Anda di halaman 1dari 39

TUGAS KEPERAWATAN KRITIS

“ACUTE CORONARY SYNDROME DAN CARDIAC


ARREST”

Dosen Pengampu : Ns. Hizkianta Sembiring, M.Kep., CWCCA

OLEH:
KELOMPOK 4
1. Nuisa Kennia 9. Rantika Juniarti Tarigan
2. Nur Amaliya Purba 10. Ratih Ayu Pertiwi
3. Nur Fitria Utami 11. Ratih Nurul Rizki
4. Nursafitri Lubis 12. Rebekha Noveria
5. Nurwana 13. Reni
6. Nurwani 14. Retno Widya Astuti
7. Peni Umriani 15. Reva Maya Sari Nainggolan
8. Putri Mira Rizal 16. Rina Mariati Harahap

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


FAKULTAS KEPERAWATAN
INSTITUT KESEHATAN DELI HUSADA DELI TUA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah “Acute
Coronary Syndrome dan Cardiac Arrest” dengan baik dan lancar. Kamian
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok yang diberikan oleh
dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Kritis yaitu Bapak Ns. Hizkianta
Sembiring, M.Kep., CWCCA.
Makalah “Acute Coronary Syndrome dan Cardiac Arrest” ini disajikan
dalam konsep dan bahasa yang sederhana sehingga dapat membantu pembaca
dalam memahami makalah ini. Dengan makalah ini diharapkan pembaca dapat
memahami Acute Coronary Syndrome dan Cardiac Arrest. Ucapan terimakasih
kami ucapkan kepada dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Kritis yang
telah memberikan kesempatan kepada kami unuk belajar makalah “Acute
Coronary Syndrome dan Cardiac Arrest”. Tidak lupa kami sampaikan terimakasih
kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan berupa konsep, pemikiran
dalam penyusunyan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dengan segala
kerendahan hati, saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari
pembaca guna meningkatkan pembuatan makalah pada tugas lain dan pada waktu
mendatang.

Deli Tua, 13 September 2021

Kelompok 4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Acute Coronary syndrome (ACS) adalah suatu kelainan yang
disebabkan oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri
yang mengalirkan darah ke otot jantung. Karena sumbatan ini, terjadi
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot jantung
yang dapat mengakibatkan kerusakan pada daerah yang terkena sehingga
fungsinya terganggu (Alwi dkk, 2006).
Berdasarkan data WHO tahun 2008, Sebanyak 17.3 juta penduduk
didunia meninggal karena penyakit tersebut.Sebanyak 80% kematian
akibat ACS berada di negara maju dan berkembang dan terjadi pada laki-
laki dan perempuan. (WHO, 2012). Diperkirakan bahwa diseluruh dunia,
ACS pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar
36% dari seluruh kematian (Departemen Kesehatan, RI, 2006).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit ACS
berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5% dan prevalensi
penderita ACS di Jawa barat adalah 8,2% (Balitbangkes, 2007).
Sedangkan prevalensi penderita ACS di RS Siloam Hospitals Lippo
Village Karawaci Gedung A, yang dirawat dari bulan januari sampai
bulan oktober 2017 mencapai 40 orang dari 320 pasien yang dirawat di
ruang ICCU.
Dari data tersebut diatas kami tertarik untuk membahas kasus
asuhan keperawatan pasien dengan ACS, khususnya tentang penanganan
dan perawatan pasien selama berada di intensive area sehingga banyak
menyelamatkan dan memperbaiki kualitas hidup penderita.Hal ini berkat
therapy reperfusi cepat (primary PCI) untuk membuka sumbatan arteri
coroner, kunci penting untuk mencapai hal tersebut adalah ketepatan dan
kecepatan diagnosis serta therapy dini pada ACS.

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
a. Mengetahui pengertian ACS
b. Mengetahui anatomi dan fisiologi yang terkait dengan ACS
c. Mampu mengenali nyeri dada pada pasien ACS
d. Mampu mengidentifikasi secara dini dan pemberian awal therapy
pada pasien ACS
e. Memiliki pengetahuan dasar untuk menilai pasien ACS
f. Mengetahui dan mampu melakukan asuhan keperawatan pada
pasien ACS

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Sindrome coroner akut merupakan sindroma klinis yang terdiri dari
infark miokard akut dengan atau tanpa elevasi segmen ST serta angina
pectoris tidak stabil (Dharma, 2010)
ACS adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya
coroner iskemik , dimana pasien berada pada resiko untuk berkembang
adanya kerusakan miokard, terdapat 3 kondisi dari ACS yaitu angina
tidak stabil, NSTEMI ( Non ST Elevasi Miocardial Infarct ), dan STEMI
( ST Elevasi Miocardial Infarct ). (Chintya lee, 2013 )
Penyakit syndrome coroner akut ( ACS ) adalah terjadinya
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan miokard,dimana
gabungan gejala klinik yang menandakan iskemik miokard akut, terdiri
dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST ( STEMI ), infark
miokard akut tanpa elevasi segmen ST ( NSTEMI ) dan angina pectoris
tidak stabil ( UAP ). ( PERKI 2014 )
B. Etiologi
1. Faktor penyebab
a. Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3
faktor:
 Faktor pembuluh darah
I. Aterosklerosis
II. Spasme
III. Arteritis
 Faktor sirkulasi
I. Hipotensi
II. Stenosis aorta
III. Insufisiensi
 Faktor darah
I. Anemia
II. Hypoxemia
III. polisitemia
b. Curah jantung yang meningkat
 Aktifitas berlebihan
 Emosi
 Hypertiroidisme
c. Kebutuhan oksigen miokard meningkat pada:
 Kerusakan miokard
 Hypertropi miokard
 Hypertensi diastolik

2. Faktor predisposisi
Factor resiko biologis yang tidak dapat diubah:
a. Usia ≥ 40thn
b. Jenis kelamin: insiden pada pria sedangkan pada wanita
meningkat setelah menopause
c. Hereditas
d. Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam
3. Factor resiko yang dapat diubah :
a. Mayor
 Hiperlipidemia
 Hipertensi
 Merokok
 Diabetes
 Obesitas
 Diet tinggi lemak jenuh, kalori
b. Minor
 Inaktifitas fisik
 Pola kepribadian tipe A (emosional, agresif, ambisius,
kompetitif)
 Stress psikologis berlebihan

