Anda di halaman 1dari 20

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu ujian dari mata kuliah
Keperawatan Anak II

Dosen Pembimbing :
Ns Yuyun Sarinengsih, M.Kep

Disusun oleh :
Pria Angga Nusanggara 191FK03007
Mutia Kansha 191FK03021
Sinta Anggraeni 191FK03022
Farah Nabila N 191FK03023
Rianty Damayanti 191FK03024
Dewi Asmara 191FK03026
Maya Permatasari 191FK03027
Dinar Agustian 191FK030142

Kelompok 6 Kelas 2A

FAKULTAS KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah memberikan kesempatan


kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikannya dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad
SAW.
Makalah ini memuat mengenai Systemic Lupus Erythematosus. Walaupun
makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas
bagi pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya
mohon untuk saran dan kritik nya. Terimakasih.

Bandung, 05 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................1
1.3. Tujuan......................................................................................................1
1.4. Manfaat....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................3
2.1 Pengertian Systemic Lupus Erythematosus..........................................3
2.2 Etiologi Systemic Lupus Erythematosus...............................................3
2.3 Patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus.......................................6
2.4 Gejala klinis penyakit Systemic Lupus Erythematosus.......................7
2.5 Asuhan keperawatan Systemic Lupus Erythematosus........................7
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................17
3.1. Kesimpulan............................................................................................17
3.2. Saran.......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun
sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun dan disregulasi sistem imun, serta
menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit
SLE bersifat episodik (berulang) dengan diselingi periode sembuh.
Peradangan pada setiap penderita akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda. SLE menyerang wanita muda dengan insiden usia 15-40 tahun
selama masa reprodukti, ratio wanita dan pria 11:5
Menurut Farkhati dkk (2012) SLE merupakan penyakit autoimun
yang bersifat sistemik. Selama lebih dari empat dekade angka kejadian
SLE meningkat tiga kali lipat yaitu 51 per 100.000 menjadi 122-124 per
100.000 penduduk di dunia. Prevalensi SLE di Amerika Serikat adalah 15-
50 per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000
penderita SLE baru di seluruh dunia. Semua ras dapat menjadi golongan
penderita SLE. Wanita Afrika-Amerika mempunyai insidensi tiga kali
lebih tinggi dibandingkan kulit putih. Kecenderungan perkembangan SLE
terjadi pada usia muda dan dengan komplikasi yang lebih serius.

1.2. Rumusan Masalah


1. Jelaskan pengertian Systemic Lupus Erythematosus
2. Jelaskan etiologi Systemic Lupus Erythematosus
3. Jelaskan patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus
4. Sebutkan gejala klinis penyakit Systemic Lupus Erythematosus
5. Bagaimana asuhan keperawatan Systemic Lupus Erythematosus
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Systemic Lupus Erythematosus
2. Untuk mengetahui etiologi Systemic Lupus Erythematosus

1
3. Untuk mengetahui patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus
4. Untuk mengetahui gejala klinis penyakit Systemic Lupus
Erythematosus
5. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Systemic Lupus
Erythematosus
1.4. Manfaat
1. Mahasiswa dapat memahami pengertian Systemic Lupus
Erythematosus
2. Mahasiswa dapat memahami etiologi Systemic Lupus
Erythematosus
3. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi Systemic Lupus
Erythematosus
4. Mahasiswa dapat memahami gejala klinis penyakit Systemic Lupus
Erythematosus
5. Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan Systemic Lupus
Erythematosu

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Systemic Lupus Erythematosus

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik


autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio H, 2009).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) termasuk kedalam kategori
penyakit yang dikenal sebagai penyakit autoimun. Nama Lupus berasal
dari bahasa Latin yang berarti serigala. Pada abad ke-10, istilah ini
pertama kali digunakan untuk menggambarkan kondisi peradangan kulit
yang menyerupai gigitan serigala. Pada tahun 1872, seorang dokter yaitu
Moriz Kaposi menyatakan bahwa Systemic Lupus Erythematosus adalah
suatu kondisi peradangan kulit yang kadang-kadang disertai dengan gejala
sistemik, seperti : demam, nyeri sendi, mudah lelah, anemia, penurunan
berat badan, rambut rontok, luka di mulut, dan sensitif terhadap sinar
matahari (Phillips, 2010). Jadi, penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) merupakan penyakit autoimun yang menyerang organ tubuh seperti
kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati,
otak dan syaraf. (Nurarif, 2015)
2.2 Etiologi Systemic Lupus Erythematosus
SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk
alel HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh
hormonal, dan faktor lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan
menyebabkan terjadinya respon imunyang abnormal (Muthusamy, 2017)
1. Faktor Genetik
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel
HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara

3
kerentanan gen, pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan,
menghasilkan respons imun abnormal. Responsimun mencakup
hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T dan B dan regulasi
antigen dan respons antibodi yang tidak efektif. Hiperreaktivitas
sel T dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul
permukaan seperti HLA-D danCD40L, menunjukkan bahwa sel
mudah teraktivasi oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi
pertama dan oleh molekul yang mengarahkan sel ke aktivasi penuh
melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini adalah produksi
autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang
mengikat jaringan target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan
destruksi Ig-coated circulating cells; (2) fiksasi dan cleaving
protein komplemen, dan (3) pelepasan kemotaksin, peptida
vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan. Banyak autoantibodi
pada orang dengan SLE yang ditujukan pada kompleks
DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosom, beberapa jenis
RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama apoptosis antigen
bermigrasi ke permukaandan fosfolipid membran berubah orientasi
sehingga bagian antigen menjadi dekat dengan permukaan.
Molekul intrasel yang meningkat selama aktivasi atau kerusakan
sel bermigrasi ke permukaan sel. Antigen yang dekat dengan atau
terdapat di permukaan sel ini dapat mengaktivasi sistem imun
untuk menghasilkan autoantibodi. Pada individu dengan SLE,
fagositosis dan penghancuran sel apoptotik dan kompleks imun
tidak mumpuni. Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia;
dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh sistem imun; dan
antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka
waktu yang lebih lama, memungkinkan kerusakan jaringan
terakumulasi pada titik kritis.Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah
dikenali suatu antibodi yang melawan konstituen sel normal.
Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan lupus.

4
Serum pasien dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan antibodi
di serum terhadap antigen nukleus (antinuclearantibodies, atau
ANA).
Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang dapat dapat
ditemukan pada pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-
Sm, anti-Ro, dan lain-lain. Daftar berbagai autoantibodi yang dapat
ditemukan pada pasien dengan SLE, prevalensi, antigen target, dan
kegunaan klinisnya dapat dilihat pada table berikut. Pada kasus ini
ditemukan tes antinuclearantibodies, atau ANA yang positif.
2. FaktorLingkungan
Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet
merupakan faktor yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat
mencakup induksi epitop antigen didermis atau epidermis,
pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya, atau
disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga
terlibat dalam lupus. Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin,
dan minosiklin dapat menyebabkan lupus eritematosus yang
diinduksi obat, penyakit yang mirip dengan SLE. Mungkin yang
paling menarik adalah beberapa obat antirematik dapat
menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan serologisnya mirip
SLE. Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal
sebagai penyebab lupus-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip
dengan lupus yang diinduksi obatdaripada SLE dan menghilang
setelah pajanan berakhir. Laporan mengenai pengaruh geografis
pada lupus masih belum mengkonfirmasi faktor lingkungan ini.
Asam amino esensial L-canavanine dicurigai sebagai penyebab
lupus. Pajanan terhadap asam amino ini menyebabkan manifestasi
singkat autoimun pada manusia,seperti juga telah terbukti pada
kera. Keberadaan fitoestrogen diajukan sebagai penjelasan untuk
peningkatan kejadian SLE selama 30 tahun terakhir.

