Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suku Dayak, sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki kebudayaan atau
adat-istiadat tersendiri yang pula tidak sama secara tepat dengan suku bangsa lainnya
di Indonesia. Adat-istiadat yang hidup di dalam masyarakat Dayak merupakan unsur
terpenting, akar identitas bagi manusia Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Garna,
1996). Jika pengertian tersebut dijadikan untuk mengartikan kebudayaan Dayak maka
paralel dengan itu, kebudayaan Dayak adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia Dayak dalam rangka kehidupan masyarakat Dayak yang dijadikan
milik manusia Dayak dengan belajar. Ini berarti bahwa kebudayaan dan adat-istiadat
yang sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Dayak, kepemilikannya tidak
melalui warisan biologis yang ada di dalam tubuh manusia Dayak, melainkan
diperoleh melalui proses belajar yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi
ke generasi.
Berdasarkan atas pengertian kebudayaan tersebut, bila merujuk pada wujud
kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam
kebudayaan Dayak juga dapat ditemukan ketiga wujud tersebut yang meliputi: Pertama,
wujud kebudayan sebagai suatu himpunan gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan-peraturan. Wujud itu merupakan wujud hakiki dari kebudayaan atau yang
sering disebut dengan adat, yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur,
mengendalikan dan memberi arah kepada perilaku manusia Dayak,
tampak jelas di dalam berbagai upacara adat yang dilaksanakan berdasarkan siklus
kehidupan, yakni kelahiran, perkawinan dan kematian, juga tampak dalam berbagai
upcara adat yang berkaitan siklus perladangan; Kedua, wujud kebudayaan sebagai
sejumlah perilaku yang berpola, atau lazim disebut sistem sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keragaman Bahasa dan Pola hidup suku Dayak siang ?
2. Bagaimana Prilaku Keagamaan suku Dayak Siang ?
3. Bagaimana Kehidupan sosial Suku Dayak Siang ?
4. Apa saja Kebijakan-Kebijakan dan Peraturan yang berlaku dalam Suku Dayak
Siang ?
5. Bagaimana Pandangan Suku Dayak Siang terhadap Rentang Sehat Sakit serta
Positif Negatif nya
6. Bagaimana penindaklanjutan dari pandangan sehat sakit dalam suku Dayak ?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana keragaman Bahasa dan Pola hidup suku Dayak
siang ?
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Prilaku Keagamaan suku Dayak Siang ?
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Kehidupan sosial Suku Dayak Siang ?
4. Untuk Mengetahui Apa saja Kebijakan-Kebijakan dan Peraturan yang berlaku
dalam Suku Dayak Siang ?
5. Untuk Mengetahui Bagaimana Pandangan Suku Dayak Siang terhadap Rentang
Sehat Sakit serta Positif Negatif nya
6. Untuk Mengetahui Bagaimana penindaklanjutan dari pandangan sehat sakit dalam
suku Dayak ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Suku dayak siang
Suku Dayak Siang adalah sebuah suku yang mendiami sebagian
besar wilayah Kabupaten Murung Raya - Propinsi Kalimantan Tengah,
tepatnya bagian timur-laut propinsi Kalimantan Tengah. Wilayah Murung Raya
