Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan
fungsi tubuh, karena di dalam otak terdapat berbagai pusat control seperti
pengendalian fisik, intelektual, emosional, sosial, dan keterampilan.
Walaupun otak berada dalam ruang yang tertutup dan terlindungi oleh tulang-
tulang yang kuat namun dapat juga mengalami kerusakan. Salah satu
penyebab dari kerusakan otak adalah terjadinya trauma atau cedera kepala
yang dapat mengakibatkan kerusakan struktur otak, sehingga fungsinya juga
dapat terganggu (Black & Hawks, dalam Tarwoto, 2012).
Cedera kepala mencakup trauma pada kulit kepala, tengkorak (kranium
dan tulang wajah), atau otak. Keparahan cedera berhubungan dengan tingkat
kerusakan awal otak dan patologi sekunder yang terkait. Cedera kepala ini
menimbulkan resiko yang tidak ringan. Resiko utama pasien yang mengalami
cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial. Peningkatan tekanan intrakranial akan mempengaruhi fungsi
serebral. Manifestasi klinis cedera kepala meliputi gangguan sadaran, konfusi,
abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik, dan perubahan tanda-
tanda vital. Gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang
otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang dan banyak efek
lainnya juga mungkin terjadi pada pasien cedera kepala (Stillwell, 2011).
Tahun 2020 cedera kepala di perkirakan akan menjadi penyebab utama
kematian melampaui penyakit-penyakit lain. Setiap tahunnya jumlah kasus
cedera kepala di Amerika Serikat mencapai 1,7 juta kasus. Dari total pasien
cedera kepala 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
cedera kepala sedang (CKS), dan 10% cedera kepala berat (CKB)
(Wirawan,dkk, 2017) . Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2013, jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758
orang untuk semua umur. Adapun responden yang pernah mengalami cedera
84.774 orang dan tidak cedera 942.984 orang. Prevalensi cedera secara
nasional adalah 8,2% dan prevalensi angka cedera kepala di Sulawesi utara
sebesar 8,3%. Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden
yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), dan pada laki-laki (10,1%),
(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2013). Insiden cedera kepala di RSUP Sanglah pertahun
rat-rata di atas 2000 kasus, dimana sekitar 24% merupakan pasien cedera
kepala yang mengalami perburukan dengan disertai penambahan lesi
intrakranial saat perawatan (Register IRD Sanglah, 2012).
Pengeloaan cedera kepala harus dimulai dari tempat kejadian,
transportasi menuju rumah sakit, di instalasi gawat darurat hingga
dilakukannya terapi definitif. Tujuan utama pengeloaan cedera kepala adalah
mengoptimalkan pemulihan dari cedera kepala primer dan mencegah cedera
kepala sekunder. Cedera primer terjadi bersamaan dengan dampak dari gaya
akselerasi-deselerasi atau gaya rotasi, dan mencakup fraktur, gegar, kontusio,
dan laserasi. Efek cedera pada jaringan otak dapat berupa fokal atau difus.
Cedera sekunder dapat dimulai pada saat trauma terjadi atau pada waktu
setelahnya. Cedera sekunder mencakup respon selular dan respon biokimia
terhadap trauma serta penyakit sistemik yang memperburuk cedera primer
dan menyebabkan kerusakan SSP tambahan. Cedera sekunder meliputi
gangguan akson, hematoma, hipertensi intrakranial, infeksi SSP, hipotensi,
hipertermia,hipoksemia, dan hiperkapnia. Setiap usaha harus dilakukan untuk
mencegah atau mengontrol cedera sekunder, yang meningkatkan morbiditas
dan mortalitas (Stillwell, 2011).
Cedera kepala merupakan salah satu kasus trauma yang memerlukan
perhatian khusus dalam resusitasi cairan. Jumlah cairan dan jenis cairan yang
digunakan dalam proses resusitasi cedera kepala harus diperhatikan secara
cermat, cairan yang digunakan harus mampu mengontrol tekanan intra kranial
(TIK) otak, dapat mengurangi edema otak dan dapat cepat meningkatkan
tekanan darah serta untuk meningkatkan pengiriman oksigen otak (Afiani
Nurma, 2012). Cedera pada hipotalamus dan kelenjar hipofisis akibat tekanan
yang ditransmisikan ke kepala akibat trauma, seiring dengan edema serebral,
sering menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit yang sangat
mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pasien dengan cedera otak. Faktor
hidro-elektrolit dan hemodinamik memiliki efek yang penting pada pasien
dengan cedera kepala dan sangat terpengaruh oleh integritas sawar darah otak
(BBB/ Blood Brain Barier) dan karakteristik tekanan perfusi serebral (CPP/
Cerebral Perfusion Pressure) (Indah, Gaus, dan Rahardjo, 2016).
Pada cedera kepala berat, kejadian sekunder sering dan sangat
mempengaruhi luaran pasien. Pengaruh ini kebanyakan akibat adanya periode
hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg) dan hipotensi. Satu periode hipotensi
(tekanan darah sistolik < 90 mmHg) berhubungan dengan mortalitas dan
morbiditas dua kali lipat bila dibandingkan pasien tanpa hipotensi. Resusitasi
cairan idealnya dimulai pada periode sebelum masuk rumah sakit dan
dilanjutkan di unit gawat darurat serta kamar operasi dengan target
optimalisasi tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/CPP).
Fondasi cedera otak mengharuskan untuk menghindari hipotensi dan
menganjurkan tekanan darah sistol dipertahankan lebih dari 90 mmHg. Pada
pasien dengan cedera kepala, hipotensi merupakan masalah yang paling
mungkin untuk dicegah dan sebaiknya dicegah serta di atasi secara agresif
(Indah, Gaus, dan Rahardjo, 2016).
Ada tiga strategi manajemen CPP berdasarkan perbedaan konsep
patofisiologis. Konsep yang paling sering diterapkan adalah konsep
“Edinburgh” yang menekankan bahwa aliran darah otak (cerebral blood
flow/CBF) akan rendah pada periode pasca cedera sehingga mengganggu
autoregulasi, karena itu sangat perlu menunjang CPP (tekanan arteri
rerata/mean arterial pressure (MAP) – tekanan intrakranial/intracranial
pressure (TIK/ICP)] hingga mencapai 70 mmHg. Konsep “Birmingham”
menganjurkan hipertensi yang disengaja dengan farmakologi. Pendekatan ini
berdasarkan keyakinan bahwa autoregulasi sebenarnya masih intak dan
hipertensi akan menyebabkan vasokonstriksi serebral sehingga menurunkan
CBV (volume darah otak/ cerebral blood volume) dan TIK. Konsep “Lund”
menekankan peranan hiperemia dalam kejadian peningkatan TIK. Pendekatan
tersebut menggunakan anti-hipertensi untuk menurunkan tekanan darah
sambil memelihara CPP lebih dari 50 mmHg. Seiring waktu, “Lund”
melakukan modifikasi terhadap konsep mereka dan menganggap CPP 60–70
mmHg dianggap optimal dan normovolemia merupakan target klinik yang
penting dicapai (Indah, Gaus, dan Rahardjo, 2016).
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid.
Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik
dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik,
maupun hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain : aman,
nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid
yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap
berada dalam ruang intravaskular. Cairan koloid disebut juga sebagai cairan
pengganti plasma atau biasa disebut “plasma expander”. Di dalam cairan
koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
dalam ruang intravaskuler (Salam, Hilal, 2016).
Dari permasalahan tersebut sehingga peneliti tertarik untuk membahas
“Gambaran analisa pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala dalam pemberian cairan intravena pada pasien cedera kepala dengan
resiko kekurangan volume cairan” di Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD)
RSUP Sanglah.

