Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

GAGAL JANTUNG KONGESTIF EC


MITRAL STENOSIS BERAT

Disusun Oleh:

Nurul Shafarani
NIM 1708435975

Pembimbing :
dr. Hariadi, Sp.JP(K)-FIHA

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2018
2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Coronary heart disease atau penyakit jantung koroner merupakan penyakit
yang disebabkan oleh kelainan pembuluh koroner yang salah satu manifestasinya
adalah sindrom koroner akut.3,4 Sindroma koroner akut (SKA) merupakan suatu
masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah
sakit dan angka kematian yang tinggi. Nyeri dada merupakan gejala utama yang
dijumpai serta dijadikan dasar diagnostik dan terapeutik awal. Berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan EKG, infark miokard akut dibagi
menjadi ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI), Non-ST Elevasi Miokard Infark
(NSTEMI) dan Unstable Angina Pectoris (UAP).1

Sindrom koroner akut masih menjadi penyebab kematian terbesar di dunia.


World Health Organization (WHO) 2015 memperkirakan 17,5 juta orang yang
mewakili 31% dari semua kematian global, meninggal akibat penyakit
kardiovaskuler pada tahun 2012. Dari kematian ini, diperkirakan 7,4 juta
disebabkan oleh sindrom koroner akut.5 Data dari penelitian di China pada tahun
2014 menunjukkan 14.389 pasien diagnosis sebagai sindrom koroner akut, dengan
13,9% merupakan NSTEMI dan 86,0% pasien dengan STEMI.6 Di Indonesia,
478.000 pasien didiagnosa sebagai penyakit jantung koroner pada tahun 2013.
Prevalensi STEMI meningkat 25%-40% dari presentasi infark miokard.7

Sindrom koroner akut disebabkan karena penyempitan arteri koronaria


akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Infark miokard
akut dengan elevasi ST (STEMI) merupakan bagian dari sindroma koroner akut
yang umumnya terjadi jika aliran koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi dari trombus pada plak arteroskelorosis.3

Penatalaksanaan dari sindrom koroner akut sangat penting untuk


mencegah kematian, perawatan terhadap pasien infark miokard ditujukan untuk
meminimalkan keluhan dan stres serta untuk membatasi perluasan kerusakan
miokard.3
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI JANTUNG


Jantung normal terdiri dari empat ruang, dua ruang jantung atas dinamakan
atrium dan 2 ruang jantung di bawahnya dinamakan ventrikel, yang berfungsi
sebagai pompa. Dinding yang memisahkan kedua atrium dan ventrikel menjadi
bagian kanan dan kiri dinamakan septum. Batas-batas jantung:1
1. Kanan : vena cava superior (VCS), atrium kanan, vena cava inferior (VCI)
2. Kiri : ujung ventrikel kiri
3. Anterior : atrium kanan, ventrikel kanan, sebagian kecil ventrikel kiri
4. Posterior : atrium kiri, 4 vena pulmonalis
5. Inferior : ventrikel kanan yang terletak hampir horizontal sepanjang
diafragma sampai apeks jantung
6. Superior : apendiks atrium kiri
Darah dipompakan melalui semua ruang jantung dengan bantuan keempat
katup yang mencegah agar darah tidak kembali ke belakang dan menjaga agar
darah tersebut mengalir ke tempat yang dituju. Keempat katup ini adalah katup
trikuspid yang terletak di antara atrium kanan dan ventrikel kanan, katup
pulmonal, terletak di antara ventrikel kanan dan arteri pulmonal, katup mitral yang
terletak di antara atrium kiri dan ventrikel kiri dan katup aorta, terletak di antara
ventrikel kiri dan aorta. Katup trikuspid memiliki tiga daun (leaflet). Katup mitral
memiliki 2 daun (leaflet), yaitu leaflet anterior dan posterior.1
Jantung dipersarafi aferen dan eferen yang keduanya sistem saraf simpatis
dan parasimpatis. Saraf parasimpatis berasal dari saraf vagus melalui pleksus
jantung. Serabut post ganglion pendek melewati nodus SA dan AV, serta hanya
sedikit menyebar pada ventrikel. Saraf simpatis berasal dari trunkus thoracic dan
servikal atas, menginervasi kedua atrium dan ventrikel.1
Suplai darah jantung berasal dari arteri koronaria. Arteri koroner kanan
berasal dari sinus aorta anterior, melewati diantara trunkus pulmonalis dan
apendiks atrium kanan, turun ke lekukan A-V kanan sampai mencapai lekukan
interventrikuler posterior. Pada 85% pasien, arteri berlanjut sebagai arteri
posterior desenden/ posterior decendens artery (PDA) disebut dominan kanan.
4

Arteri koroner kiri berasal dari sinus aorta posterior kiri dan terbagi menjadi arteri
anterior desenden kiri/ left anterior descendens (LAD) interventrikuler dan
sirkumfleks/ left circumflec (LCX). LAD turun di anterior dan inferior ke apeks
jantung. Mayoritas darah vena terdrainase melalui sinus koronarius ke atrium
kanan. Sinus koronarius bermuara ke sinus venosus sistemik pada atrium kanan,
secara morfologi berhubungan dengna atrium kiri, berjalan dalam celah
atrioventrikuler.1
2.2 SINDROM KORONER AKUT (SKA)
2.2.1 Definisi dan Klasifikasi
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan sekumpulan keluhan dan tanda
klinis akibat adanya iskemia dan/atau infark miokard akut yang biasanya terjadi
karena penurunan mandadak aliran darah koroner, yang terdiri dari angina
pectoris tidak stabil/ unstable angina pectoris (UAP), infark miokard akut dengan
elevasi segmen ST/ non ST-elevation myocard infarct (NSTEMI), dan infark
miokard akut dengan elevasi segmen ST/ ST-elevation myocard infarct (STEMI).2
Infark miokard akut merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner
akut yang didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang disebabkan oleh tidak
adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner. Sumbatan pada
arteri koroner menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen,
yang mana paling sering disebabkan oleh rupturnya plak dan pembentukan
trombus pada pembuluh darah koroner, sehingga terjadi penurunan suplai darah
ke miokardium.3,8
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG) dan pemeriksaan biomarka jantung, sindroma koroner
akut dibagi menjadi:3
1. Infark miokard akut dengan ST elevasi (STEMI)
2. Infark miokard akut dengan non ST Elevasi (NSTEMI), serta
3. Angina pectoris tidak stabil (UAP).
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai dengan elevasi segmen ST yang persisten di 2 sadapan yang bersebelahan.
Sedangkan diagnosis NSTEMI dan UAP ditegakkan jika terdapat keluhan angina
5

