Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PENYAKIT LUPUS
Diajukan Guna Untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah Keperawatan Dewasa

Dosen Pengampuh: Eka Nugraha Naibaho, S.Kep., Ns., M.Kep

DISUSUN OLEH :
Kelompok 2

1. PUTRI NAZIRA 2214201097


2. ROMA AFRILIANI SIHOMBING 2214201100
3. NURUL TASIA HASIBUAN 2214201095
4. EZRA PUTRI HARTINI SITOHANG 2214201085
5. ATIKA AULIA DALIMUNTHE 2214201075
6. HELLY PUSPA YANTI ZAI 2214201087
7. LIDIA HARITA 2214201090
8. DIAN PADLI ROMADOMU RAMBE 2214201106

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS IMELDA MEDAN
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga Makalah yang berjudul “Penyakit Lupus” ini dapat tersusun hingga
selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga Makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi Makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam Makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan Makalah ini.

Rantauprapat, Maret 2024


Penulis,

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................2
C. Tujuan............................................................................................3
BAB II KAJIAN PUSTAKA..........................................................................4
A. Pengertian......................................................................................4
B. Patogenesis.....................................................................................5
C. Penyebab........................................................................................6
D. Pencegahan....................................................................................9
E. Jenis-jenis Penyakit Lupus.............................................................11
BAB III DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA PENYAKIT........................13
A. Diagnosis Penyakit Lupus.............................................................13
B. Tata Laksana Penyakit Lupus........................................................16
BAB IV PENUTUP..........................................................................................24
A. Kesimpulan....................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini
adalah “Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah Lupus berasal dari
bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata
Erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu
diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi ini
disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit ini diberi nama
“Lupus”.
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan
kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia
terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari
100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk
menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya jika
kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit lupus
diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Penyakit ini
tergolong misterius. Lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di seluruh
dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE (Systemic Lupus
Erythematosus), yaitu penyakit auto imun kronis yang menimbulkan
bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau sistem yang
terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai 50,8
per 100.000. Di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya.
Sedangkan di RS Ciptomangunkusumo Jakarta, dari 71 kasus yang ditangani
sejak awal 1991 sampai akhir 1996 , 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki.
Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun
ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki,
dan perempuan. Sembilan puluh persen kasus Lupus Eritematosus Sistemik

1
menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama
masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit Lupus
biasanya menyerang wanita produktif. Meski kulit wajah penderita Lupus dan
sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak
menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh
organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh merasa
kelelahan berkepanjangan serta sensitif terhadap sinar matahari. Semua itu
merupakan sebagian dari gejala penyakit Lupus.
Faktor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah
faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis obat,
dan virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah
sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. Saat bepergian, penderita
memakai sun block atau sun screen (pelindung kulit dari sengatan sinar
matahari) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus
merupakan penyakit autoimun sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari
satu organ yang ditimbulkan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyakit lupus ini antara lain:
1. Apa pengertian dari penyakit lupus?
2. Bagaimana patogenesis pada penyakit lupus?
3. Apa saja penyebabnya seseorang terkena penyakit lupus?
4. Bagaimana pencegahan yang harus dilakukan pada penyakit lupus?
5. Apa saja jenis-jenis penyakit lupus?
6. Bagaimana diagnosis (gejala) yang muncul pada penyakit lupus dan cara
membuktikan diagnosisnya?
7. Bagaimana tata laksana penyakit pada penderita lupus?

2
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembahasan makalah ini mengenai penyakit lupus antara
lain:
1. Mampu mendeskripsikan pengertian penyakit lupus.
2. Mampu mengetahui patogenesis pada penyakit lupus.
3. Mampu mendeskripsikan penyebab timbulnya penyakit lupus.
4. Mampu menjelaskan cara pencegahan penyakit lupus.
5. Mampu mendeskripsikan jenis-jenis penyakit lupus.
6. Mampu mengetahui diagnosis/gejala-gejala yang ditimbulkan pada penyakit
lupus dan cara membuktikan diagnosisnya.
7. Mampu mendeskripsikan tata laksana penyakit lupus.

