Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Acute coronary syndrome (ACS) atau yang lebih dikenal dengan
sindrom koroner akut merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner
akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran
darah, dimana aliran darah arteri koroner yang mensuplai jantung tersumbat.
Definisi lain dari ACS berdasarkan karakteristik spesifik dari masing-masing
elemen yakni munculnya tanda dan gejala, perubahan gambaran elektro-
kardiografi dan marker biokimia kardiak yang mana bisa terjadi dengan tidak
munculnya perubahan gambaran elektrokardiografi atau kenaikan nilai
biokimia kardiak (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2016).
ACS dapat diklasifikasikan menurut perubahan elektrokardiografi
(EKG) yaitu mulai dari Non ST-Elevasi Miocard Infraction (NSTEMI), ST-
Elevasi Miocard Infraction (STEMI), dan Unstable Angina Pectoris (UAP).
ACS merupakan salah satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK)
dan dianggap penyumbang angka kematian tertinggi di Indonesia (Kementrian
Kesehatan, 2008)
World Heart Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit
Jantung Koroner (PJK) menjadi salah satu masalah kesehatan dalam system
kardiovaskular yang jumlahnya meningkat cepat dengan angka kematian 6,7
juta kasus (WHO, 2017). Perhitungan WHO yang memperkirakan pada tahiun
2020 mendatang, penyakit kardiovaskular akan menyumbang sekitar 25% dari
angka kematian dan mengalami peningkatan khususnya di negara-negara
berkembang, salah satunya berada di Asia Tenggara. Anggka kematian yang
disebabkan oleh PJK mencapai 1,8 juta kasus pada tahun 2014 yang artinya
PJK menjadi penyakit yang mematikan dikawasan Asia Tenggara salah satu
negaranya Indonesia (WHO, 2017) . Angka kejadian ACS di RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita tahun 2017 sebanyak 2564 kasus dan tahun
2018 sebanyak 2017 kasus (Data Regiter IGD RSJPDH , 2017 dan 2018).
Berdasarkan data tersebut di atas maka kami tertarik untuk menulis
makalah dengan judul Asuhan Keperawatan dengan Acute Coronary

1
Syndrome di ruangan IGD RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Jakarta.
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Makalah ini bertujuan untuk memahami asuhan keperawatan dan
penatalaksanaan pada pasien ACS.
1.2.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini antara lain :
1) Mengetahui konsep dasar ACS
2) Mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien ACS.
1.3. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam :
1) Pengetahuan tentang pasien dengan ACS.
2) Asuhan keperawatan pada pasien dengan ACS.
3) Penatalaksanaan pada pasien ACS

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Acute Coronary Sindrome


2.1.1 Definisi Acute Coronary Sindrome
Acute coronary syndrome (ACS) atau yang lebih dikenal dengan
sindrom koroner akut merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner
akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan
aliran darah, dimana aliran darah arteri koroner yang mesuplai jantung
tersumbat. Definisi lain dari ACS berdasarkan karakteristik spesifik dari
masing-masing elemen yakni munculnya tanda dan gejala, perubahan
gambaran elektro-kardiografi dan marker biokimia kardiak yang mana bisa
terjadi dengan tidak munculnya perubahan gambaran elektrokardiografi
atau kenaikan nilai biokimia kardiak (Scottish Intercollegiate Guidelines
Network, 2016).
Acute coronary syndrome adalah istilah untuk tanda-tanda klinis
dan gejala iskemia miokard: angina stabil, non-ST-segmen elevasi
miokard infark, dan elevasi ST-segmen infark miokard. Sindrom koroner
akut (SKA) adalah merupakan satu dari tiga penyakit pembuluh darah
arteri koroner, yaitu : ST-Elevasi infark miokard (30 %), Non ST-
Elevation infark miokard (25 %), dan Angina Pectoris Tidak Stabil (25 %),
(www. Infokeperawatan.com)
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ACS
merupakan terminologi yang digunakan pada keadaan gangguan aliran
darah koroner parsial hingga total ke miokard secara akut, dan aliran yang
terganggu disebabkan oleh pembentukan thrombus di dalam arteri koroner
yang sifatnya dinamis (PERKI, 2015).

3
2.1.2 Anatomi dan fisiologi
Arteri koroner berfungsi memberikan aliran darah yang kaya
oksigen dan nutrisi kepada miokardium. Arteri koroner terletak di aorta,
tepatnya di sinus valsava yang kemudian bercabang menjadi dua bagian,
yaitu Left Main Coronary Artery (LMCA) dan Right Coronary Artery
(RCA). Left Main Coronary Artery terbagi menjadi dua, yaitu Left Anterior
Desendens (LAD) dan Left Circumflex (LCx). Arteri ini melingkari jantung
dalam dua lekuk anatomis eksterna, yaitu sulkus atrioventriokular yang
melingkari jantung diantara atrium dan ventrikel, sedangkan sulkus
interventrikular yang memisahkan kedua ventrikel. Pertemuan kedua
lekuk ini dinamakan kruks jantung yang merupakan salah satu bagian
terpenting dari jantung.
LAD memperdarahi bagian depan kiri dan turun ke bagian bawah
permukaan jantung melalui sulkus interventrikular sebelah depan,
kemudian melintasi apeks jantung, berbalik arah dan terus mengarah ke
atas sepanjang permukaan bawah dari sulkus interventrikular. Daerah yang
diperdarahinya adalah ventrikuler kiri dan kanan, serta bagian
interventrikuler septum. LCx akan berjalan ke sisi kiri jantung di sulkus
atrioventrikuler yang akan memperdarahi atrium kiri dan dinding samping
serta bawah ventrikel kiri, 45% memperdarahi SA Node, dan 10%
memperdarahi AV Node. RCA akan memperdarahi jantung bagian kanan
(atrium kanan, ventrikel kanan, dan dinding sebelah dalam ventrikel kiri).
RCA memperdarahi SA Node sebanyak 55% dan AV Node 90%.
Hanya terdapat sedikit anastomosis di antara koronaria utama,
karena itu jika terjadi sumbatan pada arteri koronaria atau salah satu
cabangnya akan menghilangkan aliran darah pada bagian otor jantung
yang akan mendapatkan suplai dari pembuluh darah tersebut.
Hasil metabolisme akan ditampung oleh venula kemudian dialirkan
ke vena-vena jantung (seperti vena tebesian, vena cardiaca anterior), lalu
ke pembuluh darah yang lebih besar (sinus koronarius) yang akan
mengalirkan darah ke atrium kanan melalui ostium sinus koronarius yang
bermuara di atrium kanan (Aaronson & Ward, 2008).

