Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayahnya kepada kita semua. Sehingga pada saat ini kami dapat menyelesaikan
tugas makalah kegawatdaruratan dan diberi kesempatan membahas tentang “Trauma
Kepala”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami sangat berterima kasih apabila pembaca makalah ini bersedia memberikan
kritik dan saran, sehingga kami dapat lebih banyak belajar dan menjadi lebih baik dalam
pembuatan makalah selanjutnya.
Kelompok
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan cedera yang mengenai kepala/otak yang terjadi baik secara
langsung maupun tidak langsung. Salah satunya akibat insiden atau kecelakaan
(Anurogo, 2014). Menurut Bouma (2003) dalam Padila (2012), cedera kepala
merupakan suatu gangguan trumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai
perdarahan interstill dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Menurut Brain Injury Association of Amerikca dalam Bararah (2013), penyebab utama
dari cedera kepala adalah karena terjatuh (28%), kecelakaan lalu lintas (20%), tertabrak
benda (19%), dan akibat kekerasan (11%). Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh
merupakan penyebab utama rawat inap pasien cedera kepala yaitu sebanyak 32,1 dan
29,8 per 100.000 populasi, penyebab ke tiga akibat kekerasan mencatat sebanyak
7,1 per 100.000 pupolasi di Amerika Serikat pasien dengan cedera kepala di rawat
inap. Menurut Wijaya (2013), cedera kepala merupakan gangguan fungsional otak yang
di sebabkan oleh trauma, baik trauma benda tajam maupun trauma benda tumpul.
Akibat yang ditimbulkan dari cedera primer terjadi bersamaan dengan dampak dari
gaya akselerasi – deselerasi atau gaya rotasi, dan mencakup fraktur, gegar, kontusio dan
laserasi. Efek cedera pada jaringan otak dapat berupa fokal atau difusi. Cedera sekunder
dapat di mulai pada saat trauma terjadi atau pada waktu setelahnya. Cedera sekunder
meliputi gangguang akson, hematoma, hipertensi intrakranial, infeksi SSP, hipotensi,
hipertermia, hipoksemia, dan hiperkapnia (Stillwell, 2011). Menurut Margareth (2012),
cedera kepala dapat menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical- myocardial, perubahan tekanan vaskuler, udem paru, koma sampai kematian.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia pada
usia antara 5 sampai 35 tahun pada tahun 2013. Angka kematian pasien lebih tinggi di
negara berkembang dan golongan ekonomi menengah (Jasa et al., 2012).
Cedera kepala dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa seperti kerusakan
otak sebagai responnya terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), dan
terjadinya syok hipovolemik pada cedera kepala yang di sertai dengan perdarahan yang
hebat, agar cedera kepala tidak mengancam jiwa atau menyebabkan kematian maka
cedera kepala memerlukan perawatan yang intensif dari tenaga kesehatan (Brunner &
Suddart, 2017).
Pasien dengan penurunan kesadaran mengalami imobilitas, pada kondisi ini terjadi
luka tekan akibat gangguan integritas kulit karena adanya tekanan lama pada jaringan
kulit, yang menghambat peredaran darah ke jaringan lain ( Potter & Perry, 2013).
Tekanan imobilisasi yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekubitus, jika salah
satu bagian tubuh berada pada suatu gradient (titik perbedaan antara dua tekanan).
Terjadinya Iskemik, nekrosis jaringan kulit selain faktor tegangan, ada faktor lain
yaitu : faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada
penderita dengan posisi setengah berbaring (Heri Susanto, 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis ingin membahas tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan trauma kepala.
B. Tujuan
Untuk mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien trauma kepala.
C. Manfaat
Untuk menambah wawasan,pengetahuan, dan pengalaman dalam menerapkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan trauma kepala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya kontinuitas otak
(Padila,2014). Cedera kepala adalah trauma yang mengenai otak disebabkan oleh
kekuatan eksternal yang menimbulkan perubahan tingkat kesadaran dan
perubahan kemampuan kognitif, fungsi tingkah laku dan emosional (Bararah,
2013).
2. Etiologi
Menurut Sosilo (2019), penyebab trauma kepala dapat meliputi kecelakaan lalu
lintas, terjatuh, kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga, atau kejahatan dan
tindak kekerasan.
Menurut penyebabnya cedera kepala di bagi menjadi 3:
a. Trauma benda tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar. Berat
ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-deselerasi,
kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal dapat
menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan petekie karena pada saat
otak “bergeser” akan terjadi “pergesekan” antara permukaan otak
dengan tonjolan- tonjolan yang terdapat di permukaan dalam tengkorak
laserasi jaringan otak sehingga mengubah integritas vaskuler otak.
b. Trauma tajam
Di sebabkan oleh pisau atau peluru, atau fragmen tulang pada fraktur tulang
tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity) benda tajam
tersebut menancap ke kepala.
c. Coup dan contracoup
Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan sedangkan
pada cedera contracoup kerusakan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan
coup.