C. Patofisiologi

Proses akut thrombosis akibat rupturnya plak aterosklerosis yang


menyebabkan sumbatan aliran darah coroner mendadak. Plak yang
terbentuk lambat laun berkembang menjadi bercak sclerosis (plak/kerak
pada pembuluh darah) sehingga terjadi penyempitan/penyumbatan
pembuluh darah, sehingga resistensi terhadap aliran darah akan meningkat.
Bila semakin lanjut penyempitan lumen akan diikuti perubahan pembuluh
darah yang mengurangi kemampuan pembuluh darah untuk melebar,
sehingga menyebabkan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan
oksigen menjadi tidak stabil sehingga menimbulkan iskemia miokard. Jika
plak pecah atau robek terjadi perdarahan subendotel mulailah proses
trombogenik yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh
coroner.

Gambar 10

proses aterosklerosis

Pada saat ini muncul perubahan yang tiba-tiba dari angina stabil
menjadi tidak stabil atau infark miokard, sedangkan thrombosis
merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku yang terdapat
didalam pembuluh darah. Thrombus yang terbentuk merupakan campuran
dari thrombus merah dan thrombus putih.Spasme arteri coroner juga
berperan penting dalam patofisiologi ACS, spasme atau vasokonstriksi
terjadi sebagai respon terhadap disfungsi endotel ringan dekatlesi atau
sebagai respon terhadap diserupsi plak dari lesi plak itu sendiri.

1. Plak tidak stabil


Penyebab utama terjadinya ACS adalah rupturnya plak yang kaya
lipid dan cangkang yang tipis, umumnya plak yang mengalami rupture
secara haemodinamik tidak signifikan besar lesinya, adanya sel
inflamasi yang berada dibawah sub endotelmerupakan titik lemah dan
predisposisi terjadinya rupture plak.
2. Rupture plak
Setelah rupture plak sel-sel platelet akan menutupi/menempel pada
plak yang rupture. Rupture akan merangsang dan mengaktifkan
agregasi platelet, fibrinogen akan menyelimuti platelet yang kemudian
akan merangsang pembentukan thrombin.
3. Angina tidak stabil
Sumbatan thrombus yang parsial akan menimbulkan gejala iskemia
lebih lama dan dapat terjadi saat istirahat. Pada fase ini thrombus kaya
akan platelet sehingga therapy aspirin, clopidogrel. Pemberian
trombolisis pada fase ini efektif dan malah sebaliknya dapat
mengakselerasi oklusi dengan melepaskan bekuan yang berikatan
dengan thrombin yang dapat mempromosi terjadinya koagulasi. Oklusi
thrombus yang bersifat intermitten dapat menyebabkan nekrosis
miokard sehingga menimbulkan NSTEMI.
4. Mikroemboli
Berasal dari trombus distal dan bersarang didalam mikrovaskuler
coroner yang menyebabkan troponin jantung meningkat (penanda
adanya nekrosis dijantung).Kondisi ini merupakan risiko tinggi
terjadinya infark yang lebih luas.
5. Oklusi thrombus
Jika thrombus menyumbat total pembuluh darah coroner dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan STEMI. Bekuan ini kaya
thrombin, karena itu pemberian fibrinolysis yang cepat dan tepat (PCI)
dapat membatasi perluasan infark (PERKI,2012).

Klasifikasi ACS meliputi:


1. Angina pectoris tak stabil
2. Non ST-Elevasi MI (NSTEMI)
3. ST-Elevasi MI (STEMI)

D. Manifestasi klinis
1. Nyeri
a. Gejala utama adalah nyeri dada yang terjadisecara mendadak
dan terus menerus tidak mereda. Biasanya dirasakan diatas
region sternal bawah dan abdomen bagian atas.
b. Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri
tidak tertahankan lagi.
c. Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat
menjalar kebahu dan terus kebawah menuju lengan (biasanya
lengan kiri).
d. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau
gangguan emosional ), menetap selama beberapa jam atau hari
dan tidak hilang dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin.
e. Nyeri dapat menjalar kearah rahang atau leher .
f. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin,
diaphoresis berat, pening atau sakit kepala terasa melayang
dan mual muntah .
g. Pasien dengan diabetes militus tidak akan mengalami nyeri
yang hebat karena neuropati yang menyertai diabetes dapat
mengganggu neuroreseptor.
2. Pada ACS dapat ditemukan juga sesak nafas, mual, nyeri
epigastric.
3. Perubahan tanda vital seperti tachicardi, tachipneu, hypertensi atau
hypotensi dan menurunkan saturasi oksigen (SaO2) atau kelainan
irama jantung

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. EKG
a. STEMI : perubahan pada pasien dengan infark miokard akut,
meliputi hyperakut T, elevasi segmen ST yang diikuti dengan
terbentuknya Q pathologis, terbentuknya bundle branch block /
yang dianggap baru. Perubahan EKG berupa elevasi segment ST
≥ 1mm pada 2 sadapanyang berdekatan pada limb lead dan atau
segmen elevasi ≥ 2mm pada 2 sadapan chest lead
b. NSTEMI : perubahan EKG berupa depresi segment ST ≥1mm
pada 2 sadapan yang berdekatan pada limb lead dan atau segmen
depresi ≥ 2mm pada 2 sadapan chest lead

c. Gambaran EKG
 Pemeriksaan EKG memegang peranan penting dalam
mendiagnosa ACS. Pemeriksaan yang sederhana, murah tapi
mempunyai nilai klinis yang tinggi. Pada APTS / Non Q
infark, perubahan berupa adanya ST segment depresi atau T
inversi. Hal ini harus dibedakan dengan tanda hipertropi
ventrikel kiri.
Gambaran 11