B. Rumusan masalah
Bagaimana analisa pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
cedera kepala dalam pemberian cairan intravena pada pasien cedera kepala
dengan resiko kekurangan volume cairan di Ruang Instalasi Gawat Darurat
(IGD) RSUP Sanglah ?
A. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penulisan Karya Ilmiah Akhir (KIA) Ners ini bertujuan untuk
menganalisis gambaran pemberian cairan intravena pada pasien cedera
kepala dengan resiko kekurangan volume cairan di Ruang Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RSUP Sanglah
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pemberian resusitasi cairan
pada pasien cedera kepala
b. Penulis mampu merumuskan diagnose keperawatan pemberian
resusitasi cairan pada pasien cedera kepala
c. Penulis mampu melakukan implementasi keperawatan pemberian
resusitasi cairan pada pasien cedera kepala
d. Penulis mampu melakukan evaluasi keperawatan pemberian
resusitasi cairan pada pasien cedera kepala
e. Penulis mampu menganalisa hasil pengaruh pemberian resusitasi
cairan pada pasien cedera kepala

B. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Karya ilmiah ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan para
pembaca terutama mengenai gambaran analisa pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien cedera kepala dalam pemberian cairan
intravena pada pasien cedera kepala dengan resiko kekurangan volume
cairan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pelayanan kesehatan
Laporan kasus ini diharapkan dapat menambah informasi dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya dalam
asuhan keperawatan kegawatdaruratan dengan pasien cedera
kepala.
b. Bagi Institusi
Laporan kasus ini diharapkan dapat menambah bacaan ilmiah,
kerangka perbandingan untuk mengembangkan ilmu keperawatan
serta menjadi sumber informasi bagi yang ingin mengadakan
penelitian tentang pasien cedera kepala dalam pemberian
ressusitasi cairan.
c. Bagi klien dan keluarga
Memperoleh pengetahuan mengenai penatalaksanaan pasien
dengan cedera kepala.
BAB II
KONSEP TEORI

A. Konsep Cedera Kepala


1. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan
cedera yang trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak (Morton, 2012
dalam NANDA, 2015).
2. Klasifikasi Cedera Kepala
Menurut NANDA, 2015 cedera kepala dibagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu:
a. Berdasarkan patologi
a) Cedera Kepala Primer
Cedera kepala primer merupakan cedera awal yang dapat
menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel
diarea tersebut, yang menyebabkan kematian sel.
b) Cedera Kepala sekunder
Cedera kepala sekunder merupakan cedera yang terjadi setelah
trauma sehingga dapat menyebabkan kerusakan otak dan TIK
yang tidak terkendali, seperti respon fisiologis cedera otak, edema
serebral, perubahan biokimia, perubahan hemodinamik serebral,
iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau
sistemik.
b. Berdasarkan jenis cedera
a) Cedera kepala terbuka
Cedera kepala terbuka adalah cedera yang menembus tengkorak
dan jaringan otak sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang
tengkorak dan laserasi diameter.
b) Cedera kepala tertutup
Cedera kepala tertutup merupakan cedera gegar otak ringan
dengan cedera serebral yang luas.
c. Berdasarkan Glasgown Coma Scale (GCS)

a) Cedera Kepala Ringan (Minor)


Cedera kepala ringan/ minor (GCS 14-15), dapat terjadi
kehilangan kesadaran, amnesia tetapi kurang dari 30 menit, tidak
terdapat fraktur tengkorak serta tidak terdapat kontusio serebral
dan hemotoma.
b) Cedera kepala sedang
Cedera kepala sedang (GCS 9-13), yang ditandai dengan
kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam , dapat terjadi fraktur tengkorak yang disertai
kontusio serebral, laserasi dan hematoma intrakranial.
c) Cedera kepala berat
Cedera kepala berat (GCS 3-8) ditandai dengan kehilangan
kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, terjadi
kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intrakranial
3. Etiologi
Menurut NANDA 2015, mekanisme cedera kepala meliputi :
a. Cedera Akselerasi, terjadi apabila objek bergerak menghantam kepala
yang tidak bergerak. Contohnya alat pemukul menghantam kepala
atau peluru yang di tembakkan ke kepala.
b. Cedera Deselerasi, terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek
diam seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil
c. Cedera akselerasi-deselerasi, sering terjadi pada kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan pada kasus kekerasan fisik
d. Cedera coup-countre coup erjadi jika kepala terbentur yang dapat
mengakibatkan otak bergerak ke dalam ruang kranial dan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Contohnya seperti dipukul pada bagian
belakang kepala.
e. Cereda rotasional, terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak
berputar dalam rongga tenggorak, yang mengakibatkan peregangan
atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh
darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
4. Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan
adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera
kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat
memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder
terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia,
iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada
epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan
durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang
antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma
adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada
penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan
autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan
cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak.
5. Pathway
Gambar 2.1 Pathway Cedera Kepala
Kecelakaan, jatuh

CEDERA KEPALA

Ekstra kranial Tulang kranial Intrakranial

Terputusnya kontinuitas Terputusnya Jaringan otak rusak


jaringan kulit, otot dan kontinuitas jaringan (kontusio, laserasi)
vaskuler tulang

Perubahan
outoregulasi
Resiko Perdarahan Gangguan Resiko
kekurangan suplai darah infeksi
volume -Hematoma Kejang
cairan
Peningkatan Iskemia
TIK Resiko Penurunan
Hipoksia cedera kesadaran

