Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

KEPERAWATAN DEWASA SISTEM ENDOKRIN, IMUNOLOGI,


PENCERNAAN, DAN PERKEMIHAN

“SYSTEM LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)”

Dosen Pengampu : Bapak Suhendra Agung, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh : Kelompok 6

1. Isnain Aline Cahyani (213210120)


2. Lailatul Fitri’ah (213210123)
3. M. Kavin Rabbani (213210126)
4. Namira Mitawahyu Cahyati (213210128)

KELAS C SEMESTER 4

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN

INSAN CENDIKIA MEDIKA JOMBANG

2022/2023
2
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapatmenyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun
tidak akan sanggupmenyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini di susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang


“System Lupus Erythematosus (SLE)”, yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang
dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah


bekerjasamadalam penyusunan makalah ini agar dapat mengerti tentang
bagaimana cara kami menyusunmakalah. Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk sarandan kritiknya. Terima
kasih.

Jombang, 16 Februari 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
1.3 Manfaat Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Pengertian System Lupus Erythematosus (SLE) 3
2.2 Etiologi 4
2.2.1 Faktor Genetik 4
2.2.2 Faktor Imunologi 4
2.2.2.1 Antigen 4
2.2.2.2 Kelainan Intrinsik Sel T Dan Sel B 5
2.2.2.3 Kelainan Antibodi 5
2.2.3 Faktor Lingkungan 5
2.2.4 Faktor Hormonal 6
2.2.5 Faktor Farmakologi6
2.3 Patofisiologi 6
2.4 Patway 7
2.5 Manifestasi Klinik 8
2.6 Pemeriksaan Penunjang 9
2.6.1 Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urine 9
2.6.2 Anti DS DNA 10
2.6.3 Antinuclear Antibodies (ANA) 10
2.7 Penatalaksaan 11
2.7.1 Penatalaksaan Medis 11
2.7.1.1 Antiradang Nonsteroid (AINS) 11

iv
2.7.1.2 Kortikosteroid 11
2.7.1.3 Antimalaria 12
2.7.1.4 Imunosupresif 12
2.7.2 Penatalaksaan Keperawatan 12
2.7.3 Penatalaksaan Diet 13
2.8 Asuhan Keperawatan System Lupus Erythematosus (SLE) 14
2.8.1 Pengkajian 14
2.8.2 Riwayat Kesehatan 14
2.8.3 Pemeriksaan Fisik 14
2.8.4 Diagnosa 15
2.8.5 Perencanaan 16
2.8.6 Implementasi 21
2.8.7 Evaluasi 22
BAB III PENUTUP 24
3.1 Kesimpulan 24
3.2 Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit “Lupus”
iniadalah “Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari
bahasa latinyang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata
Erythematosus dalam bahasayunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu
diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu
disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit itu diberi nama
“Lupus”.Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan
kanker. Tidak sedikit pengidap penyakit ini tidak tertolonglagi, di dunia
terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebihdari
100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk
menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya jika
kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit lupus
diduga berkaitan dengan system imunologi yang berlebih. Penyakit ini
tergolong misterius, lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di seluruh
dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE ( Systemic Lupus
Erythematosus ), yaitu penyakit auto imun kronis yang menimbulkan
bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau system yang
terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit lupus
biasanya menyerang wanita produktif . Meski kulit wajah pnderita lupus dan
sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak
menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh
organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh merasa
kelelahan berkepanjangan, serta sensitive terhadap sinar matahari. Semua itu
merupakan sebagian dari gejala penyakit lupus. Factor yang diduga sangat
berperan terserang penyakit lupus adalah factor lingkungan, seperti paparan
sinar matahari, stress, beberapa jenis jenis obat dan virus. Oleh karena itu,

1
bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau
sesudah pukul 16.00. Saat berpergian, penderita memakai sun block atau sun
screen (pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang
akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun
sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengertian Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
2. Mengetahui etiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
3. Mengetahui patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
4. Mengetahui manifestasi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
5. Mengetahui pathway Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)
7. Mengetahui penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
8. Mengetahui konsep asuhan keperawatan Systemic LupusErythematosus
(SLE)