EKG berupa ST Depresi

 Pada akut infark dengan gelombang Q, didapat adanya ST


segmen elevasi, yang pada jam awal masih berupa hiperakut T
(gelombang T tinggi) yang kemudian berubah menjadi ST
elevasi. Adanya new RBBB/LBBB juga merupakan tanda
perubahan ECG pada infark gelombang Q

Gambar 12
EKG berupa ST Elevasi

 Pada penderita dengan nyeri dada sementara ECG nya normal


menunjukan besar kemungkinan non cardiakpain. Sementara
prognosis dengan perubahan ECG hanya T inverted lebih baik
dari ST segmen depresi yang masuk dalam resiko tinggi.
2. Enzim jantung, yaitu:
a. CKMB : dapat dideteksi 4-6 jam pasca infark, mencapai
puncaknya pada 24 jam pertama, kembali normal setelah 2-3
hari.
b. Troponin T : spesifik untuk kerusakan otot jantung , dapat di
deteksi 4-8 jam pasca infark.
c. LDH : dapat dideteksi 24-48 jam pasca infak, mencapai
puncaknya setelah 3-6 hari, normal setelah mencapai 8-14
hari

Tabel 1

Puncak Kembali
Marker Meningkat
Peningkata Normal
Troponin T 3 – 12 Jam 12 Jam – 2 hari 5 – 14 Hari
CK 3 – 12 Jam 24 Jam Tidak diketahui
CK-MB 2 – 6 Jam 18 Jam 48 – 72 Jam

3. Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan
kontraktiitas, misalnya hipokalemi, hiperkalemia
4. Sel darah putih
Leukosit ( 10.000-20.000 ) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah
IMA berhubungan dengan proses inflamasi.
5. AGD
Dapat menunjukan hypoxia atau proses penyakit paru akut atau
kronis.
6. Kolesterol atau trigliserida
Jika meningkat menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab
IMA
7. Rontgen dada
Mungkin normal atau menunjukan pembesaran jantung diduga
GJK atau aneurisma ventrikuler.
8. Echocardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau
dinding ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
9. Angiografi coroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri
coroner.Biasanya dilakukan sehubungan dengan pengukuran
tekanan serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi
ejeksi).Prosedur tidak selalu dilakukan pada fase AMI kecuali
mendekatibedah jantung angioplasty atau emergensi.

F. Komplikasi
Ada beberapa kompikasi yang dapat ditemukan, antara lain:
1. Aritmia
2. Kematian mendadak
3. Syok kardiogenik
4. Gagal jantung
5. Emboli paru
6. Rupture septum ventrikuler
7. Rupture muskulus papilaris
8. Aneurisma ventrikel
G. Penatalaksanaan medis
1. Penatalaksanaan ACS terbagi dua
a. Prehospital
 Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan
medis
 Segera memanggil tim medis emergensi
 Transportasi pasien ke Rumah Sakit
b. Hospital
 Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
 EKG 12 lead
 Pasang Intravena
 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan
terarah.
 Lengkapi cek list fibrinolitik, cek kontraindikasi
 Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan
pembekuan darah
 Pemeriksaan sinar X, (≥30 menit setelah pasien sampai di IGD)

2. Terapi Awal di IGD

a. Segera berikan oksigen 4 LPM nasal kanul, terutama jika saturasi


kurang dari 94%

b. Berikan aspirin 160-325mg dikunyah


c. Nitrogliserin sub lingual atau spray
d. Morpin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin

3. Terapi Umum Pada ACS

a. Oksigen
Oksigen harus diberikan pada semua pasien dengan sesak nafas,
tanda gagal jantung, syok atau saturasi oksigen < 94%

b. Aspirin

Aspirin direkomendasikan pada pasien ACS kecuali terdapat


kontraindikasi. Diberikan 160-325mg dikunyah jika tidak ada
alergi dan tidak ada perdarahan lambung.
c. Nitrogliserin
Dapat diberikan tablet nitrogliserin sublingual sampai 3 kali
dengan interval 3-5menit jika tidak ada kontraindikasi.
d. Analgetik
Analgetik morpin diberikan pada kasus ACS, jika pemberian
nitrogliserin sublingual atau spray tiidak reespon. Dosis bolus 2-
4mg IV.
e. Clopidogrel
Clopidogrel (antiagregasi platelet). Dosis pertama 300mg dan
dilanjutkan dengan dosis harian 75mg. Pasien yang dipersiapkan
untuk invasif therapi diberikan 600mg.(PERKI, 2015)
f. Therapi reperfusi pada STEMI
Reperfusi pada pasien ACS akan mengembalikan aliran koroner
pada arteri yang berhubungan dengan area infark, mengurangi
ukuran infark, dan menurunkan mortalitas jangka panjang.
Fibrinolitik berhasil mengembalikan aliran normal koroner pada
50-60% kasus. Sedangkan PCI dapat mengembalikan aliran darah
normal sampai 90% kasus, dan manfaat ini lebih besar didapatkan
pada pasien dengan syok kardiogenik. PCI juga menurunkan resiko
perdarahan intrakranial dan Stroke. Langkah pertama untuk
reperfusi adalah evaluasi nilai waktu onset serangan, resiko
fibrinolitik, waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli
intervensi (kateterisasi/PCI). Langkah kedua adalah strategi therapi
reperfusi (Fibrinolisis atau invasif)
 Therapi Fibrinolitik
Pemberian Fibrinolitiklebih awal (door to drug < 30 menit)
dapat membatasi luasnya infark, fungsi ventrikel normal dan
mengurangi angka kematian. Beberapa jenis obat misalnya:
Alteplase recombinant (activase), Reteplase, Teneplase dan
Streptokinase (streptase). Di indonesia umumnya tersedia
streptokinase dengan dosis pemberian sebesar 1,5 juta unit
dilarutkan dalam 100 ml Ns 0,9% atau dextrose 5% diberikan
secara infus selama 60 menit.
Kontra indikasi absolut terapi fibrinolitik adalah :
 Pendarahan intrakranial kapanpun
 Struk iskemik kurang dari 3 bulan dan lebih dari 3 jam
 Kecurigaan diseksi aorta
 Tumor intrakrania
 Adanya kelainan AVM
 Perdarahan internal aktif atau gangguan sistem pembekuan
darah
 Cidera kepala tertutup atau cidera wajah dalam 3 bulan
terakhir
Kontra indikasi relatif terapi fibrinolitik adalah :
 Tekanan darah yang tidak terkontrol
 TD sistolik lebih dari 180 Mmhg, diastolik ≥110Mmhg
 Riwayat stroke iskemik 3 bulan
 Trauma atau RJP lama (10 menit) atau oprasi besar kurang
dari 3 bulan
 Perdarahan internal dalam 2 sampai 4 minggu
 Penusukan pembuluh darah yang sulit dilakukan penekanan
 Pernah mendapat streptokinase 5 hari yang lalu atau lebih,
atau riwayat alergi terhadap obat tersebut
 Hamil
 Ulkus peptikum aktif
 Sedang menggunakan antikoagulan dengan hasil INR tinggi
 Tindakan Perkutaneous Coroanary Intervention (PCI) Primer
Angioplasticoroner dengan atau tanpa pemasangan stent adalah
terapi terpilih pada tatalaksana STEMI bila dapat dilakukan
kontak door to baloon < 90 menit pada pusat kesehatan yang
mempunyai fasilitas PCI terlatih. Angiplasticoroner dilakukan
dengan menggunakan cateter yang memiliki balon khusus pada
ujungnya.

Balon tersebut diletakan pada tempat penyempitan atau


sumbatan arteri koloner. Pengembangan balon cateter
menyebabkan balon mendorong keluar melawan penyempitan
dan sekitar dinding artery koroner. Tindakan ini dilakukan di
cath lab. Monitoring EKG irama jantung dan tekanan darah
akan dilakukan sepanjang prosedur angioplastikoroner
dijalankan. Introducer sheath (pipa kecil) semacam selongsong
akan dimasukan ke arteri femoralis atau lengan lalu guiding
cateter (selang panjang yang fleksibel) dengan diameter hanya
1,75 – 2,5 ml akan dimasukan ke sheath dan di dorong melalui
aorta menuju arteri koroner jantung. Cairan kontras disuntikkan
melalui kateter ke arteri koroner kiri dan kanan secara
bergantian. Saat kontras masuk ke koroner akan terlihat gambar
arteri koroner di layar monitor seperti akar pohon berwarna
hitam. Dokter jantung memilih balon yang sesuai dengan
ukuran pembuluh darah koroner pasien.
Balon akan dimasukkan ke kateter balon melalui kateter pandu
menuju tempat penyempitan. Prosedur akan berlangsung 1 –
3jam atau lebih. Selama tindakan dokter mungkin memutuskan
untuk memasukkan stent kedalam pembuluh darah. Stent yang
sudah terpasang tidak dapat dilepaskan, karena terpasang
secara permanen pada pembuluh darah koroner. Saat tindakan
sudah selesai kateter akan ditarik keluar namun introduser
sheath akan dipertahankan ditempatnya dan dibiarkan
ditempatnya selama kurang lebih 4 sampai 6 jam sesuai dengan
hasil laboratorium ( waktu pembekuan darah / ACT ).

H. Konsep asuhan keperawatan


Pengkajian
1. Aktifitas
 Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup
menetap, jadwal olahraga tidak teratur.
 Tanda : takikardi, dispneu pada istirahat atau aktifitas
2. Sirkulasi
 Gejala :
1. Riwayat IMA sebelumnya
2. Penyakit arteri coroner
3. Masalah tekanan darah
4. Diabetes mellitus
 Tanda :
1. TD : dapat normal atau naik/turun, perubahan postural dicatat
dari tidur sampai duduk/berdiri
2. Nadi : dapat normal, penuh atau tidak kuat atau lemah /kuat
kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur
(disritmia) mungkin terjadi.
3. Bunyi jantung : bunyi jantung ekstra S3 atau S4 mungkin
menunjukan gagal jantung atau penurunan kontraktilitas atau
complain ventrikel.
4. Murmur : bila ada menunjukan gagal katup atau disfungsi oto
papilar
5. Friksi : dicurigai pericarditis
6. Irama jantung dapat teraturatau tidak teratur
7. Edema : distensi vena juguler, edema dependent, perifer,
edema umum, krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau
ventrikel.
8. Warna : pucat atau sianosis, kuku datar, pada membrane
mukosa atau bibir
3. Integritas ego
 Gejala :
1. Menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati
2. Perasaan ajal sudah dekat
3. Marah pada penyakit atau perawatan
4. Khawatir tentang keuangan, kerja dan keluarga.
 Tanda :
1. Menolak
2. Menyangkal
3. Cemas
4. Kurang kontak mata
5. Gelisah
6. Marah
7. Perilaku menyerang
8. Fokus pada diri sendiri
9. Koma nyeri
4. Eliminasi
 Tanda :
1. Normal
2. Bunyi usus menurun
5. Makananatau cairan
 Gejala :
1. Mual
2. Kehilangan nafsu makan
3. Bersendawa
4. Nyeri uluhati atau rasa terbakar
 Tanda :
1. Penurunan turgor kulit
2. Kulit kering atau berkeringat
3. Muntah
4. Perubahan berat badan
6. Hygiene
 Gejala dan tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan
7. Neurosensori
 Gejala :
1. Pusing
2. Berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istirahat)
 Tanda :
1. Perubahan mental
2. Kelemahan
8. Nyeri atau ketidaknyamanan
 Gejala :
1. Nyeri dada yang ditimbukan mendadak (dapat atau tidak
berhubungan dengan aktifitas), tidak hilang dengan istirahat
atau nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan
visceral).
2. Lokasi : Tipikal pada dada anterior, substernal, precordial,
dapat menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu
lokasinya seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen,
punggung, leher.
3. Kualitas : crushing, menyempit, berat, menetap, tertekan.
4. Intensitas : biasanya 10 (pada skala 1-10), mungkin
pengalaman nyeri paling buruk yang pernah dialami
Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi,
DM, hipertensi, lansia
9. Pernafasan
 Gejala :
1. Dispneu saat aktifitas ataupun saat istirahat
2. Dispneu nocturnal
3. Batuk dengan atau tanpa produksi sputum
4. Riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis
 Tanda :
1. Peningkatan frekuensi pernafasan
2. Nafas sesak atau kuat
3. Pucat, sianosis
4. Bunyi nafas (bersih, krekles, mengi) , sputum
10. Interaksi sosial
 Gejala : kesulitan koping dengan stressor yang ada
 Tanda : kesulitan istirahat dengan tenang
11. Penyuluhan atau pembelajaran
 Gejala :
1. Riwayat keluarga penyakit jantung/ IM, DM, stroke,
hipertensi, penyakit vaskuler perifer, penggunaan tembakau
2. Pertimbangan rencana pemulangan : menunjukan rata-rata
lama dirawat 7 hari (2 - 4hari di ICCU), perawatan dirumah.

I. Diagnosa keperawatan (Doenges 2012)


Diagnosa keperawatanyang mungkin muncul yaitu :
1. Nyeri dada berhubungan dengan berkurangnya aliran darah koroner
2. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan
kontraktilitas jantung
3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen miokard dan kebutuhan
4. Anxieatas berhubungan dengan ancaman terhadap kematian /
perubahan status kesehatan
5. Resiko perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan
aliran darah
6. Resiko kelebihan volume cairan berhubungan dengan peningkatan
natrium /retensi air, penurunan perfusi ginjal
7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit jantung dan
status kesehatan

J. Rencana Keperawatan
1. Dx 1 : Nyeri dada berhubungan dengan berkurangnya aliran darah
coroner
Tujuan :Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria :keluhan nyeri berkurang atau hilang skala nyeri 0-1
Intervensi :
a) Beri lingkungan yang nyaman, batasi pengunjung bila perlu
b) Istirahatkan pasien
c) Kaji dan observasi tingkat nyeri
d) Beri oksigen sesuai dengan kebutuhan
e) Ajarkan dan demonstrasikan pada klien tehnik relaxasi dan
latihan nafas dalam
f) Ukur tanda vital dan monitor EKG
g) Pasang / pertahankan IV line
h) Beri makanan yang mudah dicerna/lembut
i) Laporkan bila nyeri berlanjut untuk menentukan intervensi
medis yang lebih baik
j) Hindari tindakan valsava manufer
k) Dokumentasikan dan monitor rasa nyeri; kualitas, durasi,
intensitas, dan efektivitas obat
l) Kolaborasi dokter untuk pengobatan yang dibutuhkan
2. Dx 2 : Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan
penurunan kontraktilitas jantung
Tujuan : Curah jantung optimal
Kriteria :Hemodinamik stabil, EKG 12 lead normal, perfusi baik
Intervensi :
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Evaluasi status mental
c) Kenali therapy yang berefek penurunan kardiak output
d) Pertahankan atau pasang IV line
e) Rekam EKG 12 lead
f) Kaji tanda- tanda dan gejala GJK
g) Observasi tanda perubahan warna kulit
h) Beri oksigen sesuai dengan protocol
i) Beri therapy sesuai dengan program
3. Dx 3 : intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
intake oksigen dengan kebutuhan
Tujuan : pasien dapat melakukan aktifitas yang dibutuhkan tanpa
adanya nyeri
Kriteria : keluhan nyeri dada tidak ada dalam beraktivitas
Intervensi :
a) Anjurkan untuk bedrest selama periode akut
b) Beri oksigen sesuai dengan protocol
c) Ukur tanda-tanda vital
d) Beri lingkungan yang nyaman dan suasana tenang
e) Informasikan untuk tidak menggunakan tenaga/energy yang
berlebihan dalam aktivitas sehari-hari seperti mengejan saat
BAB
f) Hentikan aktivitas bila pasien menunjukkan respon nyeri, sesak,
pusing, penurunan blood pressure dan HR
g) Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas
h) Beri therapy sebelum aktivitas sesuai program
4. Dx 4 : Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap kematian
/perubahan status kesehatan
Tujuan : cemas berkurang/hilang
Kriteria : pasien mengatakan penurunan cemas, dapat
mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalah positif, pasien
rileks
Intervensi :
a) Kaji tingkat cemas
b) Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman /situasi
c) Motivasi pasien untuk mengekspresikan perasaan, pikirannya
d) Berikan informasi yang akurat dan konsisten tentang penyakitnya
e) Dorong pasien/orang terdekat untuk mengkomunikasikan dengan
seseorang
f) Beri kenyamanan dan ketenangan hati seperti temani pasien,
bicara perlahan, tenang, kalimat sederhana dan pendek serta
perlihatkan rasa empati
g) Beri kesempatan berbagi rasa dengan individu yang mengalami
pengalaman yang sama
h) Kolaborasi dokter untuk pemberian sedative sesuai indikasi
5. Dx 5 : Risiko perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
penurunan /penghentian aliran darah
Tujuan : perfusi jaringan baik
Kriteria : akral hangat dan kering, pulsasi nadi kuat, hemodinamik
stabil, pasien sadar, keseimbangan pemasokan dan pengeluaran,
oedema dan nyeri tidak ada.
Intervensi :
a) Kaji perubahan tingkat kesadaran
b) Observasi dan evaluasi tanda-tanda perubahan perfusi jaringan
c) Observasi pernafasan
d) Monitor intake output cairan
e) Kolaborasi dengan dokter dalam pemeriksaan laboratorium dan
obat sesuai indikasi
f) Siapkan untuk pemberian agen trombolitik
6. Dx 6 : Risiko kelebihan volume cairan berhubungan dengan
penurunan perfusi organ
Tujuan : Kelebihan volume cairan tidak terjadi
Kriteria : Balance cairan seimbang, TD dalam batas normal, tidak ada
distensi vena perifer, paru bersih dan berat badan normal
Intervensi :
a) Auskultasi paru, bunyi nafas
b) Balance cairan
c) Timbang BB tiap hari
d) Pertahankan masukan total cairan 2000ml/24jam dalam toleransi
kardiovaskuler
e) Kolaborasi dalam pemberian diet/cairan rendah natrium dan obat
anti diuretic
f) Pantau kalium sesuai indikasi
7. Dx 7 : Kurang pengetahuan mengenai kondisi, kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kebutuhan perubahan pola hidup
Tujuan : Memahami penyakitnya dan mampu melakukan perubahan
pola hidup
Kriteria : menyatakan pemahaman penyakit jantung sendiri, tujuan
pengobatan dan efek yang merugikan serta mampu merencanakan
perubahan pola hidup yang baik
Intervensi :
a) Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keinginan untuk belajar
b) Berikan informasi dalam bentuk belajar yang bervariasi
c) Tekankan pentingnya mengikuti perawatan kesehatan dan
mengidentifikasi sumber di masyarakat
d) Tekankan pentingnya melaporkan terjadinya demam
sehubungan dengan nyeri dada yang menyebar

