Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS (SLE)

Dosen Pengumpu:
Dosen Eirene E.M Gaghauna, S.Kep., Ns., MSN
Disusun oleh:
NAMA NIM
Mela Febrianti 11194561910218
Muhamad Jailani 11194561910219
Muhammad Sulthan Izzuddin 11194561910220
Ni Kadek Ani 11194561910221
Noor Anisa 11194561910222
Nur Hidayah 11194561910223
Nurwidya Novela 11194561910224
Putu Siska Ayu Rusmayanti 11194561910225

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul ‟Asuhan Keperawatan Klien Dengan Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Keperawatan Medikal Bedah II. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Asuhan Keperawatan Klien Dengan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Saya menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, 16 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Tujuan...............................................................................................................2
C. RUMUSAN MASALAH...................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................3
2.1 DEFINISI................................................................................................................3
2.2 ETIOLOGI.............................................................................................................3
2.3 ANATOMI SITEM IMMUNITAS.......................................................................6
2.4 PATOFISIOLOGI.................................................................................................7
2.5 Pathway...................................................................................................................8
2.6 MANIFESTASI KLINIS.......................................................................................9
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG.........................................................................12
2.8 PENATALAKSANAAN MEDIS........................................................................13
2.9 PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN......................................................14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN.........................................................................15
A. PENGKAJIAN...................................................................................................15
B. DIAGNOSA...........................................................................................................16
C. INTERVENSI.......................................................................................................16
D. IMPLEMENTASI..............................................................................................22
E. EVALUASI.........................................................................................................22
BAB IV PENUTUP........................................................................................................23
A. KESIMPULAN...................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “ Anjing hutan,” atau
“Serigala,” merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi
dan hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa
lelah  berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat
bercak-bercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ
tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan
salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang membuat
penampilan seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari
penderita lupus  benar-  benar memiliki ruam “ kupu-kupu,” klasik tersebut.

Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang
diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada
penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru
menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun.
Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya:
kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal,
otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik,” karena
mengenai hampir seluruh  bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit
saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus
kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik
(Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam
tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda
antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda,
misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak  pada kaki dan perut,
anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).

1
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut
hasil  penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja,
di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic
lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering
terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan
kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita
SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan
penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan
dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam
meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik,
kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin
(Hahn, 2005).

B. Tujuan
1. Tujuan Umun
- Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang
penyakit lupus.  
2. Tujuan Khusus :
- Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi atau
jenis-jenis penyakit lupus, patofisiologi dan pathway,
manifestasi klinis (tanda dan gejala), pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan medis dan keperawatan.
- Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien
yang menderita penyakit lupus.
C. RUMUSAN MASALAH  
1. Apa pengertian systemic lupus erithematosus ?
2. Jelaskan etiologi dari penyakit SLE?
3. Jelaskan anatomi sistem imunitas dari penyakit SLE?
4. Jelaskan patofisiologi dari SLE?
5. Jelaskan manifestasi klinis dari SLE?
6. Jelaskan pemeriksaan penunjang dari SLE?
7. Jelaskan penatalaksanaan medis dari SLE?
8. Jelaskan penatalaksanaan keperawatan dari SLE?

2
9. Jelaskan asuhan keperawatan dari SLE?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau
serigala,sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-
merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani
kuno untuk menyatakansuatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang
disebabkan oleh gigitan anjing hutan.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang


ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan.

2.2 ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor
yangpaling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini beberapa
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita
SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5%
anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot,
risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang
memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan
pada populasi umum.

3
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas
II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.
Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita
SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen PresentingCell)


akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapareseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T
akan salah mengenali perintah dari sel T. b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.

c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap
di jaringan.

4
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri


Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.

b. Paparan sinar ultra violet


Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.
Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah.

5
2.3 ANATOMI SITEM IMMUNITAS

6
2.4 PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi

7
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE,
peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor
yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

2.5 Pathway

8
2.6 MANIFESTASI KLINIS

9
Awitan penyakit ini sifatnya membayakan atau akut. SLE bisa saja tidak
terdiagnosis selama beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi eksaserbasi
dan remisi.