berada di bagian hulu sungai Barito. Dari beberapa Kecamatan yang ada di
Kabupaten Murung Raya, terdapat dua kecamatan yang merupakan
konsentrasi pemukiman suku Dayak Siang, yaitu : Kecamatan Tanah Siang dan
Kecamatan Siang Selatan. Suku Dayak Siang-Murung merupakan suku yang
dianggap pendu'duk asli daerah hulu sungai Barito yang berdiam di pesisir sungai
Barito sampai ke daerah dataran tinggi.
Menurut legenda mitologi, sejarah suku Dayak Siang, bahwa suku Dayak
Siang adalah salah satu kelompok suku yang diturunkan oleh Ranying Hattala
Langit (Tuhan Pencipta) di Puruk Kambang Tanah Siang sekitar wilayah desa Oreng
kecamatan Tanah Siang Selatan, kabupaten Murung Raya provinsi Kalimantan
Tengah yang diturunkan dengan Palangka Bulau.
Istilah Siang, berasal dari sejarah yang berawal di sungai Mantiat.Di hulu
sungai ini ada sebuah pohon yang diberi nama siang, karena kayu telah tua dan lapuk,
maka kayu ini tumbang, dan bekas tumbangnya pohon ini kemudian menjadi aliran
sungai yang mengalir ke sungai Mantiat Pari di desa Mantiat Pari sekarang. Orang
yang hidup di Lowu Korong Pinang menggunakan air sungai yang berasal dari pohon
siang ini, akhirnya masyarakat yang hidup di Lowu Korong Pinang ini kemudian
disebut sebagai suku Dayak Siang. Suku Dayak Siang ini kemudian berkembang
membentuk beberapa perkampungan baru dan tersebar di beberapa tempat hingga
sekarang ini. Sedangkan kampong atau lowu, tempat asal usul mereka adalah Lowu
Tomolum yang sekarang ini bernama desa Tambelum. Desa Tambelum yang menjadi
pemukiman pertama suku Dayak Siang ini telah ada jauh sebelum zaman Belanda dan
sebelum adanya Negara Republik Indonesia ini
B. Pola Hidup Suku Dayak Siang
1. Bahasa dan Pola Hidup Suku Dayak Siang
Bahasa Siang adalah sebuah bahasa yang dipertuturkan oleh Suku Dayak Siang
Murung (Sondang dan Murung]]) di wilayah Kabupaten Murung
Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Bahasa Siang adalah sebuah bahasa yang
sangat unik, karena memiliki beberapa perbedaan dalam kebahasaan dari segi
dialek/logat serta hal lainnya. Dari segi dialek, Bahasa Siang memiliki dialek atau
logat yang amat berbeda dari Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah kebanyakan
lainnya, karena Bahasa Siang memiliki penekanan yang khas pada sebagian besar
kosakata, terutama pada logat Siang Murung. Contoh saat mengucapkan kata
"Ongkan" yang artinya "Malas" tidaklah diucapkan atau dilafalkan "Ongkan"
biasa, tetapi " Ong-katn", demikian juga keunikan pada kosakata lainnya.
Keunikan lainnya adalah pelafalan beberapa huruf seperti L, S, Mb, Nd, Ngg,
yang jika ditaruh di tempat tertentu/posisi dalam kata, maka akan diucapkan
berbeda, contoh huruf "L", saat mengucapkan kata "Laut" dalam bahasa
Indonesia, maka Suku Siang akan melafalkannya seperti ada huruf R dan L
dengan lidah dihempas ke langit-langit, mak seolah didengar kata "llrrraaa-uuu't",
demikian pula huruf "S' jika ditaruh di akhir kata maka pelafalannya bukan "Es"
tetapi "Eiyh/Aiyh", contoh "Malas" dalam bahasa Indonesia, jika dilafalkan Suku
Siang menjadi " Malllrrraaa-aaiyhh" atau "Ma-laiyh". Demikian juga dengan
Huruf lainnya seperti yang disebutkan diatas.contohnya :
Bahasa dayak siang murung