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian
Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus adalah
suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam
tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam – macam, bersifat
sementara, dan sulit untuk didiagnosis karena itu angka yang pasti tentang
jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE
menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering dari pada laki-laki.
Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau awal dewasa. Di
Amerika Serikat, penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika tiga
kali lebih sering daripada perempuan Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul
pada usia di atas 60 tahun, biasanya akan lebih mudah untuk diatasi (Sylvia &
Lorraine, 2005).
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar
tahun 1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk
“kupu-kupu”, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang
menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata dalam bahasa Latin yang
berarti serigala). Lupus discoid adalah nama yang sekarang diberikan pada
penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit. SLE
adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difusi yang etiologinya
tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma, polimiositis, artritis
rheumatoid, dan sindrom Sjogren. Gangguan – gangguan ini seringkali
memiliki gejala yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan
dapat menjadi semakin slit untuk ditegakkan secara akurat. (Sylvia &
Lorraine, 2005).
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena

4
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi
tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi
yang terikat pada antigen) di dalam jaringan (Underwood, 1999).
SLE merupakan prototipe kelainan autoimun sistemik, ditandai dengan
bermacam-macam antibodi, terutama antibodi antinukleus. Antibodi
antinukleus tidak memasuki sel utuh. Namun, nukleus sel yang rusak bereaksi
dengan antibodi antinukleus, kehilangan pola kromatinnya, dan menjadi
badan LE yang homogen, (badan hematoksilin). Fagositosis badan LE oleh
neutrofil atau makrofag in vitro akan membentuk sel LE smapai kira-kira 70
% penderita SLE. Selain antibodi antinukleus, penderita SLE juga
menunjukkan adanya berbagai macam autoantibodi antara lain terhadap
elemen darah (sel darah merah, trombosit, leukosit). Juga antara 20%-40%
mempunyai antibodi terhadap fosfolipid (Robbins dkk; 1999).
Terlihat terutama pada wanita, SLE adalah suatu penyakit generalisata
yang mengekspresikan dirinya sebagai vaskulitis yang melibatkan beberapa
sistem organ. Sel sasaran primernya adalah sistem hematopoetik, kulit, sendi
dan ginjal. Organ-organ ini dilibatkan dalam aneka macam cara oleh banyak
sekali antibodi. Antibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit masing-masing menyebabkan anemia hemolitik, leukopenia dan
trombositopenia (Joseph, 1993).

B. Patogenesis
Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena
komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur
membran, dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus
eritematosus sistemik (Robbins dkk; 1999).
Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh biasanya akan membuat
anti-bodi yang fungsinya melindungi tubuh dari berbagai macam serangan
virus, kuman, bakteri maupun benda asing lainnya (anti-gen). Pada penyakit
autoimun seperti lupus, sistem kekebalan tubuh seperti kehilangan
kemampuan melihat perbedaan antara substansi asing dengan sel maupun

5
jaringan tubuhnya sendiri. Pada lupus, produksi anti-bodi yang seharusnya
normal menjadi berlebihan. Akibatnya, anti-bodi ini tidak lagi berfungsi
untuk menyerang virus, kuman atau bakteri yang ada di tubuh, tetapi justru
menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan tubuhnya sendiri. Anti-bodi
seperti ini disebut auto anti-bodi. Ia bereaksi dengan anti-gen membentuk
immune complex/ komplek imun (Joseph, 1993).
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan komplek imun dalam hati dan penurunan uptake
kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan
akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya
keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal,
sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya (Joseph, 1993).
Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self-
tolerance bersama aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder terhadap
beberapa faktor:
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B.
b. Hiperaktivitas sel T helper.
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor (Robbins dkk; 1999).

C. Penyebab
Faktor yang diduga sangat berperan untuk seseorang terserang penyakit
lupus adalah faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres,
beberapa jenis obat, dan virus. Faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi
faktor kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-
obatan, terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stres. Penyakit
ini kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun namun

6
ada juga pria yang mengalaminya. Oleh karena itu diduga penyakit ini
berhubungan dengan hormon estrogen (Aulawi, 2008).
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga
berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan
perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang
berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala lupus. Sering
dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan. Tubuh
memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat.
Namun, dalam penyakit ini kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh
yang sehat. Penyakit Lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang
berlebih. Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang berfungsi menyerang
sumber penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit Lupus ini
antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi
justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini
disebut autoimunitas . Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh
jaringan dengan dua cara yaitu :
Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh,
seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur.
Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau
anemia.
Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan
antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. Gabungan
antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh
darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal,
kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam
keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Sel-sel
radang tersebet bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang
menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan
akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu
fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau

7
hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi organ tubuh akan terganggu
(Joseph, 1993).
Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat
dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan.
Namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi
penyebab utama sehingga masih menjadi fokus utama penelitian.
1. Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang
mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko
menderita penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun
lainnya seperti arthritis reomathoid atau Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar
identik, risiko lupus meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari
pasien yang menyandang lupus (Djoerban, 2002).
2. Hormon
Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Dan sebagian besar penyandang
wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan
oleh faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang
mempengaruhi aktifnya lupus dalam penelitian hewan baik secara invitro
maupun invivo. Sehingga harus benar-benar dipertimbangkan pemberian
terapi hormon dan alat kontrasepsi yang mengandung estrogen pada
Odapus (Djoerban, 2002).
3. Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,
diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
a. Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab
terkuat adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam
kelenjar (mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah
terinfeksi virus ini dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan
bahwa system imun mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV

8
juga menyerang sel tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga
kuat berhubungan dengan penyebab lupus.
b. Zat kimia dan racun
Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat
kimia dan racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.

c. Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan
munculnya lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit
autoimun lainnya seperti arthritis reumathoid dan multiple sclerosis.
d. Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan
perburukan manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam
kulit dan munculnya gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari
sinar matahari dan menggunaka tabir surya (sun block) adalah hal yang
tidak mudah namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat
bermanfaat (Djoerban, 2002).

D. Pencegahan
Dalam melakukan pencegahan ada berbagai masalah yang dihadapi
pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat
diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak
mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan dampak
lupus terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter untuk
mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan tepat
tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen,
dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen (Djoerban, 2002).
Biasanya paramedis akan melakukan pemeriksaan ANA (Anti Nuclear
Antibodi) bisa positif, di laboratorium dan patologi. Bila sudah diketahui
diagnosanya lupus, maka pihak medis akan memberikan pengobatan berupa
terapi, theraphy sintomatik (penghilangan gejala), kortikortiroid (antipenurun

9
kekebalan tubuh), serta menekan daya tahan tubuh berlebihan, dengan
pemberian obat demam dan penghilang rasa sakit. Hanya saja, untuk terapi
yang dilakukan berbeda-beda dengan setiap penderita. Penyembuhannya pun
bisa memakan waktu berbulan-bulan, itupun dengan catatan penderita rajin
memeriksakan diri. Bahkan tak jarang, terkadang diagnosa baru didapat justru
setelah penderita meninggal. Atau penyakit lupusnya tiba-tiba sembuh sendiri.
Karena itulah, fokus pengobatan dokter adalah dengan melakukan pencegahan
dengan meminimalisir meluasnya penyakit sehingga tidak menyerang organ
vital tubuh lainnya. Oleh karena itu, untuk melakukan upaya preventif terhadap
penyakit lupus perlu ditingkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh
pemerintah maupun semua pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan.
Selain itu, peningkatan kompetensi petugas-petugas pelayan kesehatan juga
harus di tingkatkan agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang akan
membahayakan jiwa pasien (Djoerban, 2002).
Pengembangan metode pengobatan yang lebih baik dan efisien juga
perlu dilakukan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, apa
bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif
dalam upaya pencegahan penyakit lupus. Masalah berikutnya adalah belum
terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi,
pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali
meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus
terhadap kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada
kesehatan pasien, namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang
cukup berat untuk pasien maupun keluarganya. Dalam hal ini peran sarjana
kesehatan masyarakat selaku tenaga kesehatan yang berorientasi pada upaya
preventif dan promotif sangat diperlukan. Masyarakat harus secara intensif
diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, gejala yang ditimbulkan, dampak yang
ditimbulkan,serta bagaimana cara pencegahannya. Kebersihan dan kesehatan
lingkungan juga harus diperhatikan karena, seperti yang telah dijelaskan dalam
subbab “penyebab” bahwa faktor yang diduga menyebabkan lupus ada
berberapa macam diantaranya faktor lingkungan (Djoerban, 2002).

