Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH GANGGUAN PADA SISTEM IMUNOLOGI ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN SLE

DISUSUN OLEH : KELOMPOK V1


NAMA :
1. Eva Bonita
2. Ni Putu Dewi Arthaning Rahayu
3. Ida Nurwahida
4. Lalu Agung Perwira

Dosen Pembimbing :
Ns. EVA MARVIA.,MM

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES ) MATARAM


2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan
karunia yang diberikan-Nya, saya bisa menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini saya
membahas mengenai “gangguan pada system imunologi asuhan keperawatan pada pasien SLE”

Makalah ini disusun dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai, Bagaimanakah proses
penyakit lupus tersebut dan Bagaimanakah tindakan yang akan dilakukan seorang perawat /
mahasiswa calon perawat, bila menghadapi klien dengan penyakit lupus tersebut.

Saya menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh sebab itu, saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan semoga dengan selesainya makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu baik secara
langsung maupun tidak langsung.
DAFTAR ISI

BAB I..........................................................................................................................................................5

PENDAHULUAN.......................................................................................................................................5

A. Latar Belakang................................................................................................................................5

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................6

C. Tujuan dan Manfaat........................................................................................................................6

BAB II.........................................................................................................................................................8

TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................................................8

A. Konsep Dasar..................................................................................................................................8

BAB III......................................................................................................................................................15

LAPORAN PENDAHULUAN.................................................................................................................15

A. Defenisi Penyakit Lupus...............................................................................................................15

B. Etiologi.........................................................................................................................................15

C. Patofis (Patofisiologis)..................................................................................................................16

D. Manifestasi Klinis.........................................................................................................................17

E. Prognosis......................................................................................................................................18

F. Evaluasi Diagnostik......................................................................................................................18

G. Tinjauan Pengobatan.....................................................................................................................20

H. Penatalaksanaan............................................................................................................................25

BAB IV.....................................................................................................................................................27

ASUHAN KEPERAWATAN...................................................................................................................27

A. Pengkajian....................................................................................................................................27

B. Diagnosa Keperawatan..................................................................................................................28

C. Intervensi (Rencana Tindakan).....................................................................................................29

BAB V.......................................................................................................................................................33
PENUTUP.................................................................................................................................................33

A. Kesimpulan...................................................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................34
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,” atau “Serigala,”
merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan terlihat kemerah-
merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah
dan lengan terlihat bercak-bercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh
organ tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan
salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang membuat penampilan
seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari penderita lupus benar-benar
memiliki ruam “kupu-kupu,” klasik tersebut.

Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan
kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun
menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit
autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya:
kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan
lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik,” karena mengenai hampir seluruh
bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena,
maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus
yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak
organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit.
Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka
gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada
kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).

Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian


Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah
terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh
manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi
yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE
dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian
janin (Hahn, 2005).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah proses penyakit lupus tersebut ?

2. Bagaimanakah tindakan yang akan dilakukan seorang perawat / mahasiswa calon perawat,
bila menghadapi klien dengan penyakit lupus tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Tujuan Penulisan

a) Tujuan Umum :

Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit lupus.

b) Tujuan Khusus :

1) Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis penyakit lupus,


patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda dan gejala), prognosis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan serta komplikasi penyakit lupus.

2) Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien yang menderita
penyakit lupus.

2. Manfaat Penulisan

a) Manfaat Teoritis :

1) Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengetahui tentang
penyakit lupus

2) Sebagai bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas.


b) Manfaat Praktis :

Dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususnya seorang perawat maupun
mahasiswa calon perawat dalam mengkaji laporan pendahuluan (defenisi, etiologi, dan lain-lain)
serta dalam menyusun asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang
sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan
autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering
dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama
proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus melibatkan ginjal,
dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan
cuci darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009)

Penyebab penyakit lupus belum diketahui secara pasti, agaknya disebabkan kombinasi berbagai
faktor seperti genetik, hormon, infeksi, dan lingkungan. Terjadi penyimpangan pada sistem
kekebalan yang pada mulanya sistem kekebalan tidak bisa membedakan teman dan musuh,
kemudian “teman-teman” sendiri (sel-sel tubuh/organ sendiri) dianggap sebagai musuh, sehingga
dibuat zat anti terhadap sel-sel tersebut, kemudian zat anti ini menyerang sel-sel tubuh.organ
sendiri tersebut. Akibatnya serangan ini menimbulkan kerusakan-kerusakan pada organ tersebut.

