Disusun Oleh:
Nurul Shafarani
NIM 1708435975
Pembimbing :
dr. Hariadi, Sp.JP(K)-FIHA
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Arteri koroner kiri berasal dari sinus aorta posterior kiri dan terbagi menjadi arteri
anterior desenden kiri/ left anterior descendens (LAD) interventrikuler dan
sirkumfleks/ left circumflec (LCX). LAD turun di anterior dan inferior ke apeks
jantung. Mayoritas darah vena terdrainase melalui sinus koronarius ke atrium
kanan. Sinus koronarius bermuara ke sinus venosus sistemik pada atrium kanan,
secara morfologi berhubungan dengna atrium kiri, berjalan dalam celah
atrioventrikuler.1
2.2 SINDROM KORONER AKUT (SKA)
2.2.1 Definisi dan Klasifikasi
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan sekumpulan keluhan dan tanda
klinis akibat adanya iskemia dan/atau infark miokard akut yang biasanya terjadi
karena penurunan mandadak aliran darah koroner, yang terdiri dari angina
pectoris tidak stabil/ unstable angina pectoris (UAP), infark miokard akut dengan
elevasi segmen ST/ non ST-elevation myocard infarct (NSTEMI), dan infark
miokard akut dengan elevasi segmen ST/ ST-elevation myocard infarct (STEMI).2
Infark miokard akut merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner
akut yang didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang disebabkan oleh tidak
adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner. Sumbatan pada
arteri koroner menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen,
yang mana paling sering disebabkan oleh rupturnya plak dan pembentukan
trombus pada pembuluh darah koroner, sehingga terjadi penurunan suplai darah
ke miokardium.3,8
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG) dan pemeriksaan biomarka jantung, sindroma koroner
akut dibagi menjadi:3
1. Infark miokard akut dengan ST elevasi (STEMI)
2. Infark miokard akut dengan non ST Elevasi (NSTEMI), serta
3. Angina pectoris tidak stabil (UAP).
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai dengan elevasi segmen ST yang persisten di 2 sadapan yang bersebelahan.
Sedangkan diagnosis NSTEMI dan UAP ditegakkan jika terdapat keluhan angina
5
pectoris tetapi tidak ada elevasi segmen ST yang menetap pada 2 sadapan yang
bersebelahan.3
NSTEMI dan UAP dibedakan berdasarkan hasil pemeriksaan biomarka
jantung (high sensitivity troponin, troponin, atau CK-MB). NSTEMI ditegakkan
jika terjadi peningkatan bermakna pada hasil pemeriksaan biomarka jantung. Jika
tidk terjadi penaningkatan biomarka jantung yang bermakna makan diagnosisnya
UAP. 3
2.2.2 Epidemiologi
Sindrom koroner akut masih menjadi penyebab kematian terbesar di dunia.
World Health Organization (WHO) 2015 memperkirakan 17,5 juta orang yang
mewakili 31% dari semua kematian global, meninggal akibat penyakit
kardiovaskuler pada tahun 2012. Dari kematian ini, diperkirakan 7,4 juta
disebabkan oleh sindrom koroner akut.5
Data di Amerika Serikat pada tahun 2009 menunjukkan 683.000 pasien
diagnosis sebagai sindrom koroner akut, dengan 25%-40% merupakan STEMI
dan 30% pasien dengan STEMI diantaranya adalah wanita.3
2.2.3 Etiologi
Penyebab utama dari sindrom koroner akut adalah aterosklerosis. 90%
kasus infark miokard disebabkan akibat trombus yang menyumbat arteri koroner
sehingga mengakibatkan ruptur plak dan erosi yang diperkirakan menjadi pemicu
utama terjadinya trombosis koroner.4
6
2.2.4 Patofisiologi
Faktor resiko seperti seperti merokok, hipertensi, peningkatan gula darah
dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) mengakibatkan lapisan
endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini
akan menyebabkan sel endotel menghasilkan cell molecule adhesion seperti
sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor (TNF-α), kemokin (monocyte
chemoatractant factor-I) dan platelet derived growth factor. Sel inflamasi seperti
monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan bermigrasi dari
endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi menjadi makrofag
dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik. Makrofag ini
terus membentuk sel busa. LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel
endotel dan menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari
angiotensin II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek
protrombin dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan
endotel terjadi respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi
fibrofatty dan fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan
mengalami ruptur.8,9
Terjadinya ruptur plak menyebabkan aktivasi berbagai agonis seperti
kolagen, adenosin diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2
(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor
glikoprotein II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino
pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen. Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat
8
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi.8,9
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.