10
Masalah lain adalah kurangnya prioritas di bidang penelitian medik
untuk menemukan obat-obat penyakit lupus yang baru, yang aman dan efektif,
dibandingkan dengan penelitian penyakit-penyakit lain, yang sebanding
besaran masalahnya. Upaya preventif yang harus dilakukan adalah berusaha
mengembangkan penelitian-penelitian mengenai penyakit lupus mengingat
bahaya dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh penyakit ini.
Hal yang harus dilakukan penderita lupus (odipus) agar penyakit lupusnya
tidak kambuh adalah :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu (Djoerban, 2002).
Odipus dapat memeriksakaan diri pada dokter-dokter pemerhati
penyakit ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultasi hematologi,
rheumatology, ginjal, hipertensi, alergi imunologi, jika lupus dapat
tertanggulangi, berobat dengan teratur, minum obat teratur yang di berikan oleh
dokter (yang biasanya diminum seumur hidup), odipus akan dapat hidup
layaknya orang normal. Dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan, mengingat
keluarga adalah orang yang paling dekat dan yang selalu berinteraksi dengan
odipus. Dukungan (social support) dalam teori ilmu psikologi merupakan salah
satu media bertahan dari stress (coping stress) yang mampu memberi pengaruh
besar (Djoerban, 2002).

E. Jenis-Jenis Penyakit Lupus


1. Lupus Eritematosis Diskoid (DLE)
Paling sering menyerang dan merupakan lupus kulit dengan manifestasi
beberapa jenis kelainan kulit. Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di
muka (terutama hidung, pipi), telinga atau leher. Penyakit yang terbatas
pada lesi kulit yang makroskopik dan mikroskopik menyerupai SLE. Hanya
35% penderita mengalami antibodi antinukleus positip. Berbeda dengan
SLE, hanya lesi kulit yang menunjukkan deposit Ig-komplemen pada

11
membran basal. Setelah beberapa tahun, 5%-10% penderita bermanifestasi
sistemik. Diskoid Lupus tidak serius dan jarang sekali melibatkan organ-
organ lain (Robbins dkk; 1999).
2. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
SLE merupakan penyakit demam sistemik, kronik, berulang dengan
gejala yang berhubungan dengan semua jaringan, terutama sendi, kulit, dan
membran serosa. Dapat menimbulkan komplikasi seperti lupus otak, lupus
paru-paru, lupus pembuluh darah jari-jari tangan atau kaki, lupus kulit,
lupus ginjal, lupus jantung, lupus darah, lupus otot, lupus retina, lupus sendi,
dan lain-lain (Robbins dkk; 1999).
3. Lupus Eritematosus yang disebabkan obat
Obat-obatan seperti hidralazin (obat hipertensi), prokainamid (untuk
mengobati detak jantung yang tidak teratur), isoniazid, dan D-penisilamin
sering menyebabkan ANA positip, kurang sering menyebabkan sindrom
seperti LE. Pada sindrom seperti LE, meskipun melibatkan banyak organ,
penyakit ginjal dan susunan saraf pusat jarang terjadi. Penyakit mempunyai
hubungan dengan HLA-DR4. Penyakit ini timbul akibat efek samping obat
dan akan sembuh sendiri dengan memberhentikan obat terkait (Robbins
dkk; 1999).

12
BAB III
DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA PENYAKIT

A. Diagnosis Penyakit Lupus


Pasien dengan Lupus Eritematosus Sistemik bisa memiliki gejala yang
sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak ada
pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk membantu
keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria diterbitkan
oleh asosiasi reumatik Amerika.. Beberapa pasien yang dicurigai menderita
lupus eritematosus sistemik mungkin tidak pernah memenuhi kriteria yang
cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain mungkin mengumpulkan
kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan atau tahun setelah observasi.
Jika seseorang memenuhi empat atau lebih kriteria berikut, diagnosis lupus
eritematosus sistemik sangat mungkin. Namun demikian, diagnosis lupus
eritematosus sistemik dapat ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu
dimana hanya sedikit kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien
tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang kemudian, tapi pada
kebanyakan kasus tidak demikian (Sjaiffoellah, 1996).
Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada
ginjalnya. Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui
dengan melakukan pemeriksaan adanya protein dan eritrosit (RBC) atau
silinder di dalam air kemih. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti
mungkin perlu dilakukan biopsy ginjal. SLE juga dapat menyerang system
saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkannya meliputi
perubahan tingkah laku (depresi, psikosis), kejang-kejang, gangguan saraf
otak, dan neutropati panifer. Perubahan-perubahan pada system saraf pusat
seringkali diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan seringkali
bersifat fatal. Antibody terhadap untai ganda DNA (dsDNA) dan terhadap
kompleks protein asam ribonukleat (RNA) yang disebut Sm, hanya
ditemukan pada pasien SLE. Gangguan reumatologik lain dapat
menyebabkan antibody antinuclear menjadi positif (ANA), namun anti-