Ada berita dari Jerman yang menyatakan sekelompok peneliti mencurigai ada suatu enzim dalam
sel yang bertugas menghancurkan DNA dari sel yang sudah mati, tetapi enzim ini tidak bekerja
normal, sehingga DNA tersebut tidak habis, tetapi sisa-sisa hancuran DNA masih ada. Tehadap
sisa-sisa ini kemudian terbetuk zat anti. Dengan cara penyakit ini mengganggu kesehatan, maka
penyakit ini digolongkan dalam penyakit autoimun. Penyakit ini juga menyerang beberapa organ
lain, yaitu organ saluran pencernaan dan bahkan bisa sampai kelainan jiwa (psikosis). Penyakit
ini terdiagnosis saat organ tubuh telah mengalami kerusakan parah.

Gejala penyakit lupus sistemik amat beragam. Demam merupakan gejala yang sering timbul.
Disamping itu mungkin juga terdapat nyeri sendi, kelainan pada kulit, anemia, gangguan fungsi
ginjal, nyeri kepala sampai kejang. Pada jantung atau paru, bisa terdapat cairan sehingga timbul
sesak napas. Gejala ini tidak semuanya timbul pada seorang penderita lupus. Penderita lupus
mungkin hanya mengalami beberapa gejala saja.
Gejala lainnya adalah perempuan merasa lebih gampang lelah, rambut rontok, sering demam,
sering sariawan, kencing mengandung protein, serta mengalami fotosensitif. Ini dikemukakan
oleh Prof. Handono Kalim selaku Ketua Indonesian Rheumatology Association (IRA) (Antar
News, 2012).

Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi Dhuha), Lupus adalah
sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus.

Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan menderita penyakit Lupus Erythematosus
saat tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri.

Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika
penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu imunologi
atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus,
tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu
banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh
sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut sebagai autoimmune disease (penyakit dengan
kekebalan tubuh berlebihan).

Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis (kelompok), yaitu :

1. Penyakit Lupus Diskoid

Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus yang terbatas pada
kulit. Klien dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit yang terbatas pada kulit, ditandai
dengan ruam yang muncul pada wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ
internal.

Penyakit ini biasanya lebih ringan biasanya sekitar 10%-15% yang berkembang menjadi lupus
sistemik.

2. Penyakit Lupus Sistemik

Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berevolusi dan berkembang menjadi lupus
sistemik yang memengaruhi organ internal tubuh seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan
jantung. Lupus jenis ini sering ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan
periode remisi (ketika penyakit ini tidak aktif). Tidak ada cara untuk memperkirakan berapa lama
suar akan berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien lupus sembuh dan tidak pernah
mengalami suar lain, tetapi pada beberapa pasien lain suar datang dan pergi berulang kali selama
bertahun-tahun.

3. Drug Induced Lupus (DIL)

DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini disebabkan oleh
reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala sangat mirip lupus sistemik. Obat
yang paling sering menimbulkan reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia
jantung procainamide, obat TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat
lain. Gejala penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.

Ada juga “Lupus neonatal” yang jarang terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi yang belum lahir
dan bayi baru lahir dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi lain pada hati dan darahnya karena
serangan antibodi dari ibunya. Ruam yang muncul akan memudar dalam enam bulan pertama
kehidupan anak.

Penyakit lupus ini bermacam-macam. Jika menyerang kulit, kulit kepala akan ngelotok sehingga
rambutpun akan rontok. Jika menyerang tulang, seluruhnya sakit, berbaring posisi apa pun sakit.
Biasanya untuk menghilangkan sakit menggunakan morfin, tapi jika menggunakan morfin
efeknya tidak baik, jadi sering kali penderita berteriak kesakitan, mengerikan memang. Jika
menyerang darah, darahnya akan mengental dan tidak mencapai otak, stroke dan koma. Lupus
itu mirip AIDS bahkan mungkin lebih parah, daya tahan tubuh penderita menurun drastis,
sehingga penyakit-penyakit mudah menyerang tubuh penderita.

