Anda di halaman 1dari 18

SATUAN ACARA PENYULUHAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI SALAH


SATU TUGAS MATA KULIAH KMB III
Dosen Pengampu : Novia Heriani, Ns.,M.Kep

Disusun Oleh Kelompok III

Fikri 1714201110074
Ahmad Rifani 1814201120087
Erma Apriani 1714201110071
Dewi Chintiya 1714201110069
Anggi Adhela 1714201110068
Dina Okhtiarini 1714201110070
Erma Safitry 1714201110072
Faridah 1714201110073
Hesty Noor Oktaviani 1714201110075
Yuni 1714201110093
Rusmiati 1714201110094

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

2018/2019
Satuan Acara Penyuluhan
Pokok Pembahasan : Rhinitis
Sub Pokok Pembahasan : Definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, tanda dan
gejala, faktor risiko, pencegahan, penatalaksanaan
Sasaran : Masyarakat di jalan Kampung Arab Banjarmasin
Hari/Tanggal : Kamis, 24 Oktober 2019
Jam /Waktu : 14.00 – 14.30 WIB
Tempat : Ruang Mas Mansyur Lantai 2 Universitas
Muhammadiyah Bnajarmasin
Penyuluh : Erma Apriani

A. Analisa Situasi
Rinitis alergi merupakan kelainan simtomatik pada hidung akibat pajanan
alergen yang menyebabkan terjadinya proses inflamasi yang dimediasi oleh IgE.
Tanda-tanda kardinal dari rinitis alegi berupa bersin-bersin, hidung tersumbat dan
rinorea. Setiap orang dari berbagai usia dapat menderita rinitis alergi, dan pasien
yang menderita gejala kelainan ini dapat merasa frustasi, kurang berkonsentrasi, dan
lelah. Demikian juga dengan adanya faktor ko- morbiditas berupa asma, otitis media
dan sinusitis dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita rinitis alergi.
Pada tahun 2008 State of World Allergy memperkirakan bahwa 400 juta orang
menderita rinitis alergi. Sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 30- 60 juta
menderita kelainan ini dan prevalensi anak-anak lebih banyak dari dewasa.
Sedangkan di Filipina, Abong JM dkk menyatakan dalam penelitiannya bahwa
prevalensi keseluruhan dari 7.202 orang objek penelitian yang pernah memiliki
gejala rinitis alergi adalah 28,3% dan 20% mengalami gejala rinitis tersebut dalam
waktu 12 bulan terakhir dari waktu penelitian dilakukan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi/adanya secret yang
mengental
2. Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung
C. Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah dilakukan tindakan pendidikan kesehatan diharapkan Masyarakat dapat
memahami mengenai Rhinitis
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah dilakukan tindakan pendidikan kesehatan diharapkan Mayarakat dapat :
a) Memahami kembali definisi Rhinitis
b) Memahami etiologi Rhinitis
c) Mengetahui klasifikasi Rhinitis
d) Memahami patofisiologi Rhinitis
e) Menyebutkan kembali tanda dan gejala Rhinitis
f) Menyebutkan kembali faktor resiko Rhinitis
g) Mengetahui pencegahan Rhinitis
h) Mengetahui penatalaksanaan Rhinitis
D. Isi Materi (uraian materi penyuluhan terlampir/dilampirkan)
1. Definisi Rhinitis
2. Etiologi Rhinitis
3. Klasifikasi Rhinitis
4. Patofisiologi Rhinitis
5. Tanda dan gejala Rhinitis
6. Faktor resiko Rhinitis
7. Pencegahan Rhinitis
8. Penatalaksanaan Rhinitis
E. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
F. Media
1. Laptop dan LCD (Power Point)
2. Leaflet
G. Setting Tempat
KETERANGAN:

