Anda di halaman 1dari 18

UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN

Kalimantan BARAT
Kelompok 3 :
1. CHARISSA DWI ANGGITA
2. DITA MIMI
3. PUTRI JULIANA
4. NABILA PUTRI S.
5. DHAMARA WIJAYA A.P
6. ALGHAR DHANI
7. ANDHIKA BAGAS
1. KESENIAN Kalimantan BARAT
Kalimantan Barat adalah provinsi  di Indonesia yang terletak di pulau
Kalimantan dan beribukotakan Pontianak. Daerah ini berbatasan langsung dengan
Sarawak bagian dari negara tetangga yaitu Malaysia. Kalimantan barat disebut
sebagai provinsi seribu suangai, karena provinsi ini memiliki banyak sungan kecil
dan suangai besar yang digunakan sebagai jalur utama angkutan untuk masuk
kepedalaman. Indonesia memang kaya akan berbagai macam suku dan kebudayaan,
khususnya provinsi Kalimantan Barat ini.
Sama seperti daerah lainnya yang ada di Indonesia, Kalimantan Barat pun
memiliki kesenian dan kebudayaan yang dimiliki oleh daerah ini. Dan kali ini saya
akan mencoba untuk membuat artikel mengenai beberapa kesenian dan kebudayaan
yang ada di Kalimantan Barat atau Pontianak tersebut.
Kalimantan Barat memiliki banyak kesenian dan kebudayaan yang beraneka ragam,
dan berikut beberapa kesenian dan kebudayaan yang berasal dari daerah tersebut :
RUMAH ADAT
Kalimantan Barat memiliki rumah adat yang bernama rumah Betang. Bentuk
dan besar rumah Betang berbeda-beda di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang
panjangnya mencapai 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah
Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima
meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini untuk menghindari
datangnya banjir pada musim penghujan
PAKAIAN ADAT

Pakaian adat untuk Kalimantan Barat bernama King Baba untuk


laki-laki dan King Bibige untuk perempuan. Pakaian tersebut
terbuat dari kulit kayu yang diproses hingga menjadi lunak
seperti kain. Kulit kayu yang bisa difungsikan sebagai kain untuk
membuat cawat, celana, baju, clan selimut itu disebut kapua
atau ampuro
Senjata tradisional
Senjata tradisional asal Kalimantan Barat bernama Mandau. Mandau
sejenis Pedang yang memiliki keunikan tersendiri, dengan ukiran dan
kekhasannya. Hulunya terbuat dari tanduk rusa yang diukir,
sementara besi bahan Ahpang (Mandau) terbuat dari besi yang
ditambang sendiri dan terdiri dari dua jenis, yaitu Bahtuk Nyan yang
terkenal keras dan tajam sehingga lalat hinggap pun bisa putus tapi
mudah patah dan Umat Motihke yang terkenal lentur, beracun dan
tidak berkarat
Tari tradisional
Kalimantan barat memiliki beberapa tari tradisional seperti :
• Tari Monong
Tari ini merupakan taripenyembuhan dan tari ini berfungsi sebagai
penolak atau penyembuh atau penangkal penyakit agar si penderita
dapat sembuh kembali penari berlaku seperti dukun jampi-jampi.
• Tari Kinyah Uut Danum
Kinyah Uut Danum , adalah tarian perang yang memperlihatkan
kelincahan dan kewaspadaan dalam menghadapi musuh.
Alat musik tradisional
Kalimantan Barat memiliki banyak alat musik khas daerah tersebut,
beberapa diantaranya :
• Sapek
Sapek merupakan alat musik petik tradisional dari Kapuas hulu dikalangan
masyarakat Dayak Kayaan Mendalam kabupaten Kapuas hulu.
• Gong
Gong atau Agukng, Kollatung (Uut Danum) merupakan alat musik pukul
yang terbuat dari kuningan, merupakan alat musik yang multifungsi baik
sebagai mas kawin, sebagai dudukan simbol semangat dalam pernikahan.
maupun sebagai bahan pembayaran dalam hukum adat.
Tradisi robo-robo
• Tradisi Robo-robo ini di adakan Rabu terakhir bulan Sapar (Hijriah) yang
menyimbolkan keberkahan. Menurut cerita, ritus ini merupakan peringatan atau
napak tilas kedatangan Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan
(Martapura) ke Kerajaan Mempawah (Pontianak). Robo-robo itu sendiri
dimaksudkan sebagai suatu peringatan serangkaian kejadian penting bermula
Haulan pada hari Senin malam Selasa terakhir bulan Syafar guna mengenang hari
wafatnya Opu Daeng Manambun
2. Sistem teknologi dan peralatan
• Banyak dari alat-alat perlengkapan hidup yang di niliki oleh suku dayak yang
mempunyai fungsi dn kegunaan lebih dari satu, malah multi fungsi,
misalnya parang dalam segala bentuk dan jenisnya, berfungsi bukan saja sebagai
alat rumah tangga, tetapi juga sebagai alat pertanian, alat perburuan, alat
perlengkapan persenjataan  dan lain-lain.
• Alat-alat produksi
• Alat-alat pertanian
• Alat-alat perikanan
3. bahasa
• Bahasa suku Dayak menggunakan bahasa Indonesia , bahasa Maanyan , dan bahasa Ngaju sebagai bahasa yang
digunakan dalam kesehariannya. Orang Dayak di Kalimantan khususnya Dayak yang berada di Kalimantan Barat, Timur,
Selatan dan Utara hampir semuanya mengerti bahasa Ot-Danum atau Dohoi, sedangkan orang Dayak Kalimantan Tengah
dan Selatan sebagai bahasa perantaraan umumnya adalah bahasa Dayak Ngaju yang juga disebut bahasa Kapuas. Tiap-
tiap suku Dayak di Kalimantan memiliki bahasa daerah sendiri-sendiri dengan dialek satu dengan lainnya berbeda,
misalnya bahasa Ot-Danum kebanyakan memakai huruf “o” dan “a” tetapi bahasa Dayak Ngajuk banyak memakai “e” dan
“a”. Sebagai ilustrasi disajikan beberapa bahasa Dayak dari beberapa suku Dayak yang ada di Kalimantan.
• Bentuk Hitungan Angka Dalam Beberapa Bahasa Dayak
Indone Ngaju Bahau Bajau Ot- Pasir Maanyan Lepo
sia Danum :
• 1        Ije        Je         Sa        Ico       Erai      Isa       Ca
2        Due     Dua     Dua     Doo     Doeo   Rueh    Dua
3        Telo     Telo     Tee      Toro     Toloe   Telu     Telo
4        Epat     Epat     Empat  Opat    Opat    Epat     Pat
5        Lime    Lime    Lime    Rimo   Limo    Dime   Lema
6        JahawenEnam Enem   Unom  Onom  Enem   Enam
7        Uju      Tuju     Pitu      Pito      Turu     Pitu      Tujuh
8        Hanya  Saya    Walu    Waru   Walu    Walu’  Ay’ah
9        Jalatien            Pitan    Sanga  Sioi      Sie       Suei     Pien
10      Sepuluh           Pulu     Sepuluh Poro Sapulu   Pulu’    Pulu
4. Sistem pengetahuan
• a.Sistem Pengetahuan Tentang Gejala-Gejala Alam
• Kebutuhan orang Dayak memperoleh padi ladang yang banyak telah melahirkan sistem pengetahuan
yang dapat memahami sifat-sifat gejala alam yang berpengaruh terhadap perladangan.