Peregangan Kompresi
duramen dan batang otak Resiko
Bedrest Akumulasi
pembuluh ketidakefektifan
total cairan
darah perfusi jaringan
serebral
Bersihan
Nyeri jalan napas
Akut tidak
Resiko
kerusakan efektif
integritas kulit Hambatan
mobilitas
fisik
6. Manifestasi klinis
Menurut NANDA (2015) pada pemeriksaan klinis biasanya
memakai pemeriksaan GCS yang dikelompokkan menjadi cedera kepala
ringan, sedang dan berat. Kondisi cedera kepala yang dapat terjadi yaitu:
a. Komosio serebri, yaitu kehilangan fungsi otak sesaat karna pingsan
< 10 menit atau amnesia pasca cedera kepala, namun tidak ada
kerusakan jaringan otak.
b. Kontusio serebri, yaitu kerusakan jaringan otak dan fungsi otak
karna pingsan > 10 menit dan terdapat lesi neurologik yang jelas.
Kontusio serebri lebih sering terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal dibandingkan bagian otak lain.
c. Laserasi serebri, yaitu kerusakan otak luas yang disertai robekan
durameter dan fraktur terbuka pada kranium.
d. Epidural hematom, yaitu hematom antara durameter dan tulang.
Sumber perdarahan berasal dari robeknya arteri meningea media.
Epidural hematom biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran
dengan ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan kanan. Jika
perdarahan > 20 cc atau > 1 cm midline shift> 5 mm akan dilakukan
operasi untuk menghentikan perdarahan. Gambaran CT scan
didapatkan area hiperdens dengan bentuk bikonvek atau letikuler
antara 2 sutura.
e. Subdural Hematom (SDH), yaitu terkumpulnya darah antara
durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut atau kronik. hematom
dibawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan dari bridging
vein, a/v cortical, sinus venous. Gejala-gejalanya antara lain nyeri
kepala, bingung, mengantuk, berpikir lambat, kejang dan udem
pupil. Secara klinis dapat dikenali dengan penurunan kesadaran
disertai dengan adanya laterasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi. Gambaran CT scan didapatkan hiperdens yang
yang berupa bulan sabit (cresent).
f. Subarachnoid Hematom (SAH), yaitu perdarahan fokal di daerah
subarachnoid. Gejala klinis hampir menyerupai kontusio serebri.
Pada pemeriksaan CT scan didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti
arah girus-girus serebri didaerah yang berdekatan dengan hematom.
g. ICH (Intracerebral Hematom), yaitu perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak nyang terjadi akibat robekan pembuluh darah yang ada
pada jaringan otak. Pada pemeriksaan CT scan terdapat lesi
perdarahan antara neuron otak yang relatif normal.
h. Fraktur basis kranii (misulis KE, head TC), yaitu fraktur dari dasar
tengkorak (temporal, oksipital, sphenoid dan etmoid). Terbagi
menjadi 2 yaitu fraktur anterior (melibatkan tulang etmoid dan
sphenoid) dan fraktur posterior (melibatkan tulang temporal,
oksipital dan beberapa bagian tulang sphenoid). Tanda-tanda dari
fraktur basis kranii yaitu:
a) Ekimosis periorbital (racoon’s eyes)
b) Ekimosis mastoid (battle’s sign)
c) Keluar darah berserta cairan serebrospinal dari hidung atau
telinga (rinore atau otore)
d) Kelumpuhan nervus cranial
7. Pemeriksaan penunjang (NANDA, 2015)
a. Pemeriksaan Laboratorium
a) AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi perdarahan sub arachnoid
b) Kimia elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intracranial.
b. Radiologi
a) CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan
otak.
b) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
seperti pergeseran jaringan otal akibat edema, perdarahan,
trauma.
c) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
d) Pemeriksaan MRI
e) BEAR : Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
c) PET : Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
d) AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi perdarahan sub arachnoid
e) Kimia elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intracranial.
8. Penatalaksanaan (Rahayu dan Dewi, 2010)
Secara umum penatalaksanaan terapeutik pada pasien trauma kepala
dengan resiko syok atau resiko kekurangan volume cairan adalah sebagai
berikut:
a. Kaji jumlah kehilangan volume cairan dan mulai lakukan
penggantian cairan sesuai order. Pastikan golongan darah untuk
pemberian terapi transfusi
b. Kaji AGD/Analisa Gas Darah, jika pasien mengalami cardiac
atau respiratory arrest lakukan CPR
c. Berikan terapi oksigen sesuai order. Monitor saturasi oksigen dan
hasil AGD untuk mengetahui adanya hypoxemia dan
mengantisipasi diperlukannya intubasi dan penggunaan ventilasi
mekanik. Atur posisi semi fowler untuk memaksimalkan ekspansi
dada. Jaga pasien tetap tenang dan nyaman untuk meminimalkan
kebutuhan oksigen
d. Monitor vital sign, status neurologis, dan ritme jantung secara
berkesinambungan. Observasi warna kulit dan cek capillary refill
e. Monitor parameter hemodinamik, termasuk CVP, PAWP, dan
cardiac output, setiap 15 menit, untuk mengevaluasi respon
pasien terhadap treatmen yang sudah diberikan
f. Monitot intake dan output.pasang dower cateter dan kaji urin
output setiap jam. Jika perdarahan berasal dari gastrointestinal
maka cek feses, muntahan, dan gastric drainase. Jika output
kuranng dari 30 ml/jam pada pasien dewasa pasang infuse, tetapi
awasi adnya tanda kelebihan cairan seperti peningkatan PAWP.
Lapor dokter jika urin output tidak meningkat
g. Berikan transfuse sesuai lorder, monitor Hb secara serial dan
HCT
h. Berikan Dopamin atau norepineprin I.V., sesuai order untuk
meningkatkan kontraktilitas jantung dan perfusi renal
i. Awasi tanda-tanda adanya koagulopati seperti petekie, perdarahan,
catat segera
j. Berikan support emosional
k. Siapkan pasien untuk dilakukan pembedahan, jika perlu.
9. Komplikasi (NANDA, 2015)
a. Hemorrhagie
b. Infeksi
c. Edema serebral dan herniasi

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cedera Kepala


1. Pengkajian
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah,
pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan,
TB/BB, alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien,
pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea /
takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala,
paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari
hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu baik yang berhubungan dengan sistem
persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit
menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga
sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.
d. Pengkajian persistem
1). Keadaan umum
2). Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen,
sopor, koma
3). TTV
4). Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi,
nafas bunyi ronchi.
5). Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut
nadi bradikardi kemudian takikardi.
6). Sistem Perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
7). Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami
perubahan selera
8). SistemMuskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
9). Sistem Persarafan
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan,
gangguan pengecapan .
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil, kehilangan pengindraan,
kejang, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
a) Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan
penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks
cahaya menurun, perubahan ukuran pupil, bola mta tidak
dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata,
hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah
N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan
tubuh
N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan
b) Skala Koma glasgow (GCS)
Tabel 2.1 Penilaian Kesadaran (GCS)
N KOMPONEN NILAI HASIL
O
1 VERBAL 1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat
dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak
tepat/tidak nyambung
dengan pertanyaan
4 Bicara membingungkan,
jawaban tidak tepat
5 Orientasi baik
2 MOTORIK 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3 Reaksi 1 Tidak berespon
membuka mata 2 Rangsang nyeri
3 Dengan perintah (rangsang
(EYE)
suara/sentuh)
4 Spontan

