Disusun oleh :
Prissilma
Tania Jonardi
1102010221
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo
Pembimbing :
dr. Herawati Isnanijah, Sp.JP
RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JANUARI 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang terutama disebabkan karena
penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya.
Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah angina pektoris. Angina pektoris ialah suatu sindroma
klinis di mana didapatkan sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya
iskemik miokard. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi > 70% penyempitan arteri koronaria.
Angina pektoris dapat muncul sebagai angina pektoris stabil (APS) dan keadaan ini bisa
berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan sindroma koroner akut (SKA) (Majid, 2008).
PJK merupakan sosok penyakit yang sangat menakutkan dan masih menjadi masalah
baik di negara maju maupun negara berkembang. Hasil survei yang dilakukan Departemen
Kesehatan RI menyatakan bahwa prevalensi PJK di Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat. Bahkan sekarang (tahun 2000-an) dapat dipastikan, kecenderungan penyebab
kematian di Indonesia bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit kardiovaskular (antara lain
PJK) dan degeneratif (Majid, 2008).
Menurut ESC (European Society Of Cardiology), prevalensi angina pada kelompok studi
populasi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Untuk kelompok wanita, prevalensinya
0.1-1 % pada usia 45-54 tahun hingga 10-15% pada usia 65-74 tahun. Sedangkan pada kelompok
laki-laki, prevalensinya 2-5 % pada usia 45-54 tahun hingga 10-20% pada usia 65-74 tahun.
Untuk itu, dapat diperkirakan bahwa 20.000-40.000 per 1 juta populasi penduduk di Eropa
mengalami angina (ESC, 2006).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), penyakit kardiovaskular menyebabkan
17,5 juta kematian di seluruh dunia, tercatat bahwa lebih dari 7 juta orang meninggal akibat PJK
di seluruh dunia pada tahun 2002, angka ini diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada
tahun 2020. Di Indonesia, berdasarkan data survei dari Badan Kesehatan Nasional tahun 2001
menunjukkan tiga dari 1000 penduduk Indonesia menderita PJK, pada tahun 2007 terdapat
sekitar 400 ribu penderita PJK dan pada saat ini penyakit jantung koroner menjadi pembunuh
nomor satu di dalam negeri dengan tingkat kematian mencapai 26% (Nerrida, 2009)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI
Gambar 1. Jantung
atrioventrikular dekster, dan pada pinggir inferior jantung pembuluh ini melanjut ke
posterior sepanjang sulkus atrioventrikularis untuk beranastomosis dengan arteri
Koronaria sinister didalam sulkus interventriclaris posterior.
Cabang cabang arteri Koronaria dekster sebagi berikut
o Rami Marginalis: memperdarahi atrium dekster dan ventrikulus dekster
o Rami Interventrikularis (desenden )Posterior : memperdarahi 2 dinding belakang
ventrikel,epikardium,atrium dekstra dan SA node (Raden, 2010)
2. Arteri koronaria Sinister
Yang lebih besar dibandingkan dengan arteri koronaria dekster, mendarahi sebagian
besar jantung, termasuk sebagian besar atrium sinister, ventrikulus sinister, dan
septum ventrikular. Arteria ini berasal dari posterior kiri sinus aorta asenden dan
berjalan kedepan diantara trunkus pulmonalis dan aurikula sinister. Kemudian
pembuluh ini berjalan di sulkus atrioventrikularis anterior dan ramus sirkumfleksus.
Cabang cabang dari arteri koronaria sinister :
o Rami interventrikularis ( desenden ) Anterior : meperdarahi ventrikel dekstra dan
sinistra
o Rami sirkumfleksa : memperdarahi bagian belakang bawah ventrikel sinistra dan
atrium sinistra (Raden, 2010)
Vena
Vena - vena kardiaka
Vena berjalan bersama a. koronaria mengalir ke atrium kanan melalui sinus koronarius
sinus koronarius mengalir ke atrium kanan di sebelah kiri dan diatas pintu vena kava inferior.