3. Klasifikasi
Jenis- jenis cedera otak traumastis adalah :
a. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan
otak. Jika kondisi ini kemudian melukai atau menyobek dura mater, maka
dapat menyebabkan cairan serebrospinal merembes, kerusakan saraf otak, dan
jaringan otak.
b. Trauma kepala tertutup
Keadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio,
kontusio, epidural hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma
(Susilo,2019)
Menurut krisanty paula (2014), cidera kepala ada 3 berdasarkan nilai GCS :
a. Cedera kepala ringan
1) Nilai GCS 13- 15
2) Amnesia kurang dari 30 menit
3) Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada
4) Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari
4. Patofisiologi
Suatu sentakan traumatik pada kepala menyebabkan cedera kepala. Sentakannya
tiba- tiba dan dengan kekuatan penuh, seperti jauh, kecelakaan kendaraan
bermotor, atau kepala terbentuk. Jika sentakan menyebabkan suatu trauma
akselerasi- delerasi atau coup- countercoup, maka kontusioserebri dapat terjadi.
Trauma akselerasi- deselerasi dapat terjadi langsung di bawah sisi yang terkena
ketika otak terpantul kearah tengkorak dari kekuatan suatu sentakan (suatu
pukulan benda tumpul) ketika kekuatan sentakan mendorong otak terpantul
kearah sisi berlawanan tengkorak, atau ketika kepala terdorong kedepan dan
terhenti seketika. Otak terus bergerak dan terbentur kembali ke tengkorak
(akselerasi) dan terpantul (deselerasi) (Krisanty, 2014).
Gejala yang timbul bergantung pada tingkat keparahan dari lokasi terjadinya
trauma. Nyeri menetap dan teralokasi, biasanya mengindikasikan adanya fraktur.
Fraktur pada kubah tengkorak bisa menyebabkan pembengkakan di daerah
tersebut, tetapi bisa juga tidak. Fraktur pada dasar tengkorak yang sering kali
menyebabkan perdarahan dari hidung, faring, telinga dan darah mungki terlihat
dibawah konjungtiva. Ekimosis terlihat di atas tulang mastoid (tanda Battle).
Pengeluaran cairan serebrospinalis (CSF) dari telinga dan hidung menunjukkan
terjadinya fraktur tengkorak. Pengeluaran cairan serebrospinalis dapat
menyebabkan infeksi serius (mis, meningitis) yang masuk melalui robekan di dura
mater. Cairan spinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi otak atau
memar otak (kontusi). Cedera otak juga memiliki bermacam gejala, termasuk
perubahan tingkat kasadaran (LCO), peruabahan ukuran pupil, perubahan ata
hilangnya reflek muntah atau reflek kornea, defisit neurologis, perubahan tanda
vital seperti perubahan pola nafas, hipertensi, bradikardia, hipertermia, serta
gangguan sensorik, penglihatan, dan pendengaran. Gejala sindrom pasca- gegar
otak dapat meliputi sakit kepala, pusing, cemas, mudah marah, dan kelelahan.
Pada hematoma subdral akut atau subakut, perubahan LCO, tanda- tanda pupil,
hemiparesis, koma, hipertensi, bradikardi dan penuruanan frekuensi pernafasan
adalah tanda- tanda perluasan massa. Hematoama subdural kronik mengakibatkan
sakit kepala hebat, peruabahan tanda-tanda neurologis fokal, peruabahan
kepribadian, gangguan mental dankejang fokal (Brunner & Suddarth, 2017).
5. WOC
Terkena peluru Kecelakaan, terjatuh,
Benda tajam Trauma tajam Trauma Kepala Trauma tumpul traumapersalinan,
penyalahgunaan
obat/alkohol
Ekstra Kranial Intra Kranial
Tulang Kranial
/ kulit kepala / Jaringan
otak
Perdarahan, P
P Perdarahan Robeknya Penumpukan Gg. Saraf
hematoma, kesadaran Fraktur
kesadaran arteri darah di otak motorik tulang
kerusakan meningen & P TIK
jaringan Kompensasi tengkorak
Bed rest tubuh yaitu: P
lama vasodilatasi Hematoma P P Gangguan
kesadarans Nafsu makan, Terputusnya
& bradikardi epidural kesadaran koordinasi
Penekanan Anemia ensori mual, muntah, kontinuitas
P gerak
saraf disfagia tulang
kemampuan Aliran darah ekstremitas
system Perubahan Gangguan
Hipoksia batuk P
pernapasan ke otak sirkulasi keseimbangan
CSS kemampuan P Nyeri
mengenali Intake Hemiparase akut
Gangguan Akumulasi Hipoksia
Perubahan stimulus makanan dan Intoleransi
pola nafas pertukaran mukus jaringan PK: P TIK / hemiplegi
gas cairan aktivitas
Gangguan
Kesalahan Tirah
RR Batuk tdk Gg. Perfusi mobilitas
interpretasi baring
,hiperpneu, efektif, serebral tdk Resiko fisik
hiperventil- ronchi, Penurunan Defisit nutrisi
efektif Kapasitas Adaptif luka tekan
asi RR
Pola nafas Intrakranial Padila, 2012
Bersihan jalan nafas
tdk efektif tdk efektif
6. Manifestasi klinik
Menurut Paula (2014), manifestasi klinik pada pasien cedera kepala:
a. Peningkatan TIK, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Trias TIK: penurunan tingkat kesadaran, gelisah/ iritable, papil edema,
muntah proyektil.