1.3 Manfaat Penulisan


1. Manfaat bagi mahasiswa/i diharapkan hasil penulisan makalah kasus ini
sebagai bahan bacaan dengan kegiatan dalam melaksanakan Asuhan
Keperawatan pada pasien SLE
2. Manfaat bagi penulis diharapkan hasil penulisan laporan ini sebagai
Matahari pengalaman langsung dan masukan tentang Asuhan Keperawatan
pada pasien SLE

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian System Lupus Erythematosus (SLE)

System Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan


multisistema utoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan
imunologi dan berbagai manifestasi klinis (Krishnamurthy, 2011).

Penyakit lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat


kelainan system imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ
dan sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat
membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya
bakteri, virus) karena auto antibodi (antibody yang menyerang jaringan tubuh
sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan
kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan
(Syamsi Dhuha Foundation, 2003, dalam syafi’I, 2012).

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) merupakan penyakit rematik


autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi
setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan
deposisi auto antibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan (Sudoyo Aru,dkk 2009).

Dari 3 definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Penyakit


Sistemik Lupus Eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis dimana
terdapat kelainan system imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa
organ dan sistem tubuh. Kelainan ini disebabkan oleh produksi antibodi
dalam jumlah besar sehingga menyebabkan sistem imun tidak dapat
membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing.

3
2.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada
beberapa factor yang terlibat seperti factor genetic, obat-obatan, hormonal
dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. System imun tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan
tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan
antibody secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam
kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik
dengan kerusakan multi organ dalam fatogenesis melibatkan gangguan
mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal
ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit System


Lupus Erythematosus :

2.2.1 Faktor Genetik


Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali
lebih sering daripada pria dewasa), umur (lebih sering pada usia
20-40 tahun), etnik,dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali
lebih sering dalam keluarga dimana terdapat anggota dengan
penyakit tersebut).
2.2.2 Faktor Imunologi
2.2.2.1 Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC
(Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen
kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi
normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor

4
yang telah berubah di permukaan sel T akan salah
mengenali perintah dari sel T.
2.2.2.2 Kelainan Intrinsik Sel T Dan Sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B
adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel
autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dansel
B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga
menyebabkan produksi imunoglobulin dan auto antibodi
menjadi tidak normal.
2.2.2.3 Kelainan Antibodi
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat
terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu
banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi auto
antibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.
2.2.3 Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen
yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE.
Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1. Infeksi virus dan bakteriAgen infeksius, seperti virus dan
bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius
tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
2. Paparan sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem
imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE
dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel
pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga

5
terjadi inflamasi ditempat tersebut secara sistemik melalui
peredaran pembuluh darah.
3. Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika
seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem auto antibodinya
tidak ada gangguan sejak awal.
2.2.4 Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya
LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko
lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga
menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
2.2.5 Faktor Farmakologi
Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada pasien
tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau
DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah :
1. Obat yang pasti menyebabkan lupus obat: klorpromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
2. Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat: dilantin,
peninsilamin, dan kuinidin.
3. Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis
antibiotik, dangriseofulvin.
2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE yang terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan
yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagai mana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia produktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar

6
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klopromazin dan beberapa preparat anti konvulsandi samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa
kima atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga
timbul penumpukan komples imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya akan merangsang pembentukan
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

2.4 Pathway

7
2.5 Manifestasi Klinik
Gambaran klinis dari LES biasanya dapat membingungkan, gejala
yang palingsering adalah sebagai berikut:
1. Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan sendi).
2. Demam akibat peradangan kronik

8
3. Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung
kata lupus berarti serigala dan mengacu kepada penampakan topeng
seperti serigala.
4. Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran darah dan
hipoksia kronik.
5. Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
6. Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
7. Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung
8. Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan
hipertensi
9. Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering
terjadikarena serangan terhadap sel darah merah dan putih serta
trombosit (Elizabeth, 2009).