2.2.5 Diagnosis
Menurut European Society of Cardiology/ACCF/AHA/World Heart
Federation Task Force for The Universal of Myocardial Infraction ditegakkan
berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya ST
9
Anamnesis
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada tipikal
(angin atipikal) atau atipikal. Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,
bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten (beberapa
menit) atau persisten (>20 menit) dan biasanya sering disertai keluhan penyerta
seperti diaforesis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop.
Keluhan angina atipikal yang sering dijumpai adalah nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, gangguan pencernan (indigesti), sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
atipikal lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut
(>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia.
Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama
pada pasien dengan riwayat jantung koroner. Hilangnya keluhan angina setelah
pemberian terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%), infark miokard akut
tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI (acute myocard infarct) ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien
berusia lanjut.11
Pemeriksaan fisik
Tujuan penting dari pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah untuk
menyingkirkan penyebab nyeri dada non-kardiak dan gangguan jantung non-
iskemik (antara lain: emboli paru, diseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung
katup) atau penyebab ekstrakardiak yang potensial seperti penyakit paru akut
(seperti: pneuomotoraks, pneumonia, atau effusi pleura).
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi
10
nyeri dada substernal >20 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat
adanya STEMI.
Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi
Elektrokardiografi (EKG) memberi bantuan untuk diagnosis dan
prognosis. Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat
bermanfaat. EKG sebaiknya dilakukan dalam 10 menit saat kedatangan di
IGD.7,15
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI sebagai landasan
dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal
tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.7,15
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan
sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI tetapi
tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda
kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac
specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan
sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal
karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB.7
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST
dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan
nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis
jantung.6,13
1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
12
cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-
10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase
(CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miocard
adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam
setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/ul.7,13
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dari STEMI saat ini mengacu pada guideline dari
ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012. Tujuan penatalaksanaan IMA adalah
diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombolitik dan terapi
antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi.3,7
Tatalaksana awal
Penatalaksanaan pra rumah sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik
(pump failure).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.
Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai
STEMI antara lain: 7,13
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
Melakukan terapi perfusi
13
Tatalaksana umum
1. Tirah baring total dilakukan minimal 12 jam.7,16
2. Oksigen: suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.6,13
3. Nitrogliserin: Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit. 6,13
14
Tatalaksana STEMI
Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.4
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit.7,16
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark
miokard dan menurunkan angka kematian.9,17
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien.
Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi
risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus
15
b. Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door
to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam
obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.15
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala
kualitatif sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system:7
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal.
16
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh
pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan
laju mortalitas, selain itu waktu merupakan faktor yang menentukan dalam
reperfusi, fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita. Keuntungan ini lebih
nyata bila streptokinase diberikan dalam 6 jam pertama setelah timbulnya gejala,
dengan anjuran pemberian streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil
yang semaksimal mungkin.7
Indikasi terapi fibrinolitik menurut ACCF-AHA 2013:3
Kelas I :
1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada
pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV
pada minimal 2 sandapan prekordial atau 2 sandapan ekstremitas
2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
Kelas II a
1. Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan
konsisten dengan infark miokard posterior.
2. Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang
mengalami gejala iskemi yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada
sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau
minimal 2 sandapan ekstremitas.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.
Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska
CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
Obat Fibrinolitik:3,7
1. Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah. Dosis streptokinase adalah 1,5 juta unit dalam
100 cc NaCl 0,9% atau dextrose 5% diberikan secara infus selama 30-60
menit.