2) Penurunan fungsi neurologis, seperti: perubahan bicara, perubahan reaksi
pupil, sensori motori berubah.
3) Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia).
b. Fraktur tengkorak, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung
2) Perdarahan di belakang memebran timpani
3) Periorbital ekhimosis
4) Battle`s sign (memar di daerah mastoid)
c. Kerusakan saraf kranial dan telinga tengah dapat terjadi saatkecelakaan
terjadi dengan manifestasi klinis sebagai berikut:
1) Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus.
2) Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus auditory.
3) Hilangnya daya penciuman akibat kerusakan nervusolfaktorius.
4) Pupil dilatasi, ketidakmampuan mata bergerak akibat kerusakan nervus
okulomotor.
5) Vertigo akibat kerusakan otolith di telinga tengah.
6) Nistagmus karena kerusakan sistem vestibular.
d. Komosio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Sakit kepala- pusing.
2) Retrograde amnesia.
3) Tidak sadar lebih dari atau sama dengan 5 menit.
e. Kontusio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut: Terjadi pada injuri
berat, termasuk fraktur servikalis:
1) Peningkatan TIK.
2) Tanda dan gejala:
a) Kontusio serebri
Manifestasi tergantung area hemifer otak yang kena. Kontusio pada
lobus temporal: agitasi, confuse, kontusio frontal: hemiparese, klien
sadar: kontusio frontotemporal: aphasia. Tanda gejala tersebut
reversible.
Menurut Susilo (2019), manifestasi klinik cedera kepala memiliki tanda dan
gejala sebagai berikut:
7. Penatalaksanaan
a. Cedera Kepala Ringan
Pasien sadar, mungkin memiliki riwayat periode kehilangan kesadaran.
Amnesia retrograd terhadap peristiwa sebelumkecelakaan cukup signifikan.
1) Indikasi untuk rotgen tengkorak
a) Hilang kesadaran atau amnesia.
b) Tanda- tanda neurologis.
c) Kebocoran LCS.
d) Curiga trauma tembus.
e) Intoksikasi alkohol.
f) Sulit menilai.
2) Indikasi rawat
a) Kebingungan atau GCS menurun.
b) Fraktur tengkorak.
c) Tanda – tanda neurologis atau sakit kepala atau muntah.
d) Sulit menilai.
e) Terdapat masalah medis yang menyertai.
f) Kondisi sosial yang tidak adekuat atau tidak ada orangdewasa yang
dapat mengawasi pasien.
3) Indikasi untuk merujuk ke bagian bedah saraf
a) Fraktur tengkorak + kebingungan/ penurunan GCS.
b) Tanda – tanda neurologis fokal atau kejang.
c) Menetapnya tanda – tanda neurologis atau kebingunan > 12jam.
d) Koma setelah resusitasi.
e) Curiga cedera terbuka pada tengkorak.
f) Fraktur tekanan pada tengkorak.
g) Terdapat perburukan.
b. Cedera Kepala Berat
1) Klien akan datang dalam keadaan tidak sadar ke unit gawat darurat.
Cedera kepala mungkin merupakan bagian dari trauma multipel.
2) ABC (Airway management, Breathing, Circulation). Intubasi dan
ventilasi pasien- pasien tidak sadar untuk melindungi jalan nafas dan
mencegah cedera otak sekunder akibat hipoksia.
3) Resusitasi pasien dan cari tanda- tanda cedera lainnya, khususnya jika
pasien dalam keadaan syok. Cedera kepala dapat di sertai dengan cedera
tulang belakang servikal dan leher harus di lindungi dengan cervical
collar pada pasien- pasien ini.
4) Obati masalah- masalah yang mengancam hidup (misalnya ruptur limpa)
dan stabilkan pasien sebelum dikirim ke unit bedah saraf. Pastikan
terdapat pengawasan medis yang adekuat (ahli anestesi dan perawat)
selama pengiriman (Susilo,2019).
5) Mencegah terjadinya luka dekubitus yang bisa di alami oleh pasien
dengan penurunan kesadaran lama.
8. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya
yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer berupa upaya pencegahan sebelum peristiwa kecelakaan
terjadi. Misalnya, berkendara dengan hati- hati, memakai sabuk pengaman,
memakai helm, dan lain-lain.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder berupa upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dilakukan untuk meminimalkan beratnya cedera. Dilakukan dengan
pemberian pertolongan pertama ABC, yaitu:
1) Memberikan jalan nafas yang lapang (airway)
Gangguan oksigenasi otak dan jariangan vital dan lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera. Pasien dengan penurunan
kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk mengalami gangguan jalan
nafas. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway
menjadi perioritas utama. Beberapa kematian dalam kasus ini di
sebabkan oleh kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat oleh
aspirasi isi lambung atau kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah pasien sendiri.
2) Memberi nafas buatan (breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan
adalah membantu pernapasan. Keterlambatan mengenali gangguan
pernapasan dan membantu pernapasan dapat menimbulkan kematian.