K. Pelaksanaan keperawatan
Pelaksanaan atau implementasi merupakan tindakan yang sudah
direncanakan dalam rencana keperawatan. Tindakan keperawatan
meliputi tindakan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi
(Wartonah T,2011)
Tindakan mandiri (independen) adalah aktifitas perawat
yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan
bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan
lain.Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil
keputusan bersama seperti dokter dan petugas kesehatan lain.
L. Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan,rencana tindakan keperawatan dan pelaksanaannya
sudah berhasil dicapai.Tujuan dari evaluasi adalah untuk melihat
kemampuan klien dalam mencapai tujuan
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Acut coroner sindrom merupakan sekumpulan keluhan dan tanda klinis


yang sesuai dengan iskemia miokard akut, dapat berupa angina pectoris yang
tidak stabil, Non ST elevasi dan ST elevasi yang dapat menyebabkan kematian
jantung mendadak.

Keluhan yang sering muncul yaitu nyeri dada, dada terasa berat seperti dihimpit,
tidak enak badan, badan terasa lemas, kadang kala dapat disertai mual, muntah,
keringat dingin atau gejala pada penderita sakit magh. Bila ditemukan satu atau
lebih dari gejala diatas, jangan dianggap sepele segeralah periksakan diri kedokter
atau Rumah Sakit terdekat, lebih cepat diperiksa lebih cepat diketahui penyebab
dan penanganannya juga bias cepat dilakukan. Cara mengenal kemungkinan
pasien Acut coroner syndrome dalam lima menit adalah ada keluhan nyeri dada /
perasaan tidak enak didada, perubahan EKG dan perubahan enzyme jantung. Bila
dua diantaranya ada, pasien dapat dicurigai dengan ACS, tetapi pasien ACS 80%
mengalami keluhan. Banyak factor yang dapat memicu terjadinya ACs ini,
diantaranya adalah kolesterol, Stres dan pola diet yang tidak baik. Untuk
mencegah terjadinya penyakit jantung ini, mulai dari sekarang atau sedini
mungkin kita perbaiki pola hidup yang baik. Sayangilah jantung kita.
B. Saran
Saran untuk perawat
 Untuk perawat di Rumah Sakit diharapkan dapat memberi Asuhan
Keperawatan pada pasien ACS yang lebih baik lagi.
 Perawat mampu mengenali gejala dini dari ACS sehingga perawat mampu
memberikan ASKEP pada ACS dengan cepat dan tepat
 Perawat mampu melakukan pendokumentasian pada pasien ACS dengan
baik dan benar
 Perawat mempunyai ketrampilan yang lebih untuk dapat memberikan
ASKEP pada ACS

Saran untuk institusi


 Melengkapi dan menyediakan buku – buku terbitan terbaru di
perpustakaan agar pengetahuan dan pemahaman peserta semakin
meningkat
DAFTAR PUSTAKA

Corwin E, 2012. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC

Doenges Marilyn E, 2012. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta: EGC

Perki, 2015. ACLS Indonesia, Edisi 2015 Jakarta:Perki

Ronny, 2010. Fisiologi Kardiovaskuler Berbasis Masalah Keperawatan.


Jakarta:EGC

Siloam LippoVillage karawaci

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, 2017. Edisi ke-1 cetakan III (Revisi),
Jakarta: DPP PPNI

Udijanti, 2010. Keperawatan Kardiovaskuler, Jakarta:Salemba medika

Wartonah, T.2011. Kebutuhan Dasar Manusia Keperawatan, Edisi ke-4. Jakarta:


Salemba medika
CARDIAC ARREST

1.Pengertian
 Suatu keadaan yang disebabkan oleh tidak adanya tanda-tanda klinis
curah jantung, jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, akibatnya terjadi
penghentian sirkulasi darah.
 Dalam penatalaksanaan pasien cardiac arrest mempunyai tujuan utama
menyelamatkan otak dari kekurangan oksigen, karena berhentinya
sirkulasi selama 10 detik menyebabkan pasien tidak sadar.
 Apabila terhentinya sirkulasi lebih dari 4 menit maka kerusakan otak
irreversible akan terjadi.
 Defibrilasi merupakan prioritas utama penanganan cardiac arrest

2. Patofisiologi
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia: fibrilasi
ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan
asistol (Diklat Ambulans Gawat Darurat 118, 2010).
a) Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak,
pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya,
jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus
segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau defibrilasi.
b) Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena
adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya
gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase
pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah ke
ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan
keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih
diutamakan. Pada kasus VTdengan gangguan hemodinamik sampai terjadi
henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan
menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama
c) Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan
kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR
adalah tindakan yang harus segera dilakukan.
d) Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung,
dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada
kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.Kriteria : ada
aktvitas listrik jantung tetapi tidak terdeteksi pada saat pemeriksaan arteri
(nadi tidak teraba)