13
dsDNAdan anti-Sm jarang ditemukan kecuali pada SLE (Sylvia & Lorraine,
2005).
Gejala-gejala penyakit lupus dikenal sebagai Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES). Eritomatosus artinya kemerahan, sedangkan sistemik
bermakna menyebar luas keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut LES atau
Lupus. Gejala-gejala yang umum dijumpai adalah:
1. Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta timbulnya gangguan
pencernaan.
2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang
berlebihan, demam dan pegal-pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada
masa aktif, sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang.
3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi,
mirip kupu-kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam merah
menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan
kadang-kadang bersisik. Melihat banyaknya gejala penyakit ini, maka
wanita yang sudah terserang dua atau lebih gejala saja, harus dicurigai
mengidap Lupus.
4. Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang dihancurkan oleh
penyakit lupus ini.
5. Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan (Sjaiffoellah,
1996).
Menurut American College Of Rheumatology 1997, diagnosis SLE
harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan
singkat dari 11 gejala spesifik tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang berhubungan
dengan scalling dan penyumbatan folikel rambut (Discoid Rash).
3. Fotosensitif, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari.
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).

14
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala
ini dijumpai pada 90 % odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi
cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke,
dan lain-lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia.
10. Tes ANA (Antinuclear Antibody), sebagai pertanda aktifnya lupus bila
ditemukan dalam darah pasien.
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh (Sylvia & Lorraine, 2005).
Adapun gejala klinis yang sering muncul antara lain:
1. Kulit : Ruam, sariawan, rambut rontok
2. Persendian : Nyeri, kemerahan, bengkak
3. Ginjal : Kelainan urine, gagal ginjal
4. Membran (selaput organ) : Radang selaput paru (pleurisy), selaput jantung
(pericarditis), selaput dinding perut (peritonitis)
5. Darah : Anemia, Leukopenia, Trombositopenia
6. Paru-paru : Batuk, sesak nafas
7. Sistem Saraf : Kejang, psikosa (Djoerban, 2002).
Adapun gejala non spesifik antara lain:
1. Fatigue/lelah, merupakan gejala yang paling sering muncul.
2. Weight Loss/penurunan berat badan.
3. Weight Gain/penambahan berat badan, dapat disebabkan oleh
pembengkakan pada kedua tungkai atau pembersaran perut akibat organ
ginjal yang terkena.
4. Fever/demam, indikasi saat lupus menjadi aktif.
5. Swollen Glands/pembengkakan kelenjar (Djoerban, 2002).

15
Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus Sistemik)
a. Uji Imunologik
Sel lupus eritematosus (sel LE) adalah leukosit polimorfonuklear yang
telah mengingesti bahan-bahan nukleus yang bergabung dengan antibodi
antinuklear. Uji untuk adanya sel-sel ini dapat digunakan untuk
membuktikan diagnosis SLE. Darah perifer atau sumsum tulang diinkubasi
pada suhu 37 derajat dan kemudian dicari sel LE. Yang lebih sering, dicari
dalam diagnosis SLE antibodi yang melawan protein atau bahan-bahan
nukleus lain. Beberapa antibodi ditemukan dengan fluoresensi, yang lain
ditemukan dengan teknik presipitasi amonium sulfat (Joseph, 1993).
Antibodi antinuklear (ANA) mempunyai kemampuan bergabung
dengan antigen dan mengikat komplemen. Bila penyakitnya sangat aktif,
terutama bila ginjal terlibat, ada pengurangan komplemen dalam sirkulasi
(misalnya C3) yang mempunyai arti penting baik diagnosit maupun
terapeutik karena kadarnya menjadi normal bila terapi berhasil. Uji untuk
ANA sekarang sedang digunakan untuk menyaring SLE. Kadar
komplemen dapat memberi pegangan yang berguna dalam diagnosis
maupun pengelolaan penyakit, terutama dengan keterlibatan ginjal.
Antibodi anti-DNA dan pengikatan DNA merupakan uji tambahan yang
mempunyai spesifitas yang tinggi untuk SLE dan digunakan secara seri
untuk menilai aktivitas penyakit. Di antara antibodi-antibodi ini ada
antibodi terhadap antigen nukleus yang diekstraksi (ENA), seperti antigen
ribonukleoprotein (RNP), antigen Sm, antigen Ro, dan antigen La (Joseph,
1993).