pectoris tetapi tidak ada elevasi segmen ST yang menetap pada 2 sadapan yang
bersebelahan.3
NSTEMI dan UAP dibedakan berdasarkan hasil pemeriksaan biomarka
jantung (high sensitivity troponin, troponin, atau CK-MB). NSTEMI ditegakkan
jika terjadi peningkatan bermakna pada hasil pemeriksaan biomarka jantung. Jika
tidk terjadi penaningkatan biomarka jantung yang bermakna makan diagnosisnya
UAP. 3

2.2.2 Epidemiologi
Sindrom koroner akut masih menjadi penyebab kematian terbesar di dunia.
World Health Organization (WHO) 2015 memperkirakan 17,5 juta orang yang
mewakili 31% dari semua kematian global, meninggal akibat penyakit
kardiovaskuler pada tahun 2012. Dari kematian ini, diperkirakan 7,4 juta
disebabkan oleh sindrom koroner akut.5
Data di Amerika Serikat pada tahun 2009 menunjukkan 683.000 pasien
diagnosis sebagai sindrom koroner akut, dengan 25%-40% merupakan STEMI
dan 30% pasien dengan STEMI diantaranya adalah wanita.3

Di Indonesia, 478.000 pasien didiagnosa sebagai penyakit jantung koroner


pada tahun 2013.Prevalensi STEMI meningkat 25%-40% dari presentasi infark
miokard.8
Mortalitas infark miokard dengan ST elevasi dipengaruhi oleh usia, kelas
Killip, selang waktu untuk mendapat terapi, riwayat infark miokard, diabetes
mellitus, gagal ginjal, jumlah arteri koroner yang terganggu, fraksi ejeksi jantung
dan penatalaksanaan saat serangan. Angka mortalitas infark miokard dengan ST
elevasi pada pasien yang dirawat inap berkisar antara 6-14%.9,10

2.2.3 Etiologi
Penyebab utama dari sindrom koroner akut adalah aterosklerosis. 90%
kasus infark miokard disebabkan akibat trombus yang menyumbat arteri koroner
sehingga mengakibatkan ruptur plak dan erosi yang diperkirakan menjadi pemicu
utama terjadinya trombosis koroner.4
6

Terjadinya arterosklerosis dipengaruhi oleh faktor-faktor resiko yang


berbeda-beda pada setiap individu. Faktor resiko terjadinya aterosklerosis terdiri
dari faktor resiko yang tidak dapat di modifikasi dan faktor resiko yang dapat
dimodifikasi.4,5
Faktor risiko aterosklerosis, terbagi atas faktor risiko yang dapat diubah
dan faktor risiko yang tidak dapat diubah.
Faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain:6
1. Laki-laki
2. Usia
3. Ras
4. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner.
Faktor risiko aterosklerosis yang dapat diubah adalah:6,7
1. Kadar serum lipid
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Gangguan toleransi glukosa / diabetes melitus
5. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori.
6. Obesitas
7. Kurang aktifitas fisik / gaya hidup sedentary.
8. Stress psikososial
Penyebab lain dari infark miokard selain aterosklerosis antara lain:4
1. Oklusi koroner akibat vasculitis
2. Hipertrofi ventrikel (hipertrofi ventrikel kiri, idiopathic hypertrophic
subaortic stenosis (IHSS),penyakit jantung katup)
3. Emboli arteri koroner, yang diakibatkan oleh kolesterol, udara
4. Anomali koroner kongenital
5. Trauma koroner
6. Vasospasme koroner primer (angina varian)
7. Penggunaan obat (kokain, amfetamin, efedrin)
8. Arteritis
9. Anomali koroner, termasuk aneurisma arteri koroner
7

10. Faktor yang menyebabkan konsumsi oksigen meningkat seperti


latihan fisik yang berat, demam, hipertiroidisme
11. Faktor yang menyababkan penyampaian oksigen menurun, seperti
hipoksemia karena anemia berat
12. Disseksi aorta, dengan keterlibatan retrograd arteri koroner
13. Infeksi katup jantung melalui patent foramen ovale (PFO)

2.2.4 Patofisiologi
Faktor resiko seperti seperti merokok, hipertensi, peningkatan gula darah
dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) mengakibatkan lapisan
endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini
akan menyebabkan sel endotel menghasilkan cell molecule adhesion seperti
sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor (TNF-α), kemokin (monocyte
chemoatractant factor-I) dan platelet derived growth factor. Sel inflamasi seperti
monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan bermigrasi dari
endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi menjadi makrofag
dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik. Makrofag ini
terus membentuk sel busa. LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel
endotel dan menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari
angiotensin II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek
protrombin dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan
endotel terjadi respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi
fibrofatty dan fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan
mengalami ruptur.8,9
Terjadinya ruptur plak menyebabkan aktivasi berbagai agonis seperti
kolagen, adenosin diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2
(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor
glikoprotein II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino
pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen. Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat
8

platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi.8,9
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.