18
c. Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien
dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,
clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin
(UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-
inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.3
KOMPLIKASI
1. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada
apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.14
19
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari
infark) dan sesudahnya.
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau
tanpa hipotensi.
5. Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem
saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di
zona iskemi miokard.
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.
7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama.
8. Fibrilasi atrium
9. Aritmia supraventrikular
10. Asistol ventrikel
11. Bradiaritmia dan Blok
12. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventrikel.3,4,7
20
PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca infark
miokard akut:14
1. Klasifikasi Killip
2. Klasifikasi Forrester
Tabel 3. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut14
Kel Indeks PCWP Mortalit
as Kardiak *
as (%)
(L/min/ (mmH
m2) g)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51
*
PCWP (Pulmonary capilary wedge pressure)
Gagal jantung atau heart failure adalah suatu sindroma klinis kompleks
yang merupakan akibat dari kerusakan struktural atau fungsional dalam pengisian
21
ventrikel atau ejeksi darah. Manifestasi kardinal dari gagal jantung adalah sesak
napas, kelelahan, dan retensi cairan yang dapat menyebabkan gagal ginjal, edema
paru, dan/atau edema perifer.12,13 Gagal jantung saat ini menjadi pandemik global
karena telah diderita oleh sekitar 26 juta jiwa di seluruh dunia. Sekitar 5,7 juta
penduduk Amerika mengalami gagal jantung, dan diprediksi akan terjadi
peningkatan prevalensi sebesar 46% pada tahun 2030. Gagal jantung juga menjadi
salah satu masalh kesehatan utama di Asia dengan prevalensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan negara barat.14 Walaupun angka harapan hidup pasien yang
mengalami gagal jantung mengalami peningkatan, namun angka mortalitas
absolut setelah 5 tahun terdiagnosis masih sekitar 50%.12
Gagal jantung merupakan komplikasi tersering dari segala penyakit
jantung kongenital dan didapat.Gagal jantung dapat disertai dengan adanya
komorbiditas berupa angina.Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal
jantung mencakup keadaan yang meningkatkan preload, afterload, atau
menurunkan kontraktilitas miokardium.15
Stenosis mitral merupakan salah satu penyebab terjadinya volume overload
yang dapat mengakibatkan menurunnya kontraktilitas miokardium yang mana hal
ini merupakan salah satu etiologi gagal jantung. Sebagian besar stenosis mitral
disebakan oleh penyakit jantung rematik. Sekitar 60% pasien dengan stenosis
mitral berat yang tidak ditangani akan berkembang menjadi kongesti pulmonal
atau sistemik. Jika ini terjadi, pasien yang mengalami hal tersebut memiliki
harapan hidup kurang dari 3 tahun.16
22
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. LS
Tanggal lahir / umur : 16-6-1957/ 63 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
No. MR : 031343
Alamat : Teluk Sasah
Agama : Islam
Suku : Minang
Tanggal masuk RSUD EHD : 29-8-2020
Tanggal keluar : 29-8-2020
Status keluar : Dirujuk
ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri dada bagian tengah memberat sejak 3 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mulai mengeluhkan nyeri dada sebelah kiri sejak 3 hari SMRS,
memberat 3 jam SMRS. Nyeri dada dirasakan seperti tertimpa beban berat
menembus sampai punggung, disertai dengan keringat dingin. Nyeri tidak
berkurang walaupun sudah dibawa beristirahat.
Pasien juga merasa sesak saat nyeri berlangsung, tidak dipengaruhi dengan
posisi. Mual (+), muntah 1x saat nyeri berlangsung.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat hipertensi tidak terkontrol selama 5 tahun.
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak diketahui.
- Riwayat asma (-).
- Riwayat TB (-).
- Riwayat diabetes mellitus (-).
- Riwayat penyakit ginjal (-).
23
EKG (29-8-2020) :
Hasil:
- Identitas sesuai
- Foto AP.
- Marker R.
- Kekerasan cukup.
- Foto simetris.
- Trakea tidak bergeser.
- Diafragma kanan berbentuk
kubah, diafragma kiri sulit
dinilai.
- Sudut costofrenikus kanan dan
kiri lancip.
