Anda di halaman 1dari 17

OBSTETRIK

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

DOSEN PENGAMPU :
dr.Ratih Pratiwi,SpOG

DISUSUN OLEH :
Kelompok X
1. HARIANI SUSILA DEWI (PO7124121002)

2. AULIA KHARISMA (PO7124121018)

3. INDAH HARIANI (PO7124121039)

4. INTAN TIANA (PO7124121047)

5. EVI DAMAYANTI (PO7124121052)


TINGKAT : II REGULAR A

PRODI D-III KEBIDANAN PALEMBANG


POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan karunia- Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Obstetri dengan pembahasan LSE (Lufus
Eritematosus Sistemik).
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak dan dengan tulus memberikan, saran, dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan
segala bentuk saran serta masukkan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan
dunia pendidikan.

Palembang, 5 Oktober 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................................4

1.1 Latar Belakang...........................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................5
1.3 Tujuan Pembahasan...................................................................................................5

BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................................6

2.1 Pengertian SLE.........................................................................................................6


2.2 Etiologi SLE.............................................................................................................7
2.3 Fatofisiologi SLE.....................................................................................................10

2.4 Diagnosis SLE..........................................................................................................12


2.5 pengaruh SLE terhadap kehamilan persalinan, janin dan ibu hamil........................14

BAB 3 PENUTUP..................................................................................................................16

5.1 Kesimpulan................................................................................................................16
5.2 Saran..........................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................17

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lupus Eritematosus Sistemik Atau Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan


Penyakit autoimun multisistem yang berat.Pada keadaan ini tubuh membentuk berbagai Jenis
antibodi, termasuk antibody terhadap Antigen nuklear (ANAs) sehingga menyebabkan Kerusakan
berbagai organ. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode remisi dan episode Serangan akut
dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ Yang terlibat. SLE
terutama menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik,Hormonal serta
lingkungan berperan dalam Proses patofisiologi.

Lupus merupakan penyakit autoimun Yang banyak menyerang wanita dengan usia Antara
15–45 tahun. Perbandingan risiko antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Hal ini Berhubungan
dengan hormon yang terdapat pada wanita yakni hormon estrogen.etnik juga menjadi salah satu
faktor risiko terkena lupus.mereka yang memiliki kulit gelap seperti penduduk asia, penduduk
asli amerika dan hispanik memiliki risiko lebih besar terserang lupus dibandingkan mereka yang
berkulit Putih.3 Survival rate SLE berkisar antara 70-85% dalam 5-10 tahun pertama dan 53-64%
setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3-5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum.4 SLE memberi pengaruh terhadap kehamilan diantaranya dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas fetus, kelahiran preterm, Intrauterine Growth restriction
(IUGR).

4
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Systemik Lupus Erythematosus (SLE)?

2. Bagaimana Etiologi Systemik Lupus Erythematosus (SLE)?

3. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Lupus Erythematosus (SLE)?


4. Bagaimana cara diagnosa dari Lupus Erythematosus (SLE)?
5. Apa pengaruh Lupus Erythematosus (SLE) pada kehamilan, persalinan, janin dan
ibu hamil?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa pengertian dari Systemik Lupus Erythematosus (SLE)

2. Untuk mengetahui Etiologi Systemik Lupus Erythematosus (SLE)

3. Untuk mengetahui Systemik Lupus Erythematosus

4. Untuk mengetahui cara mendiagnosa Lupus Erythematosus (SLE)

5. Untuk mengetahui pengaruh Lupus Erythematosus (SLE) pada kehamilan,


persalinan, janin dan ibu hamil

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Systemik Lupus Erythematosus


Systemik Lupus Erythematosus (SLE) juga disebut dengan Lupus Eritematosus Sistemik
merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan system imun yang menyebabkan
peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak
dapat membedakan antara Jaringan tubuh sendiri dan organisme asing misalnya, bakteri dan virus
karena Autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam
jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi Yang terikat pada antigen di
dalam jaringan (Albas, 2012).menurut Laeli (2016) Lupus merupakan penyakit autoimun yang
bukan disebabkan oleh virus, kuman atau bakteri. Faktor hormon, lingkungan dan genetik adalah
sebagai pemicu penyakit lupus. Keterbatasan fisik yang mudah lelah, sensitif terhadap perubahan
suhu, kekauan sendi, nyeri tulang belakang dan pembuluh darah yang mudah pecah sering
dialami oleh penderita lupus.penderita lupus dapat mengalami rasa letih yang berlebihan,
penampilan fisik Yang berubah karena efek dan pengobatan yang bisa menyebabkan
kebotakan,muncul ruam pada wajah dan pembengkakan pada kaki.

A. Pengertian Lupus Eritematosus pada kehamilan

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun multisistem yang parah. Dalam
keadaan ini tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibodi terhadap antigen
nuklir (ANAs), menyebabkan kerusakan pada berbagai organ. Penyakit ini ditandai dengan
periode remisi dan episode serangan akut dengan berbagai gambaran klinis yang berhubungan
dengan berbagai organ yang terlibat. SLE terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan rasio 5:1 wanita dan pria.
Kehamilan dengan SLE dapat menyebabkan komplikasi baik pada ibu maupun pada janin yang
pengobatannya kurang baik. Komplikasi paling umum pada kehamilan dengan SLE yang
biasanya terjadi pada ibu adalah lupus flare, penurunan fungsi ginjal yang memburuk, gejala
hipertensi yang memburuk, meningkatkan risiko preeklampsis, dan komplikasi janin yang
biasanya menyebabkan keguguran, kelahiran prematur, dan sindrom lupus neonatal. Pada
kehamilan dengan SLE harus diperhatikan mulai dari perencanaan kehamilan, evaluasi

6
prakonsepsi, konseling kehamilan, dan manajemen antenatal. Kasus dalam jurnal ini seorang
wanita, usia 36 tahun, usia kehamilan 37 minggu tidak bersalin dengan penyakit SLE, presentasi
kepala dan oligohidramnion, datang ke RSUD Abdul Muluk melalui rujukan dari poli
kebidanan untuk operasi sectio caesarea. SLE bukan indikasi untuk operasi sectio caesarea.

B. Sistem Lupus Eritematosus Pada Kehamilan

Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit
autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini tubuh membentuk berbagai jenis antibodi,
termasuk antibody terhadap antigen nuklear (ANAS) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai
organ. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan
gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE terutama
menyerang wanita usia reproduksi dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa
reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5: 1. Kehamilan dengan SLE dapat menyebabkan
komplikasi baik pada ibu maupun pada janin apabila penanganannya tidak baik. Komplikasi yang
sering terjadi pada kehamilan dengan SLE biasanya terjadi pada ibu adalah lupus flares,
memperparah penurunan fungsi ginjal, memperburuk dari gejala hipertensi, meningkatkan resiko
preeklampsi, dan komplikasi pada janin biasanya menyebabkan keguguran, kelahiran preterm,
dan sindrom lupus neonatal. Pada kehamilan dengan SLE harus diperhatikan mulai dari
perencanaan kehamilan. Evaluasi pre-konsepsi, konseling saat kehamilan, dan managemen
antenatal. Kasus pada jurnal ini adalah pasien wanita, usia 36 tahun, hamil 37 minggu belum
inpartu dengan penyakit SLE. Presentasi kepala dan oligohidramnion, datang ke RSUD Abdul
Muluk melalui rujukan dari poliklinik kebidanan untuk dilakukan operasi sectio caesar. SLE
bukan merupakan indikasi untuk dilakukannya tindakan operasi sectio

2.2 Etiologi Systemik Lupus Erythematosus

Etiologi lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE) disebabkan
karena interaksi berbagai faktor yaitu kerentanan genetik, faktor lingkungan, dan hormonal.
Selain itu beberapa kondisi lain juga dapat menjadi faktor yang memicu timbulnya gejala.

a. Faktor Genetik

Terdapat lebih dari 100 lokus gen yang berhubungan dengan kerentanan seseorang
mengalami SLE. Beberapa diantaranya seperti defisiensi gen tunggal yang mengkode komplemen
C2,C4,C1q. Kekurangan C4 menyebabkan berkurangnya eliminiasi sel B self-reactive, sedangkan

7
kekurangan C1q menyebabkan gangguan pembersihan debris selular pasca apoptosis.
Polimorfisme nukleotida tunggal juga menjadi faktor yang dapat memicu terjadinya SLE seperti
yang ditemukan pada gen STAT4, PTPN22, CD3, PP2Ac, TNIP1, PRDM1, JAZF1, UHRF1BP1,
dan IL10. Selain itu kelainan jumlah gen C4, FCGR3B dan TLR7 berhubungan dengan ekspresi
penyakit.[4-7]

Mutasi pada major histocompatibility complex (MHC) 8.1 haplotype termasuk alel HLA-
B8, HLA-DR3 dan C4B yang mengatur diferensiasi sel B untuk memproduksi antibodi anti-
dsDNA pada tahap awal aktivasi sistem imun juga ditemukan pada pasien dengan SLE. Selain itu
kondisi ini juga dapat berhubungan dengan mutasi pada gen pengkode nuklease seperti TREX1,
polimorfisme nukleotida yang mengkode protein yang memproduksi interferon tipe I, serta
mutasi lain yang menyebabkan gangguan dalam pembentukan sitokin pengatur sinyal aktivasi
reseptor antigen di permukaan sel T dan sel B. Tiap perubahan genetik memiliki kontribusi dan
memberikan efek kumulatif terhadap timbulnya SLE.[4-7,9]

b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berperan dalam SLE di antaranya adalah infeksi virus, beberapa
obat-obatan, paparan sinar UV, dan merokok.

c. Infeksi Virus
Infeksi virus terutama Epstein-Barr Virus (EBV) dapat memicu timbulnya gejala SLE.
Pada penderita SLE, respon sel T terhadap infeksi EBV tidak normal dan menyebabkan
peningkatan sel mononuklear yang terinfeksi sekaligus meningkatkan jumlah DNA EBV dalam
darah pasien SLE. Kondisi ini menyebabkan aktivasi sistem imun didapat dan diferensiasi sel B
serta produksi autoantibodi yang spesifik terhadap sekuens asam amino yang dimiliki oleh
protein sel tubuh dan protein yang dihasilkan oleh EBV. EBV juga mengkode RNA yang
menginduksi aktivasi sistem imun melalui ekspresi IFN tipe I. Antibodi spesifik terhadap antigen
nukleus EBV1 (EBNA1) juga dapat bereaksi silang dengan DNA karena kesamaan konformasi
epitope sehingga infeksi EBV juga dapat memicu respon autoimun.
d. Paparan Sinar UV

Paparan sinar UV memicu terjadinya kerusakan DNA sehingga mengubah ekspresi gen,
menyebabkan fragmentasi asam nukleat serta memicu apoptosis atau kematian sel.

8
e. Obat-Obatan

Beberapa jenis obat menyebabkan metilasi DNA seperti hidralazin. Hidralazin


menghambat jalur sinyal yang menyebabkan penurunan ekspresi DNA metiltransferase yang
memediasi metilasi DNA. Terganggunya proses metilasi DNA menyebabkan gangguan ekspresi
gen dan memediasi aktivasi sistem imun.

f. Merokok dan Menghirup Silika

Merokok dan menghirup silika memicu respon inflamasi di sel epitel dan mononuklear di
paru. Kondisi ini menyebabkan modifikasi protein atau memicu proses inflamasi nonspesifik.
g. Hormon dan Jenis Kelamin

Wanita usia reproduksi memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami SLE.
Beberapa faktor yang mendasari hal ini yaitu hormon estrogen yang terdapat pada perempuan
dapat memodulasi aktivasi limfosit. Selain itu pada penderita SLE terdapat peningkatan kadar
serum prolaktin dibandingkan dengan kontrol, kemungkinan timbulnya gejala SLE dipengaruhi
oleh kadar prolaktin namun mekanismenya belum dapat dijelaskan secara pasti.
h. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko lain yang dapat memicu timbulnya gejala SLE yaitu:
1. Bayi lahir prematur (≥ 1 bulan lebih cepat
2. Bayi dengan berat lahir rendah (<2.500 g)
3. Anak yang terkena paparan pestisida Kehamilan

Defisiensi vitamin D Menurut (Hikmah & Rendi, 2018) penyebab lupus dibagi menjadi 2
faktor,Antara lain:
a) Faktor Genetik

Jumlah, usia, dan usia anggota keluarga yang menderita penyakit autoimun menentukan
frekuensi autoimun pada keluarga tersebut. Pengarah wayat keluarga terhadap terjadinya S1.E
pada individu tergolong rendah, yaitu 5-18% Faktor genetik dapat mempengaruhi keparahan
penyakit dan hubungan familial ini ditemukan lebih besar pada kelaunga dengan kondisi sosial
ekonomi yang Tinggi.

9
b) Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu torjadinya SLE antara lain: 1) Hormon,
Hormon estrogen dapat merangsang sistent imun tubuh dan SLE sering terjadi pada perempuan
dan terjadi pasa usa repordaktif dimana terdapat kadar estrogen yang tinggi 2 Obat-obatan,
beberapa obat dapat menyebabkan terjadinya gangguan estem imun melalui mekanisme
molecular mimicry, yaitu molekul obat memiliki struktur yang sama dengan molekul di dalam
tubuh sehingga menyebabkangangguan toleransi imun. 3) Infeksi, infeksi dapat memicu respon
iman dan pelepasan sel yang rusak akibur infeksi dan dapat meningkatkan respon imun sehingga
menyebabkan penyakit autoimun 4) Paparan sinar ultraviolet, adanya paparan sinar ultraviolet
dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel kulit dan berkaitan dengan Fotosensitivitan pada
SLE.

2.3 Patofisiologi Lufus Eritematosus Sistemik

Autoimunitas adalah suatu proses kompleks dimana system imun pasien menyerang selnya
sendiri. Pada LES, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha
mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B untuk
menghasilkan antibodi,suatu molekul yang dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika
antiboditersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi Sel B. menghasilkan
sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6,memegang peranan penting
dalam LES yaitu dengan mengatur sekresiautoantibodi oleh sel B.

Pada sebagian besar pasien LES antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi spesifik
yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat duatipe ANA, yaitu anti-doule
stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting pada proses autoimun dan anti-
Sm antibodies  yang hanya spesifikuntuk pasien LES. Dengan antigen yang spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada
LES terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan

uptake  kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuk nya deposit kompleks


imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam
organ dan menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya
menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan

1
0
keluhan pada organ yang bersangkutan.

Sekitar setengah dari pasien LES memiliki antibodi anti fosfolipid. Antibodi ini menyerang
fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel Anti fosfolipid meningkatkan resiko
menggumpalnya darah.

Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibody antikardiolipin (ACAs).
Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri sendiri-sendiri atau pun
kombinasi.Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal,namun mereka juga dihubungkan
dengan sindrom antibody anti fosfolipid, dengangambaran berupa trombosisarteri dan/atau vena
berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua
kehamilan.Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan Lupus eritematosus
sistemik atau gangguan autoimun lainnya.

Pada penyakit lupus gejala yang timbul disebabkan karena adanya reaksi hipersensitivitas
tipe II dan reaksi hipersensitivitas tipe III.

Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik,terjadi karena
dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel target.
Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari
membran sel. Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan
efek toksik.Antibodi dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NKyang
dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melaluiADCC. Reaksi Tipe II
dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik. Antibodispesifik terhadap antigen sel dan
jaringan dapat berdeposit di jaringan danmenyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal,
atau mengganggu fungsisel normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi
denganmemanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3terikat
pada reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan
inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemenmelalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-
zat yang dihasilkan komplemenyang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika
leukosit teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti
intermedietreaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan disekitarnya. Jikaantibodi
terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dandapat dicerna dan
dihancurkan oleh fagosit penjamu.

1
1
Reaksi hipersensitifitas tipe III terjadi karena adanya reaksi antara antigendan antibodi yang
mengendap dalam jaringan yang dapat berkembang menjadi kerusakan pada jaringan tersebut.
Potensi patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besarakan
mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah olehsistem fagosit
mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada pembuluh
darah. Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga
mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon peradangan
setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat. 

Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya netrofil, masuk


ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut

2.4 Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik

Lupus sulit untuk didiagnosis karena gejalanya beragam dan bisa berbeda-beda pada tiap
penderita. Untuk mendiagnosis lupus, dokter akan menanyakan gejala yang dialami pasien, serta
riwayat kesehatan pasien dan keluarganya.Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik
menyeluruh, termasuk memeriksa ada tidaknya ruam dan peradangan sendi yang sering muncul
pada penderita lupus.
Diagnosis Lupus ada beberapa jenis pemeriksaan yang biasanya dianjurkan jika dokter
mencurigai seseorang menderita LES

a. Penghitungan sel darah lengkap (complete blood count). Penderita lupus dapat
mengalami anemia sehingga dapat diketahui melalui pemeriksaan sel darah lengkap.
Selain terjadinya anemia, penderita lupus juga dapat mengalami kekurangan sel darah
putih atau trombosit.

b. Analisis urine. Urine pada penderita lupus dapat mengalami kenaikan kandungan
protein dan sel darah merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus menyerang ke
ginjal.

c. Pemeriksaan ANA (antinuclear antibody). Pemeriksaan ini digunakan untuk


memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam darah dimana kebanyakan
pengidap SLE memilikinya. Sekitar 98% penderita lupus memiliki hasil positif jika
dilakukan tes ANA sehingga ini merupakan metode yang paling sensitif dalam

1
2
memastikan diagnosis.

d. Pemeriksaan imunologi. Di antaranya adalah anti-dsDNA antibody, anti-Sm antibody,


antiphospholipid antibody, syphilis, lupus anticoagulant, dan Coombs’ test.
Pemeriksaan imunologi tersebut merupakan salah satu kriteria dalam penentuan
diagnosis SLE.

e. Tes komplemen C3 dan C4. Komplemen adalah senyawa dalam darah yang
membentuk sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah akan
menurun seiring aktifnya SLE.

1
3
2.5 Pengaruh Lupus Erythematosus (SLE) pada kehamilan, persalinan, janin dan ibu hamil

` Pengaruh lupus terhadap kehamilan bisa menyebabkan sejumlah peningkatan risiko


kehamilan diantaranya antara lain :

a) Preeklamsia

Ibu hamil dengan lupus memiliki risiko lebih tinggi terkena preeklamsia. Ini terjadi
pada mereka yang juga memiliki penyakit ginjal, diabetes atau antibodi antifosfolipid.

b) Sindrom HELPP

HELLP merupakan singkatan dari hemolisis, peningkatan enzim hati dan trombosit
rendah. Ini termasuk gangguan kesehatan hati dan pembekuan darah yang jarang, namun
serius yang terjadi biasanya bersamaan dengan preeklamsia dan hampir selalu pada
trimester ketiga.

c) Pembatasan Pertumbuhan Intrauterin (IUGR)

Bayi dengan IUGR tidak tumbuh sebagaimana mestinya dan lupus, terutama penyakit
ginjal lupus, mungkin menjadi penyebabnya.

d) Persalinan prematur

Dianjurkan agar Mama dengan kondisi lupus dapat melahirkan di rumah sakit,
sehingga memiliki fasilitas NICU.

e) Keguguran dan lahir mati

Keguguran lebih sering terjadi pada perempuan dengan lupus, terutama pada kasus
dengan keguguran sebelumnya dan tingkat antibodi antifosfolipid yang tinggi.

Menderita lupus saat hamil juga dapat memengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan
dan meningkatkan risiko bayi lahir prematur atau lahir dengan berat badan rendah. Ibu hamil
yang menderita lupus juga berisiko menurunkan penyakit tersebut ke bayi yang dilahirkan. Hal
ini dikarenakan penyakit lupus bersifat turunan.

Bahaya Lupus untuk Ibu Hamil Lupus bisa menyebabkan wanita rentan mengalami
keguguran berulang. Gangguan pada sel fosfolipid mengakibatkan terjadinya “pertarungan”
antara antibodi dengan fosfolipid, sehingga menyebabkan darah mudah menggumpal di semua
bagian tubuh

1
4
Adapun Juga pengaruh lupus terhadap ibu hamil dan janin. Sebagian besar bayi cukup
bulan tidak berisiko mengalami kondisi tambahan apa pun. Tidak ada peningkatan kemungkinan
cacat lahir, misalnya. Komplikasi kesehatan dapat mencakup peningkatan risiko preeklamsia,
berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur, serta kondisi yang lebih serius tetapi jarang
seperti lupus neonatal. Sekitar tiga persen bayi yang lahir dari ibu dengan lupus memiliki bentuk
lupus sementara yang disebut neonatal lupus. Kondisi ini dapat berkisar dalam tingkat keparahan,
dari hanya ruam wajah atau jumlah sel darah rendah hingga kondisi jantung yang lebih serius.

Gejala ringan pada bayi akan hilang dalam waktu enam bulan. Komplikasi yang lebih serius
dari blok jantung bawaan, yang menyebabkan detak jantung lambat, dapat dipantau selama
kehamilan dan diobati

1
5
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Lupus Eritematosus Sistemik Atau Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan


Penyakit autoimun multisistem yang berat.Pada keadaan ini tubuh membentuk berbagai Jenis
antibodi, termasuk antibody terhadap Antigen nuklear (ANAs) sehingga menyebabkan Kerusakan
berbagai organ. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode remisi dan episode Serangan akut
dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ Yang terlibat. SLE
terutama menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik,Hormonal serta
lingkungan berperan dalam Proses patofisiologi.

Autoimunitas adalah suatu proses kompleks dimana system imun pasien menyerang
selnya sendiri. Pada LES, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan
berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B
untuk menghasilkan antibodi,suatu molekul yang dibentuk untuk menyerang antigen spesifik.
Ketika antiboditersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi Sel B.
menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6,memegang
peranan penting dalam LES yaitu dengan mengatur sekresiautoantibodi oleh sel B.

3.2 Saran

Lupus adalah penyakit yang menyerang system kekebalan tubuh dan lupus tidak bisa
disembuhkan total. Oleh karena itu, dalam upaya melakukan preventif terhadap penyakit lupus
perlu ditingkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia baik oleh pemerintah maupun semua pihk
yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa itu
lupus, apa bahayanya, dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif dalam upaya
pencegahan penyakit lupus.

1
6
DAFTAR PUSTAKA

Albas S.Lupus Eritematosus Systemic.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid, Edisi Ke-3. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI: 1996. P.150-60.

Cervera R, Espinosa G, D’cruz D. Systemic Lupushematous; Pathogenesis, Clinical


Manifestation And Diagnosis. Eular On-Line Course On Rheumatic Diseases-Module N
17.2007-2009.

Vagelli R, Tani C, Mosca M. Pregnancy and menopause in patients with systemic lupus
erythematosus and or antiphospholipid syndrome. Polish Archives of Internal Medicine.
2017; 127(2):115-21.

Rahman A, Isenberg DA. Mekanisme Of Disease Systemic Lupus Erytematosus. N Engl J Med
2008;358;929-39.

1
7

Anda mungkin juga menyukai