Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecelakaan yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah kecelakaan

yang melibatkan sepeda motor dan umumnya bagian tubuh yang mengalami

cedera adalah kepala dan anggota gerak atas maupun bawah (Mariana, 2017).

Proporsi pasien trauma yang dirawat di rumah sakit mayoritas akibat

kecelakaan darat (59,6%) sebagian besar (47,5%) mengalami cedera kepala

(Riyadina, et. al., 2011 dikutip Sumarno, et. al., 2016). Cedera kepala atau

trauma capitis merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau

deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak

(Grace, 2007 dikutip Suryani, 2016).

Penderita cedera kepala sering kali mengalami edema serebri atau

perdarahan intrakranial dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial

(intracranial pressure/ICP) dan terganggunya autoregulasi tekanan perfusi

otak sehingga menjadi berbahaya dan harus segera ditangani (Ware, 2005

dikutip Priasojo, 2017; Wahyudi, 2015). Peningkatan tekanan intrakranial

adalah komplikasi serius karena pekenanan pada pusat-pusat vital di dalam

otak (herniasi) dan dapat mengakibatkan kematian sel otak (Rosjidi, 2014

dikutip Alfianto, 2015).

Diagnosa keperawatan yang lazim muncul pada pasien trauma capitis

salah satunya adalah risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

berhubungan dengan cedera kepala. Intervensi mandiri untuk mengatasi

1
masalah ini adalah membatasi gerakan pada kepala, leher dan punggung,

mengatur posisi head up tilt bila tanpa indikasi cidera tulang belakang

(vetebrae), memberikan posisi semi fowler dan kolaborasi untuk mencegah

serta mengobati edema (Soertidewi, 2012; Suryani, 2016). Sole, et. al. (2012)

dikutip Windhiarti (2016) juga menyebutkan bahwa manajamen yang dapat

dilakukan secara bertahap untuk menjaga tekanan intrakranial tetap normal

adalah dengan oksigenasi yang adekuat, hiperventilasi, drainase, terapi diuretik

dan hiperosmolar, hipotermia, kontrol gula darah dan nutrisi, decompressive

craniectomy, positioning, stimulasi lingkungan, manajemen tekanan darah dan

pencegahan kejang.

Head up tilt adalah posisi untuk menaikan kepala (elevasi) dari tempat

tidur sekitar 300 sampai 600 dan posisi tubuh dalam keadaan sejajar (Bahrudin,

2009). Suryani (2016) menyebutkan bahwa kegiatan perawatan rutin dan

positioning pada pasien dengan cedera kepala dapat berupa posisi supine atau

telentang dan posisi semi fowler atau setengah duduk dengan kemiringan 300.

Wahyudi (2015) menyebutkan elevasi kepala pasien dan tempat tidur dapat

diposisikan secara berurutan 00 – 200 – 450, sedangkan Meng, et. al., (2012)

menganjurkan untuk menggunakan posisi head-up tilt 300 karena terjadi

penurunan signifikan walaupun kecil terhadap volume darah otak dan saturasi

oksigen jaringan otak dibandingkan dengan posisi telentang.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis

jurnal yang berhubungan dengan pemberian posisi head up tilt untuk pasien

yang mengalami risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral terhadap

pasien trauma capitis.

2
B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Membandingkan dan memilih salah satu teknik posisi head up tilt yang

lebih efektif untuk pasien Trauma Capitis sesuai dengan evidence based saat

ini.

2. Tujuan Khusus

a. Memaparkan berbagai manfaat posisi head up tilt pada pasien Trauma

Capitis

b. Membandingkan kekurangan dan kelebihan masing-masing posisi yang

diberikan

c. Menyimpulkan posisi yang paling tepat diberikan pada pasien dengan

Trauma Capitis

C. Metode Penulisan

Proses pencarian literatur terkait head up tilt untuk pasien dengan

Trauma Capitis menggunakan electronic data base. Adapun data base yang

digunakan meliputi google schoolar, Jurnal Keperawatan Indonesia, Springer

Link, Public Library of Science dan International Journal of Medical and

Health Science. Kata kunci yang digunakan adalah Trauma Capitis, cedera

kepala, head injury, perfusi jaringan serebral, peningkatan tekanan intra kranial

dan head up tilt. Kriteria artikel yang ditemukan adalah membahas tentang

posisi head up tilt untuk pasien dengan Trauma Capitis. Jenis artikel adalah

penelitian atau systematic review, artikel harus diakses penuh melalui data

base (bukan hanya abstrak). Artikel dikelompokkan berdasarkan tema yaitu

3
pemberian posisi head up tilt untuk pasien dengan Trauma Capitis. Tahun

jurnal yang digunakan dibatasi dari 2009-2017.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Trauma Capitis

Trauma capitis atau trauma kepala atau cedera kepala adalah suatu

gangguan traumatik atau trauma mekanik pada kepala baik secara langsung

maupun tidak langsung, disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial

dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak sehingga

menyebabkan gangguan fungsi neurologis, yaitu gangguan fisik, kognitif dan

fungsi psikososial, baik temporer maupun permanen dan merubah kemampuan

otak dalam menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional,

sosial dan pekerjaan (Damanik, 2011 dikutip Suryani, 2016; Black dan Hawks,

2009 dikutip Wijayanti, 2013; Nasir, 2012).

Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di

batang otak dan mengakibatkan tonus dinding pembuluh darah menurun

sehingga cairan lebih mudah menembus dindingnya, sedangkan benturan yang

terjadi dapat menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah

sehingga menjadi lebih permeabel dan mengakibatkan edema (Soertidewi,

2012). Penderita dengan cedera kepala dapat secara primer mengakibatkan

kerusakan permanen pada jaringan otak atau mengalami cedera sekunder

seperti adanya iskemik otak akibat hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia atau

ketidakseimbangan elektrolit (Arifin, 2008 dikutip Wijayanti, 2013).

Komplikasi lainnya yang sering terjadi pada pasien cedera kepala adalah

perdarahan di otak, penurunan kesadaran, perubahan perilaku yang tidak begitu

5
terlihat dan defisit kognitif seperti gangguan memori, konsentrasi dan

pemusatan perhatian (Krisandi, 2013 dikutip Suryani, 2016).

Penderita cedera kepala sering kali mengalami edema serebri atau

perdarahan intrakranial sehingga menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial (intracranial pressure/ICP) dan terganggunya autoregulasi tekanan

perfusi otak, otak menjadi tidak terlindungi dari perubahan hemodinamika

tubuh serta menurunnya perfusi jaringan serebral (Ware, 2005; Temperano,

2007 dikutip Priasojo, 2017; Deem, 2006 dikutip Wijayanti, 2013).

Peningkatan TIK adalah komplikasi serius karena pekenanan pada pusat-pusat

vital di dalam otak (herniasi) dan dapat mengakibatkan kematian sel otak

(Rosjidi, 2014 dikutip Alfianto, 2015). Hal ini berdasarkan hipotesis Monro-

Kellie, dimana tekanan intrakranial merupakan jumlah volume darah

intracranial, jaringan otak dan/atau cairan otak yang bersifat tetap karena

berada dalam ruang tengkorak yang bersifat kaku sehingga tekanan tersebut

menjalar ke setiap sisi ruangan di dalam tengkorak (Bahrudin, 2009).

B. Perfusi Jaringan Serebral

Perfusi jaringan serebral adalah penurunan sirkulasi jaringan otak yang

dapat mengganggu kesehatan (Nurarif, 2013 dikutip Ismiana, 2014). Berat otak

hanya kurang dari 2% dari berat badan, namun memerlukan 15% kardiak

output dan menyita 20% oksigen yang beredar ditubuh, serta membutuhkan

25% dari seluruh glukosa dalam tubuh karena otak merupakan jaringan tubuh

yang mempunyai tingkat metabolisme tinggi (Amri, 2017). Prinsip tekanan

intrakranial dikenal dengan hipotesis Monro-Kellie, dimana tekanan

6
intrakranial merupakan jumlah volume darah intracranial, jaringan otak

dan/atau cairan otak yang bersifat tetap karena berada dalam ruang tengkorak

yang bersifat kaku sehingga tekanan tersebut menjalar ke setiap sisi ruangan di

dalam tengkorak (Bahrudin, 2009).

Secara fisiologis, jumlah darah yang mengalir ke otak cerebral blood

flow (CBF) adalah 50-60 ml per 100 gram jaringan otak permenit (Ismiana,

2014). Besarnya CBF ditentukan oleh faktor tekanan darah sistemik, laju

metabolisme otak dan PaCO2. Keadaan CBF juga menentukan tekanan perfusi

jaringan otak yang normalnya dipertahankan 60-70 mmHg. Jika berat otak

1500 gram, maka akan mendapatkan darah sebanyak 700-900 ml/menit. Otak

juga menggunakan 20% dari oksigen tubuh dan tidak mampu menyimpan

energi, sehingga otak sangat tergantung dari suplai luar. Pada saat terjadi

sumbatan atau pecahnya pembuluh darah yang mensuplai otak seperti trauma

kepala, maka akan menimbulkan masalah dengan cepat. Kekurangan oksigen

juga dapat membuat neuron-neuron kehilangan fungsinya dan diikuti dengan

dektruksi neuron. Jika dalam waktu 3-10 menit neuron-neuron tidak

mendapatkan suplai, maka mungkin neuron-neuron tersebut akan menjadi non

aktif total (Rosjidi dan Nurhidayat, 2009 dikutip Ismiana, 2014).

Peningkatan perfusi serebral dipengaruhi oleh lokasi cedera dan jumlah

perdarahan intrakranial (Huda, 2011). Manifestasi klinik tergantung pada

teritori vaskuler yang terkena (Huda, 2011). Jika teritori yang terkena adalah

arteri serebral media, pasien akan sering mengeluh parastesia dan defisit

sensorik kontralateral serta kelemahan kontralateral sementara. Jika hipoperfusi

menetap lebih lama daripada yang dapat ditoleransi oleh otak, maka akan

7
terjadi kematian sel yang disertai dengan kolaps darah otak dan mengakibatkan

influks cairan ke dalam jaringan otak yang infark disertai oedema serebri

dengan tanda klinis hipertensi intrakranial yang mengancam jiwa seperti sakit

kepala, muntah dan gangguan kesadaran (Baehr, 2010).

Suarjaya, et. al. (2012) menyebutkan bila sintesis ATP otak tidak

mencukupi untuk memenuhi energi, maka akan menyebabkan mekanisme

hemostasisnya terganggu dan menyebabkan peningkatan konsentrasi ion

kalsium intrasel, termasuk peningkatan konsumsi oksigen otak karena

metabolisme membutuhkan oksigen sehingga meningkatkan kadar

karbondioksida juga. Jika kebutuhan oksigen tidak terpenuhi, maka

metabolisme akan beralih dari metabolisme aerob ke metabolisme anaerob dan

menghasilkan asam laktat yang menstimulasi terjadinya nyeri pada kepala.

Prinsip utama untuk menangani nyeri kepala post trauma ini melalui

keadekuatan perfusi jaringan otak dengan mempertahankan perfusi serebral 60

mmHg atau lebih serta mengurangi tekanan intrakranial kurang dari 25 mmHg

sehingga oksigenasi ke otak dapat terjaga (Tarwoto, 2012).

1. Peningkatan Tekanan Intrakaranial pada Pasien Cedera Kepala

Berdasarkan etiologi, peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sebagai

hasil dari cedera primer atau keterlambatan dalam pengobatan yang dapat

menyebabkan cedera sekunder (Pitfied, et. al, 2012). Peningkatan tekanan

intrakranial merupakan peningkatan cairan serebrospinal (CSS) lebih dari

15 mmHg (nilai normal 3 hingga 15 mmHg) (Batticaca, 2008; Sandoughi,

et. al., 2013). Tanda dan gejala dari peningkatan tekanan intrakranial antara

lain nyeri kepala, muntah, postur yang tidak normal, reaksi pupil berespon

8
jelek pada cahaya, disorientasi, letargis, penurunan kesadaran, hipertensi

dengan atau tanpa bradikardi, papiledema, kelumpuhan saraf kranial

keenam, crushing’s triad (hipertensi, bradikardi, dan pernapasan

ireguler) dan memar periorbital spontan (Smeltzer, 2008; Batticaca, 2008;

Ginsberg, 2008).

Tekanan intrakranial (TIK) merupakan hasil dari sejumlah

jaringan otak, volume darah intrakranial, dan cairan cerebrospinal (CSS) di

dalam tengkorak pada satu satuan waktu. Keadaan normal dari tekanan

intrakranial bergantung pada posisi pasien dan berkisar kurang atau sama

dengan 15 mmHg (Mak, et. al., 2013). TIK didefinisikan sebagai tekanan di

dalam kubah kranial, seperti yang telah disebutkan sebelumnya,

parenkim serebral sekitar 80% dari isi intrakranial, CSF 10%, dan darah

10%. Ketika salah satu volume tersebut meningkat, sehingga tekanan

akan mendesak pada dua kompartemen lain (Rodriguez-Boto, et. al., 2015).

a. Aliran Darah Serebral

Peningkatan TIK secara signifikan menurunkan aliran darah dan

menyebabkan iskemia. Bila terjadi iskemia komplet dan lebih dari 3

sampai 5 menit, otak akan menderita kerusakan yang tidak dapat

diperbaiki. Pada keadaan iskemia serebral, pusat vasomotor

terstimulasi dan tekanan sistemik meningkat untuk mempertahankan

aliran darah. Keadaan ini selalu disertai dengan lambatnya denyutan

pembuluh darah dan pernapasan yang tidak teratur. Perubahan dalam

tekanan darah, frekuensi nadi dan pernapasan adalah gejala klinis yang

penting, yang memperlihatkan peningkatan TIK (Mak, et. al., 2013).

9
Konsentrasi karbondioksida dalam darah dan dalam jaringan otak

juga berperan dalam pengaturan aliran darah serebral. Tingginya tekanan

karbondioksida parsial menyebabkan dilatasi pembuluh darah serebral,

yang berperanna penting dalam peningkatan aliran darahh serebral

dan peningkatan TIK, sebaliknya menurunnya PaCO2 menyebabkan

vasokonstriksi. Menurunnya darah vena yang keluar dapat meningkatkan

volume darah serebral yang akhirnya menyebabkan peningkatan TIK

(Mak, et. al., 2013).

b. Edema serebral

Edema atau pembengkakan serebral terjadi bila air yang ada

peningkatan di dalam sistem saraf pusat. Adanya tumor otak

dihubungkan dengan produksi yang berlebihan dari hormon antidiuretik,

yang hasilnya terjadi retensi urin bahkan adanya tumor kecil dapat

menimbulkan peningkatan TIK yang besar (Mak, et. al., 2013).

2. Patofisiologi Peningkatan Tekanan Intrakranial pada Cedera Kepala

Intrakranial terdiri dari tiga komponen antara lain otak (80%), CSS

(10%), dan darah (10%). Ruang kranial yang kaku berisi jaringan otak

(1400 g), darah (75 ml), dan cairan serebrospinal (75 ml). Volume dan

tekanan pada ketiga komponen ini selalu berhubungan dengan keadaaan

keseimbangan. Pada kondisi fisiologis yang normal, rata-rata TIK dibawah

15 mm Hg. Setiap lesi atau akumulasi cairan yang mengambil ruang dalam

rongga tengkorak menyebabkan peningkatan tekanan dalam rongga

tersebut. Oleh karena itu, setiap pembengkakan jaringan otak dari cedera

atau operasi, pembuluh darah yang pecah, tumor, abses, atau lesi yang

10
menempati rongga dalam tengkorak dapat menyebabkan resiko TIK

menjadi meningkat (Mak, et. al., 2013; Rodriguez-Boto, et. al., 2015).

Tekanan terhadap pembuluh darah otak dan arteri dapat mengganggu

aliran darah yang dapat menghasilkan iskemia lokal dan hipoksia.

Sedangkan tekanan terhadap sel sendiri dapat mengganggu fungsi vital

mereka. Jika tekanan tersebut naik sangat tinggi dan tetap tinggi untuk

waktu yang lama, TIK dapat menyebabkan kematian kerana

ketidakadekuatan perfusi serebral atau herniasi otak. Cedera batang otak

atau tekanan pada batang otak karena peningkatan TIK menyebabkan

depresi pernapasan dari tekanan pada medula oblongata (Porter, 2010).

3. Manifestasi Klinis Tekanan Intrakranial

Ketika tubuh tidak bisa lagi mengimbangi peningkatan volume di

kubah tengkorak, dekompensasi dimulai dengan tanda-tanda klinis dari

peningkatan TIK. Tanda awal peningkatan TIK adalah letargis dan

penurunan kesadaran disertai dengan melambatnya berbicara dan

keterlambatan dalam menanggapi isyarat verbal. Ketika TIK naik, hal itu

mempengaruhi oksigenasi perfusi darah dari otak dan terjadi hipoksia.

Sel-sel saraf pada umumnya sensitif terhadap hipoksia dan tidak dapat

diganti setelah mereka rusak. Hipoksia dalam waktu yang lama

menyebabkan kematian sel otak. Tubuh berusaha untuk mengimbangi

dengan meningkatkan tekanan darah beroksigen lebih banyak melalui

jaringan otak. Jika TIK terus meningkat jaringan otak akan mengalami

herniasi. Herniasi ini menghasilkan tekanan pada struktur vital dari otak

tengah, pons, dan medula dan menyebabkan perubahan tanda-tanda vital

11
dan reaksi pupil sebagai karakteristik dari peningkatan TIK (Porter, 2010;

Nayduch, 2009).

Seperti pembengkakan jaringan otak atau peningkatan volume cairan

dalam kranium, tekanan ditempatkan pada saraf optik. Peningkatan tekanan

atau menyebarnya bekuan darah pada otak dapat mendesak otak pada saraf

okulomotorius dan optikal, yang menimbulkan perubahan pupil. Pupil mulai

bereaksi lebih lambat; ukuran pupil menjadi tidak sama, menuju ke

dilatasi dan kemudian ukuran pupil menjadi tetap sebagai refleks

menghilang (Mak, et. al., 2013: BINZ, 2016).

Tanda dan gejala TIK secara lengkap antara lain ukuran pupil yang

tidak sama, penurunan respon pupil terhadap cahaya, nyeri kepala,

muntah, perubahan pola pernapasan, cushing’s triad (bradikardia,

hipertensi sistolik, bradipnea), refleks batang otak yang berkurang, papil

edema, dan ekstensi atau fleksi abnormal. Muntah berulang dapat terjadi

pada peningkatan tekanan pada pusat refleks muntah di medula (Mak, et. al.,

2013).

4. Komplikasi Peningkatan Tekanan Intrakranial

Komplikasi peningkatan TIK meliputi herniasi batang otak, diabetes

insipidus dan sindroma ketidaktepatan hormon anti-diuretik.

a. Herniasi batang otak

Herniasi batang otak diakibatkan dari peningkatan tekanan

intrakranial yang berlebihan, bila tekanan bertambah di dalam ruang

kranial dan penekanan jaringan otak ke arah batang otak. Tingginya

tekanan pada batang otak menyebabkan penghentian aliran darah ke otak

12
dan menyebabkan anoksia otak yang tidak dapat pulih dan mati otak

(Mak, et. al., 2013).

b. Diabetes insipidus (DI)

Diabetes insipidus merupakan hasil dari penurunan sekresi hormon

anti diuretik. Urine pasien berlebihan. Terapi yang diberikan terdiri dari

volume cairan, elektrolit pengganti dan terapi vasopressin (Mak, et. al.,

2013).

c. Sindrom ketidaktepatan hormon anti-diuretik (SIADH)

SIADH merupakan akibat dari peningkatan sekresi hormon anti-

diuretik.Pasien mengalami volume berlebihan dan menurunnya jumlah

urine yang keluar. Pengobatan SIADH berupa pembatasan cairan dan

pemberian fenitoin untuk menurunkan pengeluaran ADH atau dengan

litium (Mak, et. al., 2013).

C. Posisi Head Up Tilt

Posisi head up tilt merupakan posisi untuk menaikan kepala (elevasi)

dari tempat tidur sekitar 300 sampai 600 dan posisi tubuh dalam keadaan sejajar

(Bahrudin, 2009). Kepala elevasi juga merupakan prosedur keperawatan

konvensional yang dilakukan secara rutin untuk individu dengan luka pada

otak dengan hipertensi intrakranial (Ismiana, 2014). Schneider, et. al. (2007)

dikutip Supadi (2012) menyatakan bahwa mengatur posisi kepala elevasi 150-

300 menyebabkan venous drainage dari serebral ke jantung meningkat dan

diharapkan venous return (aliran balik) ke jantung berjalan lebih optimal

sehingga dapat mengurangi edema intraserebral karena perdarahan.

13
Teori yang mendasari elevasi kepala ini adalah peninggian anggota tubuh

di atas jantung dengan vetebralis axis akan menyebabkan cairan serebro spinal

(CSS) terdistribusi dari kranial ke ruang subarachnoid spinal serta

memfasilitasi venus return serebral (Sunardi dan Nelly, 2011). Pemberian

posisi kepala elevasi 300 pada pasien cedera kepala bertujuan memberikan

keuntungan dalam meningkatkan oksigenasi sehingga dapat meningkatkan rasa

nyaman dan rileks dan mampu menurunkan intensitas nyeri kepala pasien dan

mencegah terjadinya perfusi jaringan serebral (Sunardi dan Nelly, 2011).

Menurut Affandi dan Panggabean (2016), fungsi dari posisi elevasi 300 yaitu

memperbaiki drainase vena, perfusi serebral dan menurunkan tekanan

intrakranial. Pertami, et. al. (2017) juga menyebutkan bahwa posisi kepala 300

disarankan karena pada saat posisi 300, tekanan arteri intra kranial menjadi

minimum dan tekanan perfusi serebral dapat meningkat dibandingkan posisi

terlentang, sedangkan posisi > 400 akan menurunkan perfusi otak.

Elevasi kepala menurunkan tekanan intrakranial melalui dua mekanisme.

Pertama, elevasi kepala menaikan drainase pembuluh darah vena jugularis dan

pembuluh darah di otak. Kedua, elevasi kepala mendorong cairan serebrospinal

(CSS) untuk mengalir ke kanal tulang belakang, sehingga jumlah CSS di otak

menurun (March dan Hickey, 2014). Elevasi kepala dapat menurunkan tekanan

intrakranial melalui beberapa cara, yaitu menurunkan tekanan darah, perubahan

komplians dada, perubahan ventilasi, meningkatkan aliran vena melalui vena

jugular yang tak berkatup sehingga menurunkan volume darah vena sentral

yang menurunkan tekanan intrakranial. Perpindahan CSS dari kompartemen

intrakranial ke rongga subaraknoid spinal dapat menurunkan tekanan

14
intrakranial (Priasojo, 2017). Namun, posisi head up dianjurkan untuk dengan

Trauma Capitis bila tanpa indikasi cidera tulang belakang (vetebrae)

(Soertidewi, 2012).

D. Kerangka Konsep

Trauma Capitis Oedema serebral

Ditandai dengan nyeri kepala


hebat, muntah proyektil,
hipertensi, bradikardi, pupil Peningkatan TIK
anisokor dan penurunan
kesadaran
Risiko ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral

Sintesis ATP otak tidak


terpenuhi hingga kematian
sel otak disertai kolaps darah
otak

Head up tilt position

Venous drainage dan venous Perfusi jaringan serebral


return menjadi optimal adekuat

15
BAB III

TELUSURAN EVIDENCE BASE NURSING

A. Analisa Jurnal PICO

No. Author Journal Title Population Intervention Comporator Outcome


1. Christian Impaired Populasi berjumlah Intervensi dilakukan Analisis data dilakukan Penelitian ini
Gunge Cerebral 15 pasien yang dengan MAP menggunakan menunjukkan bahwa
Riberholt, Autoregulation dirawat di ditentukan secara non- MATLAB 2012b. Data pasien dengan cedera
Niels during Head Up Departemen invasif dengan analisis EKG telah diproses kepala berat dan
Damkjaer Tilt in Patients Neurorehabilitation/ kontur nadi sebelumnya dalam intoleransi ortostatik
Olesen, Mira with Severe unit TBI di menggunakan non- perangkat lunak Kubios menunjukkan gangguan
Thing, Brain Injury Rigshospitalet/ invasive arterial HRV (ver. 2.2, autoregulasi selama HUT
Carsten, Glostrup University pressure system (CNAP Universitas Eastern lebih dari satu bulan
Bogh Juhi, Hospital, Denmark. Monitor 500 "HD", Finland, Finland). setelah cedera kepala berat
Jesper Kriteria inklusi: usia CNSystems MAP, CPPe, MCA yang membatasi
Mehlsen, ≥18 tahun, Medizintechnik AG, Vmean, HR dan rScO2 mobilisasi yang
Tue Hvass intoleransi ortostatik Austria (n = 5 pasien; n dilaporkan sebagai ditunjukkan saat Mxc
Petersen selama HUT = 14 kontrol sehat)) dasar (300 detik), 10 meningkat pada kelompok

16
(2016) (penurunan tekanan secara berkelanjutan detik pertama selama pasien dengan
darah sistolik atau atau Finometer posisi head up tilt 30°, pengurangan bersamaan
diastolik masing- (Finometer, Finapres 60° dan 80°, dan 10 dalam MAP, CPPe, rScO2
masing ≥20 mmHg Medical Sistem, detik terakhir head p tilt dan MCA Vmean. Mxa/c
dan ≥10 mmHg, atau Amsterdam, Belanda) (HUT0) dan setelah rendah pada pasien dalam
peningkatan denyut yang keduanya diukur periode kemiringan posisi terlentang memiliki
jantung (HR) dari ≥ menggunakan (300 detik setelah kemungkinan besar
30 kali/menit, photoplesmytographic HUT0). mencerminkan
tingkat kesadaran secara terus menerus autoregulasi yang utuh
rendah dan cedera per irama detak jantung. dalam posisi ini.
kepala. Kriteria Penggunaan monitor Menariknya, Mx konstan
eksklusi: fraktur, CNAP kemudian untuk kelompok konrol
luka, trombosis vena dihentikan karena yang sehat diseluruh
dalam, diabetes atau kerusakan. penelitian menandakan
sirosis hati. Responden diamankan bahwa sistem
menggunakan tali di kardiovaskular merespons
atas meja yang miring peningkatan tekanan
dengan kaki di atas ortostatik yang
footplate. Responden diperkenalkan oleh HUT,

17
beristirahat setidaknya sedangkan pasien tidak
30 menit selama menunjukkan reaksi ini
instrumentasi. Setelah terhadap HUT.
itu, 300 detik dari garis Kemudian terjadi
dasar terlentang pengurangan ortostatik di
direkam dan responden MCA Vmean sebesar 16%
dimiringkan 30°, 60° dan 13% pada masing-
dan 80° (head up) masing pada pasien dan
dalam interval 60 detik kelompok kontrol yang
dan ditahan maksimal sehat selama 60° HUT.
18 menit pada sudut Meskipun tidak ada
kemiringan 80°. Jika perbedaan dalam
intoleransi ortostatik perubahan MCA Vmean
terjadi, maka responden untuk pasien dan kontrol
segera dibawa ke posisi yang sehat, perubahan
horizontal dan hasilnya rScO2 dan Mxc selama
terus dilanjutkan untuk HUT mungkin terjadi.
sampai 30 menit Lebih jauh, perbedaan itu
bisa ditekankan jika

18
pasien tidak diturunkan
pada posisi terlentang.
Terjadi sedikit
peningkatan pada MAP,
CPPe dan rScO2 pada
HUT 80° disebabkan oleh
lebih sedikit pasien yang
termasuk pada saat ini,
sejak lima pasien muncul
intoleransi ortostatik pada
posisi HUT 60°. Sebagai
tambahan, pasien dengan
cedera otak berat berbeda
dari kontrol yang sehat
sehubungan dengan
pengurangan postural
dalam tekanan darah dan
rScO2. Hal ini didukung
oleh temuan gangguan

19
sensitivitas baroreflex
yang digambarkan melalui
analisis frekuensi
variabilitas HR.
2. Sumirah Effect of 300 Populasi dalam Peneliti melakukan Penelitian ini Berdasarkan penelitian
Budi Head Up penelitian ini adalah posisi head-up 30° pada merupakan penelitian yang telah dilakukan
Pertami, Position on semua pasien dengan kelompok perlakuan Quasy-Eksperimental menunjukkan p-value
Sulastyawati, Intracranial cedera kepala di dan posisi head-up 15° dengan post-test only 0,010 (<0,05) pada tingkat
Puthut Pressure Change bangsal bedah rumah ke grup kontrol dan control time series kesadaran dan p-value
Anami in Patients with sakit umum Dr. R. memperoleh data yang design 0,031 (<0,05) pada rata-
(2017) Head Injury in Soedarsono relevan sesuai dengan rata tekanan arteri,
Surgical Ward of Pasuruan yang tujuan penelitian. sehingga dapat
General Hospital berjumlah 30 Perlakuan pengaturan disimpulkan bahwa
of Dr. R. responden. Pasien posisi ini dilakukan saat terdapat pengaruh yang
Soedarsono dipilih menggunakan pasien di rawat di signifikan secara statistik
Pasuruan consecucutive bangsal bedah. dari posisi kepala 300 pada
sampling dengan 15 Perawatan diberikan tingkat kesadaran dan
responden sebagai selama 2 jam pada hari tekanan arteri rata-rata
kelompok perlakuan pertama dan kemudian

20
dengan diberikan tingkat kesadaran serta
posisi head up 300 mengukur Mean
dan kelompok Arterial Pressure
kontrol posisi kepala (MAP) (posttest 1).
150. Variabel Kemudian dilanjutkan
tekanan intrakranial kembali selama 2 jam.
diidentifikasi Level kesadaran dan
menggunakan MAP diukur kembali
tingkat kesadaran (posttest 2).
dan parameter Tingkat kesadaran
tekanan arteri rata- diukur menggunakan
rata yang kemudian instrumen GCS
dianalisis (Glasgow Coma Scale)
menggunakan untuk menggambarkan
Wilcoxon test tekanan intrakranial.
Sedangkan MAP atau
rata-rata tekanan arteri
dihitung dengan
mengukur tekanan

21
darah lalu menghitung
sistole dikalikan
diastole dan dibagi tiga.
Pengukuran MAP untuk
menjelaskan tekanan
intrakranial yang
dikategorikan dalam 3
kelas, yaitu: Tinggi jika
MAP >100 mmHg;
Normal jika MAP
dalam kisaran 70 – 100
mmHg dan Rendah jika
MAP <70 mmHg
3. Lizhong Head-up Tilt and Populasi berjumlah Intervensi dilakukan Data yang disajikan dari Berdasarkan hasil
Meng, Hyperventilation sebanyak 33 pasien. pada pasien bedah studi FD-NIRS penelitian didapatkan
William W. Produce Similiar Setelah melakukan tanpa penyakit didapatkan bahwa dari bahwa terjadi penurunan
Mantulin, Changes in informed consent neurologis yang dibius pasien yang sama yang kecil namun signifikan
Brenton S. Cerebral secara lisan dan dengan propofol- direkrut untuk secara statistik pada
Alexander, Oxygenationand tertulis, pasien remifentanil. Sebelum mempelajari efek saturasi oksigen jaringan

22
Albert E. Blood Volume: dijadwalkan untuk memulai operasi, pengobatan vasopressor otak dan volume darah
Cerussi, An mengikuti prosedur domain frekuensi pada saturasi oksigen serebral yang disebabkan
Bruce J. Observational non-bedah saraf spektroskopi jaringan otak dan hasil oleh head up tilt dan
Tromberg, Comparison elektif di University inframerah dekat (FD- mengenai perbandingan hiperventilasi sebanding.
Zhaoxia Yu, Study Using of California Irvine NIRS) digunakan untuk cardiac output diukur Tidak ada korelasi antara
Kathleen Frequency- Medical Center mengukur saturasi menggunakan penurunan saturasi
Laning, Zeev domain Near- direkrut untuk oksigen jaringan otak esophageal Doppler dan oksigen jaringan otak dan
N. Kain, infrared penelitian ini. dan volume darah Vigileo FloTrac yang volume darah serebral
Maxime Spectroscopy Kriteria eksklusi: serebral pada posisi sebelumnya telah serta penurunan tekanan
Cannesson usia ≤ 18 tahun, terlentang, pada posisi dipublikasikan darah dan curah jantung
(2012) penyakit head-up dan head down selama posisi head-up tilt
serebrovaskular, 30° serta selama dan head down tilt.
simtomatik penyakit hipoventilasi dan Namun, penurunan
kardiovaskular, hiperventilasi. saturasi oksigen jaringan
hipertensi yang tidak otak dan volume darah
terkontrol (TD serebral berkorelasi
sistolik ≥ 160 dengan penurunan ETCO2
mmHg) dan diabetes selama penyesuaian
mellitus yang tidak ventilasi.

23
terkontrol (glukosa
darah ≥ 200
mgdL−1).
33 pasien (22 laki-
laki, 11 perempuan,
berusia 59 tahun,
tinggi 173 cm dan
berat badan 77 kg)
yang direkrut untuk
penelitian
didapatkan bahwa 3
pasien dikategorikan
sebagai American
Society of
Anesthesiologists
(ASA) status fisik I,
22 pasien
dikategorikan
sebagai ASA II dan

24
dikategorikan
sebagai ASA III.
Para ahli anestesi
yang hadir kemudian
menarik 5 pasien
dari komponen
penelitian tilt
dikarenakan tekanan
darah yang rendah
dan tiga pasien dari
komponen ventilasi,
sehingga hanya 28
pasien dimasukkan
ke dalam database
analisis tilt dan 30
pasien dimasukkan
ke dalam analisis
ventilasi.

25
4. Felix Intracranial Penelitian ini Semua pasien dibius, Penelitian Berdasarkan penelitian
Mahfoud, Pressure Pulse melibatkan 33 orang dipasang ventilasi menggunakan studi yang dilakukan,
Jurgen Beck, Amplitude dewasa yang dirawat mekanik dan prospektif didapatkan hasil bahwa
Andreas During Changes di Neurocritical Unit diperlakukan mengikuti tekanan intrakranial pada
Raabe in Head Perawatan, standar protokol semua pasien meningkat
(2009) Elevation: A Departemen Bedah pengobatan untuk ketika posisi pasien 00.
New Parameter Saraf, Johann mendukung kehidupan Nilai tekanan intrakranial
for Determining Wolfgang trauma lanjutan dan turun secara signifikan
Optimum Universitas Goethe, panduan umum dengan ketika posisi dirubah dari
Cerebral Frankfurt am Main, mempertahankan CPP 00 ke 600. Nilai
Perfusion Jerman. Antara >60 mmHg, Intracranial Pressure
Pressure? Januari 2005 dan mengendalikan Pulse Amplitude (ICPPA)
Januari 2006, 33 hipertensi intrakranial turun dari posisi 0º ke 30º.
pasien dengan (ICP <20 mmHg) dan Nilai ICPPA naik secara
autoregulasi mempertahankan signifikan dari posisi 30º-
serebrovaskular yang euvolemia, euglikemia 60º dan nilainya turun lagi
diawetkan dianalisis. serta normothermia. dari posisi 60º ke 0º.
Ada 18 perempuan Barbiturat tidak ICPPA minimum
(55%) dan 15 laki- digunakan. ditemukan pada pasien

26
laki (45%). Usia Autoregulasi serebral dengan head elevation
responden berkisar diuji menggunakan 30º. Pada posisi head
dari 16 hingga 84 indeks tekanan elevation 60º terjadi
tahun (rata-rata 54 reaktivitas (PRx) yang penurunan signifikan nilai
tahun). Diagnosis merupakan perhitungan CPP dan MAP. Nilai CPP
yang utama adalah koefisien korelasi dan MAP maksimal pada
subarachnoid antara MAP dan posisi 0º atau mengalami
hemorrhage (SAH) tekanan intrakranial. peningkatan dari
dengan 15 Hanya pasien dengan perubahan posisi
responden, 6 autoregulasi utuh yang (penurunan sudut posisi)
responden dengan direfleksikan dengan 60º menuju 0º sehingga
perdarahan nilai negatif PRx. Pada dapat disimpulkan bahwa
intraserebral (ICH), saat pengukuran, semua perubahan posisi 0º
kombinasi SAH dan pasien dalam keadaan sampai 60º menunjukkan
ICH sebanyak 3 kondisi hemodinamik adanya hubungan antara
responden, masing- yang stabil. Tidak ada ICPPA dan CPP, ICP dan
masing 2 responden perubahan dalam terapi CPP serta MAP dan CPP
pada diagnosa obat ataupun
hematoma epidural, manajemen pernafasan

27
cedera kepala, tumor yang dibuat selama 30
otak dan hematoma menit sebelum
subdural serta 1 penelitian atau selama
responden dengan periode penelitian
diagnosa stroke
5. Badwe, AN, Effect of 300 and Populasi berjumlah Semua subjek dipanggil Penelitian merupakan Berdasarkan penelitian
0
Soodan KS, 60 Head Up Tilt 100 orang laki-laki ke laboratorium, 2 jam studi kasus kontrol yang yang telah dilakukan
Kulkarni on yang dipilih antara setelah sarapan (09.00 - dilakukan di didapatkan hasil pada
NB, Latti Cardiovascular usia 20-70 tahun dan 12.00). Subyek departemen Fisiologi di kelompok normotensif
RG (2013) Responses in dikelompokkan diinstruksikan untuk Rural Medical College, SBP, PP dan parameter
Normotensive menjadi dua tidak mengkonsumsi Pravara Institute of MAP menurun, sementara
and kelompok sebagai: minuman berkafein dan Medical Sciences DBP, HR/MIN, RPP
Hypertensive 1. Normotensif menghindari rokok meningkat secara bertahap
Individuals (kelompok sebelum 12 jam tes. pada setiap sudut head-up
kontrol n = 50) Subyek diberitahu tilt. Pada head-up tilt 60°,
2. Hipertensi detail protokol pola peningkatan
(kelompok studi penelitian dan signifikan pada DBP, HR/
n = 50) persetujuan secara MIN dan RPP juga
Kelompok kontrol: tertulis diperoleh diamati, kecuali

28
Subyek dipilih sebelum penelitian. penurunan MAP. Pada
sebagai kontrol dan Sebelum memulai tes, subyek normotensif,
dipilih dari staf karakteristik fluktuasi yang signifikan
pengajar dan siswa antropometri seperti tidak diamati, karena
yang memenuhi tinggi badan, berat selama fase awal head-up
kriteria tidak ada badan, indeks massa tilt, aktivitas otonom yang
tanda-tanda penyakit tubuh, persen lemak, utuh menstabilkan
jantung, vaskular massa lemak dan massa parameter kardiovaskular
atau neurologis; bebas lemak dicatat. selama durasi total head-
tidak ada riwayat Subjek diminta up tilt.
diabetes mellitus, berbaring dengan Pada kelompok hipertensi,
hipertensi; tidak ada nyaman di atas meja SBP, PP dan MAP
riwayat perawatan yang miring selama 20 menunjukkan penurunan
obat; tidak ada menit dalam posisi pada head-up tilt 300 dan
riwayat penyakit terlentang. Hal tersebut 600. Demikian pula DBP,
sistemik; status juga diterapkan pada HR/MIN dan RPP
tekanan darah lutut, pinggang dan menunjukkan peningkatan
normal dengan nilai kepala. Setelah 20 nilainya pada kedua sudut
optimal <120/<80 Menit, parameter head up tilt. Namun,

29
mmHg; variasi kardiovaskular awal perubahan ini terjadi lebih
tekanan darah (SBP, DBP, PP, MAP, signifikan pada sudut yang
sistolik dianggap HR/MIN, RPP) dicatat lebih tinggi dari head up
dalam kisaran 120- pada interval 1, 5 dan tilt 60° pada kedua
139 mmHg; variasi 10 menit dengan kelompok.
tekanan darah menggunakan tekanan
diastolik dianggap darah digital. Setelah
dalam kisaran 80-89 itu, subjek mengalami
mmHg. peningkatan pada
Kelompok studi: kepala secara bertahap
Kelompok studi dengan sudut
termasuk pasien kemiringan 30° dan 60°
hipertensi yang dengan kecepatan
datang ke poliklinik 5°/detik. Selama head-
dengan dasar rawat up tilt, perubahan pasif
jalan; didiagnosis protokol head-up tilt
hipertensi dengan hanya diikuti selama 10
riwayat hipertensi menit. Urutan rekaman:
kurang dari 1 tahun; 1. Basal: 20 menit

30
memiliki darah istirahat di atas meja
sistolik miring di terlentang
tekanan 140-159 posisi
mmHg dan darah 2. Setelah 30 ° HUT
diastolic tekanan 90- 3. Setelah 60 ° HUT
99 mmHg; sedang Parameter pada jantung
dalam perawatan dicatat segera setelah 1,
atau mengkonsumsi 5 dan 10 menit head-up
obat penurun tilt. Antara setiap head-
tekanan darah rutin; up tilt, subjek
subyek yang dimiringkan kembali ke
menderita penyakit posisi horizontal dan
utama seperti kondisi diijinkan untuk
diabetes berat, gagal beristirahat selama 10
jantung kongestif, menit
penyakit arteri
koroner dan aritmia
dikeluarkan dari
penelitian

31
6. Alit Pengaruh Populasi dalam Intervensi dilakukan Penelitian merupakan Berdasarkan hasil
Suwandewi Pemberian penelitian ini satu kali, yaitu penelitian Quasi- penelitian menunjukkan
(2017) Oksigen Melalui sebanyak 30 intervensi pertama Experimental dengan bahwa ada pengaruh
Masker responden yang dilakukan dengan desain penelitian pemberian oksigen
Sederhana dan diambil dengan mengukur GCS terlebih pretest-postest control melalui masker sederhana
Posisi Kepala kriteria pasien dahulu, setelah itu design. dan posisi kepala 30°
300 terhadap cedera kepala sedang diberikan oksigen terhadap perubahan
Perubahan di rawat di RSUD melalui masker biasa tingkat kesadaran dengan
Tingkat Ulin Banjarmasin. dan posisi kepala 30°, nilai p value 0,009 dengan
Kesadaran pada Analisis bivariat kemudian GCS diukur Rata-rata nilai GCS
Pasien Cedera digunakan untuk kembali setelah 24 jam sebelum dilakukan
Kepala Sedang mengetahui intervensi pemberian
di RSUD perbedaan rata-rata oksigen melalui masker
nilai GCS sebelum sederhana dan posisi
dan sesudah kepala 30° yaitu 10
diberikan intervensi dengan standar deviasi
oksigen dengan 1,145 dan rata-rata nilai
masker sederhana GCS sesudah dilakukan
dan posisi kepala 30° intervensi pemberian

32
menggunakan uji oksigen melalui masker
statistik Wilcoxon sederhana dan posisi
Test dengan tingkat kepala 30°, yaitu 11,07
kemaknaan α = 0,05 dengan standar deviasi
2,766.
7. Nuh Huda Efektivitas Populasi pasien Intervensi dilakukan Penelitian ini Hasil penelitian
(2017) Elevasi Kepala Rumah Sakit dengan menggunakan menggunakan metode menunjukkan bahwa
300 dalam Keluarga Mitra di instrumen pengumpulan observasional analitik. MAP rata-rata adalah
Meningkatkan Surabaya Post-op data dalam penelitian Rancangan penelitian 100 mmHg dan rata-rata
Perfusi Serebral trepanasi trauma ini menggunakan pre dan post GCS adalah 12,4.
pada Pasien Post kepala pada bulan lembar observasi. menggunakan desain Berdasarkan t-tes tes
Trepanasi di Desember 2012- Untuk pengukuran kelompok kontrol non dipasangkan dengan
Rumah Sakit Februari 2013. perfusi serebral quivalent (kontrol diri tingkat signifikansi α =
Mitra Surabaya Sampel penelitian diidentifikasi melalui sendiri), peneliti hanya 0,005 diperoleh P =
15 pasien dengan grafik tanda-tanda vital melakukan intervensi 0,000 berarti ada
post-op trauma dan GCS (Glasgow pada satu kelompok peningkatan perfusi
kepala. coma scale). Data tanpa pembanding. serebral secara efektivitas
Pengambilan sampel yang diperoleh yaitu Efektifitas perlakuan dengan elevasi kepala 300.
dilakukan dengan dari observasi pada dinilai dengan cara Berdasarkan hal tersebut,

33
teknik purposive pasien 8 jam setelah membandingkan nilai dapat disimpulkan bahwa
sampling. Variabel post-op dilakukan dan pre test dengan post test pengaturan posisi head up
penelitian ini observasi tanda-tanda 300 pada pasien cidera
adalah head-up vital, status kesadaran kepala memberikan hasil
0
30 dan perfusi atau Glasgow coma yang lebih baik yaitu
serebral (MAP) scale (GCS) setiap 30 mampu meningkatkan
menit, selanjutnya perfusi jaringan serebral,
diberikan sehingga mampu
mempercepat proses
penyembuhan pasien
yang cidera kepala.
Tetapi hal ini perlu
kewaspadaan khusus pada
pasien yang di
tengarahi cidera kepala
dengan fraktur basis cranii
yaitu perlu dilakukan
pengaturan posisi yang
berbeda yaitu lebih

34
dianjurkan pada posisi flat
8. Setiyawan Mean Arterial Jurnal yang Intervensi dilakukan Penelusuran ini Berdasarkan hasil
(2016) Pressure Non diperoleh berjumlah dengan menganalisis dilakukan dengan penelaahan, didapatkan
Invasif Blood 23 jurnal dan yang hasil penelitian terkait metode telaah literatur bahwa lateral position
Pressure (MAP- memenuhi kriteria yang berfokus pada yang didapat melalui berpengaruh terhadap
NIBP) pada berjumlah 18 jurnal. efek posisi lateral pada media elektronik peningkatan MAP yang
Lateral Position Penulis dari jurnal perhitungan MAP NIBP (internet). Kata kunci menunjukkan bahwa
dalam Upaya yang didapat yang digunakan dalam secara tidak langsung
Perawatan memiliki latar penelusuran literatur keadaan curah jantung
Intensif: Studi belakang tenaga adalah blood pressure, meningkat dan
Literature kesehatan dengan mean arterial pressure, hemodinamik menuju ke
spesialisasi dibidang lateral position, lateral arah perbaikan sehingga
keperawatan kritis body position, critical dapat menjadi sebagai
illness. Literatur didapat salah satu pilihan tindakan
dari website keperawatan untuk
EBSCOhost, google meningkatkan MAP pada
scholar dan data base pasien di ruang perawatan
Proquest. Jurnal yang intensif
diambil merupakan

35
original article sehingga
data yang disajikan
lengkap dan
memudahkan dalam
penelahaan penelitian

B. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal

No. Judul Jurnal Kelebihan Kekurangan


1. Head Up in Management Intracranial 1. Abstrak menggambarkan keseluruhan isi 1. Sampel yang digunakan terlau sedikit,
for Head Injury (2015) jurnal sehingga ketika akan diuji coba
2. Terdapat kriteria inklusi dan eksklusi intervensi yang kedua, sudah ada
pada penelitian responden yang di drop out karena tidak
3. Penelitian ini menggunakan metode memenuhi kriteria inklusi
penelitian eksperimen untuk
mendapatkan hasil penelitian yang
objektif
4. Peneiti menjelaskan prosedur penelitian
secara rinci sehingga mengurangi resiko
kesalahpahaman informasi

36
5. Peneliti memaparkan kendala yang
ditemukan selama penlitian
2. Head Up in Management Intracranial 1. Penelitian ini menyediakan wawasan 1. Pada saat penelitian, beberapa pasien
for Head Injury (2017) pengetahuan tentang pengaruh posisi tidak dapat miring ke satu sisi tubuh
head-up 30° pada perubahan tekanan sehingga keterbatasan ini mempengaruhi
intracranial mobilisasi progresif tingkat I untuk
2. Penelitian ini menggunakan metode pasien cedera kepala
penelitian eksperimen untuk 2. Peneliti memiliki batasan dalam
mendapatkan hasil penelitian yang mengelola perawatan farmakologis yang
objektif mungkin akan berdampak pada tekanan
3. Peneliti menjelaskan berapa lama waktu intrakranial
yang digunakan untuk melakukan 3. Peneliti tidak menjelaskan kriteria inklusi
penelitian dan eklusi pada metode penelitian,
4. Peneliti menjelaskan prosedur terapi peneliti mendeskripsikan kriteria pasien
yang diberikan pada sampel yang tidak diambil pada akhir
penelitiannya pembahasan
5. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak
15 responden pada masing-masing
kelompok cukup mewakili karakteristik

37
dari setiap kelompok intervensi
3. Head-up Tilt and Hyperventilation 1. Peneliti memaparkan kriteria inklusi dan 1. Peneliti tidak menjelaskan metode
Produce Similiar Changes in Cerebral eksklusi dalam pengambilan sampel penelitian yang digunakan
Oxygenationand Blood Volume: An 2. Peneliti menjelaskan prosedur 2. Total sampel yang digunakan pada kedua
Observational Comparison Study pelaksanaan penelitian kelompok penelitian berbeda sehingga
Using Frequency-domain Near- 3. Peneliti menggunakan banyak referensi tidak seimbang
infrared Spectroscopy sehingga dapat dijadikan sebagai
(2012) pedoman
4. Intracranial Pressure Pulse Amplitude 1. Peneliti menggunakan studi prospektif 1. Peneliti tidak menjelaskan berapa kali
During Changes in Head Elevation: A dimana kesehatan atau karakteristik lain dan berapa lama intervensi yang
New Parameter for Determining dari responden juga dipantau dilakukan selama penelitian
Optimum Cerebral Perfusion 2. Peneliti menjelaskan karakteristik kasus 2. Tidak ada kelompok kontrol dalam
Pressure? yang diderita oleh setiap responden penelitian
(2009) 3. Sampel yang digunakan sebanyak 33
orang cukup mewakili akurasi hasil
penelitian
4. Peneliti menyajikan grafik-grafik hasil
perhitungan sehingga mudah dipahami
5. Peneliti menjelaskan keterkaitan

38
penelitiannya dengan teori dan penelitian
sebelumnya sehingga pembahasan kaya
akan informasi
5. Effect of 300 and 600 Head Up Tilt on 1. Pengambilan sampel pada penelitian ini 1. Sampel yang digunakan terlalu banyak,
Cardiovascular Responses in jelas, adanya batasan kriteria inklusi dan yaitu 100 orang
Normotensive and Hypertensive eksklusi
Individuals 2. Penelitian menggunakan 2 kelompok
(2013) intervensi sebagai pembanding sehingga
terlihat hasil yang signifikan
3. Peneliti menjelaskan prosedur
pelaksanaan penelitian secara lengakap
dan terperinci
4. Peneliti menjelaskan dengan baik
patofisiologis setiap efek yang
ditimbulkan selama periode penelitian
5. Hasil studi kasus digambarkan dengan
jelas
6. Peneliti melakukan 3 kali intervensi
setiap setelah 1 menit, 5 menit dan 10

39
menit sehingga akurasi hasil penelitian
meyakinkan
6. Pengaruh Pemberian Oksigen Melalui 1. Penelitian ini menggunakan metode 1. Intervensi yang dilakukan hanya satu kali
Masker Sederhana dan Posisi Kepala penelitian eksperimen sehingga dapat yang kemudian diukur kembali setelah
300 terhadap Perubahan Tingkat dijadikan evidence base 24 jam pemberian intervensi
Kesadaran pada Pasien Cedera Kepala 2. Hasil penelitian disimpulkan dengan 2. Peneliti tidak memasukkan riwayat
Sedang di RSUD kalimat yang mudah dipahami penyakit dahulu (misal, hipertensi)
(2017) 3. Peneliti menjelaskan hasil penelitiannya sebagai bahan pertimbangan untuk
menggunakan berbagai sumber referensi pengambilan sampel
yang dapat dijadikan sebagai pedoman
4. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak
30 responden
7. Efektivitas Elevasi Kepala 300 dalam 1. Peneliti menggambarkan dengan jelas 1. Peneliti hanya melakukan intervensi pada
Meningkatkan Perfusi Serebral pada latar belakang sampai hasil penelitian satu kelompok intervensi tanpa
Pasien Post Trepanasi di Rumah Sakit dalam abstrak pembanding
Mitra Surabaya 2. Peneliti menjelaskan dengan baik dari 2. Peneliti tidak membahas hambatan yang
(2017) proses pengambilan sampel sampai terjadi ketika melakukan penelitian
pengolahan data
3. Peneliti menjelaskan keterkaitan

40
penelitiannya dengan penelitian lain
sehingga hasil yang di dapat bisa terlihat
8. Mean Arterial Pressure Non Invasif 1. Penelitian ini juga merupakan penelitian 1. Penelitian kuantitatif sangat sedikit yang
Blood Pressure (MAP-NIBP) pada systematic review yang dapat dapat mendukung penelitian kualitatif
Lateral Position dalam Upaya membandingkan banyak penelitian
Perawatan Intensif: Studi Literature 2. Referensi jurnal terdahulu banyak
(2016) sehingga dapat dijadikan pedoman
3. Jurnal ini merangkum hasil penelitian
secara lengkap dan rinci

41
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Hasil Telaah Evidence Base Berdasarkan Teori dan Hasil

Penelitian

1. Manfaat Posisi Head Up tilt

Penderita cedera kepala sering kali mengalami edema serebri atau

perdarahan intrakranial sehingga menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial (intracranial pressure/ICP) dan terganggunya autoregulasi tekanan

perfusi otak, otak menjadi tidak terlindungi dari perubahan hemodinamika

tubuh serta menurunnya perfusi jaringan serebral (Ware, 2005; Temperano,

2007 dikutip Priasojo, 2017; Deem, 2006 dikutip Wijayanti, 2013). Hal ini

dikarenakan tekanan intrakranial sendiri bersifat dinamik dan fluktuatif yang

secara ritmis mengikuti siklus jantung, respirasi dan perubahan proses fisiologis

tubuh (Affandi dan Panggabean, 2016).

Masalah keperawatan yang lazim muncul pada pasien trauma capitis salah

satunya adalah risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan trauma kepala. Intervensi mandiri untuk mengatasi masalah ini adalah

membatasi gerakan pada kepala, leher dan punggung, mengatur posisi head up

tilt bila tanpa indikasi cidera tulang belakang (vetebrae), memberikan posisi

semi fowler dan kolaborasi untuk mencegah serta mengobati edema

(Soertidewi, 2012; Suryani, 2016).

42
Positioning adalah salah satu bentuk intervensi keperawatan yang sering

diterapkan dalam perawatan pasien, sedangkan posisi head-up tilt adalah bagian

dari mobilisasi progresif level I pada pasien cedera kepala dan merupakan

teknik non-farmakologis untuk mempertahankan stabilitas tekanan intrakranial

(Pertami, et. al., 2017). Secara teoritis, pada posisi terlentang dengan disertai

head up menunjukkan aliran balik darah dari bagian inferior menuju ke atrium

kanan cukup baik karena resistensi pembuluh darah dan tekanan atrium kanan

tidak terlalu tinggi, sehingga volume darah yang masuk (venous return) ke

atrium kanan cukup baik dan tekanan pengisian ventrikel kanan (preload)

meningkat (Setiyawan, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Meng, et. al. (2012) bahwa

pada posisi head up tilt hingga 30°, perubahan saturasi oksigen jaringan otak

dan perubahan dalam volume darah serebral yang terjadi tidak memiliki

korelasi dengan perubahan MAP dan karbon monoksida selama posisi head-up

dan head-down tilts. Namun, perubahan pada kedua saturasi oksigen jaringan

otak dan volume darah serebral berkorelasi baik dengan perubahan ETCO2

selama hiperventilasi.

Mahfoud, et. al. (2009) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa nilai

cerebral perfusion pressure (CPP) dan mean arterial pressure (MAP)

maksimal pada posisi 0º atau mengalami peningkatan dari perubahan posisi

(penurunan sudut posisi) 60º menuju 0º. Hal tersebut menunjukkan bahwa

dengan perubahan posisi dari 0º sampai 60º tidak hanya menurunkan

intracranial pressure (ICP) tetapi juga menurunkan CPP dan MAP.

43
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pertami, et. al., (2017)

mengungkapkan bahwa ada efek signifikan dari posisi head-up 30° pada tingkat

kesadaran. Posisi ini juga efektif untuk homeostasis otak dan mencegah

kerusakan otak sekunder serta mempertahankan perfusi serebral yang adekuat.

Hal ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan posisi

head-up bahwa dalam kisaran 15°-30° dapat menurunkan tekanan perfusi

serebral dan menstabilkan MAP.

2. Kelebihan dan Kekurangan dari Tiga Posisi Head Up Tilt

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Meng, et. al. (2012) pada pasien

bedah yang sehat dengan head up tilt hingga 30° dan hiperventilasi pada

ETCO2 menjadi 25 mmHg (sebelumnya 45 mmHg). Hal ini berarti terjadi

penurunan kecil tetapi signifikan dalam saturasi oksigen jaringan otak dan

volume darah serebral. Sedangkan penurunan pada kedua saturasi oksigen

jaringan otak dan volume darah serebral tidak berbeda secara signifikan antara

kedua kondisi tersebut.

Menurut Mahfoud, et. al. (2009), tekanan intrakranial pada semua pasien

meningkat ketika posisi pasien 00. Nilai tekanan intrakranial kemudian turun

secara signifikan ketika posisi dirubah dari 00 ke 600. Nilai intracranial

pressure pulse amplitude (ICPPA) turun dari posisi 0º ke 30º. Nilai ICPPA naik

secara signifikan dari posisi 30º-60º dan nilainya turun lagi dari posisi 60º ke 0º.

ICPPA minimum ditemukan pada pasien dengan head elevation 30º. Pada

posisi head elevation 60º terjadi penurunan signifikan nilai CPP dan MAP.

44
Temuan dalam penelitian yang dilakukan oleh Pertami, et. al., (2017)

terungkap bahwa ada efek yang signifikan secara statistik pada MAP ketika

posisi head-up 30° dan 15°. Selain itu, terdapat pengaruh yang signifikan pula

secara statistik pada tingkat kesadaran dari posisi head-up 30° dibandingkan

dengan posisi head-up 15°. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya bahwa sebanyak 93,3% pasien pasca-op trepanasi,

kesadarannya menjadi composmentis setelah diberikan 30° posisi head-up

dalam 30 menit.

Bandwe, et. al. (2013) mengatakan bahwa head up tilt 30° dan 60°

menghasilkan peningkatan rate pressure product (RPP) pada kedua kelompok,

tetapi peningkatan ini lebih pada kelompok hipertensi dibandingkan kelompok

normotensif. Head up tilt 60° menghasilkan peningkatan yang lebih signifikan

dalam sepanjang durasi head up tilt. RPP menunjukkan konsumsi oksigen

miocardial dan kerja jantung pada subyek normal serta pasien dengan penyakit

jantung sehingga hal ini juga menunjukkan onset iskemia pada pasien yang

menjalani operasi atau onset nyeri koroner.

Huda (2017) berasumsi bahwa pada posisi head up 300, terjadi

peningkatan perfusi serebral pada pasien post-op trepanasi dengan hasil yang

signifikan pada tingkat kesadaran, perubahan pada TD, pupil dan MAP. Hal ini

dikarenakan tanda-tanda vital yang tetap terjaga konstan memperbaiki aliran

darah sehingga meningkatkan status neurologis karena dengan posisi head up

300, perfusi dari dan ke otak meningkat sehingga kebutuhan oksigen dan

45
metabolisme meningkat yang ditandai dengan peningkatan status kesadaran

diikuti oleh tanda-tanda vital yang lain.

Suwandewi (2017) mengkolaborasikan antara pemberian oksigen melalui

masker sederhana dan posisi kepala 300 terhadap perubahan tingkat kesadaran

pada pasien cedera kepala sedang didapatkan hasil bahwa ada pengaruh

pemberian oksigen melalui masker sederhana dan posisi kepala 30° terhadap

perubahan tingkat kesadaran dengan nilai p value 0,009 dengan rata-rata nilai

GCS sebelum dilakukan intervensi pemberian oksigen melalui masker

sederhana dan posisi kepala 30° yaitu 10 dengan standar deviasi 1,145 dan

rata-rata nilai GCS sesudah dilakukan intervensi pemberian oksigen melalui

masker sederhana dan posisi kepala 30°, yaitu 11,07 dengan standar deviasi

2,766.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riberholt, et. al. (2016)

bahwa terjadi pengurangan ortostatik pada MCA Vmean sebesar 16% dan 13%

pada masing-masing pada pasien dan kelompok kontrol yang sehat selama

posisi head up tilt 60°. Meskipun tidak ada perbedaan dalam perubahan MCA

Vmean untuk pasien dan kontrol yang sehat, perubahan rScO2 dan Mxc selama

head up tilt mungkin terjadi. Sebagai tambahan, pasien dengan cedera otak

berat berbeda dari kontrol yang sehat sehubungan dengan pengurangan postural

dalam tekanan darah dan rScO2. Hal ini didukung oleh temuan gangguan

sensitivitas baroreflex yang digambarkan melalui analisis frekuensi variabilitas

HR. Sedangkan frekuensi denyut jantung pada frekuensi sekitar 0,1 Hz

mewakili regulasi baroreflex dan pengurangan yang ditemukan dalam rentang

46
frekuensi ini pada pasien menunjukkan adanya gangguan dari baroreflex yang

menjelaskan bahwa terjadinya intoleransi ortostatik.

3. Efektifitas Posisi Head Up Tilt

Berdasarkan hasil uraian di atas, penulis menyarankan kepada pihak

rumah sakit dan perawat untuk memberikan posisi head up tilt dengan sudut

kemiringan 300 pada pasien dengan cedera kepala ringan, sedang maupun berat

sesuai dengan hasil evidence base agar tidak menimbulkan komplikasi lanjutan

seperti kematian. Posisi head up tilt 300 bertujuan untuk menjamin pemenuhan

oksigenasi pasien agar terhindar dari hipoksia serta tekanan intrakranial

mungkin akan menjadi stabil dalam rentang normal sehingga posisi ini lebih

efektif dalam menjaga tingkat kesadaran karena mempengaruhi posisi anatomi

tubuh manusia yang kemudian mempengaruhi hemodinamik pasien (Pertami,

et. al., 2017). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Hickey

(1986) dikutip Japardi (2013) bahwa pada pasien cedera kepala, tempat tidur

pasien harus diposisikan sedemikian rupa sehingga kepala penderita berada 30 0

lebih tinggi dari jantung penderita untuk mempermudah drainage aliran darah

balik yang berasal dari intrakranial.

B. Implikasi Keperawatan

Tindakan yang dapat perawat aplikasikan dalam menjaga perfusi jaringan

serebral pada pasien Trauma Capitis salah satunya adalah dengan cara melakukan

47
posisi head up tilt 300. Posisi head up tilt merupakan posisi untuk menaikan kepala

(elevasi) dari tempat tidur sekitar 300 sampai 600 dan posisi tubuh dalam keadaan

sejajar (Bahrudin, 2009). Penderita cedera kepala sering kali mengalami edema

serebri atau perdarahan intrakranial dan menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial (intracranial pressure/ICP) dan terganggunya autoregulasi tekanan

perfusi otak sehingga menjadi berbahaya dan harus segera ditangani (Ware, 2005

dikutip Priasojo, 2017; Wahyudi, 2015). Peningkatan tekanan intrakranial adalah

komplikasi serius karena terjadi pekenanan pada pusat-pusat vital di dalam otak

(herniasi) dan dapat mengakibatkan kematian sel otak (Rosjidi, 2014 dikutip

Alfianto, 2015).

Namun, penulis menganjurkan untuk menggunakan bed minimal 1

crank/putaran (jenis bed yang hanya dapat menaikkan punggung saja) untuk

mengatur sudut kemiringan tempat tidur bagian punggung menjadi 300 pada pasien

cedera kepala. Jika tidak memungkinkan, perawat dapat menggunakan bantal

sebagai gantinya tetapi posisi badan terhadap kepala berada pada satu garis lurus.

Saputro (2016) menjelaskan bahwa posisi tidur yang dianjurkan pada pasien

cedera kepala ketika memakai bantal adalah posisi yang membuat badan dan

kepala tetap netral, tidak fleksi maupun ekstensi. Hal ini dikarenakan ketika pasien

dengan cedera kepala diberikan posisi trendelenburg, pronasi, fleksi yang

berlebihan ataupun angulasi kepala dapat menurunkan aliran balik vena dari

kepala sehingga menghalangi drainase dari otak dan meningkatkan tekanan

intrakranial sebagai akibat adanya penyumbatan vena jugularis atau peningkatan

pada tekanan intrathorakal atau intra abdominal karena peningkatan tekanan

48
melalui sistem vena terbuka (Morton dan Fontanie, 2013 dikutip Windhiarti,

2016).

Selain itu, sebelum mengekstrapolasi temuan ini pada pasien dengan

patologi intrakranial, sejumlah faktor penting juga harus dipertimbangkan karena

meskipun dampak head up tilt dan hiperventilasi pada volume darah serebral

serupa, efek pada tekanan intrakranial dan curah otak tidak dapat secara langsung

dibandingkan. Selain volume darah serebral, cairan serebrospinal adalah

kontributor lain dari volume intrakranial dan tekanan intrakranial. Selain

penurunan yang disebabkan oleh pengurangan volume darah serebral, perpindahan

hidrostatik cairan serebrospinal (dari rongga tengkorak ke ruang subarachnoid

tulang belakang) diinduksi oleh head up tilt mungkin juga dapat membantu

mengurangi tekanan intrakranial (Meng, et. al., (2012).

49
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Head up tilt dapat membantu venous drainage dari serebral ke jantung

meningkat dan diharapkan venous return (aliran balik) ke jantung berjalan lebih

optimal sehingga membatun dalam penurunan tekanan intrakranial dan

meningkatkan perfusi jaringan ke otak.

2. Pada posisi head up tilt 150, terdapat efek yang signifikan pada MAP. Pada

posisi head up tilt 300, terdapat efek pada MAP, tingkat kesadaran, penurunan

kecil dalam saturasi oksigen jaringan otak, volume darah serebral, ICPPA,

tekanan perfusi serebral, RPP serta perubahan pada TD dan pupil. Sedangkan

pada posisi head up tilt 600, terjadi kenaikan ICPPA, namun terdapat

pengurangan ortostatik pada MCA Vmean, TD dan rScO2.

3. Berdasarkan hasil analisis dari 8 literature yang digunakan mengenai posisi

head up tilt, dapat disimpulkan bahwa posisi head up tilt 300 lebih efektif

dibandingkan dengan sudut kemiringan 150 dan 600.

B. Saran

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan untuk mengembangkan ilmu keperawatan yang aplikatif

terhadap penatalaksanaan pasien dengan Trauma Capitis agar masalah-masalah

yang ada dapat teratasi secara optimal dari berbagai aspek serta sabagai upaya

50
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien Trauma Capitis yang

dirawat maupun rawat jalan.

2. Bagi Praktik Keperawatan

Perawat sebagai educator diharapkan dapat memberikan edukasi pada

pasien Trauma Capitis mengenai pentingnya mempertahankan head up,

khususnya perawat medikal bedah dalam memberikan asuhan keperawatan dan

dapat menjalankan perannya sebagai care provider, dalam hal ini perawat

memberikan asuhan keperawatan berupa intervensi non farmakologis.

51
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, G & Panggabean, R. (2016). Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial pada

Stroke. CDK-238. 43(3): 180-184. http://cdkjournal.com/. Diakses pada tanggal 1

Agustus 2018 pukul 09:50 WIB.

Alfianto, A. (2015). Pemberian posisi kepala flat (00) dan elevasi (300) terhadap

tekanan intra kranial pada asuhan keperawatan tn. k dengan stroke non

hemoragik di instalasi gawat darurat (igd) rs. dr. moewardi surakarta [karya

tulis ilmiah. Surakarta: STIKES Kusuma Husada. Tidak dipublikasikan.

Amri, I. (2017). Pengelolaan Tekanan Intra Kranial. Medika Tadulako, Jurnal Ilmiah

Kedokteran. 4(3): 1-17. http://jurnal.untad.ac.id/. Diakses pada tanggal 1 Agustus

2017 pukul 10:00 WIB.

Awaloei, C, et. al. (2016). Gambaran cedera kepala yang menyebabkan kematian di

Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof Dr. R. D. Kandou periode Juni

2015 - Juli 2016. Jurnal e-Clinic. 4(2): 1-5. http://ejournal.unsrat.ac.id/. Diakses

pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 09:45 WIB.

Baehr, M. (2010). Diagnosis neurologi DUUS. Jakarta: ECG.

Badwe, A, et. al. (2013). Effect of 300 and 600 Head Up Tilt on Cardiovascular

Responses in Normotensive and Hypertensive Individuals. International Journal

of Medical Research and Health Science. 3(1):165-170. http://scopemed.org/.

Diakses pada tanggal 3 Agustus 2018 pukul 22:00 WIB.

Bahrudin, M. (2009). Posisi dalam Stabilitas TIK. Diakses pada tanggal 1 Agustus

2018 pukul 09:55 WIB.

52
Battiaca, F. (2008). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem

persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

BINZ (Brain Injury New Zealand). (2016). What is Brain Injury?. http://brain-

injury.nz/. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2018 pukul 19:30 WIB.

Ginsberg, L. Lecture notes: neurologi. Jakarta: Erlangga.

Huda, N. (2011). Efektifitas Elevasi Kepala 300 dalam Meningkatkan Perfusi

Serebral pada Pasien Post Trepanasi di Rumah Sakit Mitra Surabaya. Dinamika

Kesehatan. 12(1) 1137-1144. http://ojs.dinamikakesehatan.stikessarimulia.ac.id/.

Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 21:00 WIB.

Ismiana, D. (2014). Pemberian posisi kepala terhadap perfusi jaringan serebral pada

asuhan keperawatan sdr. b dengan close fraktur impresi regio frontal di ruang

mawar ii rsud dr. moewardi surakarta [karya tulis ilmiah]. Surakarta: STIKES

Kusuma Husada.

Japardi, I. (2013). Pemeriksaan dan Sisi Praktis Merawat Pasien Cedera Kepala.

Jurnal Keperawatan Indonesia. 7(1): 32-35. http://media.neliti.com/. Diakses

pada tanggal 16 Agustus 2016 pukul 07:00 WIB.

Mak, C, et. al. (2013). Review and Recomendations on Management of Refractory

Raised Intracranial Pressure in Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhagie.

Vascular Health and Risk Management. 9(1): 353-359. http://ncbi.nlm.nih.gov/.

Diakses pada tanggal 12 Agustus 2018 pukul 18:45 WIB.

March, K & Hickey, J. (2014). Intracranial hypertension: theory and management of

increased iintracranial pressure. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

53
Mahfoud, F, et. al. (2009). Intracranial Pressure Pulse Amplitude During Changes in

Head Elevetion: A New Parameter for Determining Optimum Cerebral Perfusion

Pressure?. Acta Neurochir. 152(2): 443-450. http://link.springer.com/. Diakses

pada tanggal 13 Agustus 2018 pukul 15:30 WIB.

Mariana, T. (2017). Hubungan antara Karakteristik Demografi dengan Status

Keparahan Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Sepeda Motor di Kabupaten

Sleman Yogyakarta (Analisis Data Sekunder HDSS 2015 dan 2016 [tesis].

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan.

Meng, L, et. al. (2012). Head-up Tilt and Hyperventilation Produce Similiar Changes

in Cerebral Oxygenation and Blood Volume: An Observational Comparison

Study Using Frequency-domain Near-infrared Spectroscopy. NIH Public Access.

59(4): 1-16. http://ncbi.nlm.nih.gov/. Diakses pada tanggal 1 Agustus pukul

10:10 WIB.

Nasir, M. (2012). Asuhan keperawatan pada ny. a dengan cedera kepala sedang di

instalasi gawat darurat rsud sragen [karya ilmiah akhir]. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah. Tidak dipublikasikan.

Nayduch, D. (2009). Nurse to nurse trauma care. United States: The McGraw Hill.

Pearce, C. (2009). Anatomy and Physiology for Nurses. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Pertami, B, et. al. (2017). Effect of Head-up Position on Intracranial Pressure Change

in Patients with Head Injury in Surgical Ward of General Hopital of Dr. R.

Soedarsono Pasuruan. Public Health of Indonesia. 3(3): 89-95. http://stikbar.org/.

Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 10:25 WIB.

54
Pitfied, A, et. al,. (2012). Emergency Management of Increased Intracranial

Pressure. Pediatric Emergency Care. 28(2): 200-204. http://ncbi.nlm.nih.gov/.

Diakses pada tanggal 12 Agustus 2018 pukul 18:50 WIB.

Porter, K. (2010). Principes and practice of trauma nursing: head and neck trauma. Churchill

Livingstone: Elsevier.

Priasojo, A. (2017). Evaluasi perubahan gejala peningkatan intracranial pada pasien

cedera kepala setelah dilakukan posisi Elevasi 150-300 di igd rsud dr.soedirman

kebumen [skripsi]. Gombong: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah.

Tidak dipublikasikan.

Ribertholt, G, et. al. (2016). Impaired Cerebral Autoregulation during Head Up Tilt in

Patients with Severe Brain Injury. Plos One. 1-22. http://ncbi.nlm.nih.gov/.

Diakses pada tanggal 21 Agustus 2018 pukul 06:00 WIB.

Rodriguez-Boto, et. al. (2015). Conceptos Basicos Sobre la Fisiopatologia y la

Monitorizacion de la Presion Intracranial. Neurologia. 30: 16-22.

http://medes.com/. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2018 pukul 19:35 WIB.

Sandoughi, A, et. al. (2008). Measurement and Management of Increased

Intracranial Pressure. The Open Critical Care Journal. 6(Suppl 1:M4): 56-65.

http://benthamopen.com/. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2018 pukul 19:30

WIB.

Saputro, W. (2016). Pemberian bantal leher terhadap penurunan skala nyeri pada

asuhan keperawatan ny. s dengan cedera kepala ringan di ruang kanthil rumah

sakitdaerah karanganyar [karya tulis ilmiah]. Surakarta: STIKES Kusuma

Husada. Tidak dipublikasikan.

55
Setiyawati, N & Kesowo, B. (2017). Pembangunan Aplikasi Pelaporan Kecelakaan

Lalu Lintas Berbasis Web Menggunakan Framework Laravel. Jurnal Sistem

Informasi Indonesia (JSII). 2(1): 1-10. http://publications.aisindo.org/. Diakses

pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 14:10 WIB.

Smeltzer, B. (2008). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & sudarth

volume 3 edisi 8. Jakarta: ECG.

Soertidewi, L. (2012). Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. CDK-

193. 39(5): 327-331. http://kalbemed.com/. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018

pukul 15:00 WIB.

Suarjaya, P, et. al. (2012). Metabolisme Energi pada Cedera Otak Traumatik. JNI.

1(4): 84-90. http://inasnacc.org/. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2018 pukul

17:00 WIB.

Sumarno, et. al. (2016). Glasgow Coma Scale (GCS), Tekanan Darah dan Kadar

Hemoglobin sebagai Prediktor Kematian pada Pasien Cedera Kepala. Jurnal

Ilmiah Kesehatan Keperawatan. 12(3): 132-143.

http://ejournal.stikesgombong.ac.id/. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul

09:30 WIB.

Sunardi & Nelly, Y. (2011). Pengaruh Pemberian Posisi Kepala Flat 00 dan Elevasi

300 terhadap Tekanan Intra Kranial Pasien Stroke Iskemik di RSCM Jakarta.

Jurnal Publikasi dan Komunikasi Karya Ilmiah Bidang Kesehatan. 1-5.

http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018

pukul 09:53 WIB.

56
Supadi. (2012). Pengaruh Elevasi Posisi Kepala pada Klien Stroke Hemoragik

terhadap Tekanan Rata-rata Arterial, Tekanan Darah dan Tekanan Intrakranial di

Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2011. Jurnal Kesmasindo.

5(2): 154-168. http://jos.unsoed.ac.id/. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018

pukul 09:15 WIB.

Suryani, L. (2016). Pemberian posisi semi fowler terhadap stabilitas hemodinamik

asuhan keperawatan tn. e dengan cedera kepala ringan di ruang igd rumah sakit

salatiga [karya tulis ilmiah]. Surakarta: STIKES Kusuma Husada. Tidak

dipublikasikan.

Suwandewi, A. (2017). Pengaruh Pemberian Oksigenasi Melalui Masker Sederhana

dan Posisi Kepala 300 terhadap Perubahan Tingkat Kesadaran pada Pasien

Cedera Kepala Sedang di RSUD. Healthu-Mu Journal. 1(1): 1-5.

http://journalbjm.ac.id/. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 15:44 WIB.

Tarwoto. (2012). Keperawatan medikal bedah gangguan sistem persarafan. Jakarta:

CV. Agung Seto.

Wahyudi, D. (2015). Head Up in Management Intracranial for Head Injury. Jurnal

Kesehatan Komunitas Indonesia. 11(1): 1092-1099. http://lppm.unsil.ac.id/.

Diakses pada tanggal 1 Agustus 2018 pukul 08:55 WIB.

Wijayanti, A. (2013). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat

perkotaan pada pasien cedera kepala di ruang irna a lantai 3 utara rsup

fatmawati jakarta [karya ilmiah akhir ners]. Depok: Universitas Indonesia.

Windhiarti, L. (2016). Gambaran pengetahuan perawat dalam melakukan

manajemen tekanan intrakranial (tik) pada pasien cedera kepala sedang-berat di

57
rumah sakit di kota semarang [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Tidak dipublikasikan.

58

Anda mungkin juga menyukai