Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Kardiomiopati kadang-kadang menyerang wanita dalam waktu satu


bulan setelah melahirkan. Yang disebut kardiomiopati peripartum ini adalah hasil
dari kardiomiopati yang terjadi tanpa diketahui penyebabnya dan berhubungan
dengan kelahiran anak. Ketika banyak wanita yang menderita ini dapat sehat
kembali, ada beberapa yang penyakitnya berkembang cepat menjadi
kardiomiopati yang berat. Peripartum kardiomiopati adalah salah satu bentuk
kardiomiopati dilatasi. Jantung yang bekerja berat adalah penyebab lain dari
kardiomiopati dilatasi. Setiap kondisi yang menyebabkan otot jantung bekerja pada
beban yang tinggi untuk waktu yang lama (minggu atau bulan) akhirnya dapat
menyebabkan pembesaran jantung dan pelemahan otot jantung.
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny.K
Umur : 34 tahun
Alamat :
Suku : Batak
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Rumah Sakit : RSUD Embung Fatimah Kota Batam
No. Reg :
Tgl. MRS : 28 April 2016
Tgl. KRS :
II. ANAMNESIS
Seorang wanita berusia 34 tahun datang ke RSUD Embung Fatimah, dengan keluhan
sesak nafas sejak 5 hari yang lalu. Sesak nafas bertambah dengan aktifitas ringan
seperti mandi atau berjalan kurang lebih sejauh sepuluh meter, keluhan sedikit
berkurang dengan istirahat, pasien juga merasakan tiba-tiba terbangun pada malam
hari karena sesak, dan lebih nyaman bila tidur dengan dua bantal. Pasien sedang
hamil. Usia kehamilan 36 minggu. Riwayat kehamilan kedua, dengan kehamilan
pertama keguguran saat usia kandungan 3 bulan. Tujuh bulan setelah keguguran
pasien hamil lagi yang kedua kali ini. Selama trimester pertama dan trimester kedua
pasien tidak pernah merasakan sesak nafas. Pasien sering memeriksakan
kandungannya ke bidan desa setempat. Pasien mengaku tidak mengeluarkan darah
ataupun lendir. Pasien menyangkal pernah merasakan sakit seperti ini pada kehamilan
sebelumnya. Pasien mengaku status kesehatan sebelumnya adalah baik, dan tidak
pernah mengeluh cepat lelah pada aktifitas atau pun sesak nafas. Pasien juga
mengeluh batuk. Sebelum datang ke RSUD , pasien dibawa ke Puskesmas, lalu
langsung dirujuk ke RSUD. Keluhan tidak disertai nyeri dada, dada terasa berdebar-
debar. Kedua kaki bengkak. Selama hamil antenatal care teratur, dan selama hamil
ada riwayat darah tinggi.
III. RIWAYAT HAID
HPHT : 8 September 2015
TP : 15 Juni 2015
Menarche : 14 tahun
Siklus haid : 28 – 30 hari
Lama haid : 5-7 hari
IV. RIWAYAT OBSTETRI
GPA : G1P0A1
Riwayat penyakit sebelumnya : Tidak ada
Riwayat KB : Pil
Riwayat kehamilan sekarang
Pemeriksaan antenatal : Rutin di Posyandu dan Bidan
Makanan : Biasa
Obat-obatan : Asam folat & multivitamin
V. STATUS GENERALIS
Status generalis : Baik/ Gizi cukup/ Sadar
Status vitalis
Tekanan darah : 170/110 mmHg
Nadi : 120x/mnt
Pernapasan : 27 x/mnt
Suhu : 36,0OC
VI. STATUS REGIONAL
Kepala : Mesosefal, konjungtiva anemis (-), sklera
ikterus (-), sianosis (-), edema wajah (-)
Leher : Massa tumor (-), pembesaran kelenjar (-)
Paru :
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor, kanan = kiri, FR+/+
Bunyi pernapasan vesikuler
Auskultasi : Bunyi tambahan Ronkhi +/+, Wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung kesan melebar
Batas kanan atas : Redup ICS III PSL
: dekstra
Batas kiri atas : Redup ICS III AAL sinistra
Batas kanan Bawah : Redup di ICS V PSL
dextra
Batas kiri bawah : Redup di ICS V AAL
sinistra
Auskultasi HR 100x/m reguler, S1S2 tunggal

S1/S2 tunggal, regular


Abdomen :
Inspeksi : Cembung
Au Auskultasi : BU (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Redup

Ekstremitas : Edema (+) pretibial dan dorsum pedis


VII. STATUS OBSTETRIK
Pemeriksaan Luar :
TFU : 23 cm
Punggung : Kanan
Bagian terendah : Kepala
Perlimaan : 5/5
His : (-)
DJJ : 138 x/mnt
Janin kesan : Tunggal
Gerakan janin : (+) dirasakan ibu
:
:
Pemeriksaan Dalam Vagina : Tidak dilakukan
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LAB
Hematologi Hasil
Hemoglobin 8,7 ↓ (N=11,4-15,1)
LED 87/126 ↑ (N= 0-25 mm/jam)
9
Leukosit 16,7 ↑ (N= 4,3-11,3x10 )
Hitung jenis 1/-/-/90/6/4
9
Trombosit 203 (N=150-450 x 10 )
EKG

