Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan
prefix "To" yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya
menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon
dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama
di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya
menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai
buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan
rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada
saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh
sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau
panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju
pelabuhan pada saat itu, Bangga.
Suku Kalili atau etnik Kaili, merupakan salah satu etnik dengan yang memiliki
rumpun etnik sendiri. untuk penyebutannya, suku Kaili disebut etnik kaili, sementara
rumpun suku kaili lebih dari 30 rumpun suku, seperti, rumpun kaili rai, rumpun kaili
ledo, rumpun kaili ija, rumpun kaili moma, rumpun kaili da'a, rumpun kaili unde,
rumpun kaili inde, rumpun kaili tara, rumpun kaili bare'e, rumpun kaili doi, rumpun
kaili torai, dll.
Bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan
dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km
kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun, suku Kaili
memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti
"tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili
lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih
ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai
di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi
dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Mandar dan bahasa Melayu.
Budaya
Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-
Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-
Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja,
penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-
Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum
masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan
dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah
disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama
penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan
(Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya),
penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.
Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain :
Kakula (disebut juga gulintang,sejenis gamelan pentatonis),Lalove (serunai), nggeso-
nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil),
goo(gong), suli (suling).
Salahsatu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan
kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun
ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe tetapi oleh masyarakat umum sekarang
dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama
tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja.
Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti
warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-
jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses
dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian
besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut
animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru),
dewa Kesuburan (Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam
masuk ke Tanah Kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan
Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama Syekh Abdullah Raqie. Ia
beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar
agama di Mekkah. Di Tanah Kaili, Syekh Abdullah Raqie dikenal dengan nama Dato
Karama/Datuk Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat
kemampuan dia yang berada di luar kemampuan manusia pada umumnya. Makam
Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang di bawah
pengawasan Pemerinta Daerah.
A. POLA STRUKTUR
Catatan Pembagian struktur Banua Mbaso secara vertikal dan Pembagian zona
material dinding secara horizontal Panjang 32m Lebar 11,5m
1. Struktur Bawah (Sub Structure)
Catatan :
Jumlah tiang kolom untuk rumah induk dan gandaria 28 buah
3. Struktur Atas (Sup Structure)
C. SISTEM SAMBUNGAN
1. Ragam hias
Pada bagian atas atap terdapat papan dan lisplank ukiran yang menandakan bahwa
bangunan ini merupakan rumah seorang raja.
2. Ventilasi
Pada ruang atas ini terdapat ventilasi roda yang berfungsi sebagai sirkulasi udara
juga sebagai pencahayaan alami loteng. Hal tersebut dibutuhkan karena ruangan ini
digunakan sebagai tempat berdiamnya para gadis.
Ventilasi juga dibutuhkan untuk menghusir kelembaban yang jika lembab akan
berpotensi berkembangnya jamur. Selain ventilasi roda pada atap juga mempunyai
sirkulasi di sela tingkatan dua atap.
B. BAGIAN TENGAH
Pada ruang ini terdapat 3 arah pintu masuk/keluar, pintu yang terdapat pada sebelah
kanan dan tengah bangunan difungsikan sebagai penghubung menuju ruang tamu dan
pintu yang terdapat pada sebelah kiri bangunan difungsikan sebagai penghubung
menuju kamarmagau (raja).
Ruang ini memiliki 3 buah pintu, dua buah pintu menuju kamar tidur dan terdapat
satu pintu yang menghubungkan ruang tidur magaudan ruang keluarga magau. Pintu
ini berfungsi untuk mengontrol anak gadis.
3. Jendela (4 buah)
Posisi jendela ini terletak satu garis lurus yang berfungsi sebagai sirkulasi udara dan
pencahayaan.
Konon menurut kepercayaan animisme dahulu posisi jendela satu garis lurus ini
dapatmempermudah roh-roh maupun arwah leluhur untuk masuk ke dalam rumah.
4. Pintu Belakang (3 buah)
Terdapat tiga buah pintu pada ruang belakang yang menghubungkan ruang tengah
menuju dapur, menghubungkan ruang bawah dengan dapur dan ruang belakang
menuju dapur masak.
C. RUANG BAWAH
Tangga depan menuju ruang tengah terdapat pada bagian kiri dan kanan, tangga pada
posisi kanan bangunan berfungsi sebagai jalan untuk naik sedangkan yang terdapat
pada kiri bangunan berfungsi sebagai jalan untuk turun.
2. Tangga Belakang
1. Landue (loteng)
Difungsikan sebagai tempat menenun, tempat menyimpan benda puasaka (bulo), dan
juga
tempat untuk anak gadis.
B. BAGIAN TENGAH
Bangunan induk berukuran 11.5 x 24.30 meter yang terbagi atas empat bagian yaitu :
1. Gandaria (Serambi)
Gandaria berfungsi sebagai ruang tunggu untuk tamu.
Dibagian depan terdapat anjungan tempat bertumpunya tangga yang diletakkan pada
bagian kiri dan kanan dalam posisi saling berhadapan.
Jumlah anak tangganya 9 buah. Dan dibagian ruang ini masih diperbolehkan
menggunakan alas kaki.
- Avu 2 (Dapur)
Ruang ini difungsikan sebagai tempat memasak
- WC/ Kamar Mandi (2 buah)
Berfungsi sebagai tempat mandi juga untuk membuang hajat.
- Gudang
Difungsikan sebagai tempat menyimpanan barang-barang yang jarang digunakan
- Ruang Makan
Ruang ini berfungsi tempat makan dan juga diperuntukkan untuk kaum wanita dan
anak-anak gadis. Selain itu ruang ini juga digunakan untuk menerima kerabat dekat.
C. BAGIAN BAWAH
1. Ruang bawah terdapat kolong yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil
perkebunan.