B. Tata Laksana Penyakit Lupus


Penatalaksanaan lupus tidak mudah. Penyakit ini memiliki banyak
manifestasi dan setiap orang memiliki pola tersendiri yang berubah dari
waktu ke waktu, yang terkadang berlangsung cepat. Secara umum, pasien
dengan lupus berat, misalnya lupus ginjal atau sistem saraf pusat (SSP), dan
mereka yang menderita lebih dari satu jenis penyakit autoantibodi

16
cenderung memiliki gejala yang serius dan menetap. Pasien yang memiliki
gejala ringan dapat terus mengalami gejala ringan atau berkembang menjadi
lebih serius. Sehingga penting untuk memperhatikan semua gejala baru
yang timbul sebagai manifestasi dari penyakit tersebut karena
penatalaksanaan lupus sangat berkaitan dengan gejala klinis dan organ
tubuh yang terkena (Michelle, 1998).
Sehingga pada prakteknya, Lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu
ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang
muncul.
1. Lupus Ringan
Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap
cahaya matahari, sariawan di mulut, Raynaud’s syndrome (perubahan
warna pada ujung jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan kelelahan.
Seringkali gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi
paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir surya.
Hidroksikloroquin umumnya digunakan dalam gejala ini. Kelelahan
merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang menjadi alasan
digunakannya steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang tidak
maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga menggunakan dosis
tersebut. Dosis steroid yang tinggi harus dihindari jika resiko efek
samping yang timbul cenderung lebih besar dari manfaatnya. Hal ini
penting untuk dipertimbangkan dalam membuat keputusan pemberian
steroid karena efek samping obat lebih umum terjadi pada orang dengan
lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan sehat
dan olah raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan (Michelle,
1998).
2. Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis
(radang selaput jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti
trombositopenia atau leukopenia. Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya
sudah dibutuhkan, namun dengan penggunaan dosis yang cukup untuk

17
mengendalikan penyakit dan kemudian menguranginya menjadi dosis
pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit untuk menstandarisasi dosis,
namun pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol dengan 20mg
prednisolon per hari, kelainan darah membutuhkan dosis 40mg atau
lebih. Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi
kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan
Methotrexate. Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam
pengobatan trombositopenia, tetapi karena kecendrungan menyebabkan
hipertensi dan merusak fungsi ginjal harus digunakan secara hati-hati.
Obat- obat immunosupresan ini membutuhkan waktu 1-3 bulan sampai
efeknya muncul, sehingga dalam periode tersebut steroid masih
dibutuhkan dalam dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika
pasien sudah dapat distabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid
harus segera diturunkan ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit
(Michelle, 1998).
3. Lupus Berat
Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat
termasuk ke dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap
ini dengan tambahan obat immunosupresan. Prednisolon atau
metilprednisolon intravena mungkin dibutuhkan untuk mengendalikan
penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau mychophenolate dapat
digunakan sebagai imunosupresif dan dapat mengurangi dosis steroid
yang diperlukan. Pengobatan dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu: induksi
awal dimana penyakit aktif dikendalikan, dan fase pemeliharaan agar
penyakit tetap terkontrol. Pengobatan tambahan yang digunakan untuk
lupus berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan
antibodi monoclonal (agen biologi) mengalami penurunaan
penggunaannya dibandingkan waktu yang lalu tapi banyak yang masih
percaya bahwa pengobatan tersebut sangat membantu pada lupus akut,
penyakit berat, dan sebagian lupus yang mengenai otak. Antibodi
monoklonal, terutama rituximab sangat menjanjikan dan cenderung

18
memainkan bagian penting dalam pengelolaan penyakit sedang dan berat
(Michelle, 1998).