Lyr.proyektor
:MODERATOR

:PENYULUH

:PESERTA

: NOTULEN
H. Pengorganisasian
1. Moderator/Fasilitator : Dewi Chintiya
2. Penyuluh : Erma Apriani
3. Notulen : Erma Safitry
4. Paserta : Fikri, Ahmad Rifani, Anggi Adhela, Dina Okhtiarini,
Faridah, Hesty Noor Oktaviani, Yuni, Rusmiati
I. Pembagian Tugas
 Moderator/ Fasilitator : Mengarahkan seluruh jalanya acara penyuluhan dari
Awal sampai akhir dan memotivasi peserta untuk
bertanya
 Penyuluh : Menyajikan materi penyuluhan.
 Notulen : Mencatat pertanyaan dan menyimpulkan.
J. Kegiatan Pembelajaran
Waktu Kegiatan Penyuluhan Sasaran
3 menit Pembukaan: Memberi salam Menjawab salam
(Moderator : Salam Memperkenalkan diri Mendengarkan
Dewi Perkenalan Menjelaskan tujuan Memperhatikan
Chintiya) Tujuan Penyuluhan
15 menit Menjelaskan  Menjelaskan definisi Menyimak dan
(Pemateri: materi Rhinitis Mendengarkan
Erma secara  Menjelaskan etiologi
Apriani) sistematis Rhinitis
 Menjelaskan klasifikasi
Rhinitis
 Menjelaskan patofisiologi
Rhinitis
 Menjelaskan tanda dan
gejala Rhinitis
 Menjelaskan faktor resiko
Rhinitis
 Menjelaskan pencegahan
Rhinitis
 Menjelaskan
penatalaksanaan Rhinitis
10 menit ( Evaluasi:  Memberikan kesempatan  Menjawab pertanyaan
Moderator, Tanya jawab pada Masyarakat untuk  Memberikan
pemateri bertanya pertanyaan
Dewi  Memberikan kesempatan
Chintiya dan pada Masyarakat untuk
Erma Apriani menyebutkan kembali
) pengertian etiologic dan
pencegahan dari materi yang
di berikan
2 menit Penutup:  Membacakan kesimpulan  Mendengarkan
(Moderator Kesimpulan materi kepada Masyarakat  Menerima leaflet
dan Notulen: Terima kasih  Membagikan leaflet tentang dengan antusias
Dewi Saran penyakit Rhinitis  Mendengarkan
Chintiya dan  Mengucapkan terima kasih  Menjawab salam
Erma Safirty atas peran serta Masyarakat
)  Mengucap salam penutup

K. Evaluasi
1. Evaluasi Struktural
a. Sasaran hadir di tempat penyuluhan sesuai waktu yang dijadwalkan
b. Penyelenggaraan dilaksanakan di Mas Mansyu
c. Pengorganisasian penyelenggaraan dilaksanakan sebelumnya
2. Evaluasi Proses
a. Sasaran antusias terhadap materi penyuluhan
b. Tidak ada sasaran yang meninggalkan tempat penyuluhan sampai acara
berakhir
c. Sasaran mengajukan pertanyaan dan dapat menyimpulkan hasil penyuluhan
3. Evaluasi Hasil
No. Evalusi Lisan Respon Audiens Nilai
1. Definisi Rhinitis
2. Tanda dan gejala Rhinitis
3. Pencegahan Rhinitis
MATERI PENYULUHAN

1. Pengertian Rhinitis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator-mediator kimia pada saat
terpapar kembali dengan alergen tersebut. Menurut WHO-ARIA (Allergic Rinitis its
Impact on Asthma), rinitis alergi merupakan suatu peradangan yang diperantarai oleh
Imunoglobulin E (IgE) yang terlibat menyebabkan suatu peradangan alergi bila
terpapar kembali oleh alergennya.