⁃ Akuh = aku

⁃ Iko = kamu

⁃ Ama = paman

⁃ Appa = ayah

⁃ Aran = nama

⁃ Akam = untuk

⁃ Arai eh = namanya

⁃ Are = dia

⁃ Ajuh = nenek

⁃ Awi = karna

⁃ Bosuh = kenyang
⁃ Boraoi = baik

⁃ Bawe = perempuan

⁃ Bakah = laki-laki

⁃ Bohinoi = cantik

⁃ Conon = yang itu

⁃ Cotuh = yang ini

⁃ Comoh = yang mana

⁃ Cohit = malam

⁃ Dallo = keterlaluan

⁃ Dai = nanti

⁃ Darui = jelek

⁃ Darom = kedinginan

⁃ Daha = darah

⁃ Dotong = tenggelam

⁃ Era = makan

⁃ Ela = jangan

⁃ Hatoi = kesini

⁃ Hamoh = kemana

⁃ Halu = hallo

⁃ Hamoh iko = kemana kamu

⁃ Hojok = capek, lelah

⁃ Hanon = begitu
⁃ Hatoi ka =kesini juga kamu

⁃ Iyoh = iya

⁃ Ito = kita

⁃ Iroh =mereka

⁃ Ika =tempat

⁃ Inan = untuk

⁃ Isan = seperti

⁃ Ikan =kalian

2. Keagamaan Suku Dayak siang


Kaharingan adalah kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan, ketika
agama lain belum memasuki Kalimantan. Istilah Kaharingan artinya tumbuh atau
hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan), maksudnya agama
suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying Hatalla Langit),
yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak
di Kalimantan. Ibadah atau sembahyang biasanya dilakukan dirumah salah
seorang umat kharingan dan dilakukan setiap hari kamis menggunakan Bahasa
Dayak dan dipimpin oleh majelis kharingan ibadah ini dilakukan oleh umat
kharingan baik muda,tu,laki-laki, perempuan. Kemudian kebanyakan yang
menganut agama kharingan menyebut Tuhan dengan istilah Ranying Hatalla
Langit dalam kepercayaan mereka ini memiliki wujud yang menyerupai dirinya
(jata balawang bulau) dan jata balawang bulau ini kemudian bertugas menjaga dan
memberi ketentraman bagi kehidupan manusia serta bertugas sebagai penguasa
alam bawah. Jadi selain itu suku Dayak siang murung juga mengenal roh baik
yang bernama tondoi dan kahang Dahari, yang mengambil wujud seorang
perempuan. Kedua roh baik tersebut di percaya dapat membantu manusia,
Khususnya membantu seorang perempuan ketika berada dalam masa kehamilan
sampai ketika menjalani proses melahirkan. Kedua roh baik tersebut memberikan
bantuannya melalui perantara bidan kampong.
3. Kehidupan sosial Suku Dayak Siang
Ada beberapa organisasi sosial dalam suku Dayak siang
a. Keluarga Inti
Keluarga inti ini terjadi pada anggota masyarakat yang sudah menikah,setelah
menikah akan meninggalkan rumah orang tuanya dan membangun rumah
tangga sendiri. Dalam keluarga inti tersebut terdapat pembagian kerja dan
pembagian peran dalam mewakili keluarga kemudian pemenuhan kebbutuhan
ekonomi keluarga dan keputusan untuk hamil.
b. Sistem kekerabatan
Dalam masyarakat suku Dayak siang murung masyarakat biasanya memberi
nama berdasarkan kesenangan orang tua nya dan tidak ada permasalahan
dalam keluarga saat pemberian nama. Kemudian masyarakat tidak lagi
mengenal seperti marga, sehingga tidak ada pengelompokan berdasarkan
marga.
Masyarakat Suku Dayak siang tidak bisa terlepas dari bercocok tanam yaitu
ladang berpindah untuk menanam padi(pokok utama),sayuran dan buah-buahan.
proses pembuatan ladang dari bulan Juni sampai Oktober dan dipanen bulan
Maret sampai April,keseluruhan waktu sampai panen satu tahun. Selain itu
berburu mencari babi hutan dengan memasang jerat/hosing,jipah (jebakan tali),
mencari ikan seperti memancing(mosi)di sungai,dan lainnya. Usaha sehari-hari
jaman modern(sekarang)nyedap karet,masuk hutan mencari gaharu,dan lainya.