10) Fungsi motorik


Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang
digunakan secara internasional :
Tabel 2.2 Penilaian Kekuatan Otot
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

e. Prioritas masalah
1) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2) Resiko kekurangan volume cairan
3) Nyeri akut

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan
dengan penurunan ruangan untuk perfusi serebral, sumbatan aliran
darah serebral
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis kontraktur
(terputusnya jaringan tulang)

3. Intervensi Keperawatan
Tabel 2.3 Intervensi keperawatan pada pasien Cedera Kepala
Diagnosa
No Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Resiko Setelah 1. Kaji status - Hasil dari
ketidakefektifan dilakukan asuhan neurologis yang pengkajian dapat
perfusi jaringan keperawatan berhubungan diketahui secara
serebral selama 1x24 dengan tanda- dini adanya tanda-
berhubungan jam, diharapkan tanda tanda peningkatan
dengan klien mempunyai peningkatan TIK sehingga dapat
penurunan perfusi jaringan TIK, terutama menentukn arah
ruangan untuk adekuat dengan CGS. tindakan
perfusi serebral, kriteria hasil: selanjutnya serta
sumbatan aliran a. Tingkat manfaat untuk
darah serebral kesadaran menentukan lokasi,
normal perluasan dan
(composmetis) perkembangan
. keruskan SSP.
b. TTV Normal. 2. Monitor TTV; - Dapat mendeteksi
(TD:120/80 mmHg, TD, denyut secara dini tanda-
suhu: 36,5- nadi, suhu, anda peningkatan
37,50C, Nadi: minimal setiap TIK, misalnya
80-100 x/menit, jam sampai hilangnya
RR: 16-24 x/m) klien stabil. autoregulasidapat
mengikuti
kerusakan
vaskularisasi
selenral lokal.
Napas yang tidak
teratur dapat
menunjukkan lokasi
adanya gangguan
serebral.
3. Tingggikan - Posisi kepala
posisi kepala dengan sudut 15-
dengan sudut 45o dari kaki akan
15-45o tanpa meningkatkan dan
bantal dan memperlancar
posisi netral. aliran balik vena
kepala sehingga
mengurangi
kongesti cerebrum,
dan mencegah
penekanan pada
saraf medula
spinalis yang
menambah TIK.

4. Monitor suhu - Deman


dan atur suhu menandakan adanya
lingkungan gangguan
sesuai indikasi. hipotalamus:
Batasi peningkatan
pemakaian kebutuhan
selimut dan metabolik akan
kompres bila de meningkatkan TIK.
mam.

5. Monitor asupan - Mencegah


dan keluaran kelibahan cairan
setiap delapan yang dapat
jam sekali. menambah edema
serebri sehingga
terjadi peningkatan
TIK.
6. Berikan O2 - Mengurangi
tambahan sesuai hipokremia yang
indikasi. dapat meningkatkan
vasoditoksi cerebri,
volume darah dan
TIK.
7. Berikan obat- - Manitol/gliserol
obatan antiedema merupakan cairan
seperti manito, hipertonis yang
gliserol dan losix berguna untuk
sesuai indikasi menarik cairan dari
intreseluler dan
ekstraseluler. Lasix
untuk
meningkatkan
ekskresi natrium
dan air yang
berguna untuk
mengurangi edema
otak.
2 Resiko Setelah 1. Ukur - Penurunan haluaran
kekurangan dilakukan asuhan haluaran dan BJ urin dan BJ akan
volume cairan keperawatan urin. Catat menyebabkan
berhubungan selama 1x24 ketidakseimban hipovolemia
dengan jam, diharapkan gan input dan
kehilangan klien tidak output
volume cairan mengalami 2. Dorong - Memperbaiki
aktif infeksi dengan masukan cairan kebutuhan cairan
kriteria hasil: peroral sesuai
a. T toleransi
TV dalam 3. Pantau - Pengurangan dalam
batas normal tekanan darah sirkulasi volume
TD 120/80 dan denyut cairan dapat
mmHg, nadi jantung mengurangi tekanan
60- darah, mekanisme
100x/menit, kompensasi awal
suhu 36,5-37,5 takikardi untuk
o
C, RR 16- meningkatkan curah
24x/menit jantung dan tekanan
b. N darah sistemik
adi perifer
teraba kuat - Denyut yang lemah,
c. H mudah hilang dapat
aluaran urin menyebabkan
adekuat 4. Palpasi hipovolemi
denyut perifer
- Merupakan
indikator dari
kekurangan volume
5. Kaji cairan dan sebagai
membran pedoman untuk
mukosa, turgor penatalaksaan
kulit, dan rasa rehidrasi
haus
- Memperbaiki
kebutuhan cairan

6. Berikan
tambahan cairan
parenteral sesuai
indikasi
3 Nyeri akut Setelah 1. Tentukan - Informasi akan
berhubungan dilakukan asuhan riwayat nyeri, memberikan data
dengan agen keperawatan lokasi, dasar untuk
cidera biologis selama 1x24 intensitas, membantu dalam
kontraktur jam, nyeri keluhan dan menentukan
(terputusnya berkurang atau durasi. pilihan/keeferktifan
jaringan tulang) terkendali intervensi.
dengan kriteria 2. Monitor - Perubahan TTV
hasil: TTV. merupakan
a. Pelaporan nyeri indikator nyeri.
terkontrol. - Meningkatkan dan
b. Pasien
3. tenang,
Buat posisi melancarkan aliran
tidak gelisah. kepala lebih balik darah vena
o
Pasien dapat tinggi (15-45 ). dari kepala
cukup istirahat. sehingga dapat
mengurangi edema
dan TIK.
- Latihan napas dapat
4. Ajarkan membantu
latihan teknik pemasukan O2
relaksasi seperti kebih banyak ,
latihan napas terutama untuk
dalam. oksigenasi otot.
- Respon yang tidak
menyenangkan
5. Kurangi menambah
stimulus yang ketegagngan saraf
tidak dan mamase akan
menyenangkan mengalihkan
dari luas dan rengsang terhadap
berikan tindakan nyeri.
yang
menyenangkan
seperti masase.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang baik yang
menggambarkan criteria hasil yang diharapkan. Implementasi berpatokan
pada intervensi keperawtan nantinya kalimat perintah pada intervensi pada
implementasi menjadi berupa kata kerja.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi
menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah
direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan
criteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan dengan
menggunakan SOAP.