5
Agen infeksius dapat berperan dalam aktivasi penyakit. Jika pasien
mengidap SLE, infeksi yang umum terjadi pada saluran napas atau
saluran kemih seringkali diikuti dengan cetusan aktivitas penyakit.
Studi pada hewan menunjukkan bahwa retrovirus dapat
menginduksi fenomena autoimun mirip SLE. Kasus SLE
meningkat sejalan dengan pajanan kimiawi, kecelakaan, atau
trauma fisik dan psikologis. Belum ada pola yang jelas dalam
kemunculan SLE, dan kausalitas hubungan ini masih spekulatif.
Pada kasus ini, sinar ultraviolet merupakan faktor pencetus yang
jelas karena menurut anamnesis, pasien mengeluh ruam atau
kemerahan pada mukanya menjadi berat dengan paparan pada sinar
matahari. Pada pasien ini juga terjadi infeksi yaitu pneumonia.
Sesuai dengan teori, antara infeksi yang sering terjadi adalah
infeksi yang melibatkan salur pernafasan, yaitu pneumonia.
3. Pengaruh Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai
penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi
pada wanita usia produktif, peningkatan aktivitas SLE selama
kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih tinggi pada wanita
pascamenopause yang menggunakan suplementasi estrogen.
Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai penyebab SLE,
namun studi yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa
pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko
terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penderita
SLE yang penyakitnya stabil.

2.3 Patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus


Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase
propagasi, dan fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian
yang menginisiasi kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun.
Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan

6
pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun dapat
menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE.
Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan
cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan cedera
jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi kompleks imun, (2)
berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi
fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung
menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi
ke sel hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul
sebagai respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama
muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan
homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE. Jadi,
berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.

2.4 Gejala klinis penyakit Systemic Lupus Erythematosus

Gejala klinis yang mungkin muncul pada pasein SLE yaitu:


1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butter•ly atau malar rash), fotosensitivitas,
lesi membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura,
urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
(Studi et al., 2010)

2.5 Asuhan keperawatan Systemic Lupus Erythematosus

7
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan di dasari pada ilmu dan kiat
keperawatan yang mencakup bio-psiko-sosio-spiritual dan kultural
kepada individu, kelompok dan masyarakat (Tamime, 2019)

1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari
berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi suatu
kesehatan pasien ( Lyer et.al, 1999 dalam Nursalam 2009).
Ada dua tipe pengkajian yaitu, data subjektif dan data objektif
kedua tipe tersebut adalah sebagai berikut :
1) Data Subjektif
Data subjektif adalah data yang didapatkan dari pasien sebagai
suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Data
tersebut tidak dapat ditentukan oleh perawat secara
independent tetapi harus melalui suatu interaksi atau
komunikasi. Data subjektif diperoleh dari riwayat keperawatan
termasuk persepsi pasien, perasaan dan ide tentang status
kesehatannya. Misalnya penjelasan pasien tentang nyeri,
lemah,frustasi, mual atau muntah. Data yang diperoleh dari
sumber lainnya, seperti dari keluarga, konsultan, dan profesi
kesehatan lainnya juga dapat dikategorikan sebagai data
subjektif jika didasarkan pada pendapat klien (Nursalam,
2009).
2) Data Objektif
Data objektif adalah data yang didapat dari observasi dan dapat
diukur oleh perawat. Dan ini diperoleh melalui kepekaan
perawat selama melakukan pemeriksaan fisik. Yang termasuk
data objektif adalah frekuensi pernafasan, tekanan darah,
adanya edema dan berat badan (Nursalam, 2009).

8
Sumber data yang dikumpulkan dapat diperoleh tidak hanya dari
pasien tetapi dari orang terdekat (keluarga), catatan, riwayat
penyakit terdahulu, konsultasi dengan terapis, hasil pemeriksaan
diagnostik, catatan medis, dan sumber kepustakaan. Penjelasan
mengenai sumbersumber data tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pasien
2. Orang Terdekat
3. Catatan Pasien
4. Riwayat Penyakit
5. Konsultasi
6. Hasil Pemeriksaan Diagnostik
7. Catatan Medis dan Anggota Tim Kesehatan Lainya
8. Perawat lain
9. Kepustakaan
2. Rencana asuhan keperawatan

Diagnose NOC NIC


Nyeri akut Pain control Pain management
Factor yang berhubungan: Indicator Aktivitas
Agen injuri fisik - Mengenali onset nyeri - Melakukan pengkajian nyeri
- Menjelaskan factor penyebab termasuk lokasi, karateristik,
- Melaporkan perubahan nyeri onset/durasi, frekuensi,
- Melaporkan gejala yang tidak kualitas atau keparahan
terkontrol nyeri, dan factor pencetus
- Menggunakan sumber daya nyeri
yang tersedia untuk - Observasi tanda nonverbal
mengurangi nyeri dari ketidaknyamanan,
- Mengenali gejala nyeri yang terutama pada pasien yang
berhubungan dengan penyakit tidak bisa berkomunikasi
Melaporkan nyeri terkontrol secara efektif
- Gunakan strategi komunikasi