Gambar 1. Kaskade pembentukan trombus

Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh


trombus. Berkurangnya liran darah koroner menyebab Jika trombus menyumbat
total pembuluh darah koroner dalam jangka waktu yang lama, maka akan
menyebabkan STEMI.8,9 STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang
sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara
lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI juga terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injuri vaskular.10

2.2.5 Diagnosis
Menurut European Society of Cardiology/ACCF/AHA/World Heart
Federation Task Force for The Universal of Myocardial Infraction ditegakkan
berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya ST
9

elevasi minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan serta peningkatan


enzim jantung yang meningkat akan memperkuat diagnosis.3

Anamnesis
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada tipikal
(angin atipikal) atau atipikal. Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,
bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten (beberapa
menit) atau persisten (>20 menit) dan biasanya sering disertai keluhan penyerta
seperti diaforesis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop.
Keluhan angina atipikal yang sering dijumpai adalah nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, gangguan pencernan (indigesti), sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
atipikal lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut
(>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia.
Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama
pada pasien dengan riwayat jantung koroner. Hilangnya keluhan angina setelah
pemberian terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%), infark miokard akut
tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI (acute myocard infarct) ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien
berusia lanjut.11
Pemeriksaan fisik
Tujuan penting dari pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah untuk
menyingkirkan penyebab nyeri dada non-kardiak dan gangguan jantung non-
iskemik (antara lain: emboli paru, diseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung
katup) atau penyebab ekstrakardiak yang potensial seperti penyakit paru akut
(seperti: pneuomotoraks, pneumonia, atau effusi pleura).
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi
10

nyeri dada substernal >20 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat
adanya STEMI.
Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi
Elektrokardiografi (EKG) memberi bantuan untuk diagnosis dan
prognosis. Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat
bermanfaat. EKG sebaiknya dilakukan dalam 10 menit saat kedatangan di
IGD.7,15
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI sebagai landasan
dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal
tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.7,15

Gambar 2. Evolusi EKG pada STEMI

it is usual practice to designate


patients with persistent chest discomfort or other symptoms suggestive
of ischaemia and ST-segment elevation in at least two contiguous
leads as STEMI. In contrast, patients without ST-segment elevation at
presentation are usually designated as having a non-ST-segment elevation
myocardial infarction (MI) (NSTEMI) and separate guidelines
have recently been developed for these.2 Some patients with MI
developQ-waves (Q-waveMI), but many do not (non-Q-wave MI).
In addition to these categories, MI is classified into various types,
based on pathological, clinical, and prognostic differences, along with
different treatment strategies (see the Third Universal Definition of
MI document,8 which will be updated in 2018). Despite the fact that
the majority of STEMI patients are classified as a type 1MI (with evidence
of a coronary thrombus), some STEMIs fall into other MI
types.8 MI, even presenting as STEMI, also occurs in the absence of
obstructive coronary artery disease (CAD) on angiography. 9–12 This
type of MI is termed ‘myocardial infarction with non-obstructive coronary
arteries’ (MINOCA) and is discussed in Chapter 9 of this
document.

Menentukan lokasi iskemia atau infark miokard serta predileksi pembuluh


koroner yang terlibat, diperlukan dua atau lebih sadapan yang berhubungan yang
menunjukkan gambaran anatomi daerah jantung yang sama dan dapat ditentukan
sebagai berikut:16

Tabel 1. Regio infark miokard


11

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan
sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI tetapi
tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda
kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac
specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan
sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal
karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB.7
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST
dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan
nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis
jantung.6,13
1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
12

cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-
10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase
(CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miocard
adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam
setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/ul.7,13

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dari STEMI saat ini mengacu pada guideline dari
ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012. Tujuan penatalaksanaan IMA adalah
diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombolitik dan terapi
antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi.3,7

Tatalaksana awal
Penatalaksanaan pra rumah sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik
(pump failure).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.
Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai
STEMI antara lain: 7,13
 Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
 Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
 Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
 Melakukan terapi perfusi
13

Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya


bukan selama transportasi ke rumah sakit melainkan karena lama waktu mulai
onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan pertama.
Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga
profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.7,13
Pemberian fibrinolitik prahospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan
tatalaksana STEMI dan kendali komando medis online yang bertanggungjawab
pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital
belum bisa dilakukan.3,7

Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup
mengurangi/ menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat
di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.7,16
Penilaian awal di IGD (<10menit):
 Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
 Pasang jalur intravena
 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan terarah
 Lengkapi check-list fibrinolitik, cek kontraindikasi
 Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah
 Pemeriksaan sinar X (<30menit setelah pasien sampai di IGD).17

Tatalaksana umum
1. Tirah baring total dilakukan minimal 12 jam.7,16
2. Oksigen: suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.6,13
3. Nitrogliserin: Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit. 6,13
14

4. Morfin: sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan


analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai
dosis total 20 mg. 6,13
5. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2
dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang
emergensi. Aspirin diberikan 160-325mg dikunyah untuk pasien tanpa
riwayat alergi, pasien yang belum mendapat aspirin dan tidak ada bukti
perdarahan lambung saat pemeriksaan. Selanjutnya diberikan peroral
dengan dosis 75-162 mg. 4,11

Tatalaksana STEMI
Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.4
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit.7,16
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark
miokard dan menurunkan angka kematian.9,17
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien.
Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi
risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus
15

mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi


merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.18
a. Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut.
PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang
tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama
pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang
mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana,
hanya di beberapa rumah sakit.7,13,15,16

b. Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door
to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam
obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.15
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala
kualitatif sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system:7
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal.
16

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh
pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan
laju mortalitas, selain itu waktu merupakan faktor yang menentukan dalam
reperfusi, fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita. Keuntungan ini lebih
nyata bila streptokinase diberikan dalam 6 jam pertama setelah timbulnya gejala,
dengan anjuran pemberian streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil
yang semaksimal mungkin.7
Indikasi terapi fibrinolitik menurut ACCF-AHA 2013:3
Kelas I :
1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada
pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV
pada minimal 2 sandapan prekordial atau 2 sandapan ekstremitas
2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
Kelas II a
1. Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan
konsisten dengan infark miokard posterior.
2. Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang
mengalami gejala iskemi yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada
sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau
minimal 2 sandapan ekstremitas.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.
Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska
CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.