C. Konsep Resusitasi Cairan


1. Komposisi dan Distribusi Cairan Tubuh
Komponen terbesar tunggal dari tubuh adalah air. Air merupakan
perlarut bagi semua yang terlarut. Air tubuh total atau total body water
(TBW) adalah persentase dari berat air dibagi dengan berat badan total,
yang bervariasi berdasarkan kelamin, umur, dan kandungan lemak yang
ada di dalam tubuh. Air membuat sampai sekitar 60 persen pada laki laki
dewasa. Sedangkan untuk wanita dewasa terkandung 50 persen dari total
berat badan. Pada neonatus dan anak-anak, presentase ini relatif lebih
besar dibandingkan orang dewasa (Stoelthing, dkk., 2015 dalam Suta,
2017).
Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama
yang dipisahkan oleh membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan
ekstraseluler. Cairan ekstraseluler dibagi menjadi intravaskular dan
kompartemen interstitial. Cairan antarsel khusus disebut cairan
transeluler, seperti cairan serebrospinal, cairan persendian, cairan
peritoneum, dan lain-lainnya. Cairan tersebut termasuk ke dalam jenis
khusus cairan ekstraseluler. Dalam beberapa kasus, komposisinya dapat
berbeda dari plasma atau cairan interstitial (Stoelthing, dkk., 2015 dalam
Suta, 2017).

Gambar 2.2 Kompartemen Cairan Tubuh


Manusia
b. Cairan intraselular
Cairan intraseluler merupakan cairan yang terkandung di dalam
sel. Cairan intraseluler berjumlah sekitar 40% dari berat badan. Pada
cairan intraseluler memiliki ion kalium dan fosfat dalam jumlah besar,
ion magnesium dan sulfat dalam jumlah sedang, ion klorida dan
natrium dalam jumlah kecil, dan hampir tidak ada ion kalsium. Sel
juga memiliki protein dalam jumlah besar, hampir lebih dari empat
kali lipat di dalam plasma (Stoelthing, dkk., 2015 dalam Suta, 2017).
c. Cairan ekstraselular
Jumlah relatif cairan ekstraselular menurun seiring dengan
bertambahnya usia, yaitu sampai sekitar sepertiga dari volume total
pada dewasa. Cairan ekstraselular terbagi menjadi cairan interstitial
dan cairan intravaskular. Cairan interstitial adalah cairan yang
mengelilingi sel dan termasuk cairan yang terkandung diantara rongga
tubuh seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial,
intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Sementara, cairan
intravaskular merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh
darah, dalam hal ini plasma darah (Stoelthing, dkk., 2015 dalam Suta,
2017).
Pada orang dewasa normal, rata-rata asupan air setiap harinya
adalah 2500 ml, yang termasuk kira-kira 300 ml sebagai produk
sampingan dari metabolisme substrat energi. Rata-rata kehilangan
cairan per hari adalah 2500 ml dimana 1500 ml di urin, 400 ml
dievaporasi saluran pernafasan, 400 ml di evaporasi kulit, 100 ml di
keringat, dan 100 ml di feses. Penguapan sangat diperlukan untuk
pengaturan suhu karena mekanisme ini secara normal menyumbang
20-25% kehilangan panas. Perubahan pada komponen cairan dan
volume sel akan memicu kerusakan fungsi yang serius, khususnya
pada otak (Stoelthing, dkk., 2015 dalam Suta, 2017).
1. Pengertian terapi cairan
Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan
keberhasilan penanganan pasien kritis. Dalam langkah-langkah resusitasi,
langkah D (“drug and fluid treatment”) dalam bantuan hidup lanjut,
merupakan langkah penting yang dilakukan secara simultan dengan
langkah-langkah lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan langkah
“life saving” pada pasien yang menderita kehilangan cairan yang banyak
seperti dehidrasi karena muntah mencret dan syok (Butterworth JF,
Mackey DC, Wasnick JD, 2013 dalam Suta, 2017).
2. Jenis dan indikasi cairan
Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Cairan Kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium,
klorida). Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena
itu tidak terbatas dalam ruang intravascular dengan waktu paruh
kristaloid di intravascular adalah 20-30 menit. Beberapa peneliti
merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter
kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak
menimbulkan reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan
primer yang digunakan untuk terapi intravena prehospital.
Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit yang
dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari plasma
tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid, diantaranya (Butterworth JF,
Mackey DC, Wasnick JD, 2013 dalam Suta, 2017):

a) Isotonis
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia
memiliki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik”
(iso, sama; tonik, konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid
isotonis, tidak terjadi perpindahan yang signifikan antara cairan
di dalam intravascular dan sel. Dengan demikian, hampir tidak
ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid
adalah murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas
reaksi, dapat segera dipakai untuk mengatasi defisit volume
sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat digunakan
sebagai fluid challenge test. Efek samping yang perlu
diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru
pada jumlah pemberian yang besar. Contoh larutan kristaloid
isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan
Dextrose 5% in ¼ NS.
b) Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih
terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi,
tonik, konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik
menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke
ruang intravascular. Efek larutan garam hipertonik lain adalah
meningkatkan curah jantung bukan hanya karena perbaikan
preload, tetapi peningkatan curah jantung tersebut mungkin
sekunder karena efek inotropik positif pada miokard dan
penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler
viseral. Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke
organ-organ vital. Efek samping dari pemberian larutan garam
hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh
larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½ Normal
Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline
5%, dan Dextrose 5% dalam RL.
c) Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari
plasma dan kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik”
(hipo, rendah; tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis
diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari intravascular
ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam
air, ½ Normal Saline.
b. Cairan Koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan
ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid
digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan
berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan
transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan
kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan
koloid merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik yang
dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander yang
merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk
menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka
baker, operasi, Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya
yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang)
dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match. Berdasarkan
jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari (Butterworth JF,
Mackey DC, Wasnick JD, 2013 dalam Suta, 2017):
a) Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin
manusia (5% dan 25%). Dibuat dengan cara memanaskan
plasma 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis
dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung
albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin. Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s
factor fragments) terdapat dalam fraksi protein plasma dan
sering menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
b) Koloid Sintetik
- Dextran
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan
jumlah yang besar. Dextrans diproduksi untuk mengganti
cairan karena peningkatan berat molekulnya, sehingga
memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam ruang
intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan karena efek
samping terkait yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat
pengendapan di dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi
platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-matching
darah. Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex)
dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex)
dengan berat molekul 60.000-70.000.
- Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)
Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan
dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya,
yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam
waktu 8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan
adanya reaksi anafilaktoid. Low molecular weight
Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch,
mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali
volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam.
Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang
besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai koloid untuk
resusitasi cairan jumlah besar.
- Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari
gelatin, biasanya berasal dari collagen bovine serta dapat
memberikan reaksi. Larutan gelatin adalah urea atau
modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat
molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan
dengan koloid lain. Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l.
Efek ekspansi plasma segera dari gelatin adalah 80-100%
dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi
normovolemik. Efek ekspansi plasma akan bertahan 1-2 jam.
Tidak ada batasan dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin
dapat memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering daripada
larutan HES. Meskipun produk mentahnya bersumer dari
sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko penyebaran infeksi.
Kebanyakan gelatin dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada
akumulasi jaringan.