IX. DIAGNOSIS KERJA


G1P0A1 gravid 37 minggu belum inpartu + Peripartum dilated cardiomyopaty
X. RESUME
Wanita berusia 24 tahun datang ke RSUDEmbung Fatimah 24 April 2016,
dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Sesak nafas bertambah dengan
aktifitas ringan seperti mandi atau berjalan kurang lebih sejauh sepuluh meter,
keluhan sedikit berkurang dengan istirahat, pasien juga merasakan tiba-tiba terbangun
pada malam hari karena sesak, dan lebih nyaman bila tidur dengan dua bantal. Pasien
sedang hamil 37 minggu. Riwayat kehamilan kedua, dengan kehamilan pertama
keguguran saat usia kandungan 3 bulan. Tujuh bulan setelah keguguran pasien hamil
lagi yang kedua kali ini. Sebelumnya pasien tidak pernah merasakan sesak nafas..
Keluhan tidak disertai nyeri dada, dada terasa berdebar-debar. Kedua kaki bengkak.
Selama hamil antenatal care teratur, dan selama hamil tidak ada riwayat darah tinggi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 170/110 mmhg N:120x/mm
RR:28x/m, t:36,0oC. pada foto torax ditemukan cardiomegali.
Pemeriksaan laboratorium : darah rutin, tes fungsi hati dan tes fungsi ginjal
dalam batas normal. Kadar asam urat sedikit meningkat (6,7 mg/dL) serta kadar
albumin serum menurun (2,9 gr/dL). Proteinuri didapatkan +4. Berdasarkan
pemeriksaan USG obstetri didapatkan gravid tunggal hidup, letak kepala, punggung
kiri, plasenta di korpus anterior, cairan amnion cukup (AFI=7,3 cm), biometri janin ~
uk 40 minggu dan hasil KTG : NST reaktif.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan maka pasien ini didiagnosis dengan G1P0A1gravid 37 minggu belum
inpartu + Peripartum dilated cardipmyopaty
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Terdapat berbagai defi nisi PPCM yang diulas lengkap. European Society of
Cardiology on the classification of cardiomyopathies menyatakan bahwa PPCM
adalah suatu bentuk non-familial, non-genetik dari dilated cardiomyopathy yang
berhubungan dengan kehamilan. American Heart Association mendefinisikan
PPCM sebagai penyakit langka dan adanya DCM primer yang didapat berhubungan
dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung. National Heart Lung and Blood
Institute and the Office of Rare Diseases menyatakan PPCM jika (1) gagal jantung
timbul pada bulan terakhir kehamilan atau pada 5 bulan post-partum, (2) tidak ada
penyebab pasti timbulnya gagal jantung (3) tidak ada penyakit jantung yang
ditemukan sebelum kehamilan (4) disfungsi sistolik yang dapat dipastikan oleh
echocardiography dengan kriteria fraksi ejeksi ventrikel kiri <45%, pemendekan
fractional <30% atau keduanya, dengan atau tanpa dimensi end diastolic ventrikel
kiri >2.7cm/ m2 body surface area.
Definisi terkini dibuat oleh Heart Failure Association of the European
Society of Cardiology Working Group on PPCM pada tahun 2010 yang menyatakan
bahwa PPCM adalah suatu keadaan kardiomiopati idiopatik, berhubungan dengan
kehamilan, bermanifestasi sebagai gagal jantung karena disfungsi sistolik ventrikel
kiri, biasanya terjadi pada 1 bulan terakhir kehamilan sampai 5 bulan masa
postpartum; adalah diagnosis eksklusi, terjadi pada wanita tanpa penyakit
kardiovaskular lain, tidak harus disertai dengan dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi
ejeksi biasanya selalu <45%.1.
II. Faktor Resiko
Secara garis besar, faktor risiko PPCM diidentifi kasi berupa penyakit yang
menyebabkan gangguan kardiovaskuler, seperti hipertensi (tekanan darah >140/90
mmHg setelah kehamilan minggu ke-20), diabetes melitus, dan merokok.
Sedangkan faktor risiko yang berhubungan dengan kehamilan antara lain, umur saat
hamil >32 tahun, multipara (>3 kali hamil), kehamilan multifetal, preeclampsia,
penggunaan obatobatan untuk membantu proses melahirkan, dan malnutrisi
terutama obesitas (BMI >30).1,2,9 Ras yang merupakan faktor risiko adalah
Afrika-Amerika. Masih belum jelas apakah ras merepresentasikan faktor risiko
independen atau suatu interaksi dari kebudayaan dan hipertensi yang meningkatkan
risiko PPCM.

III. Etiopatogenesis

Beberapa hipotesis telah diajukan namun tidak ada yang dapat menjadi
penjelasan utama bagi semua kasus PPCM. PPCM diketahui mempunyai patogenesis
yang melibatkan banyak faktor.
A. Stress Oksidatif
Data baru menunjukan keterlibatan stress oksidatif, prolactin-cleaving
protease cathapsin D, dan prolaktin pada patofisiologi PPCM. Stress Oksidatif adalah
suatu stimulus poten untung mengaktivasi chatapsin D dan matrix metalloproteinase-
2, suatu enzim yang dapat menggenerasi prolaktin 16 kDa. Belakangan ini ditemukan
korelasi erat antara N-terminal brain natriuretic peptide, suatu marker tingkat stress
dinding ventrikel dan gagal jantung, prolaktin, dan marker untuk stress oksidatif (
LDL teroksidasi) dan inflamasi (interferon-gama).

B. Prolaktin, Proklaktin 16 Kda dan Katepsin D


Cathepsin D dalam kardiomiosit akan memotong prolactin menjadi
angiostatic and pro-apoptotic subfragment. Pasien PPCM akut mempunyai kadar low
density lipoprotein (LDL) serum tinggi (suatu indikasi stres oksidatif tinggi) dan juga
peningkatan kadar serum katepsin D yang teraktivasi, prolaktin total dan fragmen
prolaktin 16kDa yang bersifat angiostatik.
Pada penelitian mencit, fragmen prolaktin 16 kDa mempunyai efek merusak
kardiovaskular yang dapat menjelaskan patofisiologi PPCM. Fragmen tersebut
menginhibisi proliferasi dan migrasi sel endotel, menginduksi apoptosis dan merusak
struktur kapiler yang telah terbentuk. Bentuk prolaktin ini meningkatkan
vasokonstriksi dan merusak fungsi kardiomiosit. Kadar prolaktin 16 kDa yang tinggi
tanpa keadaan PPCM telah terbukti merusak mikrovaskuler jantung, menurunkan
fungsi jantung dan meningkatkan dilatasi ventrikel. Efek prolaktin 16kDa berlawanan
dengan efek kardioprotektif prolaktin bentuk lengkap. Prolaktin 16kDa tidak
berfungsi melalui reseptor prolaktin bentuk lengkap.
Pro-apoptotic serum markers (soluble death receptor sFas/Apo-1) telah
ditemukan kadarnya meningkat pada pasien PPCM. Marker ini juga dapat
memprediksi status fungsional, dan mortalitas penderita PPCM.1,11,12 Data
eksperimental pada model mencit PPCM (mencit dengan cardiomyocyterestricted
deletion of the signal transducer and activator of transcription-3, STAT3)
menyatakan bahwa suatu mekanisme defensif terhadap antioksidan yang rusak
mungkin bertanggung jawab atas terjadinya PPCM.1 Hasil penelitian ini ditunjang
dengan data bahwa penekanan produksi prolaktin oleh agonis reseptor dopamin D2,
bromokriptin, dapat mencegah terjadinya PPCM.

C. Miokarditis

Selain stres oksidatif, infl amasi jantung disebut juga miokarditis, telah
diketahui berhubungan dengan PPCM. Salah satu penelitian hubungan miokarditis
dengan PPCM mengemukakan bahwa dari 26 pasien, 8 pasien menunjukkan adanya
viral genome pada biopsi miokardium. Virus tersebut antara lain, parvovirus B19,
human herpes virus 6, Epstein-Barr virus, dan human cytomegalovirus. Penelitian itu
berdasarkan hipotesis bahwa perubahan sistem imun saat hamil dapat
mengeksaserbasi infeksi de novo atau mereaktivasi virus laten pada wanita hamil,
menyebabkan miokarditis yang berujung pada kardiomiopati.1,3,9,12 Marker
inflamasi yang terdapat di serum (termasuk soluble death receptor sFas/Apo-1), C-
reactive protein, interferon gama (IFN- (γ), dan IL-6, ditemukan meningkat pada
penderita PPCM.
Mekanisme ini didukung dengan non-randomized trial pada 58 pasien
menggunakan pentoxifylline.13 Juga ditemukan bahwa kegagalan perbaikan klinis
behubungan dengan kadar IFN-(γ) yang tetap tinggi; hal ini penting sebagai faktor
penentu prognosis PPCM.1 Infeksi virus pada jantung merupakan salah satu etiologi
yang mungkin menyebabkan inflamasi peripartum. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa sejenis cardiotropic enterovirus bertanggung jawab atas terjadinya PPCM.

D. Autoimun
Serum pasien PPCM ditemukan mempengaruhi maturisasi sel dendrit in vitro,
berbeda dibandingkan dengan serum wanita postpartum sehat. Serum wanita PPCM
mengandung titer autoantibodi tinggi terhadap protein jaringan kardium yang tidak
terdapat pada pasien kardiomiopati idiopatik. Warraich dkk. Menyatakan bahwa tidak
seperti yang ditemukan pada DCM, yaitu up-regulation selektif G3 subclass
immunoglobulin (IgG3s), pada PPCM terdapat kenaikan kelas G dan semua subclass
immunoglobulin terhadap myosin heavy chain.
Autoantibodi berasal dari sel fetal (microchimerism) (yang dapat masuk ke
dalam sirkulasi maternal), dan beberapa protein (seperti aktin dan miosin) yang
dilepaskan oleh uterus selama proses melahirkan telah terdeteksi pada pasien PPCM.
Autoantibodi ini bereaksi dengan protein miokardium maternal yang kemudian
menyebabkan PPCM.1,3,14 Multiparitas adalah faktor risiko PPCM, menyimpulkan
adanya pajanan terhadap antigen fetal atau paternal dapat menyebabkan respon
inflamasi miokardium abnormal.