3) Menghentikan perdarahan (circulations)
Perdarahan dapat di hentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat di balut
dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat di atasi dengan pemberian
cairan infus dan bila perlu di lanjutkan dengan pemberian transfusi darah.
Syok biasanya disebabkan karena pasien kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang
lebih berat. Penanganan tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan
lalu lintas dapat menurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.
Pencegahan tersier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,
meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi
penderita (Susilo, 2019).
9. Komplikasi
a. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak menunjukkan tinkat keparahan cedera. Tidak di perlukan
terapi khusus kecuali terjadi trauma campuran, tekanan atau berhubungan
dengan kehilangan LCS kronis.
b. Perdarahan intrakranial
1) Perdarahan ekstradural. Robekan pada arteri meningea media atau
hematoma di tengkorak dan dura. Sering kali terdapat interval lucid
sebelum terbukti tanda- tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
seperti penurunan nadi, peningkatan tekanan darah, dilatasi pupil
ipsilateral, paresis atau paralisis kontralateral.
2) Perdarahan subdural akut. Robekan pada vena- vena di antara araknoid
dan durameter. Terdapat perburukan neurologis yang progresif. Biasanya
terjadi pada orang usia lanjut.
3) Hematoma subdural kronis. Robekan pada vena dapat menyebabkan
hematoma subdural yang akan membesar secara perlahan akibat
penyerapan LCS. Penyebab yang paling sering adalah cedera ringan.
4) Perdarahan interserebral. Pendarahan ke dalam substansi otak yang
menyebabkan kerusakan ireversibel.
c. Infeksi (trauma terbuka).
d. Depresi pernapasan dan gagal nafas
e. Hernia otak (Susilo,2019).
Menurut IKAPI UGM, 2015 dampak dari trauma kepala jangka panjang adalah:
a. Kerusakan saraf kranial
1) Anosmia
Kerusakan nervus olfaktorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan
yang kalau total disebut anosmia dan bila parsial disebut hiposmia.
Kadang-kadang anosmia menyertai rinorea. Pada sepertiga kasus,
anosmia terjadi sebagai akibat trauma di oksiput, yang dengan
mekanisme contreoup menyebabkan lesi di filamen nervus olfaktorius.
Penderita anosmia tidak dapat mengenal bau- bau makanan atau apapun.
2) Gangguan penglihatan
Cedera pada nervus optikus terdapat pada 1,7% kasus cedera kepala.
Gangguan penglihatan bilateral sangat jarang terjadi, kerusakan nervus
optikus adalah akibat trauma di regio frontal atau frontotempotal, timbul
segera setelah mengalami trauma. Biasanya disertai hematoma di sekitar
mata dan proptosis akibat adanya perdarahan dan edema di dalam orbita.
Kerusakaan khlasma optika jarang terjadi akibat fraktur pada sela tursika.
3) Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kumpulan otot- otot pergerakan bola mata, umumnya
disertai ptosis dan pupil yang midriatik. Insiden berkisar antara 1-7%
kasus trauma kepala. Meskipun lesi nervus okulomotorius sering terjadi
sendiri, nervus troklearis dan nervus abdusens dapat pula menyertainya.
Kombianasi sel saraf- saraf tersebut terjadi pada 3% kasus cedera kepala
akibat kecelakaan.
4) Paresis fasialis
Paresis fasialis terjadi pada sekitar 3% dari kasus trauma kepala. Kira-
kira seperlima kasus dengan perdarahan telinga mengalami faresis
fasialis pada sisi yang sama. Umumnya gejala klinik muncul sejak saat
trauma: hanya 12% kasus paresis fasialis yang timbul tertunda 5-7 hari
pasca trauma. Keadaan demikian disebabkan oleh edema pada sarafnya
sendiri atau edema jaringan sekitarnya. Sebagian besar paresis fasiliasis
traumatik menyertai fraktur di fosa media yang mengenai os petrosus
atau mastoid.
5) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori- neural yang berat biasanya disertai
vertigo dan nistagmus karena adanya hubungan yang erat antara koklea,
veslibula dan saraf. Dengan demikian adanya trauma yang berat pada
salah satu organ yang lain. Pengobatan biasanya hanya simtomatik,
jarang sekali dilakukan tindakan bedah.
b. Disfasia
Disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa yan di sebabkan oleh penyakit sistem saraf pusat.
c. Sindrom pascatrauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala atau dikenal pula sebagai postconcussional
syndrome merupakaan kumpulan gejala subjektif yang sering di jumpai pada
trauma kepala. Penyebab sindrom ini bersifat multifaktoral, meliputi faktor
organik (jenis dan lokasi kerusakan otak), psikologik (termasuk premobid
personality), sosial ekonomi (pekerjaan, tingkat penididikan dan lingkungan).
d. Fistula karotiko- kavernosus
Fistula karitiko- kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteria
karotis dengan sinus kavenosus, umumnya di sebabkan oleh trauma pada
dasar tengkorak.adanya hubungan pendek ini menimbulkan akibat penting
yaitu hipertensi venosa simultan dan vascular stealing syndrome pada area
yang di pasok oleh arteri kerotis interna, yang kemudian menimbulkan
hipoksia otak.
e. Epilepsi
Berdasarkan saat pertama munculnya bangkitan epilepsi, maka di kenal 2
macam epilepsi pascatrauma kepala, ialah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early postraumatic epilepsy) dan epilepsi yang
muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late postraumatic epilepsy) yang
pada umumnya munculdalam satu tahun pertama meskipun ada beberapa
kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.
f. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuahan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras piramidal di koteks,
subkorteks atau di batang otak. Penyebabnya, berkaitan dengan trauma
kepala, adalah perdarahan otak (subdural, epidural, intraparenkhimal),
emplema subdural, herniasi transientorial. Dan dalam hal ini pasien
mengalami imobilisasi.
Luka dekubitus merupakan dampak tekanan yang terlalu lama pada area
permukaan tulang yang menonjol dan mengakibatkan berkurangnya sirkulasi
darah pada area yang tertekan dan lama kelamaan jaringan setempat
mengalami iskemik, hipoksia dan berkembang menjadi nekrosis (Barbara,
2010).
Gambar 2.2
Lokasi yang berisiko mengalami luka tekan (Airlangga University Press,
2015).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi –
perfusi
c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis (cedera
kepala).
d. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cederakepala.
e. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan denganedema otak.
f. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma)
g. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelanmakanan
h. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.
i. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas.
j. Risiko luka tekan berhubungan dengan penurunan mobilisasi.(SDKI, 2017).
3. Intervensi Keperawatan
Tabel 2.2
Intervensi Keperawatan
4. Implementasi Keperawatan.
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen)
dan tindakan kolaborasi (Tarwoto & Wartonah, 2011).
5. Evaluasi
Evaluasi dari perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya.
Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai
dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Jika
tujuan tidak tercapai, maka perlu di kaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan
keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan
perubahan intervensi (Tarwoto & Wartonah,2011).
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. Pengkajian
1. Biodata Pasien
Pasien bernama Tn.S usia 48 tahun, suku Jawa, agama Islam, pendidikan terakhir
SD, menikah, saat ini bekerja sebagai buruh, nomor rekam medis 01332776, masuk
Rumah Sakit tanggal 28 Maret 2022, masuk melalui IGD atas rujukan dari Rumah
Sakit Karang Anyar dirawat di ruang ICU RSUD Dr. Moewardi dengan diagnosa
medis Cedera Kepala Sedang. Pasien tinggal di Sragen, penanggung jawab Tn.S
selaku adik pasien.
2. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
1) Riwayat Keperawatan Sekarang
Pada tanggal 28 Maret 2022 pasien akan menghadiri pengajian namun
ditengah jalan pasien mengalami kecelakaan menggunakan sepeda motor
akibat lampu motor pengendara lain yang menyilaukan mata. Pasien
berusaha menghindar dengan cara minggir namun pasien terjatuh terbentur
aspal lalu terpental ke semak-semak. Pasien langsung pingsan dan tidak
jelas bagaimana posisi jatuh pasien saat di tempat perkara. Pasien
langsung di bawa ke Rumah Sakit Karang Anyar dan diberikan perawatan
luka utamanya di bagian kepala. Pada pukul 20.00 WIB pasien dirujuk ke
IGD RSUD Dr. Moewardi oleh karena keterbatasan sarana.
Pada pukul 08.45 WIB pasien dipindah ke ruang ICU dan segera
mendapatkan bantuan pernafasan melalui ventilator dengan mode SIMV
VT 350, FiO2 50% PEEP 5cmH2O dan SpO2 100% namun ventilator
hanya terpasang dalam waktu 1 jam saja karena pasien mampu bernafas
spontan. Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 30 Maret 2016
pukul 10.30 WIB didapatkan data kesadaran pasien somnolen dengan
GCS E3M4V1, kedua pupil mata isokor 3 mm, reaksi pupil terhadap cahaya
+/+, tampak hematoma palpebra pada mata kanan, pasien gelisah dan
tampak memegangi kepala, posisi tidur tidak beraturan, terpasang restrain
pada tangan kiri yang terpasang infus, selimut berantakan karena selalu
disingkirkan menggunakan kaki, pasien terpasang infus NaCl 0,9%, NGT
dan DC. TTV : TD 140/82 mmHg, HR 92x/menit, RR : 20x/menit, MAP :
101 mmHg, suhu 36,5oC. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi
pasien mendapatkan diet cair tinggi kalori tinggi protein menggunakan
sonde sebanyak 750 cc/24 jam.
2) Riwayat Keperawatan Dahulu
Keluarga mengatakan pada tahun 2017 pasien pernah dirawat di RSUD
Dr. Moewardi karena mengalami apendisitis dan dilakukan operasi
apendiktomi. Menurut keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit
jantung, penyakit ginjal, hipertensi maupun diabetes mellitus.
3) Riwayat Keperawatan Keluarga
Keluarga mengatakan tidak ada yang memiliki penyakit keturunan seperti
hipertensi dan diabetes mellitus serta tidak memiliki penyakit menular
seperti TBC dan HIV.
Pola eliminasi, pasien terpasang DC, urin berwarna kuning jernih, volume urin
tertampung dalam urinbag dari pukul 07.00-14.00 WIB ± 600cc dalam 7
jam dan tidak ada tanda infeksi saluran kemih. Selama di rawat di ICU pasien
belum BAB.
Pola aktifitas dan latihan, pasien mengalami penurunan kesadaran dengan GCS
E3M4V1 (somnolen), kekuatan otot pada ekstremitas atas dan bawah tidak
dapat dikaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran, serta untuk
pemenuhan ADL pasien perlu bantuan total dari perawat.
c. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tanggal 30 Maret 2022 didapatkan data keadaan umum
lemah, kesadaran somnolen dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E3M4V1.
Tekanan darah 140/82 mmHg, HR : 92 x/menit, MAP : 101 mmHg, RR :
20x/menit, suhu tubuh 36,5oC. Kepala berbentuk mesocephale, terdapat luka
post operasi kraniotomi evakuasi EDH pada bagian kanan, luka sepanjang 15
cm tidak rembes, terpasang drain 1 jalur produksi hematoserous. Pada mata,
isokor antara kanan dan kiri, reflek terhadap cahaya +/+, konjungtiva anemis,
terdapat hematom palpebra pada mata kanan. Pada mulut, mukosa bibir kering
dan mengelupas, terdapat jahitan pada lidah akibat tergigit saat kecelakaan
sepeda motor, reflek menelan tidak ada. Pada telinga, bentuk telinga simetris
antara kanan dan kiri, tidak ada battle sign dan peradangan pada mastoid. Pada
leher, leher tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening, terdapat jejas pada bahu kanan akibat fraktur klavikula
1/3 tengah kanan.
Pada kardiovaskuler (B2 : Blood) didapatkan data ictus cordis tampak pada
intercosta ke 5 midklavikula sinistra saat dilakukaninspeksi, saat palpasi teraba
ictus cordis di intercosta 5 pada midklavikula sinistra, saat dilakukan perkusi
terdapat suara redup pada intercosta 2 sampai intercosta 5, sedangkan saat
auskultasi bunyi jantung I dan II reguler, tidak terdapat bunyi jantung
tambahan seperti murmur dan gallop. Tekanan darah 140/82 mmHg, HR :
92x/menit, MAP : 101 mmHg, akral dingin, capillary refill time 3 detik, perifer
tampak pucat, konjungtiva anemis, hemoglobin 12,5 mg/dL.
Pengkajian saraf cranial : pada saraf cranial I (olfaktorius) tak terkaji karena
klien mengalami penurunan kesadaran. Para saraf cranial II (optikus) terdapat
hematom palpebra di mata kanan serta adanya jejas pada mata kanan. Saraf
cranial III (okulomotorius), IV (troklearis), VI (abdusens) didapat data berupa
lebar pupil isokor 3 mm, reaksi terhadap cahaya +/+, pasien susah membuka
mata pada bagian kanan yang terluka, tidak terdapat fenomena mata boneka.
Saraf cranial V (trigeminus) pasien mengalami penurunan gerakan mengunyah
akibat terdapat luka jahitan pada lidah dan mengalami penurunan kesadaran
selain itu dari pemeriksaan penunjang ditemukan fraktur os zygomaticus kanan
sehingga berpengaruh pada gerakan mengunyah. Saraf VII (fasialis) tidak
tampak paralisis wajah, tidak ada Bell’s Palsy. Saraf cranial VIII
(vestibulokoklearis) tidak terkaji. Pada saraf kranial IX (glosofaringeus) dan X
(vagus) reflek menelan tidak ada sehingga dipasang NGT untuk memenuhi
asupan nutrisi.
Pada tulang, otot, dan integumen (B6 : Bone) didapatkan data terdapat jejas
pada bahu kanan, terdapat fraktur klavikula 1/3 tengah kanan, fraktur os
zygomaticus kanan dan os temporal kanan, kemampuan pergerakan
ekstremitas tidak terkaji karena pasien mengalami penurunan kesadaran.
d. Pemeriksaan Diagnostik
Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi rutin pada tanggal 29 Maret 2022
yaitu hemoglobin 12.5 g/dL (N: 13.5-17.5), hematokrit 38% (N: 33-45),
leukosit 13.5 10^3/uL (N: 4.5-11), trombosit 163 10^3/uL (N: 150-450),
eritrosit 4.17 10^6/uL (N: 4.5- 5.9), albumin 3.7g/dL (N: 3.5-5.2), natrium 133
mmol/L (N: 136- 145), kalium 3.7 mmol/L (N: 3.3-5.1), chlorida 106 mmol/L
(N: 98- 106). Pemeriksaan laboratorium hematologi hemostasis pada tanggal 29
Maret 2022 didapatkan data PT 12.4 detik (N: 10-15), APTT 26.7 detik (N: 20-
40), INR 0.98.