- Kontraindikasi terapi fibrinolitik:1


Kontraindikasi absolut
1. Setiap riwayat perdarahan intraserebral
17

2. Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)


3. Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4. Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5. Dicurigai diseksi aorta
6. Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7. Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi besar
(<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.

Obat Fibrinolitik:3,7
1. Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah. Dosis streptokinase adalah 1,5 juta unit dalam
100 cc NaCl 0,9% atau dextrose 5% diberikan secara infus selama 30-60
menit.
18

2. Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies


to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. Dosis tPA 15 mg bolus
IV, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB dalam 60 menit. Dosis tidak boleh lebih
dari 100 mg.
3. Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis
bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
4. Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase
mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama
dibandingkan dengan tPA.

c. Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien
dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,
clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin
(UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-
inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.3

KOMPLIKASI
1. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada
apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.14
19

2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari
infark) dan sesudahnya.
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau
tanpa hipotensi.
5. Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem
saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di
zona iskemi miokard.
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.
7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama.
8. Fibrilasi atrium
9. Aritmia supraventrikular
10. Asistol ventrikel
11. Bradiaritmia dan Blok
12. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventrikel.3,4,7
20

PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca infark
miokard akut:14
1. Klasifikasi Killip

Tabel 2. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut14


Kelas Definisi Mortalitas
(%)
I Tak ada tanda 6
gagal jantung
kongestif
II + S3 dan/atau 17
ronki basah
III Edema paru 30-40
IV Syok 60-80
kardiogenik

2. Klasifikasi Forrester
Tabel 3. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut14
Kel Indeks PCWP Mortalit
as Kardiak *
as (%)
(L/min/ (mmH
m2) g)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51
*
PCWP (Pulmonary capilary wedge pressure)
Gagal jantung atau heart failure adalah suatu sindroma klinis kompleks
yang merupakan akibat dari kerusakan struktural atau fungsional dalam pengisian
21

ventrikel atau ejeksi darah. Manifestasi kardinal dari gagal jantung adalah sesak
napas, kelelahan, dan retensi cairan yang dapat menyebabkan gagal ginjal, edema
paru, dan/atau edema perifer.12,13 Gagal jantung saat ini menjadi pandemik global
karena telah diderita oleh sekitar 26 juta jiwa di seluruh dunia. Sekitar 5,7 juta
penduduk Amerika mengalami gagal jantung, dan diprediksi akan terjadi
peningkatan prevalensi sebesar 46% pada tahun 2030. Gagal jantung juga menjadi
salah satu masalh kesehatan utama di Asia dengan prevalensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan negara barat.14 Walaupun angka harapan hidup pasien yang
mengalami gagal jantung mengalami peningkatan, namun angka mortalitas
absolut setelah 5 tahun terdiagnosis masih sekitar 50%.12
Gagal jantung merupakan komplikasi tersering dari segala penyakit
jantung kongenital dan didapat.Gagal jantung dapat disertai dengan adanya
komorbiditas berupa angina.Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal
jantung mencakup keadaan yang meningkatkan preload, afterload, atau
menurunkan kontraktilitas miokardium.15
Stenosis mitral merupakan salah satu penyebab terjadinya volume overload
yang dapat mengakibatkan menurunnya kontraktilitas miokardium yang mana hal
ini merupakan salah satu etiologi gagal jantung. Sebagian besar stenosis mitral
disebakan oleh penyakit jantung rematik. Sekitar 60% pasien dengan stenosis
mitral berat yang tidak ditangani akan berkembang menjadi kongesti pulmonal
atau sistemik. Jika ini terjadi, pasien yang mengalami hal tersebut memiliki
harapan hidup kurang dari 3 tahun.16
22

BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. LS
Tanggal lahir / umur : 16-6-1957/ 63 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
No. MR : 031343
Alamat : Teluk Sasah
Agama : Islam
Suku : Minang
Tanggal masuk RSUD EHD : 29-8-2020
Tanggal keluar : 29-8-2020
Status keluar : Dirujuk

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri dada bagian tengah memberat sejak 3 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mulai mengeluhkan nyeri dada sebelah kiri sejak 3 hari SMRS,
memberat 3 jam SMRS. Nyeri dada dirasakan seperti tertimpa beban berat
menembus sampai punggung, disertai dengan keringat dingin. Nyeri tidak
berkurang walaupun sudah dibawa beristirahat.
Pasien juga merasa sesak saat nyeri berlangsung, tidak dipengaruhi dengan
posisi. Mual (+), muntah 1x saat nyeri berlangsung.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat hipertensi tidak terkontrol selama 5 tahun.
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak diketahui.
- Riwayat asma (-).
- Riwayat TB (-).
- Riwayat diabetes mellitus (-).
- Riwayat penyakit ginjal (-).
23

- Riwayat demam, batuk, pilek (-).


Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama.
- Riwayat asma (-).
- Riwayat TB (-).
- Riwayat diabetes mellitus (-).
Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan
- Pasien seorang
- Makan tidak teratur.
- Jarang mengonsumsi sayur dan buah-buahan.
- Riwayat merokok (+) selama 18 tahun 16 batang tiap hari (IB: sedang)
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Composmentis
Tanda-Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 160/90 mmHg
- Nadi : 70 kali/menit
- Nafas : 22 kali/menit
- Suhu : 36,7 ºC
Gizi :
- Tinggi Badan : 165 sentimeter
- Berat Badan : 65 kilogram
- IMT : 23,8 (normoweight)
Kepala dan leher
Wajah : Malar facial flush (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor diameter
(2mm/2mm), refleks cahaya (+/+)
Telinga : Sekret (-), darah (-)
Hidung : Deviasi (-), sekret (-), darah (-), polip (-)
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), selaput lendir basah, palatum utuh, lidah
kotor (-), gigi lengkap, karies (-).
24

Leher : Peningkatan JVP tidak ada, refleks hepatojugular (-), pembesaran


KGB (-)
Dada : Inspeksi : Normochest, pergerakan simetris kiri dan kanan, ictus
cordis tidak terlihat.
Palpasi : Vocal fremitus (+/+) normal, thrill (-), ictus cordis di 2
jari lateral dari linea midclavicula sinistra SIK V.
Perkusi : Sonor (+/+) seluruh lapangan paru, pinggang jantung di
linea sternalis sinistra, batas kanan jantung linea
parasternalis dextra SIK IV, batas kiri jantung 2 jari
lateral dari linea midclevicula sinistra SIK V.
Auskultasi: Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-).
Jantung : S1 & S2 regular, murmur sistolik (-), gallop
(-).
Abdomen: Inspeksi : Perut datar, venektasi (-), scar (-).
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-).
Perkusi : Timpani (+).
Auskultasi : BU (+) 7x/menit.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), pitting edema
pretibial (-), clubbing finger (-).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (29-8-2020)
- Hb : 15,6 gr/dl - Glukosa : 133 mg/dl
- Hematokrit : 44,4% - Ureum : 25,6 mg/dl
- MCV : 73,1 fl - Creatinin : 1,15 mg/dl
- MCH : 25,7 pg - SGOT : 56 U/L
- MCHC : 35,1 g/dl - SGPT : 26 U/L
- Leukosit : 13.340 /ul - Asam urat : 7,7 mg/dl
- Netrofil : 70% - Na+ : 140 mmol/l
- Limfosit : 23,2% - K+ : 3,7 mmol/l
- Trombosit : 297.000 /ul - Cl : 105 mmol/l
25

EKG (29-8-2020) :

Gambar 3.1 Hasil EKG


Hasil:
- Irama sinus
- Frekuensi 83x/menit, reguler
- Aksis: right axis deviation
- Gelombang P di lead II melebar: 4 mm (0,16 s) dan terdapat notched, di lead V1
menunjukkan adanya defleksi negatif sebesar 2 mV (>1 mV) -> left atrial
enlargment
- PR interval 5 mm (normal)
- Kompleks QRS di V1, V2, V3: 3 mm (0,12 s), terdapat notched di V3, gelombang S
di V6 dalam, ST depresi di V1 dan V2, T inverted di V1 dan V2 -> incomplete right
bundle branch block (IRBBB)
- Q patologis (-).
- LVH (-), RVH (-), LBBB (-)

Kesan: Left atrial enlargement, incomplete right bundle branch block


Radiologi:
Foto thoraks AP (7-10- 2018) :

Hasil:
- Identitas sesuai
- Foto AP.
- Marker R.
- Kekerasan cukup.
- Foto simetris.
- Trakea tidak bergeser.
- Diafragma kanan berbentuk
kubah, diafragma kiri sulit
dinilai.
- Sudut costofrenikus kanan dan
kiri lancip.
- CTR 65%, jantung tampak
membesar ke arah kiri.
- Corakan bronkovaskuler
meningkat.
Gambar 3.2 Foto Thoraks Kesan: kardiomegali

Kesimpulan:
Tn. JE 38 tahun datang ke IGD RSUD Arifin Achmad dengan keluhan
sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak nafas sudah dirasakan sejak
6 bulan SMRS terutama pada saat pasien sedang beraktivitas berat (dyspnea on
effort). Ortopnea (+), paroksismal nokturnal dispnea (+), nyeri dada menjalar
sampai ke punggung dan lengan (+), terkadang hemoptoe (+), riwayat sembab
pada tungkai (+). Pasien sudah pernah berobat dikatakan memiliki penyakit
jantung, namun pasien tidak rutin kontrol.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik tekanan darah 130/90, frekuensi nadi
108 kali/menit, nafas 30 kali/menit suhu 36,7 0C. Selanjutnya ditemukan adanya
peningkatan JVP, refles hepatojugular (+), kardiomegali, murmur di daerah apeks
dan linea parasternalis sinistra SIK III, asites, hepatomegali, pitting edema
pretibial. Pemeriksaan penunjang diperoleh hasil, yakni darah rutin dalam batas
normal, peningkatan LDL, dan asam urat. Hasil EKG menunjukkan ada left
27

atrium enlargement dan incomplete right bundle branch block. Hasil foto thorax
menunjukkan kardiomegali dan ekokardigrafi menunjukkan adanya stenosis
mitral berat, regurgitasi aorta ringan, regurgitasi mitral moderat, regurgitasi
trikuspid berat, hypertension heart disease, fungsi sistolik baik.
Diagnosis : Gagal jantung kongestif ec mitral stenosis berat, left
atrium enlargement, NYHA III-IV, hiperurisemia
TERAPI
Non-medikamentosa :
- Posisi semifowler
- O2 nasal kanul 3-4 L/menit
- Restriksi cairan
- Pemasangan IV plug
Medikamentosa:
- Inj.IV furosemid 80 mg (terapi di IGD)
- ISDN tab 2x5 mg PO
- Alprazolam 1x0,5 mg PO
- Lansoprazol 1x30 mg PO
Prognosis :
Quo ad vitam : Dubia
Quo ad functionam : Dubia
Follow up
Tabel 3.1 Follow up
Terapi &
Hari/ Assessm
Subjektif Objektif Rencana
Tanggal ent
Tindakan
Senin, Sesak nafas Kesadaran : Gagal Non-
8-10- berkurang. Composmentis jantung medikamentos
2018 Saat makan, TD : 130/90 mmHg kongestif a:
mandi, dan Laju nadi : 88x/menit ec mitral - Posisi
berjalan Laju napas : 24x/menit stenosis semifowler
dengan Suhu : 36,7 0C berat, left - O2 nasal
jarak dekat JVP 5+1 cm atrium kanul 3-4
28