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap
dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam,
keletihan secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis,
pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan
anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostica.
2.6.1 Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit
Lupus Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah
rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada
penderita SLE menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;
erytrocytesedimentationrate (ESR) meningkat selama penyakit
aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio
albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain

9
itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan
adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan
ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.
2.6.2 Anti DS DNA
Batas normal : 70 –200iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE
aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang
tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah
sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan
yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada
penyakit SLE yang tenang. Antibodi anti-DNA merupakan subtype
dari antibody antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibody anti
DNA yaitu yang menyerang double stranded DNA (anti ds-DNA)
dan yang menyerang single stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-
DNA kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk
penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada
penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi
merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit
tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi system komplemen
yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik local maupun
sistemik (Pagana and Pagana,2002).
2.6.3 Antinuclear Antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit
autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibody protein
yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif

10
untuk mendektisi danya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95%
penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena
ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan
penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak
lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil
test negative, maka pasien belum tentu negative terhadap SLE
karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test
laboratorium yang lain, jika hasil test positif maka sebaiknya
dilakukan testserologi yang lain untuk menunjang diagnose bahwa
pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith
(anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti–SSA (Ro)
atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana,2002).
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Penatalaksanaan Medis
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup
pemberian obat-obat :
2.7.1.1 Antiradang Nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan
artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena
memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan sebagian
penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati.
Penderita SLE juga memiliki risiko tinggi terhadap efek
samping obat-obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal
sehingga pemberian harus dipantau secara seksama.
2.7.1.2 Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah kelompok obat dengan
senyawa kimia yang mempunyai struktur mirip hormon
steroid di tubuh manusia. Senyawa ini memiliki efek anti-
inflamasi atau mengurangi peradangan.

11
2.7.1.3 Antimalaria
Pemberian anti malaria kadang-kadang dapat efektif
apabila AINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala SLE.
Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan dosis
tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi
kulit merupakan parameter untuk memantau pemakaian
dosis.
2.7.1.4 Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau
azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas
autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika:
1. Diagnosis pasti sudah ditegakkan
2. Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
3. Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya,
misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan
respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena
adanya efek samping
4. Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia
dan Lorraine, 1995).
2.7.2 Penatalaksanaan Keperawatan
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik
karena sifat penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik
keperawatan reumatologi, pengobatan umum, dermatologi,
ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat
tiga komponen asuhan keperawatan yang utama.
1. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan
instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak
sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dankuesioner pengkajian
kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang
berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.

12
2. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang.
Pasien yang menyadari hubungan antara stres dan serangan
aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek
kesehatan mereka. Advice tentang keseimbangan antara
aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan
mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan
keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing,
penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi
koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
3. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien
SLE. Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta,
setelah pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling
ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan
memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik
terhadap gaya hidupdan penatalaksanaan regimen bagi mereka
(Anisa Tri U., 2012).
2.7.3 Penatalaksanaan Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan.
Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet
yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium,
rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati
dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olahraga
diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan
normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering
dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk
menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari
harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof
sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat
meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.

13
2.8 Asuhan Keperawatan System Lupus Erythematosus (SLE)
2.8.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pertama dalam proses
keperawatan. Pengkajian merupakan metode penggalian informasi
atau data yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosa
danintervensi keperawatan. Pengkajian dapat dilakukan dengan
teknik wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan studi
dokumentasi (Tarwoto dan Wartonah, 2015). Pengkajian risiko
infeksi pada pasien anak dengan SLE menurut Kyle (2014) sebagai
berikut:
2.8.2 Riwayat Kesehatan
Kaji penjelasan lengkap sakit saat ini dan keluhan utama.
Tanda dan gejala umum yang dilaporkan selama riwayat
kesehatan adalah riwayat infeksi, keletihan, demam,
perubahan berat badan, nyeri atau pembengkakan pada
sendi, baal, kesemutan atau rasa dingin pada ekstremitas, atau
perdarahan yang memanjang. Kaji untuk faktor risiko, yang
meliputi jenis kelamin wanita; riwayat keluarga; keturunan Afrika,
Amerika Asli, atau Asia; Infeksi terbaru; reaksi obat; atau pajanan
sinar matahari berlebihan.
2.8.3 Pemeriksaan Fisik
Ukur suhu dan dokumentasikan adanya demam. Observasi
kulit untuk ruam malar (ruam yang berbentuk seperti kupu-kupu di
pipi); lesi diskoid pada wajah, kulit kepala atau leher; perubahan
pada pigmentasi kulit; atau jaringan parut. Dokumentasikan
alopesia. Inspeksi rongga mulut terhadap ulkus/ulserasi yang tidak
terasa nyeri dan sendi untuk edema. Ukur tekanan darah, karena
hipertensi dapat terjadi akibat terpengaruhnya ginjal. Auskultasi
paru; suara nafas tambahan dapat ditemukan jika sistem pulmonal
terpengaruh. Palpasi sendi, observasi area nyeri tekan (pada SLE,

14
gangguan abdomen lebih umum ditemukan pada anak daripada
orang dewasa).
2.8.4 Diagnosa

Diagnosa Kriteria Hasil

Nyeri akut yang Setelah dilakukan tindakan


berhubungan dengan keperawatan selama …x24jam
inflamasidan peningkatan diharapkan nyeri berkurang
aktivitas penyakit, dengan kriteria hasil :
kerusakan jaringan, - Skala nyeri berkurang
keterbatasan mobilitas - TTV dalam batas normal
atau tingkat toleransi yang - Kegelisahan berkurang
rendah.

Keletihan berhubungan Setelah dilakukan tindakan


dengan peningkatan keperawatan selama …x24jam
aktivitas penyakit, rasa diharapkan keletihan teratasi
nyeri, tidur/aktivitas yang dengan kriteria hasil :
tidak memadai, nutrisi yang - Glukosa darah adekuat
tidak memadai dan depresi / - Kecemasan menurun
stressemosional. - Istirahat cukup

Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan


berhubungan dengan keperawatan selama …x24jam
penurunan rentang gerak, diharapkan pasien menunjukkan
kelemahan otot, rasa nyeri mobilitas fisik dengan kriteria
pada saat bergerak, hasil :
keterbatasan daya tahan - TTV normal saat dan setelah
fisik, kurangnya atau tidak beraktivitas
tepatnya pemakaian alat-alat - mampu melakukan kebutuhan
ambulasi. ADL secara mandiri

15
Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan tindakan
berhubungan dengan keperawatan selama …x24jam
perubahan dan diharapkan pasien dapat
ketergantungan fisik serta menerima keadaan tubuhnya
psikologis yang diakibatkan dengan kriteria hasil :
oleh penyakit kronik. - Body image positif
- Mempertahankan interaksi
social
- Mendiskripsikan secara
factual perubahan fungsi
tubuh

2.8.5 Perencanaan

Diagnosa SIKI

Nyeri Akut Manajemen Nyeri


Observasi :
a) Identifikasi lokasi, karakteristik durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
b) Identifikasi skala nyeri
c) Indentifikasi respons nyeri non verbal
d) Indentifikasi faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri
e) Identifikasi pengetahuan dan keyekinan
tentang nyeri
f) Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri
g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup
h) Monitor keberhasilan terapi

16
komplementer yang sudah diberikan
i) Monitor efek samping penggunaan
analgetic

Terapeutik :
a) Berikan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hipnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat dingin, terapi bermain.
b) Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis.suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
c) Fasilitasi istirahat dan tidur
d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri

Edukasi :
a) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu
nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
e) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
a) Pemberian analgetic jika diperlukan

17
Keletihan Edukasi Aktivitas
Observasi :
a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi

Terapeutik :
a) Sediakan materi dan media pengaturan
aktivitas dan istirahat
b) Jadwalkan pemberian pendidikan
kesehatan sesuai kesepakatan
c) Berikan kesempatan kepada pasien dan
keluarga untuk bertanya

Edukasi :
a) Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas
fisik/olahraga secara rutin
b) Anjurkan terlibat dalam aktivitas
kelompok, aktivitas bermain atau
aktivitas lainnya
c) Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan
istirahat
d) Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan
istirahat (misal kelelahan, sesak nafas
saat aktivitas)
e) Ajarkan cara mengidentifikasi target dan
jenis aktivitas sesuai kemampuan
Hambatan Dukungan Ambulasi
Mobilitas Fisik Observasi :
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
fisik lainnya
b) Identifikasi toleransi fisik melakukan

18
ambulasi
c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan
darah sebelum memulai ambulasi
d) Monitor kondisi umum selama
melakukan ambulasi

Terapeutik :
a) Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat
bantu (misal tongkat, kruk)
b) Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika
perlu
c) Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulasi

Edukasi :
a) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
b) Anjurkan melakukan ambulasi dini
c) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (misal berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai
toleransi)
Gangguan Citra Promosi Citra Tubuh
Tubuh Observasi :
a) Identifikasi harapan citra tubuh
berdasarkan tahap perkembangan
b) Identifikasi agama, budaya, jenis
kelamin, dan umur terkait citra tubuh
c) Identifikasi perubahan citra tubuh yang
mengakibatkan isolasi social
d) Monitor frekuensi pernyataan kritik

19
terhadap diri sendiri
e) Monitor apakah pasien bisa melihat
bagian tubuh yang berubah

Terapeutik :
a) Diskusikan perubahan tubuh dan
fungsinya
b) Diskusikan perbedaan penampilan fisik
terhadap harga diri
c) Diskusikan akibat perubahan pubertas,
kehamilan dan penuaan
d) Diskusikan kondisi stres yang
mempengaruhi citra tubuh (misal luka,
penyakit, pembedahan)
e) Diskusikan cara mengembangkan
harapan citra tubuh secara realistis
f) Diskusikan persepsi pasien dan keluarga
tentang perubahan citra tubuh

Edukasi :
a) Jelakan kepada keluarga tentang
perawatan perubahan citra tubuh
b) Anjurkan mengungkapkan gambaran diri
terhadap citra tubuh
c) Anjurkan menggunakan alat bantu (misal
pakaian, wig, kosmetik)
d) Anjurkan mengikuti kelompok
pendukung (misal kelompok sebaya)
e) Latih fungsi tubuh yang dimiliki
f) Latih peningkatan penampilan diri (misal
berdandan)

20
g) Latih pengungkapan kemampuan diri
kepada orang lain maupun kelompok

2.8.6 Implementasi

Diagnosa Implementasi

Nyeri Akut 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,


durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Mengidentifikasi skala nyeri
3. Mengidentifikasi faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri
4. Mengajarkan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri (pemberian terapi
akupresur)
5. Memonitor keberhasilan terapi akupresur
yang sudah diberikan

Keletihan 1. Mengidentifikasi kesiapan dan


kemampuan menerima informasi
2. Menjadwalkan pemberian pendidikan
kesehatan sesuai kesepakatan
3. Menjelaskan pentingnya melakukan
aktivitas fisik/olahraga secara rutin
4. Mengajarkan cara mengidentifikasi
kebutuhan istirahat (misal kelelahan,
sesak nafas saat aktivitas)
5. Meminta pasien menyusun jadwal
aktivitas dan istirahat

Hambatan 1. Mengidentifikasi adanya nyeri atau


Mobilitas Fisik keluhan fisik lainnya
2. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan

21
ambulasi
3. Memfasilitasi aktivitas ambulasi dengan
alat bantu (misal tongkat, kruk)
4. Melibatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulasi
5. Mengajarkan ambulasi sederhana yang
harus dilakukan (misal berjalan dari
tempat tidur ke kursi roda)

Gangguan Citra 1. Mengidentifikasi harapan citra tubuh


Tubuh berdasarkan tahap perkembangan
2. Mengidentifikasi perubahan citra tubuh
yang mengakibatkan isolasi social
3. Diskusikan perbedaan penampilan fisik
terhadap harga diri
4. Diskusikan persepsi pasien dan keluarga
tentang perubahan citra tubuh
5. Menjelaskan kepada keluarga tentang
perawatan perubahan citra tubuh

2.8.7 Evaluasi

Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil

1. Nyeri akut S : Klien mengatakan nyeri sudah


berhubungan dengan mulai berkurang dari skala 7 ke 3
inflamasi dan O : Klien terlihat lebih tenang
peningkatan aktivitas dari sebelumnya, sudah tidak
penyakit, kerusakan meringis
jaringan, keterbatasan A : Masalah Nyeri Akut sebagian
mobilitas atau tingkat teratasi
toleransi yang rendah

22
P : Intervensi dilanjutkan

2. Keletihan S : Klien mengatakan sudah lebih


berhubungan dengan segar dari sebelumnya dan sudah
peningkatan aktivitas mulai beraktivitas seperti
penyakit, rasa nyeri, biasanya
tidur/aktivitas yang O : Klien terlihat sudah bisa
tidak memadai, nutrisi beraktivitas seperti biasanya dan
yang tidak memadai tidak banyak berbaring.
dan depresi stress A : Masalah teratasi
emosional P : Intervensi dihentikan

3. Hambatan mobilitas S : Klien mengatakan sudah bisa


fisik berhubungan melakukan aktivitas secara
dengan penurunan mandiri
rentang gerak, O : Klien terlihat melakukan
kelemahan otot, aktivitas mandiri tanpa dibantu
rasanyeri pada saat A : Masalah teratasi
bergerak, keterbatasan P : Intervensi dihentikan
daya tahan fisik,
kurangnya atau tidak
tepatnya pemakaian
alat-alat ambulasi.

4. Gangguan citra tubuh S : Klien mengatakan masih malu


berhubungan dengan dengan penampilannya
perubahan dan O : Klien terlihat masih menutupi
ketergantungan fisik ruamnya
serta psikologis yang A : Masalah belum teratasi
diakibatkan oleh P : Intervensi dilanjutkan
penyakit kronik

23
BAB III
PENUTUP

2.8 Kesimpulan
System Lupus Erithematosus (SLE) atau biasa yang dikenal
dengan istilah lupus adalah penyakit kronik atau menahun. SLE termasuk
penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok yang melibatkan
sistem musculoskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak menifestasi klinis sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-
vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator
penyakit tersebut.
System Lupus Erythematosus (SLE) dapat menyerang semua
usia, namun sebagian besar pasien ditemukan pada perempuan usia
produktif. Sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus)
adalah wanita dan sebagian besar wanita yang menghidap SLE ini berusia
15-40 tahun. Namun masih belum diketahui secara pasti penyebab lebih
banyaknya penyakit SLE yang menyerang wanita.
2.9 Saran
Sakit itu mahal, namun sehat lebih berharga. Semoga setelah
mengetahui penyebab dari System Lupus Erythematosus (SLE), kita
semua dapat melakukan pencegahannya dengan menghindari faktor
penyebabnya tersebut.

24
DAFTAR PUSTAKA

Hurst, Marlene., dkk. (2015). Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah Vol
2.Jakarta:EGCSuddarth, Brunner.,dkk. (2013) .
Keperawatan Medikal Bedah Brunnere Suddarth Ed.12.Jakarta: EGCMary
Digiulio.,dkk. (2014).
Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing Nopa Septia
Anggraini. (2016). Lupus Eritematosus Sistemik : Vol. 4, No. 4 : 124-
131.Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas klampung

Pingkan anggraini. 2020. STUDI DOKUMENTASI RISIKO INFEKSI PADA


PASIEN An. NDENGAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS(SLE).
Yogyakarta. Diakses pada tanggal 16 Februari 2023.

Widjaja,MC.(2018).Sistemik Lupus Eritematosus. Diakses pada 16 Februari 2022

25

Anda mungkin juga menyukai