Anda di halaman 1dari 11

TRAUMA KAPITIS

Dosen Pengampu :

Ns.Friska Ernita Sitorus, M.kep

Disusun Oleh :

Kelompok IV

1. Ratih Ayu Pertiwi


2. Ratih Nurul
3. Rebekha Noveria
4. Reni
5. Retno Widya Astuti
6. Reva Maya Sari
7. Rina Mariati
8. Rona Wati
9. Rukia Marjanah
10. Salmia
11. Salmiah
12. Semsi Karo Sekali
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
INSTITUT KESEHATAN DELI HUSADA
DELI TUA
2021

KATA PENGANTAR
Segala puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas beribu nikmat ataupun
karunia-Nya yang telah diberikan, sehingga terselesaikan tepat waktu,Makalah yang berjudul
“ TRAUMA KAPITIS"
Adapun maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mempelajari tentang
penatalaksanaan henti nafas dan henti jantung,serta penyebab.
Proposal penelitian ini mungkin tidak akan selesai tanpa bantuan dari pihak-pihak tertentu.
Maka, kelompok mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah, diantaranya
sebagai berikut :
Ibu Ns.Friska Ernita Sitorus,M.kep selaku dosen pengampu mata kuliah keperawatan
Gawat Darurat
Bapak Ns.Hizkianta Sembiring,M.Kep selaku Wali Tingkat yang telah memberikan
dukungan pengarahan selama masa perkuliahan
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan
memberikan dukungan

Delitua, 05 April 2021

Penulis

TRAUMA KEPALA
1. Definisi
         Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.

2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi.

Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta,
RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR,
15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50%
akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.

3. Klasifikasi

Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga
jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera
kepala serta berdasar morfologi.
Klasifikasi cedera kepala:

1. Berdasarkan mekanisme :

-Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
atau pukulan benda tumpul.

-Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda
tumpul.

2. Berdasarkan beratnya :

-Ringan (GCS 14-15)

-Sedang (GCS 9-13)

-Berat (GCS 3-8)

3. Berdasarkan morfologi

-Fraktura tengkorak

-Kalvaria

-Linear atau stelata

4. Depressed atau nondepressed

-Terbuka atau tertutup

5. Lesi intrakranial

6. Fokal

7. Epidural

8. Subdural

9. Intraserebral
4.Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terja di dalam dua tahap yaitu     cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan
oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada
daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

         Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
      
5. Patologi cedera kepala
a. Fraktur Tengkorak

Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan
apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau nondepressed. Fraktur
tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan
setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed
fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi.
Frakturatengkorak terbuka atau compoundberakibat hubungan langsung antara laserasi scalp
dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi
perbaikan segera.Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan
bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang
sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat
dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.

b. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera
ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural,
dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara
umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau
bahkan koma.

      Lesi Fokal
     Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula
interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporal-parietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal
arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-
kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-
oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% daripasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan
diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera
otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcomelangsung bergantung pada status pasien
sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9%
pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.

       Hematoma Subdural


Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan
arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara
korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
      Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan
dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal,
walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma
intraserebral dalam beberapa hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalisdan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

6. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi
penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara
lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey.Pemeriksaan meliputi tanda
vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakuppemeriksaan fungsi batang otak,
saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik,dan refleks-refleks.

 
Tabel 1. Glasgow Coma Scale

              Jenis pemeriksaan      Nilai


Respon membuka mata (E) 4
Buka mata spontan
3
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
2
Buka mata bila dirangsang nyeri
1
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon verbal (V)  


Komunikasi verbal baik 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tidak ada reaksi 1

Respon motorik (M)  


Mengikuti perintah 6

Melokalisir nyeri 5

Fleksi normal 4

Fleksi abnormal 3

Ekstensi abnormal 2
Tidak ada reaksi 1

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala
yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu antero posterior dan lateral. Idealnya penderita
cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan
kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat. Indikasi pemeriksaan
CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :

1. bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan
berat.
2. cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
3. adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4. adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran
5. sakit kepala yang hebat
6. adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak
7. kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.

8.Penatalaksanaan

Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya,  berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat.Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah
sakit. Indikasi rawat antara lain :
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. CT scan abnormal
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis
otak.

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut :

1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
tanda fokal neurologis semakin berat
3. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. pendorongan midline shift lebih dari 0,5cm
5. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
6. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

DAFTAR PUSTAKA

1. Brain Injury Association of America. Types of BrainInjury.Http://www.biausa.org 


2. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :
Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.
3. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:
Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill, 1996.
4. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological and
Neurosurgical 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins, 2003.
5. Findlaw Medical Demonstrative Evidence. Closed headtraumatic brain
injury. Http://findlaw.doereport.com
6. Saanin S. Cedera Kepala.Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery .
7. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra
Grafindo, 2005.

Anda mungkin juga menyukai