- CTR 65%, jantung tampak
membesar ke arah kiri.
- Corakan bronkovaskuler
meningkat.
Gambar 3.2 Foto Thoraks Kesan: kardiomegali
Kesimpulan:
Tn. JE 38 tahun datang ke IGD RSUD Arifin Achmad dengan keluhan
sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak nafas sudah dirasakan sejak
6 bulan SMRS terutama pada saat pasien sedang beraktivitas berat (dyspnea on
effort). Ortopnea (+), paroksismal nokturnal dispnea (+), nyeri dada menjalar
sampai ke punggung dan lengan (+), terkadang hemoptoe (+), riwayat sembab
pada tungkai (+). Pasien sudah pernah berobat dikatakan memiliki penyakit
jantung, namun pasien tidak rutin kontrol.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik tekanan darah 130/90, frekuensi nadi
108 kali/menit, nafas 30 kali/menit suhu 36,7 0C. Selanjutnya ditemukan adanya
peningkatan JVP, refles hepatojugular (+), kardiomegali, murmur di daerah apeks
dan linea parasternalis sinistra SIK III, asites, hepatomegali, pitting edema
pretibial. Pemeriksaan penunjang diperoleh hasil, yakni darah rutin dalam batas
normal, peningkatan LDL, dan asam urat. Hasil EKG menunjukkan ada left
27
atrium enlargement dan incomplete right bundle branch block. Hasil foto thorax
menunjukkan kardiomegali dan ekokardigrafi menunjukkan adanya stenosis
mitral berat, regurgitasi aorta ringan, regurgitasi mitral moderat, regurgitasi
trikuspid berat, hypertension heart disease, fungsi sistolik baik.
Diagnosis : Gagal jantung kongestif ec mitral stenosis berat, left
atrium enlargement, NYHA III-IV, hiperurisemia
TERAPI
Non-medikamentosa :
- Posisi semifowler
- O2 nasal kanul 3-4 L/menit
- Restriksi cairan
- Pemasangan IV plug
Medikamentosa:
- Inj.IV furosemid 80 mg (terapi di IGD)
- ISDN tab 2x5 mg PO
- Alprazolam 1x0,5 mg PO
- Lansoprazol 1x30 mg PO
Prognosis :
Quo ad vitam : Dubia
Quo ad functionam : Dubia
Follow up
Tabel 3.1 Follow up
Terapi &
Hari/ Assessm
Subjektif Objektif Rencana
Tanggal ent
Tindakan
Senin, Sesak nafas Kesadaran : Gagal Non-
8-10- berkurang. Composmentis jantung medikamentos
2018 Saat makan, TD : 130/90 mmHg kongestif a:
mandi, dan Laju nadi : 88x/menit ec mitral - Posisi
berjalan Laju napas : 24x/menit stenosis semifowler
dengan Suhu : 36,7 0C berat, left - O2 nasal
jarak dekat JVP 5+1 cm atrium kanul 3-4
28
Terapi &
Hari/ Assessm
Subjektif Objektif Rencana
Tanggal ent
Tindakan
tidak sesak, Thoraks : enlargem L/menit
Demam (-) Aus: BJ I & II reguller, ent, - Restriksi
Mual (-) murmur (+), gallop (-). NYHA cairan
Muntah (-) Suara paru vesikuler II-III, - Pemasanga
(+/+), wheezing (-/-), hiperuris n IV plug
ronkhi (-/-) emia Medikamentos
Abdomen : a:
Ins: Datar, - ISDN tab
Aus: bising usus (+) 2x5 mg PO
10x/menit - Alprazolam
Per: Timpani, shifting 1x0,5 mg
dullnes (+) PO
Pal: Supel, - Lansopraz
hepatomegali (+) ol 1x30
Ekstremitas : mg PO
Akral hangat, capillary
refill time (CRT)
kurang dari 2 detik,
pitting edema pretibial
(+)
EKG:
- Irama sinus
- Frekuensi
75x/menit, reguler
- Aksis: normal axis
- Gelombang P di
lead II melebar: 4
mm (0,16 s) dan
terdapat notched,
29
Terapi &
