvuki ngana
(mengunjungi anak) yaitu suatu upacara di mana dari pihak nenek perempuan dari ayah sang bayi
mengadakan kunjungan kepada bayi dengan satu upacara tertentu pula. Upacara ini bertujuan agar anak
tidak berpenyakit mata (nageri), suka menangis (marenge), dan berwatak jorok (matontoru). Peralatan
yang digunakan adalah sejumlah bahan makanan dan keperluan dapur, seperti makanan dan sayur
masing-masing satu belanga, kayu api, sagu, beras, pisang satu sisir, dan daun pisang 7 lembar. Alat-
alat dapur antara lain tavolo (alat peniup api yang dibuat dari bambu), supi (penjepit arang api), sendok
nasi, dan sayur masing-masing satu buah.
Upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama (Nolama Tai) dengan menggunakan peralatan
upacara berupa mantale njaka (upacara sesajian) dari sejumlah bahan makanan dan bahan-bahan
perlengkapan adat lainnya. Materi-materi yang dipersiapkan di sini ialah punti jaka (pisang rebus), koluku
nikou (kelapa parut), marisa nete (lombok kecil), hati kerbau yang sudah dibakar (sate), nasi masak, dan
darah kambing/ayam yang disembelih. Benda-benda adat lainnya ialah sabala mesa (1 lembar sarung
tenunan zaman dulu), samata doke (satu mata tombak), somata tinggora (satu mata tombak yang
berakit), tatalu suraya ada (tiga piring adat), tatalu tubu (tiga buah mangkok), sang dula (satu dulang
tempat penyimpanan barang-barang tersebut di atas).
Upacara Masa Kanak-kanak pada Suku Kaili (Nosuna / khitan). Upacara ini sudah menjadi adat dan
tradisi di kalangan masyarakat Kaili sejak masuknya Islam hingga dewasa ini, secara turun temurun.
Upacara nosuna (khitan) dilaksanakan pada anak laki-laki dan perempuan. Namun pada bahagian ini
hanya diuraikan khusus pada upacara nosuna bagi anak laki-laki yang dilakukan menjelang anak
berumur sekitar 7 sampai 8 tahun, yaitu pada anak-anak yang belum memasuki puber atau balig
(nabalego).
- Alat Musik
Peralatan musik tradisional suku Kaili terbuat dari bahan alam. Salah satu peralatan musik suku Kaili
adalah “Kakula”. Namun jauh sebelum alat musik ini masuk, daerah ini sudah mengenal alat musik yang
terbuat dari kayu yang pipih dengan panjang kira-kira 60 cm dan tebal 2 cm serta lebar 5 sampai 6 cm
disesuaikan dengan nada. Alat musik tersebut juga sering mereka katakan sebagai gamba-gamba.
Gamba-gamba kayu adalah salah satu bentuk embrio atau awal dari musik kakula karena nada yang ada
pada musik kakula yang terbuat dari tembaga/kuningan persis dengan nada yang ada pada gamba-
gamba atau Musik Kakula Kayu.
Dan alat musik lainnya seperti Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang),
gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), dan suli (suling).
c. Sistem Mata Pencaharian
Suku Kaili penduduk asli Sulawesi Tengah adalah sebagai penduduk agraris. Suku Kaili memilki mata
pencaharian sebagai petani, yang bercocok tanam di sawah, diladang dan menanam kelapa. Disamping
itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti
rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping
bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah
Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat
menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan
jagung giling).
Alat pertanian suku Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi, pandoli(linggis),
Taono(parang); alat penangkap ikan diantaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.
5. Kesimpulan
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian
besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup
dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km
kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya.
Mata pencaharian utama masyarakat Kili adalah bercocok tanam disawah,diladang dan menanam
kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil
bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir
pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau
ke kalimantan. Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah
dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan.
Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat
sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan
norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat. Hubungan kekerabatan
masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian,
perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).