3. Etiologi
 Cardiac arrest disebabkan adanya kegagalan pompa jantung atau dari
adanya suatu aritmia
 Faktor pencetus pada pasien kritis antara lain adanya
ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit, hipotensi yang sampai
menimbulkan gangguan perfusi perifer dan hipoksia
 Penyebab Primer
 Miokardial iskemia
 Heart Disease
 Elektrical Blok
 Obat-obatan
 Penyebab sekunder
 Asphyxia
 Hypoksia
 Gangguan system syaraf pusat
 Gangguan metabolic dan elektrolit
 Shock
4. Tanda dan Gejala
 Hilang kesadaran
 Tak teraba denyut arteri besar
 Henti Napas
 Death Like appereance-terlihat seperti mati
 Cyanosis
 Dilatasi pupil
 Kejang
 Jika didapat 3 dari tanda yang pertama telah dapat dipastikan adanya
cardiac arrest

5. Komplikasi
 Edema Serebri
 Gangguan serebrovaskuler
 Renal Failure
 Kematian Batang Otak

6. Pemeriksaan Penunjang
 Monitoring EKG
 Monitoring AGD
7. Penatalaksanaan
 Pasien dengan cardiac arrest harus sesegera mungkin dilakukan
resusitasi kardiopulmoner yang meliputi :
a. Bantuan hidup dasar yang bertujuan untuk mengupayakan
kembalinya oksigenasi jaringan
b. Bantuan hidup lanjut yang berguna untuk mempertahankan
oksigenasi spontan, sesuai dengan tahap-tahap algoritme
c. Fase Post Resusitasi
 Prinsip Penanganan Cardiac Arrest
1. Pertama obati pasien bukan monitor
2. Algoritme henti jantung selalu mengutamakan RJP
3. Pengertian mengenai klasifikasi obat-obatan harus dikuasai
4. Membebaskan jalan napas, memberikan ventilasi dan oksigen yang
adekuat, kompresi jantung luar dan defibrilasi lebih penting daripada
obat-obatan
5. Beberapa obat-obatan seperti adrenalin, sulfas atropine dan lidokain
dapat diberikan melalui ETT dengan dosis 2 – 2,5 kali dosis intra vena
6. Pemberian obat-obatan melalui intravena harus diberikan secara bolus
pada keadaan henti jantung jika tidak ada kontra indikasi
7. Bolus 10-30 cc cairan intravena harus diberikan setelah pemberian obat-
obatan, kemudian dilanjutkan dengan mengangkat tangan pasien.
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mempercepat obat tersebut untuk
mencapai sirkulasi
 Bantuan Hidup Dasar dan Lanjut ♠♠♠
A. Indikasi
1. Henti Napas
o Tidak adanya gerakan napas dan aliran udara pernapasan dari pasien,
dapat terjadi pada keadaan tenggelam, stroke, obstruksi jalan napas,
tersengat listrik, infark miokard.
o Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk ke dalam darah
untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasi darah ke
otak dan organ vital lainnya.
o Pada keadaan ini jika diberikan bantuan napas akan sangat
bermanfaat agar korban dapat bertahan hidup dan mencegah henti
jantung
2. Henti Jantung
o Pada saat henti jantung secara langsung akan terjadi henti sirkulasi
dan henti napas.
o Henti sirkulasi ini akan menyebabkan otak dan organ vital
kekurangan oksigen.
B. Tujuan
1. Mencegah terjadinya henti sirkulasi dan respirasi
2. Memberikan bantuan eksternal melalui RJP
C. Rumus
A : Airway
B : Breathing
C : Circulation
D : Defibrilation

a. Airway
Sebelum melakukan tahapan ini harus dilakukan prosedur pada pasien yaitu:
1. Memastikan kesadaran pasien
Menyentuh atau menggoyangkan bahu korban dengan lembut dan mantap
sambil memanggil namanya
2. Meminta pertolongan
Korban tidak memberikann respon terhadap panggilan, segera minta
bantuan untuk mengaktifkan system pelayanan medis lebih lanjut
3. Memperbaiki posisi pasien
Posisi telentang, pada permukaan yang rata, datar dan keras, kedua lengan
diletakkan disamping tubuhnya

4. Mengatur posisi penolong


Berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas
dan sirkulasi tidak perlu mengubah posisi dan menggerakkan lutut

Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan


tindakan:
1. Pemeriksaan jalan napas
Ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing, mulut dibuka
dengan metode cross finger (ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari
telunjuk pada mulut korban)
2. Membuka Jalan napas
Pembebasan jalan napas yang disebabkan sumbatan oleh lidah dapat
dilakukan dengan cara tengadah kepala topang dagu (head tild-chin lift)
dan manufer mendorong mandibula

b. Reabriting
Meliputi 2 tahap yaitu :
1. Memastikan pasien tidak bernapas/LOOK, LISTEN AND FEEL
Gerakan naik turun dada, mendengar bunyi napas dan hembusan nafas
korban. Penolong harus mendekatkan telinga diatas mulut dan hidung
pasien, sambil mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Dilakukan tidak
boleh lebih dari 3-5 detik
2. Memberikan bantuan nafas
Dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, atau mulut ke stoma dengan cara
memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali, waktu yang dibutuhkan tiap
kali hembusan 1,5-2 dtk .

c. Circulation
1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien
Meraba arteri carotis dengan 2 jari tangan(telunjuk dan jari tengah) di
daerah pertengahan leher sehingga teraba trachea, kemudian digeser ke sisi
bagian kanan/kiri kira-kira 1-2 cm, raba selama 5-10 detik
2. Memberikan bantuan sirkulasi
a. Dilakukan kompresi jantung luar, dengan teknik sebagai berikut:
b. Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan
atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum)=PROXESSUS
XIFOIDEUS
c. Dari pertemuan tulang iga diukur kurang lebih 2-3 jari ke atas. Daerah
tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong dalam
memberikan bantuan sirkulasi
d. Letakkan kedua tangan pada posisi dengan cara menumpuk satu telapak
tangan diatas telapak tangan lainnya, hindari jari-jari tangan menyentuh
dinding dada pasien, jari-jari tangan dapat diluruskan atau menyilang
e. Dengan posisi badan tegak lurus,penolong menekan dinding dada pasien
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan
kedalaman penekanan 1,5-2 inchi (3,8-5 cm)
f. Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan
mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi
dada. Selang waktu yang digunakan untuk melepaskan kompresi harus sama
dengan saat melakukan kompresi
g. Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau mengubah posisi
tangan pada saat melakukan kompresi
h. Ratio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30:2, baik dilakukan
oleh satu atau dua penolong jika belum terintubasi dan kecepatan kompresi
adalah 100x/mnt jika terintubasi (dilakukan 5 siklus/mnt), untuk kemudian
dinilai apakah perlu dilakukan siklus berikutnya atau tidak.
i. Setelah Resusitasi berhasil, pasien diposisikan dalam POSISI STABIL