2. Etiologi Rhinitis
Rinitis alergi disebabkan oleh allergen, baik allergen inhalan maupun allergen
ingestan. Pada anak-anak, sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Kejadian dapat diperberat oleh faktor non-spesifik, seperti
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembapan yang tinggi.
Reaksi hipersensitivitas merupakan dasar terjadinya rinitis alergi. Penyakit ini
merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari Immediate
Phase Allergic Reaction, yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu
jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction yang berlangsung dua sampai
empat jam dengan puncak enam hingga delapan jam setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam. Histamin merupakan mediator utama yang berperan
dalam timbulnya gejala. Histamin merangsang reseptor III pada ujung nervus
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga menyebabkan hipersekresi dan peningkatan permeabilitas kapiler kelenjar
mukosa dan sel goblet sehingga terjadi rinore.
3. Klasifikasi Rhinitis
Menurut waktu timbulnya gejala, rinitis alergi dapat dibagi menjadi rinitis alergi
intermiten (seasonal-acute-occasional allergic rhinitis) dan rinits alergi persisten
(perennial-chronic-long duration rhinitis)
a. Rinitis alergi intermiten
Kelompok yang memiliki gejala rinitis alergi intermiten mengalami gejala
yang hilang timbul, berlangsung selama kurang dari 4 hari dalam seminggu atau
kurang dari 4 minggu. Di negara yang memiliki 4 musim, seperti negara-negara
Amerika dan Eropa dapat dijumpai gejala rinitis alergi yang disebabkan oleh
serbuk bunga sehingga disebut sebagai rinitis alergi musiman atau hay fever.
b. Rinitis alergi persisten
Gejala alergi persisten timbul selama 4 hari dalam seminggu atau gejala yang
menetap lebih dari 4 minggu bahkan bisa terjadi sepanjang tahun. Alergi terhadap
tungau debu rumah adalah penyebab terpenting, sedangkan pada pasien rinitis
dengan asma lebih sering alergen berupa jamur dan kadang bulu binatang. Gejala
mencolok dari rinitis alergi persisten berupa hidung tersumbat

4. Patofisiologi Rhinitis
Tahapan inflamasi yang terjadi pada rinitis alergi adalah tahap sensitisasi yang
diikuti dengan tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi yang terjadi terdiri
dari 2 fase :
a. Reaksi alergi fase cepat (RAFC) atau Immediate Phase Allergic Reaction yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen hingga 1 jam.
b. Reaksi alergi fase lambat (RAFL) atau Late Phase Allergic Reaction,
berlangsung 2-4 jam dan dapat berlangsung hingga 24-48 jam paska kontak
dengan alergen. Fase hiperaktif atau masa puncaknya berlangsung pada 6-8 jam
setelah kontak dengan allergen
Pada tahap sensitisasi alergen berupa tungau, cat or dog dander, serbuk bunga
dan lainnya akan masuk ke saluran pernapasan atas dan melewati lapisan mukosa
hidung. Alergen yang masuk akan ditangkap oleh antigen precenting cells (APC).
Fragmen peptide yang terbentuk dari antigen akan membentuk komplek peptide
MHC kelas II setelah bergabung dengan molekul HLA kelas II. MHC kelas II ini
dihantarkan ke sel T limfosit. Sel penyaji atau APC akan melepaskan sitokin IL1
yang akan mengaktifkan Th0 menjadi Th1 dan Th2. Sel T limfosit 2 (Th2) yang
teraktifasi akan menghasilkan sitokin IL3, IL4, IL5 dan IL13. Sitokin IL-4 dan IL-13
yang dihasilkan ini akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel limfosit B
sehingga sel limfosit B teraktifasi. Sel limfosit B yang diaktifkan akan memproduksi
immunoglobulin E (IgE). Immunoglobulin E (IgE) yang berada di sirkulasi akan
ditangkap oleh reseptornya di permukaan basofil atau sel mastosit sehingga kedua sel
ini akan menjadi aktif.
Jika saat mukosa hidung yang sudah tersensitisasi terkena allergen yang sama,
maka alergen tersebut akan diikat oleh kedua rantai IgE sehingga terjadi degranulasi
mastosit dan basofil yang mengakibatkan terlepasnya mediator kimia yang telah
terbentuk, yaitu histamin. Selain histamin, ada beberapa mediator kimia lain yang
dikeluarkan, yaitu prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4
(LTC4), bradikinin, platelet activating factor (PAF) dan sitokin-sitokin lainnya. Fase
inilah yang disebut dengan fase reaksi alergi cepat
Histamin yang dikeluarkan akibat reaksi pada fase cepat akan berikatan dengan
reseptor H1 di ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung
dan bersin-bersin. Kelenjar mukosa dan sel goblet akan terangsang juga oleh
histamin sehingga terjadi hipersekresi mukus dan permeabilitas kapiler meningkat.
Proses akibat hipersekresi mukus dan peningkatan permeabilitas kapiler akan
menyebabkan salah satu keluhan pada pasien rinitis yaitu rinorea. Efek lain dari
histamin yang berikatan dengan reseptornya di pembuluh darah adalah vasodilatasi.
Vasodilatasi sinusoid akibat histamin akan menyebabkan terjadinya penyumbatan
rongga hidung. Inter Cellular Adhesion Molecule (ICAM 1) juga akan dikeluarkan
oleh mukosa hidung akibat rangsangan histamine
Pada fase cepat, kemotaktik juga akan dikeluarkan oleh sel mastosit. Keadaan ini
akan menyebabkan akumulasi sel netrofil dan eosinofil di jaringan target. Respon ini
dapat berlangsung hingga 6-8 jam setelah pemaparan. Fase lambat atau RAFL
ditandai dengan peningkatan jumlah sel-sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung. Sitokin-sitokin seperti IL3, IL4, IL5,
Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM1 juga
akan meningkat jumlahnya di sekret hidung. Gejala hiperaktif yang terjadi akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Selain karena faktor antigen atau
alergen, iritasi mukosa hidung dapat diperberat oleh faktor lingkungan, yaitu asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara

5. Manifestasi Rhinitis
Anak usia 4-5 tahun biasanya baru akan muncul manifestasi klinis rinitis alergik
dan insidensnya akan meningkat hingga 10-15% pada usia dewasa. Sedangkan
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh International Study of Asthma and
Allergy in Childhood atau ISAAC phase III di Jakarta pada tahun 2001 dari 1385
anak yang berusia 13-14 tahun didapatkan 370 (26,71%) anak yang mengalami
gejala rinitis alergi. Sesuai dengan patogenesis dan patofisiologi penyakit ini, yaitu
hipersensitivitas tipe 1, gejala rinitis alergi dapat berupa sekresi mukus hidung
berlebihan, hidung tersumbat, bersin, rasa gatal di hidung dan mata dan bernapas
melalui mulut. Gejala hidung tersumbat dan bernapas melalui mulut sering terjadi
pada malam hari, yaitu saat tidur. Gejala bernapas melalui mulut saat tidur ini dapat
menyebabkan gejala tenggorokan kering, mengorok, gangguan tidur serta kelelahan
pada siang hari. Gejala kombinasi bersin, hidung tersumbat, dan rinorea merupakan
gejala yang menjengkelkan dan dapat mengganggu kualitas hidup
Gejala umum meliputi :
a. Hidung buntu Hidung buntu pada RA terjadi akibat terhambatnya aliran udara
akibat kongesti sementara yang bersifat vasodilatasi vaskuler. Mekanisme
vasodilatasi ini diperantarai reseptor H1, yang berakibat pelebaran vena
kavernosa sinusoid dalam mukosa konka, sehingga terjadi peningkatan tahanan
udara dalam hidung. Timbunan sekret dalam hidung juga menambah sumbatan
hidung. Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi yang
berakibat hidung buntu
b. Hidung berair pada RA didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar
membran mukosa hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit setelah
paparan alergen dan berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Sekresi
kelenjar tersebut terjadi akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya
cairan plasma dan molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler
pembuluh darah hidung. Histamin yang dilepaskan oleh mastosit menjadi
penyebab utama hidung berair, yang diduga oleh karena histamin meningkatkan
permeabilitas vaskuler melalui reaksi langsung pada reseptor H1
c. Bersin, Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin pada RA. Bersin
disebabkan oleh stimulasi reseptor H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve
ending)
d. Gatal pada hidung diduga disebabkan berbagai mediator yang bekerja pada
serabut saraf halus C tak bermyelin dekat bagian basal, epidermis atau mukosa,
yang dapat menimbulkan rasa gatal khusus, yang terjadi saat histamin berikatan
dengan reseptor H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan dapat terjadi
langsung pasca provokasi histamin