A) Gejala klasik

demam, keletihan, penurunan berat badan, dan kemungkinan artritis, pleurisi.

B) Sistem Muskuloskeletal

Artralgia dan artritis (sinovitis) adalah cirti yang paling sering muncul.
Pembekakan sendi nyeri tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang lazim,
disertai dengan kekakuan pada pagi hari.

C) Sistem integumen

Terlihat beberapa jenis SLE yang berbeda (mis., lupus eritematosus kutaneus sub
akut [SCLE], lupus etitematosus diskoid [DLE]). Ruam kupu-kupu pada batang
hidung dan pipi muncul pada lebih dari separuh pasien dan mungkin merupakan
prekusor untuk gangguan yang sistemik. Lesi memburuk selama periode
eksaserbasi (ledakan) dan dapat distimulasi oleh sinar matahari atau sinar
ultraviolet buatan. ulkus oral dapat mengenai mukosa bukal dan palatum.

D) Sistem Pernapasan

Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis,emboli


paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lungsyndrome.
Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik.Biasanya
penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan
ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh
darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan
respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering
apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan
penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis
atau pemberian sitostatika.

E) Sistem Kardiovaskuler

10
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapatberupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis
dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR
yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.Perikarditis harus dicurigai
apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran
silhouette sign pada foto dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis
Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi
mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi
katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinanendokarditis
bakterialis.Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6%
lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun,
risiko ini meningkat sampai 50%.

F) Manifestasi Ginjal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besarterjadi


setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah
10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda
keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal
atau sindroma nefrotik.

G) Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat


merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai
akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol
walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali
gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih

11
banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan
adanya ulkus.Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada
peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan
hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak
dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun
fosfatase alkali dan LDH.

H) Manifestasi Hemopoetik

Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun.

I) Manifestasi Neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaranklinis


yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan
psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan
menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan
hipertensiberat.Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik
dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan
pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas,
depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid.
Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang
spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Elektroensefalografi(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT
scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

12
2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin

3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5) Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)

6) Foto polos thorax

 Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring

 Setiap 3-6 bulan bila stabil

 Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE


adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes
ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada
beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES
misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya
Mixedconnective tissue disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis
autoimun),keganasan atau pada orang normal.Jika hasil tes ANA negatif,
pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit
reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan berubah, mungkin
diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan
menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak
sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-ds DNA

13
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan LES.

2.8 PENATALAKSANAAN MEDIS


1) Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum)
(metilprednisolon 1000 mg/24 jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika
membaik dilakukan tapering off).

2) AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).

3) Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).

4) Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m


luaspermukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

2.9 PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN


Asuhan keperawatan untuk pasien SLE biasannya sama seperti asuhan
keperawatan untuk pasien penyakit reumatik (lihat” penatalaksanaan
keperawatan” pada “Artritis reumatoid”). Diagnosis keperawatan utama berfokus
pada keletihan, membuat integritas kulit gangguan citra tubuh, dan defisiensi
pengetahuan.

 Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan yang terjadi dan
proses penyakit SLE yang tidak terduga; dorong pasien untuk berpatisifasi
dalam kelompok pendukung, yang dapat memberikan informasi mengenai
penyakit, tips penatalaksanaan sehari-hari, dan dukungan sosial.

14
 Ingatkan pasien untuk menghidari paparan sinar matahari dan sinar ultrapiolet
atau untuk melindungi diri mereka dengan tabir surya dan pakaiaan.

 Karena beberapa sistem organ berisiko tinggi terkena penyakit ini, ingatkan
pasien tentang pentingmya menjalani skrinning rutin secara berkala dan juga
aktifitas untuk meningkatkan kesehatan.

 Rujuk pasien untuk menemui ahli diet jika perlu.

 Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan medikasi yang telah


diterapkan, dan memahami perubahan serta kemungkinan efek samping yang
cenderung terjadi akibat penggunaan obat tersebut.

 Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantaaun karena mereka


berisiko tinggi mengalami gangguan sistemik, termasuk pada ginjal dan
kardiovaskuler.

15
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah
lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala
tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau lehe
r.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura.Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa
kaku pada  pagi hari
5. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi
atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan  bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf

16
10. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea
ataupun manifestasi SSP lainnya.

B. DIAGNOSA
1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada
lapisan kulit .
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan hati tidak dapat mensintesa
zat-zat  penting untuk tubuh
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel
4.  Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi.
5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret.

C. INTERVENSI
1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada
lapisan kulit
a. Kaji kulit setiap hari.
b. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati
perubahan.R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada
status dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.   
c. Pertahankan atau instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh
kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan
masase dengan menggunakan lotion atau krim.R/: mempertahankan
kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
d. Gunting kuku secara teratur.R/: kuku yang panjang dan kasar
meningkatkan risiko kerusakan dermal
e. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.R/: dapat mengurangi
kontaminasi  bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.  
f. Kolaborasi di gunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi.
R/: digunakan  pada perawatan lesi kulit.
 

17
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan mual atau muntah.  
a. Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.R/: lesi
mulut,tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia,
penurunan kemampuan pasien mengolah makanan dan mengurangi
keinginan untuk makan.  
b. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan
sekresi. Hindari obat kumur yang mengandung alcohol.R/:
Mengurangi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan
mual/muntah, lesi oral,  pengeringan mukosa dan halitosis. Mulut
yang bersih meningkatkan nafsu makan.
c. Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan batasi
pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki
nilai gizi. R/: lambung yang penuh akan akan mengurangi napsu
makan dan pemasukan makanan.
d. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin.R/: dapat meningkatkan
napsu makan dan perasaan sehat.
e. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan saat
mendekati waktu makan.R/: mengurangi rasa lelah; meningkatkan
ketersediaan energi untuk aktivitas makan.
f. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.R/: mempermudah proses
menelan dan mengurangi resiko aspirasi.
g. Catat pemasukan kalori. R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen
atau alternative metode pemberian makanan
h. Kolaborasi konsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.R/:
Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute
yang tepat.
 
3. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.

INTERVENSI/TINDAKAN RASIONAL
MANDIRI
 Kaji kemampuan pasien  Mempengaruhi pilihan

18
untuk melakukan tugas intervensi/bantuan
/AKS normal, catat laporan
kelelahan , keletihan, dan
kesulitan menyelesaikan
tugas.

 Kaji kehilangan / gangguan  Menunjukkan perubahan


keseimbangan gaya  jalan, neurologi karena defisiensi
kelemahan otot vitamin B mempengaruhi
keamanan pasien/risiko cedera

 Manifestasi kardiopulmonal
 Awasi TD, nadi,
dari upaya  jantung dan paru-
pernafasan, selama dan
paru untuk membawa  jumlah
sesudah aktivitas. Catat respons
oksigen adekuat ke jaringan
terhadap tingkat aktivitas ( mis,
peningkatan denyut jantung/TD,
disritmia, pusing, dispnea,
takipnea, dan sebagainnya)
 Meningkatkan istirahat untuk
 Berikan lingkungan tenang. menurunkan kebutuhan
Pertahankan tirah  baring oksigenn tubuh dan
bila diindikasikan. Pantau menurunkan regangan jantung
dan batasi  pengunjung, dan paru
telepon dan gangguan
berulang tindakan yang tak
direncanakan

 Hipotensi postural atau hipoksia


 Ubah posisi pasien dengan serebral dapat menyebabkan
perlahann atau  pantau pusing, berdenyut , dan
terhadap pusing peningkatan risiko cedera