d. Defibrilation
1. Adalah suatu terapi dengan menggunakan energi listrik
2. Dilakukan apabila penyebab henti jantung adalah kelainan irama jantung
yang disebut Ventrikel Fibrilasi dan Ventrikel Takikardi
a. Pengertian
 Defibrilator adalah suatu alat elektrik yang biasanya dilengkapi dengan
alat monitor EKG yang digunakan untuk terapi aritmia jantung
(defibrilasi dan cardioversi)
 Defibrilasi (eksternal) adalah suatu tindakan terapi dengan cara
memberikan aliran energi listrik yang kuat dengan mode asinkrone ke
jantung pasien melalui electrode (pedal) yang ditempelkan di permukaan
dinding dada
 Cardioversi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran
listrik yang kuat dengan mode sinkron.
b. Tujuan :
 Menghilangkan ancaman kematian karena aritmia jantung
 Mengembalikan irama jantung menjadi normal
 Mengembalikan oksigenasi dan perfusi ke jaringan
c. Indikasi
 Pasien dengan VF dan VT
d. Persiapan Defibrilasi
 Perawat
 Anatomi dan fisiologi system kardiovaskuler
 Intepretasi EKG
 Prinsip-prinsip keamanan terhadap listrik
 Peralatan
 DC Shock/defibrillator dengan electrode/pedalnya
 Jelly
 Ambubag dan Facemask
 Oksigen
 Papan resusitasi
 Obat-obat emergensi
 Pasien
 Posisi supine diatas papan yang rata dank eras
 Singkirkan semua besi yang menempel langsung pada pasien
 Ambil gigi palsu pada pasien bila ada
 Prosedur Defibrilasi
 Pastikan gambaran EKG pada monitor
 Siapkan alat-alat defibrilasi (lakukan RJP bila alat-alat belum tersedia)
 Matikan Pace maker bila terpasang
 Lakukan defibrilasi bila dipastikan gambaran EKG VF atau VT non
pulse dengan cara sebagai berikut :
a) Beri jelly yang cukup pada pedal
b) Hidupkan defibrillator dan pastikan dalam setelan asyncron
atur energi yang dipakai
c) Letakkan pedal pada dada, agak diputar agar jelly menyebar
rata
d) Pastikan tidak ada orang yang kontak dengan pasien atau bed
pasien
e) Tekan knop pedal secara bersama-sama dan febrilator akan
memberikan kejutan/kontraksi pada pasien
f) Nilai gambaran EKG segera jika masih VF defibrilasi diulangi
 Perawatan Post Defibrilasi
a) Nilai keadaan pasien
b) Monitoring gambaran EKG
c) Pasang infuse bila belum terpasang
d) Siapkan pemberian obat-obatan dan observasi pemberian obat-
obatan
e) Berikan oksigenasi
f) Perhatikan apakah ada luka baker
 Komplikasi
a) Cardiac arrest
b) Aritmia
c) Gagal Napas
d) Gangguan syaraf
e) Kerusakan kulit
 Hal-hal yang harus diperhatikan
a) Pendekatan pada pasien dan keluarga (bila pasien sadar)
b) Bersihkan alat-alat dan siapkan kembali setelah dipakai
c) Catat dan laporkan tindakan defibrilasi:
d) Status EKG sebelum defibrilasi
 Lamanya defibrilasi
 Jumlah energi yang diperlukan
 Gambaran EKG post Defibrilasi
 Kejadian-kejadian lain selama defibrilasi

 Fase Post Resusitasi


1. Sistem syaraf pusat
Menyelamatkan fungsi otak adalah tujuan utama resusitasi jantung paru.
Tindakan yang paling penting dalam mengembalikan dan mempertahankan
fungsi otak adalah mengoptimalkan oksigenasi dan perfusi. Tindakan yang
harus dilakukan adalah:
 Mempertahankan suhu tubuh normal karena hipertermi akan
meningkatkan kebutuhan oksigen pada otak
 Mengatasi kejang karena kejang meningkatkan kebutuhan oksigen pada
otak
 Mengatur posisi pasien pada posisi kepala lebih tinggi dari badan 30˚
dengan tujuan meningkatkan drainase vena otak dan menurunkan tekanan
intrakranial
2. Hipotensi
Prinsip: Apakah Hipotensi desebabkan karena kekurangan cairan atau pompa
jantung tidak efektif: Cairan NS dapat diberikan segera bila disebabkan
hipovolemi, setelah pemberian dapat diberikan obat inotropik
3. VT/VF yang berulang
Untuk mencegah terulangnya VT/VF setelah pasien mengalami sirkulasi
spontan maka obat-obat anti aritmia harus dilanjutkan pemberiannya dengan
cara titrasi. Bila VT/VF terulang kembali lakukan sesuai penetalaksanaan
4. Takikardi
Supra ventricular Takikardi sering terjadi segera paska resusitasi, observasi
10-15 menit.
5. Bradikardi
Bradikardi bisa disebabkan karena ventilasi dan oksigenasi yang tidak
adekuat. Penilaian terhadap sekunder ABCD harus segera dilaksanakan.
Apabila takikardi disertai hipotensi dan hipoperfusi maka atropine, adrenalin
dapat dipertimbangkan untuk diberikan
6. VES (Ventrikel Ekstra Sistole)
Diatasi dengan meningkatkan oksigenasi dan mengembalikan status asam basa
kembali pada nilai normal. Titrasi amiodaron akan dapat mengatasi VES
terutama paska VT/VF

Anda mungkin juga menyukai