Anda di halaman 1dari 18

TUGAS INDIVIDU

MAKALAH TRAUMA KEPALA

Mata Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat

Kode : MSNG322

Nama Mahasiswa : Talumepa, Anggryani Caroline

NIM : 106012010113

Semester : VI

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS KLABAT

JANUARI 2023
Daftar Isi

Daftar Isi..............................................................................................................................................2

Tinjauan Pustaka................................................................................................................................3

1. Definisi......................................................................................................................................3

2. Etiologi/faktor risiko...............................................................................................................3

3. Tanda dan gejala.....................................................................................................................4

4. Epidemiologi............................................................................................................................5

5. Patofisiologi..............................................................................................................................6

6. Komplikasi...............................................................................................................................6

7. Pemeriksaan.............................................................................................................................8

8. Penatalaksanaan....................................................................................................................11

9. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul (terutama dari buku SDKI PPNI)..........12

Kesimpulan........................................................................................................................................13

5 Soal Uji Kompetensi.......................................................................................................................14

Daftar Pustaka...................................................................................................................................17

2
Tinjauan Pustaka

1. Definisi

Cedera kepala (Head Trauma) termasuk ke dalam jenis luka ataupun trauma yang

dapat biasanya terjadi pada kulit kepala, tengkorak, ataupun otak. Trauma kepala sangat

berpotensial untuk menghasilkan suatu hasil yang buruk seperti kematian. Terdapat

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari cedera kepala ini, seperti hematoma

intrakranial, penderita yang sudah berumur, respon motorik yang abnormal, Gerakan

mata yang tersendat ataupun tidak ada, hipotensi dini yang berkepanjangan, hipoksemia

ataupun hiperkapnia (Lewis et al., 2019).

Cedera kepala merupakan suatu trauma yang terjadi pada wilayah kulit kepala, tulang

tengkorak ataupun otak yang diakibatkan oleh cedera baik secara langsung ataupun tidak

langsung pada kepala. Cedera kepala termasuk jenis cedera yang parah sehingga dapat

menyebabkan kecacatan secara permanen bahkan dapat berujung kepada kematian

(Mistovich & Karren, 2014). Trauma kepala dan cedera otak tidak senantiasa identik.

Sangat penting untuk membedakan kedua kondisi ini saat sedang melakukan pengkajian

serta perawatan penderita dengan luka traumatis. Cedera kepala biasanya memiliki

indikasi yang lebih nampak semacam laserasi ataupun kelainan wujud (Emergency

Nurses Association, 2013).

2. Etiologi/faktor risiko

Trauma kepala biasanya dikategorikan menjadi trauma tumpul ataupun trauma

tembus. Yang lebih sering terjadi yaitu trauma tumpul yang biasanya akibat kepala

membentur permukaan yang keras ataupun barang yang bergerak dengan cepat

membentur kepala. Trauma tumpul biasanya merupakan cedera akselerasi atau deselerasi

yang terjadi tiba-tiba, sedangkan trauma tembus seperti namanya yaitu dapat diakibatkan

3
oleh barang asing yang masuk menembus di kulit kepala, tengkorak, meninges, ataupun

jaringan otak (Tscheschlog & Jauch, 2015).

Menurut Lewis et al. (2019), penyebab paling umum dari kejadian cedera kepala yaitu

karena tabrakan bermotor ataupun jatuh. Penyebab lainnya seperti kepala tertembak

senjata api, luka tersebut dapat dikategorikan sebagai trauma tembus. Adapun akibat

penyerangan, trauma akibat aktivitas olahraga, dan cedera saat perang. Laki-laki

dikatakan memiliki risiko dua kali lebih memungkinkan mengalami cedera kepala.

Menurut Purwanto (2016), terdapat beberapa penyebab dari cedera kepala yaitu akibat

kecelakaan (motor, mobil, sepeda), jatuh, kecelakaan pada saat berolahraga, anak dengan

ketergantungan serta cedera akibat kekerasan.

3. Tanda dan gejala

Penyebab paling umum dari kejadian cedera kepala yaitu terjatuh ataupun terkena

sesuatu, tabrakan kendaraan, kekerasan, dan juga luka tembus seperti akibat tembakan.