• b. Pengetahuan Tentang Lingkungan Fisik
• Lingkungan fisik orang Dayak adalah hutan. Orang Dayak mengenal persis jenis-jenis hutan yang
paling baik untuk dijadikan ladang. Untuk memastikan kesuburan tanah, biasanya terlebih mereka
meneliti keadaan pepohonan yang tumbuh dan tanah di bagian permukaan. Jika terdapat pohon-
pohon kayu besar dan tinggi menandakan tanah tersebut sudah lama tidak di ladangi dan karena itu
humusnya sangat subur.
• c.Pengetahuan Tentang Jenis-Jenis Tanaman
• Pengetahuan tentang flora diperoleh secara turun temurun. Beraneka ragam jenis tanaman dan
tumbuh-tumbuhan dikenal sebagai flora untuk dimakan, dijadikan obat dan untuk berburu dan
menuba ikan.
5. Sistem organisasi dan masyarakat
• Sistem kekerabatan
Sistem kekarabatan pada orang Dayak pada adalah bersifat bilateral atau
parental. Anak laki-laki maupun perempuan mendapat perlakuan yang sama,
begitu juga dalam pembagian warisan pada dasarnya juga tidak ada perbedaan,
artinya tidak selamanya anak-laki mendapat lebih banyak dari anak perempuan,
kecuali yang tetap tinggal dan memelihara orang tua hingga meninggal, maka
mendapat bagian yang lebih bahkan kadang seluruhnya. Demikian juga tempat
tinggal setelah menikah pada orang Dayak lebih bersifat bebas memilih dan
tidak terikat. Sistem perkawinan pada dasarnya menganut sistem perkawinan
eleotherogami dan tidak mengenal larangan atau keharusan sebagaimana pada
sistem endogami atau eksogami, kecuali karena hubungan darah terdekat baik
dalam keturunan garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketujuh.
6. Sistem religi
• Sejak awal kehidupannya, orang Dayak telah memiliki keyakinan yang asli
milik mereka, yaitu Kaharingan atau Agama Helo/helu/. Keyakinan tersebut,
menjadi dasar adat istiadat dan budaya mereka. Agama Helo/helu/ atau
Kaharingan hingga saat ini masih dianut oleh sebagian besar orang Dayak,
walau pada kenyataannya, tidak sedikit orang Dayak yang telah menganut
agama Islam, Kristen, Katholik. Demikian pula tidak semua penduduk
pedalaman Kalimantan adalah orang Dayak, karena telah berbaur dengan
penduduk dari berbagai suku akibat perkawinan dan berbagai sebab lain.
Walaupun demikian, tradisi lama dalam hidup keseharian mereka masih
melekat erat tidak hanya dalam bahasa, gerak-gerik, symbol, ritus, serta
gaya hidup, namun juga dalam sistem nilai pengartian dan pandangan
mereka dalam memaknai kehidupan.
7. Sistem mata pencaharian hidup dan ekonomi
•Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan; atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup
sangat tergantung dari hasil hutan. Sapardi (1994), menjelaskan bahwa hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan bahkan hutan
adalah bagian dari hidup mereka secara holistik dan mentradisi hingga kini, secara defakto mereka telah menguasai kawasan itu dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok.
•Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada, karet, kelapa, buah-buah dan lain-lain, serta kegiatan berladang (Sapardi,1992). Kegiatan perekonomian orang
Dayak yang pokok adalah berladang sebagai usaha untuk menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai sumber uang tunai yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang lain; walaupun demikian kegiatan
perekonomian mereka masih bersifat subsistensi (Mering Ngo, 1989; Dove, 1985).
•Menurut Arman (1994), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, dan terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang
menyerupai hutan, seperti karet (Havea brasiliensis Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan tengkawang (shorea Sp). Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-
abad dengan hutan dan segala isinya.
•Hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai
dengan pola budaya yang dianutnya (Arman, 1994). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan. Ukur (dalam Widjono,1995), menjelaskan bahwa sistem
perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Ave dan King (dalam Arman,1994), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang
merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989 dalam Soedjito 1999), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang diberbagai
daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi. Almutahar (1995) mengemukakan bahwa aktivitas orang Dayak dalam berladang di Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam variasi ini terdapat pula dasar yang sama. Persamaan itu
terlihat dari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka hutan yang akan digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.
•Dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari tanah. Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak bertindak secara serampangan. Ukur (1994), menjelaskan bahwa orang Dayak
pada dasarnya tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup. Menurut Mubyarto (1991), orang Dayak sebelum mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin
membuka atau menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari
hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok untuk
berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka dan
sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.
•Hasil penelitian Mudiyono (1990), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh ketua adat atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu
dan menyatakan diri berlaku “ke dalam” dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar” menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu yang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah yang digarapnya.
Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim tanam.
•Berlakunya “ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat memiliki hak untuk menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa.
Apabila petani penggarap meninggalkan wilayah (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah ketua adat dapat memberikannya kepada
anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai pada kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat diwariskan kepada anak cucunya. Hasil penelitian Kartawinata (1993) pada orang Punan,
dan Sapardi (1992) pada orang Dayak Ribun dan Pandu, pada umumnya memilih lokasi untuk berladang di lokasi yang berdekatan dengan sungai. Tempat-tempat seperti itu subur dan mudah dicapai.
•Dalam studi kasus tentang sistem perladangan suku Kantu’ di Kalimantan Barat Dove, (1988) merinci tahap-tahap perladangan berpindah sebagai berikut: (1) pemilihan pendahuluan atas tempat dan penghirauan pertanda burung; (2) membersihkan
semak belukar dan pohon-pohon kecil dengan parang; (3) menebang pohon-pohon yang lebih besar dengan beliung Dayak; (4) setelah kering, membakar tumbuh-tumbuhan yang dibersihkan; (5) menanam padi dan tanaman lainnya ditempat berabu
yang telah dibakar itu (kemudian di ladang berpaya mengadakan pencangkokan padi); (6) menyiangi ladang (kecuali ladang hutan primer);(7) menjaga ladang dari gangguan binatang buas; (8) mengadakan panen tanaman padi; dan (9) mengangkut hasil
panen ke rumah.
•Selanjutnya menurut Soegihardjono dan Sarmanto (1982) ada empat kegiatan tambahan yang tidak kalah penting dalam kegiatan berladang adalah: (1) pembuatan peralatan ladang (yaitu menempa besi, membuat/memahat kayu dan menganyam
rumput atau rotan); (2) membangunan pondok di ladang; (3) memproses padi; (4) menanam tanaman yang bukan padi. Dalam setiap tahap kegiatan mengerjakan ladang tersebut biasanya selalu didahului dengan upacara-upacara tertentu. Hal ini
dilakukan dengan maksud agar ladang yang mereka kerjakan akan mendapat berkah dan terhindar dari malapetaka.
•Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dakung (1986) tentang suku Dayak di Kalimantan Barat, bahwa peralatan yang digunakan dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi seperti mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan,
perkebunan rakyat seperti kopi (Coffea arabica), karet (Havea brasiliensis), kelapa (Cocos nucifera), buah-buahan, antara lain ialah pisau, kapak. baliong, tugal, pangatam, bide, inge, atokng, nyiro, pisok karet, tombak dan lain-lain. Dalam pada itu, jenis-
jenis peralatan rumah tangga seperti alat-alat masak memasak antara lain periuk atau sampau dari bahan kuningan atau besi untuk menanak nasi, kuwali terbuat dari tanah liat atau logam, panci dari bahan logam, ketel atau ceret dari bahan logam, dan
tungku batu. Jenis alat tidur antara lain tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun urun, kelasa yaitu tikar yang terbuat dari rotan, bantal yang terbuat dari kabu-kabu (kapuk) yang disarung dengan kain, klambu, katil dan pangking yaitu tempat tidur
yang terbuat dari kayu.

Anda mungkin juga menyukai