Terapi &
Hari/ Assessm
Subjektif Objektif Rencana
Tanggal ent
Tindakan
tidak sesak, Thoraks : enlargem L/menit
Demam (-) Aus: BJ I & II reguller, ent, - Restriksi
Mual (-) murmur (+), gallop (-). NYHA cairan
Muntah (-) Suara paru vesikuler II-III, - Pemasanga
(+/+), wheezing (-/-), hiperuris n IV plug
ronkhi (-/-) emia Medikamentos
Abdomen : a:
Ins: Datar, - ISDN tab
Aus: bising usus (+) 2x5 mg PO
10x/menit - Alprazolam
Per: Timpani, shifting 1x0,5 mg
dullnes (+) PO
Pal: Supel, - Lansopraz
hepatomegali (+) ol 1x30
Ekstremitas : mg PO
Akral hangat, capillary
refill time (CRT)
kurang dari 2 detik,
pitting edema pretibial
(+)
EKG:
- Irama sinus
- Frekuensi
75x/menit, reguler
- Aksis: normal axis
- Gelombang P di
lead II melebar: 4
mm (0,16 s) dan
terdapat notched,
29

Terapi &
Hari/ Assessm
Subjektif Objektif Rencana
Tanggal ent
Tindakan
di lead V1
menunjukkan
adanya defleksi
negatif sebesar 2
mV (>1 mV) ->
left atrial
enlargment
- PR interval 5 mm
(normal)
- Kompleks QRS di
V1, V2, V3
melebar: 3 mm
(0,12 s), terdapat
notched di V3,
gelombang S di V6
dalam, ST depresi
di V1 dan V2, T
inverted di V1 dan
V2 -> right bundle
branch block
(RBBB)
- Q patologis (-),
LVH (-), RVH (-),
LBBB (-)
Selasa, Sesak nafas Kesadaran : Gagal Non-
9-10- berkurang Composmentis jantung medikamentos
2018 Demam (-) TD : 120/80 mmHg kongestif a:
Mual (-) Laju nadi : 84x/menit ec mitral - Posisi
Muntah (-) Laju napas : 22x/menit stenosis semifowler
30

Terapi &
Hari/ Assessm
Subjektif Objektif Rencana
Tanggal ent
Tindakan
Suhu : 36,7 0C berat, left - Restriksi
JVP 5+1 cm atrium cairan
Thoraks : enlargem - Pemasanga
Aus: BJ I & II reguller, ent, n IV plug
murmur (+), gallop (-). NYHA Medikamentos
Suara paru vesikuler II-III, a:
(+/+), wheezing (-/-), hiperuris - ISDN tab
ronkhi (-/-) emia 2x5 mg PO
Abdomen : - Alprazolam
Ins: Datar, 1x0,5 mg
Aus: bising usus (+) PO
10x/menit - Lansopraz
Per: Timpani, shifting ol 1x30
dullnes (+) mg PO
Pal: Supel,
hepatomegali (+)
Ekstremitas :
Akral hangat, capillary
refill time (CRT)
kurang dari 2 detik,
pitting edema pretibial
(+)
31

EKG Senin, 8-10-2018


32

BAB IV
PEMBAHASAN

Tn. JE 38 tahun datang ke IGD RSUD Arifin Achmad dengan keluhan


sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak nafas sudah dirasakan sejak
6 bulan SMRS terutama pada saat pasien sedang beraktivitas berat (dyspnea on
effort). Ortopnea (+), paroksismal nokturnal dispnea (+), nyeri dada menjalar
sampai ke punggung dan lengan (+), terkadang hemoptoe (+), riwayat sembab
pada tungkai (+). Pasien sudah pernah berobat dikatakan memiliki penyakit
jantung, namun pasien tidak rutin kontrol. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik
tekanan darah 130/90, frekuensi nadi 108 kali/menit, nafas 30 kali/menit suhu
36,70C. Selanjutnya ditemukan adanya peningkatan JVP, kardiomegali, murmur di
daerah apeks dan linea parasternalis sinistra SIK III, asites, hepatomegali, pitting
edema pretibial. Pemeriksaan penunjang diperoleh hasil, yakni darah rutin dalam
batas normal, peningkatan LDL, dan asam urat. Hasil EKG menunjukkan ada left
atrium enlargement dan incomplete right bundle branch block. Hasil foto thorax
menunjukkan kardiomegali dan ekokardigrafi menunjukkan adanya stenosis
mitral berat, regurgitasi aorta ringan, regurgitasi mitral moderat, regurgitasi
trikuspid berat, hypertension heart disease, fungsi sistolik baik.
Berdasarkan uraian di atas, pasien ini telah memenuhi kriteria
Frammingham untuk diagnosis gagal jantung. Pada pasien ditemukan adanya 4
kriteria mayor, yaitu paroksismal nokturnal dispnea, kardiomegali, peningkatan
JVP, dan refluks hepatojugular (+). yakni dyspnea on effort, ortopnea,
paroksismal nokturnal dispnea, hemoptoe, peningkatan JVP, kardiomegali serta 4
kriteria minor, yaitu dyspnea on effort, batuk malam hari, hepatomegali, dan
edema ekstremitas. Pasien ini juga memenuhi kriteria pasti CHF (poin 8-12)
menurut Boston dengan total poin 14 untuk kategori I, 4 untuk kategori II, 5 untuk
kategori III. Berdasarkan kriteria NYHA, pasien ini diklasifikasikan kepada
NYHA kelas III-IV karena terdapat batasan aktivitas bermakna, yang mana
aktivitas fisik ringan-sedang menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak.
CHF pada pasien ini cenderung merupakan komplikasi oleh adanya
kelainan jantung yang dialaminya, yakni berupa stenosis mitral berat dan
33

regurgitasi mitral. Gejala dan anda klinis adanya stenosis mitral berat sulit
ditemukan pada pasien ini karena tumpang tindih dengan gejala dan tanda klinis
gagal jantung yang telah ia alami. Mitral regurgitasi dapat dibuktikan dengan
adanya murmur sistolik di SIK V, 2 jari lateral dari linea midclvicula sinistra.
Adanya left atrial enlargement pada hasil EKG menunjukkan komplikasi dari
mitral stenosis akibat besarnya beban yang terdapat pada atrium kiri. Selain itu,
hal ini dapat dikonfirmasi dengan hasil echocardigraphy yaitu didapatkan LA
dilatasi, mitral kalsifikasi berat, mitral valve area (MVA) 0,8 cm2, MS severe.
Stenosis mitral pada pasien ini dikategorikan berat karena MVA yang diperoleh
kurang dari 1 cm2.
Stenosis mitral paling sering disebabkan oleh rematik karditis. Rematik
karditis adalah pankarditis yang melibatkan perikardium, miokardium, dan
endokardium. Daerah dengan iklim sedang serta negara maju interval terjadinya
rematik karditis dengan munculnya stenosis mitral berkisar antara 10-20 tahun.
Negara tropis, subtropis dan negara-negara berkembang interval dapat lebih
pendek. Tanda khas dari rematik karditis akut adalah aschoff nodule. Lesi paling
sering pada rematik endokarditis adalah mitral valvulitis. Katup mitral mengalami
vegetasi pada garis penutupan katup dan korda. Stenosis mitral biasanya terjadi
akibat episode berulang dari karditis yang diikuti dengan penyembuhan dan
ditandai dengan deposisi jaringan fibrosa. Stenosis mitral terjadi akibat dari fusi
dari komisura, kuspis, korda atau kombinasi dari ketiganya. Hasil akhir katup
yang mengalami deformitas terjadi fibrosis dan kalsifikasi. Lesi tersebut akan
berlanjut dengan fusi dari komisura, kontraktur dan penebalan dari leaflets katup.
Korda mengalami pemendekan dan fusi. Kombinasi ini akan menyebabkan
penyempitan dari orifice katup mitral yang membatasi aliran darah dari LA (Left
Atrium) dan LV (Left Ventricle).15–18
Orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm 2.
Adanya obstruksi yang signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih kurang
dari 2 cm2, darah dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri hanya jika
didorong oleh gradien tekanan atrioventrikel kiri yang meningkat secara
abnormal, tanda hemodinamik stenosis mitral. Apabila orifisium katup mitral
berkurang sampai 1 cm2, tekanan atrium kiri kurang lebih 25 mmHg diperlukan
34

untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output) yang normal. Tekanan


atrium kiri yang meningkat, selanjutnya, meningkatkan tekanan vena dan kapiler
pulmonalis, yang mengurangi daya kembang (compliance) paru dan menyebabkan
dispnea pada waktu pengerahan tenaga (exertional dyspnea, dyspnea d’ effort).
Serangan pertama dispnea biasanya dicetuskan oleh kejadian klinis yang
meningkatkan kecepatan aliran darah melalui orifisium mitral, yang selanjutnya
mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Untuk menilai beratnya obstruksi,
penting untuk mengukur gradien tekanan transvalvuler maupun kecepatan aliran.
Gradien tekanan bergantung tidak hanya pada curah jantung tapi juga denyut
jantung. Kenaikan denyut jantung memperpendek diastolik secara proporsional
lebih daripada sistolik dan mengurangi waktu yang tersedia untuk aliran yang
melalui katup mitral. Oleh karena itu, pada setiap tingkat curah jantung tertentu,
takikardia menambah tekanan gradien transvalvuler dan selanjutnya
meningkatkan tekanan atrium kiri.15–18
Pada pasien juga ditemukan adanya regurgitasi aorta ringan dan regurgitasi
mitral sedang. Regurgitasi mitral ini kemungkinan termasuk regurgitasi sekunder
yang terjadi akibat adanya pembesaran atrium kiri dan dilatasi anulus. Bunyi
murmur sistolik yang terdengar pada daerah apeks jantung terjadi akibat adanya
regurgitas katup mitral ini. Semakin berat derajat regurgitasi, makan semakin
besar murmur yang dihasilkan. Namun, pada stenosis, semakin besar derajatnya,
semakin kecil murmur yang dihasilkan. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan
murmur yang terdengar pada saat auskultasi terjadi pada fase sistolik.
Penyakit katup aorta, hipertensi sistemik, regurgitasi mitral, penyakit
jantung iskemik yang terjadi secara bersamaan dan mungkin kerusakan sisa yang
ditimbulkan oleh miokarditis reumatik kadang-kadang bertanggung jawab
terhadap kenaikan yang menunjukan fungsi ventrikel kiri yang terganggu dan/atau
menurunkan daya kembang ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri, seperti yang
ditunjukan dalam berkurangnya fraksi ejeksi dan kecepatan memendek serabut
yang mengelilingi, terjadi pada sekitar seperempat pasien dengan stenosis mitral
berat, sebagai akibat berkurangnya preload kronik dan luasnya jaringan parut dari
katup ke dalam miokardium yang berdekatan.15–18
35

Stenosis mitral murni dengan irama sinus, tekanan atrium kiri rata-rata dan
pulmonal artery wedge pressure biasanya meningkat,denyut tekanan menunjukan
kontraksi atrium yang menonjol (gelombang a) dan tekanan bertahap menurun
setelah pembukaan katup mitral (y descent). Pada pasien dengan stenosis mitral
ringan sampai sedang tanpa peningkatan resistensi vaskuler paru, tekanan arteri
pulmonalis mungkin mendekati batas atas normal pada waktu istirahat dan
meningkat seiring dengan exercise. Pada stenosis mitral berat dan kapan saja
ketika resistensi vaskuler paru naik, tekanan arteri pulmonalis meningkat bahkan
ketika pasien sedang istirahat, dan pada kasus ekstrim dapat melebihi tekanan
arterial sistemik. Kenaikan tekanan atrium kiri, kapiler paru, dan tekanan arteri
pulmonalis selanjutnya terjadi selama latihan. Jika tekanan sistolik arteri
pulmonalis melebihi kira-kira 50 mmHg pada pasien dengan stenosis mitral, atau
pada keadaan dengan lesi yang mengenai sisi kiri jantung, peningkatan afterload
ventrikel kanan menghalangi pengosongan ruangan ini, sehingga tekanan diastolik
akhir dan volume ventrikel kanan biasanya meningkat sebagai mekanisme
kompensasi. Jika hal ini berlanjut terus menerus, katup trikuspid dapat menjadi
tidak kompeten lagi untuk menahan beban yang tinggi sehingga dapat terjadi
regurgitasi. Penjelasan ini sesuai dengan hasil ekokardiografi pada pasien ini yang
menunjukkan adanya regurgitasi trikuspid derajat sedang-berat. 15–18
Pasien ini diberikan terapi non medikamentosa yaitu pasien diposisikan
semifowler dan pemberian oksigen nasal kanul 3-4 liter menit untuk mengurangi
sesak yang dirasakan pasien. Terapi medikamentosa yang diberikan yaitu
furosemid sewaktu di IGD, ISDN, alprazolam, dan lansoprazol.
Pada pasien ini diberikan furosemid sebagai diuretikdengan dosis 80 mg.
Furosemid memiliki peranan dalam mengurangi beban kerja jantung. Pemberian
furosemid pada pasien ini sudah tepat dan sesuai indikasi.
Pengobatan lain yang diberikan kepada pasien ini adalah isosorbid dinitrat
(ISDN). Sebenarnya ISDN diberikan pada pasien gagal jantung apabila memiliki
intoleransi terhadap obat ACE-I dan ARB. ISDN merupakan venodilator,
sehingga dapat menurunkan preload jantung.
Pengobatan lini pertama yang dapat diberikan kepada pasien ini adalah
ACE-inhibitor. Pemberian ACE-I (Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitor)
36