Tabel 2.4 Perbandingan Kristaloid dan Koloid


(Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013 dalam Suta, 2017)

Tabel 2.5 Komposisi beberapa cairan


(Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013 dalam Suta, 2017)

3. Penggunaan cairan infus


Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi
empat kelompok, yaitu:
a. Cairan Pemeliharaan
Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu
pada penyediaan IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan rute enteral, namun
sebaliknya baik dalam hal keseimbangan cairan dan elektrolit dan
penanganan (yaitu mereka yang pada dasarnya euvolemik tanpa
signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal yang sedang
berlangsung atau masalah redistribusi internal yang kompleks).
Tujuan saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk
menyediakan cukup cairan dan elektrolit untuk memenuhi insensible
losses (500-1000 ml), mempertahankan status normal tubuh
kompartemen cairan dan memungkinkan ekskresi ginjal dari produk-
produk limbah (500-1500 ml.). Jenis cairan rumatan yang dapat
digunakan adalah : NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, ringer
laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang tinggi
kandungan NaCl dari saluran cerna ataupun ginjal, glukosa 5% atau
glukosa salin (Floss K, Borthwick M, Clark C, 2011 dalam Suta,
2017).
Jumlah kehilangan air tubuh berbeda sesuai dengan umur, yaitu
(Floss K, Borthwick M, Clark C, 2011 dalam Suta, 2017):
Dewasa 1,5-2 ml/kg/jam
Anak-anak 2-4 ml/kg/jam
Bayi 4-6 ml/kg/jam
Neonatus 3 ml/kg/jam
Kebutuhan cairan rumatan adalah 25-30 ml/kg/hari.
Kebutuhan K, Na dan Cl kurang lebih 1mmol/kg/hari. Kebutuhan
glukosa 50-100 g/hari. Setelah cairan pemeliharaan intravena
diberikan, monitor dan lakukan penilaian ulang pada pasien.
Hentikan cairan intravena jika tidak ada indikasi yang tepat. Cairan
nasogastrium atau makanan enteral lebih dipilih untuk kebutuhan
pemeliharaan lebih dari 3 hari (Agro FE, Fries D, Vennari M, 2013
dalam Suta, 2017).
b. Cairan Pengganti
Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki
kebutuhan spesifik untuk menutupi penggantian dari deficit cairan
atau kehilangan cairan atau elektrolit serta permasalahan redistribusi
cairan internal yang sedang berlangsung, sehingga harus dihitung
untuk pemilihan cairan intravena yang optimal.
Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan
laboratorium. Cari defisit, kehilangan yang sedang berlangsung,
distribusi yang tidak normal atau permasalahan kompleks lainnya.
Periksa kehilangan yang sedang berlangsung dan perkirakan
jumlahnya dengan mengecek untuk muntah dan kehilangan NG tube,
diare, kehilangan darah yang berlangsung. Periksa redistribusi dan
masalah kompleks lainnya dengan memeriksa pembengkakan, sepsis
berat, dan lainnya. Berikan tambahan cairan dari kebutuhan
pemeliharaan rutin, mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit
yang lain. Monitor dan periksa ulang pasien setelah meresepkan
(Agro FE, Fries D, Vennari M, 2013 dalam Suta, 2017).

c. Cairan untuk Tujuan Khusus


Hal yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan
khusus, misalnya natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk
tujuan koreksi khusus terhadap gangguan keseimbangan elektrolit
(Agro FE, Fries D, Vennari M, 2013 dalam Suta, 2017).
d. Cairan Nutrisi
Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral
pada pasien yang tidaak mau makan, tidak boleh makan dan tidak
bisa makan peroral. Jenis cairan nutrisi parenteral pada saat ini sudah
dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral parsial atau total
maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat pemberian
nutrisi parenteral yaitu berupa:
a) Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus,
atresia intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.
b) Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada
pankreatitis berat, status preoperatif dengan malnutrisi berat,
angina intestinal, stenosis arteri mesenterika, diare berulang.
c) Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan,
pseudo-obstruksi dan skleroderma.
d) Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada
gangguan makan, muntah terus menerus, gangguan
hemodinamik, hiperemesis gravidarum (Braga M, dkk., 2010
dalam Suta, 2017).
4. Jalur pemberian terapi cairan
Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan
dilakukan melalui jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral
melalui kanulasi tertutup atau terbuka dengan seksi vena. Syarat dari
pemilihan kanulasi vena perifer adalah vena di daerah ekstremitas atasm
berikutnya dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Hindari
vena di daerah kepala karena sangat tidak fiksasinya, sehingga mudah
terjadu hematom. Pada bayi baru lahir, vena umbilikalis bisa
digunakan untuk kanulasi terutama dalam keadaan darurat. Tujuan
dilakukannya kanulasi vena perifer ini adalah untuk (Gaol H. L, Tanto,
C., dan Pryambodho, 2014) :
a. Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari
tiga hari, harus pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.
b. Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti
kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut.
c. Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau
berulang
Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang, misalnya untuk
nutrisi parenteral total, kanulasi dikalukan melalui vena subklavikula
atau vena jugularis interna. Sedangkan untuk jangka pendek, dilakukan
melalui vena-vena di atas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka
dengan vena seksi. Tujuan dari kanulasi vena sentral ini tersendiri yaitu :
(Gaol H. L, Tanto, C., dan Pryambodho, 2014) :
a. Terapi cairan dan nutrisi pareterla jangka panjang. Terutama untuk
cairan nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk
mencegah iritasi pada vena.
b. Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya cardio
vascular, vena perifer sulit diidentifikasi
c. Untuk pemasanganan alat pemacu jantung