4
2.1.3 Etiologi
a. Faktor penyebab
 Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor :
- Faktor pembuluh darah :
# Aterosklerosis.
# Spasme
# Arteritis
- Faktor sirkulasi :
# Hipotensi
# Stenosis aorta
# Insufisiensi
- Faktor darah :
# Anemia
# Hipoksemia
# Polisitemia
 Curah jantung yang meningkat :
- Aktifitas berlebihan
- Emosi
- Makan terlalu banyak
- hypertiroidisme
 Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada :
- Kerusakan miocard
- Hypertropi miocard
- Hypertensi diastolic
b. Faktor predisposisi :
 faktor resiko biologis yang tidak dapat diubah :
- Usia > 40 tahun
- Jenis kelamin : insiden pada pria, sedangkan pada wanita
meningkat setelah menopause
- Hereditas
- Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam.
c. Faktor resiko yang dapat diubah :
 Mayor :
- Hiperlipidemia

5
- Hipertensi
- Merokok
- Diabetes
- Obesitas
- Diet tinggi lemak jenuh, kalori
 Minor:
- Inaktifitas fisik
-Pola kepribadian tipe A (emosional, agresif, ambisius, kompetitif).
- Stress psikologis berlebihan.

2.1.4 Patogenesis
Pathogenesis dari aterosklerosis dimulai dengan lesi atherosklerosis
yang timbul, berikut fase – fase perubahan dinding pembuluh darah
koroner, yaitu:
1) Fase dinding normal
2) Fase lapisan lemak yang banyak serta anatomis arteri koroner yang
mempunyai bentuk lekukan mendukung terjadinya tempelan lemak
dalam jumlah kecil yang tampak bagaikan garis lemak (fatty streak)
dan terutamabeta lipoprotein yang mengandung banyak kolesterol
didalam tunika intima, pada fase ini sudah terjadi kerusakan dan
disfungsi endothelium yang menjadi keras dan kaku.
3) Fase pembentukan ateroma. Peningkatan dinding pembuluh darah
menyebabkan proliferasi sel intima dan akhirnya suatu penutup fibrous
plate terbentuk. Bagian tengah dari penutup lemak ini terdiri dari sel
intima nekrotik pada tunika intima dan tunika media dibagian dalam.
Sampai pada keadaan ini biasanya tidak timbul gejala keluhan atau
gejala. Tingkat aterosklerosis yang lebih berkembang ditandai dengan
benjolan fibrosa berkapur. Deposit kapur dapat ruptur dan
meningkatkan resiko spasmus, membentuk thrombus, dan emboli. Ini
adalah jenis lesi aterosklerosis yang menimbulkan gejala sindrom
koroner akut (SKA). Lumen arteri menjadi begitu sempit, sehingga
timbul ketidakseimbangan suplai oksigen untuk miokardium
dibandingkan dengan kebutuhan. Manifestasi iskemik miokardium

6
biasanya tidak akan terjadi sampai arteri 75% tersumbat. Hal itu bisa
berakibat angina pektoris, infark miokardium dan kematian mendadak

Gambar 2.1.3 Patogenesis Terjadinya Aterosklerosis

Gambar 2.1.3 Patogenesis terjadinya Trombus

Faktor penyebab utama ACS adalah kurangnya aliran darah ke


miokard yang sering disebabkan karena terjadi aterosklerosis. Ateroskeloris
ditandai dengan adanya akumulasi bahan lemak atau lipid dan jaringan
fibrosa di dinding arteri. Pertambahan aterosklerosis membuat lumen
pembuluh darah menyempit dan aliran darah terhambat ke miokardium.
Dinding pembuluh darah akan kehilangan elastisitasnya dan menjadi kurang
responsive terhadap perubahan volume dan tekanan.
Dengan demikian, aterosklerosis merupakan masalah degenerative
progresif pada arteri yang menyebabkan oklusi (sumbatan bertahap pembuluh
tersebut, mengurangi aliran darah yang melaluinya. Tingkat aterosklerosis

7
yang lebih berkembang ditandai dengan benjolan fibrosa berkapur. Deposit
kapur dapat rupture dan dapat meningkatkan kondisi spasmus, membentuk
thrombus, dan emboli. Hal ini dapat menyebabkan penyakit arteri koroner
(Coronary Artery Disease / CAD) (Sherwood, 2012)
PATOFLOWDIAGRAM
DM » Glukosa
Dislipidemia
Hipertensi Rokok
Usia
Pe viskositas darah
Penumpukkan
Pe Blood Pressure Radikal Bebas Resiko Ateroma lemak di PD
Elastisitas PD
SVR

Remodeling Aterosklerosis

Aterosklerosis

Rupture/ laserasi Plaque

Spasme Vasokonstriksi PD Faktor pembekuan Agregasi


Trombosit

Trombus

Suplai & Demand


O2 tdk seimbang

O2 & Nutrisi me Hipoksia miokard

Metabolisme anaerob Iskemik

ATP Pelepasan enzim Jantung

Gg. Permeabilitas membrane sel Trop T CKMB

Gg. Sistem Konduksi

Perubahan ST Segmen

ST Elevasi/Depresi

ACS
(Acute Coronary Syndrome)
8
2.1.5 Manifestasi Klinis
a. Nyeri
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa
nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina
ekuivalen) (PERKI,2015). Persepsi pasien tentang nyeri dada
yang dialaminya ini harus dikaji dengan PQRST, yaitu :
P (provocative / paliatif) : nyeri dada yang timbulnya
mendadak (saat istirahat ataupun aktifitas), tidak hilang dengan
istirahat atau nitrogliserin.
Q (quality / kualitas) : menyempit, berat, menetap,
tertekan.
R (radioation / penyebaran) : tipikal pada dada anterior,
substernal, prekordial, dapat menyebar ke tangan, rahang dan
wajah. Tidak tertentu lokasinya, seperti epigastrium, siku,
rahang, abdomen, punggung dan leher.
S (severity / skala) : skala 1 hingga 10 atau dapat diukur
dengan Verbal Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scale
(VAS), Numerical Rating Scale(NRS), dan Wong-Baker Faces
Pain Scale)
T (time / waktu) : lamanya kurang dari 20 menit untuk
iskemia, pada infark miokard, nyeri timbul terus menerus,
tiadak hilang dengan obat dan istirahat, dan lamanya lebih dari
20 menit.
b. Pada pasien ACS dapat ditemukan juga sesak napas,
diaphoresis, mual dan nyeri epigastrium
c. Perubahan tanda-tanda vital seperti takikardi, takipneu,
hipertensi/hipotensi dan penurunan saturasi O2 atau kelainan
irama jantung

9
2.1.6 Klasifikasi
Klasifikasi ACS berdasarkan keluhan angina tipikal,
gambaran elektrokardiogram (EKG), dan hasil marka/enzim
jantung, yaitu :
1) Unstable Angina Pectoris (UAP)
Nyeri dada yang timbul pada saat istirahat selama lebih dari 20
menit. Ada peningkatan dalam frekuensi sakitnya atau ada gejala
perburukan dan disertai perubahan EKG (gelombang T terbalik
≥0,2mV dan atau depresi segmen ST >0,5mV) dan enzim jantung
normal.
Angina pektoris tak stabil adalah angina pektoris (atau jenis
ekuivalen ketidaknyamanan iskemik) dengan sekurang-kurangnya
satu dari tiga hal berikut ;
a) Timbul saat istirahat (atau dengan aktivitas minimal) biasanya
berakhir setelah lebih dari 20 menit (jika tidak diberikan
nitrogliserin).
b) Lebih berat dan digambarkan sebagai nyeri yang nyata dan
merupakan onset baru (dalam 1 bulan).
c) Timbul dengan pola crescendo (bertambah berat, bertambah
lama, atau lebih sering dari sebelumnya). Pasien dengan
ketidaknyamanan iskemik dapat datang dengan atau tanpa elevasi
segmen ST pada EKG (Yusnidar, 2007).

