Pediatric Nursing I
Anggota:
Anggryani Caroline
AIRMADIDI
2022
KATA PENGANTAR
Puji sykur atas rahmat Tuhan Yesus Kristus, karena berkat tuntunanNya dan
kasih karunia-Nya saja sehingga makalah dengan judul Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) dapat terselesaikan.
Penulis juga berterimakasih kepada dosen kami yaitu Ma’am Nova Gerungan,
S.Kep, M. Kep selaku dosen Pediatric Nursing kami. Berkat tugas ini, kami sebagai
penulis juga mendapat wawasan baru mengenai Systemic Lupus Erytematosus. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mau meluangkan waktu
dan tenaganya dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................4
A. Latar Belakang...................................................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................
C. Tujuan Pembuatan Makalah.............................................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................6
A. Definisi................................................................................................................................
B. Etiologi................................................................................................................................
C. Manifestasi Klinis...............................................................................................................
D. Komplikasi........................................................................................................................
E. Patofisiologi.......................................................................................................................
F. Tes Diagnostik..................................................................................................................
G. Penatalaksanaan...............................................................................................................
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN......................................................................................19
BAB 4 PENUTUP.....................................................................................................................26
A. Kesimpulan.......................................................................................................................
B. Saran.................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................27
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lupus eritematus sistemik (LES) merupakan suatu penyakit yang membutuhkan
perhatian khusus dikarenakan sulitnya dalam mendiagnosis dan seringnya terjadi
keterlambatan diagnosis penyakit LES.Hal tersebut dapat terjadi karena LES merupakan
penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, dan memiliki
sebaran gambaran klinis yang luas dan tampilan perjalanan penyakit yang
beragam.Gambaran klinis yang luas tersebut sehingga penyakit LES juga dikenal
dengan sebutan "penyakit seribu wajah".
Lupus merupakan penyakit tidak menular (PTM) yang diketahui sebagai factor
peyebab utama terjadinya kematian pada tahun 2012 secara global, diperkirakan 56 juta
orang meninggal akibat PTM. Saat ini angka morbiditas terus meningkat, diantaranya
yaitu lupus.
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit lupus secara tepat belum diketahui. Prevalensi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di masyarakat berdasarkan surve yang dilakukan
oleh Prof. Handono Kalim, dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5%
terhadap total populasi.
Penyakit LES sampai saat ini dikatakan belum jelas penyebabnya namun ada
beberapa faktor resiko yang dikatakan berperan penting pada pasien LES.Beberapa
faktor resiko tersebut antara laina adalah faktor genetik, faktor lingkungan seperti
infeksi, stres, makanan dan antibiotik serta faktor hormonal. Para penderita lupus
memiliki sebutan tersendiri yaitu odapus (orang dengan lupus) dan dikatakan dapat
menimpa siapapun. Sampai saat ini diketahui bahwa lupus paling banyak menyerang
wanita usia produktif. Meskipun demikian, kaum pria, kelompok anak dan remaja juga
dapat terkena lupus. Pada penelitian oleh Yayasan Lupus Indonesia dikatakan bahwa
penderita LES di Indonesia diestimasikan sejumlah 200-300 ribu orang dengan
perbandingan 1,6:10,0 untuk laki-laki:perempuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu penyakit SLE (Systemic lupus erythematosus)?
2. Apa penyebab dari penyakit SLE (Systemic lupus erythematosus)?
3. Apa saja tanda dan gejala dari penyakit SLE (Systemic lupus erythematosus)?
4. Apa saja komplikasi yang dapat dalam penyakit atau patofisiologi dari penyakit
SLE (Systemic lupus erythematosus)?
5. Bagaimana proses perjalanan penyakit atau patofisiologi dari penyakit SLE
(Systemic lupus erythematosus)?
6. Bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan untuk penyakit SLE (Systemic
lupus erythematosus)?