19
 Mempertahankan tingkat energi dan
 Prioritaskan jadwal asuhan
meningkatkan regangan pada
keperawatan untuk
pasien jantung dan pernapasan.
meningkatkan istirahat.
Pilih periode istirahat
dengan periode aktivitas
 Membantu bila perlu, harga
diri ditingkatkan  bila pasien
 Berikan bantuan dalam
melakukan sesuatu sendiri
aktivitas/ambulasi bila  perlu,
memungkinkan pasien
untuk melakukannya
sebanyak mungkin
 Meningkatkan secara bertahap
tingkat aktivitas sampai normal
 Rencanakan kemajuan
dan memperbaiki tonus
aktivitas dengan pasien,
otot/stamina tanpa kelemahan.
termasuk aktivitas yang
Meningkatkan harga diri dan
pasien pandang perlu.
rasa terkontrol.
Tingkatkan tingkat aktivitas
sesuai toleransi
 Mendorong pasien melakukan
banyak dengan membatasi
 Gunakan teknik
penyimpangan energi dan
penghematan energi, mis.,
mencegah kelemahan.
mandi dengan duduk,
duduk untuk melakukann
tugas-tugas  Regangan /stres kardiopulmonal
berlebihan/stres dapat
 Anjurkan pasien untuk menimbulkan
menghentikan aktivitas  bila dekompensasi/kegagalan.
palpasi, nyeri dada, napas  
pendek, kelemahan, atau
pusing terjadi  

20
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi.
 
a. Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan. R/:
Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat
pilihan  berdasarkan informasi.  
b. Tinjau ulang cara penularan penyakit.R/: mengoreksi mitos dan
kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi
pasien/orang lain. c.
c. Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien. R/:
merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa
sejahtera.
d. Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R/: memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi
kebutuhan  perubahan/individu.
e. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis, rumah sakit/pusat perawatan
tempat tinggal.R/: memudahkan pemindahkan dari lingkungan
perawatan akut; mendukung pemulihan dan kemandirian.
 
5. Tidak efektif pola napas b/d peningkatan produksi secret.
INTERVENSI RASIONAL
 Auskultasi bunyi napas . Catat adanya  Beberapa derajat spasme bronkus
bunyi napas misalnya mengi, terjadi dengan obstruksi jalan
krekels, ronchi. napas dan dapat/tak
dimanifestasikan adanya bunyi
napas adventisius. Misalnya
penyebaran , krekels  basah
(bronkitis); bunyi napas redup
dengan ekspirasi mengi (emfisema);
atau tak adanya  bunyi napas (asma
berat).

 Kaji atau pantau frekuensi  Takipnea biasanya ada pada

21
pernapasan. Catat rasio beberapa derajat dan dapat
inspirasi/ekspirasi. ditemukan pada penerimaan atau
selama stres/adanya proses
infeksi akut. Pernapasan dapat
melambat dan frekuensi ekspirasi
memanjang dibanding ekspirasi.

 Disfungsi pernapasan adalah variabel


yang tergantung pada tahap
 Catat adnya/ ]derajat dispnea. Misalnya proses kronis selain  proses akut
keluhan “lapar udara”, gelisah, yang menimbulkan perawatan di
ansietas, rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi
distres pernapasan, penggunaan alergi.
otot  bantu napas.

 Peninggian kepala tempat tidur


mempermudah fungsi pernapasan
 Memposisikan pasien semi
dengan menggunakan gravitasi.
fowler
Namun pasien dengan distres berat
akan mencari posisi yang paling
mudah untuk bernapas. Sokongan
tangan/kaki dengan meja, bantal
dan lain-lain membantu
menurunkan kelemahan otot dan
dapat sebagai alat ekspansi dada
 Dorong/bantu pasien untuk
melakukan napas abdomen/bibir.

 Memberikan pasien beberapa


cara untuk mengatasi dan mengontrol
dispnea

D. IMPLEMENTASI
Laksanakan rencana tindakan pada renpra diatas. Dahulukan tindakan yang
dianggap  prioritas/masalah utama

22
E. EVALUASI
Evaluasi pelaksanaan yang telah dilakukan kepada pasien

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut :
 

23
1. Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan
kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun,
dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan sehingga kelainan
ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
 
2. Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya
tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman
dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan
menduga penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.
 
3. Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering
dianggap sepele tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar
terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.

DAFTAR PUSTAKA

 
http://evaloy.blogspot.co.id/2013/03/askep-penyakit-lupus-sistem-imun-dan.html
Brunner dan Suddarth.2016.

 Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC Eko,Wisnu. 2010.

24
 Rhematoid  Arthritis.http://wisnuekos.blogspot.co.id/2010/11/rheumatoid
arthritis-ra.html.Diakses tanggal 11 Maret 2017

25

Anda mungkin juga menyukai