Tabel 2.1 Canadian Cardiovascular Society pada Unstable Angina


Kelas Aktivitas pencetus angina Keterbatasan
aktivitas normal
I Aktivitas yang memanjang Tidak ada
II Berjalan lebih dari 2 blok (160 Sedikit
meter)
III Berjalan lebih dari sama dengan Sedang
Kelas Aktivitas pencetus angina Keterbatasan
aktivitas normal
IV Minimal atau istirahat Berat

10
2) Non ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI)
Riwayat nyeri dada yang khas selama lebih dari 20 menit, nyeri
tidak hilang dengan nitrat, ada atau tidak disertai dengan perubahan
segmen ST pada EKG, ditandai dengan deviasi ST segmen depresi >
0,5mm, dapat disertai dengan gelombang T inverse dan peningkatan
CKMB > 25 μ/l, Troponin T positif > 0,03. Peningkatan troponin I/T akan
terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam, sedangkan CKMB akan meningkat
dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan
menetap sampai 2 hari.
NSTEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST
yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak, erosi
dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen. Pada non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya
tidak menyebabkan oklusi menyeluruh pada lumen arteri koroner.
NSTEMI memiliki gambaran klinis dan patofisiologi yang mirip dengan
angina tidak stabil, sehingga penatalaksanaankeduanya tidak berbeda.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis
angina tidak stabil menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa
peningkatan biomarker jantung (Garco, 2012).
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi
koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi
koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur
plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti
lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis
dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung
ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam
lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat di jumpai sel
makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya proses inflamasi. Sel-
sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α, dan IL – 6.
Selanjutnya IL – 6 kan merangsang pengeluaran hsCRP di hati
(Sjaharuddin, 2006).

11
3) ST Elevasi Miokard Infark (STEMI)
Riwayat nyeri dada yang khas selama lebih dari 20 menit, disertai
dengan perubahan EKG berupa elevasi ST segmen, deviasi ST segmen
elevasi > 1 mm di ekstrimitas dan > 2 mm di precordial, lead yang
bersebelahan serta peningkatan CKMB lebih dari 25μ/l, Troponin T positif
> 0,03. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya (Garco, 2012).
Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injuri vaskular, dimana injuri ini di cetusan oleh faktor –
faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar
kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau
ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan
oklusi arteri koroner.
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung
mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya
lipid (lipid richcore). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari
fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi
ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin, serotonin) memicu
aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit
memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah
mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi
terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)
sepert faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya
adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda
secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi
protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen

12
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi
yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner,
abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi
sistemik (Alwi, 2006).
Pemeriksaan penunjang melalui pemeriksaan laboratorium harus
dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak
boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda
kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan
cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial.
cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CKMB. Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada
pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada
pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas
atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung ;
 CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB.
 cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-
24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan
cTn I setelah 5-10 hari.
 Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine
kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH)
 Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/ul.
 Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu
10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam
menentukan keputusan terapi reperfusi (Farissa, 2006).

13
Tabel 2.2 Klasifikasi Universal ACS (Scottish Intercollegiate
Guidelines Network, 2016)
Tipe Keterangan Tipe Keterangan
Tipe 1: Infark miokard tipe ini berhubungan dengan
Infark miokard spontan. ruptur plak aterosklerotik, ulserasi, robekan, erosi
atau diseksi yang mengakibatkan trombus
intraluminal pada satu atau lebih arteri koroner
yang menjadikan penurunan aliran darah miokard
atau emboli platelet pada area distal yang
berakibat nekrosis miokard. Pasien barangkali
mengidap penyakit arteri koroner berat atau
bahkan tidak menderita penyakit arteri koroner.
Tipe 2: Injuri miokard dengan nekrosis dimana
Infark miokard sekunder kondisinya berkontribusi pada kejadian
karena ketidakseimbangan ketidakseimbangan suplai dan/atau kebutuhan
oksigen seperti disfungsi endotel koroner, spasme
arteri koroner, emboli koroner, takiaritmia,

Tabel 2.3. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG (Perki, 2018)

Sadapan dengan Lokasi Iskemia atau Infark


Deviasi Segmen ST

V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Stratifikasi Risiko
Penilaian stratifikasi risiko bertujuan untuk memprediksi kejadian
jantung akibat trombosis pada jangka pendek dan panjang juga memandu
dalam menentukan strategi tatalaksana terbaik (invasif atau konsertvatif)
untuk setiap pasien
1) Killip score

14
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi
risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi
infark miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat
mortalitas dalam 30 hari (Tabel 2.4). Klasifikasi Killip juga digunakan
sebagai salah satu variabel dalam klasifikasi GRACE.

Tabel 2.4. Mortalitas 30 hari berdasarkan Killip


Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tidak terdapat gagal jantung (tidak 6
terdapat ronkhi maupun S3)
II Terdapat gagal jantung ditandai dengan 17
S3 dan ronkhi basah pada setengah
lapangan paru.
III Terdapat edema paru ditandai oleh 30-40
ronkhi basah diseluruh lapangan paru.
Kelas Definisi Mortalitas (%)

IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh 60-80


tekanan darah sistolik < 90 mmHg dan
tanda hipoperfusi jaringan.

2) Thrombolysis In Myocardial Infarction (TIMI)score.


Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi kematian 30 hari
dan 1 tahun pada berbagai spektrum ACS termasuk UAP/NSTEMI
(PERKI, 2015).
Tabel 2.5. TIMI Risk Score untuk UAP dan NSTEMI (PERKI,2015)
Variable Skor
Usia ≥ 65 tahun 1
≥ 3 faktor resiko PJK (hipertensi, riwayat PJK 1
dalam keluarga, hiperkolesterolemia, diabetes,
perokok aktif).
Pemakai aspirin dalam 7 hari terakhir. 1
≥ 2 episode angina dalam 24 jam terakhir. 1
Peningkatan enzim jantung (CK-MB atau 1
troponin)

15
Deviasi segmen ST ≥ 0.5 mm, yaitu depresi 1
segmen ST ≥ 0.5 mm atau elevasi ST ≥ 0.5
mm yang transien (< 20 menit).
Diketahui menderita PJK 1

Tabel 2.6. Stratifikasi risiko berdasarkan TIMI skor UAP/NSTEMI


Skor TIMI Risiko Kejadian Kedua
0-2 Rendah < 8.3%
3-4 Menengah < 19.9%
5-7 Tinggi ≤ 41%

Tabel 2.7. TIMI Score untuk STEMI (PERKI, 2015)


Variabel Skor
Usia ≥ 75 tahun 3
Usia 65-74 tahun 2
Berat badan < 67 Kg 1
Diabetes, hipertensi, angina 1
Tekanan darah < 100 mmHg 3
Nadi > 100x/menit 2
Kelas Killip II-IV 2
STEMI Anterior atau LBBB komplit 1
Waktu ke tindakan > 4 jam 1

3) Global Registry of Acute Coronary Event (GRACE) Score


Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat
perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah
sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit.
Tabel 2.8 GRACE Skor
Predictor Skor
Usia dalam tahun
<40 0
40-49 18
50-59 36
60-69 55

16
70-79 73
80 91
Laju denyut jantung (kali per menit)
<70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
Predictor Skor
150-199 36
>200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)
<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Kreatinin (μmol/L)
0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
>354 31
Gagal jantung berdasarkan klasifikasi
killip
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba di RS 43
Peningkatan marka jantung 15

17
Deviasi segmen ST 30

Tabel 2.9. Prediksi kematian berdasarkan GRACE skor


Kategori risiko Skor resiko GRACE Kematian di rumah
(tertile) sakit (%)
Rendah ≤108 <1
Menengah 109-140 1-3
Tinggi > 140 >3
Kategori risiko Skor resiko Pasca-discharge
(tertile) GRACE sampai kematian 6
bulan (%)
Rendah ≤88 <3
Menengah 89-118 3-8
Tinggi > 118 >8

Tabel 2.10 Kategori Resume GRACE 2.0


Rendah (hijau)% Medium Tinggi
(amber)% (merah)%
1 tahun <4 4-12 > 12
kematian
1 tahun <10 10-22 > 22
kematian
/ MI
3 tahun <12 12-30 > 30
kematian

18
4) Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress
Adverse outcomes with Early implementation of the ACC/ AHA
guidelines (CRUSADE).
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI,
sehingga segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan
sebisa mungkin. Variabel-variabel yang dapat memperkirakan tingkat
risiko perdarahan mayor selama perawatan dirangkum dalam CRUSADE
bleeding risk score. Skor CRUSADE yang tinggi dikaitkan dengan
kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.
Tabel 2.11. Skor risiko perdarahan CRUSADE
Predictor Skor
Hematokrit awal (%)
<31 9
31-33,9 7
34-36,9 3
37-39,9 2
≥40 0
Klirens kreatinin (ml/menit)
≤15 39
>15-30 35
>30-60 28
>60-90 17
>90-120 7
>120 0

Laju denyut jantung (kali per menit)


≤70 0
71-80 1
81-90 3
91-100 6
101-110 8
Predictor Skor
111-120 10
≥121 11

19
Jenis kelamin
Pria 0
Wanita 8
Tanda gagal jantung saat datang
Tidak 0
Ya 7
Riwayat penyakit vascular sebelumnya
Tidak 0
Ya 6
Diabetes
Tidak 0
Ya 6
Tekanan darah sistolik (mmHg)
≤90 10
91-100 8
101-120 5
121-180 1
181-200 3
≥200 5

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik


a. EKG
 STEMI : Perubahan pada pasien dengan Infark Miokard
Akut,meliputi : hiperakut T, elevasi segmen ST yang diikuti
dengan terbentuknya Q pathologis, terbentuknya bundle branch
block/ yang dianggap baru. Perubahan EKG berupa elevasi
segment ST ≥ 1 mm pada 2 sadapan yang berdekatan pada limb
lead dan atau segment elevasi ≥ 2 mm pada 2 sadapan chest lead.
 NSTEMI : Perubahan EKG berupa depresi segment ST ≥ 1 mm pada 2
sadapan yang berdekatan pada limb lead dan atau segment depresi ≥ 2
mm pada 2 sadapan chest lead.
b. Enzim Jantung, yaitu :
 CKMB :  dapat dideteksi 4-6 jam pasca infark, mencapai
puncaknya pada 24 jam pertama, kembali normal setelah 2-3 hari.

20
 Troponin T : spesifik untuk kerusakan otot jantung, dapat dideteksi
4-8 jam pasca infark
 LDH : dapat dideteksi 24-48 jam pasca infark, mencapai
puncaknya setelah 3-6 hari, normal setelah mencapai 8-14 hari.
c. Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas,
misalnya hipokalemi, hiperkalemi.
d. Sel darah putih
 Leukosit ( 10.000 – 20.000 ) biasanya tampak pada hari ke-2
setelah
 IMA berhubungan dengan proses inflamasi.
e. Kecepatan sedimentasi
Meningkat pada hari ke-2 dan ke-3 setelah IMA , menunjukkan inflamasi.
f. AGD
Dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
g. Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosklerosis sebagai penyebab IMA.
h. Rontgen Dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau
aneurisma ventrikuler
i. Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding
ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
j. Pemeriksaan pencitraan nuklir
 Talium : mengevaluasi aliran darah miokard dan status sel miokard
misal lokasi atau luasnya AMI.
 Technetium : terkumpul dalam sel iskemi di sekitar area nekrotik
k. Pencitraan darah jantung (MUGA)Mengevaluasi penampilan ventrikel
khusus dan umum, gerakan dinding regional dan fraksi ejeksi (aliran
darah).
l. Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya
dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan mengkaji

21
fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pad
fase AMI kecuali mendekati bedah jantung angioplasty atau emergensi.
m. Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau katup
ventrikel, lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan
bekuan darah.
n. Tes stress olah raga
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau sering dilakukan
sehubungan dengan pencitraan talium pada fase penyembuhan.

2.1.8 Penatalaksanaan
Berdasarkan Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut oleh
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015),
penanganan awal/gawat darurat pada pasien dengan keluhan angina,
sebelum didapatkan hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung, yaitu
MONA (Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin).
Pedoman American College of Cardiology/American Heart
Associaotion (ACC/AHA) merekomendasikan pemberian suplemen
oksigen hanya untuk situasi SpO2 yang kurang dari 90%. Mungkin ini
salah satu strategi yang masuk akal, namun banyak dokter gawat darurat
yang merasa tidak nyaman dengan standar SpO2 yang terlalu rendah.
Pemberian oksigen yang ekstensif dalam waktu singkat dalam terapi ACS
pada pasien yang saturasi oksigennya dibawah normal dilaporkan sangat
efektif dan kurang efek sampingnya. Khasiat analgesia oksigen dalam
mengurangi nyeri angina kemungkinan besar berkaitan dengan efek
plasebo. Secara naluriah, kelompok pasien ACS yang mengalami nyeri
refrakter dan butuh tindakan trhombolisis atau katerisasi jantung
merupakan indikasi untuk melakukan pemberian oksigen yang singkat.
Menurut ACC/AHA, penggunaan oksigen sebaiknya di erikan pada pasien
ACS yang mengalami infark miokardial elevasi gelombang ST segmen.
Setelah itu, berikan aspirin 160-320 mg segera pada semua pasien
yang tidak diketahui toleransinya terhadap aspirin. Pasien juga diberi
penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate) dosis awal clopidogrel

22
adalah 300 mg dilanjutkan dengandosis maintenance 75 mg/hari, pada
pasien yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik.
Selain itu, nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual juga
diberikan sesaat setelah serangan nyeri muncul jika setelah pemberian
pertama nyeri tidak berkurang, maka dapat diulang setiap lima menit
selama maksimal tiga kali pemberian. Pertimbangan pemberian
nitrogliserin melalui intravena juga dapat dipertimbangkan, jika pasien
tidak responsive terhadap pemberian NTG sublingual sebanyak tiga kali.
Opioid sudah menjadi salah satu komponen utama dalam
penanganan ACS. Karena memiliki efek venodilator pulmoner dan anti-
cemas, maka morfin telah menjadi terapi analgesik tradisional untuk nyeri
ACS. Bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG
sublingual. Morfin merupakan analgesik opioid pilihan untuk nyeri berat
walaupun sering mengakibatkna mual dan muntah. Morfin merupakan
standar yang digunakan sebagai pembanding bagi analgesik opioid lain.
Namun selain menghilangkan nyeri morfin juga menimbulkan keadaan
euforia dan gangguan mental. Kontraindikasi pemberian morfin adalah
hindari pada depresi napas akut, alkoholisme akut, dan bila terdapat ileus
paralitik; juga hindarkan pada peningkatan tekanan kranial atau cedera
kepala; hindari injeksi pada feokromositoma (ada risiko tekanan darah
naik sebagai akibat respon terhadap pelepasan histamin). Pada pasien
infark miokard dengan injeksi perlahanintravena (2 mg/menit); 10 mg
diikuti dengan 5-10 mg bila perlu (pionas.pom.go.id)
ACC/AHA merekomendasikan penggunaan petidine untuk pasien
yang alergi terhadap morfin, bila tidak ada kita juga bisa menggunakan
opioid lain yang sama efeknya. Fentanyl merupakan salah satu opioid
pilihan dalam mengatasi analgesia pada pasien-pasien yang mengalami
gangguan hemodinamika. Agen ini memiliki onset kerja yang cepat,
mudah ditittrasi serta sangat potensial digunakan pada pasien ACS yang
mengalami hipotensi.
Sedangkan petidin merupakan analgesik yang cepat tetapi bertahan
hanya untuk waktu yang singkat; kurang menimbulkan konstipasi
dibanding morfin; tetapi kurang kuat sebagai analgesik, bahkan dalam

23
dosis tinggi. Tidak cocok untuk nyeri hebat yang berkepanjangan.
Digunakan untuk analgesik dalam proses melahirkan. (pionas.pom.go.id)
Penatalaksanaan lanjutan pada pasien dengan ACS dapat dilakukan
antara lain:

a. Terapi Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama
untuk kondisi dimana PPCI tidak dapat dilakukan pada pasien STEMI
sesuai kondisi yang direkomendasikan. Meskipun PPCI lebih superior
dibanding dengan terapi trombolitik, banyak daerah PPCI tidak dapat
dilakukan (terutama dalam 3 jam pertama presentasi klinis). Oleh karena
itu di lingkup internasional, fibrinolisis merupakan terapi reperfusi yang
paling sering digunakan (Fox et al., 2009 dalam Caroline dan Adrianto,
2015).
Tujuan terapi fibrinolitik adalah untuk mendapatkan patensi awal,
memperluas area penyelamatan miokardium, mempertahankan fungsi
ventrikel kiri dan menurunkan mortalitas. Penurunan mortalitas dapat
dicapai secara dramatis jika terapi dicapai dalam jam pertama (golden first
hour). Diharapkan elevasi segmen ST dapat mengalami resolusi tanpa
pembentukan gelombang Q dan dengan reperfusi yang tepat, tidak ada
peningkatan biomarker nekrosis (aborted MI). Setelah terapi fibrinolisis,
jika didapatkan syok kardiogenik atau gagal jantung akut parah, walaupun
ada keterlambatan onset STEMI, maka ada indikasi untuk dilakukan
angiografi sesegera mungkin (immediately). Bila didapatkan bukti iskemia
berulang atau reoklusi setelah sukses dengan terapi fibrinolitik, maka ada
indikasi untuk dilakukan angiografi coroner segera (urgent) (O’Gara et al.,
2009 dalam Caroline dan Adrianto, 2015).
b. Streptokinase
Streptokinase merupakan agen trombolitik yang original, tidak bersifat
selektif fibrin, tidak ada efek langsung pada plasminogen namun
membentuk ikatan pada plasminogen menjadi enzim aktif yang mengubah
plasminogen menjadi plasmin. Waktu paruhnya 18-25 menit. Meskipun
agen trombolitik generasi kedua dan ketiga merupakan obat yang lebih
superior, namun streptokinase yang cenderung murah masih sangat luas