A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik, biasa disebut SLE atau lupus, adalah salah satu
gangguan autoimun kronis yang paling umum, kompleks, dan serius. Proses inflamasi
SLE mempengaruhi beberapa sistem. Saat ini, tidak ada obat untuk SLE dan terapi
khusus harus ditujukan pada gejala, tingkat keparahan penyakit, dan respons anak. SLE
dapat diobati secara efektif dengan pendekatan multidisiplin yang mencakup terapi
obat, terapi nutrisi, dan aktivitas fisik. (Potts & Mandleco, 2012)
Tampaknya hasil dari interaksi kompleks genetika dengan pemicu tak dikenal yang
menyebabkan penyakit aktif. Pemicu yang diduga antara lain paparan sinar ultraviolet,
estrogen, kehamilan, infeksi, dan obat-obatan. (Hockenberry & Wilson, 2015)
Meskipun SLE dapat berkembang pada semua usia, onset pada masa kanak-kanak
biasanya terjadi pada usia sekitar 12 tahun. Mirip dengan penyakit autoimun lainnya,
wanita terkena sepuluh kali lipat lebih sering daripada laki-laki; SLE delapan kali lebih
sering terjadi pada wanita Afrika-Amerika daripada pria. Hubungan genetik juga ada
dengan peningkatan insiden pada anak kembar. (Potts & Mandleco, 2012)
SLE tidak diketahui, tetapi faktor genetik, hormonal, lingkungan, dan imunologi
diyakini berinteraksi dan menyebabkan ekspresi penyakit. Studi menunjukkan ada
kecenderungan genetik untuk lupus. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang
berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE,
sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%.
2. Faktor imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal
tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B
akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki
reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan
sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan
produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih
mudah mengendap di jaringan
3. Faktor hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat
estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme
estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko
terjadinya SLE.
4. Faktor lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi SLE mungkin akut, dengan onset nefritis, artritis, atau vaskulitis, atau
dapat dicatat sebagai onset bertahap dengan gejala nonspesifik. Gejala tergantung pada
organ yang terlibat dan jumlah kerusakan jaringan yang terjadi dan termasuk demam,
kelelahan, malaise, dan penurunan berat badan. Manifestasi klinis lainnya termasuk
ruam, radang sendi, dan nefritis (Defendi, 2011; Mat tingly, 2011). Ruam kupu-kupu di
wajah, yang terdiri dari ruam merah muda atau merah di atas batang hidung memanjang
ke pipi, merupakan temuan yang khas. Anak-anak dengan SLE mungkin mengalami
anemia, leukopenia, dan throm bocytopenia (Mattingly, 2011). Penyakit ginjal,
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak dengan SLE, terbukti pada
diagnosis pada 50% anak-anak ini dan pada 80% hingga 90% dalam rentang waktu
tersebut.
tahun pertama diagnosis. Gangguan sistem saraf pusat dapat terjadi pada anak-anak
dengan SLE dan termasuk sakit kepala, gangguan mood, gangguan kejang, dan penyakit
serebrovaskular. Lupus eritematosus sistemik ditandai dengan periode remisi dan
eksaserbasi (flare). Flare dipicu oleh berbagai penyebab, termasuk paparan sinar
matahari, infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi lainnya, dan stres. Anak atau
keluarga mungkin dapat mengidentifikasi pemicu flare lainnya, seperti peristiwa,
aktivitas, atau situasi tertentu. (Ball, Bindler, Cowen, & Shaw, 2017)
D. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh pasien LES.Komplikasi
dapat disebabkan oleh penyakit LES itu sendiri maupun dari terapinya.Salah satu organ
yang seringkali mengalami koplikasi dari LES adalah organ hati. Komplikasi organ hati
pada pasien LES antara lain adalah Hepatitis Lupus, Penyakit hati autoimmune, Sirosis
Bilier Primer, dan Cholangitis Sclerosing Primer, Hepatitis akibat virus, steatohepatitis,
fatty liver dan kerusakan hati akibat obat.
Selain penyakit pada hati, terdapat pula gangguan sistemik yang merupakan
komplikasi dari LES. Komplikasi sistemik tersebut antara lain adalah Systemic
Vasculitides, Penyakit Antibody Antibasement Membrane, obat-obatan yang
menyebabkan vasculitis, Sindrom Antifosfolipid, Koagulopati, Trombositopenia dan
dalam kasus yang lebih jarang menyebabkan infeksi virus yang berat. (Schwarz, 2019)
E. Patofisiologi
F. Tes Diagnostik
Skrining awal untuk SLE meliputi tes berikut:
a. Pemeriksaan darah lengkap dan ESR orang dengan SLE sering mengalami
anemia, leukopenia, dan trombositopenia yaitu penurunan sel darah merah, sl
darah putih, maupun trombosit. Oleh karena itu oemeriksaan darah lengkap
diperlukan untuk mendeteksi gejala dari SLE.
b. Pengeriksaan urine pemeriksaan urine lengkap bertujuan mengetahui
kelainan seperti proteinuria, hematuria, pluria, dan kelainan sedimen yang dapat
menunjukan keterlibatan ginjal. Jika proteinuria positif maka perlu dlakukan
pemeriksaan tambahan yaitu perhitungan protein uria 24 jam secara kuantitatif
dan/atau rasio protein/ kreatinin urine. (Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik, Edisi Revisi, 2019)
c. Pengukuran protein
d. Pemeriksaan antinuclear antibody (ANA) mengidentifikasi adanya
antinuclear antibody dalam darah. Kehadiran antibody antinuclear merupakan
penanda proses autoimun dan paling sering terlihat pada SLE.
e. Pemeriksaan laboratorium tambahan menyingkirkan proses penyakit lain
G. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan untuk SLE; manajemen tergantung pada manifestasi dan
tingkat keparahan penyakit. Manajemen medis disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing anak, berdasarkan keterlibatan sistem organ dan pada tingkat keparahan
peradangan pada saat evaluasi. Hasil terapi adalah untuk mengontrol eksaserbasi akut
penyakit dan manifestasi penyakit kronis yang sedang berlangsung untuk mengaktifkan
fungsi yang optimal, untuk mencegah jaringan parut di sistem organ, dan untuk
mencegah efek samping yang tidak dapat ditoleransi dari terapi. Kolaborasi antar
profesi kesehatan sangat diperlukan. Spesialis kehidupan anak di lingkungan rumah
sakit dan berbagai profesional kesehatan sekutu di pengaturan rawat jalan, termasuk
pekerja sosial dan psikolog, dapat membantu keluarga dan anak untuk mengatasi
masalah (Misalnya, masalah citra tubuh yang berkaitan dengan penyakit dan
pengobatan) secara positif. (Bowden & Greenberg, 2012)
Terdapat banyak pilihan yang tersedia untuk pengelolaan untuk penyakt SLE.
Dalam hal ini diperlukan Kerja sama antara anak-anak dan keluarga mereka dengan
anggota tim perawatan Kesehatan untuk mengambil peran aktif dalam mengelola
penyakit dan dalam meningkatkan Kesehatan serta kesejahteraan anak. Rencana
perawatan biasanya didasarkan pada usia anak, jenis kelamin, Kesehatan, gejala, dan
gaya hidup. Pengobatan ini ditargetkan untuk mencegah eksaserbasi, mengobati saat
gejala muncul, dan meminimalkan kerusakan pada organ serta terjadnya komplkasi.
Pengobatan awal yang sering ditargetkan adalah untuk mengobati gejala
musculoskeletal seperti radang sendi, dengan menggunkan NSAID yang
dikombinasikan dengan obat antimalaria. Jika gejalanya menetap atau mungkin
memburuk maka steroid atau metotreksat dapat dipesan. Obat lan yang dapat digunakan
untuk mengobati gejala neuropsikiatri ini dapat termasuk obat imunosupresif,
antidepresan dan antiepilepsi. (Potts & Mandleco, 2012)
Program terapi fisik dapat dilaksanakan untuk membantu anak mengelola nyeri
sendi, menngkatkan ROM, dan mencegah cedera dan kontraktur. Dan perlu
ditambahkan juga waktu istirahat ke dalam rutintas sehari-hari anak, terutama selama
periode eksaserbasi. (Bowden & Greenberg, 2012)
1) Terapi Farmakologi
Keterlibatan sendi, khususnya, artralgia, biasanya dikendalikan dengan
NSAID dan obat antimalaria seperti hidroksiklorokuin. Aspirin tidak dianjurkan,
karena dosis besar yang dibutuhkan dapat menyebabkan toksisitas hati. Obat-
obatan harus diminum setiap hari untuk menjaga kecukupannya tingkat darah.
Terapi NSAID membutuhkan pemantauan yang cermat pada fungsi ginjal,
karena agen ini menurunkan aliran darah glomerulus dan dapat memicu gagal
ginjal akut pada anak dengan SLE. Peringatan: Ibuprofen telah dikaitkan dengan
sindrom meningitis aseptic drom di SLE; oleh karena itu, tidak boleh diberikan
kepada anak-anak dengan SLE (Nguyen, Gal, Tebusan, & Carolos, 2004).
Ruam pada SLE umumnya diobati dengan obat antimalaria. Steroid
topical juga dapat digunakan. Steroid topical digunakan jika terjadi lesi pada
kulit, tetap jika digunakan dalam jangka waktu yang Panjang dapat menipiskan
kulit, oleh karena itu pengaplkasiannya pada wajah harus singkat atau dengan
obat konsentrasi rendah. (Hockenberry & Wilson, 2015). Hydroxychloroquine
merupakan salah satu obat antimalaria, obat ini membawa risiko kerusakan
retina, oleh karena itu pemeriksaan mata harus dilakukan setiap 6 bulan pada
pasien yang menerima obat ini. Ruam dan lesi memerlukan pemantauan yang
cermat untuk tanda-tandanya infeksi. Selain itu, nilai jari kaki dan jari tangan
untuk kompromi vaskular. Dorong anak dan orang tua untuk menjaga
ekstremitas hangat saat cuaca dingin dengan menggunakan kaus kaki, sarung
tangan, dan pakaian berlapis. Juga instruksikan mereka untuk menghindari
pakaian ketat.
Sejak tahun 1950-an, kortikosteroid telah menjadi terapi andalan untuk
penyakit SLE, obat ini merupakan agen antiinflamasi dan imunosupresi yang
efektif, tetapi sayangnya penggunaan steroid terhambat oleh karena beberapa
efek samping yang dapat ditimbulkannya, seperti keterlambatan pertumbuhan,
penurunan resistensi terhadap infeksi, osteoporosis, penambahan berat badan,
hipertensi, pengembangan fitur cushingoid dan katarak, serta resiko diabetes.
(Hockenberry & Wilson, 2015). Keterlibatan sistem organ utama pada SLE
biasanya memerlukan penggunaan kortikosteroid. Gejala seperti demam,
manifestasi kulit, pleuropericarditis, dan limfadenopati biasanya dapat diobati
secara efektif dengan prednisone dosis rendah atau hidroksiklorokuin. Prednison
oral dosis tinggi untuk jangka waktu 4 hingga 6 minggu dapat diindikasikan
untuk anak dengan sistem saraf pusat dan keterlibatan ginjal. Penggunaan
jangka panjang dosis tinggi prednison dihindari bila memungkinkan karena
komplikasi serius (misalnya, katarak, patah tulang, hipertensi, dan gangguan
metabolisme) yang mungkin terjadi. Tujuan terapi adalah untuk mengontrol
aktivitas penyakit dengan dosis prednison serendah mungkin. Untuk membantu
dalam hal ini maka agen steroid dapat digunakan seperti azathioprine,
metotreksat, dan hidroksiklorokuin dapat digunakan. Tanda pengenal medis atau
gelang medicalert harus digunakan oleh anak-anak yang menjalani terapi steroid
untuk memperingatkan tim Kesehatan untuk mempertimbangkan penggunaan
steroid dalam situasi darurat.
2) Nutrisi
Pada anak yang menerima terapi steroid maka perlu dipantau untuk penambahan
berat badan dan retensi cairan. Jika kterlibatan ginjal menjadi perhatian, diet
rendah natrium dan protein dapat dilakukan.
3) Diet
Tidak ada diet SLE yang spesifik, tetapi diet seimbang yang tidak melebihi
pengeluaran kalori sangat penting untuk mempertahankan berat badan yang
sesuai dengan terapi kortikosteroid. Diet rendah garam mungkin diperlukan jika
pasien menjadi nefrotik atau hipertensi. Diet rendah lemak diindikasikan pada
anak-anak dengan dislipidemia. Memaksimalkan massa tulang puncak pada SLE
remaja sangat penting, terutama karena SLE dan pengobatannya dengan
glukokortikoid meningkatkan risiko osteoporosis. Diet kaya kalsium dan
vitamin D sangat penting untuk mencegah osteoporosis. Jika diet kalsium tidak
cukup, suplemen kalsium dan vitamin D perlu direkomendasikan. Konsultasi
dengan ahli diet terdaftar akan membantu keluarga mengembangkan diet
individual yang sesuai dengan gaya hidup mereka.. Kortikosteroid- diinduksi
berat badan, makanan tinggi kalori dan garam harus dihindari. (Hockenberry &
Wilson, 2015)
6) Dukungan sosial
Dukungan sosial dari keluarga, teman, guru, konselor, pekerja sosial profesional
dan terapis dapat membantu anak dan keluarga melalui masa-masa sulit dan
mempromosikan adaptasi terhadap penyakit yang tidak akan hilang. Mekanisme
koping yang merusak perlu diidentifikasi dan diganti dengan perilaku yang
meningkatkan adaptasi dan hasil yang sehat. (Hockenberry & Wilson, 2015)
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Data subyektif :
bentuk kupu-kupu.
Data obyektif :
- Terdapat ruam – ruam merah pada wajah yang menyerupai bentuk kupu-kupu.
Pt. Name: Rizky Age: 7 tahun Room/Bed: Rg. Tulip, Bed 2 Medical Diagnosis: systemic
lupus erthematosus Physician’s Name: dr. Erwin Leonardo
Dat Planning
N e/ Nursing Goal* Interventions* Rationale* Implement Evaluat
o. Tim Diagnosis* ation ion
e
Nyeri kronis Setelah NIC: Administrasi
b.d gangguan dilakukan analgesic; Teknik
imunitas d.d : intervensi menenangkan;
keperawata kenyamanan
DS: n selama 8 lingkungkan, latihan
1. Akan menghilangkan rasa
- pasien jam maka terapi: mobilitas
sakit.
mengeluh nyeri tingkat sendi
nyeri
DO: 2. Untuk meredakan nyeri dan
diharapkan 1. Berikan obat
- Pasien menopang sendi yang
menurun secara akurat
tampak tertekan.
dengan dan tepat
meringis kriteria waktu.
- tampak hasil : 2. Gunakan 3. Untuk memfasilitasi
gelisah 1. Keluha kompres hangat pertumbuhan dan
- pasien n nyeri atau dingin dan perkembangan dan
berposisi menuru posisikan meminimalkan kelelahan.
menghindari n dengan tepat.
nyeri 2. Mering 3. Dorong
- pasien tidak is partisipasi
mampu menuru dalam aktivitas
menuntaskan n yang
4. Untuk meminimalkan
aktivitas 3. Gelisah memaksimalkan
deformitas.
- menuru kemampuan
n anak yang
memungkinkan
keterlibatannya
5. Untuk meminimalkan
dalam keluarga,
deformitas
sekolah dan
kegiatan social
lainnya.
4. Dorong
partisipasi
dalam terapi
okupasi/ fisik
dan program
latihan di
rumah.
5. Pertahankan
kesejajaran
tubuh yang
adekuat.
B. Pendidikan Kesehatan
Pemberian edukasi kepada pasien merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan
dari tatalaksana SLE. Seluruh pasien baik yang baru terdiagnosa ataupun yang baru
menjalani pengobatan harus mendapatkan edukasi dari tenaga Kesehatan. Pemberian
edukasi juga sebaiknya melibatkan keluarga pasien. Berikut adalah edukasi yang dapat
kita berikan kepada pasien:
A. Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik, biasa disebut SLE atau lupus, adalah salah satu
gangguan autoimun kronis yang paling umum, kompleks, dan serius. Proses inflamasi
SLE mempengaruhi beberapa sistem. Saat ini, tidak ada obat untuk SLE dan terapi
khusus harus ditujukan pada gejala, tingkat keparahan penyakit, dan respons anak. SLE
dapat diobati secara efektif dengan pendekatan multidisiplin yang mencakup terapi
obat, terapi nutrisi, dan aktivitas fisik. (Potts & Mandleco, 2012)
SLE tidak diketahui, tetapi faktor genetik, hormonal, lingkungan, dan imunologi
diyakini berinteraksi dan menyebabkan ekspresi penyakit. Studi menunjukkan ada
kecenderungan genetik untuk lupus. Tidak ada pengobatan untuk SLE; manajemen
tergantung pada manifestasi dan tingkat keparahan penyakit. Rencana perawatan
biasanya didasarkan pada usia anak, jenis kelamin, Kesehatan, gejala, dan gaya hidup.
Pengobatan ini ditargetkan untuk mencegah eksaserbasi, mengobati saat gejala muncul,
dan meminimalkan kerusakan pada organ serta terjadnya komplkasi.
B. Saran
Disarankan kepada seluruh masyarakat setelah menegetahui apa yang dimaksud
dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat mengerti bahwa penyakit
ini cukup berbahaya dan mematikan. Sehingga dapat mengetahui apa yang harus
dilakukan apabila menemui orang dengan gejala yang telah dijabarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ball, J. W., Bindler, R. C., Cowen, K. J., & Shaw, M. R. (2017). Principles of Pediatric
Nursing Caring for Children Seventh Edition. United States of America:
Pearson Education.
Bowden, V. R., & Greenberg, C. S. (2012). Children and their families : the continuum
of care 2nd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik, Edisi Revisi. (2019). jakarta:
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2015). Wong’s nursing care of infants and children
10th edition. Canada: ELSEVIER: Mosby.
Houghton, K. M., Tucker, L. B., Potts, J. E., & Mckenzie, D. C. (2008). Fitness, fatigue,
disease activity, and quality of life in pediatric lupus. Arthrities & Rheumatism
59(4), 537-545.
Potts, N. L., & Mandleco, B. L. (2012). Pediatric Nursing: Caring for Children and
Their Families, Third Edition. USA: Cengage Learning.