Vena besar jantung mengikuti cabang interventrikular anterior dari a. koronaria sinister
mengalir kembali ke sebelah kiri pada sulkus atrioventrikular.
Vena tengah jantung mengikuti a. interventrikular posterior, dan bersama sama dengan vena
kecil jantung yang mengkuti a. Marginalis sinus koronarius. Sinus koronarius mengalirkan
sebagian besar dari darah vena jantung.
Vena yang bermuara terlebih dahulu ke sinus coronarius
o V. Cordis Magna ( V.Interventrikularis Anterior)
o V.Cordis Parva
o V.Cordis Media (V.Interventrikularis Posterior)
o V.Cordis Obliq /V.Marshall (V. Oblique Atrium Sinistra)
Vena yang langsung bermuara ke Atrium dekstra
3
Pers
arafan Jantung
Jantung dipersarafi oleh serabut simpatis
antara lain aterosklerosis, berbagai jenis arteritis, emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena
aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) maka pembahasan tentang PJK pada
umumnya terbatas penyebab tersebut (Majid, 2008).
EPIDEMIOLOGI
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Organisasi Federasi Jantung Sedunia (World
Heart Federation) memprediksi penyakit jantung akan menjadi penyebab utama kematian di
negara-negara Asia pada tahun 2010. Saat ini, sedikitnya 78% kematian global akibat penyakit
jantung terjadi pada kalangan masyarakat miskin dan menengah. Berdasarkan kondisi itu, dalam
keadaan ekonomi terpuruk maka upaya pencegahan merupakan hal terpenting untuk menurunkan
penyakit kardiovaskuler pada 2010 (WHO,2010).
Tingginya angka kematian di Indonesia akibat penyakit jantung koroner (PJK) mencapai 26%.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN), dalam 10 tahun terakhir
angka tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 1991, angka kematian akibat PJK
adalah 16 %. kemudian di tahun 2001 angka tersebut melonjak menjadi 26,4 %. Angka kematian
akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di negara kita (SKN,2010)
2)
Gambar 2. Formasi plak fibrous yang terdiri atas tutup dan inti
Patofisiologi
KLASIFIKASI
Angina Pektoris Stabil
Definisi
Sindroma klinis berupa rasa tidak nyaman di dada, rahang, bahu, punggung, atau lengan
yang dipicu oleh aktifitas atau stress emosional yang berangsur menurun intensitas dan
kuantitasnya dengan atau tanpa pengobatan. (Sudoyo, 2009)
Anamnesis
Nyeri dada angina biasanya mempunyai karakteristik tertentu (Sudoyo, 2009):
Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya, dengan penjalaran ke leher,
rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggung/ pundak kiri.
Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindih/berat di dada, rasa
desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma, seperti diremas-remas atau dada
mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak napas
serta perasaan takut mati. Biasanya bukanlah nyeri yang tajam, seperti rasa ditusuk- tusuk/
diiris sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien mengatakan bahwa ia merasa tidak
enak didadanya. Nyari berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan iistirahat; tapi tidak
berhubungan dengan gerakan pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan ke kanan. Nyeri juga
dapat dipresipitasi oleh stres fisik ataupun emosional.
Kuantitas: nyeri yang pertama kali timbul biasanya agaka nyata, dan beberapa menit sampai
kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka harus dipertimbangkan sebagai
angina tak stabil. (unstable angina pectoris = UAP) sehingga dimasukkan ke dalam sindrom
koronera akut = acute coronary syndrom = ACS, yang memerlukan perawatan khusus. Nyari
dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik sampai beberapa
menit. Nyeri tidak terus menerus, tapi hilang timbul dengan intensitaas yang makin bertambah
10
atau makin berkurang sampai tekontrol. Nyaeri yang berlangsung terus menerus sepanjang
hari bahkan sampai berhari-hari biasanya bukanlah nyeri angina pektoris.
Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh Canadian Cardiovascular Society sebagai
berikut (Sudoyo, 2009):
o
Kelas I. Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan lainlainnya tidak menimbulkaan nyeri dada. Neyri dada baru timbul pada latihan yang berat,
beeerjalan cepat serta terburu-buru waktu kerja atau bepergian.
Kelas II. Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila melakukan aktivitas
lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai atau terburuburu, berjalan menanjak atau melawan angina dan lain-lain.
Kelas III. Aktivitas sehari-hari terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1
lantai dengan kecepatan biasa.
Kelas IV. AP timbul pada waktu istirahat. Hampir semua aktivitas dapat menimbulkan
angina, termasuk mandi, manyapu dan lain-lain.
11
Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang: dari
fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama dipengaruhi oleh
kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan lamanya iskemia miokard berlangsung
(Sudoyo, 2009).
Patogonesis
NO
PATOGENESIS
12
NSTEMI
STEMI
(ST Elevation Myocardial
Infarction)
13
Klasifikasi
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi agar ada keseragaman.
Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik (Sudoyo, 2009).
Beratnya angina:
Kelas I: Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada.
Kelas II: Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tidak ada
serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
Kelas III: adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara subakut baik sekali
atau lebih, dalam jangka waktu 48 jam terakhir.
14
Keadaan klinis:
Kelas A: Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris.
Kelas B: Agina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstrakardiak.
Kelas C: Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.
Intensitas pengobatan:
NO
1
2
PATOGENESIS
Angina saat
istirahat
Angina pertama
kali
Angina yang
meningkat
berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada empat
penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya skor resiko, telah diobservasi
manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan LMWH versus UFH, dengan
platelet GP IIb/IIIa receptor blocker tirofiban versus placebo, dan strategi invasif versus
konservatif (Sudoyo, 2009).
Pada pasien untuk semua level skor resiko TIMI, penggunaan clopidogrel menunjukkan
penurunan outcome yang buruk relatif sama. Skor resiko juga efektif dalam memprediksi
outcome yang buruk pada pasien setelah pulang (Sudoyo, 2009).
Tabel 8. Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI
No
1
ke:
leher,
lengan
kiri,
mandibula,
gigi,
death
Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor
pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi tak
terkontrol, takikardi, anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat (bising
sistolik), dan kondisi lain, seperti penyakit paru. Dapat juga ditemukan
retinopati hipertensi/diabetik.
Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung (hipotensi,
murmur dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya
17
4
5
Enzim
Meningkat
Puncak
Normal
CK-MB
6 jam
24 jam
36-48 jam
GOT
6-8 jam
36-48 jam
48-96 jam
LDH
24 jam
48-72 jam
7-10 hari
Troponin T
3 jam
12-24 jam
7-10 hari
Troponin I
3 jam
12-24 jam
7-14 hari
Foto Dada: Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru
Pemeriksaan Jantung Non-invasif
a. EKG
Akut Koroner Sindrom:
- STEMI ST elevasi > 2mm minimal pada 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan ekstremitas,
-
evolusi EKG
- UAP Normal atau transient
Angina Pektoris Stabil iskemia, dapat kembali normal waktu nyeri
hilang.
Iskemia
ST depresi
T inverted simetris
Injury
ST elevasi
Infark
Q patologis
AMI
OMI
Koroner:
- Computed Tomografi
- Magnetic Resonance Arteriography
Pemeriksaan Invasif Menentukan Anatomi Koroner
18
Arteriografi Koroner
Ultrasound Intra Vaskular (IVUS)
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap
simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior. EKG sisi kanan harus
diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau Non
STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q
disebut infark non Q. sbelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika
EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata
tidak selalu ada korelasi gambaran patologisi EKG dengan lokasi infark (mural/ transmural)
sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/ nontransmural
(Sudoyo, 2009).