BAB III
ANALISA KEGIATAN / KASUS

A. Profil Lahan Praktek


1. Sejarah Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
RSUP Sanglah mulai dibangun pada tahun 1956 dan diresmikan
pada tanggal 30 Desember 1959 oleh Presiden Ir. Soekarno sebagai RS
kelas C dengan kapasitas 150 tempat tidur. Pada tahun 1962, RSUP
Sanglah memulai membangun kerjasama dengan FK Unud sebagai RS
Pendidikan bagi calon dokter. Selanjutnya pada tahun 1978, status RSUP
Sanglah berubah menjadi rumah sakit pendidikan tipe B serta sebagai
Rumah Sakit Rujukan untuk Bali, NTB, NTT, Timor Timur (SK Menkes
RI No.134/1978).
Dalam perkembangannya, RSUP Sanglah mengalami beberapa kali
perubahan status. Dimulai pada tahun 1993 dimana status rumah sakit
menjadi rumah sakit swadana (SK Menkes No.
1133/Menkes/SK/VI/1994). Kemudian tahun 1997 menjadi Rumah Sakit
PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Pada tahun 2000 berubah status
menjadi Perjan (Perusahaan Jawatan) sesuai peraturan pemerintah tahun
2000. Terakhir pada tahun 2005 berubah menjadi PPK BLU (Kepmenkes
RI NO.1243 tahun 2005 tgl 11 Agustus 2005) dan ditetapkan sebagai RS
Pendidikan Tipe A sesuai Permenkes 1636 tahun 2005 tertanggal 12
Desember 2005.
Seperti halnya organisasi lain, RSUP Sanglah Denpasar juga
memiliki visi sebagai arah yang akan dituju, menjadi Rumah Sakit
Unggulan dalam bidang Pelayanan, Pendidikan dan Penelitian tingkat
Nasional dan Internasional. Dalam mewujudkan visi tersebut RSUP
Sanglah dalam memberikan pelayanan selalu berusaha dengan segala
upaya agar pelayanannya prima sehingga dapat memuaskan masyarakat
yang membutuhkan pelayanan. Apalagi RSUP Sanglah adalah merupakan
rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Bali, NTB dan NTT.
Disamping itu RSUP Sanglah juga selalu mengedepankan
pemberdayaan sumber daya yang dimilikinya untuk bisa menghasilkan
unggulan di bidang pendidikan dan penelitian kedokteran, kesehatan dan
keperawatan.

2. Gambaran Ruang Intalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah


Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah merupakan salah satu
tempat pendidikan bagi dokter muda, dokter residen, mahasiswa
keperawatan maupuntenaga kesehatan lainnya. Ruang IGD RSUP Sanglah
terdiri dari triage umum (fast track), triage bedah, triage medic, triage
anak, triage gynecologi, dan THT. IGD RSUP Sanglah juga memiliki
ruang resusitasi dengan kapasitas empat bed. Adapun alur masuk IGD
RSUP Sanglah yaitu pasien yang baru masuk akan dipilah mennggunakan
system triage lima level di triage umum (fast track). Apabila pasien berada
dalam level 4 dan 5 maka pasien masih bisa ditangai di ruang triage umum
(fast track). Jika pasien berada dalam level 2 dan 3 maka pasien akan
dibawa ke triage yang sesuai dengan indikasi penyakitnya. Apabila pasien
berada pada level 1 maka pasien akan segera dibawa ke ruang resusitasi .
IGD RSUP Sanglah memiliki 42 orang perawat, 17 orang Cleaning
Service, 12 orang Billing. Pada bulan Februari 2020 total kunjungan
pasien ke IGD RSUP Sanglah mencapai 3269 kunjungan. Dari 3269
kunjungan kasus, 113 diantaranya merupakan kasus cedera kepala.

B. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan tanggal 28 Februari pukul 04.00 WITA
terhadap pasien Tn. MA usia 25 tahun datang diantar petugas kesehatan
ambulans BPBD. Menurut petugas ambulans, pasien ditemukan warga sekitar
tergeletak dijalan setelah mengalami kecelakaan lalu lintas akibat mabuk
dalam mengendarai sepeda motor. Berikut hasil pengkajian primary survey :

a. Airway
1) Jalan nafas paten tidak terdapat obstruksi maupun sekret
b. Breathing
1) Irama nafas teratur
2) Menggunakan otot bantu pernafasan
3) Nafas cepat dan dangkal
4) RR 32x/menit
5) Saturasi oksigen 92%
c. Circulation
1) Akral dingin
2) Tekanan darah 90/60 mmHg
3) Nadi teraba 72x/menit
4) Suhu 360C
5) CRT > 2 detik
d. Disability
1). Kesadaran pasien stupor (berespon saat diberikan
rangsangan nyeri)
2). GCS 8 dengan E2 M4 V2
e. Exposure
1) Terdapat luka terbuka pada pelipis kanan
2) Terdapat darah yang keluar dari telinga

C. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan observasi yang dilakukan pada Tn. MA dengan diagnosa medis
Cedera Kepala Berat, maka didapatkan diagnosa keperawatan utama yaitu
resiko kekurangan volume cairan.berhubungan dengan kehilangan volume
cairan aktif ditandai dengan akral teraba dingin, tekanan darah 90/60 mmHg,
nadi teraba 72x/menit, suhu 360C, CRT > 3 detik, kesadaran stupor, GCS 8
E2M4V2, saturasi oksigen 92%, terdapat luka terbuka pada pelipis kanan dan
terdpaat darah yang keluar dari telinga.

D. Intervensi Keperawatan
Tabel 3.1 Intervensi keperawatan pada pasien Tn. MA dengan resiko
kekurangan volume cairan
DIAGNOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI
KEPERAWATAN (NOC) (NIC)
Resiko kekurangan Setelah dilakukan 1. Ukur
volume asuhan keperawatan haluaran dan BJ urin.
cairan.berhubungan diharapkan klien tidak Catat
dengan kehilangan mengalami infeksi ketidakseimbangan
volume cairan aktif dengan kriteria hasil: input dan output
ditandai dengan akral a. TTV 2. Observasi
teraba dingi, tekanan dalam batas normal tekanan darah dan
darah 90/60 mmHg, nadi TD 120/80 mmHg, denyut nadi
teraba 72x/menit, suhu nadi 60-100x/menit, 3. Palpasi
o
360C, CRT > 3 detik, suhu 36,5-37,5 C, denyut perifer
kesadaran stupor, GCS 8 RR 16-24x/menit 4. Kaji
E2M4V2, terdapat luka b. Nadi membran mukosa,
terbuka pada pelipis perifer teraba kuat turgor kulit, dan rasa
kanan dan terdpaat darah c. Halu haus
yang keluar dari telinga aran urin adekuat 5. Berikan
tambahan cairan
parenteral sesuai
indikasi

E. Implementasi keperawatan
Dalam asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami cedera
kepala berat di ruang Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah, sudah diberikan
tindakan keperawatan sesuai dengan intervensi yang ditulis. Pada Tn. MA
untuk mengurangi resiko kekurangan volume cairan maka pasien diberikan
resusitasi cairan berupa Nacl 0,9% 500 cc 30 tpm, saat dilakukan resusitasi
cairan vital sign pasien diobservasi setiap 15 menit dan dilakukan
pemeriksaan darah lengkap, jika tekanan darah belum meningkat maka
dilakukan kembali resusitasi cairan Nacl 0,9% 500 cc 30 tpm. Jika tekanan
darah pasien sudah meningkat dan stabil maka cairan Nacl 0,9% diatur dalam
tetesan 20 tpm karena pada prinsipnya cairan Nacl 0,9% merupakan cairan
kristaloid yang mudah didapatkan untuk kebutuhan emergency dan untuk
meresusitasi cairan pada kasus pasien perdarahan yang memiliki resiko
kekurangan volume cairan maka cairan Nacl 0,9% dapat diberika 2 – 3x
jumlah perdarahan.
F. Evaluasi Keperawatan
Setelah diberikan implementasi keperawatan pada Tn.MA dengan cedera
kepala berat maka dilakukan evaluasi keperawatan dengan menggunakan
metode SOAP (Subyektif, Obyektif, Assessment, Planning). Pada Tn. MA
dengan diagnosa keperawatan resiko kekurangan volume cairan didapatkan
hasil :
Subyektif : -
Obyektif : tekanan darah 110/70 mmhg, nadi 78 kali permenit, respirasi 25
kali permenit, suhu tubuh 36,5 derajat celsius, saturasi oksigen 99%, CRT <
2detik, akral teraba hangat
Assesment : resiko kekurangan volume cairan teratasi sebagain
Planning : observasi vital sign pasien secara berkala, kaji intake dan output
cairan pasien

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini, peneliti akan melakukan analisa pada kasus diatas, adapun
implementasi unggulan yang dilakukan dalam karya ilmiah ini yaitu pembeian
resusitasi cairan pada pasien cedera kepala. Resusitasi cairan harus dilakukan
sesegera mungkin karena tujuan utama resusitasi cairan adalah mencegah
terjadinya hipotensi, menjaga Cerebral Perfusion Pressure (CPP) dalam rentang
normal, Mean Arterial Pressure (MAP) dalam rentang normal, dan Intra cranial
Pressure (ICP) terkontrol. Keterlambatan melakukan resusitasi cairan akan
memperburuk prognosis pasien, hal ini sejalan dengan studi prospektif disebutkan
bahwa dari 717 pasien cedera kepala dengan tekanan darah sistolik <90mmHg
terkait dengan mortalitas pasien sebesar 150% (Levet, dkk., 2006 dalam Afiani,
Nurma, 2015).
Implementasi yang dilakukan pada Tn. MA dimana diberikan cairan Nacl
0,9% untuk menurunkan tekanan intra cranial (TIK) serta meningkatkan tekanan
darah pasien yang dari awalnya 90/60 mmHg menjadi 110/70 mmHg. Hal ini
sejalan dengan penelitian Rahardjo, dkk (2016) mengatakan bahwa pada pasien
cedera kepala selama tiga jam pertama, sel-sel akan kehilangan ion-ion inorganik
seperti Na+, K+, dan Cl– dalam darah. Jalur pertama diaktivasi edema otak
memerlukan energi karena Na+ dikeluarkan dengan pompa Na+-K+ ATPase,
yang mewakili pertahanan utama terhadap edema serebral. Sehingga darah
memerlukan natrium dan kalium yang lebih banyak untuk mengatur volume
cairan, mengatur tekanan darah, mengatur keseimbangan cairan dan mengatur
osmolaritas. Cairan yang banyak mengandung kalium dan natrium untuk
resusitasi cairan segera yaitu cairan kristaloid Nacl 0,9%.
Pemberian resusitasi cairan dengan Nacl 0,9% pada Tn.MA diberikan
sebanyak 1000 cc dalam 30 tetesan per menit dan diberikan 500 cc berikutnya
dengan 20 tetesan permenit. Hal ini sejalan dengan Mulyono, 2006 dalam Suta,
2017 mengatakan bahwa kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan
keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak
(2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh
intravaskuler 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstital
berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam
sebagai urine.
Target lain dalam melakukan resusitasi cairan yaitu meningkatkan
pasokan oksigen agar dapat memenuhi kebutuhan konsumsi oksigen. Pada Tn.
MA saat diberikan resusitasi cairan terjadi peningkatan saturasi oksigen dari
awalnya 92% menjadi 99%. Hal ini sejalan dengan penelitian Hadirsman (2013)
yang mengatakan bahwa terjadinya perdarahan mengakibatkan tidak adekuatnya
transport oksigen ke jaringan atau perfusi sehingga terjadi gangguan
hemodinamik. Cairan kristaloid seperti Nacl 0,9% atau Ringer Laktat merupakan
cairan yang baik untuk memperbaiki gangguan hemodinamik karena cairan
kristaloid lebih cepat dapat berpindah dari intravascular ke ruang intersisial
sehingga oksigen dalam darah dapat terpenuhi untuk suatu jaringan tubuh.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pada asuhan keperawatan yang dilakukan pada Tn.MA, maka
didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pasien Tn.MA dengan penurunan kesadaran, tingkat
kesadaran stupor, akral teraba dingin, tekanan darah 90/60 mmHg, nadi
teraba 72x/menit, suhu 360C, CRT > 3 detik, kesadaran stupor, GCS 8
E2M4V2, saturasi oksigen 92%, terdapat luka terbuka pada pelipis kanan
dan terdapat darah yang keluar dari telinga.
2. Berdasarkan pengkajian yang dilakukan didapatkan
diagnose keperawatan resiko kekurangan volume cairan.
3. Intervensi yang diberikan disesuaikan dengan
panduan NANDA NIC-NOC.
4. Implementasi yang diberikan yaitu resusitasi cairan
untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK), meningkatkan tekanan
darah, mengatur keseimbangan volume cairan, dan meningkatkan
oksigen dalam darah
5. Evaluasi yang didapatkan adalah pasien mengalami
peningkatan tekanan darah, peningkatan saturasi oksigen, dan
kekurangan volume cairan dapat teratasi
6. Berdasarkan analisa pemberian resusitasi cairan
pada pasien cedera kepala dapat disimpulkan bahwa resusitasi cairan
mampu mengurangi resiko kekurangan volume cairan

B. Saran
1. Instalasi Rumah Sakit
Berkaitan dengan pengelolaan pasien dengan cedera kepala diharapkan
pihak rumah sakit mampu menerapkan resusitasi cairan dengan
memperhatikan kebutuhan cairan dan jumlah perdarahan untuk
mengurangi resiko kekurangan volume cairan.
2. Institusi pendidikan
Sebagai bahan masukan dalam proses belajar mengajar dan penulisan
tentang analisis kasus resusitasi cairan pada pasien cedera kepala dalam
mengurangi resiko kekurangan volume cairan.
3. Pasien dan keluarga
Dapat meningkatkan pengetahuan dan informasi mengenai kasus
kegawatdaruratan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai