Anda di halaman 1dari 16

SUKU DAYAK

Suku Dayak (Ejaan Lama: Dajak atau Dyak adalah nama yang diberi oleh
penjajah kepada penghuni pedalaman pulau Borneo[14] yang mendiami Pulau
Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta
Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli
Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung[15]
Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku
bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokkan menjadi tiga yaitu
suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan
lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah
budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak
mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau
sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.

A. ISTIADAT DAYAK
Mayoritas suku Dayak memeluk agama Islam. Akan tetapi mereka tidak
mengakui dirinya sebagai seorang suku Dayak, melainkan “Melayu” atau
“Banjar”. Orang Dayak yang memeluk agama Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan Kotawaringin. Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal
bernama Lambung Mangkurat adalah seorang Dayak Manyan atau Ot Danum.
Sedangkan orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam kembali menyusuri
sungai, tinggal ke pedalaman di Kalimantan. Contohnya di Kalimantan Selatan
mereka tinggal disekitar wilayah Kayu Tangi, Margasari, Amuntai, Labuan
Lawas, Watang Amandit, dan Watang Balangan. Ada juga yang sebagian dari
mereka berada di rimba.
Budaya adat istiadat suku dayak masih terpelihara secara Turun Temurun,
terlebih dalam dunia supranatural Suku Dayak. Mereka masih berpegang teguh
pada kepercayaan tempat-tempat tertentu, benda-benda tertentu contohnya batu-
batu, pohon-pohon besar, danau, lubuk (air sungai yang dalam) dan lain-lainnya.
Dan sesuatu yang mereka percayai terdapat penguasa di dalamnya, diantaranya
disebut dengan Jubata, Petara, Ala Taala, dan Penompa merupakan julukan
tertinggi disebut Tuhan. Di samping itu mereka juga mempunyai penguasa lain
dibawah kekuasaan Tuhan contohnya ialah Puyang Gana (penguasa tanah), Raja
Juata (penguasa Air), Kama Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyangh dan
masih banyak lagi. Dalam berladang dan bercocok tanam mereka senantiasa
masuk hutan keluarhutan yang jaraknya semakin jauh kepedalaman Kalimantan.
Jika terdapat kesuburan tanah dan hutan-hutan lebat, maka mereka akan
berkumpul dengan tujuan mempersiapkan diri untuk berladang dan bercocok
tanam.
Suku Dayak dikenal mempunyai masyarakat yang kuat dengan adanya
adat istiadat tersebut. Tradisi ini merupakan salah satu keragaman budaya yang
dimiliki oleh Bangsa Indonesia, hal itu dapat tumbuh karena suku Dayak berasal
dari daerah pedalaman. Suku Dayak mempunyai sebuah acara sakral yang disebut
Upacara Tiwah. Tradisi ini merupakan upacara yang dilaksanakan untuk
pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat.
Sandung merupaka tempat semacam rumah kecil khusus dibuat untuk
jenazah orang yang sudah meninggal. Upacara Tiwah dianggap sangat sakral,
sebelum tulang-tulang orang yang sudah meninggal tersebut di antar dan
diletakkan ke tempatnya (sandung), terdapat beberapa rangkaian acara ritual.
Seperti tarian, suara gong dan hiburan lain. Setelah rangkaian selesai, tulang-
tulang mayat tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
B. BAHASA DAYAK
Bahasa Dayak Ngaju merupakan bahasa yang dituturkan oleh sebagian
besar penduduk Kalimantan Tengah. Penutur bahasa tersebut dapat dijumpai
hampir di sepanjang daerah aliran sungai di Kalimantan Tengah, kecuali
Kabupaten Kotawaringin Barat. Wilayah tuturnya meliputi Kabupaten Kapuas
bagian tengah, Kabupaten Gunung Mas dan Pulang Pisau bagian tengah hingga ke
Kota Palangkaraya, sebagian Sungai Mentaya, Kabupaten Barito Selatan bagian
selatan, serta Kabupaten Katingan bagian hilir.
Bahasa Dayak Ngaju terdiri atas tiga puluh dua dialek, yakni (1) dialek
Kandan yang dituturkan di Desa Kandan, Kecamatan Kota Besi, Kabupaten Kota
Waringin Timur; (2) dialek Rantau Tampang yang dituturkan di Kelurahan Kuala
Kuayan dan Desa Rantau Tampang, Kecamatan Telaga Antang, Kelurahan
Mentaya Seberang, Kecamatan Seranau, dan Kecamatan Antang Kalang,
Kabupaten Kotawaringin Timur; (3) dialek Parebok yang dituturkan di Desa
