Anda di halaman 1dari 47

LABORATORIUM KEPANITERAAN REFERAT

KLINIK RADIOLOGI SEPTEMBER 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

TRAUMA KAPITIS

Oleh:
Adit Metro Putra Prasetya
K1A1 15 153

PEMBIMBING
dr. Ruslan Duppa, Sp.Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA LABORATORIUM KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Adit Metro Putra Prasetya
NIM : K1A1 15 153
Judul Referat : Trauma Kapitis

Telah menyelesaikan referat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik


pada Laboratorium Kepaniteraan Klinik Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo.

Kendari, September 2021


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ruslan Duppa, Sp. Rad

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv

BAB I. Pendahuluan...............................................................................................1

BAB II. Epidemiologi.............................................................................................2

BAB III. Etiologi dan Patofisiologi........................................................................4

BAB IV. Klasifikasi................................................................................................5

BAB V. Anatomi dan Fisiologi.............................................................................12

BAB VI. Gambaran Klinis.....................................................................................18

BAB VII. Diagnosis...............................................................................................19

BAB VIII. Diferential Doagnosis..........................................................................32

BAB IX. Komplikasi.............................................................................................32

BAB X. Penatalaksanaan.......................................................................................33

BAB XI. Prognosis................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................41
DAFTAR GAMBAR

No Gambar Judul Gambar Halaman


Gambar 1 Perdarahan epidural 11
Gambar 2 Perdarahan subdural 12
Gambar 3 Perdarahan subarachnoid 13
Gambar 4 Diffuse Axonal Injury (DAI) 14
Gambar 5 Fraktur Tengkorak Posisi AP 15
Gambar 6 Anatomi Otak 18
Gambar 7 Hematoma epidural. 28
Gambar 8 Hematoma epidural arteri kiri 29
Gambar 9 Hematoma subdural bilateral 30
Gambar 10 Pendarahan subarakhnoid massif 32
Gambar 11 Hematoma Intraventrikular 33
Gambar 12 Perdarahan Intraparenchymal 34
Gambar 13 Kontusio Parenkim 35
TRAUMA KAPITIS
Adit Metro Putra Prasetya, Ruslan Duppa
(Subdivisi Neurologi Bagian Laboratorium Klinik Radiologi FK-UHO)

I. PENDAHULUAN

Trauma kapitis (trauma kepala) merupakan trauma mekanik terhadap

kepala baik secara lansung maupun tidak lansung yang menyebabkan

gangguan fungsi neurologis, yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial

baik temporer maupun permanen. Cedera kepala adalah serangkaian kejadian

patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan

setiap komponen yang ada, mulai dari kulit kepala ,tulang dan jaringan otak

atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian

dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi

akibat kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi

di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan

di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar,

serta rujukan yang terlambat.(1,2)

Traumatic Brain Injury (TBI) berperan sebagai salah satu penyebab

kematian terbesar. Pasien yang bahkan telah terkena dapat memiliki resiko

jangka panjang. Insiden cedera kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500

per 100.000 populasi. Di Amerika Serikat, ada sekitar 1,7-2,0 juta insiden

TBI setiap tahun. Selain itu, CDC melaporkan bahwa sekitar 5,3 juta orang

Amerika hidup dengan efek TBI. Indonesia sendiri angka kecelakaan lalu

lintas masih cukup tinggi. Pada tahun 2003 kasus cedera kepala akibat

kecelakaan lalu lintas sebanyak 13.399 kejadian, dari jumlah yang ada

1
sebanyak 9.896 orang meninggal dunia, 6.142 mengalami cedera kepala

berat dan 8.694 orang mengalami cedera kepala ringan. di negara

berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri

memberikan dampak frekuensi cedera kepala semakin meningkat dan

merupakan salah satu kasus yang paling tinggi di ruangan gawat darurat.(4.5)

Pencitraan klinis rutin untuk dugaan cedera otak traumatis

biasanya terdiri dari CT dan MRI non kontras pada kasus tertentu. Kasus

yang diketahui dan diduga kelainan vaskular primer mungkin memerlukan

penambahan angiografi non invasif (angiografi CT atau angiografi MR) atau

angiografi kateter untuk diagnosis. Pencitraan memiliki peran besar dalam

mengevaluasi dan mendiagnosis TBI dan sangat berguna ketika menentukan

pasien mana yang memerlukan penanganan neurosurgical. Meskipun begitu,

radiologi harus berhubungan dengan patologis TBI dan dampaknya terhadap

manifestasi klinis, tatalaksana dan prognosis.(5)

II. EPIDEMIOLOGI

Trauma kepala lebih sering terjadi pada anak-anak, orang dewasa

hingga 24 tahun, dan mereka yang lebih tua dari 75 tahun. Trauma kepala 3

kali lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Cedera kepala

menyumbang hingga 50% dari kematian terkait cedera kepala. Sebagian

besar korban bertahan hidup dengan cacat yang signifikan.(6)

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada

tahun 2020, kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan

trauma ketiga terbanyak di dunia. Hal ini didukung dengan tingginya insiden

2
cedera kepala di beberapa negara Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa

negara berkembang seperti Indonesia. Di negara berkembang seperti

Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak

frekuensi cedera kepala semakin meningkat dan merupakan salah satu kasus

yang paling tinggi di ruangan gawat darurat.(4)

Kejadian cedera kepala di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan

mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal

sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80%

dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang,

dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Pada tahun 2003, di Indonesia kasus

cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 13.399 kejadian, dari

jumlah yang ada sebanyak 9.896 orang meninggal dunia, 6.142 mengalami

cedera kepala berat dan 8.694 orang mengalami cedera kepala ringan.(2,4)

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, angka kejadian cedera pada

kepala di Indonesia sebesar 11,9% dan prevalensi tertinggi cedera pada

kepala di Indonesia secara nasional ditemukan di Provinsi Gorontalo dan

prevalensi terendah di Provinsi Kalimantan Selatan. Prevalensi cedera

berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan

dan kecelakaan akibat mengendarai sepeda motor merupakan penyebab

cedera terbanyak. Sulawesi Tenggara sendiri pada tahun 2018 dilaporkan

sebanyak kurang lebih 11% mengalami cedera kepala.(7)

3
III. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Terdapat dua mekanisme pokok yang mengakibatkan cedera pada otak

yaitu karena kontak langsung dan karena pengaruh aselerasi dan deselerasi.

Masing-masing mekanisme itu menimbulkan dampak cedera yang berbeda.

Cedera kepala yang diakibatkan oleh kontak langsung atau gerakan aselerasi

maupun deselerasi dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu, cedera

terbuka dan cedera tertutup. Bagian terbesar dari cedera kepala yang

mengakibatkan trauma pada otak disebabkan oleh cedera tertutup yaitu tidak

terjadi luka terbuka pada otak.(8)

Tahap awal terjadinya TBI akibat dari kerusakan jaringan langsung dan

gangguan autoregulasi aliran darah otak (CBF) serta adanya gangguan

metabolisme. Keadaan ini, mirip dengan iskemia, dapat menyebabkan

akumulasi asam laktat, peningkatan permeabilitas membrane sel dan edema.

Karena metabolisme anaerob tidak dapat menopang kebutuhan otak dan

Adenosine triphosphate (ATP) yang habis, akhirnya akan mengakibatkan

kegagalan pompa ion membran ATP-dependent, yang sangat penting untuk

mempertahankan homeostasis yang memadai. Tahap kedua dari kaskade ini

ditandai dengan depolarisasi membran bersamaan dengan eksitotoksisitas

(yaitu,pelepasan neurotransmiter rangsang seperti glutamat dan aspartat) serta

aktivasi kalsium dan natrium. Adanya aktivasi kalsium dan natrium akan

menghasilkan aktivasi peroksidase lipid, protease dan fosfolipase, yang akan

memicu terjadinya apoptosis dan akhirnya mengarah ke degradasi membrane

dan kematian sel.(9)

4
IV. KLASIFIKASI

Lesi kraniocerebral dapat diklasifikasikan menjadi primer dan

sekunder. Lesi primer terjadi sebagai akibat langsung dari trauma kepala dan

termasuk cedera kulit kepala, patah tulang tengkorak, perdarahan ekstra-

aksial dan lesi intra-aksial. Cedera otak sekunder terjadi sebagai komplikasi

dari lesi primer dan termasuk kerusakan iskemik dan hipoksia, edema

serebral, dan otak herniasi. Perdarahan ekstra aksial termasuk epidural

hematoma (EDH), subdural hematoma (SDH), subarakhnoid hematoma

(SAH) dan perdarahan intraventrikular (IVH). Lesi intraaksial yaitu Diffuse

Axonal Injury (DAI), kontusio kortikal, intraparenchymal hematoma (IPH)

dan lesi vaskular.(10)

1. Cedera Primer

Cedera primer adalah kerusakan yang terjadi sebagai akibat langsung

dari trauma mekanik. Cedera primer termasuk cedera pada tumbukan awal

yang menyebabkan perpindahan otak karena tumbukan langsung,

akselerasi-deselerasi cepat, atau penetrasi. Cedera ini dapat menyebabkan:


(10)

a. Contusio

Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan

jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga

darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi

bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi

apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di

5
lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada

setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu

beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang

membutuhkan tindakan operasi.(3,10)

b. Commotio Cerebri

Commotio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan

yang berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang

tidak disertai kerusakan jaringan otak. Namun pada cedera ini sangat

kurang evidence dalam mengetahui morfologi secara radiographic.(11)

c. Hematoma

1) Epidural Hematoma

Hematom epidural (EDHs) adalah darah yang terkumpul diruang

antara tengkorak dan dura. Biasanya disebabkan oleh cedera arteri

meningeal media, EDH sering dikaitkan dengan fraktur tengkorak

pada orang dewasa. Pada CT, EDH sering muncul sebagai konveks

hiperdens yang tidak melewati sutura kranium. Meskipun jarang

ditemukan dalam subakut atau fase kronis, suatu EDH mungkin

memiliki penampilan yang heterogen dengan area dengan densitas

rendah pada CT yang disebut Swirl sign. Swirl Sign muncul dengan

meningkatkan risiko ekspansi cepat yang lebih tinggi.(3)

6
Gambar 1. Perdarahan epidural (Dikutip dari kepustakaan 1)

2) Subdural Hematoma

Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari pada perdarahan

epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri

merupakan penyebab dari perdarahan subdural. Perdarahan muncul

sebagai hematoma berbentuk konkaf sepanjang garis sutura.

Tergantung dari derajat keparahannya dapat mengakibatkan midline

shift dan herniasi. Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh

permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak lebih berat dan

prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan

epidural.(3,12)

7
Gambar 2. Perdarahan subdural (Dikutip dari kepustakaan 1)

3). Perdarahan Subarakhnoid

Perdarahan subarakhnoid diakibatkan pecahnya aneurisma

intracerebral yang berasal dari pembuluh-pembuluh darah yang

menyuplai dan di sekitar circulus arteriosus cerebri (Circulus

Willisi), tetapi dapat terjadi pada pasien yang mengalami cedera

cerebri yang bermakna. Perdarahan di subarakhnoid biasanya

disertai hilangnya kesadaran, nyeri kepala berat, dan perubahan

status mental cepat.(3,12)

8
Gambar 3. Perdarahan subarakhnoid (Dikutip dari kepustakaan 1)

4). Diffuse Axonal Injury

Diffuse Axonal Injury (DAI), yang secara biomekanis terkait

dengan cedera akselerasi atau deselerasi rotasi pada otak,

menyebabkan cedera aksonal yang meluas pada struktur white

matter yang dangkal dan dalam. Jenis cedera ini menyebabkan

kerusakan pada akson white matter dengan mengakibatkan

gangguan jaringan saraf dan gejala emosional, kognitif, dan perilaku.