6. Faktor Resiko
a. Penyakit atopi lain (asma dan eksim)
Riwayat atopi yang diderita oleh seseorang akan meningkatkan risiko
terjadinya penyakit alergi lain, termasuk rinitis alergi. Penyakit ini sangat
berhubungan dengan riwayat atopi, baik di keluarga maupun dalam dirinya
sendiri, seperti riwayat penyakit asma dan eksim. Sekitar 40% pasien yang
mengalami rinitis akan mengalami asma, begitu pula pada kurang lebih 70%
pasien yang mengalami asma memiliki penyakit rinitis alergi.
Riwayat asma dan kejadian rinitis alergi dihubungkan dengan kejadian alergi
kronik pada sistem pernapasan, dimana asma merupakan alergi kronik pada
sistem pernapasan bagian bawah dan rinitis alergi merupakan bagian dari kelainan
alergi sistem pernapasan bagian atas.
b. Riwayat atopi dalam keluarga
Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko yang memberikan
dampak terhadap kejadian rinitis alergi. Perkembangan sistem imun sudah dimulai
sejak dalam kandungan, tidak berbeda halnya dengan kepekaan sistem imun
menghadapi benda yang dianggap alergen oleh sistem imun orang tua. Hal ini
dihubungkan dengan kromosom 5q. Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa
jika salah satu orang tua mengalami alergi maka anaknya memiliki kecenderungan
25-40% akan mengalami alergi pula. Namun jika kedua orang tuanya mengalami
alergi maka makin meningkat pula risiko anaknya akan mengalami alergi pula,
yaitu 50%-70%.
c. Polusi udara (pajanan asap kendaraan)
Iritan sistem pernapasan seperti Sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida
(NOX) dan partikel dari sisa pembakaran diesel menyebabkan meningkatnya
kadar IgE dengan berbagai macam mekanisme inflamasi lokal pada saluran
pernapasan, sehingga meningkatkan kontak jaringan terhadap alergen dan dapat
menimbulan reaksi alergi.
d. Pajanan asap rokok
Asap rokok dapat meningkatkan risiko seseorang menderita penyakit alergi,
tidak terkecuali rinitis alergi. Pajanan berupa asap rokok juga dapat menyebabkan

bangkitan status asmatikus seseorang yang menderita asma. 24,26


Pada penelitian yang dilakukan menggunakan tikus, asap rokok yang
dipajankan kepada tikus tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular yang terdapat dalam saluran pernapasan sehingga menyebabkan gejala
yang sama, sedangkan efek tidak langsung dapat mempengaruhi respon inflamasi
yang diperantarai leh IgE.
e. Pajanan asap dapur
Kerkhof dkk melaporkan dalam penelitiannya yang dikutip dari laporan
penelitian Widodo bahwa asap dapur yang berasal dari kompor yang
menggunakan bahan bakar minyak tanah dan gas untuk memasak dapat
meingkatkan respon bronkus dan peningkatan kadar IgE total dalam darah. Bagi
orang-orang yang telah memiliki atopi respon ini dapat menjadi lebih berat
f. Memelihara kucing atau anjing
Seseorang yang memiliki hewan peliharaan berupa kucing atau anjing
memiliki keterkaitan dengan kejadian rinitis alergi atau penyakit alergi lainnya.
Alergen yang diperoleh dari hewan peliharaan ini dapat berupa aeroalergen yaitu
dari hewan tersebut
g. Kondisi sosial-ekonomi
Pada kota-kota metropolitan di negara maju dijumpai kejadian rinitis alergi
lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang kondisi sosial-ekonominya
rendah. Hal ini dikarenakan pada kota- kota metropolitan di negara maju dijumpai
banyak kejadian obesitas, inaktifitas fisik, banyaknya konsumsi minuman
berkarbonasi atau diet tak sehat. Selain dilihat dari gaya hidup yang tidak sehat
yang telah disebutkan di atas, kerentanan terhadap stress dan kesehatan yang
berhubungan dengan kejiwaan seperti ADHD dan gangguan kejiwaan lainnya
sangat mempengaruhi peningkatan kejadian rinitis alergi pada anak-anak. Namun
ada penelitian yang mengatakan bahwa negara dengan pendapatan rendah-
menengah memiliki jumlah penderita lebih besar

7. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Dirujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal yang dapat dilakukan
adalah
1) menghindari paparan terhadap allergen inhalasi maupun ingestan selama hamil
2) Menunda pemberian susu formula dan makanan padat sehingga pemberian asi
lebih lama
3) Tidak merokok dan menghindari asap rokok
4) Hindari binatang peliharan, debu tungau, susu sapi, kacang, coklat dan telur
5) Untuk ibu hamil konsumsi probiotik
6) Rumah harus mempunyai ventilasi yang baik dan cukup sinar matahari
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah mencegah gejala timbul dengan cara menghindari
allergen dan terapi medikametosa
1) Hindari lembab dan berdebu
2) Hindari ruangan yang sudah dibersihkan
3) Gunakan masker atau lap basah
4) Jangan memelihara binatang di dalam rumah
5) Dan jangan merokok dan hindari asap rokok
c. Pencegahan Tersier
Mencegah terjadinya komplikasi atau berlanjutnya penyakit.

8. Penatalaksanaan
a. Terapi non-farmakologi
terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
b. Terapi farmakologi
7) Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan
simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
 Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi
dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan
yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Generasi-2 lebih bersifat lipofobik dan
memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga lebih banyak dan lebih kuat
terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya melintasi otak.
Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat
(kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat
generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.

 Simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan


hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa
hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit
jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi,
berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala,
kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma
atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian
terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral
efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin,
dan xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat
mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan
efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi
kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa.
Efek sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik
pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan
dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan
kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
 Kortikosteroid Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan
berbagai penyakit alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat.
Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh
pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui
bahwa kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti
interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF).
Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated on
activation normal T cell expressed and secreted (RANTES), eotaxin,
macrophage inflammatory protein- 1α (MIP-1α), dan monocyt
chemoattractant protein-1.
 Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid,
flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi
hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi
medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif
terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan
efek maksimal terlihat setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal
hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik
pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan
tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung
jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan
dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi
hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan
hidung tersumbat yang menonjol.
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison,
metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan
betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas
nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika
memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk
menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal
obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas
yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk
rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan
pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
 Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan
memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik
dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral,
namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek
sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
8) Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat.
9) Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan
yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum
memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA

Kholid Yahya. 2013. Prevalensi Dan Faktor Risiko Kejadian Rinitis Alergi Pada Usia
13-14 Tahun Di Ciputat Timur Dengan Menggunakan Kuesioner International
Study Of Asthma And Allergy In Childhood (Isaac) Tahun 2013. Skripsi.
Universitas islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
Muhammad Rafi Asmawati Adnan Huriatul Masdar. 2015. Gambaran Rinitis Alergi
Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2013-2014.
Jom Fk Volume 2 No.2
Rizqun Nisa. 2017. Kejadian Rinitis Alergi dengan Komplikasi Otitis Media Akut pada
Anak Usia 5 Tahun. J Medula Unila Volume 7, Nomor 1

Anda mungkin juga menyukai