4. Kesenian
Macam-macam seni tarian suku Dayak siang yaitu:
a. TARI TANTULO
Esensi tarian tantulo adalah sebuah tarian ucapan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa atas segala limpahan berkatNya yang memelihara dan
melindungi kehidupan mereka. Keuinikan tari ini adalah kedua telunjuk
penari diacungkan keatas seakan-akan ingin membuktikan bahwa satu-
satunya yang berkuasa hanyala Tuhan Yang Maha Esa.
b. TARI MANASAI
Sama halnya dengan deder, tari manasai adalah tari pergaulan mengelilingi
sangkai lunuk. Sekarang di Kalimantan Tengah tarian ini popular ditampilkan
dalam pesta menyambut tamu yang dihormati.
c. TARI BABOJA
Baboja berarti memecah piring atau dalam istilah lain disebut HOSAMAT.
Tarian ini merupakan kebiasaan suku Dayak Siang menyambut sanak-
familinya yang baru datang dari rantau yang jauh. Dilakukan pula saat Pisur
menawur untuk mengusir roh-roh jahat supaya tidak mengganggu mereka
yang melaksanakan upacara adat. Pada sat itu dilaksanakan upacara
memecahkan piring yang berisi beras diatas kepala, maksudnya dengan
pecahnya piring tadi maka roh jahat akan menjauh dan tidak lagi mengganggu
kehidupan mereka.
C. Pandangan Suku Dayak Siang Terhadap Rentang Sehat-Sakit
Konsep sehat menurut masyarakat dayak yaitu ketika keadaan tubuh seimbang
dan seseorang dapat melakukan aktivitas sehari-hari serta dapat melaksanakan
perannya di masyarakat. Selain itu sehat juga diartikan tidak adanya gangguan pada
tubuh yang dipengaruhi oleh unsur personalistik, seperti roh jahat dan makhluk halus
lainnya.
Konsep sakit menurut masyarakat dayak yaitu ketika seseorang mengalami
gangguan fungsi tubuh yang dikarenakan ketidakseimbangan unsur-unsur dalam
tubuh dan oleh personalistik.
Asal mula datangnya penyakit menurut masyarakat dayak yaitu berasal dari
hal yang bersifat personalistik, misalnya makhluk halus atau roh-roh jahat yang
menggangu seseorang dan menyebabkan menjadi sakit. Selain itu adanya suatu
penyakit juga disebabkan oleh perbuatan yang membuat dewa atau leluhur mereka
marah sehingga memberikan sakit kepada orang tersebut. Perawatan kesehatan
masyarakat dayak ketika sakit yaitu dengan melakukan ritual mantra belian sebagai
penyembuhan. Dalam ritual mantra belian tidak hanya dilakukan oleh pihak keluarga
yang sakit, tetapi juga dari peran serta masyarakat, sehingga dengan demikian
terdapat ikatan sosial yang berfungsi sebagai perekat nilai kebersamaan dalam
masyarakat. Dalam ritual pengobatan mantra belian ini terdapat tangga sebagai bagian
dari alat-alat ritual yang memiliki makna sebagai tempat turunnya arwah. Selain itu
juga terdapat sesaji untuk pengobatan yang macam-macam benda atau
perlengkapannya ditentukan oleh keluhan dan sakit dari pasien. Pengobatan dilakukan
sedikitnya selama tiga malam berturut-turut tergantung pada berat ringannya penyakit.
Jika penyakit yang dialami oleh seseorang dianggap berat, maka pengobatan dapat
mencapai 40 malam. Dalam pengobatan mantra belian ini penuh dengan suasana
mistis, karena setelah arwah turun, kemudian dilanjutkan dengan tarian yang diiringi
dengan musik khas suku dayak. Setelah itu kemudian pembelian pergi ke tengah
hutan untuk memanggil arwah untuk merasuki dirinya, kemudian kembali pada pasien
yang sakit untuk menyembuhkan dengan cara menyedot tubuh pasien, yang kemudian
akan keluar batu kecil, sebagai pertanda keluarnya penyakit dari tubuh pasien.
Pengobatan Mantra Belian pada suku Dayak merupakan pengobatan tradisional yang
menyimpan kearifan lokal dan unsur magis yang tersirat dalam ritual tersebut. Dengan
demikian adanya pandangan sakit dan pengobatan tradisioanl masyarakat dayak tidak
lepas dari kondisi lingkungan masyarakat setempat yang jauh dari pusat kota dan
pengobatan medis modern sehingga dalam menangani sakit masyarakat lebih
mengarah pada kepercayaan yang mereka yakini dan unsur-unsur tradisonal dalam
kehidupan masyarakat dayak itu sendiri.

BALIAN

(Ritual Pengobatan Tradisional masyarakat dayak Siang-Murung)

Etnis dayak merupakan salah satu etnis yang ada di Indonesia khususnya di pulau
Kalimantan. Ada banyak macam etnis dayak tersebar di seluruh wilayah Kalimantan dengan
bahasa yang berbeda setiap daerahnya, akan tetapi walaupun berbeda sebenarnya mereka
memiliki ikatan batin yang kuat meskipun mereka berada di lokasi yang berbeda. Suku
dayak Siang-Murung adalah salah satu diantara banyak suku dayak yang ada di pulau
Kalimantan. Suku dayak Siang-Murung ini banyak kita jumpai khususnya di desa Dirung
Bakung, kabupaten Murung Raya. Masyarakat dayak Siang Murung Desa Dirung Bakung
ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya. Kurang lebih 60 persen masyarakat desa
Dirung Bakung merupakan pemeluk agama suku yaitu agama Kaharingan. Masyarakat
dayak Siang-Murung menyebut Tuhan mereka dengan istilah Ranying Hatalla Langit. Dalam
kepercayaan mereka, Ranying Hatalla Langit memiliki wakil di bumi yang bertugas menjaga
dan memberi ketentraman bagi kehidupan manusia. Orang kepercayaan Ranting Hatalla
langit tersebut ialah jata balawang bulau.