(3,12)

9
Gambar 4. Diffuse Axonal Injury (Dikutip dari kepustakaan 3)

5). Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak terlihat sebagai gangguan basis calvaria atau

tengkorak pada gambar CT algoritma tulang. Fraktur tengkorak

dapat tertutup atau terbuka, sederhana atau kominutif, linier,

tertekan, meningkat atau diastasis. Fraktur dapat melibatkan

calvaria, pangkal tengkorak atau keduanya. Komplikasi utama yang

dapat terjadi dengan fraktur dasar tengkorak termasuk kebocoran

cairan serebrospinal (CSF) dan infeksi, kerusakan saraf kranial dan

cedera pada sinus dural, vena jugularis, atau arteri karotis interna

(ICA) Insidensi tertinggi cedera karotis terkait dengan fraktur yang

melibatkan segmen petrous dari kanal karotid, sedangkan bagian

yang paling sering dari kanal karotid diwakili oleh persimpangan

lacerum-kavernosa.(12)

10
Gambar 5. Fraktur Tengkorak Posisi AP. Tampak garis hitam
memperlihatkan adanya fraktur seperti garis. Garis ini terlalu halus
untuk dikatakan sutura dan tidak bercabang seperti pembuluh darah.
(Dikutip dari kepustakaan 12)

d. Cedera Sekunder

Cedera sekunder terdiri dari perubahan yang terjadi setelah cedera

awal. Cedera sekunder berasal dari berbagai kondisi patologis yang

dihasilkan dari kaskade jalur molekul teraktivasi yang dapat berlanjut

selama berhari-hari setelah penghinaan awal. Mekanisme cedera

sekunder termasuk gangguan sawar darah-otak, stres oksidatif,

eksitotoksisitas, dan peradangan, yang mengarah pada keadaan

patologis (misalnya, edema serebral yang menyebabkan peningkatan

tekanan intrakranial (ICP) dan iskemia serebral).(3)

Hal ini dapat disebabkan oleh:

a. Hipotensi sistemik

b. Hipoksia

c. Peningkatan ICP (intracranial pressure)

11
Setelah cedera otak primer, terjadi kaskade seluler dan biokimiawi yang

meliputi pelepasan glutamat ke dalam ruang presinaptik yang

menghasilkan aktivasi N-metil-Daspartat, a- amino-3-hydroxy-5-

methyl-4-isoxazole propionic acid, dan reseptor lainnya. Pergeseran

ionik ini dapat mengaktifkan enzim sitoplasma dan nuklear, yang

mengakibatkan kerusakan mitokondria, dan kematian sel serta nekrosis.


(3)

V. ANATOMI DAN FISIOLOGI

1. Anatomi Kepala

a. Kulit Kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu(13):

1) Skin atau kulit

2) Connective Tissue atau jaringan penyambung

3) Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat

yang berhubungan langsung dengan tengkorak

4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

5) Perikranium

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila

terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan

banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita

dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan

waktu lama untuk mengeluarkannya.(13)

12
b. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis

kranii, di regio temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot

temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga

cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian dasar

otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi. Rongga

tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior, media dan

posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media

tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang

otak bawah dan serebelum.(13)

c. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari

tiga lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah

selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat

dengan tabula interna atau bagian dalam kranium. Duramater tidak

melekat dengan lapisan dibawahnya (arakhnoid), terdapat ruang

subdural.(13)

Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada

permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau

disebut Bridging veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan

perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater

dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang

13
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang

terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah duramater terdapat

araknoid yang merupakan lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan

yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks

serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan

piameter dalam ruang sub araknoid.(13)

d. Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak.

Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh

falks serebri (lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis

superior). Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut

sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi

emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat

ekspresi bicara (area bicara motorik).(13)

Gambar 6. Anatomi Otak (Dikutip dari kepustakaan 14)

Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi

14
sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus

occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang

berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata

berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai

medula spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam

fungsi koordinasi dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior,

berhubungan dengan medula spinalis batang otak dan kedua hemisfer

serebri.(13)

e. Cairan serebrospinal

Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak

di ventrikel lateralis baik kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen

monro ke dalam ventrikel tiga. Selanjutnya melalui akuaduktus dari

sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya keluar dari sistem

ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang berada diseluruh

permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam

sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang terdapat pada sinus

sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat

granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan

menyebabkan kenaikan tekanan intra kranial (hidrosefalus

komunikans).(13)

15
f. Tentorium

Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi

supratentorial dan infratentorial. Mesensefalon menghubungkan

hemisfer serebri dengan batang otak berjalan melalui celah lebar

tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial. Nervus

oculomotorius (N.III) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini

dapat tertekan pada keadan herniasi otak yang umumnya dikibatkan

oleh adanya massa supratentorial atau edema otak. Bagian otak yang

sering terjadi herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi medial lobus

temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi Unkus menyebabkan

juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan pada otak tengah.

Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal

sebagai sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan

intrakranial tedapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang

berdilatasi, walaupun tidak selalu.(13)

1) Tekanan Intrakranial

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat

mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan

mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap

kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat

menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan

tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan

tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya

16
masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah

utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136

mmH2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal

dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat.

Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk

prognosisnya.(15)

2) Doktrin Monro-Kellie

Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan

pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume

intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya

merupakan rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal

tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena TIK

umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita

mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva

tekanan- volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan

kedudukan pada garis datar kurva berapa banyak volume lesi

masanya.(15)

2. Aliran Darah Otak (ADO)

ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan

otak per menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit

maka aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit

sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap.

Pada penderita non-trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan

17
ADO pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-

160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata dibawah 50 mmHg, ADO

menurun curam dan bila tekanan arteri rata-rata di atas 160 mmHg

terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat.

Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita

cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut sangat rentan

terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai akibat

hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja

dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat

berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi.

Karenanya bila terdapat hematoma intra cranial, haruslah

dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap

harus dipertahankan.(15)

VI. GAMBARAN KLINIS

Cedera otak traumatis adalah diagnosis klinis, mengandalkan gejala

seperti kehilangan kesadaran, kebingungan, atau amnesia (anterograde atau

retrograde) yang terjadi setelah benturan pada kepala. Gejala yang dirasakan

dapat termasuk pusing, kehilangan kesadaran (Lost of Confussioness) dalam

waktu 30 menit atau kurang, amnesia pasca-trauma kurang dari 24 jam, atau

masalah neurologis sementara lainnya seperti kejang fokal dan lesi

intracerebral. Gejala lain termasuk sakit kepala, sakit kepala ringan, lekas

marah, muntah, pandangan kabur, kelelahan, dan konsentrasi yang buruk juga

telah dilaporkan.(16)

18
Penting untuk mengetahui riwayat dengan baik mengenai

mekanisme terjadinya cedera. Ikuti protokol trauma mengenai life support

dan lakukan survei primer, sekunder, dan tersier. Setelah pasien stabil,

pemeriksaan neurologis harus dilakukan. CT scan merupakan modalitas

diagnostik pilihan dalam evaluasi awal pasien dengan trauma kepala.(16)

VII.DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis (Subjective)

Informasi yang diperlukan adalah:(17)

a. Identitas pasien: Nama, Umur, Jenis kelamin, Suku, Agama, Pekerjaan,

Alamat

b. Keluhan utama

c. Mekanisma trauma

d. Waktu dan perjalanan trauma

e. Pernah pingsan atau sadar setelah trauma

f. Amnesia retrograde atau antegrade

g. Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang,

vertigo

h. Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala

i. Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala,

hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah.

19
2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta

pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode

dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau per organ B1 – B6

(Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone). Pemeriksaan fisik yang

berkaitan erat dengan cedera otak adalah: (17)

a. Pemeriksaan kepala mencari tanda :

1) Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka

terbuka, luka tembus dan benda asing.

2) Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill

hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan

otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis

auditorius.

3) Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur

rima orbita dan fraktur mandibular.

4) Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva,

perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.

b. Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :

Tingkat kesadaran berdasarkan skala Glasgow Coma Scale

(GCS). Cedera kepala berdasar GCS yang dinilai setelah stabilisasi

ABC diklasifikasikan: (17)

1) GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)

2) GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS)


20
3) GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)

3. Pemeriksaan Penunjang :

Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat dilakukan yaitu

pemeriksaan konsentrasi gas darah arteri dan pemantauan saturasi oksigen

melalui oksimetri nadi agar memberikan informasi berguna lebih lanjut.(17)

4. Pemeriksaan Radiologi

a. Radiografi Konvensional

Rontgen melibatkan memaparkan sebagian tubuh pada radiasi

pengion dosis kecil untuk menghasilkan gambar bagian dalam tubuh.

Dokter terkadang menggunakan x-ray kepala untuk mendeteksi dan

menilai fraktur tengkorak. Namun, pemeriksaan seperti ini sudah jarang

dilakukan, karena tidak dapat menilai otak sama sekali dan CT scan

dapat menunjukkan sebagian besar fraktur tengkorak lebih jelas

daripada sinar-X kepala. Selain itu, pemeriksaan radiografi X-ray

tengkorak hanya digunakan untuk menilai benda asing, tembakan atau

luka tusuk.(3,18)

b. Computed Tomography

Pemindaian tomografi komputer (CT) menggabungkan peralatan

sinar-X khusus dengan komputer canggih untuk menghasilkan banyak

gambar atau gambar kepala dan otak. Dokter menggunakan CT kepala

untuk mendeteksi perdarahan, pembengkakan, cedera otak dan patah

tulang tengkorak.(18)

Terdapat konsensus kuat dan bukti bahwa CT non kontras

(NCCT) adalah tes pencitraan diagnostik triaging awal untuk pilihan


21
untuk pasien dengan TBI akut sedang hingga berat. NCCT sensitif

untuk deteksi TBI penting secara klinis, yang didefinisikans ebagai

cedera intrakranial yang parah berpotensi mengakibatkan

kematian,intervensi neurologis, intubasi> 24 jam, atau masuk selama> 2

hari. NCCT sensitif dan spesifik untuk adanya perdarahan intrakranial,

cairan ekstra aksial, fraktur tengkorak, dan benda asing radiopakseperti

pecahan peluru. NCCT juga mendeteksi edema serebral, pembengkakan

dan tanda-tanda herniasi. NCCT memiliki banyak keunggulan,

termasuk ketersediaannya yang luasdan waktu akuisisi yang cepat,

dengan beberapa kontraindikasimelampaui kekhawatiran paparan

radiasi. (18)

Pemeriksaan radiologis CT-scan diperlukan pada pasien dengan

trauma Kepala : (3)

a. Sedang/mild (skor GCS 9 hingga 12)

b. Parah/severe (skor GCS <8)

Teknik pencitraan dapat mengklasifikasikan pola cedera

struktural di otak. Cedera otak traumatis dapat berupa hemoragik atau

non hemoragik. Lokasi perdarahan intrakranial dapat mencakup ruang

epidural, ruang subdural, ruang subarachnoid, intraparenkima, atau

ruang intraventrikular.(18)

1) Lesi Ekstra-aksial

a) Hematoma Epidural
22
Pada hematoma epidural, hematoma terletak di antara

duramater dan calvarium.(14) Hematoma epidural dapat disertai

fraktur atau tanpa fraktur tulang tengkorak. Robekan arteri

meningen media atau cabangnya memberikan perdarahan

epidural. Secara klinis, hematoma epidural dapat dikaitkan

dengan interval lucid diikuti oleh penurunan klinis karena

tingkat kritis tekanan intrakranial (ICP) tercapai. Hematoma

epidural paling sering dijumpai pada fase akut.(18)

Hematom epidural (EDH) adalah kumpulan darah di

ekstrakranial antara tabula interna tengkorak dan duramater, pada

dasarnya di bawah permukaan tulang. EDH terjadi pada <1% dari

pasien dengan cedera kepala. EDH biasanya ditemukan di cedera

“Coup”, dan umumnya dikaitkan dengan fraktur tengkorak dan

laserasi pembuluh darah yang mendasarinya, terutama pembuluh

darah duramater. Pencitraan yang direkomendasikan adalah CT,

yang menggambarkan fraktur dan pendarahan. EDH umumnya

berbentuk bikonveks dan biasanya tidak melewati sutura tetapi

dapat melewati tentorium atau falx. Pada tahap awal, hematoma

epidural mungkin tampak heterogen pada CT dengan daerah

hiperdensitas yang menggumpal pusaran darah dan pusaran

hipodense dari darah yang tidak terkoagulasi menjadi lebih

homogen. "Whirl Sign" adalah tampakan yang harus diperhatikan

dengan karena merupakan perdarahan aktif. (18,19)

23
Ketika pembuluh darah laserasi, perdarahan arteri

menghasilkan hematoma yang berkembang pesat yang

memberikan efek massa pada otak, deformitas fokal otak dan

peningkatan tekanan intracranial (ICP). Ukuran EDH dapat terus

meningkat sampai tekanan perfusi arteri diseimbangkan dengan

peningkatan ICP. Operasi dekompresif darurat diindikasikan

untuk menghilangkan EDH, menghentikan pendarahan, dan

mengurangi kompresi pada otak.(18,19)

Gambar 7. Hematoma epidural. Gambar aksial menunjukkan


pengumpulan cairan ekstra-aksial bikonveks berbentuk dangkal
ke lobus oksipital kiri dengan komponen hiperdens dan hipodens.
Fraktur tulang temporal kiri yang berdekatan tidak terlihat.
(Dikutip dari kepustakaan 18).

24
Gambar 8. Hematoma epidural arteri kiri. CT-scan non-kontras
saat masuk. Hematoma sisi kiri adalah bikonveks, dan dibatasi
oleh sutura koronal di anterior dan oleh sutura lambdoid
posterior. Efek massa menyebabkan pergeseran struktur garis
tengah dengan kompresi ventrikel lateral kiri dan dilatasi
ventrikel lateral kanan.(Dikutip dari kepustakaan 18)

b) Hematoma Subdural

Pada hematoma subdural, hematoma terletak antara

duramater dan membran arachnoid. Hematoma subdural

umumnya melibatkan tingkat cedera otak yang lebih tinggi

dibandingkan dengan hematoma epidural. Edema serebral yang

mendasari, efek massa, atau pergeseran garis tengah dapat

berkontribusi pada komplikasi yang ditakuti dari peningkatan

ICP dan herniasi serebral. Selain itu, berbeda dengan hematoma

epidural, yang biasanya hadir pada fase akut, hematoma subdural

biasanya hadir pada berbagai lama perdarahan. (18,19)

Kebanyakan SDH (subdural hematoma) bermanifestasi

sebagai kumpulan bulan sabit antara otak dan atau bagian dalam

tengkorak; SDH interhemispher dan tentorial memiliki

morfologi yang lebih linier. (18,19)

25
Pada CT, SDH akut dilihat sebagai struktur hiperdens

crescentic antara otak dan batas dalam tengkorak. Pada CT

modern, ruang arachnoid dapat terlihat berdekatan dengan otak

yang berlawanan dari SDH. SDH tidak menembus ke sulci.

Seiring waktu, densitas berkurang dan mungkin menjadi isodense.

Oleh karena itu, MRI dapat menjadi metode pencitraan yang

disukai pada tahap selanjutnya Sub akut SDH terjadi sebagai lesi

hiperintens karena methemoglobin ekstraseluler. Hematoma

subdural kronis juga dievaluasi dengan baik oleh MRI, yang

dapat dengan jelas membedakan ukuran dan luas perdarahan serta

pengembangan kapiler yang terkait dengan SDH.(18,19)

Gambar 9. Hematoma subdural bilateral. Gambar aksial


menunjukkan koleksi cairan berbentuk sabit bilateral.(Dikutip
dari kepustakaan 18)

26
c) Hematoma Subarakhnoid

Pada perdarahan subarachnoid, perdarahan terletak di dalam

ruang subarachnoid dan dapat dilihat pada sulci antara gyri

kortikal, celah antara cerebellar folia dan cisterna seperti cisterna

basal atau cisterna perimesencephalic. Setelah perdarahan

memasuki ruang subarachnoid, ia dapat mengalami jumlah

pengenceran yang bervariasi oleh cairan serebrospinal. Selain

trauma, penyebab penting dan umum dari perdarahan

subaraknoid adalah pendarahan aneurismal. (18,19)

Perdarahan subaraknoid traumatis (SAH) adalah

perdarahan umum dan sering fokal. Ini bisa disebabkan oleh

labrasi cerebri superfisial, cedera vaskular leptomeningeal, atau

perdarahan intraventrikular dengan refluks subaraknoid. SAH

akut mudah dikenali pada CT non-kontras sebagai gyriform

atenuansi tinggi di ruang subarachnoid dan akan menembus

sulcus. SAH akut dapat muncul sebagai hyperdensity lengkung di

dalam sulkus kortikal, fisura sylvian, dan cysterna basal pada

NCCT.(12)

27
Gambar 10. Pendarahan subarakhnoid masif. Gambar aksial
menunjukkan perdarahan subaraknoid dalam tangki basal.
(Dikutip dari kepustakaan 18)

d) Hematoma Intraventrikular

Traumatic intraventricular hemorrhage (IVH) terjadi

sebagai aakibat robekan vena sub ependim atau vena koroidal

atau refluks SAH ke dalam ventrikel. Mungkin juga terlihat

dalam hubungan dengan diffuse axonal injury pada korpus

callosum. Pada CT IVH dapat muncul sebagai hiperdens di

ventrikel. Selama 48 jam pertama IVH muncul hiperintens pada

MRI, tetapi selanjutnya intensitasnya dapat bervariasi.(12)

Intraventricular hemorrhage (IVH) umumnya pada pasien

dengan cedera kepala, terjadi pada 3% hingga 35% kasus,

tergantung padatingkat keparahan trauma. Penyebab yang paling

umum dianggap akibat robekan vena subependymal oleh karena

regangan rotasi. IVH tampak mirip dengan SAH dengan darah

yang muncul hiperdens ke CSF pada CT dan hiperintens ke CSF

28
pada FLAIR dan T1WI dengan MRI.(12)

Gambar 11. Hematoma Intraventrikular. Terdapat gambaran


hyperintense yang mengisi ruang- ruang ventrikel.(Dikutip dari
kepustakaan 12)

2) Cedera Intra-aksial

a) Intraparenchymal Hemorrage

Pada intraparenchymal hemorrage, perdarahan di dalam

jaringan otak itu sendiri. Perdarahan intraparenchymal biasanya

karena memar dan cedera aksonal. Mekanisme cedera pada

cedera aksonal difus (DAI) kemungkinan lebih kompleks

daripada hanya aksotomi mekanik primer trauma. Cedera

aksonal difus adalah cedera tipe geser pada akson yang biasanya

disebabkan oleh gaya akselerasi atau deselerasi rotasi yang

signifikan.(12)

Cedera aksonal difus adalah tipe umum dari cedera


29
neuron primer pada pasien dengan trauma kepala berat dengan

insiden naik hingga 50% dari korban trauma. DAI terjadi ketika

otak terkena hantaman regangan geser yang mengarah ke lesi

pada dua jaringan yang berdekatan dengan densitas yang

berbeda,seperti gray dan white matter atau area struktur dekat

otak seperti cerebellar pedunculus atau corpus callosum. Tingkat

keparahan lesi meningkat ke arah cerebellum, sedangkan cedera

aksonal di batang otak dipertimbangkan menjadi indikator untuk

degenerasi menjadi koma di DAI. DAI adalah cedera primer

umum pada trauma otak dan pemeriksaan CT masih merupakan

modalitas pilihan pada pasien yang trauma berat pada fase akut

karena dapat mendeteksi lesi hemoragik petekie, fraktur.(12)

Gambar 12. Perdarahan Intraparenchymal. Trauma kepala


menunjukkan hematoma parietal kiri akut yang besar dan
hiperdens dengan edema di sekitarnya yang telah didekompresi
ke ventrikel lateral kiri yang berdekatan.(Dikutip dari
kepustakaan 12)

30
b) Kontusio Parenkim

Kontusio parenkim terjadi sebagai dampak dari permukaan

yang tidak teratur pada tengkorak atas, yang biasanya terjadi

pada (coup injury) atau berlawanan (contrecoup) tempat trauma

tumpul. Kontusio sering bersifat multifokal dan bilateral,

biasanya melibatkan materi abu-abu superfisial.(12)

Gambar 13. Kontusio Parenkim. Gambar menunjukkan fraktur


oksipital kiri non displaced (C, panah) dengan memar hemoragik
yang mendasari di belahan otak kiri (B, panah tertutup)
kompatibel dengan counter coup. Terdapat juga kontusio
hemoragik besar, bifrontal, hemoragik (A, panah tertutup) dan
kontusio hemoragik temporal anterior kiri kecil (B, panah
terbuka), yang kompatibel dengan cedera yang terjadi pada bayi.
(Dikutip dari kepustakaan 12)

c. Magnetic Resonance Imaging

Pencitraan resonansi magnetik (MRI) menggunakan medan

magnet yang kuat, pulsa frekuensi radio, dan komputer untuk

menghasilkan gambar detail organ, jaringan lunak, tulang, dan hampir

31
semua struktur tubuh internal lainnya. Pada pasien tertentu, dokter

menggunakan MRI otak, termasuk teknik pemindaian MR khusus yang

disebut pencitraan difusi-tertimbang, pencitraan tensor difusi dan

spektroskopi MR, untuk membantu mendiagnosis cedera otak yang

tidak memiliki kelainan yang tampak jelas pada pemindaian MR yang

lebih rutin.(12)

VIII. DIFERENTIAL DIAGNOSIS

Diagnosis banding cedera kepala dewasa meliputi: (20)

1. Ensefalopati metabolik anoksik, inflamasi, infeksi, toksik atau metabolik,

yang bukan merupakan komplikasi dari trauma kepala

2. Neoplasma

3. Infark otak (stroke iskemik) dan perdarahan intrakranial (stroke

hemoragik) tanpa trauma yang terkait

4. Keracunan alkohol, obat-obatan psikotropika atau penyalahgunaan zat

5. Kejang

IX.KOMPLIKASI

Walaupun dengan tidak adanya cedera organ ekstrakranial secara

langsung, 89% pasien dengan cedera otak berat dapat menunjukkan disfungsi

organ yang signifikan, yang secara independen terkait dengan hasil yang lebih

buruk. Disfungsi dan kegagalan ini dapat memengaruhi banyak sistem dan

dapat terjadi dalam keadaan akut hingga rehabilitasi.(21)

32
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada pasien trauma kepala

adalah : (6,20)

1. Tingkat DVT lebih tinggi pada pasien trauma kepala

2. Defisit neurologis

3. Kebocoran CSF

4. Hydrocephalus

5. Infeksi

6. Kejang

7. Edema serebral

X. PENATALAKSANAAN

A. Pertolongan Awal

1. Penilaian dan Perawatan umum (general care)

Glasgow Coma Scale dan Score banyak digunakan pada pasien

dengan TBI karena reliabilitas dan validitasnya yang baik. GCS

berfungsi untuk mengukur respon mata, motorik dan verbal terbaik

pasien, dan mengkategorikannya menjadi ringan (GCS 13 hingga 15),

sedang (GCS 9 hingga 12) dan parah (GCS 3 hingga 8). Mereka adalah

alat yang dapat diandalkan untuk memantau dan mendeteksi kerusakan

pada pasien dengan TBI. Keracunan alkohol, obat penenang, hipoksia

dan hipotensi dapat mengacaukan tingkat kesadaran. Oleh karena itu

setiap penilaian GCS harus diulang setelah resusitasi dari masalah

kardiopulmoner atau pemulihan dari keracunan dan sedasi pada pasien

33
dengan cedera kepala. Intoksikasi alkohol (konsentrasi alkohol dalam

darah> 0,08%) adalah perancu penting untuk penilaian dari

pemeriksaan GCS pada pasien yang mabuk alkohol dengan TBI.(20)

2. Manajemen Awal

a. Jalan napas (Airway)

Manajemen pra-rumah sakit yang paling penting di TBI adalah

pemeliharaan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Hipoksemia

(saturasi oksigen [SpO2] <90%) adalah faktor paling penting yang

terkait dengan hasil yang lebih buruk (lebih banyak kematian dan

kecacatan parah dengan SPO2 kurang dari 90%) dan karena itu perlu

perhatian segera.(20)

Stabilisasi in-line manual disediakan oleh asisten selama

intubasi dengan menggunakan jari dan telapak kedua tangan untuk

menstabilkan proses oksiput dan mastoid pasien untuk dengan

lembut menangkal kekuatan intervensi jalan napas. Sebelum

manuver ini, setengah bagian depan kerah semi kaku dihilangkan.

Asisten berdiri di kepala atau sisi tempat tidur. Stabilisasi in-line

manual jangkar tengkuk dan batang jangkar tulang belakang leher

bagian bawah. Perhatian harus diambil selama prosedur karena

kekuatan laringoskopi masih dapat diterjemahkan ke tulang belakang

mid-servical.(20)

b. Cervical

Cedera tulang belakang yang tidak stabil dapat terjadi

34
bersamaan dengan TBI dan menyebabkan defisit neurologis

permanen jika tidak ditangani dengan tepat. Oleh karena itu,

risiko cedera serviks harus disingkirkan. Imobilisasi tulang belakang

leher penuh harus dilakukan pada pasien TBI dengan salah satu

faktor risiko berikut: (20)

1) GCS <15 pada penilaian awal oleh profesional kesehatan

2) Parestesia di ekstremitas

3) Sakit leher atau nyeri tekan

4) Defisit neurologis fokal

5) Kecurigaan klinis lain dari cedera tulang belakang leher

c. Sirkulasi

Hipotensi didefinisikan sebagai SBP <90 mmHg pada orang

dewasa. Hipotensi yang tidak diobati akan menghasilkan penghinaan

otak sekunder dan penelitian telah menunjukkan bahwa satu episode

hipotensi secara signifikan memperburuk hasilnya. Pilihan

pengobatan termasuk resusitasi cairan. Tekanan arteri rata-rata

(MAP) harus dipertahankan pada 80 mmHg atau lebih dengan infus

cairan dan atau vasopresor seperti yang ditunjukkan. Namun

hipotensi dan hipoksia harus dihindari, dan resusitasi cairan harus

cukup untuk mempertahankan perfusi otak.(20)

B. Di Fasilitas Kesehatan

Prioritas tetap sama: ABC juga berlaku untuk TBI. Tujuannya

adalah untuk mengoptimalkan perfusi dan oksigenasi.(20)

35
1. Jalan nafas dan pernapasan

Identifikasi segala kondisi yang mungkin membahayakan jalan

napas, seperti pneumotoraks. Untuk sedasi, pertimbangkan untuk

menggunakan agen aksi pendek yang memiliki efek minimal pada

tekanan darah atau ICP:(20)

a. Agen induksi: Etomidate atau propofol

b. Agen paralitik: Suksinilkolin atau Rocuronium Pertimbangkan

intubasi endotrakeal dalam situasi berikut:

a. Ventilasi yang tidak memadai atau pertukaran gas seperti

hiperkarbia, hipoksia, atau apnea

b. Cedera berat (skor GCS = 8)

c. Ketidakmampuan untuk melindungi jalan napas

d. Pasien gelisah

e. Perlu untuk transportasi pasien

Tulang belakang leher harus dijaga sejajar selama intubasi.

Intubasi nasotrakeal harus dihindari pada pasien dengan trauma

wajah atau fraktur tengkorak basilar. Target:

a. Saturasi oksigen> 90

b. PaO2> 60

c. PCO pada usia 35 – 45

2. Sirkulasi

Hindari hipotensi. Tekanan darah normal mungkin tidak

memadai untuk mempertahankan aliran dan CPP yang memadai jika

36
ICP meningkat.Target:(20)

a. Tekanan darah sistolik> 90 mm Hg

b. PETA> 80 mm Hg

Trauma kepala yang terisolasi biasanya tidak menyebabkan

hipotensi. Cari penyebab lain jika pasien syok.

3. Peningkatan ICP

Peningkatan ICP dapat terjadi pada pasien trauma kepala

yang mengakibatkan lesi yang menempati massa. Memanfaatkan

pendekatan tim untuk mengelola herniasi yang akan datang. Tanda

dan gejala : (20)

a. Perubahan status mental

b. Pupil tidak teratur

c. Temuan neurologis fokal

d. Postur: decerebrate atau decorticate

e. Papil edema (mungkin tidak terlihat dengan peningkatan ICP

yang cepat)

Temuan CT scan:

a. Redaman sulcus dan gyrus

b. Demarkasi materi abu-abu / putih yang buruk

4. Tindakan Umum20

a. Posisi Kepala: Angkat kepala tempat tidur dan pertahankan

posisi kepala di garis tengah pada 30 derajat: berpotensi

meningkatkan aliran darah otak dengan memperbaiki drainase


37
vena serebral.

b. Volume darah otak (CBV) yang lebih rendah dapat menurunkan

ICP.

c. Kontrol Suhu: Demam harus dihindari karena meningkatkan

permintaan metabolisme otak dan mempengaruhi ICP.

d. Profilaksis kejang: Kejang harus dihindari karena juga dapat

memperburuk cedera SSP dengan meningkatkan

kebutuhan metabolisme dan berpotensi meningkatkan ICP.

Pertimbangkan pemberian fosfenytoin dengan dosis pemuatan

20mg / kg.

e. Hanya gunakan antikonvulsan bila diperlukan, karena dapat

menghambat pemulihan otak.

f. Manajemen cairan: Tujuannya adalah untuk mencapai euvolemia.

Ini akan membantu mempertahankan perfusi otak yang memadai.

Hipovolemia pada pasien trauma kepala berbahaya. Cairan

isotonik seperti saline normal atau Ringer Lactate harus

digunakan. Selain itu, hindari cairan hipotonik.

g. Sedasi: Pertimbangkan sedasi karena agitasi dan aktivitas otot

dapat meningkatkan ICP.

1) Fentanyl: Aman pada pasien yang diintubasi.

2) Propofol: Agen kerja singkat dengan sifat sedatif yang baik,

berpotensi menurunkan ICP, kemungkinan risiko hipotensi dan

asidosis fatal.

38
3) Berpengalaman: obat penenang, ansiolitik, kemungkinan

hipotensi.

4) Ketamin: Hindari karena dapat meningkatkan ICP.

5) Relaksan otot: Vecuronium atau Rocuronium adalah pilihan

terbaik untuk intubasi; Suksinilkolin tidak boleh digunakan

karena ICP dapat meningkat dengan fasikulasi.(20)

C. Pasien Trauma Kepala Ringan

Mayoritas trauma kepala ringan. Pasien-pasien ini dapat

dipulangkan setelah pemeriksaan neurologis yang normal karena ada

risiko minimal mengembangkan lesi intrakranial. Pertimbangkan untuk

mengamati setidaknya 4 hingga 6 jam jika tidak ada pencitraan yang

diperoleh. Pertimbangkan rawat inap jika ada faktor risiko lain: (6)

a. Gangguan pendarahan

b. Pasien yang memakai terapi antikoagulasi atau terapi antiplatelet

c. Prosedur bedah saraf sebelumnya

XI. PROGNOSIS

Hasil setelah trauma kepala tergantung pada banyak faktor. Skor

awal GCS memang memberikan beberapa informasi tentang hasilnya, skor

motorik adalah yang paling memprediksi hasil. Pasien dengan GCS kurang

dari 8 pada presentasi memiliki angka kematian yang tinggi. Usia lanjut,

komorbiditas, gangguan pernapasan, dan keadaan koma juga terkait

dengan hasil yang buruk.(6)

39
Tergantung berat-ringannya cedera kepala yang terjadi. Mortalitas

evakuasi hematoma epidural adalah 10%. Mortalitas pada hematom

subdural yang memerlukan tindakan pembedahan adalah 40-60%. Mortalitas

pasien koma yang dioperasi adalah 57-68%. Tingginya mortalitas ini

karena sebagian besar kasus hematom subdural berkaitan dengan cedera

jaringan intrakranial ataupun ekstrakranial. Pada hematom intraserebral,

walaupun belum ada data perbadingan mortalitas pasien yang dioperasi dan

tidak, beberapa penelitian menunjukkan penurunan tekanan intrakranial

yang signifikan pasca operasi. Perdarahan epidural, subdural dan

intraserebral mempunyai hasil yang lebih buruk jika disertai perdarahan

subarakhnoid.(22)

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Atmadja AS. Indikasi pembedahan pada trauma kapitis. CDK 2016; 43 (1):
29-33.
2. Nasution, SH. Mild head injury. Journal Medula. Universitas Lampung.
Agustus 2014; 2(4):89-97.
3. Wang K, Yang Z, Zhu T, Shi Y, Rubenstein R, Adrian T, Manley GT.
An update on diagnostic and prognostic biomarkers for traumatic brain
injury. Journal of expert review molecular diagnostics. Taylor Francis; 2018
4. Yunus M, Wahyudi A, Febriyani AH, Romizah RA. Karakteristik hasil CT-
Scan penderita cedera kepala di RS Dr. H. Abdul Moeloek 2018. Jurnal Ilmu
Kesehatan. Departemen Radiologi. Universitas Malahayati. Maret 20; Vol.
1(3): 177-183.
5. Mutch, CA. Imaging evaluation of acute traumatic brain injury.
Neurosurg Clin N Am. Department of Radiology. UCSF. San Fransisco.
HHS Public Access; 2016
6. Shaikh F. Waseem M. Head trauma. NCBI Bookshelf. USA: StatPearls
Publishing; 2020
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil utama riskesdas 2018.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. 2018; Hal. 74-78.

8. World Health Organization. Helm: manual keselamatan jalan untuk


pengambil keputusan dan praktisi. Jakarta: CFM Publishing; 2018; Hal 30-
34.
9. Dash HH, Chavali S. Management of traumatic brain injury patients.
Korean Journal of Anesthesiology. Juni 2018; 71(1):12-21.
10. Lolli V, Pezullo M, Delpierre I, Sadeghi N. Emergency radiology special
feature: mdct imaging of traumatic brain injury. British Institute Journal.
Radiology Department. Erasmus University Hospital. Brussel. Agustus 2015;
Vol 89:1-14.
11. Wu X, Kirov II, Gonan O, Grossman RI, Lui YW. MR imaging aplications in

41
Mild Traumatic Brain Injury:An Imaging Update. Radiology RSNA. 2018;
279(3):693-707.
12. Parizel, PM. Diseases of the brain, head and neck, Spine 2020- 2023.
Department of Radiology. Antwerp University Hospital. IDKD Springer
Series;2020
13. Basri, I. Buku ajar diktat anatomi. Universitas Hasanuddin; 2018
14. Netter, F. Atlas of human anatomy, Vol. 1: Head, Neck, Upper Limb. 14th
ed. Munich: Elsevier, 2017 ; 122-30.
15. Sherwood, L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta: EGC,
2015; Hal. 210-235.

16. Langroudi RM, Alizadeh A, Leili E, Kasmaie V, Moshiran SY.


evaluation of clinicial criteria for performing brain ct-scan in patients with
mild traumatic brain injury; a new diagnostic probe. Journal of Emergency
and Trauma. Department of Radiology. Shira University of Medical Science.
J a n u a r i 2 0 1 9 ; 7(3):269-277.
17. Tim Neurotrauma. Pedoman tatalaksana cedera otak edisi kedua.
surabaya. surabaya neuroscience institute. 2014; Hal. 9-10.
18. Douglas DB , Ro T, Toffoli T, Krawchuk B, Muldermans J, Gullo J,
Dulberger A, Anderson AE, Douglas PK and Wintermark M. Neuroimaging
of traumatic brain injury. Med Sci. Department of Radiology. Juni 2019;
7(2): 1-19.
19. Wintermark M, Senelli PC, Anzai Y, Tsiouris AJ, Whitlow. CT
Imaging evidence and recommendations for traumatic brain injury:
conventional neuroimaging techniques. Journal of Neuroradiology. American
College of Radiology. Mei 2014; 1:1-14.
20. Ministry of Health Malaysia, Neurosurgical Association of Malaysia,
Academy of Medicine Malaysia. Clinical practice guidelines: early
management of head injury in adults. Malaysia: Malaysia Health Technology
Assessment Section (MaHTAS) Medical Development Division, Ministry of
Health Malaysia, 2015; Hal. 20-30.
21. Wijayalitake DS, Sherren PB, Jigajini SV. Systemic complication of
42
traumatic brain injury. Wolters Kluwer Health. 2015; 28(5): 525-531.

43

Anda mungkin juga menyukai