pada pasien gagal jantung direkomendasikan oleh American Heart Association


(AHA). ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung, kecuali terdapat
kontraindikasi. ACE-I berperan dalam mencegah terjadinya vasokonstriksi.
Captopril diberikan untuk mengurangi beban kerja jantung yang disebabkan
karena gagal jantung. Mekanisme kerja dari captopril yang termasuk dalam
golongan ACE-I yaitu menghambat sistem renin angiotensin aldosteron dengan
menghambat perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II sehingga
menyebabkan vasodilatasi dan mengurangi retensi sodium dengan mengurangi
sekresi aldosteron. Oleh karena ACE juga terlibat dalam degradasi bradikinin
maka ACE-I menyebabkan peningkatan bradikinin, suatu vasodilator kuat dan
menstimulus pelepasan prostaglandin dan nitrit oxyde. Peningkatan bradikinin
meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACE inhibitor dan juga
mengurangi mortalitas hampir 20% pada pasien dengan gagal jantung yang
simptomatik. Pemberian diuretik yang dikombinasikan dengan ACE inhibitor
akan memiliki efek tambahan pada miokardium untuk mencegah perkembangan
jaringan parut miokard dan pembesaran miokard.19
Terapi yang dianjurkan untuk stenosis mitral pada pasien ini adalah
pembedahan, yakni penggantian katup. Penggantian katup dipilih karena pasien
memiliki kontraindikiasi dilakukannya komisurotomi mitral perkutan,
diantaraya adalah regurgitasi mitral derajat sedang atau berat, kalsifikasi berat
bikomisura, dan regurgitasi trikuspid sedang-berat. Katup yang dipilih adalah
katup mekanik karena memenuhi syarat penggunaan katup ini, yaitu laki-laki usia
>20 tahun dan belum tergolong tua. Namun, apabila ini dilakukan pasien harus
menggunakan antikoagulan seumur hidup.
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RA. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Editor:


Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E, Suyono YJ, Susilawati, Nisa TM, et
al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
2. Amsterdam EA, Wenger NK, Brindis RG, et al. 2014 AHA/ACC Guideline
for the Management of Patients with Non-St-Elevation Acute Coronary
Syndromes: A Report of the American College of Cardiology/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Vol 130.; 2014.
doi:10.1161/CIR.0000000000000134
3. PERKI. Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut 2018. Perhimpun
Dr Spes Kardiovask Indones. 2018:76.
4. Muchid AA, Umar F, Chusun A. Pharmaceutical Care Untuk Pasien
Penyakit Jantung Koroner Akut. 2006;1–3.
5. Safitri E. ST Elevasi miokard infark (STEMI) Anteroseptal pada pasien
dengan faktor resiko kebiasaan merokok menahun dan tingginya kadar
kolesterol dalam darah. Medula. 2013;1(4):8–13.
6. Gray HH, Dawkins KD, Simpson IA, Morgan JM. Lecture Notes:
Kardiologi. Edisi IV. Jakarta: 2002.107-50.
7. Firdaus I. Strategi farmakoinvasif pada STEMI akut. J Kardiol Indonesia.
2011;(32).266-71.
8. Muchid A, Umar F, Chusun A. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit
Jantung Koroner Akut. 2006;1–3.
9. Simanjuntak M. Sindroma koroner akut. Medan: 2013. p. 7–36.
10. Myrtha R. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK192. 2012;39(4):261–
4.
11. Pratiwi I. Komplikasi pada pasien infark miokard akut STEMI yang
mendapat maupun tidak mendapat terapi. Semarang; 2012.
12. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2013 ACCF/AHA guideline for the
management of heart failure: A report of the American college of
cardiology foundation/american heart association task force on practice
guidelines. J Am Coll Cardiol. 2013;62(16):e147-e239.
doi:10.1016/j.jacc.2013.05.019
13. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, et al. 2016 ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eur Heart J.
2016;37(27):2129-2200m. doi:10.1093/eurheartj/ehw128
14. Mauro Gori AI and MSC. Haemodynamics of Heart Failure With
Preserved Ejection Fraction: A Clinical Perspective. Card Fail Rev.
38

2017;3(1):7-11. doi:10.15420/cfr.2016
15. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2011.
16. Dima C. Mitral Stenosis. 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/155724-overview#a2.
17. Nurkhalis. Kelenturan atrioventrikular pada stenosis mitral. 2015:168-174.
18. Rilantono LI, Baraas F, Karo SK, Roebiono PS. Buku Ajar Kardiologi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.
19. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, et al. 2017 ACC/AHA/HFSA Focused
Update of the 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart
Failure: A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines and the Heart
Failure Society of Amer. J Am Coll Cardiol. 2017;70(6):776-803.
doi:10.1016/j.jacc.2017.04.025

Anda mungkin juga menyukai