Pengobatan Penyakit Lupus


Pengobatan Lupus tergantung dari :
1. Tipe Lupus.
2. Berat ringannya Lupus.
3. Organ tubuh yang terkena.
4. Komplikasi yang ada (Wallace, 2007).
Tujuan pengobatan Lupus adalah :
1. Mengurangi peradangan pada jaringan tubuh yang terkena.
2. Menekan ketidaknormalan sistem kekebalan tubuh.
Pada pengobatan Lupus digunakan dua kategori obat :
1. Kortikosteroid. Golongan ini berfungsi untuk mencegah peradangan
dan merupakan pengatur kekebalan tubuh. Bentuknya bisa salep,
krem, pil atau cairan. Untuk Lupus ringan, digunakan dalam bentuk
tablet dosis rendah. Jika kondisi sudah berat, digunakan kortikosteroid
bentuk tablet atau suntikan dosis tinggi. Bila kondisi teratasi maka
penggunaan dosis diturunkan hingga dosis terendah untuk mencegah
kambuhnya penyakit (Wallace, 2007).
2. Nonkortikosteroid. Kegunaan obat ini adalah untuk mengatasi keluhan
nyeri dan bengkak pada sendi dan otot (Wallace, 2007).
Adapun Obat-obat Lupus secara umum adalah :
1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan
ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering
menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak
fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko
serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu

19
ovulasi dan jika digunakan dalam 6 kehamilan (setelah 20 minggu),
dapat mengganggu fungsi ginjal janin (Djoerban, 2002).

2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama
dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah
untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi
adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama.
Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang
umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan
osteoprotektif seperti pemriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat
osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Steroid juga
dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki
efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada
meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi
meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada
dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis
(nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya
terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau
metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak efek samping,
obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan penting dalam
pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan
dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci
pengobatan yang baik (Djoerban, 2002).
3. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan
dibanding kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini
lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis
harian dan kumulatif. Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut
sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual

20
setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine diajurkan untuk
semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini
memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet
sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap
serta cukup aman pada kehamilan (Djoerban, 2002).
4. Immunosupresan
a. Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan:
mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk
perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh. Mual
adalah efek samping yang umum terjadi, sedangkan leukopenia dan
trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4% kasus. Pemantauan
efek obat bisa menjadi masalah jika odapus sudah memiliki gejala
klinis tersebut. Azathioprine dianggap aman digunakan selama
kehamilan (Djoerban, 2002).
b. Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis
purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium
(indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius,
leukopenia atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih
efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine namun kontra
indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada
wanita usia subur bila disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat
diandalkan. Karena panjangnya waktu paruh, pengobatan harus
dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum konsepsi yang
direncanakan (Djoerban, 2002).
c. Methotrexate
Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi

21
memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk
modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu sekali dan jika
diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada
hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi
risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi,
leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal
kadang-kadang dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama
kehamilan dan harus dihentikan penggunaannya tiga bulan sebelum
konsepsi (Djoerban, 2002).
d. Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan
kreatinin serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi
sehingga pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting.
Obat ini dianggap aman untuk digunakan selama kehamilan dalam
dosis efektif terendah dengan memonitor secara seksama tekanan
darah dan fungsi ginjal (Djoerban, 2002).
e. Cyclophosphamide
Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus
yang mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah
terbukti meningkatkan efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal
dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak
digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan
penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau
sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek
samping utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko
infeksi, kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan
peningkatan risiko keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu
fungsi organ reproduksi baik pada pria maupun wanita. Sehingga
penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan sebelum konsepsi
(Djoerban, 2002).

