Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN

Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan

teknologi dan pembangunan, frekuensinya cenderung makin meningkat.

Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian

akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering

dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Kasus cedera kepala

terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15-44 tahun

dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan perempuan.

Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas dan disusul dengan

kasus jatuh terutama pada kelompok usia anak-anak.

Trauma capitis adalah cedera pada kepala yang dapat melibatkan

seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang

paling “ringan”, tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak, sampai

jaringan otaknya sendiri; baik berupa luka yang tertutup, maupun trauma

tembus.

Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu dicantumkan

informasi penting seperti: umur penderita, waktu, mekanisme cedera,

status respiratorik dan kardiovaskuler, pemeriksaan minineurologis (GCS)

terutama nilai respon motorik dan reaksi cahaya pupil, adanya cedera

penyerta, dan hasil CT Scan.

1
Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah

umum dan kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan

pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak.

Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat

pasien tiba di Rumah Sakit.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi

baik secaralangsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat

kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial,

bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of

America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan

bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh

serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah

kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan

fungsi fisik.1

Adapun pembagian trauma kepala adalah:

 Simple head injury

 Commotio cerebri

 Contusion cerebri

 Laceratio cerebri

 Basis cranii fracture

Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan

sebagai cedera kepala ringan.Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio

cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.

3
Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah

umum dan kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan

pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak.

Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat

pasien tiba di Rumah Sakit.

2.2 Etiologi

a. Trauma tajam

Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek

otak, misalnya tertembak peluru/benda tajam.

b. Trauma tumpul

Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat

sifatnya.

c. Cedera akselerasi

Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan

maupun bukan dari pukulan.

d. Kontak benturan (gonjatan langsung)

Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek.

e. Kecelakaan lalu lintas.

f. Jatuh

4
g. Kecelakaan industri

h. Serangan yang disebabkan karena olah raga

i. Perkelahian.

2.3 Patofisiologi

Pada Trauma kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua

tahap yaitu Trauma primer dan Trauma sekunder.Trauma primer

merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda

paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda

keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. 4 Dalam

mekanisme Trauma kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.

Trauma primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang

tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang

berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut

contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan

berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.Perbedaan

densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi

semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan

intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak

membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan

dari benturan (contrecoup).15

5
Coup dan contercoup

Trauma sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai

proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak

primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,

iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. 5

Fraktur cranii

Fraktur cranii dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur

kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata,

depressed atau non depressed. Fraktur basal cranii sulit tampak pada foto

sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-tulang

untuk memperlihatkan lokasinya.Sebagai pegangan umum, depressed

fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi

elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan

langsung antara laserasi scalp dan permukaan

serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi

perbaikan segera.7

6
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura

ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak

mempunyai cedera berat.Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko

hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20

kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura

kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali

pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk

alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat

dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak

pasien tersebut.8

Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,

walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan.Lesi fokal

termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau

hematoma intraserebral).Pasien pada kelompok cedera otak difusa,

secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan

perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak

difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini. 8

Hematoma Epidural

7
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di

ruang potensial antara tabula interna dan duramater.Paling sering terletak

diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya

pembuluh meningeal media.Perdarahan biasanya dianggap berasal

arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga

kasus.Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya

sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.Walau

hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau

9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat

menegakkan diagnosis dan ditindak segera.Bila ditindak segera,

prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih

terbatas.Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum

operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak

koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam. 5,7

Hematoma Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di

antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan

EDH, ditemukan

sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering

akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining.

Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi

otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak.Selain itu, kerusakan

8
otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih

berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas

umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang

sangat segera dan pengelolaan medis agresif.7

Kontusi dan hematoma intraserebral.

Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering.Selanjutnya, kontusi

otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas

terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi

pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.Perbedaan

antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas

batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat

secara lambat laun menjadi hematoma intraserebraldalam beberapa hari. 7

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam

jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau

kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah

yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering

adalah lobus frontalis dan temporalis.Lesi perdarahan dapat terjadi pada

sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi

yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas

perdarahan.14

2.4 Klasifikasi

9
1. Simple Head Injury

Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:

 Ada riwayat trauma kapitis

 Tidak pingsan

 Gejala sakit kepala dan pusing

Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat

simptomatik dan cukup istirahat.

2. Commotio Cerebri

Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan

yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala,

yang tidak disertai kerusakan jaringan otak.Pasien mungkin

mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak

pucat.

Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin

atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak.Pada

commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu

hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum

terjadinya kecelakaan.Amnesia ini timbul akibat terhapusnya

rekaman kejadian di lobus temporalis.Pemeriksaan tambahan yang

selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan

memori.Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk

10
observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi

bertahap.

3. Contusio Cerebri

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-

perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan

yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan

atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah

adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan

pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang

destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala.

Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat,

sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan

asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak

mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama

blockade reversible berlangsung.

Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan

“intermediate” menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa

berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN.

Setelah kesadaran puli kembali, si penderita biasanya

menunjukkan “organic brain syndrome”.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-

mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas,

11
autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi

vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi

lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat

vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan

pernafasan bisa timbul.

Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk

melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka

pendek. Terapi dengan antiserebral edem, anti perdarahan,

simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.

4. Laceratio Cerebri

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai

dengan robekan piamater.Laceratio biasanya berkaitan dengan

adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan

intercerebral.Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung

dan tidak langsung.

Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala

yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur

terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio

tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat

akibat kekuatan mekanis.

12
5. Fractur basis cranii

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa

media dan fossa posterior, dan dapat terbentuk garis atau bintang

dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fractur basis craniibiasanya

merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis

frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis Fractur basis cranii

menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan

lebih rinci.Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa

mana yang terkena.

Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

 Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding

 Epistaksis

 Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:

 Hematom retroaurikuler, Ottorhoe

 Perdarahan dari telinga

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.

Komplikasi :

 Gangguan pendengaran

 Parese N.VII perifer

 Meningitis purulenta akibat robeknya duramater

13
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi

terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk

mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang

berlangsung lebih dari 6 hari.

6. Lesi Intrakranial

Sebagai akibat dari cedera tersebut, otak dapat pula mengalami

cedera yang secara klinis dibedakan menjadi : cedera otak local dan

cedera otak difus, walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan.

Cedera otak fokal , secara makroskopis terlihat adanya lesi fokal yaitu :

1) Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan

calvaria.Umumnya terjadi pada regon temporal atau

temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media

(Sudiharto, 1998).Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran

sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam.

Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai

kelainan neurologist unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala

neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese,

papil edema(pembengkakan mata) setelah 6 jam dari kejadian dan

gejala herniasi transcentorial, Binggung dan gelisah sehingga

tekanan darah meningkat dan tekanan nadi menurun,

14
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan

berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan

gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan

paresis nervus kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk

bikonveks atau menyerupai lensa cembung.

2) Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada

perdarahan epidural (kira-kira 30% dari cedera kepala

berat).Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena

jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous

tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat

laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan

subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan

kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh

lebih buruk daripada perdarahan epidural. Gejala yang dapat

ditemukan pada pasien dengan perdarahan subdural adalah

sebagai berikut :

a) Penderita mengeluh sakit kepala yang bertambah hebat

b) Tampak adanya gangguan psikis

c) Setelah beberapa lama tampak kesadaran penderita semakin

menurun

15
d) Kelainan neurologis seperti : hemiparesis (kelumpuhan salah satu

anggota tubuh) dan bangkitan epilepsi

Pada pemeriksaan radiologi akan tambak seperti bulan sabit.

3) Perdarahan Intraserebral

Perdarahan Intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa

hematom hanya berupa perdarahan kecil saja. Perdarahan tersebut

sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga pada

setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Gejala yang

terlihat adalah :

a) Papiledema (pembengkakan mata) serta gejala-gejala lain dari

tekanan intrakranium yang meningkat

b) Hemiplegi (gangguan fungsi motorik/sensorik pada satu sisi tubuh)

16
c) Arteriografi karotis dapat memperlihatkan suatu pergeseran dari

arteri perikalosa ke sisi berlawanan serta gambaran cabang-

cabang arteri serebri media yang tidak normal

4) Cedera Difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat

akselerasi dan deselerasi.Cedera ini merupakan bentuk yang lebih sering

terjadi pada cedera kepala.Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana

kesadaran tetap tidak terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang

bersifat sementara dalam berbagai derajat.Cedera ini sering terjadi,

namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling

ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa

amnesia retrograd, amnesia integrad (keadaan amnesia pada peristiwa

sebelum dan sesudah cedera).

Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan

menurunya atau hilangnya kesadaran.Keadaan ini selalu disertai dengan

amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran

beratnya cedera.Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa

waktu lamanya dan reversible. Penderita akan sadar kembali dalam waktu

kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih

kembali tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat

timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu

misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta

17
gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio

yang dapat cukup berat.

Cedera Aksonal Difus (CAD) adalah dimana penderita mengalami

coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh

suatu lesi masa atau serangan iskemi. Penderita akan dalam keadaan

koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita

sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih

sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.

Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,

hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak

primer.

18
2.5 Diagnosis

Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson

(2002) antara lain:23

1. Pemeriksaan kesadaran

GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga

pengukuran, yaitu pembukaan mata, respon motorik, dan respon

verbal.adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.

1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

 Secara spontan 4

 Atas perintah 3

 Rangsangan nyeri 2

 Tidak bereaksi 1

2. Kemampuan komunikasi (V)

 Orientasi baik 5

 Jawaban kacau 4

 Kata-kata tidak berarti 3

 Mengerang 2

 Tidak bersuara 1

3. Kemampuan motorik (M)

 Kemampuan menurut perintah 6

19
 Reaksi setempat 5

 Menghindar 4

 Fleksi abnormal 3

 Ekstensi 2

 Tidak bereaksi 1

Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk

mengkategorikan pasien menjadi

• GCS <9 : pasien koma dan cedera kepala berat

• GCS 9- 13 : cedera kepala sedang

• GCS 13 - 15 : cedera kepala ringan

Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera

Kepala.Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale

pada tahun 1974 (Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Sastrodiningrat,

2007).Sejak itu GCS merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk

menilai beratnya cedera kepala.GCS seharusnya telah diperiksa pada

penderita-penderita awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat

paralitik dan sebelum intubasi.Derajat kesadaran tampaknya mempunyai

pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan.GCS

juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosa.

Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS.Penentuan

skor GCS sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai

20
prediksi GCS.Pada beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit

ditentukan pada mata yang bengkak dan setelah tindakan intubasi

endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi prediksi yang kuat; penderita

dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid ) mempunyai mortalitas 90 %.

Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60

tahun merupakan kombinasi yang mematikan.

Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi

pengobatan apapun atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang

sangat penting.

2.Pemeriksaan Pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap

cahaya.Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm

adalah abnormal.Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya

penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral.Respon yang terganggu

terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan

saraf perifer.Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus

diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.Pemeriksaan Scalp dan

Tengkorak Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan

21
memar.Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus

dicatat.Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang

bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

4. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis

a. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari

dasar tengkorak atau rongga tengkorak.CT scan lebih dipilih bila dicurigai

terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya

kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan

tidak ada.

b. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting

dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987

dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu

masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat

berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan

fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita

yang mempunyai CT scan abnormal.

22
Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT

scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin

terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari

penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di

batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya

struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.Lesi seperti ini sering

berhubungan dengan outcome yang buruk.

23
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam

menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan

batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan

bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi

batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk

untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal

normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik.

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)

menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode

yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas

penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan

24
penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS

ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.

Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera

kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat

menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan

kognitif pada penderita cedera kepala ringan.

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan

untuk memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa

digunakan untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada

gambaran profil CT Scan pada pasien .Penurunan aktifitas otak juga

dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan pada cedera kepala agar

dapat menurunkan hantaran oksigen dengan induksi koma.Pasien yang

mengalami kejang diberikan terapi profilaksis. 4

a. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan untuk

mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi. Bila ditemukan

peningkatan tekanan intracranial yang refrakter tanpa cedera difus,

autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat, pasien bisa diberikan

barbiturat.

Mekanisme kerja barbiturat adalah dengan menekan metabolisme

serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral,

25
merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid

mengakibatkan supresi burst. Kureshi dan Suarez menunjukkan

penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil

pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan intrakranial,

mempertahankan volume intravaskular volume. Dengan akses vena

sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target

natrium 145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam.

Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.

b. Terapi Nutrisi

Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik,

kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan

berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan

kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula

berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat

mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.

c. Terapi Prevensi Kejang

Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan

TIK, penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter

yang dapat mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah

efek kindling).Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin

efektif pada minggu pertama.Faktor-faktor terkait yang harus dievaluasi

26
pada terapi prevensi kejang adalah kondisi pasien yang hipoglikemi,

gangguan elektrolit, dan infeksi.

d. Penanganan Cedera Kepala Ringan

• Perawatan selama 3-5 hari

• Mobilisasi bertahap

• Terapi simptomatik

• Observasi tanda vital

Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan

peringatan apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2

jam), mual dan muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau

telinga, nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada

ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan

dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas

yang abnormal.

e. Penanganan Cedera Kepala Sedang

Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan

Glasgow Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala

Postrauma Amnesia(PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila

mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia.

Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang menjadi :

27
1. Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness

2. Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post

trauma

3. Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah.

Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat

penanganan. Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala

terbanyak antara lain; mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan

konsentrasi dan dizziness.

Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan

gejala, strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara dan

okupasi) untuk disfungsi kognitif ,dan psiko edukasi.

f. Penanganan Cedera Kepala Berat

Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:

1. Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner

2. Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini

neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau perawatan

di ICU.

28
2.7 Komplikasi

Jangka Pendek :19

1. Oedema serebri

Pada keadaan ini otak membengkak.Penderita lebih lama

pingsannya, mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa

commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik,

nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak

juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat

meninggi.

 TIK meningkat

 Cephalgia memberat

 Kesadaran menurun

Jangka Panjang :19

1. Gangguan neurologis

Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan

gangguan N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese

2. Sindrom pasca trauma

Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido

menurun, mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah

lupa, gangguan tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan,

penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.

29
3. Kerusakan Saraf Cranial

Bisa karena :

 Trauma langsung, seperti pada trauma kapitis dengan

fraktur komplikata akibat peluru atau kepingan bom

 Hematom yang menekan saraf otak

 Traksi terhadap saraf otak ketika otak tergeser karena

akselerasi

 Kompresi serebral traumatik akut yang secara sekunder

menekan pada batang otak.

2.8 Pencegahan

Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa

terjadi yang dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang

terjadinya Trauma kapitis seperti : lampu lalu lintas dan kendaraan

bermotor, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

Pencegahan sekunder yaitu berupa upaya pencegahan pada saat

peristiwa kecelakaan untuk menggurangi atau meminimalkan beratnya

Trauma yang dialami.Dilakukan dengan memberikan pertolongan

pertama, yaitu : menghentikan pendarahan, usahakan jalan nafas yang

lapang, memberikan bantuan nafas buatan bila keadaaan berhenti

bernafas.

30
a) Meningkatkan jalan nafas dan pola nafas yang efektif

Pada pasien Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy

kesadaran menurun tidak dapat mempertahankan jalan nafas dan

pola nafas yang efekif, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik

tanda-tanda vital, memberikan posisi ekstensi pada kepala,

mengkaji pola nafas, memberikan jalan nafas tetap terbuka dan

tidak ada sekret (sputum) yang mengganggu pola nafas

b) Mempertahankan perfusi otak

Tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh tekanan darah arteri dan

tekanan intrakranial.Oleh karena itu pada Trauma kapitis dengan

tindakan craniotomy tekanan darah perlu diperhatikan supaya tidak

menurun. Jika terdapat syok dan pendarahan, harus segera diatasi

serta menghindari terjadinya infeksi pada otak

c) Meningkatkan perfusi jaringan serebral

Pada pasien Trauma kapitis dengan kesadaran menurun perlu

diberikan tindakan dengan cara meninggikan posisi kepala 15-30

derajat posisi “midline (setengah terlentang)” untuk menurunkan

tekanan vena jugularis, dan menghindarkan hal-hal yang dapat

meningkatkan tekanan intracranial

d) Cairan dan elektrolit

Pada pasien Trauma kapitis dengan kesadaran menurun atau

pasien dengan muntahan, pemberian cairan dan elektrolit melalui

31
infus merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya

dehidrasi pada tubuh

e) Nutrisi

Pada pasien dengan Trauma kapitis dengan kesadaran menurun

kebutuhan kalori dapat meningkat karena terdapat keadaan

katabolik. Perlu diberikan makanan melalui sonde lambung

f) Pasien yang gelisah

Pada pasien yang gelisah dapat diberikan obat penenang,

misalnyahaloperidol. Untuk nyeri kepala dapat diberikan obat

analgetik

Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

Pencegahan tersier yaitu upaya untuk menggurangi akibat patologis

dari Trauma kapitis.Dilakukan dengan membawa penderita Trauma kapitis

ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut dengan

tindakan segera craniotomy.

2.9 Prognosis

Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan

yang dialami.Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit

memiliki nilai prognosis yang besar.Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat

mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki nilai

mortalitas 5-10%.Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu

32
diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu

berkonsentrasi dan irritable.

Pengukuran Outcome :

a. Glasgow Outcome Scale (GOS)

Glasgow Outcome Scale (GOS) terdiri dari 5 kategori, antara lain:

1. Meninggal

2. Status vegetative

3. Kecacatan yang berat

4. Kecacaatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali

kesekolah dan pekerjaannya)

5. Kembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).

b. Disability Rating Scale (DRS)

Disability Rating Scale (DRS) merupakan skala tunggal untuk

melihat progress perbaikan dari koma sampai ke kembali ke

lingkungannya. Terdiri dari 8

kategori termasuk komponen kesadaran (GCS), kecacatan.

c. Functional Independent Measure (FIM)

Pengukuran outcome dengan menggunakan Functional

Independent Measure (FIM) banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri

33
dari 18 item skala yang digunakan untuk mengevalusi tingkat kemandirian

mobilitas, perawatan diri, kognitif.

34
BAB IV

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang

berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak

disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala,

vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat. Sedangkan pada contusio

cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan

otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-

neuron mengalami kerusakan atau terputus.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral

tanggal 3 November 2007. Pekanbaru : PERDOSI;2007.

2. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Disitasi

dari http://www.biausa.org pada tanggal 13 Juli 2009. Perbaharuan

terakhir : Januari 2009.

3. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury.

Dalam: Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill;1996.

4. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of

Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia :

lippincot William & Wilkins;2003.

5. Findlaw Medical Demonstrative Evidence. Closed head traumatic

brain injury.Disitasi dari : http://findlaw.doereport.com pada tanggal

19 Juni 2008.

6. Saanin S. Cedera Kepala. Disitasi dari :

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery.htm

7. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera

Kepala. Dalam:Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan

Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI;2004

8. Soertidewi, L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera

Kranioserebral. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta; 2012

36
37

Anda mungkin juga menyukai