Pemeriksaan MSCT Brain tanggal 29 Maret 2022 didapatkan hasil EDH regio
frontotemporal kanan dan ukuran 2.3 x 0.54 cm pada regio parietal kiri,
menyempitkan ventrikel lateralis kanan dan lateralisasi falx cerebri ke kanan
sejauh ± 0.32 cm, SDH dan pneumocephal regio temporal kanan, SAH regio
temporal kiri, tentorium cerebelli dan falx cerebri, contusio cerebri lobus
frontalis kiri, hematosinus maksilaris kanan, ethmoid kanan dan sphenoid
bilateral, edema serebri, fraktur os zygomaticus kanan dan os temporal kanan.
e. Program Terapi
Terapi yang diperoleh pada tanggal 30 Maret 2022 yaitu cairan infus Nacl 0,9
% : aminofluid / 24 jam (2:1) 60cc/jam menggunakan infus pump, drip
Manitol 100 cc/ 6 jam, Injeksi Phenitoin 100 mg/8 jam, Semax 3x6 tetes, O2
Nasal Canul 3 liter/menit.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan edema cerebral
karena adanya cedera kepala dibuktikan dengan dari pengkajian yang telah
dilakukan pada tanggal 30 Maret 2022 didapatkan data fokus : kesadaran Tn. S
somnolen nilai GCS E3M4V1, tampak hematoma palpebra pada mata kanan, pasien
gelisah dan tampak memegangi kepala, hasil MSCT pada tanggal 29 Maret 2022
yaitu EDH regio frontotemporal kanan dan ukuran 2.3 x 0.54 cm pada regio
parietal kiri, menyempitkan ventrikel lateralis kanan dan lateralisasi falx cerebri ke
kanan sejauh ± 0.32 cm, SDH dan pneumocephal regio temporal kanan, SAH regio
temporal kiri, tentorium cerebelli dan falx cerebri, contusio cerebri lobus frontalis
kiri, hematosinus maksilaris kanan, ethmoid kanan dan sphenoid bilateral, edema
serebri. TTV : TD 140/82 mmHg, HR 92x/menit, RR : 20x/menit, MAP : 101
mmHg.
C. Rencana Keperawatan
Dari diagnosa yang muncul berupa penurunan kapasitas adaptif intrakranial
berhubungan dengan edema serebral karena adanya cedera kepala pada Tn. S, maka
rencana asuhan keperawatan yang dilakukan selama 3x24 jam yang bertujuan tidak
terjadi penurunan kapasitas adaptif intrakranial dengan kriteria hasil sebagai berikut :
pasien menunjukkan peningkatan kesadaran GCS 15, status sirkulasi yang membaik
ditandai dengan tekanan darah dalam rentang normal 120/80 mmHg, tidak ada
hipertensi ortostatik, tidak ada peningkatan tekanan intrakranial. Kemampuan kognitif
yang membaik ditandai dengan berkomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan,
menunjukkan perhatian dan orientasi. Kemampuan sensori dan motorik kranial yang
utuh ditandai dengan tingkat kesadaran yang membaik dan tidak ada gerakan
involunter.
Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan kepada Tn.S antara lain : kaji tingkat
kesadaran dan status neurologis, monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,
respirasi), monitor peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala, muntah proyektil,
papil edema), lakukan head up/elevasi kepala 30o-45o, hindari fleksi leher ekstrim,
pertahankan suhu tubuh normal, monitor intake dan output cairan, batasi pengunjung,
berikan terapi oksigen, kolaborasi pemberian : drip manitol 100 cc/6 jam, injeksi
Phenitoin 100mg/8 jam, semax 3x6 tetes
D. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan dilakukan selama 3 hari, yaitu mulai tanggal 30 Maret – 1 April
2022. Pada diagnosa keperawatan penurunan kapasitas adaptif intrakranial
berhubungan dengan edema serebral karena adanya cedera kepala tindakan yang sudah
dilakukan adalah pada tanggal 30 Maret 2022 pukul 10.30 WIB. Melakukan monitoring
tingkat kesadaran, status neurologis, dan TTV. Respon pasien dengan kesadaran
somnolen GCS E3M4V1, pupil isokor 3 mm, reflek terhadap cahaya +/+, pasien gelisah
dan tampak tangan memegangi kepala, hasil monitoring TTV : TD : 140/82 mmHg, HR
: 92x/menit, MAP : 101 mmHg, Suhu 36,5oC, RR : 20x/menit. Pukul 11.00 WIB,
mempertahankan head up/ elevasi kepala 30-45o, respon yang diperoleh yaitu pasien
o
mengalami penurunan kesadaran dengan posisi head up 30 dengan posisi tidur
berantakan akibat gelisah. Pukul 12.30 WIB melakukan monitoring kesadaran
dan TTV, didapatkan respon pasien dengan kesadaran somnolen GCS E3M4V1, ukuran
pupil isokor 3 mm, reaksi terhadap cahaya +/+, pasien masih tampak gelisah, hasil
TTV : TD : 156/88 mmHg, HR : 92x/menit, suhu 36.7 oC, RR : 19x/menit. Pukul
13.00 WIB memberikan oksigen 3 liter/menit menggunakan nasal canule, respon yang
didapatkan pasien menggunakan nasal canule 3 liter/menit, RR : 20x/menit, SpO2
100%. Pukul 14.00 WIB memberikan drip manitol 100 cc, respon yang diperoleh yaitu
pasien dengan kesadaran somnolen serta manitol masuk sesuai advis melalui infus
pump.
Pada tanggal 31 Maret 2022 pukul 08.00 WIB melakukan monitoring tingkat kesadaran
dan status neurologis serta TTV. Respon pasien dengan kesadaran somnolen GCS
E3M4V1, pupil isokor 3 mm, reaksi pupil +/+, hasil monitoring TTV : TD : 146/86
mmHg, RR 18x/menit, HR : 93x/menit, MAP : 106 mmHg, suhu 36.8 oC. Melakukan
kolaborasi pemberian drip manitol 100cc/6jam, injeksi phenitoin 100mg/8jam. Respon
obat masuk sesuai advis secara IV melalui selang infus sedangkan manitol masuk sesuai
advis dengan menggunakan infus pump. Pada pukul 10.00 WIB, melakukan tindakan
mempertahankan head up/elevasi kepala 30o, respon yang di dapat terkadang setelah
diposisikan pasien kembali dengan posisinya semula yang tidak beraturan sehingga
kepala merosot. Memonitor peningkatan tekanan intrakranial, respon pasien tampak
gelisah, posisi tidur tidak beraturan dengan tangan selalu memegang kepala dan sempat
mencabut NGT. Melakukan tindakan kolaborasi pemberian semax 3x6 tetes pada
hidung. Respon obat semax masuk melalui hidung sebanyak 6 tetes pada kedua hidung.
Pada pukul 12.30 WIB, melakukan monitoring tingkat kesadaran dan status neurologis,
monitoring TTV. Respon pasien dengan kesadaran somnolen GCS E3M4V1 dengan
pupil isokor 3 mm, reaksi terhadap cahaya +/+. Hasil TTV : TD : 156/86 mmHg, HR :
92x/menit, MAP: 109 mmHg, RR : 25x/menit, Suhu 37oC. Pukul 13.00 WIB,
memberikan terapi oksigen dengan menggunakan nasal canule 3 liter/menit, respon
pasien terpasang nasal canule 3 liter/menit, RR 20x/menit, dan pasien tampak lebih
nyaman, SpO2 100%. Pada pukul 14.00 WIB, melakukan kolaborasi pemberian
manitol 100 cc/6 jam respon manitol masuk sesuai advis menggunakan infus pump.
Pada tanggal 1 April 2022 pukul 08.00 WIB. Melakukan monitoring tingkat kesadaran
dan status neurologis, serta TTV. Respon pasien dengan kesadaran apatis GCS
E3V4M5, pupil isokor 3 mm, reaksi pupil terhadap cahaya +/+, hasil monitoring TTV:
TD: 160/80 mmHg, HR: 100x/menit, MAP: 106 mmHg, Suhu 37oC, RR : 19x/menit.
Melakukan tindakan kolaborasi pemberian drip manitol 100cc/6jam, injeksi phenitoin
100mg/8jam. Respon obat masuk sesuai advis secara IV melalui selang infus, manitol
masuk sesuai advis menggunakan infus pump. Pukul 10.00 WIB melakukan tindakan
mempertahankan head up/elevasi kepala 30o respon pasien mengalami peningkatan
kesadaran dari somnolen menjadi apatis GCS E3V4M5 dengan posisi head up 30 o.
Melakukan tindakan kolaborasi pemberian Semax 3x6 tetes, respon pasien obat masuk
sesuai advis dan pasien mau diberikan obat tetes di hidung. Pukul 13.00 WIB
melakukan tindakan monitoring peningkatan tekanan intrakranial, respon pasien tampak
gelisah dan terkadang tangan masih memegangi bagian kepala. Pukul 14.00 WIB
melakukan tindakan kolaborasi memberikan drip manitol 100 cc/6 jam, respon manitol
masuk sebanyak 100 cc sesuai advis menggunakan infus pump.
E. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, hasil yang dicapai pada
tanggal 2 April 2022 pada pukul 14.00 WIB dengan diagnosa penurunan kapasitas
adaptif intrakranial berhubungan edema serebral karena adanya cedera kepala yaitu
pasien menunjukkan peningkatan kesadaran menjadi apatis dengan GCS E3V4M5, pupil
isokor 3 mm, reaksi pupil terhadap cahaya +/+, gelisah mulai berkurang, tangan
kadang masih memegangi kepala, pasien nyaman di posisikan head up/elevasi
kepala 30o, TTV: TD 146/80 mmHg, HR : 96x/menit, MAP: 102 mmHg, RR:
20x/menit, suhu 37oC. Analisa masalah penurunan kapasitas adaptif intrakranial
berhubungan dengan edema serebral karena adanya cedera kepala teratasi sebagian dan
rencana keperawatan selanjutnya yaitu monitoring tingkat kesadaran dan status
neurologis, TTV, tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial, pertahankan head
up/elevasi kepala 30o, terapi oksigen, serta kolaborasi : manitol 100 cc/6 jam,
phenitoin100 mg/8 jam, semax 3x6 tetes.