Masyarakat Dayak Siang Murung juga percaya terhadap keberadaan roh baik dan roh jahat
dalam kehidupan mereka. Roh baik dipercaya bisa membantu seseorang khususnya terkait
upaya kesehatan sedangkan roh jahat dapat mengganggu kehidupan seseorang, contohnya
ketika seseorang sedang sakit. Dalam budaya dayak Siang Murung bahwa sakit seseorang itu
bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu karena sakit medis dan juga sakit yang disebabkan oleh
gangguan roh jahat. Pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat
mengenai suatu penyakit dapat mempengaruhi bagaimana tindakan yang dilakukan maupun
cara mereka dalam menangani penyakit tersebut dan salah satunya adalah ritual “balian”.

basir atau basi

Ritual balian merupakan ritual pengobatan secara budaya pada masyarakat dayak Siang-
Murung yang dipimpin oleh seorang basi atau basir. Basir atau basi sendiri merupakan orang
yang dipercaya memiliki kemampuan yang diperoleh secara turun-temurun dalam upaya
penyembuahan suatu penyakit. Basir atau basi dalam ritual pengobatan ini biasanya adalah
basi laki-laki. Karena dalam masyarakat desa Dirung Bakung dikenal ada dua basi yakni basi
bawe atau basi perempuan dan juga basi laki-laki. Basi laki-laki memiliki kemampuan dan
tugas untuk mengobati penyakit sedangkan basi perempuan bertugas memimpin dalam ritual
upacara adat kematian atau perkawinan. Upacara atau ritual balian biasanya dilakukan pada
saat malam hari, dimana pada saat ritual pengobatan tersebut basi akan mengalami
kesurupan atau dimasuki roh. Roh tersebut merupakan roh baik yang dipercaya bisa
membantu menyembuhkan suatu penyakit dan roh tersebut biasanya adalah sahabat dari basi
tersebut.

Sebelumnya peralatan dan sesaji yang diperlukan dalam ritual balian sudah disiapkan. Sesaji
tersebut diantaranya adalah lemang atau kukusan ketan yang dimasak dalam bambu, kain
yang digantung di dinding rumah, hati ayam yang direbus dan ditancapkan pada beberapa
lemang, darah ayam, darah babi, berbagai macam bunga, akar-akaran dan dedaunan, arang
dari akar-akaran, air, timba, anding atau tuak (minuman beralkohol asli buatan masyarakat
setempat), keranjang dari anyaman bambu, ayunan dari rotan yang digantung pada dinding
rumah mangkuk dan lilin, beras, sepasang ayam jantan dan betina dan telur. Selain itu ada
alat musik pukul yaitu gendang berjumlah 3 buah. Sesajen yang dibutuhkan dalam suatu
ritual balian itu berbeda-beda tergantung penyakitnya. Ketika pasien terkena penyakit
budaya seperti tenung, santet atau dalam istilah masyarakat dayak Siang-Murung ini terkena
“pali”, maka dalam sesajennya harus ada “bale pali”. .

Bale pali
Sebelum ritual dimulai itu Basi bersiap mengenakan pakaian dan perlengkapannya untuk
ritual tersebut, diantaranya ada kain seperti sarung berwarna hitam, sabuk dari kain, ikat
kepala, asesoris berupa tali dengan hiasan manik-manik dan juga taring hewan yang diikatkan
menyilang di tubuhnya kemudian basi mengenakan gelang dipergelangan tangannnya
masing-masing 2 buah gelang besi yang sekaligus sebagai alat musik. Selain itu basi juga
mengoleskan kapur di lengan dan dadanya seperti yang tampak pada gambar di bawah
ini.Kemudian basi yang sudah berpakaian ritual lengkap duduk di depan sesaji sambil
mengucapkan mantra, tak lama basi mengambil beras dalam piring dan menyebar sedikit
beras di sekitar basi atau yang dikenal dengan istilah “nabui”. Setelah itu istri basi
memberikan sepasang ayam yang kemudian dikibaskan diatas kepala pasien. Setelah itu basi
berdiri dan memegang kain seperti selendang yang diikatkan pada dinding rumah sambil basi
membaca mantra dengan bahasa sangian, hal tersebut dilakukan untuk berkomunikasi dengan
arwah atau roh leluhurnya. Setelah itu basi meniup seperti peluit kecil yang terbuat dari
taring beruang, bersamaan dengan itu alat musik mulai dipukul dengan suara yang sangat
keras sehingga timbul suara yang sangat bising. Musik tersebut terkadang berhenti sejenak
dan dimainkan kembali. Kurang lebih ada 10 kali jeda berhenti dari musik dalam ritual
tersebut. Mantra dengan bahasa sangiang terus diucapkan selama ritual berlangsung.

Kemudian basi berjalan menuju pintu rumah dan menghadap keluar rumah sambil membaca
mantra dan menari dengan mangkok berisi lilin yang diletakkan diatas kepalanya. Istri basi
menyiapkan air mandi dalam timba yang didalamnya terdapat dedaunan, bunga dan akar-
akaran untuk memandikan pasien. Pasien pun duduk didepan pintu kemudian basi
memandikan pasien dengan iar yang ada di timba tersebut sambil membaca mantra. Ketika
itu orang dilarang berdiri di luar rumah, karena dipercaya penyakit pasien akan berpindah ke
orang yang ada diluar rumah tersebut selain itu juga dilarang melakukan dokumentasi berupa
video ataupun foto.

Setelah itu basi menuju ketempat awal. Sementara pasien disuruh berbaring didekat basi.
Basi mengambil 2 lemang yang ujungnya ada hati ayam, kemudian dicelupkan ke dalam
wadah yang berisi darah ayam dan babi. Menurut kepercayaan masyarakat itu adalah tanda
dimana arwah atau roh nenek moyang sudah mulai merasuki tubuh basi. Proses memakan
lemang tersebut dilakukan berkali-kali. Setelah itu lampu yang ada di dalam ruangan tersebut
mulai dimatikan, itu tandanya basi sudah mulai kerasukan roh yang akan membantu
mengobati pasien. Ketika basi sedang kerasukan tidak boleh ada cahaya sedikitpun dalam
ruangan tersebut, semua lampu tempel dimatikan jika ada lampu yang menyala maka basi
tersebut akan langsung pingsan dan tidak bisa mengobati pasien. Proses kesurupan atau
kerasukan tersebut terjadi kurang lebih dalam waktu 15 menit. Ritual balian ini biasanya
tidak boleh dilakukan saat ada orang yang meninggal dunia. Karena dipercaya basi yang
dirasuki roh tersebut bisa lari menuju tempat orang yang sedang meninggal tersebut. Sebagai
langkah antispasi digunakan piring putih polos yang kemudian diletakkan di kepala basi saat
berada di depan pintu rumah tadi.

Ketika pasien yang diobati sudah sembuh, maka pasien tersebut akan melakukan ritual “totoh
balian”. Ritual ini merupakan acara puncak dari upacara belihan, dimana saat itu disediakan
banyak sesaji yang mana sebagai wujud syukur kepada roh yang telah menyembuhkan dan
juga sebagai alat untuk menipu roh jahat agar tidak mengganggu lagi, karena sesaji dipercaya
sebagai makanan dari roh-roh yang dianggap jahat oleh masyarakat. setelah selesai
pengobatan maka lampu akan dihidupkan kembali dan acara totoh belihan selesai. Totoh
balian biasanya dimulai pada malam hari antara pukul 22.00 wib hingga pukul 02.00 atau
pukul 03.00 wib dini hari.

KEHAMILAN

Masyarakat suku dayak siang murung percaya bahwa kolong rumah atau jarak antara tanah
dengan bangunan rumah merupakan tempat bernaungnya roh jahat atau yang disebut hantuen.
Mereka percaya bahwa hantuen tersebut bisa mengganggu ibu yang sedang hamil dan anak
kecil, terlebih yang masih berusia 40 hari. Anak kecil yang diganggu hantuen sering
menangis terus menerus tidak mau berhenti disertai demam. Masyarakat menyebutnya
dengan istilah darom. Ciri lain anak tersebut tidak mau makan dan minum. Sementara pada
ibu hamil, hantuen akan mengganggu dengan cara merasuki tubuh ibu hamil. Mereka percaya
hantuen mengganggu ibu hamil karena darahnya berbau harum. Untuk menghindari
gangguan hantuen, masyarakat yang memiliki anak kecil atau dalam keluarganya terdapat ibu
hamil, setiap sore dan menjelang malam salah satu anggota keluarga membakar akar-akaran
yang menghasilkan asap, lalu diletakkan di bawah atau kolong rumah untuk mengusir
hantuen. Selain itu, masyarakat juga menyimpan jimat serta memasang ongui.
Masyarakat suku dayak siang murung memiliki kepercayan bahwa ibu hamil tidak boleh
makan sayur umbat yang memiliki duri karena nanti anaknya susah keluar pada saat
persalinan, tidak boleh makan ikan lele karena dianggap bisa menyebabkan alergi dan gatal-
gatal pada bayi yang nanti akan dilahirkan, tidak boleh makan tungkul pisang yang bisa
mengakibatkan bayi menangis terus-menerus ketika nanti sudah dilahirkan, tidak boleh
makan telur karena dianggap akan membuat lapisan selaput ketuban tebal seperti halnya telur
serta tidak boleh memakan sayur-sayuran yang merambat karena akan mengakibatkan tali
pusat lengket dan mengakibatkan lilitan pada tali pusat.

BIDAN KAMPUNG

Bidan kampung dengan usia yang tua dan juga bekal pengalaman yang banyak dalam
membantu melahirkan, membuat masyarakat tetap menjadikan bidan kampung sebagai
pilihan dalam melakukan pemeriksaan pada masa kehamilannya, baik untuk mengetahui
hamil atau tidaknya seorang ibu sampai letak bayi di dalam perut. Bahkan bidan kampung
dianggap mampu mengetahui posisi bayi dalam perut hanya dengan memegang perut si ibu
tanpa alat apa pun. Mereka pun bisa melakukan pemijatan untuk mengembalikan posisi bayi
yang di rasa bisa membahayakan pada saat proses persalinan dan ini pula yang menyebabkan
ibu hamil lebih memeriksa ke bidan kampung karena pijatan bidan kampung dapat membuat
badan mereka enak.

PANDANGAN TERHADAP SUATU PENYAKIT

Masyarakat suku dayak siang murung percaya apabila seseorang mengalami sakit seperti
demam, batuk anjing, diare, malaria serta gangguan pada paru paru seperti TBC disebabkan
karena pulih. Pulih ialah semacam racun yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain
baik melalui makanan ataupun minuman. Sakit yang disebabkan karena pulih hanya bisa
disembuhkan oleh orang-orang tertentu, yaitu orang yang memiliki atau menyimpan pulih itu
sendiri. Orang yang terkena pulih biasanya sembuh tidak dengan menggunakan obat medis,
melainkan obat tradisional. Untuk mengobati penyakit diare biasanya diobati dengan kayu
cemahu yang diolah dengan cara direbus lalu diminum. Untuk penyakit malaria biasanya
mereka mencari akar pasak bumi yang kemudian direbus atau disimpan dalam botol yang
berisi air lalu diminum.

KEMATIAN
Kematian dalam pandangan masyarakat suku dayak siang murung disebabkan oleh beberapa
hal. Selain karena faktor usia lanjut, kematian juga disebabkan karena faktor budaya dalam
kaitannya dengan kepercayaan masyarakat itu sendiri. Bagi mereka, kematian disebabkan
karena kepuhunan dan pali. Kepuhunan ialah celaka atau malapetaka yang dialami oleh
seseorang karena ia tidak tulus memakan sesuatu. Artinya, ketika ia hendak memakan
makanan tertentu atau ketika ia ditawari makanan oleh orang lain, ia menolaknya dan dan
tidak melakukan cicok (mencicipi makanan yang ditawarkan oleh seseorang kepada kita).
Menurut keyakinan mereka, orang tersebut akan mengalami malapetaka yang bisa
menyebabkan kematian. Penyebab kematian yang lain adalah pali. Pali ialah pantangan yang
tidak boleh dilanggar. Sebagian masyarakat masih percaya akan hal tersebut. Misalnya, pali
dalam memakan daging hewan tertentu, misalnya daging rusa atau babi jantan. Apabila pali
dilanggar maka akan berakibat buruk, yaitu mendatangkan penyakit yang tidak bisa
disembuhkan secara medis, bahkan dapat menyebabkan kematian. Penyakit yang diderita
misalnya tubuh menjadi bengkak dan tidak bisa berbicara. Kepuhunan dan pali bisa
disembuhkan hanya oleh orang tertentu, yaitu basi.

PENINDAKLANJUTAN TERHADAP PANDANGAN SUKU DAYAK SIANG MURUNG

1. Balian
Dampak balian ini bersifat negative terhadap kesehatan karena masyarakat suku
Dayak siang murung percaya bahwa roh tersebut yang mengakibatkan seseorang
sakit dan roh juga yang mampu menyembuhkan penyakit melalui perantara basi . jadi
suku Dayak siang murung tidak ingin melakukan pengobatan secara medis sehingga
menyebabkan penyakit tersebut semakin parah dan pengetahuan mereka tentang
penyebab suatu penyakit sangat terbatas.
Kepercayaan ini dapat di negosiasi karena setiap kebudayaan masyarakat yang sudah
turun temurun sulit untuk di rubah. Maka tenaga kesehatan hanya dapat mengarahkan
agar mereka juga melakukan pengobatan medis serta melakukan pengobatan
tradisional.
2. Kehamilan
kepercayaan suku Dayak siang tentang pengobatan asap untuk anak kecil yang
demam dan ibu hamil ini bersifat negative, karena suku ini percaya bahwa ada roh
jahat yang bisa menyebabkan anak kecil demam dan menggangu ibu hamil sehingga
mereka membakar akar akaran agar asapnya dapat mengusir roh jahat. dampaknya
dari segi kesehatan dapat menyebabkan demam pada anak semakin parah jika tidak
segara di obati,dan asap dari pembakaran dapat menyebabkan gangguan pernapasan
pada orang yang menghirupnya khusunya pada ibu hamil yang juga dapat
berpengaruh pada janinnya, kemudian suku Dayak siang juga melarang ibu hamil
untuk mengosumsi makanan tertentu salah satunya adalah telur, sedangkan telur
sangat diperlukan karna kaya akan protein yang baik untuk ibu hamil.
Kepercayaan ini seharusnya di restrukturisasi karna dapat menimbulkan masalah
kesehatan pada anak yang demam dan pada ibu yang hamil, tenaga kesehatan
harusnya memberikan edukasi tentang penyebab demam agar suku Dayak mampu
mengambil pengobatan yang tepat untuk anak demam. Untuk pantangan ibu hamil
tentang makanan ada beberapa yang perlu dinegosiasi dan di restrukturisasi sesuai
dengan kondisi ibu hamil.
3. Bidan Kampung
Kepercayaan suku Dayak siang terhadap kemampuan bidan kampung yang dapat
membantu proses melahirkan dan mampu mengambalikan posisi janin dengan pijatan
ini sangat berbahaya dan bisa berdampak negatif,dilihat dari kemampuan bidan
kampung yang hanya berdasarkan pengalaman tanpa pengetahuan sehingga akan
terjadi hal buruk dari pemijatan yang dilakukan.
Kepercayaan ini perlu dinegosiasi, dengan bekerjasamanya tenaga kesehatan dengan
bidan kampung,sehingga masyarakat tidak hanya bergantung pada bidan kampung,
disini peran tenaga kesehatan harus mampu menyesuaikan dan mengarahkan ibu
hamil dan juga bidan kampung untuk bisa bekerja sama dengan baik. Namun untuk
pemijatan pada ibu hamil oleh bidang kampung sebaiknya di restrukturisasi karena
dari segi kesehatan dapat berbahaya bagi janin.
4. PANDANGAN TERHADAP SUATU PENYAKIT
Kepercayaan suku Dayak siang terhadap penyakit seperti diare, malaria, TBC
disebabkan oleh racun yang diberi orang yang melalui makanan dan minuman dan
mereka percaya yang mampu menyembuhkan penyakit tersebut hanyalah pengobatan
tradisional seperti akar pasak bumi. Ini berdampak negative,dari penyakit yang akan
semakin bertambah parah karena pengobatan yang kurang tepat, sehingga
menurunnya kesehatan masyarakat akibat pandangan yang salah dari suatu penyakit
dan pengobatannya.
Kepercayaan ini perlu di restrukturisasi karena melihat bahaya yang di akibatkan
diare, malaria, dan TBC pada penderita, tenaga kesehatan perlu melakukan
pendekatan untuk bisa membantu merubah kebiasaan masyarakat, dan melakukan
edukasi serta perawatan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesehatan suku ini.
5. Kematian
Kepercayaan suku Dayak siang terhadap kematian disebabkan oleh kepuhunan dan
pali, ini sangat berdampak negative karena masyarakat akan berfikir jika seseorang
mati hanya disebabkan karena kepuhuann yang tidak ada hubungan dengan kesehatan.
Sehingga masyarakat hanya bisa menerima begitu saja, tidak berusaha untuk mencari
penyebab dan pengobatan selanjutnya untuk mencegah terjadinya kematian tersebut.
Kepercayaan ini harus di restrukturisasi, dan peran tenaga kesehatan memberikan
penkes agar masyarakat mampu meningkatkan pengetahuan tentang penyebab suatu
penyakit yang jika tidak diberikan pengobatan yang tepat bisa mengakibatkan
kematian, sehingga masyarakat dapat melakukan pencegahan dengan menerapkan
pola hidup sehat.

Anda mungkin juga menyukai