Hari/ Assessm
Subjektif Objektif Rencana
Tanggal ent
Tindakan
di lead V1
menunjukkan
adanya defleksi
negatif sebesar 2
mV (>1 mV) ->
left atrial
enlargment
- PR interval 5 mm
(normal)
- Kompleks QRS di
V1, V2, V3
melebar: 3 mm
(0,12 s), terdapat
notched di V3,
gelombang S di V6
dalam, ST depresi
di V1 dan V2, T
inverted di V1 dan
V2 -> right bundle
branch block
(RBBB)
- Q patologis (-),
LVH (-), RVH (-),
LBBB (-)
Selasa, Sesak nafas Kesadaran : Gagal Non-
9-10- berkurang Composmentis jantung medikamentos
2018 Demam (-) TD : 120/80 mmHg kongestif a:
Mual (-) Laju nadi : 84x/menit ec mitral - Posisi
Muntah (-) Laju napas : 22x/menit stenosis semifowler
30
Terapi &
Hari/ Assessm
Subjektif Objektif Rencana
Tanggal ent
Tindakan
Suhu : 36,7 0C berat, left - Restriksi
JVP 5+1 cm atrium cairan
Thoraks : enlargem - Pemasanga
Aus: BJ I & II reguller, ent, n IV plug
murmur (+), gallop (-). NYHA Medikamentos
Suara paru vesikuler II-III, a:
(+/+), wheezing (-/-), hiperuris - ISDN tab
ronkhi (-/-) emia 2x5 mg PO
Abdomen : - Alprazolam
Ins: Datar, 1x0,5 mg
Aus: bising usus (+) PO
10x/menit - Lansopraz
Per: Timpani, shifting ol 1x30
dullnes (+) mg PO
Pal: Supel,
hepatomegali (+)
Ekstremitas :
Akral hangat, capillary
refill time (CRT)
kurang dari 2 detik,
pitting edema pretibial
(+)
31
BAB IV
PEMBAHASAN
regurgitasi mitral. Gejala dan anda klinis adanya stenosis mitral berat sulit
ditemukan pada pasien ini karena tumpang tindih dengan gejala dan tanda klinis
gagal jantung yang telah ia alami. Mitral regurgitasi dapat dibuktikan dengan
adanya murmur sistolik di SIK V, 2 jari lateral dari linea midclvicula sinistra.
Adanya left atrial enlargement pada hasil EKG menunjukkan komplikasi dari
mitral stenosis akibat besarnya beban yang terdapat pada atrium kiri. Selain itu,
hal ini dapat dikonfirmasi dengan hasil echocardigraphy yaitu didapatkan LA
dilatasi, mitral kalsifikasi berat, mitral valve area (MVA) 0,8 cm2, MS severe.
Stenosis mitral pada pasien ini dikategorikan berat karena MVA yang diperoleh
kurang dari 1 cm2.
Stenosis mitral paling sering disebabkan oleh rematik karditis. Rematik
karditis adalah pankarditis yang melibatkan perikardium, miokardium, dan
endokardium. Daerah dengan iklim sedang serta negara maju interval terjadinya
rematik karditis dengan munculnya stenosis mitral berkisar antara 10-20 tahun.
Negara tropis, subtropis dan negara-negara berkembang interval dapat lebih
pendek. Tanda khas dari rematik karditis akut adalah aschoff nodule. Lesi paling
sering pada rematik endokarditis adalah mitral valvulitis. Katup mitral mengalami
vegetasi pada garis penutupan katup dan korda. Stenosis mitral biasanya terjadi
akibat episode berulang dari karditis yang diikuti dengan penyembuhan dan
ditandai dengan deposisi jaringan fibrosa. Stenosis mitral terjadi akibat dari fusi
dari komisura, kuspis, korda atau kombinasi dari ketiganya. Hasil akhir katup
yang mengalami deformitas terjadi fibrosis dan kalsifikasi. Lesi tersebut akan
berlanjut dengan fusi dari komisura, kontraktur dan penebalan dari leaflets katup.
Korda mengalami pemendekan dan fusi. Kombinasi ini akan menyebabkan
penyempitan dari orifice katup mitral yang membatasi aliran darah dari LA (Left
Atrium) dan LV (Left Ventricle).15–18
Orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm 2.
Adanya obstruksi yang signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih kurang
dari 2 cm2, darah dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri hanya jika
didorong oleh gradien tekanan atrioventrikel kiri yang meningkat secara
abnormal, tanda hemodinamik stenosis mitral. Apabila orifisium katup mitral
berkurang sampai 1 cm2, tekanan atrium kiri kurang lebih 25 mmHg diperlukan
34
Stenosis mitral murni dengan irama sinus, tekanan atrium kiri rata-rata dan
pulmonal artery wedge pressure biasanya meningkat,denyut tekanan menunjukan
kontraksi atrium yang menonjol (gelombang a) dan tekanan bertahap menurun
setelah pembukaan katup mitral (y descent). Pada pasien dengan stenosis mitral
ringan sampai sedang tanpa peningkatan resistensi vaskuler paru, tekanan arteri
pulmonalis mungkin mendekati batas atas normal pada waktu istirahat dan
meningkat seiring dengan exercise. Pada stenosis mitral berat dan kapan saja
ketika resistensi vaskuler paru naik, tekanan arteri pulmonalis meningkat bahkan
ketika pasien sedang istirahat, dan pada kasus ekstrim dapat melebihi tekanan
arterial sistemik. Kenaikan tekanan atrium kiri, kapiler paru, dan tekanan arteri
pulmonalis selanjutnya terjadi selama latihan. Jika tekanan sistolik arteri
pulmonalis melebihi kira-kira 50 mmHg pada pasien dengan stenosis mitral, atau
pada keadaan dengan lesi yang mengenai sisi kiri jantung, peningkatan afterload
ventrikel kanan menghalangi pengosongan ruangan ini, sehingga tekanan diastolik
akhir dan volume ventrikel kanan biasanya meningkat sebagai mekanisme
kompensasi. Jika hal ini berlanjut terus menerus, katup trikuspid dapat menjadi
tidak kompeten lagi untuk menahan beban yang tinggi sehingga dapat terjadi
regurgitasi. Penjelasan ini sesuai dengan hasil ekokardiografi pada pasien ini yang
menunjukkan adanya regurgitasi trikuspid derajat sedang-berat. 15–18
Pasien ini diberikan terapi non medikamentosa yaitu pasien diposisikan
semifowler dan pemberian oksigen nasal kanul 3-4 liter menit untuk mengurangi
sesak yang dirasakan pasien. Terapi medikamentosa yang diberikan yaitu
furosemid sewaktu di IGD, ISDN, alprazolam, dan lansoprazol.
Pada pasien ini diberikan furosemid sebagai diuretikdengan dosis 80 mg.
Furosemid memiliki peranan dalam mengurangi beban kerja jantung. Pemberian
furosemid pada pasien ini sudah tepat dan sesuai indikasi.
Pengobatan lain yang diberikan kepada pasien ini adalah isosorbid dinitrat
(ISDN). Sebenarnya ISDN diberikan pada pasien gagal jantung apabila memiliki
intoleransi terhadap obat ACE-I dan ARB. ISDN merupakan venodilator,
sehingga dapat menurunkan preload jantung.
Pengobatan lini pertama yang dapat diberikan kepada pasien ini adalah
ACE-inhibitor. Pemberian ACE-I (Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitor)
36
2017;3(1):7-11. doi:10.15420/cfr.2016
15. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2011.
16. Dima C. Mitral Stenosis. 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/155724-overview#a2.
17. Nurkhalis. Kelenturan atrioventrikular pada stenosis mitral. 2015:168-174.
18. Rilantono LI, Baraas F, Karo SK, Roebiono PS. Buku Ajar Kardiologi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.
19. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2017 ACC/AHA/HFSA Focused
Update of the 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart
Failure: A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines and the Heart
Failure Society of Amer. J Am Coll Cardiol. 2017;70(6):776-803.
doi:10.1016/j.jacc.2017.04.025