24
digunakan di seluruh dunia. Pemberiannya dengan cara infus 1,5 juta unit
streptokinase dalam 100 cc saline fisiologis selama 30-60 menit.
Sebaiknya dihindari pemberian lebih cepat dari 30 menit karena dapat
menyebabkan hipotensi. Efek sampingnya adalahperdarahan mayor dan
reaksi alergi. Kontraindikasi lain yang perlu dipertimbangkan adalah
infeksi Streptococcus baru, karena antibody antistreptococcal
menyebabkan resistensi terhadap streptokinase dan riwayat pemberian
streptokinase sebelumnya karena antibodi yang ada dapat mengurangi
efikasi dan peningkatan risiko alergi (titer antistreptokinase tetap berada
dalam tubuh kurang lebih selama 30 bulan (Fox et al., 2009; Gogo et al.,
2010 dalam Caroline dan Adrianto, 2015).
c. Alteplase
Alteplase merupakan Rt-PA (recombinant tissue plasminogen activator),
enzim alami yang terikat pada fibrin dengan afinitas lebih besar dibanding
streptokinase. Begitu terikat, alteplase mengubah plasminogen menjadi
plasmin pada permukaan fibrin, sehingga cenderung selektif. Karena
waktu paruh yang sangat singkat (hanya 5 menit) diperlukan terapi heparin
intravena untuk mencegah reoklusi.Berbeda dengan streptokinase,
alteplase tidak berhubungan dengan imunitas dan selain itu, karena
efeknya pada plasminogen, tidak menyebabkan hiperplasminemia
sehingga risiko perdarahan keseluruhan juga lebih sedikit. Berdasarkan
penelitian GUSTO, mortalitas pemberian tPA 14% lebih rendah
dibandingkan streptokinase. Total dosis yang dianjurkan adalah 100 mg
karena dosis yang lebih besar berhubungan dengan kejadian perdarahan
intraserebral. Cara pemberiannya sebagai berikut: dimulai dengan bolus
pertama 15 mg, kemudian 50 mg selama 30 menit dan 35 mg selama 1 jam
berikutnya. Dosis infus harus dikurangi pada pasien yang beratnya kurang
dari 68 kg. Heparin (UFH) 4000 unit dapat diberikan secara standar,
meskipun enoxaparin dapat diberikan 30 mg intravena bolus diikuti 1
mg/kgBB dua kali perhari sebagai alternatif lain UFH; (Fox et al., 2009;
Gogo et al., 2010 dalam Caroline dan Adrianto, 2015).

Tabel 2.7.1 Kontraindikasi pemberian terapi fibrinolitik (Caroline dan


Adrianto, 2015)

25
Absolut Relatif
Perdarahan intracranial atau TIA (transient ischemic attack) dalam
stroke waktu 6 bulan
sebelumnya yang tidak
diketahui sebelumnya
Stroke iskemia 6 bulan Terapi anti koagulan oral
sebelumnya
Kerusakan sistem saraf pusat Hamil atau 1 bulan post partum
Trauma mayor atau Hipertesi refrakter (TDS >180mmHg
pembedahan atau injuri kepala dan atau TDD>110mmHg)
Absolut Relatif
dalam waktu dekat (3 minggu)

Perdarahan saluran pencernaan Penyakit liver tahap lanjut


(dalam waktu1 bulan)
Kelainan darah (tidak termasuk Endokarditis infeksiosa
haid)
Diseksi aorta Peptic ulcer aktif
Riwayat pungsi non Resusitasi berkepanjangan atau akibat
compresible dalam waktu 24 trauma
jam (biopsi liver, pungsi
lumbal)

a. Percutanous Coronary Intervention (PCI)


PCI adalah prosedur intervensi non bedah dengan menggunakan
kateter untuk melebarkan atau membuka pembuluh koroner yang
menyempit dengan balon atau stent. Sebuah stent arteri koroner adalah
perangkat berbentuk kawat tabung jala kecil yang digunakan untuk
melebarkan arteri yang sempit atau lemah. Sebuahstent ditempatkan di
arteri coroner yang mensuplai darah ke jantung, untuk menjaga arteri
terbuka dalam pengobatan ACS.
Tindakan PCI diindikasikan pada STEMI akut onset < 12 jam
(disebut PCI primer), non STEMI akut highrisk (disebut early PCI),
penyakit jantung koroner (stenosis arteri coroner bermakna) dan

26
kontraindikasi pada pasien dengan perdarahan, stroke, anafilaktik,
thrombosis, efusi pericardium.
Ada beberapa jenis PCI yaitu:
 Primary PCI
Menurut panduan ESC, hanya rumah sakit yang memiliki kemampuan
memberikan pelayanan kardiologi intervensi selama 24 jam yang
sebaiknya melakukan PPCI sebagai terapi rutin (Steg et al., 2013
dalam Caroline dan Adrianto, 2015). Jika PPCI tidak dapat dilakukan
dalam waktu 120 menit oleh tim medis kontak pertama, fibrinolisis
sebaiknya dilakukan pre hospital (di ambulans misalnya) dan dalam
waktu 120 menit dari onset gejala. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa keuntungan merujukpasien STEMI dari RS yang tidak mampu
PCI ke RS yang mampumelakukan PCI. Menurut penelitian dan
pendataan yang telahdilakukan, PPCI (wire passage) harus dilakukan
dalam 90 menitsetelah kontak medis pertama untuk semua kasus. Pada
kondisipasien berada di rumah sakit yang mampu melakukan PCI,
targetnya adalah mencapai PPCI dalam waktu 60 menit. Meskipun
belum adapenelitian khusus yang menyebutkan waktu yang
ideal,keterlambatan maksimal 90 menit setelah kontak medis
pertamamasih dapat diterima (Steg et al., 201; O’Gara et al.,
2013;Windecker et al., 2014 dalam Caroline dan Adrianto, 2015).
 Rescue PCI
Dilakukan PCI setelah gagal dengan terapi fibrinolitik pada pasien
infark luas yang disertai hemodinamik tidak stabil atau dengan
aritmik, keluhan angina berkepanjangan/progresif, syok kardiogenik.
 Urgent PCI
PCI yang dilakukan secepatnya dimana ada indikasi hemodinamik
tidak stabil, aritmia maligna, angina dengan terapi, EF <40%, gagal
jantung, riwayat PCI, CABG dalam 6 bulan terakhir dilakukan pada 2-
24 jam.
 Early PCI
PCI yang dilakukan pada pasien dalam waktu 24 jam pertama sampai
72 jam dan sudah mendapatkan fibrinolitik terlebih dahulu. Biasanya
dilakukan pada pasien Non STEMI akut highrisk.

27
b. Coranary Artery Bypass Grafting (CABG)
CABG adalah teknik yang menggunakan pembuluh darah dari bagian
tubuh lain misalnya pembuluh di kaki, tangan atau pembuluh darah
yang memperdarahi mamari yang mmelewati tempat penyempitan
untuk memintas (melakukan bypass) arteri yang menghalangi
pemasokan darah ke jantung. Indikasi CABG, pasien yang
mendapatkan manfaat dari operasi cabg adalah mereka yang
menderita sumbatan arteeri, khususnya yang menyangkut ketiga arteri
koroner yang menyebabkan kerusakan otot jantung dan bagi pasien
yang mengalami penyempitan ulang setelah dilakukan PTCA
(Percutanous Transluminal Coronary Angioplasty). Sasaran operasi
bypass adalah mengurangi gejala penyakit artei koroner (termasuk
anggina) sehinggga pasien bisa menjalani kehidupan yang normal dan
menguragi resiko serangan jantung atau masalah jantung lain. Proses
CABG terdiri dari atas 2 proses operasi:
 Pembelahan tuilang sternum atau dada depan
 Pemasangan pembuluh pintas koroner/CABG yang dilakukan dengan
mesin pompa jantung paru yaitu:
o On pump : menggunakan mesin pompa jantung-paru sementara
denyut jantung diambil oleh mesin pompa jantung paru sehingga
peredaran darah ditubuh tetap terjaga dengan baik.
o Off pump : tidak menggunakan mesin pompa tetapi menggunakan
alat bantu untuk menstabilkan fungsi pompa jantung.
Faktor-faktor penyebab kegagalan CABG antara lain:
 Diabetes melitus
 Usia yang sudah tua
 Penurunan fraksi ejeksi
 Infeksi pasca operasi; COPD
 Tidak adanya revaskularisasi dari penyambungan arteri yang
dilakukan.

28
1.1.
2.2 Asuhan Keperawatan Acute Coronary Syndrome
1.
2.
2.1.
2.2.
2.2.1. Pengkajian Keperawatan
Berikut akan dijelaskan data-data yang harus dikumpulkan saat
melakukan pengkajian pada pasien dengan ACS atau acute coronary
syndrome.
1) Primer
a) Nyeri
Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak
berhubungan dengan aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau
nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan veseral).
Persepsi pasien tentang nyeri dada yang dialaminya ini harus dikaji dengan
PQRST, yaitu :
- P (provocative / paliatif) : nyeri dada yang timbulnya mendadak (saat
istirahat ataupun aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin.
- Q (quality / kualitas) : menyempit, berat, menetap, tertekan.
- R (radioation / penyebaran) : tipikal pada dada anterior, substernal,
prekordial, dapat menyebar ke tangan, rahang dan wajah. Tidak tertentu
lokasinya, seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung dan
leher.
- S (severity / skala) : skala 1 hingga 10 atau dapat diukur dengan Verbal
Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scale (VAS), Numerical Rating
Scale(NRS), dan Wong-Baker Faces Pain Scale)
- T (time / waktu) : lamanya kurang dari 20 menit untuk iskemia, pada
infark miokard, nyeri timbul terus menerus, tiadak hilang dengan obat dan
istirahat, dan lamanya lebih dari 20 menit.
b) Airways : sumbatan atau penumpukan secret, wheezing atau krekles.

29
c) Breathing: sesak dengan aktivitas ringan atau istirahat, RR lebih dari 24
kali/menit, irama ireguler dangkal, ronchi, krekles, ekspansi dada tidak
penuh, Penggunaan otot bantu nafas.
d) Circulation : nadi lemah, tidak teratur, takikardi, TD
meningkat/menurun, edema, gelisah, akral dingin, kulit pucat, sianosis,
output urine menurun, keringat dingin.

2) Sekunder
a) Aktifitas : kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, jadwal olahraga
tidak teratur, takikardi, dispnea pada istirahat atau aktifitas.
b) Sirkulasi : riwayat AMI sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah
tekanan darah, diabetes militus, tekanan darah dapat
normal/naik/turun, perubahan postural dicatat dari tidur
sampai duduk atau berdiri, nadi dapat normal, penuh atau
tidak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian
kapiler lambat, tidak teratus (disritmia),bunyi jantung ekstra
: S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal jantung atau
penurunan kontraktilitas atau complain ventrikel, Irama
jantung dapat teratur atau tidak teratur, Edema, distensi
vena juguler, edema dependen, perifer, edema umum,
krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel,
warna kulit pucat atau sianosis, kuku datar, pada membrane
mukosa atau bibir.
c) Pernafasan : Dispnea tanpa atau dengan kerja, dispnea nocturnal, batuk
dengan atau tanpa produksi sputum, riwayat merokok,
penyakit pernafasan kronis, peningkatan frekuensi
pernafasan, nafas sesak/ kuat, bunyi nafas (bersih, krekels,
mengi), sputum.
d) Eliminasi : normal, bunyi usus menurun, jumlah, warna dan
kandungan urine dan feses.
e) Nutrisi : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau terbakar,
penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah,
perrubahan berat badan

30
f) Hygiene : kesulitan melakukan tugas perawatan
g) Neurosensori : pusing berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk
atau istirahat)

2.2.2. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi merujuk referensi nanda dan
nic – noc antara lain :
1) Nyeri berhubungan dengan agent cidera iskhemia jaringan sekunder
terhadap sumbatan arteri koroner.
2) Resiko penurunan cardiac out put berhubungan dengan Gangguan
stroke volume (preload, afterload, kontraktilitas).
3 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan suplai oksigen.
4) Cemas berhubungan dengan nyeri stres dan perubahan status kesehatan.
5) Risiko perdarahan berhubungan dengan efek samping terapi

31
2.2.3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
NOC NIC
1 Nyeri berhubungan dengan agent cidera Setelah dilakukan asuhan Pain Management
iskhemia jaringan sekunder terhadap keperawatan selama 3x 24 janm 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
sumbatan arteri koroner nyeriklien berkurang, dengan komprehensif (PQRST).
kriteria : 2. Observasi reaksi non verbal dari
a)Mampu mengontrol nyeri (tahu ketidaknyamanan.
penyebab nyeri, mampu 3. Gunakan teknik komunikasi teraipetik
menggunakan teknik untuk mengetahui pengalaman nyeri
nonfarmakologi untuk klien.
mengurangi nyeri). 4. Monitoring vital sign atau
b)Melaporkan bahwa nyeri hemodinamik.
berkurang dengan menggunakan 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lalu.
managemen nyeri. 6. Kontrol lingkungan yang dapat
c) Menyatakan rasa nyaman setelah mempengaruhi nyeri seperti suhu
nyeri berkurang. ruangan, pencahayaan, kebisingan.
d) Tanda vital dalam rentang 7. Ajarkan tentang teknik pernafasan /
normal relaksasi, distraksi,dan imjinasi.

32
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
NOC NIC
8. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.
9. Anjurkan klien untuk beristirahat
10. Kolaborasi pemberian analgetik
untuk menguranggi nyeri.
11. Evaluasi efektifitas analgetik, tanda
dan gejala (efak samping).
12. Kolaborasi dengan dokter jika
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil.
2 Penurunan cardiac output b/d gangguan Setelah dilakukan asuhan Cardiac Care
stroke volume (preload, afterload, keperawatan selama 3x 24 jam 1. Catat adanya disritmia jantung.
kontraktilitas) klien tidak mengalami penurunan 2. Catat adanya tanda dan gejala
cardiac output, dengan kriteria : penurunan cardiac output.
a) Tanda vital dalam rentang 3. Monitor hemodinamik.
normal (TD, Nadi, RR). 4. Monitor status kardiovaskuler.
b) Dapat mentoleransi aktivitas, 5. Monitor status pernafasan yang
tidak ada kelelahan. menandakan gagal jantung.