Cedera primer yaitu cedera yang terjadi saat awal kejadian, jika terjadi kerusakan yang

berkelanjutan pada jaringan yang ada disekitar cedera dinamakan cedera sekunder.

Cedera primer dapat menimbulkan beberapa gejala seperti perdarahan intrakranial, fraktur

tulang kepala, kontusio, diffuse axonal injury. Cedera sekunder yang disebabkan oleh

komplikasi dapat menimbulkan gejala seperti oedema serebral, hipoksia, hidrosefalus,

kelainan metabolik (Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia, 2020).

Menurut Tscheschlog & Jauch (2015), terdapat beberapa tanda dan gejala yang dapat

ditimbulkan jika seseorang mengalami cedera kepala:

a. Hilang kesadaran yang dikaitkan dengan adanya gangguan jangka pendek dari sistem

aktivasi retikuler

b. Muntah yang dapat terjadi akibat adanya cedera local ataupun disfungsi batang otak

4
c. Amnesia anterograde dan retrograde (merupakan kondisi dimana penderita tidak

mampu mengingat peristiwa yang menyebabkan insiden traumatis atau peristiwa yang

terjadi setelah cedera)

d. Perubahan karakter dan perilaku

e. Pusing dan sakit kepala

f. Penurunan status mental: kantuk, bingung, disorientasi, agitasi

g. Kesulitan bernapas

h. Pembesaran pupil akibat peningkatan TIK

i. Iritabilitas

4. Epidemiologi

Cedera kepala merupakan jenis trauma yang paling sering ditemukan di bagian unit

gawat darurat. Tidak sedikit pasien yang sudah meninggal akibat cedera otak yang parah

bahkan sebelum sampai ke rumah sakit. Cedera kepala adalah salah satu masalah yang

serius di dunia. Menurut The Global Burden of Disease tahun 2010 dikatakan terdapat

sebanyak 89% angka kematian yang disebabkan oleh trauma, sekitar 10% kematian yang

terjadi di seluruh dunia (Rubiano et al., 2015).

Trauma kapitis atau yang biasa dikenal dengan cedera kepala merupakan salah satu

penyebab terbanyak yang berperan pada kecacatan bahkan kematian kepada kelompok

usia yang masih produktif, biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Untuk di

Indonesia sendiri angka kejadian trauma kapitis diperkirakan dapat mencapai 500.000

kasus. 10% kejadian trauma ini menyebabkan pasien meninggal bahkan sebelum

mencapai rumah sakit, sekitar 80% dikategorikan sebagai cedera kepala ringan, 10%

cedera kepala sedang, 10% cedera kepala berat (Sutawan et al., 2021).

5
5. Patofisiologi

Cedera yang dialami memiliki peranan besar untuk memastikan berat ringannya

akibat patofisiologis dari trauma kepala. Cedera percepatan atau akselerasi biasanya

terjadi apabila kepala yang sedang diam terbentur suatu benda yang sedang bergerak,

contohnya trauma akibat pukulan dari benda tumpul ataupun akibat terkena lemparan

barang tumpul. Sedangkan cedera perlambatan atau deselerasi terjadi akibat kepala

membentur objek yang tidak bergerak atau sedang diam, contohnya tanah maupun badan

mobil (Purwanto, 2016).

Cedera primer meliputi luka pada benturan dini yang menimbulkan perpindahan otak

akibat benturan langsung, percepatan, perlambatan, ataupun penetrasi. Luka ini bisa

menimbulkan memar, hematoma, ataupun luka aksonal difus (stress ataupun kerusakan

akson). Cedera sekunder terdiri dari segala perubahan yang berlangsung sesudah

hambatan awal yang dapat diakibatkan oleh hipotensi sistemik, hipoksia, dan peningkatan

TIK (Shaikh & Waseem, 2022).