19
Hipertensi berat
Sesak
20
Vertigo
Komplikasi :
Hipotensi
Kematian
Indikasi penghentian test.
1. Keluhan subjektif
Sesak nafas
Vertigo / pusing
Kelelahan/cape sekali
Respon hipertensi/hipotensi
Cara kerja
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Recovery
1.
Rekam EKG 12 leads dan ukur tekanan darah setelah test dihentikan.
2.
Persilahkan pasien untuk duduk/berbaring.
3.
Pantau terus gambaran EKG selama pemulihan.
4.
Rekam EKG 12 leads dan ukur tekanan darah setiap tiga menit.
22
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga
akan diikuto peningkatan CKMB, pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. 9
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).
o CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10- 24
jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik
dapat meningkatkan CKMB.
o cTn (cardiac spesific troponin): ada 2 jenis cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5- 14 hari, sedangkan cTnI setelah 5- 10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
o Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4- 8 jam.
o Creatinine kinasi (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.
o Latic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark miokard, mencapai
puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari (Sudoyo, 2009).
Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler dan
konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk melihat luasnya iskemia bila
dilakukan waktu dada sedang berlangsung (Sudoyo, 2009).
Angiografi Koroner
23
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung dan
pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada
arteri koroner (Sudoyo, 2009).
DIAGNOSIS BANDING
Tabel 10.1. Kondisi cardiac dan non cardiac sebagai diagnosis banding SKA (ESC, 2011)
TATALAKSANA
24
Bagan 11.1. Algoritma Untuk Triase dan Tata Laksana SKA (Majid, 2008).
3.2.
trombolitik/ PTCA primer untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi luasnya
infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung. Penderita SKA perlu penanganan segera
mulai sejak di luar rumah sakit sampai di rumah sakit. Pengenalan SKA dalam keadaan dini
merupakan kemampuan yang harus dimiliki dokter/tenaga medis karena akan memperbaiki
prognosis pasien. Tenggang waktu antara mulai keluhan-diagnosis dini sampai dengan mulai
terapi reperfusi akan sangat mempengaruhi prognosis. Terapi IMA harus dimulai sedini mungkin,
reperfusi/rekanalisasi sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam (Majid, 2008).
Pasien yang telah ditetapkan sebagai penderita APTS/NSTEMI harus istirahat di ICCU
dengan pemantauan EKG kontiniu untuk mendeteksi iskemia dan aritmia. Oksigen diberikan
pada pasien dengan sianosis atau distres pernapasan. Perlu dilakukan pemasangan oksimetri jari
(finger pulse oximetry) atau evaluasi gas darah berkala untuk menetapkan apakah oksigenisasi
kurang (SaO2 <90%). Morfin sulfat diberikan bila keluhan pasien tidak segera hilang dengan
nitrat, bila terjadi endema paru dan atau bila pasien gelisah. Penghambat ACE diberikan bila
hipertensi menetap walaupun telah diberikan nitrat dan penyekat- pada pasien dengan disfungsi
sistolik faal ventrikel kiri atau gagal jantung dan pada pasien dengan diabetes. Dapat diperlukan
intra-aortic ballon pump bila ditemukan iskemia berat yang menetap atau berulang walaupun
telah diberikan terapi medik atau bila terdapat instabilitas hemodinamik berat (Majid, 2008).
Terapi Non Medika Mentosa (Majid, 2008).
Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan volume sekuncup)
dengan kecepatan yang lambat (penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini menurukan
kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk adalah postur yang
dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke
jantung sehingga terjadi peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah
jantung.
Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
25
26
2. Morfin
27
Morfin adalah analgetik dan anxiolitik poten yang mempunyai efek hemodinamik.
Diperlukan monitoring tekanan darah yang seksama. Obat ini direkomendasikan pada pasien
dengan keluhan menetap atau berulang setelah pemberian terapi anti-iskemik.
Efek samping seperti hipotensi terutama pada pasien dengan kekurangan cairan, mual, muntah
dan depresi pernafasan kadang-kadang terjadi. Naloxone (0.4 2 mg IV) dapat diberikan sebagai
antidotum bila terjadi overdosis morfin dengan depresi pernafasan dan/ atau sirkulasi (Depkes,
2006).
hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.
Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat kedua
dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian
c)
d)
platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada saat ini
ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- Absiksimab suatu antibodi mooklonal
- Eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- Tirofiban suatu nonpeptid mimetik
4. Obat anti-trombin (Depkes, 2006).
a)
Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai polisakarida yang
berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III,
bila terikat dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin
juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi bioavaibilitas.
Pada penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
b)
c)
platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi
komplikasi perdarahan bertambah.
Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang
menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek
samping trombositopenia akibat heparin (HIT)
5. Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemi berat dan
refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atau
penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan
operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke rumah sakit. Pada pasien dengan
faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua
pembuluh darah atau bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan
utama.
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA)
dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan serangan angina klasik. Dengan PTCA,lesi
aterosklerotik didilatasi oleh sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri
femoralis atau brakialis dan di dorong ke jantung. Setelah berada di pembuluh yag sakit,
balon yang ada di kateter digembungkan. Hal ini akan memecahkan plak dan meregangkan
arteri. Dengan bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau
vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran darah dipulihkan
melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling sering ditransplantasikan adalah vena
safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan selang artificial atau stent ke dalam arteri agar
tatap terbuka kadang-kadang dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas
koroner menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas
jangka-panjang (Depkes, 2006).
3.3.
apakah ada indikasi reperfusi segera dengan trombolitik dan teknis transportasi pasien ke rumah
sakit yang dirujuk. 3
Pasien dengan nyeri dada dapat diduga menderita infark miokard atau angina pektoris tak
stabil dari anamnesis nyeri dada yang teliti. Dalam menghadapi pasien-pasien nyeri dada dengan
30
kemungkinan penyebabnya kelainan jantung, langkah yang diambil atau tingkatan dari tata
laksana pasien sebelum masuk rumah sakit tergantung ketepatan diagnosis, kemampuan dan
fasilitas pelayanan kesehatan maupun ambulan yang ada. 3
Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil pada
prinsipnya sebagai berikut : 3
a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA
Rekam
EKG
12
sadapan
atau
kirim
ke
fasilitas
yang
memungkinkan
Jika mungkin periksa petanda biokimia
dan fasilitas monitoring dari tanda vital. Pasien harus diberikan penghilang rasa sakit, nitrat dan
oksigen nasal. Pasien harus ditandu dengan posisi yang menyenangkan, dianjurkan elevasi kepala
40 derajat dan harus terpasang akses intravena. Sebaiknya digunakan ambulan/ambulan khusus. 3
3.4.
e) pemberian obat:
f) nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik <
90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia,
g) aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol, tiklopidin atau
klopidogrel, dan
h) mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis
total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.
3.5.
a.
EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk evaluasi stress
test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan
EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di rawat di
ICCU. 3
2.
Pencegahan
a.
Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,
b.
c.
d.
Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui mencetuskan
serangan angina klasik pada seseorang.
Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk
meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.3
Komplikasi Infark Miokard
Komplikasi tergantung bagian yang rusak.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Klinis Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan
Klinik
3.
Europen Society of Cardiology. 2012. ESC Guidelines For The Management Of Acute
Coronary Syndromes In Patient Presenting Without Persistent ST-Segment Elevation
Majid A. Penyakit Jantung Koroner : Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan Terkini.
2008.
4.
5.
Price, SA. 2008. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: ECG. Hal:
576-581
6.
7.
Snell, Richard. S. 2006. Anatomi Klinis untuk Mahasiswa Edisi 6. EGC. Jakarta. hal. 101
111
8.
Sudoyo AW, et al.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing
34