E. Genetik
The European Society of Cardiology mengklasifikasikan PPCM sebagai suatu
bentuk DCM nonfamilial dan nongenetik berhubungan dengan kehamilan. Tetapi
beberapa kasus PPCM telah terbukti berhubungan dengan faktor genetik. Beberapa
literatur melaporkan wanita PPCM mempunyai ibu atau saudara perempuan
didiagnosis PPCM, ada pula yang melaporkan hubungan antara first-degree relative
berjenis kelamin perempuan.1,15 Ada juga yang melaporkan bahwa perempuan yang
mempunyai gen DCM (dilated cardiomyopahty), dapat berujung pada PPCM setelah
kehamilan karena adanyastres hemodinamik. Selain itu, terdapat hubungan antara
wanita dengan keluarga laki-laki yang mempunyai DCM. Penelitian 90 keluarga
familial DCM dan PPCM mengungkapkan adanya causative mutation yang dapat
dideteksi lebih awal dengan penapisan. Penelitian tersebut menemukan adanya mutasi
(c.149A>G, p.Gln50Arg) di dalam gen yang mengkode cardiac troponin C
(TNNC1).15 Adanya variasi genetik dalam JAK/STAT signaling cascade juga dapat
menjadi salah satu penyebab PPCM.

IV. Manifestasi Klinis


Kehamilan normal dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistem
kardiovaskuler seperti peningkatan volume darah, peningkatan kebutuhan metabolik,
anemia ringan, perubahan resistensi vaskuler dengan adanya dilatasi ringan ventrikel
dan peningkatan curah jantung. Karenanya, awal manifestasi klinis PPCM mudah
terselubung.
Presentasi klinis PPCM kurang lebih sama dengan gagal jantung sistolik
sekunder terhadap kardiomiopati. Tanda dan gejala awal PPCM biasanya menyerupai
temuan normal fisiologis kehamilan, termasuk oedem pedis, dyspneu d’effort,
ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan batuk persisten.
Tanda dan gejala tambahan pasien PPCM adalah: abdominal discomfort
sekunder terhadap kongesti hepar, pusing, nyeri sekitar jantung dan epigastrium,
palpitasi, pada stadium lanjut didapat hipotensi postural, peningkatan tekanan vena
jugularis, murmur regurgitasi yang tidak ditemukan sebelumnya, serta gallop S3.
Pada mayoritas pasien, 78% gejala didapati pada 4 bulan setelah melahirkan,
hanya 9% pasien menunjukkan gejala pada bulan terakhir kehamilan.1 Tanda dan
gejala paling sering dijumpai pada saat pasien dating adalah dengan NYHA functional
class III atau IV. Kadang pasien datang dengan aritmi ventrikel atau cardiac arrest.
Gejala PPCM diklasifikasikan menggunakan sistem New York Heart
Association sebagai berikut:
• Class I – Keadaan tanpa gejala
• Class II – Gejala ringan hanya pada aktivitas berat
• Class III – Gejala dengan aktivitas ringan
• Class IV – Gejala pada saat istirahat
Trombosis ventrikel kiri tidak jarang ditemui pada pasien PPCM dengan
LVEF <35%. Komplikasi lain yang dapat dijumpai adalah embolisme perifer,
termasuk emboli serebral dengan konsekuensi neurologis serius dan embolisme
koroner mesenterium.

V. Diagnosis
Definisi PPCM pertama kali dikemukakan pada tahun 1971 sebagai
perkembangan penyakit miokardial yang terjadi pertama kali pada akhir atau awal
kehamilan. Modifikasi definisi klasik ini menambahkan kriteria ekocardiografi s yang
ketat. The National Heart, Lung, and Blood Institute and the Office of Rare Diseases
workshop mengadopsi defi nisi tersebut pada tahun 2000. Pada tahun 2010, the
European Society of Cardiology Working Group on Peripartum Cardiomyopathy
mengemukakan usulan modifikasi definisi PPCM.
Kardiomiopati peripartum adalah diagnosis eksklusi, pasien harus telah
diperiksa dan disingkirkan penyebab lain gagal jantung selain kehamilan.1 Hal ini
untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis idiopathic dilated cardiomyopathy
(IDCM). Pertimbangan diagnosis PPCM biasanya pada masa postpartum, sedangkan
IDCM pada trimester ke-2 kehamilan. Kejadian miokarditis banyak ditemukan pada
PPCM, sehingga antigen dan antibodi terhadap agen penyebab miokarditis dapat
ditemukan, hal ini biasanya tidak ditemukan pada IDCM. Ukuran jantung dapat
kembali normal pada PPCM, namun dapat juga menjadi progresif dan mempunyai
prognosis buruk jika tidak segera ditangani.
Setelah berbagai etiologi telah disingkirkan, harus dipertimbangkan kriteria
berikut: keadaan kardiomiopati idiopatik, berhubungan dengan kehamilan,
bermanifestasi sebagai gagal jantung karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya
terjadi selama 1 bulan terakhir kehamilan sampai 5 bulan masa postpartum, adalah
diagnosis eksklusi, terjadi pada wanita tanpa penyakit kardiovaskular lain, tidak harus
disertai dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi biasanya selalu <45%.
Pemeriksaan laboratorik pada PPCM biasa nya tidak menunjukkan
abnormalitas kecuali telah terjadi komplikasi hipoksia lanjut. Pemeriksaan dapat
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial seperti preeclampsia dan
noncardiogenic pulmonary edema.
Noncardiogenic pulmonary edema selama kehamilan adalah suatu keadaan
tekanan onkotik rendah, digambarkan dengan penurunan kadar albumin serum (kadar
yang diharapkan ~3,2 mg/dL); sehingga ketika ada stressor lain, dapat terjadi edema
pulmonary dengan tekanan pengisian jantung normal; trigger paling sering antara lain
pyelonephritis dan infeksi lain, corticosteroids, dan tocolytics seperti beta agonists
dan magnesium sulfat.
B-type natriuretic peptide
Akibat peningkatan LV end-diastolic pressure karena disfungsi sistolik,
sebagian besar pasien PPCM memiliki konsentrasi BNP plasma atau N-terminal pro-
BNP (NTproBNP),meningkat. Dari 38 pasien PPCM, semua mempunyai kadar NT-
proBNP plasma abnormal (rata-rata 1727,2 fmol/ mL) dibandingkan dengan 21
wanita post partum sehat (rata-rata 339,5 fmol/mL)
Pemeriksaan Tambahan
Rontgen Thoraks
Diagnosis harus cepat ditegakkan. Dispnea akut, takikardia atau hipoksia,
harus disertai Ro thorax untuk mendeteksi edema pulmoner, mencari etiologi dan
menyingkirkan pneumonia; dilaksanakan dengan menggunakan pelindung abdomen.
Fetal radiation exposure dengan 2 maternal chest radiographs menggunakan
abdominal shielding adalah sekitar 0.00007 rads. Sedangkan batasan yang diterima
untuk fetal radiation exposure selama kehamilan adalah 5 rads. Patchy infi ltrates di
daerah paru bawah, dengan vascular redistribution/ cephalization, kardiomegali, dan
efusi pleura, mengindikasikan adanya gagal jantung kongestif. Harus
dipertimbangkan bahwa noncardiogenic pulmonary edema dapat ditemukan jika
wanita hamil terkena infeksi berulang, juga pada keadaan tekanan jantung normal dan
tidak ditemukan adanya cephalization pembuluh darah.
Elektrokardiografi (EKG)
Pada dua penelitan melibatkan 97 pasien Afrika Selatan, didapatkan 66%
mempunyai hipertrofi ventrikel kiri dan 96% mempunyai gelombang ST-T abnormal.
Kadang terdapat aritmia kordis kronis.1 Studi lain menemukan QRS kompleks
memanjang lebih dari 120 ms pada EKG pasien PPCM sebagai predictor mortalitas
Ekocardiografi
Ekocardiografi merupakan baku emas diagnosis PPCM. Tidak semua pasien
datang dengan dilatasi LV, tetapi LV end-diastolic diameter >60 mm memprediksi
kesembuhan minimal fungsi LV (sama halnya dengan LVEF <30%). Kriteria
diagnosis juga termasuk EF <45% dan fractional shortening <30%. Pencitraan
diperlukan untuk mencari trombus yang terbentuk akibat gangguan LVEF.
Ekocardiografi dianjurkan diulang sebelum pasien pulang, pada 6 minggu, bulan dan
kemudian setiap tahun untuk menilai efi kasi terapi medis.1 Morfologi katup jantung
biasanya dalam batas normal, tetapi dilatasi ventrikel kiri bisa menyebabkan
regurgitasi mitral sekunder terhadap dilatasi anulus. Efusi perikardium minimal dapat
juga ditemukan pada awal dan pertengahan periode postpartum.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Lebih akurat untuk menilai volume ruang jantung dan fungsi ventrikel
dibandingkan ekokardiografi , juga lebih sensitif untuk melihat trombus. Magnetic
resonance imaging dapat mengukur kontraksi miokard secara segmental dan dapat
mengidentifi kasi perubahan miokard secara detail. Magnetic resonance imaging
menggunakan gadolinium jauh lebih sensitif untuk menyingkirkan diagnosis PPCM
dari miokarditis lainnya, tetapi gadolinium harus dihindari pada wanita hamil.

VI. KOMPLIKASI
1. Tromboemboli
Thrombus sering kali terbentuk pada pasien dengan LVEF <35% dan telah
dilaporkan tingkat kematian akibat tromboemboli 30 - 50%. Emboli sistemik yang
mengarah kepada Transient Ischemic Attack (TIA), hemiplegia, emboli paru, infark
miokard akut (AMI), oklusi arteri mesenterika yang memberikan gejala akut
abdomen, infark ginjal yang mengakibatkan pielonefritis dan infark limpa.
Tromboemboli perifer menyebabkan iskemia tungkai dan gangren.
2. Aritmia
Aritmia seperti sinus takikardia, takikardi atrium dan ventrikel, fibrilasi dan flutter
atrium, denyut ventrikel prematur, atrium dan ventrikel ekstra sistol dan Wolfe-
Parkinson-White Syndrome dapat terjadi pada PPCM. Dapat pula terjadi takikardia
ventrikel yang menyebabkan henti jantung. Meningkatnya penggunaan implan
cardioverter defibrillator otomatis (AICD) pada pasien PPCM menurunkan risiko
tinggi aritmia yang mengancam jiwa.
3. Kegagalan organ
Gagal hati akut dan koma hepatik yang timbul akibat gagal jantung kongesti pada
pasien PPCM. Dapat pula terjadi bakteremia dan kegagalan multiorgan termasuk hati,
jantung dan ginjal.
4. Komplikasi obstetrik & perinatal
Pada PPCM,, insidens aborsi meningkat (4 - 25%), partus prematur (11 - 50%), bayi
kecil untuk masa kehamilan dan bayi berat lahir rendah, pertumbuhan janin terlambat
dan kematian janin intrauterin. Dalam beberapa kasus didapatkan anomali kongenital
janin (4 - 6%). Gagal jantung kongestif dihubungkan dengan tingkat kematian bayi
yang lebih tinggi (10%).
VII. PENATALAKSANAAN
Penanganan medis PPCM mirip penanganan pada penyakit gagal jantung.
Pengobatan utama adalah pembatasan cairan dan garam, digoksin, diuretik,
vasodilator dan antikoagulan. Kehamilan dan menyusui harus selalu menjadi
pertimbangan sebelum memilih obat.

A. TINDAKAN NON-FARMAKOLOGIS
Bed rest total selama 6 - 12 bulan, seperti yang telah dianjurkan sebelumnya, terkait
dengan kejadian rendah kardiomegali, tetapi hasil yang sama dapat dicapai tanpa
istirahat di tempat tidur berkepanjangan. Bed rest total mungkin merupakan
predisposisi terjadinya trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) dan selanjutnya
meningkatkan risiko emboli paru. Setelah gejala klinis membaik dengan manajemen
medis, olahraga sederhana sebenarnya dapat meningkatkan perbaikan otot serta tonus
arteri. Asupan cairan dan garam dan cairan harus dibatasi masing-masing 2 - 4 gram
/ hari dan 2 L / hari, dan juga penting dalam perbaikan gejala.

B. MANAJEMEN FARMAKOLOGI
Digoksin
Digoksin bermanfaat sebagai ionotropik, dan mengurangi gejala simptomatik.
Digoksin dalam dosis rendah aman selama kehamilan dan menyusui (dosis tinggi
akan meningkatkan sitokin inflamasi) dan kadar digoksin serum harus dimonitor,
terutama bila dikombinasi dengan diuretik. Pengobatan digoksin selama 6 - 12
bulan dapat mengurangi risiko kekambuhan dari PPCM.
Diuretik
Diuretik aman pada kehamilan dan menyusui. Diuretik diindikasikan untuk
mengurangi preload dan mengurangi gejala. Namun, harus hati-hati terhadap
dehidrasi iatrogenik yang menyebabkan hipoperfusi rahim dan mengakibatkan
gawat janin. Loop diuretik biasa digunakan di rumah sakit, tapi thiazides dapat
digunakan pada kasus-kasus ringan. Dapat terjadi alkalosis metabolik akibat
dehidrasi yang dipicu oleh diuretik. Penambahan acetazolamide akan mengurangi
alkalosis dengan menghilangkan bikarbonat. Spironolactone, karena sifat
antagonisme aldosteronnya, telah terbukti dapat mengurangi gejala, frekuensi
perawatan di rumah sakit dan kematian pada pasien gagal jantung berat bila
dikombinasi dengan manajemen standar. Namun, spironolactone mungkin tidak
aman pada kehamilan dan sebaiknya dihindari pada periode antepartum.
Vasodilator
Vasodilator sangat penting dalam penanganan gagal jantung karena efek
menurunkan preload dan afterload. Vasodilator meningkatkan CO dan
keberhasilan pengobatan gagal jantung. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACE-I) atau Angiotensin Reseptor Blocker II (ARB) sekarang dianggap sebagai
manajemen utama dan telah terbukti menurunkan angka kematian pasien gagal
jantung secara signifikan. ACE-I dan ARB dikontraindikasikan pada kehamilan
karena teratogenisitas, tapi harus dipertimbangkan setelah melahirkan, dan bahkan
dapat diberikan pada kehamilan lanjut ketika obat lainnya tidak efektif. ACE-I
diekskresikan melalui ASI sehingga ASI harus dihentikan pada pasien yang
membutuhkan ACE-I. Infus nitrogliserin dan natrium nitroprusside (SNP)
mungkin diperlukan dalam kondisi yang parah. Karena toksisitas sianida yang
tinggi, SNP mungkin bukan pilihan yang baik pada periode antepartum.
Calcium channel blocker
Awalnya, penggunaan calcium channel blockers (CCB) pada gagal jantung tidak
dapat diterima karena efek kontraktil negatif dan potensi risiko hipoperfusi rahim.
Amlodipine sekarang telah terbukti meningkatkan tingkat kelangsungan hidup pada
pasien kardiomiopati non-iskemik. Pada pengujian Prospective Randomized
Amlodipine Survival Evaluation (PRAISE), amlodipine dapat menurunkan kadar IL-6
dan menunjukkan peran potensial dalam pengelolaan PPCM. Levosimendan, sebuah
sensitizer kalsium memiliki efek vasodilatasi dan meningkatkan kontraktilitas jantung
pada pasien gagal jantung. Akhir-akhir ini, Levosimendan telah digunakan pada
pasien PPCM dan berhasil menurunkan peningkatan Pulmonary Capillary Wedge
Pressure (PCWP) dan selanjutnya meningkatkan CO. Karena kurangnya laporan
tentang keamanannya, levosimendan sebaiknya dihindari pada pasien menyusui.
Beta blocker
Beta bloker tidak dikontraindikasikan pada kehamilan, tetapi penggunaannya
dikaitkan dengan berat badan lahir rendah. Beta blockers dengan sifat tambahan blok
alpha (seperti carvedilol) juga mengurangi afterload. Carvedilol telah digunakan
dengan aman pada kehamilan dan PPCM. Beta blockers dan ACE-I mungkin
mempunyai peran tambahan dalam penekanan respon imun, dan juga mencegah
remodeling ventrikel dan mengurangi ukuran ventrikel. Obat dapat dikurangi secara
bertahap selam 6 - 12 bulan bila secara klinis fungsi ventrikel dan ekokardiografi
kembali normal. Jika ada bukti disfungsi jantung terus-menerus yang terkait dengan
hipertensi atau diabetes, obat harus dilanjutkan untuk waktu yang lama.
Agen antiaritmia
Agen antiaritmia kadang mungkin diperlukan untuk mengobati keluhan simptomatik.
Tidak ada agen antiaritmia yang benar-benar aman pada kehamilan. Quinidine dan
Procainamide merupakan pengobatan lini pertama karena profil keamanan yang lebih
tinggi dan pengobatan harus dilakukan di rumah sakit. Digoksin dapat
dipertimbangkan untuk aritmia atrium, dan adenosin juga dapat digunakan dalam
keadaan darurat. Amiodarone dapat menyebabkan hipotiroidisme, retardasi
pertumbuhan dan kematian perinatal, sehingga harus dihindari pada trimester pertama
dan diberikan hanya pada aritmia berat yang mengancam kehidupan.
Terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan diberikan pada pasien dengan LVEF <35% dan pasien terbaring
di tempat tidur dengan atrial fibrilasi, trombus, obesitas dan riwayat tromboemboli.
Keadaan hiperkoagulasi yang biasa terjadi pada kehamilan dan stasis darah karena
disfungsi ventrikel membuat pasien PPCM lebih rentan terhadap pembentukan
trombus dan komplikasinya. Situasi ini dapat bertahan selama enam minggu masa
nifas, sehingga diperlukan penggunaan heparin dalam antepartum dan heparin atau
warfarin dalam periode postpartum. Warfarin merupakan kontraindikasi pada
kehamilan karena efek teratogenik, tetapi baik heparin maupun warfarin aman
digunakan selama menyusui.
Terapi imunosupresif
Terapi imunosupresif dengan azathioprine dan prednisolon telah diteliti pada pasien
PPCM dengan miocarditis-positif. Melvin dkk, pertama mencatat perbaikan dramatis
dalam tiga pasien dengan terapi imunosupresif. Dalam studi lain, 9 dari 10 pasien
menunjukkan perbaikan PCWP dan Left Ventricular Stroke Work Index (LVSWI)
dengan terapi prednisolon. Namun, Pengujian Pengobatan Miokarditis gagal untuk
menunjukkan keuntungan dari terapi imunosupresif pada pasien PPCM. Saat ini,
tampaknya tidak ada indikasi rutin terapi imunosupresif, tetapi dapat
dipertimbangkan bila hasil biopsi terbukti tidak berespon setelah 2 minggu
pengobatan tandar.
Terapi imunoglobulin
Imunoglobulin intravena (IVIG) telah terbukti meningkatkan perbaikan disfungsi
ventrikel akibat PPCM. Mengingat bukti-bukti meningkatnya autoimunitas pada
PPCM, mungkin bijaksana untuk mempertimbangkan IVIG pada pasien PPCM yang
tidak berespon terhadap pengobatan konvensional.
Interferon
Interferon telah digunakan bila hasil biopsi membuktikan miokarditis virus.
Interferon hanya memperbaiki parameter echocardiografi, namun tidak
menghasilkan banyak manfaat terhadap gejala simtomatik pasien PPCM.
Immunomodulasi
Pentoxifylline, agen imunomodulasi dikenal untuk mengurangi produksi TNFa,
CRP dan Fas/Apo-1, telah terbukti dalam penelitian dapat memperbaiki kelas
NYHA, LVEF dan hasil akhir pengobatan pada pasien PPCM bila
dikombinasikan dengan pengobatan konvensional. Namun, dibutuhkan lebih
banyak bukti sebelum pentoxifylline dapat direkomendasikan.

C. MANAJEMEN OPERASI
Transplantasi jantung hanya diperuntukkan bagi mereka yang resisten
terhadap semua manajemen medis, tetapi tingkat penolakan lebih besar karena
tingginya titer antibodi yang beredar. Pasien dengan usia muda, kerusakan end-organ
minimal dan PPCM onset dini memiliki hasil yang lebih menguntungkan.
D. MANAJEMEN OBSTETRIK
PPCM selama periode antepartum memerlukan pemantauan janin dan ibu
yang intensif. Suatu pendekatan multidisiplin yang melibatkan dokter kebidanan, ahli
jantung, anestesi dan perinatologist mungkin diperlukan untuk memberikan
perawatan yang optimal kepada pasien PPCM. Analgesia regional akan mengurangi
stres jantung akibat nyeri persalinan, sedangkan aplikasi forsep outlet atau alat vakum
dapat meminimalkan stres jantung pada kala 2 persalinan. Operasi caesar
meningkatkan risiko kehilangan darah, endometriosis dan emboli paru, dan paling
baik dilakukan untuk indikasi obstetri serta dalam kondisi dekompensasi berat.
Setelah persalinan, pasien perlu pemantauan di Unit Perawatan Intensif (ICU) untuk
deteksi dini dan pengelolaan autotransfusi uterus yang menginduksi edema paru.
Dokter kebidanan harus memberikan konseling tentang menyusui dan
kehamilan berikutnya sebelum pasien dipulangkan. Tidak ada kontrasepsi yang
benar-benar ideal untuk wanita dengan penyakit jantung, karena resiko terjadinya
komplikasi seperti thrombosis dan infeksi. Jenis-jenis kontrasepsi :
Barier/ kondom
Kurang ideal karena angka kegagalan cukup tinggi ± 12 %
Pil oral ontrasepsi
Angka keberhasilan sangat tinggi tetapi karena ada resiko tromboemboli maka
pemakaiannya harus dihindari pada kelainan jantung seperti mitral stenosis, riwayat
tromboemboli, atrial fibrilasi, katup jantung prostetik, kardiomiopati, dan sindroma
Eisenmenger
Kontrasepsi bebas estrogen
Walaupun efektifitasnya lebih rendah tapi terbukti aman untuk wanita dengan
penyakit jantung
IUD
Pemakaian harus hati-hati karena adanya resiko infeksi dan reflex vagal yang dapat
menimbulkan bradikardia pada saat pemasangan. Selain itu pada pasien yang
memakai antikoagulan ada resiko perdarahan menstruasi yang banyak
Tubektomi atau vasektomi
Dianjurkan pada pasien yang sudah tidak mengingkan anak (8)

VIII. PROGNOSIS
Prognosis dilaporkan PPCM bervariasi, tetapi dengan manajemen yang canggih
seperti sekarang ini maka prognosisnya menggembirakan.
Pemulihan dari PPCM
Pemulihan klinis terdiri dari perbaikan gejala dan penghentian pengobatan
gagal jantung. Pemulihan disfungsi ventrikel telah didefinisikan sebagai :
1. LVEF ≥ 50% atau perbaikan > 20%
2. LVFS ≥ 30%
Meskipun sebagian besar pemulihan terjadi dalam 2 bulan pertama, tapi dapat
pula sampai 6 - 12 bulan. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun 94% pada pasien
dengan pemulihan komplit fungsi ventrikel.(1,9,10)
Kriteria Prognosis Buruk
Umumnya pasien dengan usia dan paritas yang lebih tinggi, kehamilan
kembar, ras kulit hitam, onset lambat gejala (> 2 minggu pasca persailnan), trombus
intrakardiak, defek konduksi jantung, disfungsi ventrikel persisten enam bulan setelah
melahirkan, penyakit medis sebelumnya dan keterlambatan dalam penangan medis
awal memiliki prognosis buruk. LVEF (<45%) pada dua bulan setelah diagnosis juga
memiliki prognosis buruk. Akhir-akhir ini, kadar antibodi anti-klamidia, TNF dan
IgG kelas 3 yang tinggi telah dikaitkan dengan prognosis buruk. Dibandingkan
dengan postpartum, terjadinya PPCM antepartum dikaitkan dengan prognosis buruk.
Mortalitas
Angka kematian hingga sekitar > 50% dan sekitar setengahnya meninggal
dalam bulan pertama sejak munculnya gejala dan mayoritas dalam tiga bulan pertama
dari periode postpartum. Penyebab tertinggi kematian adalah tromboemboli, serta
gagal jantung kongestif berat dan aritmia. Pengetahuan yang lebih baik tentang
patofisiologi, pendekatan multimodal dan strategi manajemen invasif dan intensif
dapat menurunkan tingkat mortalitas

IX. RISIKO KEKAMBUHAN DALAM KEHAMILAN BERIKUTNYA


Kebanyakan laporan menggambarkan kekambuhan PPCM pada kehamilan
berikutnya. Belum jelas apakah ini disebabkan eksaserbasi dari kegagalan jantung
subklinis sebelumnya atau reaktivasi dari proses penyakit yang sama. Resiko tertinggi
kekambuhan tetap pada pasien dengan disfungsi jantung persisten dan risiko terendah
pada mereka yang fungsi jantung telah normal, sebagaimana dibuktikan dengan
dobutamin stress test.
Multiparitas meningkatkan risiko kerusakan jantung yang ireversibel pada
kehamilan berikutnya. Kekambuhan gagal jantung berkisar antara 21-80% pada
kehamilan berikutnya. Kekambuhan PPCM juga dapat terjadi pada pasien yang
ukuran dan fungsi ventrikel yang telah kembali normal. Oleh karena itu, kriteria yang
digunakan untuk mendeteksi pemulihan fungsi ventrikel berdasarkan ekokardiografi
istirahat pada pasien PPCM harus direvisi, dan dobutamin stress test mungkin
memainkan peran penting.
BAB IV
KESIMPULAN
Kardiomiopati peripartum adalah keadaan kardiomiopati idiopatik,
berhubungan dengan kehamilan, bermanifestasi sebagai gagal jantung karena
disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir kehamilan
sampai 5 bulan masa postpartum, adalah diagnosis eksklusi, terjadi pada wanita tanpa
penyakit kardiovaskular lain, tidak harus disertai dengan dilatasi ventrikel kiri, namun
fraksi ejeksi biasanya selalu <45%.1 Faktor risiko PPCM termasuk multipara, umur
ibu lebih dari 30 tahun, kehamilan dengan bayi lebih dari 1, hipertensi gestasional,
dan ras Afrika-Amerika. Bermacam teori etiopatogenesis PPCM antara lain stress
oksidatif, prolaktin, autoimun dan genetik. Manifestasi klinis PPCM hampir sama
dengan gagal jantung kongestif pada umumnya, namun dapat dibedakan melalui
anamnesis dan pemeriksaan penunjang, terutama ekokardiografi sebagai baku emas
penegakan diagnosis.
DAFTAR PUSTAKA

Soewarto S. Tata Laksana Kehamilan pada Penyakit Jantung. Himpunan Kedokteran


Fetomaternal POGI. Jakarta. 2007; 21-23.

Anda mungkin juga menyukai