Parebok, Kecamatan Teluk Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur; (4) dialek
Mandomai yang dituturkan di Kelurahan Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat,
Kabupaten Kapuas; (5) dialek Kalumpang yang dituturkan di Desa Kalumpang,
Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas; (6) dialek Tumbang Makutup yang
dituturkan di Desa Tumbang Mangkutup (Tumbang Muroi),Kecamatan
Mantangai, Kabupaten Kapuas; (7) dialek Pangkoh Tengah (Pangkoh Sari) yang
dituturkan di Desa Pangkuh Tengah, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Kapuas
(Pulang Pisau); (8) dialek Pulang Pisau yang dituturkan di Desa Anjir Pulang
Pisau, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau; (9) dialek Tumbang
Nusa yang dituturkan di Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya,
Kabupaten Pulang Pisau; (10) dialek Timpah yang dituturkan di Desa Timpah,
Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas; (11) dialek Lawang Kamah yang
dituturkan di Desa Lawang Kamah, Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas, (12)
dialek Batu Puter yang dituturkan di Desa Batu Puter, Kecamatan Rungan,
Kabupaten Gunung Mas; (13) dialek Luwuk Langkuas yang dituturkan di Desa
Luwuk Langkuas, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas; (14) dialek
Tumbang Jutuh yang dituturkan di Desa Tumbang Jutuh, Kecamatan Rungan,
Kabupaten Gunung Mas; (15) dialek Bereng Rambang yang dituturkan di Desa
Bereng Rambang, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Gunung Mas (Pulang
Pisau); (16) dialek Bawan yang dituturkan Desa Bawan, Kecamatan Banama
Tingang, Kabupaten Gunung Mas (Pulang Pisau); (17) dialek Sepang Simin yang
dituturkan di Kelurahan Sepang Simin, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung
Mas; (18) dialek Kuala Kurun yang dituturkan di Kelurahan Kuala Kurun,
Kecamatan Kurun, Kabupaten Gunung Mas; (19) dialek Tewah yang dituturkan di
Kelurahan Tewah, Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas; (20) dialek
Kasongan yang dituturkan di Desa Kasongan (Kasongan Lama), Kecamatan
Katingan Hilir, Kabupaten Katingan (21) dialek Petak Bahandang yang dituturkan
di Desa Petak Bahandang, Kecamatan Tasik Payawan, Kabupaten Katingan; (22)
dialek Baun Bango yang dituturkan di Desa Baun Bango, Kecamatan Kamipang,
Kabupaten Katingan; (23) dialek Pilang yang dituturkan di Desa Pilang,
Kecamatan Kahayan Hilir (Jabiren), Kabupaten Pulang Pisau; (24) dialek Saka
Kajang yang dituturkan di Desa Saka Kajang, Kecamatan Kahayan Hilir (Jabiren),
Kabupaten Pulang Pisau; (25) dialek Gohong yang dituturkan di Desa Gohong,
Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau; (26) dialek Mangkatip yang
dituturkan di KelurahanMengkatip, Kecamatan Dusun Hilir, Kabupaten Barito
Selatan; (27) dialek Tangkiling yang dituturkan di Kelurahan Tangkiling,
Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya; (28) dialek Kalampangan yang
dituturkan di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Kota Palangkaraya
(29) dialek Bukit Rawi yang dituturkan di Desa Bukit Rawi, Kecamatan Kahayan
Tengah, Kabupaten Pulang Pisau; (30) dialek Mungku Baru yang dituturkan di
Kelurahan Mungku Baru, Kecamatan Rakumpit, Kota Palangkaraya; (31) dialek
Tumbang Talaken yang dituturkan di Kelurahan Tumbang Talaken, Kecamatan
Manuhing, Kabupaten Gunung Mas; dan (32) dialek Takaras yang dituturkan di
Desa Takaras, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas. Persentase
perbedaan antardialek tersebut berkisar 51—80,75%.
Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, isolek Dayak Ngaju
merupakan sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar 81%—100% jika
dibandingkan dengan bahasa-bahasa lainnya yang ada di Provinsi Kalimantan
Tengah. Misalnyadengan bahasa Balai, Dayak Pulau Telo, Kadorih, Dayak
Baream, dan Dayak Kapuas.
C. TRADISI DAYAK
1. Tradisi Kuping Panjang
Orang-orang suku Dayak, memiliki tradisi yang cukup unik yaitu
memanjangkan telinganya. Tradisi ini, hanya dilakukan oleh perempuan
Dayak yang berada di Kalimantan timur. Ada sebuah anggapan ketika
seorang perempuan Dayak memiliki telinga panjang, maka ia akan terlihat
semakin cantik. Oleh karena itu, banyak perempuan Dayak yang
memanjangkan telinga karena semakin panjang, maka akan semakin
terlihat cantik.

