Anda di halaman 1dari 11

Trauma merupakan penyebab kematian pada anak dan dewasa muda, yang mana insidensi

kematian dan disabilitas akibat trauma menurun perlahan. Penurunan ini disebabkan
peningkatan kesadaran pengunaan safety device seperti seat belt dan helm.

Penilaian awal pada trauma kepala meliputi primary survey, resusitasi, secondary survey dan
definitif care. Evaluasi neurologis dimaulai dengan penelian GCS. GCS dilakukan dengan menilai
respon terbaik pasien.

a. Scalp Injury

Trauma tumpul atau penetrating trauma pada kepala menyebabkan kerusakan kepadatan scalp,
dan perdarahan yang signifikan. Tekanan langsung akan mengkontrol perdarahan. Jika didapatkan
laserasi simple, dilakukan irigasi berkala dan penutupan primer. Jika didapatkan laserasi pendek,
single -layer, percutaneus closure direkomendasikan. Jika laserasi panjang atau banyak
percabangan, pasien mungkin membutuhkan debridmen dan penutupan di ruang operasi.
Trauma tumpul daat menyebebabkan crush injury dengan beberapa jaringan nekrosis. Luka ini
memerlukan debridemen dan flaps untuk mengcover defeknya.

b. Skull Fracture

Fraktur tampak pada skull XRay or CT Kepala. 5 Closed Fracture skalp tampak intak. Pada
open fracture, atau compound fraktur dapat disertai gangguan pada kulit diatasnya. Garis fraktur
bisa linier, multiple dan memancar dari suatu titik (stellate), multiple, membuat fragmen tulang
(comminuted). Closed fracture biasanya tidak membutuhkan tindakan spesifik. Open Fracture
membutuhkan repair scalp dan debridemen operatif. Indikasi craniotomy diantaranya depressi
lebih luas dari ketebalan cranial, hematom intrakranial, dan keterlibatan sinus frontal. 6

Fraktur skull depresi berasal dari focal injury dan tekanan yang signifikan. Fraktur basis skull
adalah fraktur yang umum pada kasus trauma kepala. Jika asimptomatik, tidak membutuhkan
terapi. Fraktur skull base membutuhkan intervensi jika disertai defisit neurologis yang jelas dan
kebocoran LCS. Fraktur tulang temporal menyebabkan kerusakan nervus fasialis dan
vestibulococler. Ekstravasasi darah akibat ekimosis dibelakang telinga menyebabkan Battle’s Sign.
Fraktur anterior skull base menyebabkan anosmia, drainase CSF dari hidung (rhinorea) atau
periorbital ekimosis (raccoon eyes). Adanya aliran cairan jernih berulang dari hidung atau telinga
membuat diagnosis kebocoran LCS tegak. Penting untuk menentukan pemeriksaan penunjang
dengan CT scan terdekat fraktur yang mengindikasikan adanya kebocoran LCS, seperti
pneumocephalus, perdarahan subarachnoid atau intraparenkimal pada lokasi fraktur. Beberapa
kebocoran LCS membaik setelah elevasi kepala pada bed selama beberapa hari. Elevasi kepala
pada bed menurunkan tekanan hidrostatik LCS. Kebocoran LCS persisten meningkatkan resiko
meningitis, tidak ada bukti ilmiah penggunaan antibiotik menurunkan resiko meningitis pada
pasien dengan kebocoran LCS.9

Traumatik cranial neuropati dapat diterapi conservatif. Pasien dengan traumatic nerfus facialis
palsi, penggunaan steroid mungkin bermanfaat. Pasien yang tidak merespon steroid selama 48-
72 jam, dipertimbangkan pembedahan dekompresi.

c. Closed Head Injury.

CHI adalah tipe trauma kepala terbanyak.ada 2 aspek penting yang mempengaruhi outcome
pasien. Primary Injury, definisikan cedera intermedia dari neuron yang dihasilkan selama trauma.
Kerusakan axon bisa melalui proses aselerasi ataupun deselerasi. Secondary Injury, didefinisikan
kerusakan neuronal sequele dari trauma. Hipoksia, Hipotensi, Hidrocefalus, Hipertensi
intrakranial, Trombosis, dan perdarahan intrakranial merupakan mekanisme dari Secondary
Injury. 11

1. Initial Assessment

Penilaian awal pasien trauma tetap sama dengan kasus trauma lainnya. 3 element resusitasi
ABCD (Airway, Breathing, Circulation) harus dinilai dan distabilisasi. Elemen ke 4 Disability
dilakukan setelahnya. Aktivitas motorik, verbal dan gerak mata dinilai beberapa saat dan skor GCS
ditentukan. Penilaian dapat akurat dengan menyingkiran obat obatan dan toxic elemen yang
menganggu penialian. Tanda external trauma kepala juga harus dicatat seprti perdarahan scalp,
hidung, telinga atau deformitas skull atau wajah.

2. Klasifikasi

Trauma diklasifikasikan menjadi ringan, sedang dan berat. Trauma kepala ringan (GCS 13-15),
1
trauma kepala sedang (GCS 9-12) dan trauma kepala berat (GCS 3-8). Pasien trauma kepala
asimptomatik, pasien trauma kepala dengan keluhan nyeri kepala, dizzines dan laserasi scalp, dan
pasien yang tidak mengalami penurunan kesadaran memiliki resiko injury intracranial yang lebih
rendah dan dapat discharged tanpa head CT scan, pasien yang dipulangkan ini harus memiliki
keluarga yang dapat mengobservasi pasien selama dirumah. Diskripsikan monitoring selama
dirumah meliputi confusion, nausea persisten, weakness, atau kesulitan bicara harus segera
dibawa ke rumah sakit untuk perawatan. 12,13

Pasien dengan riwayat kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri kepala progresif, fraktur skull
atau facial, vomiting atau kejang memiliki resiko injury intracranial sedang sehingga
membutuhkan CT scan kepala. Jika CT scan kepala tampak normal, pasien dapat dipulangkan
dengan syarat ada keluarga yang bisa memonitor pasien dalam 24 jam periode observasi. Pasien
dengan penurunan kesadaran, defisit neurologis fokal, penetrating injury, depressed skull fracture
atau perubahan pemeriksaan neurologi memiliki resiko tinggi terjadinya kerusakan intrakranial.
Pasen ini membutuhkan CT scan kepala secepatnya dan perawatan serta observasi.

3. Tipe Closed Head Injury

A. Concussion

Concussion adalah disfungsi neuronal sementara akibat trauma kepala non penetrasi. CT
Kepala normal, dan defisit selesai dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Definisi
bervariasi, mulai dari kehilangan kesadaran transient (transient lost of consciousness), beberapa
melalui penurunan status mental.Perubahan memori, terutama amnesia kejadian sangat sering
14
dijumpai. Concussion dapat dibuat grade dengan metode Colorado grading system. Trauma
kepala dengan confusion saja adalah grade I, pasien dengan amnesia adalah grade II, dan pasien
dengan kehilangan kesadaran adalah grade III. Studi menunjukkan otak dalam hypermetaboliv
state selama kurang lebih 1 minggu setelah trauma. Otak lebih rentan mengalami trauma setelah
trauma kepala minor pada 1-2 minggu setelah concussion, ini dinamakan second-impact
syndrome. Pasien sebaiknya diberikan informasi dapat mengalami kesulitan mengingat atau nyeri
kepala persisten.15

B. Contusion

Contusio adalah memar pada otak, dan muncul akibat tekanan selama trauma
menyebabkan pecahnya small vessel dan ekstravasasi darah ke otak. Area kontusio tampak tajam
pada CT Kepala. Kontusio jarang menyebabkan efek masa yang signifikan karena perdarahan yang
sedikit. Edema mungkin berkembang disekitar kontusio menyebabkan mass effect. Kontusio bisa
berkembang menjadi frank hematoma, terutama selama 24 jam pertama. Kontusio dapat muncul
pada lokasi yang berlawanan dengan lokasi trauma, yang dikenal dengan contre-coup injury. Ini
diakibatkan decelerasi dari otak melawan skull.

DP
C. Diffuse Axonal Injury

Diffuse axonal injury disebabkan kerusakan axon pada otak selama akselerasi rotasional lalu
deselerasi. Axon dapat terganggung semuanya dan tertarik membentuk axon balks. Perdarahan
kecil dapat terlihat terlihat pada beberapa kasus berat terutama pada MRI. Perdarahan biasanya
terlihat di corpus callosum dan dorsolateral midbrain.

D. Penetrating Injury.

2 Subtipe utama yaitu missile (peluru dll) dan non missile. Penegakan diagnosis dengan skull,
XRay, dan CT scan. Angiografi serebral harus dipertimbangkan jika objek masuk dekat dengan
arteri mayor atau dural venous sinus. Operatif eksplorasi penting untuk menghilangkan objek
yang masuk melewati crankum, debridement, irigasi dan hemostasis serta definitive closure.
Objek kecil didalam pareenkim otak sering tertinggal ditempat untuk menghindari brain injury
sekondari iatrogenic. Antibiotik diberikan untuk menurunkan resiko meningitis atau abses. High
velocity missile injury mematikan, karena shock wave dan kerusakan jaringan lebih luas dari
pelurunya. 16

E. Traumatic Intracanial Hematomas

Hematoma berkontribusi pada kematian dan disabilitas. Hematoma dapat berkembang cepat dan
menyebabkan brain shift dan subsequent herniasi.

 Epidural Hematoma
EDH disebabkan akumulasi darah diantara skull dan dura. EDH biasanya akibat terputusnya arteri,
terutama arteri meningeal media. Pada Head CT, blood clot tampak jelas, berbentuk biconvex.
Pasien dapat bangun dan mengalami lucid interval ketika hematoma subklinis berkembang.
ketika volume hematoma meningkat, tekana intrakranial meingkat, dan pasien dengan cepat
menjadi letargi dan terjadi herniasi. Open craniectomy untuk evakuasi blood clot dan hemostasis
diindikasikan untuk EDH. EDH bisa terjadi akibat perdarahan bony venous yang mana self limiting
dan tidak membutuhkan penanganan bedah. Kriteria pasien yang membutuhkan tatalaksana
konservatif adalah volume clot < 30cm3 , ketebalan maksimal < 1,5 cm, GCS score >8. Prognosis
setelah evakuasi lebih baik pada EDH dibandingkan SDH. EDH terkait dengan low-energy trauma
dengan brain injury yang minimal.11

 Acute Subdural Hematoma

SdH akut dihasilkan oleh akumulasi darah di antara memban arachnoid dan dura, biasanya akibat
venous bleeding, dari pecahnya bridging vein dari cerebrak cortex ke dural sinus. Lansia dan
pasien alkoholik rentan mengalami SDH akut setelah trauma kepala akibat brain atrophy. Pada
Head CT, clot tampak terang atau mix density, crescent shape. Open craniotomy untuk evakuasi
SDH diindikasikan jika memenuhi ketebalan > 1 cm, midline shift > 5mm dan penurunan GCS 2
point atau lebih dari periode awal masuk RS. Managemen non operatif yaitu stabilisasi,
reabsorbsi atay berkembang menjadi SDH kronik. Managemen ini membutuhkan pemeriksaan
17
neurologi berkala sampai clot distabilkan berdasarkan pemeriksaan CT kepala serial. Prognosis
SDH lebih buruk dibandingkan EDH karena terkait dengan kerusakan parenkim otak yang luas
akibat high-energy impact.18

 Chronic Subdural Hematoma

SDH terjadi akibat akumulasi darah selama 2-3 minggu. Hematoma akut tampak putih terang
(hyperdense) pada CT kepala selama 3 hari, yang akan berubah menjadi isodensity dengan
parenkim otak, lalu menjadi hypodense setelah 2-3 minggu. SDH kronik dapat tampak gelap
seperti LCS pada CT kepala. Adanya warna putih yang kecil sering diakibatkan perdarahan
rekuren, perdarahan kecil ini berkembang sampai terjadi simptomatik, sehingga disebut akute on
chronic SDH.
SDH kronik dapat muncul pada padien tampa riwayat trauma kepala yang jelas, dapat terjadi
akibat trauma kepala ringan, alcoholic, lansia dan pasien on koagulan. Pasien mengeluh nyeri
kepala, kejang confusion, hemiparesis contralateral atau Penurunan kesadaran. SDH kronik > 1
cm atau asimptomatik harus di bedah drainase, tidak seperti SDH akut yang terisi banyak clot,
SDH kronik terdiri dari cairan dengan warna dark brown seperti oli motor. Simple Burrhole efektif
untuk penanganan SDH kronik.19 Open kraniotomy efektif untuk mengurangi resiko rekurensi
20
tetapi terlkait dengan lebih banyak short term complication. Pencegahan rekurensi dengan
20
hidrasi dan tirah baring dengan kepala flat pada bed dan high level oksigenasi. Pemberian
kortikosteroid menunjukan maafaat minimal dengan resiko kematian yang meningkat.

 Intraparencymal Hemorrhage

Hematoma terisolasi pada parenkim otak sering terkait dengan hypertension hemorrhage atau
malformasi arteriovenous. Mass effect akibat perkembangan hematoma muncul sebagai defisit
neurologi delayed yang muncul pada 24 jam pertama.Pasien dengan trauma kepala seharusnya
mendapatkan CT kepala ulang dalam 24 jam setelah trauma untuk melihat kondisi patologi yang
stabil. Indikasi craniotomy, volume clot >50cm3 atau volume clot > 20 cm dengan deteriorasi
neurologis (GCS 6-8) dan midline shift >5mm atau kompresi cisterna basal.22

 Pneumocephalus

Adanya udara pada cavitas intracranial terlihat pada pasien dengan trauma kepala atau
23
bersamaan dengan bedah intracranial. Pneumocephalus terjadi akibat defek pada skull yang
membuat udara masuk kedalam cavitas intracranial. Pada trauma kepala, pneumocephalus dapat
25
disertai skull based fracture atau kebocoran LCS. Tension pneumocephalus merupakan
kegawatan karena dapat terjadi herniasi.Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan Mount
Fuji sign dimana udara memisahkan area otak yang tampak seperti gambaran siluet gunung fuji.
Kedua dapat ditemukan air bubble sign. Burrhole dilakukan untuk mengurangi peningkatan
tekanan intrakranial. Non tension pneumocephalus biasanya hilang sendiri tereabsorbsi kedalam
aliran darah. Suplemen oksigenasi 100% digunakan untuk meningkatkan reabsorbsi.26

Management of Traumatic Brain Injury

a. General Medical Management

Pasien dengan CHI dan pasien dengan tanda perdarahan intracranial atau fraktur depresi
skull harus mendapatkan 1 g Keppra loading dose, dilanjutkan 1 minggu maintance dosis,
biasanya 500mg 2 kali sehari. Profilaksis anti seizure dibeikan untuk menurunkan insidensi post
traumatic seizure. Kadar glukosa darah dimonitor berkala dikontrol dengan sliding scale indulin.
Demam harus du evaluasi dan dikontrol dengan antipiretik. Peptic ulcer yang muncul pada pasien
dengan head injury atau peningkatan ICP disebut dengan Cushing’s ulcer, sebaiknya diberikan
profilaksis. 28

b. Steroid and Traumatic Brain Injury

Penggunaan steroid tidak direkomendasikan pada tatalaksana trauma kepala atau peningkatan
ICP.

Ditemukan adanya peningkatan resiko mortalitas dakam 6 bulan setelah penggunaan High dose
Metyl prednisolone pada pasien trauma kepala berat.

c. Blood Pressure Management

Penanganan tekanan darah sangat rumit karena, hipotensi menyebabkan hipoperfusi yang
memperparah kerusakan brain injury dan hypertension menyebabkan meluasnya kerusakan
30
hematoma intracranial. Brain trauma foundation membuat guideline tekanan darah sistolik >
100mmHg (usia 50-69 tahun), > 110mmHg (15-49 tahun atau >70 tahun) untuk mengurangi
resiko mortalitas pada pasien trauma kepala. Tekanan darah sistolik >160mmHg meningkatkan
resiko ekspansi hematoma.10

d. Anticoagulan refersal and Prophylaxis

Antikogulan penting untuk mengurangi resiko perluasan hematoma, tetapi terkait dengan resiko
komplikasi trombotik cardiovaskuler. Resiko komplikasi iskemia meningkat pada pasien yang
sebelumnya tidak meminum obat antikoagulan dibandingkan dengan yang rutin mengkonsumsi
antikoagulan. Antikoagulan profilaksis sebagai prevensi trombosis vena memiliki manfaat. Per
leve III rekomendasi dari Brain Trauma Foundation Guidelines, antiikoagulan profilaksis dengan
low-moleculer weight heparin atau low dose unfractionated heparin dapat digunakan untuk
mengurangi resiko trombosis vena, meskipun terkait dengan peningkatan resiko perluasan
hematom intraranial. Inisiasi penggunaak antikoagulan profilaksis dimulai 24 jam setelah
hematom intrakranial stabil.10

e. Indication for Invasive Intracranial Monitoring

Pasien dengan trama kepala berat (GCS < 8), Brain Trauma Foundation Guidelines level IIIB
merekomendasikan tekanan intrakranial dan tekanan perfusi cerebral pengurangan cepat untuk
menurunkan mortalitas ( selama 2 minggu perawatan), ICP > 22 mmHg dan CPP level antara 60-
70mmHg untuk memaksimlkan outcome. Penggunaan Intracranial monitoring tidak menjamin
peningkatan outcome pada pasien. Advance monitoring antara lain : brain tissue oxygen content
difference (Pbr02), Cerebral autoregulation with TCD, Jugular bulb monitoring of ateriovenous
oxygen content difference (AVD02), dan micro dialysis yang masih dalam penelitian. Hanya
AVD02 yang direkomendasikan untuk managemen trauma kepala berat.

f. Decompressive Craniectomy for Severe TBI

Craniotomy dekompresi dilakukan untuk menurunkan ekanan intrakranial yang terkait dengan
edema diffuse cerebral pada kasus trauma kepala berat tanpa mass lesion (extra cranial
hematom dll). DECRA trial membandingkan bifrontal craniotomy dekompresi dengan medical
management pada penanganan pasien dengan trauma kepal berat dengan peningkatan tekanan
intrakranial refraktori (ICP >20mmHg selama 15 menit dalam 1 jam). Tidak ditemukan adanya
perbedaan kematian dalam 6 bulan dan menemukan perburukan fungsional outcome pada
pasien yang menjalani pembedahan. Perbaikan tekanan intrakranial tampak jelas setelah
pembedahan selama perawatan di ICY dibandingkan dengan medical management. RESCUE-ICP
trial membandingkan craniotomy dekompresi dengan medical management pada pasien dengan
36
trauma kepala berat (tanpa mass lesion) dengan peningkatan tekanan intrakranial (>25mmHg).
Pasien secara acak diberikan infus barbiturat (medical group) dan melakukan tindakan bedah
craniotomy dekompresi (surgery group), (unilateral hemicraniotomy vs bifrontal craniotomy
tergantung derajat pembengkakan dan kebijakan surgeon). Pada 6 bulan, pasien dengan trauma
kepala berat dan hipertensi intracranial refrakter dengan craniotomy dekompresi mendapatkan
hasil penurunan mortalitas dan peningkatan status vegetatif, disabilitas berat upper dan lower
dibandingakan dengan medical management. Disabilitas sedang dan recovery yang baik sama
pada kedua grup. Brain Trauma Foundation Guidelines merekomendasikan craniotomy
dekompresi bifrontal untuk meningkatkan fungsional outcome dalam 6 bulan pada pasien
dengan trauma kepala berat dengan diffuse injury dan tanpa mass lesion degan peningkatan
tekanan intrakranial refrakter. Tindakan bedah ini dapat menurunkan tekanan intrakranial dan
lama perawatan di ICU. Hasil penelitian DECRA dan RESCUE-ICP menunjukkan pertimbangan yang
sangat hati hati dalam menentukan tindakan pembedahan craniotomy dekompresi dalam
penatalaksaan pasien dengan trauma kepala berat tanpa mass lesion. Tindakan ini merupakan
tindakan lifesaving dan menurunkan mortalitas pada 6 bulan, meskipun dengan fungsional
outcome yang masih blum jelas. Dengan menstabilkan ICP dan mengurangi lama perawatan ICU,
recovery pasien bisa lebih cepat dan memungkinkan pasien menjalani rehabilitasi lebih awal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kandel E, Schwartz J, Jessell T. Principles of Neural Science, 4th ed. New York: McGraw-Hill
Professional; 2000.

2. Schellinger PD, Bryan RN, Caplan LR, et al. Evidence-based guideline: The role of diffusion and
perfusion MRI for the diagnosis of acute ischemic stroke. Report of the Therapeutics and
Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology.
2010;75(2):177-185.

3. Wintermark M, Flanders AE, Velthuis B, et al. PerfusionCT assessment of infarct core and
penumbra. Stroke. 2006;37(4):979-985.

4. Takasawa M, Jones PS, Guadagno JV, et al. How reliable is perfusion MR in acute stroke?
Stroke. 2008;39(3):870-877.

5. Masters SJ, McClean PM, Arcarese JS, et al. Skull x-ray examinations after head trauma.
Recommendations by a multidisciplinary panel and validation study. N Engl J Med. 1987;316:84-
91.

6. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of depressed cranial fractures.
Neurosurgery. 2006;58:S56-S60.

7. Dula DJ, Fales W. The ‘ring sign’: is it a reliable indicator for cerebral spinal fluid? Annals of
emergency medicine. 1993 Apr 1; 22(4):718-20.

8. Sonig A, Thakur JD, Chittiboina P, Khan IS, Nanda, A. Is posttraumatic cerebrospinal fluid fistula
a predictor of posttraumatic meningitis? A US Nationwide Inpatient Sample database study.
Neurosurgical Focus. 2012;32(6):E4.

9. Ratilal BO, Costa J, Sampaio C, Pappamikail L. Antibiotic prophylaxis for preventing meningitis
in patients with basilar skull fractures. Cochrane Database Syst Rev. 2015;(4):CD004884.

10. Carney N, Totten AM, OMReilly C, et al. Guidelines for the management of severe traumatic
brain injury. Neurosurgery. 2017;80(1):6-15.
11. Brain Trauma Foundation, American Association of Neurological Surgeons, Congress of
Neurological Surgeons. Guidelines for the management of severe traumatic brain injury. J
Neurotrauma. 2007;24:S91-S95.

12. Ingebrigtsen T, Romner B. Routine early CT-scan is cost saving after minor head injury. Acta
Neurologica Scandinavica. 1996;93:207-210.

13. Stein SC, Ross SE. The value of computed tomographic scans in patients with low-risk head
injuries. Neurosurgery. 1990;26:638-640.

14. Kelly JP, Nichols JS, Filley CM, et al. Concussion in sports. Guidelines for the prevention of
catastrophic outcome. JAMA. 1991;266:2867-2869.

15. McCrory P, Meeuwisse WH, Aubry M, et al. Consensus statement on concussion in sport: the
4th International Conference on Concussion in Sport held in Zurich, November 2012. Br J Sports
Med. 2013;47(5):250-258.

16. Forgione MA, Moores, LE, Wortmann GW; Prevention of Combat-Related Infections
Guidelines Panel. Prevention of infections associated with combat-related central nervous system
injuries. J Trauma Acute Care Surg. 2011;71(2): S258-S263.

17. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of acute subdural hematomas.
Neurosurgery.2006;58:S16-S24.

18. Howard MA III, Gross AS, Dacey RG Jr, et al. Acute subdural hematomas: an age-dependent
clinical entity (see comment). J Neurosurg. 1989;71:858-863.

19. Hamilton MG, Frizzell JB, Tranmer BI. Chronic subdural hematoma: the role for craniotomy
reevaluated. Neurosurgery. 1993;33:67-72.

20. Almenawer SA, Farrokhyar F, Hong C, et al. Chronic subdural hematoma management: a
systematic review and meta-analysis of 34829 patients. Ann Surg. 2014;259(3):449-457.

21. Lega BC, Danish SF, Malhotra NR, Sonnad SS, Stein SC. Choosing the best operation for chronic
subdural hematoma: a decision analysis: clinical article. J Neurosurg. 2010;113(3):615-621.

22. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of traumatic parenchymal
lesions. Neurosurgery. 2006;58:S25-S46.

23. Dandy WE. Pneumocephalus (intracranial penumatocele or aerocele). Arch Surg.


1926;12(5):949-982.

24. Schirmer CM, Heilman CB, Bhardwaj A. Pneumocephalus: case illustrations and review.
Neurocrit Care. 2010; 13(1):152-158.

25. Ishiwata Y, Fujitsu K, Sekino T, et al. Subdural tension pneumocephalus following surgery for
chronic subdural hematoma. J Neurosurg. 1988;68(1):58-61.
26. Gore PA, Maan H, Chang S, Pitt AM, Spetzler RF, Nakaji P. Normobaric oxygen therapy
strategies in the treatment of postcraniotomy pneumocephalus. 2008;108(5):926-929.

27. Temkin NR, Dikmen SS, Wilensky AJ, et al. A randomized, double-blind study of phenytoin for
the prevention of post-traumatic seizures. N Engl J Med. 1990;323:497-502.

28. Edwards P, Arango M, Balica L, et al. Final results of MRC CRASH, a randomised placebo-
controlled trial of intravenous corticosteroid in adults with head injury-outcomes at 6 months.
Lancet. 2005;365(9475):1957-1959.

29. Chesnut RM, Marshall LF, Klauber MR, et al. The role of secondary brain injury in determining
outcome from severe head injury. J Trauma. 1993;34(2):216-222.

30. Berry C, Ley EJ, Bukur M, et al. Redefining hypotension in

traumatic brain injury. Injury. 2012;43(11):1833-1837

31. Spaite DW, Hu C. Bobrow BJ, et al. Mortality and prehospital blood pressure in patients with
major traumatic brain injury: implications for the hypotension threshold. JAMA Surg.
2017;152(4):360-368.

32. Basali A, Mascha EJ, Kalfas I, Schubert A. Relation between perioperative hypertension and
intracranial hemorrhage after craniotomy. J Am Soc Anesthesiol. 2000;93(1):48-54.

33. Kuramatsu JB, Gerner ST, Schellinger PD, Glahn J, Endres M, Sobesky J, Flechsenhar J,
Neugebauer H, Jüttler E, Grau A, Palm F. Anticoagulant reversal, blood pressure levels, and
anticoagulant resumption in patients with anticoagulation-related intracerebral hemorrhage.
Jama. 2015 Feb 24;313(8):824-36.

34. Sorrentino E, Diedler J, Kasprowicz M, et al. Critical thresholds for cerebrovascular reactivity
after traumatic brain injury. Neurocrit Care. 2012;16(2):258-266.

35. Cooper DJ, Rosenfeld JV, Murray L, et al. Decompressive craniectomy in diffuse traumatic
brain injury. N Engl J Med. 2011;364(16):1493-1502.

36. Hutchinson PJ, Kolias AG, Timofeev IS, et al. Trial of decompressive craniectomy for traumatic
intracranial hypertension. N Engl J Med. 2016;375(12):1119-1130.

Anda mungkin juga menyukai