Penyakit lupus ini dapat menyerang siapa saja dan para peneliti masih menindak lanjuti
penyebab penyakit ini. Penyakit lupus justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai
usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Menurut perkiraan para ilmuwan
bahwa hormon wanita (hormon estrogen) mungkin ada hubungannya dengan penyebab penyakit
lupus karena dari fakta yang ada diketahui bahwa 9 dari 10 orang penderita penyakit lupus
adalah wanita. Yang memicu penyakit lupus adalah lingkungan, stress, obat-obatan tertentu,
infeksi, dan paparan sinar matahari.
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita penyakit lupus, sering diduga berkaitan dengan
kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi meninggal
saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala penyakit
lupus. Sering dijumpai gejala penyakit lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan.

Kebanyakan kasus memiliki latar belakang dari riwayat keluarga yang pernah terkena
sebelumnya, namun dalam beberapa kasus tidak ada penyebab yang jelas untuk penyakit ini.
Penyakit lupus telah banyak diteliti dan telah dikaitkan dengan gangguan lain, tetapi hanya
dalam teori, tidak ada yang jelas dinyatakan sebagai fakta.

Sampai saat ini, Lupus masih merupakan penyakit misterius di kalangan medis. Kecuali lupus
yang disebabkan reaksi obat, penyebab pasti penyakit ini tidak diketahui. Perdebatan bahkan
masih berlangsung mengenai apakah lupus adalah satu penyakit atau kombinasi dari beberapa
penyakit yang berhubungan. Sekitar 90% penderita lupus adalah perempuan, yang
mengindikasikan bahwa penyakit ini mungkin terkait hormon-hormon perempuan. Menstruasi,
menopause dan melahirkan dapat memicu timbulnya lupus. Sekitar 80% pasien lupus menderita
penyakit ini di usia antara 15 sampai dengan 45 tahun atau 50 tahun.

Biasanya odipus (orang hidup dengan lupus) akan menghindari hal-hal yang dapat membuat
penyakitnya kambuh dengan :

1. Menghindari stress

2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari

3. mengurangi beban kerja yang berlebihan

4. menghindari pemakaian obat tertentu. ( sumber wikipedia indonesia)

Saat ini tidak ada tes tunggal yang dapat memastikan apakah seseorang terkena penyakit lupus.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan komprehensif yang mempertimbangkan semua
gejala dan riwayat penyakit.

Pada tahun 1982 American College of Rheumatology atau American Rheumatism Association
(ARA) menetapkan “Sebelas Kriteria Lupus” untuk membantu dokter mendiagnosis lupus dan
yang diperbaharui tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE
dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11
kriteria yaitu :

1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau
efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan

2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat
memicu ANAsebelumnya

3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau
berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)

4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan
pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit

5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit

6. Salah satu Kelainan darah :

a) anemia hemolitik,

b) Leukosit < 4000/mm³,

c) Limfosit<1500/mm³, dan

d) Trombosit <100.000/mm³

7. Salah satu Kelainan Ginjal :

a) Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

b) Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah
merah/putih maupun sel tubulus ginjal

8. Salah satu Serositis :

a) Pleuritis,
b) Perikarditis

9. Salah satu kelainan Neurologis :

a) Konvulsi / kejang,

b) Psikosis

10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan

11. Salah satu Kelainan Imunologi :

a) Sel LE+

b) Anti dsDNA diatas titer normal

c) Anti Sm (Smith) diatas titer normal

d) Tes serologi sifilis positif palsu

B. Pengobatan Tradisional Penyakit Lupus Menggunakan Obat Herbal

Jika sudah terkena Lupus harus segera mendapat penanganan yang serius. Didalam makalah ini
tim penulis juga akan memberikan beberapa saran pengobatan penyakit lupus secara herbal alami
dengan kombinasi produk herbal dari PT UFO BKB Syariah yaitu :

1. XAMthone Plus

2. Madu Cerna

3. Teh Murbei

4. Kapsul MGL Super

Madu Cerna fungsinya menyembuhkan sistim saluran pencernaan yang sudah diserang sehingga
nanti bisa menyerap zat dari XAMthone Plus, Teh Murbei dan Kapsul MGL untuk menormalkan
sistim kekebalan tubuh yang berlebihan tersebut.

Secara spesifik Teh Murbei dan Kapsul MGL Super akan memperbaiki kinerja ginjal yang sudah
rusak yang menyebabkan persendian sakit bahkan tidak bisa digerakkan atau lumpuh. Perlu
diketahui ginjal adalah benteng pertahanan pertama dari tubuh kita karena semua zat-zat yang
masuk ke dalam tubuh akan di saring di ginjal. Sedangkan XAMthone Plus akan memperbaiki
sistem-sistem secara keseluruhan.
BAB III

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Defenisi Penyakit Lupus


Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya tubuh pasien
lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ tubuh sendiri, seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan organ lain. Antibodi seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.

Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ tubuh
yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal dengan
autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang rasanya
terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang
persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).

SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.

SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau imflamasi multisystem
yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun (Albar, 2003).

B. Etiologi
Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal
belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-
obatan tertentu memainkan peranan.

Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita.
Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau
bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini
masih dalam kajian.
C. Patofis (Patofisiologis)
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor
pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan
tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T
terhadap sel-antigen.

Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel
B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet
dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada
nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan
diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks
protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah
bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi
ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik,
ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa
penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks
imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun

Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya


deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap
pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada
organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi
yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

D. Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan
antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang
akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita.
Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.

Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa
kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di
kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

1. Sistem Muskuloskeletal

1) Artralgia

2) artritis (sinovitis)

3) pembengkakan sendi,

4) nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan

5) rasa kaku pada pagi hari.

2. Sistem Integument (Kulit)

a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi, dan

b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

3. Sistem kardiak

a) Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.


4. Sistem pernafasan

a) Pleuritis atau efusi pleura.

5. Sistem vaskuler

a) Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,

b) eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

6. Sistem perkemihan

a) Glomerulus renal yang biasanya terkena.

7. Sistem saraf

a) Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

E. Prognosis
Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat bervariasi. Penyakit ini
cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali dengan periode bebas gejala yang dapat
berakhir dalam hitungan tahun. Flare jarang terjadi setelah menopous. Prognosis penyakit ini
semakin membaik dengan bermakna dalam dua dekade terakhir ini. Biasanya, jika inflamasi
awal dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik.

Jika gejala lupus adalah disebabkan oleh penggunaan suatu obat, penghentian obatakan
menyembuhkan lupus, walaupun penyembuhan dapat memakan waktu berbulan-bulan.

F. Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:

1. Pemeriksaan Laboratorium

a) Tes Anti ds-DNA

ü Batas normal : 70 – 200 IU/mL


ü Negatif : < 70 IU/mL

ü Positif : > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita
dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar
rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun
dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari
antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang
menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk
SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit
autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam
perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).

b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)

ü Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok
antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk
mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak
spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah
ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah
pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif
maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien
tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring
terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan,
Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-
Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC),
urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

3. Pemeriksaan Penunjang

a) Ruam kulit atau lesi yang khas.

b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau
jantung.

d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.

e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.

f) Biopsi ginjal.

g) Pemeriksaan saraf.

G. Tinjauan Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya
inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan
pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan
edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan.
Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang
dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.

Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000),
sebagai berikut :

1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan
antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya
menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor
lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita
SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung
vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-
4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999).
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat
disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan
beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).

2. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi.
Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita
SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

3. NSAID

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang
lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal,
2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.
Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang
berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi
lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung,
sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping
penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan
alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti
inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga
50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang
timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1
sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif
dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2
minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah
meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi
NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria
tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).

4. Antimalaria

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau
serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi
dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim
lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi
prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor
necrosing factor α (TNF- α).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien
mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon
yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE
teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan
obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3
tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).

5. Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa
pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih
menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid
mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang
mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator
inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga
mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek
imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi
sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi
kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan
memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung,
2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator,
menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki
manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi
selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan
menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering
digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30
menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.

Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang
berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal
(serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10
minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum
menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis,
abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19
hari.

Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih
pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah
tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan
penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka
dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu
berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk
menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering
dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya
berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas
atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID
atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran
(contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena
penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi
sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama
penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE.
Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat
menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin
sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien
SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D
(Rahman, 2001).

6. Siklofosfamid

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan
pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi
dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B,
sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan
penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi.
Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya
neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC,
hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian,
rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.

Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan
kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang
dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter
menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis
steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia.
Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik.
Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif
dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).

7. Terapi hormone

Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih
fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun,
mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE
mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit
yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and
Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6,
dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T
pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis
Advisory Comittee, 2001).

8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus

Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh
mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella,
dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian
antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5–7 hari.
Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan
kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan
karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and
Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B,
flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).

H. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon
1000 mg per 24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukan
tapering off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).

3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).

4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas
permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.
BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

2. Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3. Kardiovaskuler

a) Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.

b) Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tanga.

4. Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

5. Sistem integumen

a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi.

b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

6. Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di
ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.

8. Sistem Renal

Edema dan hematuria.

9. Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP
lainnya.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Uraian Masalah Keperawatan

a) Nyeri

b) Kerusakan intergritas kulit

c) Isolasi sosial

d) Kerusakan mobilitas fisik

e) Keletihan/kelelahan

f) Perubahan Nutrisi

g) Kurang Pengetahuan

Sumber diagnose diatas di ambil dari beberapa sumber buku dan dipadu dalam buku ini.

Yang akan tim penulis ambil didalam makalah ini adalah sebagai berikut :

2. Diagnosa Keperawatan

a) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.


c) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

C. Intervensi (Rencana Tindakan)


1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a) Tujuan :

1) Gangguan nyeri dapat teratasi

2) Perbaikan dalam tingkat kenyamanan

b) Kriteria Hasil :

1) Skala Nyeri : 1-10

c) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)

ü Mandiri :

1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala nyeri 1-
10).

R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan
tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.

2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada
udara terbuka.

R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung
saraf.

3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh


hangat.

R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk
mencegah menggigil.
4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada
hidroterapi.

R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan
debridemen.

5) I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.

R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme


koping.

6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam,
bimbingan imajinasi dan visualisasi.

R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control,


yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.

7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.

R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.

ü Kolaborasi

8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi.

R : membantu mengurangi nyeri.

2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a) Tujuan :

1) Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit

b) Kriteria Hasil :

1) Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.

c) Rencana Tindakan dan Rasional


ü Mandiri

1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan
amati perubahan.

R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan melakukan
intervensi yang tepat.

2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian


mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau
krim.

R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.

3) I : Gunting kuku secara teratur.

R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.

4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis,
duoderm, sesuai petunjuk.

R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.

ü Kombinasi :

5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi

R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a) Tujuan :

1) Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga
klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).

b) Kriteria Hasil :
1) Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi yang
diberikan

c) Rencana Tindakan dan Rasional

1) I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.

R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan


informasi.

2) I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.

R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi


pasien/orang lain.

3) I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.

R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.

4) I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi

R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan


perubahan/individu.

5) I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit sebelumnya/pusat


perawatan tempat tinggal.

R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan dan


kemandirian.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara
berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.

2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi
diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar
ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada
kaitannya dengan hormon estrogen.

3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi justru
perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.

B. Saran

Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran :

1) Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat ditangani dengan baik
sejak awal untuk mempercepat proses penyembuhan dan atau merawat penyakit ini
untuk menghindari penyebarannya keseluruh organ tubuh.

2) Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan penyakit ini.

3) Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA

 Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku Kedokteran

 Djaunzi, Samsuridjal. an. Raih Kembali Kesehatan : Mencegah Berbagai Penyakit Hidup
Sehat untuk Keluarga. Jakarta : Kompas

 Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

 Gibson J.M, MD. 1996. Mikrologi dan Patologi Modern untuk Perawat. Buku
Kedokteran

 Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara
Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

 Robins. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi (edisi 4). Buku Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai