Anda di halaman 1dari 47

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


Dosen Pengampu : Ns. Mashudi, S.Kep, M.Kep

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


TRAUMA KEPALA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6

1. MISWIYANTI NIM PO71202220015


2. SUMIYATI NIM PO71202220028
3. LISA KURNIAWATI NIM PO71202220034
4. RINDA AGUSTINA NIM PO71201210037
5. DWI KARTIKA M NIM PO71202220038
6. DAFTULANGI NIM PO71202220061
7. ERNI SUSANTI NIM PO71202220062
8. INDOK SOGI NIM PO71202220063
9. LILI APRILIA NIM PO71202220065
10. WIDYA ASTUTI NIM PO71202220070
11. RINA INDAH NIM PO71202220077

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN AJARAN 2022/2023
Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayahnya kepada kita semua. Sehingga pada saat ini kami dapat menyelesaikan
tugas makalah kegawatdaruratan dan diberi kesempatan membahas tentang “Trauma
Kepala”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami sangat berterima kasih apabila pembaca makalah ini bersedia memberikan
kritik dan saran, sehingga kami dapat lebih banyak belajar dan menjadi lebih baik dalam
pembuatan makalah selanjutnya.

Jambi, 3 Agustus 2022

Kelompok
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan cedera yang mengenai kepala/otak yang terjadi baik secara
langsung maupun tidak langsung. Salah satunya akibat insiden atau kecelakaan
(Anurogo, 2014). Menurut Bouma (2003) dalam Padila (2012), cedera kepala
merupakan suatu gangguan trumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai
perdarahan interstill dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

Menurut Brain Injury Association of Amerikca dalam Bararah (2013), penyebab utama
dari cedera kepala adalah karena terjatuh (28%), kecelakaan lalu lintas (20%), tertabrak
benda (19%), dan akibat kekerasan (11%). Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh
merupakan penyebab utama rawat inap pasien cedera kepala yaitu sebanyak 32,1 dan
29,8 per 100.000 populasi, penyebab ke tiga akibat kekerasan mencatat sebanyak
7,1 per 100.000 pupolasi di Amerika Serikat pasien dengan cedera kepala di rawat
inap. Menurut Wijaya (2013), cedera kepala merupakan gangguan fungsional otak yang
di sebabkan oleh trauma, baik trauma benda tajam maupun trauma benda tumpul.

Menurut Bahrudin (2017), klasifikasi cedera kepala dapat di kelompokkan berdasarkan


mekanisme, berat, dan morfologinya. Klasifikasi yang sering di gunakan adalah
berdasarkan berat ringannya cedera kepala yang di tentukan berdasarkan tingkat
kesadaran, menggunakan glasgow coma scale (GCS). Cedera kepala juga dapat di
klasifikasikan menjadi dua yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder, cedera
otak primer adalah kerusakan yang terjadi pada otak setelah trauma terjadi sedangkan
trauma otak sekunder adalah kerusakan yang berkembang kemudian sebagai
komplikasi ( Satyanegara, 2010).

Akibat yang ditimbulkan dari cedera primer terjadi bersamaan dengan dampak dari
gaya akselerasi – deselerasi atau gaya rotasi, dan mencakup fraktur, gegar, kontusio dan
laserasi. Efek cedera pada jaringan otak dapat berupa fokal atau difusi. Cedera sekunder
dapat di mulai pada saat trauma terjadi atau pada waktu setelahnya. Cedera sekunder
meliputi gangguang akson, hematoma, hipertensi intrakranial, infeksi SSP, hipotensi,
hipertermia, hipoksemia, dan hiperkapnia (Stillwell, 2011). Menurut Margareth (2012),
cedera kepala dapat menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical- myocardial, perubahan tekanan vaskuler, udem paru, koma sampai kematian.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia pada
usia antara 5 sampai 35 tahun pada tahun 2013. Angka kematian pasien lebih tinggi di
negara berkembang dan golongan ekonomi menengah (Jasa et al., 2012).

Cedera kepala dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa seperti kerusakan
otak sebagai responnya terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), dan
terjadinya syok hipovolemik pada cedera kepala yang di sertai dengan perdarahan yang
hebat, agar cedera kepala tidak mengancam jiwa atau menyebabkan kematian maka
cedera kepala memerlukan perawatan yang intensif dari tenaga kesehatan (Brunner &
Suddart, 2017).

Sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan


pelayanan keperawatan secara langsung atau tidak langsung kepada pasien dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi: pengkajian dalam
upaya mengumpulkan data, menegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan hasil
analisis data, merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah
yang muncul dan membuat langkah atau cara pemecahan masalah, melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan evaluasi
berdasarkan respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukannya
(Barbara, 2010). Menurut Wijaya (2013), diagnosa yang muncul pada pasien dengan
cedera kepala yang biasanya muncul adalah bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan akumulasi cairan, pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeobronkial, perfusi serebral berhubungan
dengan edema serebral, kerusakan mobilitas berhubungan dengan penurunan kekuatan/
tahanan, resiko tinggi gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi.

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien cedera kepala diantaranya, memberikan


oksigen sesuai instruksi untuk memaksimalkan perfusi serebral, kurangi fluktuasi TIK
dengan mempertahankan posisi 30 derajat, memberikan cairan intravena, diuretic
osmotic, berikan farmakologis untuk menurunkan TIK, terapi hiperventilasi ringan,
penggunaan anti oksidan dan intervensi pembedahan yang mungkin dilakukan (Susan,
2011).
Pasien dengan cedera kepala berat mengalami penurunan kesadaran dimana tingkat
glasgow coma scale (GCS) 3-8 karena terjadinya kerusakan pada otak, salah satu
dampak terjadinya kerusakan tersebut yaitu perdarahan pada otak yang menyebabkan
kelumpuhan anggota gerak (IKAPI UGM, 2015).

Pasien dengan penurunan kesadaran mengalami imobilitas, pada kondisi ini terjadi
luka tekan akibat gangguan integritas kulit karena adanya tekanan lama pada jaringan
kulit, yang menghambat peredaran darah ke jaringan lain ( Potter & Perry, 2013).
Tekanan imobilisasi yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekubitus, jika salah
satu bagian tubuh berada pada suatu gradient (titik perbedaan antara dua tekanan).
Terjadinya Iskemik, nekrosis jaringan kulit selain faktor tegangan, ada faktor lain
yaitu : faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada
penderita dengan posisi setengah berbaring (Heri Susanto, 2008).

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis ingin membahas tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan trauma kepala.

B. Tujuan
Untuk mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien trauma kepala.

C. Manfaat
Untuk menambah wawasan,pengetahuan, dan pengalaman dalam menerapkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan trauma kepala.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP CEDERA KEPALA


1. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury pada kepala, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius dan perlu
mendapat penanganan yang cepat. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak bisa
menghindarkan pasien dari cidera kepala sekunder (Susilo, 2019).

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya kontinuitas otak
(Padila,2014). Cedera kepala adalah trauma yang mengenai otak disebabkan oleh
kekuatan eksternal yang menimbulkan perubahan tingkat kesadaran dan
perubahan kemampuan kognitif, fungsi tingkah laku dan emosional (Bararah,
2013).

2. Etiologi
Menurut Sosilo (2019), penyebab trauma kepala dapat meliputi kecelakaan lalu
lintas, terjatuh, kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga, atau kejahatan dan
tindak kekerasan.
Menurut penyebabnya cedera kepala di bagi menjadi 3:
a. Trauma benda tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar. Berat
ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-deselerasi,
kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal dapat
menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan petekie karena pada saat
otak “bergeser” akan terjadi “pergesekan” antara permukaan otak
dengan tonjolan- tonjolan yang terdapat di permukaan dalam tengkorak
laserasi jaringan otak sehingga mengubah integritas vaskuler otak.
b. Trauma tajam
Di sebabkan oleh pisau atau peluru, atau fragmen tulang pada fraktur tulang
tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity) benda tajam
tersebut menancap ke kepala.
c. Coup dan contracoup
Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan sedangkan
pada cedera contracoup kerusakan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan
coup.

3. Klasifikasi
Jenis- jenis cedera otak traumastis adalah :
a. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan
otak. Jika kondisi ini kemudian melukai atau menyobek dura mater, maka
dapat menyebabkan cairan serebrospinal merembes, kerusakan saraf otak, dan
jaringan otak.
b. Trauma kepala tertutup
Keadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio,
kontusio, epidural hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma
(Susilo,2019)

Menurut krisanty paula (2014), cidera kepala ada 3 berdasarkan nilai GCS :
a. Cedera kepala ringan
1) Nilai GCS 13- 15
2) Amnesia kurang dari 30 menit
3) Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada
4) Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari

b. Cedera kepala sedang


1) Nilai GCS 9 – 12
2) Penurunan kesadaran 30 menit – 24 jam
3) Terdapat trauma sekunder
4) Gangguan neorologis sedang
c. Cedera kepala berat
1) Nilai GCS 3- 8
2) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari – hari
3) Terdapat cedera sekunder : kontusio, fraktur tengkorak, perdarahan
dan atau hematoma intrakranial.
Tabel 2.1 Glasgow coma
scale (GCS)
Sumber Wijaya & Yessie, 2013.

Glasgow coma scale (GCS)


Mata (Eye) Verbal Motorik
- - - - Dengan perintah 6
- - Orientasi baik 5 Melokalisasi 5
nyeri
Spontan 4 Bicara 4 Menarik area 4
membingungkan, nyeri
jawaban tidak
tepat
Dengan 3 Bicara kacau/ 3 Fleksi abnormal 3
perintah tidak nyambung
(suara/ sentuh)
Rangsangan 2 Suara tidak 2 Ekstensi 2
nyeri dimengerti/ abnormal
rintihan
Tidak 1 Tidak berespon 1 Tidak berespon 1
berespon

Menurut Paula (2014), klasifikasi cedera kepala dibagi atas 5:

a. Scalp wounds (trauma kulit kepala)


Kulit kepala harus di periksa adalah bukti luka atau perdarahan akibat fraktur
tengkorak. Adanya objek yang berpenetrasi atau benda asing harus di angkat
atau di tutupi oleh kain steril, perawatan untuk tidak menekan area luka.
Laserasi pada kulit kepala cenderung menyebabkan perdarahan hebat dan
harus di tangani dengan pengablikasian penekanan langsung. Kegagalan
mengontrol perdarahan hebat dapat menyebabkan terjadinya syok.
b. Fraktur tengkorak
Fraktur kalvaria (atap tengkorak) apabila tidak terbuka tidak memerlukan
perhatian segera. Yang lebih penting adalah keadaan intrakranialnya. Fraktur
tengkorak tidak memerlukan tindakan pengobatan istimewa apabila ada
fraktur impresi tulang maka operasi untuk mengembalikan posisi.
Pada fraktur basis kranium dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang
di timbulkan sehingga menimbulkan ancaman terhadap jalan nafas. Pada
fraktur ini, aliran cairan serebro spinal terhenti dalam 5- 6 hari dan terdapat
hematom kacamata yaitu hematom sekitar orbita.
c. Komosio serebri (gegar otak)
Kehilangan kesadaran sementara (kurang dari 15 menit). Sesudah itu klien
mungkin mengalami disorientasi dan bingung hanya dalam waktu yang
relatif singkat. Gejala lain meliputi: sakit kepala, tidak mampu untuk
berkonsentrasi, gangguan memoris sementara, pusing dan peka. Beberapa
klien mengalami amnesia retrograd. Kebanyakan klien sembuh sempurna dan
cepat, tetapi beberapa penderita lain berkembang ke arah sindrom pasca gegar
dan dapat mengalami gejala lanjut selama beberapa bulan. Penderita tetap di
bawa ke RS, karena kemungkinan cidera yang lain.
d. Kontusio serebri
Kehilangan kesadaran lebih lama. Dikenal juga dengan Diffuse Axonal Injury
(DAI), yang mempunyai prognosis lebih buruk.
e. Perdarahan intra kranial
Dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau perdarahan
intrakranial. Terutama perdarahan epidural dapat berbahaya karena
perdarahan berlanjut akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
yang semakin berat.

4. Patofisiologi
Suatu sentakan traumatik pada kepala menyebabkan cedera kepala. Sentakannya
tiba- tiba dan dengan kekuatan penuh, seperti jauh, kecelakaan kendaraan
bermotor, atau kepala terbentuk. Jika sentakan menyebabkan suatu trauma
akselerasi- delerasi atau coup- countercoup, maka kontusioserebri dapat terjadi.
Trauma akselerasi- deselerasi dapat terjadi langsung di bawah sisi yang terkena
ketika otak terpantul kearah tengkorak dari kekuatan suatu sentakan (suatu
pukulan benda tumpul) ketika kekuatan sentakan mendorong otak terpantul
kearah sisi berlawanan tengkorak, atau ketika kepala terdorong kedepan dan
terhenti seketika. Otak terus bergerak dan terbentur kembali ke tengkorak
(akselerasi) dan terpantul (deselerasi) (Krisanty, 2014).

Trauma tumpul karena kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang


menyebar. Berat ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-
deselerasi, kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal dapat
menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan petekie karena pada saat otak
“bergeser” akan terjadi “pergeseran” antara permukaan otak dengan tojolan-
tojolan yang terdapat di permukaan dalam tengkorak laserasi jaringan otak
sehingga mengubah integritas vaskuler otak. Trauma benda tajam disebabkan
oleh pisau atau peluru, atau fragmen tulang pada fraktur tulang tengkorak.
Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity) benda tajam tersebut
menancap ke kepala atau otak. Kerusakan terjadi hanya pada area dimana benda
tersebut merobek otak (lokal). Obyek dengan vecolity tinggi (peluru)
menyebabkan kerusakan struktur otak yang luas. Adanya luka terbuka
menyebabkan resiko infeksi. Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada
daerah benturan sedangkan pada cedera contracoup kerusakan terjadi pada sisi
yang berlawanan dengan cedera coup (Krisanty, 2014).

Gejala yang timbul bergantung pada tingkat keparahan dari lokasi terjadinya
trauma. Nyeri menetap dan teralokasi, biasanya mengindikasikan adanya fraktur.
Fraktur pada kubah tengkorak bisa menyebabkan pembengkakan di daerah
tersebut, tetapi bisa juga tidak. Fraktur pada dasar tengkorak yang sering kali
menyebabkan perdarahan dari hidung, faring, telinga dan darah mungki terlihat
dibawah konjungtiva. Ekimosis terlihat di atas tulang mastoid (tanda Battle).
Pengeluaran cairan serebrospinalis (CSF) dari telinga dan hidung menunjukkan
terjadinya fraktur tengkorak. Pengeluaran cairan serebrospinalis dapat
menyebabkan infeksi serius (mis, meningitis) yang masuk melalui robekan di dura
mater. Cairan spinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi otak atau
memar otak (kontusi). Cedera otak juga memiliki bermacam gejala, termasuk
perubahan tingkat kasadaran (LCO), peruabahan ukuran pupil, perubahan ata
hilangnya reflek muntah atau reflek kornea, defisit neurologis, perubahan tanda
vital seperti perubahan pola nafas, hipertensi, bradikardia, hipertermia, serta
gangguan sensorik, penglihatan, dan pendengaran. Gejala sindrom pasca- gegar
otak dapat meliputi sakit kepala, pusing, cemas, mudah marah, dan kelelahan.
Pada hematoma subdral akut atau subakut, perubahan LCO, tanda- tanda pupil,
hemiparesis, koma, hipertensi, bradikardi dan penuruanan frekuensi pernafasan
adalah tanda- tanda perluasan massa. Hematoama subdural kronik mengakibatkan
sakit kepala hebat, peruabahan tanda-tanda neurologis fokal, peruabahan
kepribadian, gangguan mental dankejang fokal (Brunner & Suddarth, 2017).
5. WOC
Terkena peluru Kecelakaan, terjatuh,
Benda tajam Trauma tajam Trauma Kepala Trauma tumpul traumapersalinan,
penyalahgunaan
obat/alkohol
Ekstra Kranial Intra Kranial
Tulang Kranial
/ kulit kepala / Jaringan
otak

Breath Blood Brain Bowel Bone

Perdarahan, P
P Perdarahan Robeknya Penumpukan Gg. Saraf
hematoma, kesadaran Fraktur
kesadaran arteri darah di otak motorik tulang
kerusakan meningen & P TIK
jaringan Kompensasi tengkorak
Bed rest tubuh yaitu: P
lama vasodilatasi Hematoma P P Gangguan
kesadarans Nafsu makan, Terputusnya
& bradikardi epidural kesadaran koordinasi
Penekanan Anemia ensori mual, muntah, kontinuitas
P gerak
saraf disfagia tulang
kemampuan Aliran darah ekstremitas
system Perubahan Gangguan
Hipoksia batuk P
pernapasan ke otak sirkulasi keseimbangan
CSS kemampuan P Nyeri
mengenali Intake Hemiparase akut
Gangguan Akumulasi Hipoksia
Perubahan stimulus makanan dan Intoleransi
pola nafas pertukaran mukus jaringan PK: P TIK / hemiplegi
gas cairan aktivitas
Gangguan
Kesalahan Tirah
RR Batuk tdk Gg. Perfusi mobilitas
interpretasi baring
,hiperpneu, efektif, serebral tdk Resiko fisik
hiperventil- ronchi, Penurunan Defisit nutrisi
efektif Kapasitas Adaptif luka tekan
asi RR
Pola nafas Intrakranial Padila, 2012
Bersihan jalan nafas
tdk efektif tdk efektif
6. Manifestasi klinik
Menurut Paula (2014), manifestasi klinik pada pasien cedera kepala:
a. Peningkatan TIK, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Trias TIK: penurunan tingkat kesadaran, gelisah/ iritable, papil edema,
muntah proyektil.
2) Penurunan fungsi neurologis, seperti: perubahan bicara, perubahan reaksi
pupil, sensori motori berubah.
3) Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia).
b. Fraktur tengkorak, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung
2) Perdarahan di belakang memebran timpani
3) Periorbital ekhimosis
4) Battle`s sign (memar di daerah mastoid)
c. Kerusakan saraf kranial dan telinga tengah dapat terjadi saatkecelakaan
terjadi dengan manifestasi klinis sebagai berikut:
1) Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus.
2) Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus auditory.
3) Hilangnya daya penciuman akibat kerusakan nervusolfaktorius.
4) Pupil dilatasi, ketidakmampuan mata bergerak akibat kerusakan nervus
okulomotor.
5) Vertigo akibat kerusakan otolith di telinga tengah.
6) Nistagmus karena kerusakan sistem vestibular.
d. Komosio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Sakit kepala- pusing.
2) Retrograde amnesia.
3) Tidak sadar lebih dari atau sama dengan 5 menit.
e. Kontusio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut: Terjadi pada injuri
berat, termasuk fraktur servikalis:
1) Peningkatan TIK.
2) Tanda dan gejala:
a) Kontusio serebri
Manifestasi tergantung area hemifer otak yang kena. Kontusio pada
lobus temporal: agitasi, confuse, kontusio frontal: hemiparese, klien
sadar: kontusio frontotemporal: aphasia. Tanda gejala tersebut
reversible.

b) Kontusio batang otak


1. Respon segera menghilang dan pasien koma
2. Penurunan tingkat kesadaran terjadi berhari – hari,bila
kerusakan hebat.
3. Pada pasien riticular terjadi comatuse permanen
4. Pada perubahan tingkat kesadaran
a. Respirasi : dapat normal/ periodik/ cepat
b. Pupil: simetris kontiksi dan reaktif
c. Kerusakan pada batang otak bagian atas pupilabnormal
d. Gerakan bola mata: tidak ada.

Menurut Susilo (2019), manifestasi klinik cedera kepala memiliki tanda dan
gejala sebagai berikut:

a. Komosio otak (Gegar otak)


1) Cedera kepala ringan.
2) Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
3) Kehilangan kesadaran sementara 10-20 menit.
4) Tanpa kerusakan otak permanen.
5) Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
6) Disorientasi sementara.
7) Tidak ada gejala sisa.
8) Tidak ada terapi khusus.
b. Kontusio Serebri (Memar Otak)
1) Ada memar otak.
2) Perdarahan kecil lokal.
3) Gangguan kesadaran lebih lama.
4) Kelainan neurologis positif.
5) Refleks patologi positif, lumpuh, konvulsi.
6) Gejala TIK meningkat.
7) Amnesia retrograde lebih nyata.
c. Umum
1) Gangguan kesadaran.
2) Kebingungan.
3) Abnormsalitas pupil.
4) Awitan tiba- tiba defisit neurologik.
5) Perubahan tanda vital.
6) Gangguan penglihatan dan pendengaran.
7) Disfungsi sensori.
8) Kejang otot.
9) Sakit kepala.
10) Vertigo.
11) Gangguan pergerakan.

7. Penatalaksanaan
a. Cedera Kepala Ringan
Pasien sadar, mungkin memiliki riwayat periode kehilangan kesadaran.
Amnesia retrograd terhadap peristiwa sebelumkecelakaan cukup signifikan.
1) Indikasi untuk rotgen tengkorak
a) Hilang kesadaran atau amnesia.
b) Tanda- tanda neurologis.
c) Kebocoran LCS.
d) Curiga trauma tembus.
e) Intoksikasi alkohol.
f) Sulit menilai.
2) Indikasi rawat
a) Kebingungan atau GCS menurun.
b) Fraktur tengkorak.
c) Tanda – tanda neurologis atau sakit kepala atau muntah.
d) Sulit menilai.
e) Terdapat masalah medis yang menyertai.
f) Kondisi sosial yang tidak adekuat atau tidak ada orangdewasa yang
dapat mengawasi pasien.
3) Indikasi untuk merujuk ke bagian bedah saraf
a) Fraktur tengkorak + kebingungan/ penurunan GCS.
b) Tanda – tanda neurologis fokal atau kejang.
c) Menetapnya tanda – tanda neurologis atau kebingunan > 12jam.
d) Koma setelah resusitasi.
e) Curiga cedera terbuka pada tengkorak.
f) Fraktur tekanan pada tengkorak.
g) Terdapat perburukan.
b. Cedera Kepala Berat
1) Klien akan datang dalam keadaan tidak sadar ke unit gawat darurat.
Cedera kepala mungkin merupakan bagian dari trauma multipel.
2) ABC (Airway management, Breathing, Circulation). Intubasi dan
ventilasi pasien- pasien tidak sadar untuk melindungi jalan nafas dan
mencegah cedera otak sekunder akibat hipoksia.
3) Resusitasi pasien dan cari tanda- tanda cedera lainnya, khususnya jika
pasien dalam keadaan syok. Cedera kepala dapat di sertai dengan cedera
tulang belakang servikal dan leher harus di lindungi dengan cervical
collar pada pasien- pasien ini.
4) Obati masalah- masalah yang mengancam hidup (misalnya ruptur limpa)
dan stabilkan pasien sebelum dikirim ke unit bedah saraf. Pastikan
terdapat pengawasan medis yang adekuat (ahli anestesi dan perawat)
selama pengiriman (Susilo,2019).
5) Mencegah terjadinya luka dekubitus yang bisa di alami oleh pasien
dengan penurunan kesadaran lama.

8. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya
yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer berupa upaya pencegahan sebelum peristiwa kecelakaan
terjadi. Misalnya, berkendara dengan hati- hati, memakai sabuk pengaman,
memakai helm, dan lain-lain.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder berupa upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dilakukan untuk meminimalkan beratnya cedera. Dilakukan dengan
pemberian pertolongan pertama ABC, yaitu:
1) Memberikan jalan nafas yang lapang (airway)
Gangguan oksigenasi otak dan jariangan vital dan lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera. Pasien dengan penurunan
kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk mengalami gangguan jalan
nafas. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway
menjadi perioritas utama. Beberapa kematian dalam kasus ini di
sebabkan oleh kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat oleh
aspirasi isi lambung atau kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah pasien sendiri.
2) Memberi nafas buatan (breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan
adalah membantu pernapasan. Keterlambatan mengenali gangguan
pernapasan dan membantu pernapasan dapat menimbulkan kematian.
3) Menghentikan perdarahan (circulations)
Perdarahan dapat di hentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat di balut
dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat di atasi dengan pemberian
cairan infus dan bila perlu di lanjutkan dengan pemberian transfusi darah.
Syok biasanya disebabkan karena pasien kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang
lebih berat. Penanganan tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan
lalu lintas dapat menurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.
Pencegahan tersier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,
meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi
penderita (Susilo, 2019).

9. Komplikasi
a. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak menunjukkan tinkat keparahan cedera. Tidak di perlukan
terapi khusus kecuali terjadi trauma campuran, tekanan atau berhubungan
dengan kehilangan LCS kronis.
b. Perdarahan intrakranial
1) Perdarahan ekstradural. Robekan pada arteri meningea media atau
hematoma di tengkorak dan dura. Sering kali terdapat interval lucid
sebelum terbukti tanda- tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
seperti penurunan nadi, peningkatan tekanan darah, dilatasi pupil
ipsilateral, paresis atau paralisis kontralateral.
2) Perdarahan subdural akut. Robekan pada vena- vena di antara araknoid
dan durameter. Terdapat perburukan neurologis yang progresif. Biasanya
terjadi pada orang usia lanjut.
3) Hematoma subdural kronis. Robekan pada vena dapat menyebabkan
hematoma subdural yang akan membesar secara perlahan akibat
penyerapan LCS. Penyebab yang paling sering adalah cedera ringan.
4) Perdarahan interserebral. Pendarahan ke dalam substansi otak yang
menyebabkan kerusakan ireversibel.
c. Infeksi (trauma terbuka).
d. Depresi pernapasan dan gagal nafas
e. Hernia otak (Susilo,2019).

Menurut IKAPI UGM, 2015 dampak dari trauma kepala jangka panjang adalah:
a. Kerusakan saraf kranial
1) Anosmia
Kerusakan nervus olfaktorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan
yang kalau total disebut anosmia dan bila parsial disebut hiposmia.
Kadang-kadang anosmia menyertai rinorea. Pada sepertiga kasus,
anosmia terjadi sebagai akibat trauma di oksiput, yang dengan
mekanisme contreoup menyebabkan lesi di filamen nervus olfaktorius.
Penderita anosmia tidak dapat mengenal bau- bau makanan atau apapun.
2) Gangguan penglihatan
Cedera pada nervus optikus terdapat pada 1,7% kasus cedera kepala.
Gangguan penglihatan bilateral sangat jarang terjadi, kerusakan nervus
optikus adalah akibat trauma di regio frontal atau frontotempotal, timbul
segera setelah mengalami trauma. Biasanya disertai hematoma di sekitar
mata dan proptosis akibat adanya perdarahan dan edema di dalam orbita.
Kerusakaan khlasma optika jarang terjadi akibat fraktur pada sela tursika.
3) Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kumpulan otot- otot pergerakan bola mata, umumnya
disertai ptosis dan pupil yang midriatik. Insiden berkisar antara 1-7%
kasus trauma kepala. Meskipun lesi nervus okulomotorius sering terjadi
sendiri, nervus troklearis dan nervus abdusens dapat pula menyertainya.
Kombianasi sel saraf- saraf tersebut terjadi pada 3% kasus cedera kepala
akibat kecelakaan.
4) Paresis fasialis
Paresis fasialis terjadi pada sekitar 3% dari kasus trauma kepala. Kira-
kira seperlima kasus dengan perdarahan telinga mengalami faresis
fasialis pada sisi yang sama. Umumnya gejala klinik muncul sejak saat
trauma: hanya 12% kasus paresis fasialis yang timbul tertunda 5-7 hari
pasca trauma. Keadaan demikian disebabkan oleh edema pada sarafnya
sendiri atau edema jaringan sekitarnya. Sebagian besar paresis fasiliasis
traumatik menyertai fraktur di fosa media yang mengenai os petrosus
atau mastoid.
5) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori- neural yang berat biasanya disertai
vertigo dan nistagmus karena adanya hubungan yang erat antara koklea,
veslibula dan saraf. Dengan demikian adanya trauma yang berat pada
salah satu organ yang lain. Pengobatan biasanya hanya simtomatik,
jarang sekali dilakukan tindakan bedah.
b. Disfasia
Disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa yan di sebabkan oleh penyakit sistem saraf pusat.
c. Sindrom pascatrauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala atau dikenal pula sebagai postconcussional
syndrome merupakaan kumpulan gejala subjektif yang sering di jumpai pada
trauma kepala. Penyebab sindrom ini bersifat multifaktoral, meliputi faktor
organik (jenis dan lokasi kerusakan otak), psikologik (termasuk premobid
personality), sosial ekonomi (pekerjaan, tingkat penididikan dan lingkungan).
d. Fistula karotiko- kavernosus
Fistula karitiko- kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteria
karotis dengan sinus kavenosus, umumnya di sebabkan oleh trauma pada
dasar tengkorak.adanya hubungan pendek ini menimbulkan akibat penting
yaitu hipertensi venosa simultan dan vascular stealing syndrome pada area
yang di pasok oleh arteri kerotis interna, yang kemudian menimbulkan
hipoksia otak.
e. Epilepsi
Berdasarkan saat pertama munculnya bangkitan epilepsi, maka di kenal 2
macam epilepsi pascatrauma kepala, ialah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early postraumatic epilepsy) dan epilepsi yang
muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late postraumatic epilepsy) yang
pada umumnya munculdalam satu tahun pertama meskipun ada beberapa
kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.
f. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuahan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras piramidal di koteks,
subkorteks atau di batang otak. Penyebabnya, berkaitan dengan trauma
kepala, adalah perdarahan otak (subdural, epidural, intraparenkhimal),
emplema subdural, herniasi transientorial. Dan dalam hal ini pasien
mengalami imobilisasi.

Imobilisasi yang lama menyebabkan dampak negatif terhadap sistem tubuh,


pada sistem integumen yang menyebabkan integritas kulit seperti abrasi dan
dekubitus, pada sistem kardiovaskuler menyababkan penurunan kardiak
reserve, peningkatan beban kerja jantung, dan phlebotrombosis, pada sistem
muskulosketal menebabkan penurunan massa otot dan pada sistem
neurosensoris menyebabkan kerusakan jaringan yang menimbulkan gangguan
saraf (Susanto, 2017).

Pasien cedera kepala mengalami ketidak mampuan untuk beraktivitas


sehingga mengalami gangguan mobilisasi dan memungkinkan terjadinya
perubahan bahkan kerusakan neurologi berat. Ketidak mampuan pasien
cedera kepala dengan gangguan mobilisasi membuat pasien hanya berbaring
saja tanpa mampu untuk mengubah posisi. Efek dari gangguan mobilisasi
akan mempengaruhi pada kondisi psikologis dan fisiologis pasien. Salah satu
pengaruh secara fisiologis adalah perubahan sistem integument seperti
terjadinya ulkus dekubitus (Hidayat & Uliyah, 2013).

Luka dekubitus merupakan dampak tekanan yang terlalu lama pada area
permukaan tulang yang menonjol dan mengakibatkan berkurangnya sirkulasi
darah pada area yang tertekan dan lama kelamaan jaringan setempat
mengalami iskemik, hipoksia dan berkembang menjadi nekrosis (Barbara,
2010).
Gambar 2.2
Lokasi yang berisiko mengalami luka tekan (Airlangga University Press,
2015).

Pembagian klinis derajat dekubitus, berdasarkan klasifikasi Shea yang telah


dimodifikasi oleh Nasional Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP, 2007)
ulkus dekubitus dibagi menjadi enam stadium :

1. Suspected Deep Tissue Injury: adanya perubahan warna kulit menjadi


merah keunguan pada kulit yang utuh, bula berisi darah oleh karena
kerusakan jaringan lunak akibat tekanan dan shear. Pada daerah tersebut
jaringan teraba nyeri, melunak, lebih hangat atau lebih dingin
dibandingkan jaringan di sekitarnya.
2. Stadium I: reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis. Tampak
sebagian daerah kemerahan/eritema, indurasi atau lecet.
3. Stadium II: reaksi yang lebih dalam sampai mencapai seluruh dermis
hingga lapisan lemak subkutan. Tampak sebagai ulkus yang dangkal,
dengan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit.
4. Stadium III: ulkus lebih dalam, meliputi jaringan lemak subkutan,
menggaung dan berbatasan dengan fascia dari otot.
5. Stadium IV: perluasan ulkus menembus oto sehingga tambak tulang dari
dasar ulkus serta dapat mengakibatkan infeksi pada tulangf dan sendi.
6. Unstageable: ulkus dengan dasar yang tertutup lapisan yang berwarna
kuning, coklat, abu- abu, hijau (Airlangga University Press, 2015).

Untuk mencegah terjadinya luka dekubitus pada pasien yang mengalami


imobilisasi khususnya pada pasien cedera kepala yang mengalami tirah
baring lama maka tindakan mandiri perawat yang dapat dilakukan dengan
melakukan massage ringan dengan menggunakan VCO. Manfaat dari
massage ringan ini adalah meningkatkan sirkulasi pada daerah yang di
massage, meningkatkan relaksasi dan menjaga kondisi kulit (Pupung, 2009).
Menurut Handayani (2010), dalam penelitiannya mengatakan teknik
massage ringan yang dapat dilakukan:
1. Pasien dimandikan dengan air hangat menggunakan sabun dengan pH
balance, lalu dikeringkan dengan handuk bersih kering secara hati- hati.
2. Setelah dikeringkan, bagian punggung dimassage ringan dengan VCO
dengan cara : tuangkan VCO secukupnya ditelapak tangan, gosok-gosok
ke-2 telapak tangan untuk meratakannya lalu dimassagekan ke punggung
pasien dengan teknik efflurage secararingan.
3. Prosedur 1 dan 2 dilakukan setiap pagi dan sore.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Kepala
1. Pengkajian
Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara
ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien,
merencanakan secara sistematis dan melaksanakan serta mengevaluasi hasil
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Menurut brunner & sudarth
(2013), asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala meliputi:
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada pasien cedera kepala adalah suatu komponen
dari proses keperawatan yang merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh
perawan dalam menggali permasalahan dari klien meliputi usaha
pengumpulan data dan membuktikan data tentang status kesehatan seorang
klien. Data tentang fisik,emosi, pertumbuhan, social,kebudayaan, intelektual,
dan aspek spiritual. Pengkajian keperawatan terutama melakukan evaluasi
fungsional. Kedalaman pengkajian tergantung pada keluhan fisik klien,
riwayat kesehatan, dan semua petunjuk fisik yang ditemukan pemeriksa untuk
memerlukan eksplorasi lebih jauh.
a. Identitas klien.
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan
darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan
dan alamat.
b. Identitas penanggung jawab.
Berisikan biodata penangung jawab pasien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir,
pekerjaan dan alamat.
c. Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien cedera kepala biasanya akan terlihat
disfungsi neurologis. Keluhan yang sering didapatkan meliputi
kelemahan anggota gerak, bicara palo, tidak dapat berkomunikasi,
konvulsi (kejang), sakit kepala yang hebat, nyeri otot, sakit punggung,
tingkat kesadaran menurun (GCS<15), ektremitas dingin, ekspresi rasa
takut dan pendarahan pada bagian kepala akibat kecelakaan.Bila klien
mengeluh nyeri perlu ditinjau penilaian rasa nyeri dengan pengkajian
nyeri PQRST, meliputi:
P: provoking incident (insiden pemicu): pasien akan mengeluh nyeri
hebat.
Q: quality of pain (rasa nyri yang dirasakan): seperti ditusuk atau disayat.
R: region of pain (lokasi nyeri): pada abagian kepala. S: scale of pain
(skala nyeri ): 5-10.
T: time (lama nyeri dirasakan): secara terus-menerus atauhilang timbul.
d. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS<15), letargis,
mual dan muntah, sakit kepala yang hebat. Biasanya diikuti oleh
disfungsi neurologis seperti wajah tidak simetris, lemah, paralysis,
hilangnya keseimbangan, sulit untuk mengenggam, kesulitan
mengecap atau membaui, dan sulit menelan. Selain itu juga adanya
fraktur pada kepala yang menyebabkan pendarahan akibat cedera
benda tajam atau tumpul.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data klien pernah mengalami penyakit sistem persarafan,
riwayat trauma atau jatuh dimasa lalu, riwayat penyakit darah,
riwayat penyakit sistemik/pernafasan, riwayat hipertensi, riwayat
cedera kepal sebelumnya, riwaya diabetes melitus, penggunaan
obat- obatan dan konsumsi alakohol.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit herediter seperti
hipertensi, diabetes mellitus, dan lain sebagainya.
e. Kebutuhan dasar
1. Eliminasi: perubahan pola BAB/BAK (inkontenensia, konstipasi,
hematuri).
2. Nutrisi: mual, muntah, ganngguan pencernaan/ menelanmakan.
3. Istirahat: kelemahan, mobilisasi, tidur kurang.
f. Pengkajian persistem dan pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Biasanya pada pasien dengan cedera kepala pada umumnya
mengalami penurunan kesadaran.
2. Pemeriksaan head to toe
a) Kepala : biasanya ada luka atau laserasi pada kulit kepala
b) Mata : biasanya mata simetris kiri kanan, dan inspeksi
konjungtiva anemis atau tidak, sklera ikterik atau tidak, reflek
pupil.
c) Hidung : biasanya ada pernafasan cuping hidung
d) Telinga : inspeksi apakah ada darah yang keluar dari telinga
e) Mulut : biasanya bibir pasien pucat dan kering
f) Leher : observasi adanya cidera servikal dan observasi adanya
distensi vena jugularis
g) Dada : inspeksi dinding dada,kaji kualitas dan kedalaman,
pernafasan, kaji kesemetrisan pergerakkan dinding dada dan
auskultasi bunyi nafas.
h) Abdomen : inspeksi ada luka , catat adanya
distensi dan adanya memar khususnya di organ vital seperti
limfa dan hati, dan auskultasi bising usus.
i) Ekstremitas : inspeksi adanya perdarahan, udema nyeri di
ektremitas, cek capillaryrefil pada ujung kuku, dan cek reflek
seperti bisep, trisep dan patella.
3. Fungsi Motorik
Biasanya pada pasien cedera kepala kekuatan ototnya berkisar antara
0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera kepala yang dialami
pasien.
4. Aspek neurologis
a) Kaji GCS: biasanya pasien cedera kepala GCS nya tergantung
berat, sedang, ringannya (cedera kepala ringan14-15, cedera
kepala sedang 9-13, cedera kepala berat 3-8).
b) Perubahan status mental
c) Nervus carnialis (biasanya pasien yang mengalami cedera
kepala pola bicara abnormal).
d) Perubahan pupil atau penglihatan kabur, diplopia, foto pobia,
kehilangan sebagian lapang pandang.
e) Perubahan tanda–tanda vital: biasanya tekanan darah pasien
cedera kepala naik/turun.
f) Biasanya pasien mengalami gangguan pengecapan dan
penciuman, serta pendengaran.
g) Pasien mengalami adanya tanda –tanda peningkatan TIK
seperti: penurunan kesadaran, gelisah letargi, sakit kepala,
muntah proyektif, pelambatan nadi, pelebaran tekanan nadi,
peningkatan tekanan darah sistolik.
h) Aspek kardiovaskuler
Biasanya pasien mengalami perubahan TD, denyut nadi tidak
teratur, TD naik, TIK naik.
i) Sistem pernafasan
Biasanya pasien mengalami perubahan pola nafas (apnea yang
diselingi oleh hiperventilasi), irama dan frekuensi nafas lemah.
j) Pengkajian psikologis.
Biasanya pasien mengalami gangguan emosi terhadap penyakit
yang dideritanya, elirium, perubahan tingkah laku atau
kepribadian.
k) Pengkajian sosial
Mengkaji bagaimana hubungan pasien dengan orang terdekat,
kemampuan komunikasi pasien dengan orang lain.
l) Nyeri/kenyamanan: biasanya pasien mengalami sakit kepala
dengan intensitas dan lokasi berbeda, respon menarik pada
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah.
5. Pemeriksaan Nervus cranial
a) N.I (Olfaktorius)
Adanya mengalami penurunan daya penciuman atau tidak
b) N.II (Optikus)
Pada trauma frontalis memperlihatkan terjadi penurunan
penglihatan
c) N.III (okulomotorius), IV (trokhlearis), VI (abducens)
Menyebabkan penurunan lapang pandang, reflek cahaya
menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat
mengikuti perintah, anisokor.
d) N.V (trigeminus)
Apakah adanya gangguan mengunyah atau tidak
e) N.VII (Fasialis)
Mengalami gangguan lemahnya penutupan kelopakata,
hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah
f) N.VIII (Akustikus)
Pasien mengalami penurunan pendengaran dan keseimbangan
tubuh.
g) N.IX (glosofaringeus), X (vagus), XI (assesorius)
Gejala tersebut jarang ditemukan karena penderita akan
meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adaya
cekungan karena kompresi pada nervus vagus, yang
menyebabkan kompresis pasmodic dan diafragma. Cekungan
yang terjadi biasanya akan mengalami peningkatan intrakranial.
h) N. XII (hipoglosus)
Gejala biasa timbul adalah jatuhnya lidah kesalah satu
sisi,disfagia dan disartria. Hal ini akan menyebabkan kesulitan
menelan (Wijaya, 2013).
6. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal
a) Pemeriksaan kaku kuduk dilakukan dengan mengatur pasien
agar berada dalam posisi terlentang, kemudian leher ditekuk.
Apabila dagu tertahan dan tidak menempel atau mengenai
bagian dada, maka terjadi kaku kuduk (positif). Kaku kuduk
dapat bersifat ringan atau berat.
b) Pemeriksaan Brudzinski I dilakukan dengan mengatur pasien
agar berada dalam posisi terlentang, kemudian letakkan satu
tangan di bawah kepala pasien dan tangan yang lain di letakkan
di dada untuk mencegah badan terangkat. Kepala difleksikan ke
dada, adanya rangsangan meningeal apabila kedua tungkai
bawah akan fleksi (trangkat) pada sendi panggul dan lutut.
c) Pemeriksaan Brudzinski II dilakukan dengan cara mengatur
pasien agar berada dalam posisi terlentang, kemuan tungkai atas
diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara
reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut
dan panggul ini menandakan test ini positif.
d) Tanda kernig dilakukan dengan mengatur pasien agar ada dalam
posisi terlentang, fleksikan tungkai atas tegak lurus sampai
mencapai sudut 90˚, kemudian luruskan tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut sampai memcapai sudut
lebih dari 135˚ terhadap pada. Bila teraba tahanan dan rasa nyeri
sebelum atau kurang dari sudut 135˚, maka dikatakan kernig
sign positif.
e) Lasegue sign, untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang
berbaring lalu kedua tungkai di luruskan (ekstensi), kemudian
satu tungkai diangkat di lurus, dibengkokkan (fleksi) persendian
panggul. Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70˚ maka
disebut tanda lansegue positif. Namun pada pasien yang sudah
lanjut usianya diambil patokan 60˚.
7. Reflek patologis
a) Babinski
Stimulus: penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior
ke anterior. Respon: esktensi ibu jari kaki dan pengembangan
(fanning) jari- jari kaki.
b) Chaddock
Stimulus: penggoresan kulit dorsum pedis lateral, sekitar
malleolus lateralis dari posterior ke anterior. Respon: seperti
babinski.
c) Oppenhelm
Stimulus: pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke
distal. Respon: seperti babinski.
d) Gardon
Stimulus: penekanan betis secara keras. Respon: seperti
babinski.
e) Schaeffer
Stimulus: memencet tendon achilles secara keras. Respon:
seperti babinski.
f) Gonda
Stimulus: penekukan (planta fleksi) maksimal jari kaki keempat.
Respon: seperti babinski.
g) Hoffman
Stimulus: goresan pada kuku jari tengah pasien. Respon: ibu
jari, di telunjuk dan jari- jari lainnya berlefksi.
h) Tromner
Stimulus: colekan pada ujung jari tengah pasien. Respon: seperti
hoffman (Wijaya & Yessie, 2013).
2. Pemeriksaan penunjang.
a. Foto rontgen
Foto rontgen tengkorak seringkali digunakan untuk mengidentifikasi
adanya fraktur, dislokasi, dan abnormalitas tulang lainnya. Pada
cedera kepala terjadi fraktur pada tenggkorak akibat tumbukan.
b. Computed tomogrhpy scan
Computed tomogrhpy scan (CT-scan) merupakan suatu teknik
diagnostic dengan menggunakan sinar sempit dari sinar-X untuk
memindai kepala dalam lapisan secara berurutan. Dengan melakukan
ini, kita bisa mengamati apakah terjadi lesi atau infark terhadap otak.
Pada cedera kepala dapat dilihat terjadinya pendarahan dan fraktur
yang nantinya akan berkibat infark.
c. Positron emission tomography
Positron emission tomography (PET) teknik pencitraan nuklir
berdasarakan computer yang dapat menghasilkan bayangan fungsi
organ secara aktual. PET memungkinkan pengukuran aliran darah,
komposisi jaringan, dan metabolisme otak. Pada cedera kepala akan
terlihat gangguan metabolisme otak akibat kuranya suplai darah ke
otak.
d. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktifitas umum diotak dengan
meletakan elektroda-elektroda pada kulit kepala atau dengan
meletakan mikroelektroda pada jaringan otak. EEG bermanfaat
mendiagnosis gangguan kejang dan merupakan prosedur scaning
untuk koma. EEG juga dapat bertindak sebagai indikator kematian
otak , abses, bekuan darah dan infeksi yang menyebabkan
abnormalitas aliran listrik. Pada pasien cedera kepela pemeriksaan
elektroensifalografi akan terlihatnya bekuan darah atau kematian
otak tetapi hal seperti ini memerlukan proses yang cukup lama pada
cedera kepala.
e. Angiografi serebral
Pemeriksaan ini lebih bermanfaat untk menunjukan adanya suatu
hematoma atau pendarahan intra cranial. Pada cedera kepala akan
ditemukan pendarahan intrakranial atau hematoma yang semakin
melebar jika kurangnya penanganan.
f. Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi dapat dilakukan jika dilakukan
jika diduga terjadi pendarahan subaraknoid. Pemeriksaan lumbal
fungsi akan menunjukan pendarahan pada intracranial dan jika
terjadi trauma terbuka atau fraktur basis krani dapat berakibat pada
meningitis yang ditunjukan dengan terjadinya infeksi pada selaput
otak.
g. Kadar elektrolit untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan intrakaranial. Pada cedera kepala kadar elektrolit akan
menurun karena terjadi pendarahan aktif dan edema, selain itu kadar
elektrolit bisa menjadi penanda peningkatan intracranial.
h. Analisa gas darah (AGD), adalah salah satu tes diagnostic untuk
menentukan status respirasi. Status yang dapat digambarkan adah
status oksigenasi dan status asam basa. Pada pemeriksaan AGD
dapat berakibat terjadinya hipoventilasi atau hiperventilasi karena
akibat terjadinya penumpukan cairan di paru yang berakibat
terjadinya gagguan disfungsi (Margareth, 2012).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi –
perfusi
c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis (cedera
kepala).
d. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cederakepala.
e. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan denganedema otak.
f. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma)
g. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelanmakanan
h. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.
i. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas.
j. Risiko luka tekan berhubungan dengan penurunan mobilisasi.(SDKI, 2017).
3. Intervensi Keperawatan
Tabel 2.2
Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI


1. Bersihan jalan nafas 1. Bersihan jalan 1. Manajemen jalan
tidak efektif b.d nafas. napas.
sekret yang tertahan. a. Klien mampu a. Monitor pola nafas
Defenisi: batuk efektif (frekuensi, kedalaman,
Ketidakmampuan b. Produksi usaha napas)
membersihkan sekret sputum b. Monitor bunyi napas
atau obstruksi jalan menurun tambahan (mis,
nafas untuk c. Mengi, gurgling, mengi,
mempertahankan jalan wheezing wheezing, ronkhi
nafas tetap paten. menurun kering)
d. Dispnea c. Monitor sputum
1. Tanda Mayor menurun (jumlah, warna, aroma)
a. Batuk tidak e. Sulit bicara bisa d. Pertahankan kepatenan
efektif membaik jalan napas dengan
b. Tidak mampu f. Sianosis head-tilt dan chin-lift
batuk. menurun (jaw- thrust jika di
c. Sputum g. Gelisah curigai trauma servikal)
berlebihan. menurun e. Posisikan semi fowler
d. Mengi, h. Frekuensi nafas atau fowler.
wheezing, atau membaik f. Beriakan minuman
ronkhi kering. 2. Pertukaran gas hangat.
2. Tanda Minor a. Dispnea g. Lakukan fisioterapi
a. Dispnea menurun dada.
b. Sulit bicara b. Pusing menurun h. Lakukan pengisapan
c. Ortopnea c. Gelisah lendir.
d. Gelisah menurun i. Lakukan
e. Sianosis d. Pco2 membaik hiperoksigenasi
f. Bunyi nafas e. Po2 membaik sebelum pengisapan
menurun f. Takikardia endotrakeal.
g. Frekuensi nafas membaik j. Berikan oksigen jika
berubah g. Sianosis perlu
h. Pola nafas membaik 2. Latihan batuk efektif
berubah. h. Pola nafas a. Identifikasi
membaik kemampuan batuk
i. Warna kulit b. Monitor adanya retensi
membaik sputum
c. Monitor tanda dan
gejala infeksi saluran
pernapasan
d. Monitor input dan
output cairan (mis.
Jumlah dan
karakteristik)
e. Atur posisi semi fowler
atau fowler.
f. Pasang perlak dan
bengkok di pangkuan
pasie.
g. Buang sekret pada
tempat sputum
h. Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif.
i. Anjurkan tarik napas
dalam melalui hidung
selama 4 detik, di tahan
2 detik, kemudian
keluarkan melalui
mulut dengan bibir
mencucu selama 8
detik.
j. Anjurkan mengulangi
tarik nafas dalam
hingga 3 kali
k. Anjurkan batuk dengan
kuat langsung setelah
tarik nafas dalam yang
ke 3.

2. Risiko perfusi 1. Perfusi serebral 1. Manajeman


serebral tidak efektif a. Tingkat peningkatan tekanan
b.d cedera kepala. kesadaran intrakranial.
kognitif a. Identifikasi
Defenisi: berisiko meningkat. penyebab
mengalami penurunan b. Tekanan peningkatan TIK.
sirkulasi darah ke otak. intrakranial b. Monitor tanda dan
menurun. gejala peningkatan
Faktor risiko: cedera c. Sakit kepala TIK.
kepala. menurun. c. Kolaborasi dalam
d. Gelisah monitor MAP
Kondisi klinis terkait: menurun. (Mean Arterial
cedera kepala. e. Kecemasan Pressure)
menurun. d. Kolaborasi dalam
f. Agitasi monitir CPP
menurun. (Cerebral Perpusion
g. Demam Pressure)
menurun. e. Kolaborasi dalam
h. Tekanan darah monitor gelombang
membaik. ICP
i. Reflek saraf f. Monitor status
membaik. pernapasan
2. Status neurologis g. Monitor intake dan
a. Tingkat output cairan.
kesadaran h. Monitor cairan
meningkat serebro-spinalis.
b. Reaksi pupil i. Minimalkan
meningkat stimulus dengan
c. Status kognitif menyediakan
meningkat lingkungan yang
d. Kontrol motorik terang.
pusat j. Berikan posisi semi
meningkat. fowler.
e. Fungsi sensorik 2. Pemantauan
dan motorik neurologis
kranial a. Monitor ukuran,
meningkat. bentuk,
f. Fungsi sensorik kesimetrisan, dan
dan motorik raektifitas pupil.
spinal b. Monitor tingkat
meningkat. kesadaran
g. Hipertermi c. Monitor ingatan
menurun terakhir, rentang
h. Pucat menurun. perhatian, memori
i. Sindrom horner masa lalu, mood
menurun. dan perilaku
j. Pandangan d. Monitor tanda-
kabur menurun. tanda vital
e. Monitor reflek
kornea
f. Monitor kekuatan
pegangan
g. Monitor
kesimetrisan wajah
h. Monitor
karakteristik bicara,
kelancaran, kefihan,
atau kesulitan
mencari kata.
i. Monitor respons
babinski
j. Monitor respons
cushing
3. Edukasi program
pengobatan
a. Identifikasi
pengetahuan
tentang pengobatan
yang di
rekomendasikan
b. Identifikasi
pengguanaan
pengobatan
tradisional dan efek
sampingnya
c. Fasilitasi informasi
tertlis atau gambar
untuk
meningkatkan
pemahaman
d. Berikan dukungan
untuk menjalani
proram pengobatan
e. Libatkan keluarga
untuk memberikan
dukungan pada
pasien selama
pengobatan
f. Jelaskan manfaat
dan efek samping
dari pengobatan
g. Jelaskan strategi
mengelola efek
samping obat
h. Jealaskan
penyimpanan,
pengsian kembali
dan pemantauan
sisa obat
i. Informasikan
fasilitas kesehatan
yang dapat di
gunakan selama
pengobatan.

3. Nyeri akut b.d agen 1. Tingkat nyeri 1. Manajemen nyeri


pencedera fisik a. Keluhan nyeri a. Identifikasi lokasi,
(trauma) menurun karakteristik,
b. Meringis durasi, frekuensi,
Defenisi: menurun kualitas nyeri
Pengalaman sensorik c. Sikap protektif b. Identifikasi skala
atau emosional yang menurun nyeri
berkaitan dengan d. Gelisah c. Identifikasi faktor
kerusakan jaringan menurun yang memperberat
aktual atau fungsional, e. Kesulitan tidur dan memperingan
dengan onset menurun nyeri
mendadak atau lambat f. Mual dan d. Identifikasi respon
dan berintensitas muntah nyeri verbal
ringan hingga berat menurun e. Identifikasi
yang berlangsung g. Pola napas pengetahuan dan
kurang dari 3 bulan. membaik keyakinan tentang
h. Tekanan darah nyeri
Tanda mayor: membaik f. Identifikasi
1. Mengeluh nyeri i. Proses berfikir pengaruh budaya
2. Tampak meringis membaik terhadap respon
3. Bersikap protektif j. Nafsu makan nyeri
4. Gelisah membaik g. Identifikasi nyeri
5. Frekuensi nadi 2. Tingkat cedera pada kualitas hidup
meningkat a. Kejadian cedera h. Monitor
6. Sulit tidur menurun keberhasilan terapi
b. Luka atau lecet komplementer yang
Tanda minor: menurun sudah di berikan
1. Tekanan darah c. Ketegangan otot i. Monitor efek
meningkat menurun samping
2. Pola nafas berubah d. Perdarahan penggunaan
3. Nafsu makan menurun analgesik
berubah e. Ekspresi wajah j. Berikan teknik
4. Proses berfikir kesakitan nonfarmakologis
terganggu menurun untuk mengurangi
5. Menarik diri f. Iritabilitas rasa nyeri (mis:
6. Berfokus pada diri menurun teknik imajinasi
sendiri g. Gangguan terbimbing)
7. Diaforesis. mobilitas 2. Pemberian analgesik
menurun a. Identifkasi
h. Gangguan karakteristik nyeri
kognitif b. Identifikasi alergi
menurun obat
i. Tekanan darah c. Identifikasi
membaik kesesuaian jenis
j. Frekuensi nafas analgesik
membaik d. Monitor tanda-
k. Pola istirahat/ tanda vital sebelum
tidur membaik. dan sesudah
pemberian
analgesik
e. Monitor efektifitas
analgesik
f. Perimbangkan
pengguanaan infus
kontinu, atau bolus
uploid untuk
mempertahankan
kadar dalam serum
g. Tetapkan target
efektifitas analgesik
untuk
mengobtimalkan
respons pasien
h. Dokumentasikan
respons pasien
terhadap efek
analgesik dan efek
yang tidak
diinginkan
i. Jelaskan efek terapi
dan efek samping
obat
j. Kolaborasi dalam
pemberian dosis
dan jenis analgesik.
3. Edukasi teknik nafas
a. Identifikasi
kesiapan dan
kemampuan
menerima informasi
b. Sediakan materi
dan media
pendidikan
kesehatan
c. Jadwalkan
pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan
d. Berikan
kesempatan untuk
bertanya
e. Jelaskan tujuan dan
manfaat teknik
nafas
f. Jelaskan prosedur
teknik nafas
g. Anjurkan
memposisikan
tubuh senyaman
mungkin
h. Anjurkan menutup
mata dan
berkonsentrasi
penuh
i. Ajarkan melakukan
inspirasi dengan
menghirup udara
secara perlahan
j. Ajarkan melakukan
ekspirasi dengan
menghembuskan
udara mulut
mencucu secara
perlahan.
4. Risiko luka tekan 1. Integritas kulit dan 1. Pencegahan luka
berhubungan dengan jaringan. tekan.
penurunan mobilisasi. a. Nyeri menurun a. Periksa adanya
b. Perdarahan luka tekan
Defenisi: berisiko menurun sebelumnya
mengalami cedera c. Hematoma b. Monitor suhu kulit
lokal pada kulit atau menurun yang tertekan
jaringan, biasanya pada d. Pigmentasi c. Monitor status
tonjolan tulang akibat abnormal kulit harian
tekanan atau gesekan. menurun d. Monitor kulit di
e. Jaringan parut atas tonjolan
menurun tulang atau titik
f. Nekrosis tekan saat
menurun mengubah posisi
g. Suhu kulit e. Monitor sumber
membaik tekanan dan
h. Tekstur gesekan
membaik f. Keringkan daerah
i. Elastisitas kulit yang lembab
meningkat akibat keringat,
j. Hidrasi cairan luka, dan
meningkat inkontinensia
k. Perfusi jaringan fekal/urin
meningkat. g. Ubah posisi
dengan hati- hati
setiap 1-2 jam.
h. Buat jadwal
perubahan posisi.
i. Jaga seprai tetap
kering, bersih dan
tidak ada lipatan/
kerutan.
j. Pastikan asupan
makanan yang
cukup terutama
protein, vit B, vit
C, zat besi dan
kalori.
2. Perawatan integritas
kulit.
a. Identifikasi
penyebab gangguan
integritas kulit
b. Ubah posisi taip 2
jam jika tirah
baring
c. Lakukan massage
efflurage dengan
VCO.
(Jurnal Setiani,
2014 efektifitas
massage dengan
VCO terhadap
pencegahan luka
tekan di intensive
care unit).
d. Bersihkan perineal
dengan air hangat
e. Gunakan produk
berbahan petrolium
atau minyak pada
kulit kering
f. Gunakan produk
berbahan ringan/
alami dan
hipoalergik pada
kulit sensitif
g. Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering.
(SLKI & SIKI, 2018)

4. Implementasi Keperawatan.
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen)
dan tindakan kolaborasi (Tarwoto & Wartonah, 2011).

5. Evaluasi
Evaluasi dari perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya.
Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai
dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Jika
tujuan tidak tercapai, maka perlu di kaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan
keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan
perubahan intervensi (Tarwoto & Wartonah,2011).
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

A. Pengkajian
1. Biodata Pasien
Pasien bernama Tn.S usia 48 tahun, suku Jawa, agama Islam, pendidikan terakhir
SD, menikah, saat ini bekerja sebagai buruh, nomor rekam medis 01332776, masuk
Rumah Sakit tanggal 28 Maret 2022, masuk melalui IGD atas rujukan dari Rumah
Sakit Karang Anyar dirawat di ruang ICU RSUD Dr. Moewardi dengan diagnosa
medis Cedera Kepala Sedang. Pasien tinggal di Sragen, penanggung jawab Tn.S
selaku adik pasien.
2. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
1) Riwayat Keperawatan Sekarang
Pada tanggal 28 Maret 2022 pasien akan menghadiri pengajian namun
ditengah jalan pasien mengalami kecelakaan menggunakan sepeda motor
akibat lampu motor pengendara lain yang menyilaukan mata. Pasien
berusaha menghindar dengan cara minggir namun pasien terjatuh terbentur
aspal lalu terpental ke semak-semak. Pasien langsung pingsan dan tidak
jelas bagaimana posisi jatuh pasien saat di tempat perkara. Pasien
langsung di bawa ke Rumah Sakit Karang Anyar dan diberikan perawatan
luka utamanya di bagian kepala. Pada pukul 20.00 WIB pasien dirujuk ke
IGD RSUD Dr. Moewardi oleh karena keterbatasan sarana.

Pada tanggal 29 Maret 2022 pukul 01.00 WIB pasien menjalani


pemeriksaan MSCT Scan Kepala irisan aksial tanpa kontras dengan kesan
EDH regio frontotemporal kanan dan ukuran 2.3 x 0.54 cm pada regio
parietal kiri, menyempitkan ventrikel lateralis kanan dan lateralisasi falx
cerebri ke kanan sejauh ± 0.32 cm, SDH dan pneumocephal regio
temporal kanan, SAH regio temporal kiri, tentorium cerebelli dan falx
cerebri, kontusio serebri lobus frontalis kiri, hematosinus maksilaris
kanan, ethmoid kanan dan sphenoid bilateral, edema serebri, fraktur os
zygomaticus kanan dan os temporal kanan. Kemudian oleh dokter
dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi EDH di OK tanggal 29 Maret
2022 pada pukul 03.00 WIB sampai dengan pukul 08.30 WIB.

Pada pukul 08.45 WIB pasien dipindah ke ruang ICU dan segera
mendapatkan bantuan pernafasan melalui ventilator dengan mode SIMV
VT 350, FiO2 50% PEEP 5cmH2O dan SpO2 100% namun ventilator
hanya terpasang dalam waktu 1 jam saja karena pasien mampu bernafas
spontan. Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 30 Maret 2016
pukul 10.30 WIB didapatkan data kesadaran pasien somnolen dengan
GCS E3M4V1, kedua pupil mata isokor 3 mm, reaksi pupil terhadap cahaya
+/+, tampak hematoma palpebra pada mata kanan, pasien gelisah dan
tampak memegangi kepala, posisi tidur tidak beraturan, terpasang restrain
pada tangan kiri yang terpasang infus, selimut berantakan karena selalu
disingkirkan menggunakan kaki, pasien terpasang infus NaCl 0,9%, NGT
dan DC. TTV : TD 140/82 mmHg, HR 92x/menit, RR : 20x/menit, MAP :
101 mmHg, suhu 36,5oC. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi
pasien mendapatkan diet cair tinggi kalori tinggi protein menggunakan
sonde sebanyak 750 cc/24 jam.
2) Riwayat Keperawatan Dahulu
Keluarga mengatakan pada tahun 2017 pasien pernah dirawat di RSUD
Dr. Moewardi karena mengalami apendisitis dan dilakukan operasi
apendiktomi. Menurut keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit
jantung, penyakit ginjal, hipertensi maupun diabetes mellitus.
3) Riwayat Keperawatan Keluarga
Keluarga mengatakan tidak ada yang memiliki penyakit keturunan seperti
hipertensi dan diabetes mellitus serta tidak memiliki penyakit menular
seperti TBC dan HIV.

b. Pola Kesehatan Fungsional Gordon


Pola kebutuhan nutrisi, pasien sulit menelan, pasien terpasang NGT,
pengkajian ABCD : A (antropometri) : tinggi badan 165 cm, berat badan : 60
kg (data berdasar CM), LILA : 22 cm, IMT : Berat badan (kg)/(tinggi badan
(cm)/100)2 = 60 : (165/100)2 = 22 (gizi baik/normal), B (biochemical):
hemoglobin 12,5 gr/dL, hematokrit 38%, albumin 3,7 g/dL, C (clinical) :
capilary refill time 3 detik, mukosa bibir kering, mengelupas, dan pucat,
konjungtiva anemis, D (diit) : pasien mendapatkan nutrisi tinggi kalori tinggi
protein, diit cair, susu, 750cc/24 jam, serta mendapatkan nutrisi parenteral
aminofluid.

Pola eliminasi, pasien terpasang DC, urin berwarna kuning jernih, volume urin
tertampung dalam urinbag dari pukul 07.00-14.00 WIB ± 600cc dalam 7
jam dan tidak ada tanda infeksi saluran kemih. Selama di rawat di ICU pasien
belum BAB.

Pola aktifitas dan latihan, pasien mengalami penurunan kesadaran dengan GCS
E3M4V1 (somnolen), kekuatan otot pada ekstremitas atas dan bawah tidak
dapat dikaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran, serta untuk
pemenuhan ADL pasien perlu bantuan total dari perawat.

Pola kognitif perseptual sensori, kesadaran pasien somnolen, GCS E3M4V1,


orientasi (waktu, tempat, dan orang) pada pasien tidak terkaji karena pasien
mengalami penurunan kesadaran akibat kecelakaan.

c. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tanggal 30 Maret 2022 didapatkan data keadaan umum
lemah, kesadaran somnolen dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E3M4V1.
Tekanan darah 140/82 mmHg, HR : 92 x/menit, MAP : 101 mmHg, RR :
20x/menit, suhu tubuh 36,5oC. Kepala berbentuk mesocephale, terdapat luka
post operasi kraniotomi evakuasi EDH pada bagian kanan, luka sepanjang 15
cm tidak rembes, terpasang drain 1 jalur produksi hematoserous. Pada mata,
isokor antara kanan dan kiri, reflek terhadap cahaya +/+, konjungtiva anemis,
terdapat hematom palpebra pada mata kanan. Pada mulut, mukosa bibir kering
dan mengelupas, terdapat jahitan pada lidah akibat tergigit saat kecelakaan
sepeda motor, reflek menelan tidak ada. Pada telinga, bentuk telinga simetris
antara kanan dan kiri, tidak ada battle sign dan peradangan pada mastoid. Pada
leher, leher tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening, terdapat jejas pada bahu kanan akibat fraktur klavikula
1/3 tengah kanan.

Pada pengkajian Body of System didapatkan data pernapasan (B1 : Breathing)


yaitu pada hidung bentuk simetris, tidak terdapat penumpukan sekret, tidak
terdapat pernapasan cuping hidung, tidak terdapat polip, terpasang nasal
canule 3 liter/menit. Pada dada, bentuk dada simetris yaitu penampang anterior
: posterior 2:1, pergerakan dada saat inspirasi dan ekspirasi simetris, saat
dilakukan inspeksi bentuk simetris, tidak terdapat penggunaan otot bantu
pernafasan, bentuk datar, tidak terdapat retraksi dinding dada kanan-kiri, saat
palpasi tactile fremitus bergetar sama kuat pada dada kanan dan kiri pada apek
intercosta 1 sampai basal intercosta 6, saat perkusi terdapat suara sonor pada
apek intercosta 1 sampai basal intercosta 6, serta saat auskultasi terdapat suara
vesikuler pada apek intercosta 1 sampai basal intercosta 6, tidak terdapat suara
abnormal seperti wheezing dan ronchi.

Pada kardiovaskuler (B2 : Blood) didapatkan data ictus cordis tampak pada
intercosta ke 5 midklavikula sinistra saat dilakukaninspeksi, saat palpasi teraba
ictus cordis di intercosta 5 pada midklavikula sinistra, saat dilakukan perkusi
terdapat suara redup pada intercosta 2 sampai intercosta 5, sedangkan saat
auskultasi bunyi jantung I dan II reguler, tidak terdapat bunyi jantung
tambahan seperti murmur dan gallop. Tekanan darah 140/82 mmHg, HR :
92x/menit, MAP : 101 mmHg, akral dingin, capillary refill time 3 detik, perifer
tampak pucat, konjungtiva anemis, hemoglobin 12,5 mg/dL.

Pada persyarafan (B3 : Brain) keadaan umum lemah, kesadaran somnolen


dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E3M4V1, pada mata tampak pupil isokor 3
mm, reflek cahaya +/+, tampak hematom palpebra pada mata kanan. Kekuatan
otot kedua ekstremitas atas dan bawah tidak terkaji karena pasien mengalami
penurunan kesadaran. Pasien hanya menarik saat dirangsang dengan nyeri,
kedua tangan terentang, dan fleksi lutut. Pengkajian refleks tendon : tidak ada
kontraksi otot bisep dan trisep, tidak ada gerakanmenyentak saat dilakukan tes
refleks achilles. Refleks patologis : Babinsky (negatif), Brudinsky (negatif),
Kaku kuduk tidak terkaji.

Pengkajian saraf cranial : pada saraf cranial I (olfaktorius) tak terkaji karena
klien mengalami penurunan kesadaran. Para saraf cranial II (optikus) terdapat
hematom palpebra di mata kanan serta adanya jejas pada mata kanan. Saraf
cranial III (okulomotorius), IV (troklearis), VI (abdusens) didapat data berupa
lebar pupil isokor 3 mm, reaksi terhadap cahaya +/+, pasien susah membuka
mata pada bagian kanan yang terluka, tidak terdapat fenomena mata boneka.
Saraf cranial V (trigeminus) pasien mengalami penurunan gerakan mengunyah
akibat terdapat luka jahitan pada lidah dan mengalami penurunan kesadaran
selain itu dari pemeriksaan penunjang ditemukan fraktur os zygomaticus kanan
sehingga berpengaruh pada gerakan mengunyah. Saraf VII (fasialis) tidak
tampak paralisis wajah, tidak ada Bell’s Palsy. Saraf cranial VIII
(vestibulokoklearis) tidak terkaji. Pada saraf kranial IX (glosofaringeus) dan X
(vagus) reflek menelan tidak ada sehingga dipasang NGT untuk memenuhi
asupan nutrisi.

Pada perkemihan (B4 : Bladder) didapatkan data pasien seorang laki-laki,


terpasang kateter, alat kelamin bersih, produksi urin ±1800 ml per hari, warna
kuning jernih, tidak ada darah dalam urin.

Pada pencernaan (B5 : Bowel) didapatkan saat pemeriksaan abdomen, pada


saat inspeksi datar dan tidak terdapat lesi, auskultasi bising usus 12 x/menit,
saat dipalpasi tidak terdapat nyeri tekan pada keempat kuadran, dan saat
diperkusi terdengar suara timpani pada keempat kuadran, selama masuk hingga
pasien dirawat di ICU pasien belum BAB.

Pada tulang, otot, dan integumen (B6 : Bone) didapatkan data terdapat jejas
pada bahu kanan, terdapat fraktur klavikula 1/3 tengah kanan, fraktur os
zygomaticus kanan dan os temporal kanan, kemampuan pergerakan
ekstremitas tidak terkaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran.

d. Pemeriksaan Diagnostik
Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi rutin pada tanggal 29 Maret 2022
yaitu hemoglobin 12.5 g/dL (N: 13.5-17.5), hematokrit 38% (N: 33-45),
leukosit 13.5 10^3/uL (N: 4.5-11), trombosit 163 10^3/uL (N: 150-450),
eritrosit 4.17 10^6/uL (N: 4.5- 5.9), albumin 3.7g/dL (N: 3.5-5.2), natrium 133
mmol/L (N: 136- 145), kalium 3.7 mmol/L (N: 3.3-5.1), chlorida 106 mmol/L
(N: 98- 106). Pemeriksaan laboratorium hematologi hemostasis pada tanggal 29
Maret 2022 didapatkan data PT 12.4 detik (N: 10-15), APTT 26.7 detik (N: 20-
40), INR 0.98.

Pemeriksaan MSCT Brain tanggal 29 Maret 2022 didapatkan hasil EDH regio
frontotemporal kanan dan ukuran 2.3 x 0.54 cm pada regio parietal kiri,
menyempitkan ventrikel lateralis kanan dan lateralisasi falx cerebri ke kanan
sejauh ± 0.32 cm, SDH dan pneumocephal regio temporal kanan, SAH regio
temporal kiri, tentorium cerebelli dan falx cerebri, contusio cerebri lobus
frontalis kiri, hematosinus maksilaris kanan, ethmoid kanan dan sphenoid
bilateral, edema serebri, fraktur os zygomaticus kanan dan os temporal kanan.

e. Program Terapi
Terapi yang diperoleh pada tanggal 30 Maret 2022 yaitu cairan infus Nacl 0,9
% : aminofluid / 24 jam (2:1) 60cc/jam menggunakan infus pump, drip
Manitol 100 cc/ 6 jam, Injeksi Phenitoin 100 mg/8 jam, Semax 3x6 tetes, O2
Nasal Canul 3 liter/menit.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan edema cerebral
karena adanya cedera kepala dibuktikan dengan dari pengkajian yang telah
dilakukan pada tanggal 30 Maret 2022 didapatkan data fokus : kesadaran Tn. S
somnolen nilai GCS E3M4V1, tampak hematoma palpebra pada mata kanan, pasien
gelisah dan tampak memegangi kepala, hasil MSCT pada tanggal 29 Maret 2022
yaitu EDH regio frontotemporal kanan dan ukuran 2.3 x 0.54 cm pada regio
parietal kiri, menyempitkan ventrikel lateralis kanan dan lateralisasi falx cerebri ke
kanan sejauh ± 0.32 cm, SDH dan pneumocephal regio temporal kanan, SAH regio
temporal kiri, tentorium cerebelli dan falx cerebri, contusio cerebri lobus frontalis
kiri, hematosinus maksilaris kanan, ethmoid kanan dan sphenoid bilateral, edema
serebri. TTV : TD 140/82 mmHg, HR 92x/menit, RR : 20x/menit, MAP : 101
mmHg.

C. Rencana Keperawatan
Dari diagnosa yang muncul berupa penurunan kapasitas adaptif intrakranial
berhubungan dengan edema serebral karena adanya cedera kepala pada Tn. S, maka
rencana asuhan keperawatan yang dilakukan selama 3x24 jam yang bertujuan tidak
terjadi penurunan kapasitas adaptif intrakranial dengan kriteria hasil sebagai berikut :
pasien menunjukkan peningkatan kesadaran GCS 15, status sirkulasi yang membaik
ditandai dengan tekanan darah dalam rentang normal 120/80 mmHg, tidak ada
hipertensi ortostatik, tidak ada peningkatan tekanan intrakranial. Kemampuan kognitif
yang membaik ditandai dengan berkomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan,
menunjukkan perhatian dan orientasi. Kemampuan sensori dan motorik kranial yang
utuh ditandai dengan tingkat kesadaran yang membaik dan tidak ada gerakan
involunter.

Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan kepada Tn.S antara lain : kaji tingkat
kesadaran dan status neurologis, monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,
respirasi), monitor peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala, muntah proyektil,
papil edema), lakukan head up/elevasi kepala 30o-45o, hindari fleksi leher ekstrim,
pertahankan suhu tubuh normal, monitor intake dan output cairan, batasi pengunjung,
berikan terapi oksigen, kolaborasi pemberian : drip manitol 100 cc/6 jam, injeksi
Phenitoin 100mg/8 jam, semax 3x6 tetes

D. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan dilakukan selama 3 hari, yaitu mulai tanggal 30 Maret – 1 April
2022. Pada diagnosa keperawatan penurunan kapasitas adaptif intrakranial
berhubungan dengan edema serebral karena adanya cedera kepala tindakan yang sudah
dilakukan adalah pada tanggal 30 Maret 2022 pukul 10.30 WIB. Melakukan monitoring
tingkat kesadaran, status neurologis, dan TTV. Respon pasien dengan kesadaran
somnolen GCS E3M4V1, pupil isokor 3 mm, reflek terhadap cahaya +/+, pasien gelisah
dan tampak tangan memegangi kepala, hasil monitoring TTV : TD : 140/82 mmHg, HR
: 92x/menit, MAP : 101 mmHg, Suhu 36,5oC, RR : 20x/menit. Pukul 11.00 WIB,
mempertahankan head up/ elevasi kepala 30-45o, respon yang diperoleh yaitu pasien
o
mengalami penurunan kesadaran dengan posisi head up 30 dengan posisi tidur
berantakan akibat gelisah. Pukul 12.30 WIB melakukan monitoring kesadaran
dan TTV, didapatkan respon pasien dengan kesadaran somnolen GCS E3M4V1, ukuran
pupil isokor 3 mm, reaksi terhadap cahaya +/+, pasien masih tampak gelisah, hasil
TTV : TD : 156/88 mmHg, HR : 92x/menit, suhu 36.7 oC, RR : 19x/menit. Pukul
13.00 WIB memberikan oksigen 3 liter/menit menggunakan nasal canule, respon yang
didapatkan pasien menggunakan nasal canule 3 liter/menit, RR : 20x/menit, SpO2
100%. Pukul 14.00 WIB memberikan drip manitol 100 cc, respon yang diperoleh yaitu
pasien dengan kesadaran somnolen serta manitol masuk sesuai advis melalui infus
pump.

Pada tanggal 31 Maret 2022 pukul 08.00 WIB melakukan monitoring tingkat kesadaran
dan status neurologis serta TTV. Respon pasien dengan kesadaran somnolen GCS
E3M4V1, pupil isokor 3 mm, reaksi pupil +/+, hasil monitoring TTV : TD : 146/86
mmHg, RR 18x/menit, HR : 93x/menit, MAP : 106 mmHg, suhu 36.8 oC. Melakukan
kolaborasi pemberian drip manitol 100cc/6jam, injeksi phenitoin 100mg/8jam. Respon
obat masuk sesuai advis secara IV melalui selang infus sedangkan manitol masuk sesuai
advis dengan menggunakan infus pump. Pada pukul 10.00 WIB, melakukan tindakan
mempertahankan head up/elevasi kepala 30o, respon yang di dapat terkadang setelah
diposisikan pasien kembali dengan posisinya semula yang tidak beraturan sehingga
kepala merosot. Memonitor peningkatan tekanan intrakranial, respon pasien tampak
gelisah, posisi tidur tidak beraturan dengan tangan selalu memegang kepala dan sempat
mencabut NGT. Melakukan tindakan kolaborasi pemberian semax 3x6 tetes pada
hidung. Respon obat semax masuk melalui hidung sebanyak 6 tetes pada kedua hidung.
Pada pukul 12.30 WIB, melakukan monitoring tingkat kesadaran dan status neurologis,
monitoring TTV. Respon pasien dengan kesadaran somnolen GCS E3M4V1 dengan
pupil isokor 3 mm, reaksi terhadap cahaya +/+. Hasil TTV : TD : 156/86 mmHg, HR :
92x/menit, MAP: 109 mmHg, RR : 25x/menit, Suhu 37oC. Pukul 13.00 WIB,
memberikan terapi oksigen dengan menggunakan nasal canule 3 liter/menit, respon
pasien terpasang nasal canule 3 liter/menit, RR 20x/menit, dan pasien tampak lebih
nyaman, SpO2 100%. Pada pukul 14.00 WIB, melakukan kolaborasi pemberian
manitol 100 cc/6 jam respon manitol masuk sesuai advis menggunakan infus pump.

Pada tanggal 1 April 2022 pukul 08.00 WIB. Melakukan monitoring tingkat kesadaran
dan status neurologis, serta TTV. Respon pasien dengan kesadaran apatis GCS
E3V4M5, pupil isokor 3 mm, reaksi pupil terhadap cahaya +/+, hasil monitoring TTV:
TD: 160/80 mmHg, HR: 100x/menit, MAP: 106 mmHg, Suhu 37oC, RR : 19x/menit.
Melakukan tindakan kolaborasi pemberian drip manitol 100cc/6jam, injeksi phenitoin
100mg/8jam. Respon obat masuk sesuai advis secara IV melalui selang infus, manitol
masuk sesuai advis menggunakan infus pump. Pukul 10.00 WIB melakukan tindakan
mempertahankan head up/elevasi kepala 30o respon pasien mengalami peningkatan
kesadaran dari somnolen menjadi apatis GCS E3V4M5 dengan posisi head up 30 o.
Melakukan tindakan kolaborasi pemberian Semax 3x6 tetes, respon pasien obat masuk
sesuai advis dan pasien mau diberikan obat tetes di hidung. Pukul 13.00 WIB
melakukan tindakan monitoring peningkatan tekanan intrakranial, respon pasien tampak
gelisah dan terkadang tangan masih memegangi bagian kepala. Pukul 14.00 WIB
melakukan tindakan kolaborasi memberikan drip manitol 100 cc/6 jam, respon manitol
masuk sebanyak 100 cc sesuai advis menggunakan infus pump.

E. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, hasil yang dicapai pada
tanggal 2 April 2022 pada pukul 14.00 WIB dengan diagnosa penurunan kapasitas
adaptif intrakranial berhubungan edema serebral karena adanya cedera kepala yaitu
pasien menunjukkan peningkatan kesadaran menjadi apatis dengan GCS E3V4M5, pupil
isokor 3 mm, reaksi pupil terhadap cahaya +/+, gelisah mulai berkurang, tangan
kadang masih memegangi kepala, pasien nyaman di posisikan head up/elevasi
kepala 30o, TTV: TD 146/80 mmHg, HR : 96x/menit, MAP: 102 mmHg, RR:
20x/menit, suhu 37oC. Analisa masalah penurunan kapasitas adaptif intrakranial
berhubungan dengan edema serebral karena adanya cedera kepala teratasi sebagian dan
rencana keperawatan selanjutnya yaitu monitoring tingkat kesadaran dan status
neurologis, TTV, tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial, pertahankan head
up/elevasi kepala 30o, terapi oksigen, serta kolaborasi : manitol 100 cc/6 jam,
phenitoin100 mg/8 jam, semax 3x6 tetes.

Anda mungkin juga menyukai