6. Komplikasi

Menurut Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia (2020), cedera

kepala dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial. Nilai normal dari tekanan

dalam cranium adalah <20 mmHg. Peningkatan tekanan intrakranial dapat menimbulkan

efek yang berbahaya seperti iskemia serebral yaitu kondisi dimana terjadi hambatan pada

pasokan darah ke otak sehingga kurangnya pasokan darah ke sel otak, kondisi ini terjadi

karena terjadi penurunan perfusi jaringan otak karena adanya peningkatan TIK.

Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi saat terjadi cedera kepala menurut

Lewis et al. (2019), antara lain:

a. Epidural hematoma

6
hasil dari perdarahan antara dura serta permukaan bagian dalam tengkorak.

Hematoma epidural merupakan kondisi darurat neurologis serta umumnya

berhubungan dengan fraktur linier yang melintasi arteri utama di dura, menimbulkan

robekan. Itu dapat berasal dari vena ataupun arteri. Hematoma epidural vena

berhubungan dengan robekan sinus vena dural serta tumbuh lama- lama. Dengan

hematoma arteri, arteri meningeal tengah yang terletak di dasar tulang temporal kerap

robek. Perdarahan terjalin ke dalam ruang epidural, yang terletak di antara dura serta

permukaan bagian dalam tengkorak Sebab ini merupakan perdarahan arteri,

hematoma tumbuh dengan kilat.

b. Hematoma subdural

terjalin dari perdarahan antara duramater serta susunan arachnoid dari meninges.

Hematoma subdural umumnya terjalin akibat luka pada jaringan otak serta pembuluh

darahnya. Vena yang mengalir dari permukaan otak ke sinus sagital merupakan

sumber dari mayoritas hematoma subdural. Sebab umumnya berasal dari vena,

hematoma subdural bisa jadi tumbuh lebih lelet. Tetapi, hematoma subdural bisa

diakibatkan oleh perdarahan arteri, yang tumbuh lebih kilat. Hematoma subdural bisa

jadi kronis, subakut, ataupun kronis. kronis bermanifestasi dalam 24 sampai 48 jam

sehabis luka. Subakut biasanya terjalin dalam 2 hingga 14 hari sehabis luka. kronis

tumbuh sepanjang sebagian pekan ataupun bulan sehabis luka kepala yang nyatanya

kecil. Hematoma subdural kronis lebih kerap terjalin pada orang berusia yang lebih

tua sebab ruang subdural yang berpotensi lebih besar akibat atrofi otak. Penaksiran

hematoma subdural pada orang berusia yang lebih tua bisa jadi tertunda sebab

gejalanya menyamai permasalahan kesehatan lain pada kelompok umur ini, semacam

mengantuk, bimbang, lesu, serta kehabisan ingatan. Perwujudan hematoma subdural

7
kerap disalahartikan selaku penyakit vascular (stroke, transient ischemic attack (TIA),

serta demensia).

c. Hematoma intra serebral

Hematoma intraserebral terjalin dari perdarahan di dalam jaringan otak pada dekat

16% luka kepala. Umumnya terjalin di dalam lobus frontal serta temporal, bisa jadi

dari pecahnya pembuluh darah intraserebral pada dikala luka. Dimensi serta posisi

hematoma merupakan penentu utama dari hasil akhir penderita.

7. Pemeriksaan

Menurut Emergency Nurses Association (2013), pasien dengan cedera kepala harus

segera memiliki penilaian neurologis, yang bertujuan untuk melakukan deteksi dini

kerusakan yang dialami pasien yang segera membutuhkan intervensi bedah. Penilaian

neurologis tersebut meliputi:

a. Glasgow Coma Score (GCS)

GCS dilakukan untuk mengecek tingkat kesadaran pasien. Didalamnya mencakup

mengukur pembukaan maka, respons verbal, serta respons motorik penderita dengan

memberikan serangkaian rangsangan.

b. Evaluasi saraf kranial

Pada bagian ini pelayanan Kesehatan melakukan pengkajian menyeluruh pada semua

12 saraf kranial, yaitu olfactory (penciuman), optic (penglihatan), oculomotor,

trochlear, trigeminal, abducen, facial, acoustic, glossopharyngeal, vagus, spinal

accessory, dan hypoglossal.

c. Evaluasi pupil

Penilaian ni tidak kalah pentingnya, perawat pula wajib memperhitungkan respons

pupil dari pasien memakai sinar yang cerah serta terfokus. Terdapat beberapa kiat

untuk evaluasi pupil yaitu:

8
 Pupil umumnya menyempit dikala terkena cahaya secara langsung.

 Sinar yang diarahkan kepada mata dapat menyebabkan pupil mengerut atau yang

disebut juga dengan reaksi konsensual.

 Untuk mengevaluasi tiap mata dibutuhkan jeda 10 detik setiap matanya agar

reaksi konsensual menurun terlebih dahulu.

 Pupil yang melebar saat dilakukan penilaian serta terfiksasi (unilateral) maka

dapat menunjukan adanya keterlibatan saraf kranial ketiga serta mungkin herniasi

transtentorial.

 pupil terfiksasi juga dapat menunjukan adanya luka pada batang otak yang parah

serta memungkinkan sudah terjadi kematian otak.

 Ptosis (kelopak mata menurun) menunjukan adanya kerusakan pada saraf kranial

ketiga.

d. Evaluasi refleks

Penilaian refleks meliputi beberapa refleks seperti refleks kornea, gag refleks, deep

tendon refleks, dan Babinski.

 Refleks kornea (saraf kranial V dan VII), pengkajian ini dilakukan dengan

meneteskan cairan normal saline, refleks normalnya jika mata mengedip

sedangkan refleks abnormal jika tidak ada respons.

 Gag refleks (saraf kranial IX dan X), pengkajian ini dilakukan dengan

memberikan rangsangan ke bagian belakang tenggorokan dengan swab, tongue

depressor, atau kateter suction. Refleks normal jika ada refleks muntah sedangkan

abnormal jika tidak menunjukan jika adanya reaksi apapun.

 Deep tendon

9
Menggunakan refleks hammer, skornya ada 0-4 yaitu, 0: absen, 1: menurun, 2:

normal, 3: meningkat. Respon normal jika berada di skor 2 sedangkan abnormal

jika hipoaktivitas dan hiperaktivitas.

 Babinski

Memberi stimulus pada permukaan plantar kaki. Respon normal yaitu dengan

menunjukan respon negatif: ibu jari dan jari-jari kaki melengkung kebawah.

Respon abnormal apabila ada reaksi positif: jempol dan jari-jari kaki menjulur ke

atas, respon ini normal apabila terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun.

Sumber: Emergency Nurses Association. (2013). Sheehy’s manual of Emergency nursing:


Principles and practice (7th ed.). Elsevier.

Menurut Nutbeam & Boylan (2013), perlu juga untuk melakukan penilaian pada

bentuk tubuh ataupun postur tubuh dari pasien. Bentuk badan yang abnormal dapat

menjadi gejala adanya luka otak yang parah. Bentuk badan dekortikasi yaitu jika tungkai

atas fleksi sedangkan tungkai bawah ekstensi. Bentuk badan decerebrate yaitu jika kedua

tungkai atas dan bawah memanjang tanpa sadar. Sedangkan menurut Purwanto (2016),

terdapat beberapa pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan kepada pasien

dengan cedera kepala, yaitu pemeriksaan laboratorium: darah lengkap (hemoglobin,

leukosit, CT, BT), rontgen, CT Scan, dan MRI.

10
Sumber: Nutbeam, T., & Boylan, M. (2013). ABC of prehospital emergency medicine. Wiley Blackwell.

8. Penatalaksanaan

Menurut prinsip-prinsip ATLS (primary survey and secondary survey) terdapat

beberapa penatalaksanaan yang dapat diberikan saat berada di ruang emergensi yaitu

dapat dengan memberikan oksigen 4 lt/ menit, cairan infus NaCL 0,9%, mengobservasi

GCS, posisikan penderita dengan kepala terangkat 30°, memberikan obat analgetik dan

juga antibiotik. Lakukan observasi untuk melihat apakah ada perdarahan. Lalu jika

kondisi pasien sudah stabil maka pasien bisa dimasukan ke ruangan rawat inap agar dapat

diobservasi lebih lanjut dan dapat diberikan perawatan secara intensif (Rasul et al., 2018).

Penatalaksanaan trauma kapitis pada pasien dewasa yaitu dapat menggunakan

mnemonic ABCD. Untuk Airway, jika pasien mengalami cedera kepala berat maka dapat

dilakukan intubasi endotracheal. Untuk Breathing, untuk mempertahankan saturasi

oksigen maka dapat diberikan oksigenasi yang adekuat. Circulation, perlu untuk menjaga

tekanan darah tetap normal, hal yang dapat dilakukan seperti pemberian cairan guna

menggantikan volume cairan tubuh yang hilang. Yang terakhir yaitu Disability, hal yang

penting untuk dilakukan yaitu pemeriksaan neurologis dengan pemeriksaan GCS serta

refleks pupil. Untuk intervensi mandiri yaitu kita dapat memposisikan pasien pada posisi

30°, berkontra indikasi jika pasien memiliki cedera spinal, perlu juga untuk

mempertahankan posisi kepala pasien tetap netral. (Himpunan Perawat Gawat Darurat

dan Bencana Indonesia, 2020).

11
9. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul (terutama dari buku SDKI PPNI)

Diagnosa keperawatan yang dapat timbul pada pasien dengan cedera kepala atau trauma

kapitis dalam buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia oleh Persatuan Perawat

Nasional Indonesia (2016) antara lain:

a. Pola napas tidak efektif b.d gangguan neurologis (mis. cedera kepala) (D.0005)

b. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d edema serebral (mis. akibat cedera

kepala) (D.0066)

c. Nyeri akut b.d Agen pencedera fisik (mis. trauma) (D.0077)

d. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala (D.0017)

e. Risiko gangguan integritas kulit/jaringan b.d penurunan mobilitas (D.0139)

12
Kesimpulan

Trauma kapatis atau biasa lebih dikenal dengan cedera kepala dapat terjadi secara

langsung maupun tidak langsung yang dapat mengenai beberapa are pada kepala yaitu

meliputi kulit kepala, tengkorak maupun otak. Penyebab paling umum dari kondisi ini

ialah kecelakaan lalu lintas, dan kelompok usia yang memiliki resiko tinggi yaitu

kelompok usia produktif. Jika seseorang mengalami kondisi ini maka sangat besar risiko

untuk mengalami kecacatan bahkan dapat berujung kepada kematian. Oleh karena itu

penanganan awal yang diberikan juga dapat menentukan nilai akhirnya. Ini menjadi

pelajaran bagi pelayanan kesehatan untuk dapat lebih cepat dan tepat dalam melakukan

suatu tindakan.

13
5 Soal Uji Kompetensi

1. Seorang pasien umur 40 tahun dibawa ke UGD dengan kesadaran menurun.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik menunjukkan klien mengalami trauma kapitis

berat dan mengalami peningkatan tekanan intrakranial Pertanyaan soal Obat yang

tepat untuk menurunkan tekanan intrakranial pada kasus diatas adalah

(a) Metilprednisolon

(b) Metilprednisolon

(c) Isoproterenol

(d) Manitol

(e) Verapamil

2. Seorang perempuan berusia 61 tahun dengan trauma kepala berat, GCS 7. Pasien

mengalami penurunan kesadaran sejak 7 jam lalu sesaat setelah terjatuh di kamar

mandi dengan posisi terlentang. Hasil CT Scan didapatkan subdural hematom regio

parietal bilateral, perdarahan subarachnoid di falx cerebri posterior dan tentorium

cerebri kanan kiri. Pasien diberikan terapi manitol. Perawat melakukan tindakan

keperawatan dengan monitoring TIK. Pertanyaan soal Apakah indikator monitoring

TIK?

(a) Cedera organ multiple dengan penurunan kesadaran

(b) Adanya massa intrakranial

(c) Kriteria neurologi: trauma kepala berat dan GCS = 7

(d) CT Scan

(e) Postur tubuh desebrasi dan dekortikasi

14
3. Seorang laki-laki berusia 42 tahun dirawat di bangsal neuro dengan trauma kepala

ringan. Hasil CT Scan menunjukkan subdural hematom. Saat pengkajian GCS 14,

pasien mengeluh nyeri kepala skala 6. Nampak pasien bingung jika ditanya,

mengantuk (+). Hasil TTV didapatkan: TD = 130/90 mmHg, N=72 x/menit,

S=20x/menit, S=37⁰C. Tampak hematom palpebra, terpasang kateter dan infus RL 20

tetes/menit, dan manitol 100 cc per 6 jam. Pertanyaan soal Apakah diagnosa

keperawatan utama kasus diatas?

(a) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

(b) Peningkatan TIK

(c) Risiko jatuh

(d) Risiko cedera

(e) Perubahan pola eliminasi

4. Seorang perempuan berusia 60 tahun masuk UGD dengan trauma kepala sejak 4 jam

sebelum masuk RS. Menurut pengantar, pasien sempat pingsan saat kejadian namun

berlangsung < 10 menit. Saat pengkajian pasien mengeluh pusing. Pertanyaan soal

Gejala apakah yang nampak pada pasien?

(a) Kontusio cerebri

(b) Memar otak

(c) Perdarahan intrakranial

(d) Peningkatan tekanan intrakranial

(e) Komusio cerebri

15
5. Seorang perawat sedang melakukan pemeriksaan pada pasien CKB dengan

peningkatan tekanan intracranial. Tanda vital manakah yang menunjukkan bahwa

pasien mengalami peningkatan intracranial?

(a) peningkatan suhu tubuh, kecepatan nadi, irama nafas, dan peningkatan tekanan

darah

(b) peningkatan suhu tubuh, kecepatan nadi, penurunan tekanan darah dan irama nafas

(c) peningkatan suhu tubuh, penurunan kecepatan nadi, irama nafas,

peningkatan tekanan darah

(d) penurunan suhu tubuh, penurunan kecepatan nadi, irama nafas meningkat, tekanan

darah menurun

(e) penurunan suhu tubuh, peningkatan kecepatan nadi, penurunan kecepatan nafas,

dan peningkatan tekanan darah

16
Daftar Pustaka

Emergency Nurses Association. (2013). Sheehy’s manual of Emergency nursing: Principles

and practice (7th ed.). Elsevier.

Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia. (2020). Basic Trauma Cardiac

Life Support (BTCLS) (1st ed.). Badan Pendidikan dan Pelatihan Dewan Pengurus Pusat.

Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., Bucher, L., & Hading, M. M. (2019).

Medical-surgical nursing assessment and management of clinical problems (9th ed.).

Elsevier.

Mistovich, J. J., & Karren, K. J. (2014). Prehospital emergency care (10th ed.). Pearson

Education.

Nutbeam, T., & Boylan, M. (2013). ABC of prehospital emergency medicine. Wiley

Blackwell.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). (2016). Standar diagnosis keperawatan

Indonesia: Definisi dan indikator diagnostik (1st ed.). DPP PPNI.

Purwanto, H. (2016). Modul bahan ajar keperawatan: Keperawatan medikal bedah II.

Pusdik SDM Kesehatan.

Rasul, M. I., Arifin, M. Z., & . W. (2018). Penatalaksanaan pasien cedera kepala dengan

fraktur panfasial dan pneumosefalus. Makassar Dental Journal, 1(6).

https://doi.org/10.35856/mdj.v1i6.85

Rubiano, A. M., Carney, N., Chesnut, R., & Puyana, J. C. (2015). Global neurotrauma

research challenges and opportunities. Nature, 527(7578), S193–S197.

https://doi.org/10.1038/nature16035

Shaikh, F., & Waseem, M. (2022). Head Trauma. StatPearls Publishing.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430854/

17
Sutawan, I. G., Maliawan, S., & Niryana, I. W. (2021). Faktor risiko yang mempengaruhi

outcome pada pasien cedera kepala di RSUP Sanglah, Bali, Indonesia pada tahun 2018-

2019. Intisari Sains Medis, 12(2), 653–659. https://doi.org/10.15562/ism.v12i2.1047

Tscheschlog, B. A., & Jauch, A. (2015). Emergency nursing made incredibly easy! (2nd ed.).

Wolters Kluwer Health.

18

Anda mungkin juga menyukai