9
terapeutik untuk mengetahui
pengalama nyeri pasien dan
respon pasien terhadap nyeri
- Kaji pengetahuan dan
kepercayaan pasien tentang
nyeri
- Tentukan dampak dari nyeri
terhadap kualitas hidup
(tidur, selera makan,
aktivitas, dll)
- Evaluasi keefektifan
manajemen nyeri yang
pernah diberikan
sebelumnya
Control factor lingkungan
yang dapat mempengaruhi
ketidaknyamanan pasien
- Kolaborasi dengan pasien,
anggota keluarga, dan
tenaga kesehatan lain untuk
implementasi manajemen
nyeri nonfarmakologi
Dukung pasien untuk
menggunakan pengobatan
nyeri yang adekuat
Fatigue Fatigue level Energy Management
Karakteristik : Indicator Aktivitas:
Factor yang - Kelelahan - Kaji status fisik pasien
berhubungan : anemia untuk kelelahan dengan
- Kualitas tidur
- Kualitas istirahat memperhatikan umur dan
Hematocrit perkembangan
- Dorong pasien untuk

10
mengungkapkan perasaan
tentang keterbatasan
- Gunakan instrument yang
valid untuk mengukur
kelelahan
- Tentukan aktivitas yang
boleh dilakukan dan
seberapa berat aktivitasnya
- Monitor asupan nutrisi
untuk mendukung sumber
energy yang adekuat
- Konsultasi dengan ahli gizi
tentang peningkatan asupan
energy
Bantu pasien untuk
beristirahat sesuai jadwal
- Dorong pasien untuk tidur
siang
Bantu pasien melakukan
aktivitas fisik reguler
Risiko infeksi Infection severity Infection Control
Factor risiko : Indicator : Aktivitas:
Imunosupresi - Demam - Pertahankan teknik isolasi
- Nyeri jika diperlukan
- Limpadenopati - Batasi jumlah pengunjung
- Penurunan jumlah sel darah - Ajarkan kepada tenaga
putih kesehatan untuk
Risk control meningkatkan cuci tangan
- Ajarkan pasien dan
pengunjung untuk cuci
tangan
- Cuci tangan sebelum dan

11
sesudah melakukan
perawatan kepada pasien
- Lakukan perawatan aseptic
pada IV line
- Tingkatkan asupan nutrisi
yang adekuat
- Dorong pasien untuk
istirahat
Ajarkan pada pasien dan
keluarga cara untuk
mencegah infeksi
Gangguan citra tubuh Body image Body image enhancement
Karakteristik: Indicator: Aktivitas:
- Perilaku menghindari - Gambaran internal diri - Tentukan harapan pasien
salah satu bagian tubuh Keserasian anatara realitas tentang citra tubuhnya
tubuh, ideal tubuh, dan berdasarkan tingkat
Respon nonverbal perkembangan
terhadap perubahan pada penampilan tubuh
tubuh - Kepuasan terhadap penampilan - Bantu pasien

tubuh mendiskusikan penyebab


penyakit dan penyebab
Perilaku menggunakan
terjadinya perubahan pada
strategi untuk
tubuh
meningkatkan fungsi
- Bantu pasien menetapkan
tubuh
batasan perubahan actual
pada tubuhnya
- Gunakan anticipatori
guidance untuk
menyiapkan pasien untuk
perubahan yang dapat
diprediksi pada tubuhnya
- Bantu pasien menentukan
pengaruh dari kelompok
sebaya dalam

12
mempresentasikan citra
tubuh
- Bantu pasien
mendiskusikan perubahan
yang disebabkan karena
masa pubertas
- Identifikasi kelompok
dukungan unutk pasien
- Monitor frekuensi
pernyataan pasien tentang
kritik terhadap dirinya
Gunakan latihan
pengakuan diri dengan
kelompok sebaya
Risiko Injuri Risk control Risk identification
Factor Risiko: Disfungsi Indicator: Aktivitas:
autoimun - Mencari informasi tentang - Review riwayat kesehatan
risiko pada kesehatannya pasien
- Identifikasi factor risiko - Review data yang berasal
- Mengakuir factor risiko dari pengkajian risiko
personal - Tentukan sumber daya yang
- Monitor factor risiko tersedia seperti tingkat
lingkungan pendidikan, psikologis,
Melakukan strategi finansial, dan dukungan
untuk control risiko keluarga
- Identifikasi sumber-sumber
ynag dapat meningkatkan
risiko
- Identifikasi factor risiko
biologis, lingkungan, dan
perilaku serta hubungan

13
antara factor risiko
- Tentukan rencana untuk
mengurangi risiko
- Diskusikan dan rencanakan
aktivitas mengurangi risiko
dengan berkolaborasi
dengan pasein dan keluarga
Implementasikan rencana
aktivitas mengurangi risiko
Ketidakseimbangan NOC:  Kaji adanya alergi makanan
nutrisi kurang dari
a. Nutritional status: Adequacy  Kolaborasi dengan ahli gizi
kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan : of nutrient untuk menentukan jumlah
Ketidakmampuan untuk
b. Nutritional Status : food and kalori dan nutrisi yang
memasukkan atau
mencerna nutrisi oleh Fluid Intake dibutuhkan pasien
karena faktor biologis,
c. Weight Control  Yakinkan diet yang
psikologis atau ekonomi.
Setelah dilakukan tindakan dimakan mengandung tinggi
keperawatan selama….nutrisi serat untuk mencegah
DS: kurang teratasi dengan
- Nyeri abdomen Indikator: konstipasi

- Muntah Albumin serum Ajarkan pasien bagaimana

- Kejang perut Pre albumin serum membuat catatan makanan

- Rasa penuh tiba-tiba Hematokrit harian.

setelah makan DO: Hemoglobin  Monitor adanya penurunan

- Diare Total iron binding capacity BB dan gula darah

- Rontok rambut yang Jumlah limfosit  Monitor lingkungan selama

berlebih makan

- Kurang nafsu makan  Jadwalkan pengobatan dan

- Bising usus berlebih tindakan tidak selama jam

- Konjungtiva pucat makan

- Denyut nadi lemah  Monitor turgor kulit


 Monitor kekeringan, rambut
kusam, total protein, Hb dan

14
kadar Ht
 Monitor mual dan muntah
 Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
 Monitor intake nuntrisi
 Informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat
nutrisi
 Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/ TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat
dipertahankan.
 Atur posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama makan
 Kelola pemberan
anti emetik:.....
 Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oval

15
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik
autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan SLE disebabkan oleh interaksi antara
kerentanan gen (termasuk alel HLADRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3,
dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan. Interaksi ketiga
faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imunyang abnormal.
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi,
dan fase puncak (flares).

3.2. Saran
Bagi Penderita :
Penderita lupus diharapkan selalu memperhatikan kesehatan
terutama mengenai faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada
pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yaitu kualitas tidur. Sehingga
penderita dapat melakukan upaya-upaya pencegahan dan perencanaan
yang lebih baik untuk menjaga kesehatannya.
Bagi Dinas Kesehatan :
Para pemangku kebijakan di Dinas Kesehatan diharapkan lebih
mempertimbangkan dalam membuat kebijakan-kebijakan di bidang
kesehatan di masa mendatang khususnya dalam penatalaksanaan pasien
dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Selain itu, memberikan
penyuluhan kepada penderita SLE tentang pentingnya kualitas tidur serta
faktor lain yang berpengaruh terhadap kelelahan yaitu tingkat keparahan
penyakit.

16
DAFTAR PUSTAKA

Muthusamy, V. (2017). Responsi Kasus Systemic Lupus Erythematous.


0802005174, 1–23. ojs.unud.ac.id › index.php › eum › article › download
%0APDF
Nurarif, A. H. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan pada
Pasien Systemic Lupus Erithematosus (SLE). 1–115.
Studi, P., Keperawatan, I., & Diponegoro, U. (2010). Program studi ilmu
keperawatan fakultas. 1–28.
Tamime, A. (2019). No TitleΕΛΕΝΗ. Αγαη, 8(5), 55.

17

Anda mungkin juga menyukai