33
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
NOC NIC

c) Tidak ada edema paru, perifer,


dan tidak ada asites.
d) Tidak ada penurunan kesadaran.
3 Intoleransi aktivitas berhubungan Setelah dilakukan asuhan Energy Management
dengan ketidakseimbangan antara keperawatan selama 3x 24 jam 1. Observasi adanya pembatasan klien
kebutuhan dan suplai oksigen klien tidak mengalami intoleransi dalam melakukan aktivitas.
aktivitas, dengan kriteria : 2. Dorong pasien untuk mengungkapkan
a) Berpartisipasi dalam aktivitas perasaan terhadap keterbatasan.
fisik tanpa disertai peningkatan 3. Kaji adanya factor yang
tekanan darah, Nadi, dan RR. menyebabkan
b) Mampu melakukan aktivitas 4. kelelahan.
sehari – hari secara mandiri. 5. Monitor nutrisi dan sumber energi
yang adekuat.
6. Monitor pasien akan adanya
kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan.

34
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
NOC NIC
7. Monitor respon kardiovaskuler
terhadap aktivitas.
8. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur / istirahat pasien.
Activity Therapy
1. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi
medik dalam merencanakan program
terapi yang tepat.
2. Bantu pasienuntuk mengidentivikasi
aktivitas yang mampu dilakukan.
3. Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan social.
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk aktivitas yang diinginkan.
N Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi

35
O NOC NIC
Cemas b/d perubahan status kesehatan  Anxiety control Anxiety Reduction
4  Coping 1. Gunakan pendekatan yang
Setelah dilakukan tindakan menenangkan
keperawatan selama 3x24 jam 2. Jelaskan semua prosedur dan apa
diharapkan klien dapat mengontol yang dirasakan selama prosedur
kecemasan dengan kriteria: 3. Temani klien untuk memberikan
 Klien mampu mengidentifikasi keamanan dan mengurangi takut
dan mengungkapkan gejala 4. Berikan informasi factual mengenai
cemas diagnosis, tindakan prognosis
 Mengidentifikasi, 5. Dorong keluarga untuk menemani
mengungkapkan dan klien
menunjukkan tehnik untuk 6. Lakukan back / neck rub
mengontol cemas 7. Dengarkan dengan penuh perhatian
 Vital sign dalam batas normal 8. Identifikasi tingkat kecemasan

 Postur tubuh, ekspresi wajah, 9. Bantu klien mengenal situasi yang


bahasa tubuh dan tingkat menimbulkan kecemasan
aktivitas menunjukkan 10. Dorong klien untuk mengungkapkan
Diagnosa Keperawatan Intervensi

36
N Tujuan dan Kriteria hasil NIC
O NOC perasaan, ketakutan, persepsi
berkurangnya kecemasan 11. Instruksikan klien menggunakan
 Melaporkan bahwa kecemasan teknik relaksasi
berkurang 12. Kolaborasi pemberian obat untuk
mengurangi kecemasan
5 Resiko perdarahan berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda-tanda perdarahan
efek samping obat keperawatan selama 8 jam pasien 2. Ajarkan pasien untuk melaporkan ke
tidak mengalami perdarahan perawat jika pasien mengalami nyeri ulu
dengan kriteria hasil : hati, perdarahan dari mulut maupun
a) Tidak ada perdarahan hidung, perdarahan saat BAK ataupun
b) Nilai ACT dalam batas normal BAB.
c) Hasil lab Hb/Ht dalam batas 3. Kolaborasi dengan dokter untuk
normal dilakukan cek Hb, Ht secara berkala
4. Cek ACT dan lapor dokter untuk
pengaturan dosis terapi.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat lambung untuk
N Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi

37
O NOC NIC

mencegah perdarahan lambung akibat


mengonsumsiobat platelet

38
2.2.4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir yang mana perawat
mendokumentasikan apa yang telah dilakukan oleh perawat terhadap pasien
sekaligus melihat kemampuan pasien untuk memahami asuhan keperawatan
yang telah diberi. Evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui keluhan atau
perasaan pasien setelah tindakan serta penentuan rencana tindakan
keperawatan selanjutnya. Doenges (2010) membagi kriteria evaluasi
keperawatan yang ingin dicapai dalam pemberian intervensi keperawatan
untuk setiap diagnosa, antara lain:
1) Nyeri berhubungan dengan agent cidera iskhemia jaringan sekunder
terhadap sumbatan arteri coroner, dengan kriteria hasil :
- Tingkat/level nyeri: pasien mengatakan bahwa nyeri berkurang, pasien
dapat mengendalikan nyeri dada, terutama saat sebelum diberikan terapi
medikasi. Kondisi klinis baik, tanda-tanda vital dalam batas normal,
pasien rileks, dan dapat bergerak dengan mudah.
- Kontrol/kendali nyeri: pasien dapat mendemonstrasikan /melakukan
teknik relaksasi napas dalam.
2) Resiko penurunan cardiac out put berhubungan dengan Gangguan stroke
volume (preload, afterload, kontraktilitas) , dengan kriteria hasil :
- Kondisi klinis dan data-data penunjang menunjukkan hemodinamik yang
stabil, seperti tekanan darah, cardiac output dalam rentang normal, urin
output adekuat, tidak ditemukan adanya disritmia.
- Pasien menyampaikan tidak adanya episode nyeri dada ataupun sesak
nafas.
- Pasien mampu meningkatkan toleransi terhadap aktivitas.
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan suplai oksigen, dengan kriteria hasil :
Toleransi aktivitas: pasien dapat menunjukkan peningkatan toleransi
terhadap aktivitas secara progresif, dengan denyut nadi yang teratur dan

39
dalam batas normal, gambaran EKG sinus rhytm, tekanan darah dalam
batas normal, akral hangat, kering, dan kulit tidak tampak pucat
4) Cemas berhubungan dengan nyeri stres dan perubahan status kesehatan,
dengan kriteria hasil :
Pasien dapat mengakui dan mengungkapkan perasaan yang dialami, pasien
mampun mengidentifikasi penyebab dan faktor-faktor yang menimbulkan
kecemasan, pasien mengungkapkan berkurangnya ansietas/kecemasan yang
dirasakan, pasien mampu mengidentifikasi dan menggunakan support
system yang dimiliki, pasien dapat menunjukkan cara untuk menyelesaikan
kecemasan yang dirasakan dengan cara yang positif.
5) Risiko perdarahan berhubungan dengan efek samping terapi, dengan
kriteria hasil :
- Koagulasi darah: PT/APTT dalam batas normal sesuai target terapi
1-1,5x nilai kontrol, tidak ditemukan adanya hematoma, ekimosisi,
petekia, purpura, hematuria, hemoptisis, hematemesis, dan perdarahan
gusi.
- Pasien memahami dan dapat menyebutkan tujuan terapi antikoagulan.
- Pasien mampu mengendalikan faktor risiko pemicu terjadinya
perdarahan, termasuk perilaku keselamatan diri, seperti pencegahan risiko
jatuh.

40
41

Anda mungkin juga menyukai