Selain karena kecantikan, memanjangkan kuping juga disebut


sebagai tradisi untuk menunjukan status kebangsawanan serta melatih
kesabaran. Untuk memanjangkan telinga, perempuan suku Dayak biasanya
menggunakan logam sebagai pemberat yang ditaruh di bawah telinga atau
tempat memasang anting-anting.
Bagi perempuan Dayak, mereka diperbolehkan untuk
memanjangkan telinga hingga dada. Sedangkan laki-laki Dayak
diperbolehkan memanjangkan telinga hingga mencapai bawah dagu.

2. Tato
Tradisi kedua dari masyarakat suku Dayak ialah tato yang menjadi
simbol dari kekuatan serta hubungan mereka dengan Tuhan, perjalanan
kehidupan, dan lain sebagainya. Hingga kini, tradisi tato masih dimiliki
dan dilakukan oleh masyarakat suku Dayak.
Menggambar tato, tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja, akan
tetapi juga perempuan Dayak. Proses pembuatan tato yang dilakukan oleh
masyarakat suku Dayak pun terkenal. Sebab, mereka masih menggunakan
peralatan sederhana, di mana orang yang akan ditato hanya akan menggigit
kain sebagai pereda sakit dan tubuhnya akan dipahat menggunakan alat
tradisional.

Gambar tato yang dilukiskan di badan masyarakat suku Dayak juga


tidak sembarangan. Setiap gambar memiliki makna tersendiri. Contohnya
seperti tato bunga terong yang ada pada laki-laki Dayak, bunga terong
menggambarkan bahwa laki-laki tersebut telah memasuki tahap dewasa.
Sedangkan bagi perempuan Dayak, untuk menandakan kedewasaan, maka
ia akan mendapatkan tato Tedak Kassa yang digambar di kaki.

3. Ngayau Atau Berburu Kepala


Ngayau atau berburu kepala merupakan salah satu tradisi yang
dimiliki oleh masyarakat suku Dayak dan telah dihentikan saat ini.
Alasanya, karena tradisi ini cukup mengerikan dan mengancam nyawa
seseorang.

Ngayau merupakan tradisi di mana seseorang dari suku Dayak akan


berburu kepala musuhnya. Tradisi ngayau ini hanya dilakukan oleh
beberapa rumpun Dayak saja, yaitu Ngaju, Iban, serta Kenyah.
Tradisi berburu kepala ini merupakan tradisi yang penuh dendam.
Sebab, seorang anak akan memburu keluarga dari pembunuh ayahnya dan
mengambil kepala dan membawa kepala tersebut ke rumah. Tradisi ini
ditanamkan secara turun temurun.
Berburu kepala harus dilakukan oleh pemuda Dayak sebagai wujud
pembuktian, bahwa ia mampu membanggakan keluarganya dan
menyandang gelar Bujang Berani. Tidak hanya itu, ngayau menjadi syarat
agar para pemuda Dayak dapat menikahi gadis pilihannya. Perburuan
kepala, tidak dilakukan sendirian akan tetapi dalam sebuah kelompok kecil
ataupun besar.
Akan tetapi pada tahun 1874, kepala suku Dayak Khayan kemudian
mengumpulkan para kepala suku dari rumpun lainnya dan menyepakati
hasil musyawarah Tumbang Anoi. Hasil musyawarah tersebut berisi
larangan untuk melaksanakan tradisi ngayau, karena dapat menyebabkan
perselisihan di antara suku Dayak.

4. Tiwah
Tradisi suku Dayak selanjutnya ialah Tiwah, Tiwah merupakan
upacara pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju, di
mana mereka akan membakar tulang belulang dari kerabat yang telah
meninggal dunia.

Menurut kepercayaan Kaharingan, tradisi Dayah Tiwah, dipercaya


mampu mengantarkan arwah dari orang yang telah meninggal agar mudah
menuju dunia akhirat atau disebut pula dengan nama Lewu Tatau.
Ketika melaksanakan tradisi Twiah, biasanya keluarga yang
ditinggalkan akan menari dan bernyanyi sambil mengelilingi jenazah.
Proses pembakaran tulang belulang jenazah, hanya dilakukan secara
simbolis sehingga tidak semua tulang jenazah akan ikut dibakar dalam
upacara Tiwah.

5. Manajah Antang
Tradisi dari suku Dayak selanjutnya ialah manjah antang, tradisi ini
merupakan suatu ritual untuk mencari di mana musuh berada ketika
berperang. Menurut cerita masyarakat Dayak, ritual manajah antang
merupakan ritual pemanggilan roh leluhur dengan burung Antang, di mana
burung tersebut dipercaya mampu memberitahukan lokasi musuh.

Selain dipakai ketika berperang, tradisi manajah antang pun dipakai


untuk mencari petunjuk-petunjuk lainnya.

6. Mantat Tu’Mate
Seperti halnya Tiwah, tradisi mantat tu’mate merupakan tradisi
untuk mengantarkan orang yang baru saja meninggal dunia. Namun
mantat tu’mate berbeda dengan Tiwah. Sebab, mantat tu’mate dilakukan
selama tujuh hari dengan konten acara iring-iringan musik serta tari
tradisional. Setelah upacara selama tujuh hari selesai, barulah jenazah
kemudian akan dimakamkan.
D. LAGU DAERAH DAYAK
E. UPACARA ADAT DAYAK
Ngabayotn adalah acara ritual padi suku Dayak Salako yang berada di
Kelurahan Bagak Sahwa. Ngabayotn dilaksanakan pada tanggal 1 juni setiap
tahunnya. Ritual ini merupakan persembahan kepada Jubata (Dewa) dan Awo
Pamo (Arwah Leluhur) berupa binatang dan berbagai masakan adat sebagai tanda
menutup masa panen padi dan akan dimulainya masa untuk berladang.

Serupa dengan Gawai Dayak Naik Dango, Ngabayotn merupakan upacara


adat yang mempunyai makna syukuran atau berterima kasih kepada Tuhan atas
hasil panen yang diperoleh dari sawah atau ladang masyarakat Dayak. Ritual ini
khas yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Salako.

F. MENINGGAL DAYAK
Suku Dayak masih memegang teguh adat, termasuk soal pemakaman.
Mereka tidak menguburkan jenazah di dalam tanah, melainkan meletakkannya di
Rumah Mayat Kulambu. Suku Dayak Taman yang tinggal di Desa Ariung
Mendalam, Kecamatan Putussibau Utara, Kapuas Hulu punya tradisi unik dalam
memakamkan jenazah. Seperti orang Toraja, mereka tidak menguburkan jenazah
di dalam tanah, melainkan menyimpannya di dalam peti, lalu meletakkannya di
dalam gubug-gubug kayu yang disebut Kulambu.
Dominikus Giling, Juru Rawat Rumah Mayat Kulambu pun mengajak
rombongan detikTravel untuk menyambangi pemakaman adat milik suku Dayak
Taman yang dijaganya. Dari Rumah Betang Semangkok tempat Giling tinggal,
perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki selama 30 menit melewati ladang dan
hutan. Sampai di tepi Sungai Menawing, di situlah Rumah Mayat Kulambu
berada. Dulunya pemakaman ini ada di Sungai Tanang. Namun semenjak suku
Dayak Taman pindah ke Rumah Betang Semangkok, pemakaman itu ikut pindah
ke Menawing.
Pemakaman adat ini sudah ada sejak tahun 1906. Pemakaman ini hanya
khusus bagi suku Dayak Taman beserta keluarga, serta anak keturunannya. Total
ada 14 rumah Kulambu tempat para jenazah disemayamkan. Inilah potret Rumah
Mayat (Kulambu) warisan dari nenek moyang Dayak Taman akan pemakaman
bagi yang ditradisikan di sisi sungai Menawik, Kapuas Hulu.Peti mati di Rumah
Mayat Kulambu Foto: Rachman Haryanto Di setiap Kulambu, jenazah tersebut
disimpan dalam peti mati kayu. Ada perbedaan antara peti mati laki-laki dan
perempuan.
"Kalau laki-laki, dia agak besar. Kalau perempuan lebih ramping. Kalau
yang meninggal perempuan masih muda, rambutnya tidak boleh dimasukkan ke
dalam peti, harus digerai ke luar peti mati. Ada pamalinya," kisah Giling.
Pamalinya, nanti arwah si wanita ini bisa tidak tenang. Kemudian arwah itu akan
pergi menghantui keluarganya, bahkan bisa turut serta membawa anggota
keluarga yang dikasihinya (misalnya anak) untuk menyusul dirinya ke alam lain.
Inilah potret Rumah Mayat (Kulambu) warisan dari nenek moyang Dayak
Taman akan pemakaman bagi yang ditradisikan di sisi sungai Menawik, Kapuas
Hulu. Dominikus Giling menunjukkan salah satu peti jenazah Foto: Rachman
Haryanto. Sebelum diletakkan di Kulambu, jenazah sudah dibalsem agar awet.
Bersama dengan peti mati si jenazah, diletakkan pula benda-benda kesayangan
yang digunakan si jenazah semasa hidup. Ada yang membawa radio, alat ladang,
bahkan pakaian. Pakaian itu ada yang diletakkan di dalam tas, bahkan koper.
Tidak bisa sembarangan untuk bisa dimakamkan di Rumah Mayat
Kulambu. Harus melalui ritual adat yang disebut Gawai Mulambu, berupa pesta
adat memberi makan sajian bagi keluarga dan para tamu undangan selama
beberapa hari. Biaya untuk menggelar pesta adat ini tidak sedikit, bisa mencapai
lebih dari Rp 200 juta. "Harus ada pesta yang meriah. Gawai Mulambu. Jenazah
dibawa ke sini pakai kapal dan disambut tembakan meriam dan iringan musik.
Semua orang datang dan memberi penghormatan. Tamu yang datang diberi sajian,
potong babi," kata Giling.
Selama menjadi Juru Rawat Rumah Mayat Kulambu, sudah tak terhitung
lagi berapa banyak pengalaman mistis yang dialami oleh Giling. Kebanyakan
adalah suara-suara, dari suara menangis, ribut-ribut hingga suara binatang pun
pernah dia dengar, tapi tak sekalipun melihat wujudnya. Oleh karena itu, Giling
hanya berani berkunjung ke sini saat siang hari. Giling juga harus membawa serta
teman untuk ke sini. Rumah Mayat Kulambu ini pun ditetapkan jadi Benda Cagar
Budaya oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu. Namun sayang, karena
dimakan usia, kondisi beberapa Kulambu sudah sangat memprihatinkan. Ada
yang reyot, bahkan miring dan nyaris roboh.

G. RUMAH ADAT DAYAK


Rumah Betang Pasir Panjang

Rumah Betang Pasir Panjang sebagai rumah adat yang bisa kamu temui
pada daerah Kotawaringin Barat. Pangkalan Bun sendiri menjadi ibukota
Kabupaten Kotawaringin Barat dan memiliki istilah atau julukan sebagai Kota
Manis dengan kepanjangan Minat Aman Nikmat Indah Segar. Terdapat banyak
sekali destinasi wisata menarik yang bisa kamu temui pada daerah ini, salah
satunya ialah Taman Nasional Tanjung Puting. Kotawaringin Barat ini juga
menjadi salah satu daerah terbanyak ditinggali oleh masyarakat suku Dayak serta
termasuk salah satu masyarakat yang juga meninggali rumah adat Betang Pasir
Panjang.
Hingga kini rumah adat ini juga masih tetap dihuni untuk dapat menjaga
kelestariannya. Secara arsitektur, rumah Betang Pasir Panjang memiliki ukuran
yang lebih besar dengan atap yang menjulang tinggi. Pintu masuk dari rumah
Betang Pasir Panjang ini juga berada pada sisi sampingnya serta bukan terdapat
pada sisi yang memanjang seperti pada rumah adat pada umumnya. Karena
ukurannya yang besar, pondasi serta struktur penyangga kayunya juga terlihat
lebih kokoh untuk menopang seluruh bangunannya yang berat.

H. BAJU ADAT DAYAK


1. King Baba

King Baba adalah nama pakaian adat yang digunakan oleh laki laki
yang berasal dari suku Dayak. Pakaian ini bila dari segi bentuknya akan
serupa dengan pakaian milik perempuan, hanya saja dari segi bentuknya lebih
sederhana. King Baba menjadi semakin unik karena bahan yang dipajau untuk
membuat pakaian ini berasal dari kulit kayu yang sudah dipipihkan dan diberi
nama King Baba. Tanaman yang dipakai untuk diambil kulitnya ialah jenis
tanaman ampuro atau kayu kapuo.
Tanaman ini adalah tumbuhan endemik khas dari Kalimantan yang
mempunyai kandungan serat tinggi. Untuk nama King Baba sendiri diambil
dari bahasa Dayak, yang mana king memiliki arti pakaian serta Baba yang
berarti laki laki. Dalam proses pembuatannya, kulit kayu dipukul pukul
dengan menggunakan palu di dalam air sehingga hanya tersisa seratnya saja.
Jika kulit kayu tersebut telah lentur, tinggal dijemur, dan juga dilukis
menggunakan corak etnik khas Dayak.
Pewarna yang dipakai juga adalah pewarna alami dari alam. Tak
sekadar untuk membuat bajunya saja, aksesoris seperti ikat kepala juga
memakai bahan yang sama. Hal yang membedakan, yakni ikat kepala dihias
dengan memakai bulu burung Enggan Gading sehingga memberi kesan gagah
pada penggunanya. Untuk bagian baju dihias dengan manik-manik serta
dibuat tanpa lengan. Jangan lupakan aksesoris tambahan, yakni mandau
sebagai senjata tradisional yang turut disematkan.

2. King Bibinge

Apabila King Baba merupakan pakaian yang digunakan untuk laki


laki, King Bibinge adalah pakaian untuk perempuan. Cara pembuatan serta
bahan yang digunakan pada King Bibinge juga sama dengan yang dipakai
oleh busana laki laki. Hal yang membedakan King Baba dan King Bibinge
adalah King Bibinge dibuat lebih tertutup dan sopan. Ada juga perlengkapan
yang dipakai untuk menutup bagian dada dengan menggunakan kain bawahan
serta stagen. Hiasannya juga memakai manik-manik dan juga bulu burung
enggang.
Sama dengan pakaian pria yang juga tak mempunyai lengan, King
Bibinge juga tidak memiliki lengan, tetapi lebih tertutup. Ada juga lukisan
khas Dayak yang turut dipadukan dengan manik-manik yang terbuat dari kayu
dan bikian kering. Aksesoris tersebut membuat King Bibinge semakin unik
dan indah karena memakai berbagai bahan alami yang ada di sekitar mereka.
Untuk pakaian adat perempuan Dayak ini, juga akan memakai aksesoris
berupa gelang dan kalung.
Gelang yang digunakan terbuat dari akar pohon yang dipintal serta
dibentuk dengan unik. Untuk kalungnya dibuat dari tulang hewan dan akar
pohon. Kalung ini tak sekadar berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga sebagai
jimat dan tolak bala. Pada bagian kepala, memakai ikat kepala khas suku
Dayak yang berbentuk segitiga. King Bibinge walaupun terbuat dari bahan
alami, tetapi tetap tampak cantik dan juga estetik pada waktu yang bersamaan.

I. SENJATA CIRI KHAS DAYAK


1. Mandau

Senjata tradisional suku Dayak yang pertama adalah Mandau. Mandau ini
merupakan salah satu senjata tradisional suku Dayak yang cukup terkenal.
Selain digunakan untuk berperang dan mempertahankan diri dari serangan
lawan, mandau ini juga digunakan untuk kegiatan sehari-hari, seperti berburu
ataupun berladang. Mandau juga digunakan untuk pelengkap tarian suku
Dayak, seperti tarian mandau, dan tarian kancet papatai.

3. Bujak

Bujak merupakan salah satu senjata suku Dayak yang digunakan untuk
berburu hewan di hutan. Bujak ini memiliki bentuk ukuran seperti tombak dan
memiliki ukuran yang panjang serta ujungnya yang runcing yang berguna untuk
melumpuhkan hewan buruan yang ditarget. Biasanya masyarakat Dayak
memberikan racun dari getah pohon ipuh diujung bujak, guna mempermudah
mematikan hewan buruan. Bujak ini terbuat dari kayu pohon ulin, sehingga
bujak ini bisa tahan dan awet hingga bertahun-tahun.

Anda mungkin juga menyukai