22
f. Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel
esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering
diberikan kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab
ditemukan penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah
menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini
Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus
(Djoerban, 2002).
Obat-obat yang dapat digunakan sesuai manifestasi penyakit:
1. Ruam kulit
a. Sun block/tabir surya
b. Topikal kortikosteroids
2. Nyeri dan bengkak pada sendi
a. Analgesik sederhana seperti: Parasetamol, NSAID
b. Topikal analgesik
c. Amitriptiline: golongan antidepresan yang diresepkan bersama
analgesik pada pasien sekunder fibromyalgia untuk mengatasi
stress akibat rasa nyeri yang berkepanjangan
3. Mata kering
Tetes air mata buatan untuk mengatasi kekeringan bola mata
4. Sariawan dan kekeringan rongga mulut
a. Salivary substitute : air liur buatan dalam bentuk cair atau
semprot berbahan dasar methylcellulose atau gastric mucin
b. Obat kumur steroid
5. Trombositopeni
Danazol (Danocrine) atau vincristine (Oncovin) adalah terapi
jangka panjang bagi penderita trombositopenia berat.
6. Osteoporosis
a. Vitamin D
b. kalsium
7. Risiko penyakit jantung koroner

23
a. Asam folat
b. Obat penurun kadar lemak darah (Djoerban, 2002).

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh
dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang
terikat pada antigen) di dalam jaringan. SLE atau lupus menyerang perempuan
kira-kira delapan kali lebih sering daripada laki-laki.
Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena
komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur
membran, dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus
eritematosus sistemik. Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam
pemeliharaan self-tolerance bersama aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder
terhadap beberapa faktor antara lain: efek herediter dalam pengaturan proliferasi
sel B, hiperaktivitas sel T helper, dan kerusakan pada fungsi sel T supresor.
Penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik,
hormonal dan lingkungan. Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat
mencetuskan lupus, diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar
matahari.
Dalam upaya melakukan preventif terhadap penyakit lupus perlu
ditingkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun
semua pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Pasien juga harus diberi

24
penyuluhan tentang apa itu lupus, apa bahayanya dan bagaimana gejalanya agar
pasien bisa turut berperan aktif dalam upaya pencegahan penyakit lupus.
Adapun jenis-jenis penyakit lupus antara lain: Lupus Eritematosis Diskoid
(DLE), Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) dan Lupus Eritematosus yang
disebabkan oleh obat.
Diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 gejala spesifik yang ditetapkan
seperti Malar Rash/Butterfly Rash, Discoid Rash, Fotosensitif, Luka di mulut dan
lidah seperti sariawan (oral ulcers), Nyeri pada sendi-sendi, Gejala pada paru-paru
dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan, gangguan pada ginjal.
Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-
lain. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia. Tes ANA (Antinuclear Antibody),
sebagai pertanda aktifnya lupus bila ditemukan dalam darah pasien, dan gangguan
sistem kekebalan tubuh. Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus
Sistemik) dengan Uji Imunologik.
Penatalaksanaan lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan
berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul. Lupus ringan, gejala
tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari
dengan menggunakan tabir surya, dan Hidroksikloroquin. Lupus sedang, terapi
steroid biasanya sudah dibutuhkan, Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai
tambahan steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti:
Azathioprine, dan Methotrexate. Lupus berat, steroid sangat dibutuhkan dalam
tahap ini dengan tambahan obat immunosupresan. Pengobatan tambahan yang
digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma
exchange, dan antibodi monoclonal (agen biologi) terutama rituximab. Pada
pengobatan Lupus digunakan dua kategori obat yaitu Kortikosteroid dan
Nonkortikosteroid.

25
26
DAFTAR PUSTAKA

Aulawi, Dede Farhan 2008, Mengenal Penyakit Lupus, Diakses 2 Mei 2014
(http://www.panduankesehatan.com).
Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM 2002, Systemic Lupus Erythematosus,
Yayasan Lupus Indonesia, Jakarta.
Joseph A. Bellanti, M.D. 1993, Imunologi III, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Michelle Petri, M.D., M.P.H. 1998, Treatment of Systemic Lupus Erythematosus,
Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland.
Robbins, S.L, Cotran R.S & Kumar, V 1999, Dasar Patologi Penyakit, EGC,
Jakarta.
Sjaiffoellah, Noer 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Sylvia, A.P & Lorraine, M.W 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, EGC, Jakarta.
Underwood, J.C.E 1999, Patologi Umum dan Sistematik, EGC, Jakarta.
Wallace, J.D 2007, The Lupus Book: Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus
dan Keluarganya, B first, Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai