KELAS C SEMESTER 4
2022/2023
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapatmenyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun
tidak akan sanggupmenyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
1.3 Manfaat Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Pengertian System Lupus Erythematosus (SLE) 3
2.2 Etiologi 4
2.2.1 Faktor Genetik 4
2.2.2 Faktor Imunologi 4
2.2.2.1 Antigen 4
2.2.2.2 Kelainan Intrinsik Sel T Dan Sel B 5
2.2.2.3 Kelainan Antibodi 5
2.2.3 Faktor Lingkungan 5
2.2.4 Faktor Hormonal 6
2.2.5 Faktor Farmakologi6
2.3 Patofisiologi 6
2.4 Patway 7
2.5 Manifestasi Klinik 8
2.6 Pemeriksaan Penunjang 9
2.6.1 Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urine 9
2.6.2 Anti DS DNA 10
2.6.3 Antinuclear Antibodies (ANA) 10
2.7 Penatalaksaan 11
2.7.1 Penatalaksaan Medis 11
2.7.1.1 Antiradang Nonsteroid (AINS) 11
iv
2.7.1.2 Kortikosteroid 11
2.7.1.3 Antimalaria 12
2.7.1.4 Imunosupresif 12
2.7.2 Penatalaksaan Keperawatan 12
2.7.3 Penatalaksaan Diet 13
2.8 Asuhan Keperawatan System Lupus Erythematosus (SLE) 14
2.8.1 Pengkajian 14
2.8.2 Riwayat Kesehatan 14
2.8.3 Pemeriksaan Fisik 14
2.8.4 Diagnosa 15
2.8.5 Perencanaan 16
2.8.6 Implementasi 21
2.8.7 Evaluasi 22
BAB III PENUTUP 24
3.1 Kesimpulan 24
3.2 Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau
sesudah pukul 16.00. Saat berpergian, penderita memakai sun block atau sun
screen (pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang
akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun
sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada
beberapa factor yang terlibat seperti factor genetic, obat-obatan, hormonal
dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. System imun tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan
tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan
antibody secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam
kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik
dengan kerusakan multi organ dalam fatogenesis melibatkan gangguan
mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal
ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
4
yang telah berubah di permukaan sel T akan salah
mengenali perintah dari sel T.
2.2.2.2 Kelainan Intrinsik Sel T Dan Sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B
adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel
autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dansel
B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga
menyebabkan produksi imunoglobulin dan auto antibodi
menjadi tidak normal.
2.2.2.3 Kelainan Antibodi
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat
terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu
banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi auto
antibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.
2.2.3 Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen
yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE.
Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1. Infeksi virus dan bakteriAgen infeksius, seperti virus dan
bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius
tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
2. Paparan sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem
imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE
dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel
pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
5
terjadi inflamasi ditempat tersebut secara sistemik melalui
peredaran pembuluh darah.
3. Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika
seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem auto antibodinya
tidak ada gangguan sejak awal.
2.2.4 Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya
LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko
lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga
menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
2.2.5 Faktor Farmakologi
Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada pasien
tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau
DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah :
1. Obat yang pasti menyebabkan lupus obat: klorpromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
2. Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat: dilantin,
peninsilamin, dan kuinidin.
3. Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis
antibiotik, dangriseofulvin.
2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE yang terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan
yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagai mana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia produktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
6
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klopromazin dan beberapa preparat anti konvulsandi samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa
kima atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga
timbul penumpukan komples imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya akan merangsang pembentukan
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
2.4 Pathway
7
2.5 Manifestasi Klinik
Gambaran klinis dari LES biasanya dapat membingungkan, gejala
yang palingsering adalah sebagai berikut:
1. Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan sendi).
2. Demam akibat peradangan kronik
8
3. Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung
kata lupus berarti serigala dan mengacu kepada penampakan topeng
seperti serigala.
4. Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran darah dan
hipoksia kronik.
5. Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
6. Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
7. Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung
8. Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan
hipertensi
9. Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering
terjadikarena serangan terhadap sel darah merah dan putih serta
trombosit (Elizabeth, 2009).
9
itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan
adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan
ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.
2.6.2 Anti DS DNA
Batas normal : 70 –200iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE
aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang
tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah
sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan
yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada
penyakit SLE yang tenang. Antibodi anti-DNA merupakan subtype
dari antibody antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibody anti
DNA yaitu yang menyerang double stranded DNA (anti ds-DNA)
dan yang menyerang single stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-
DNA kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk
penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada
penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi
merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit
tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi system komplemen
yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik local maupun
sistemik (Pagana and Pagana,2002).
2.6.3 Antinuclear Antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit
autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibody protein
yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif
10
untuk mendektisi danya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95%
penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena
ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan
penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak
lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil
test negative, maka pasien belum tentu negative terhadap SLE
karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test
laboratorium yang lain, jika hasil test positif maka sebaiknya
dilakukan testserologi yang lain untuk menunjang diagnose bahwa
pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith
(anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti–SSA (Ro)
atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana,2002).
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Penatalaksanaan Medis
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup
pemberian obat-obat :
2.7.1.1 Antiradang Nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan
artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena
memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan sebagian
penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati.
Penderita SLE juga memiliki risiko tinggi terhadap efek
samping obat-obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal
sehingga pemberian harus dipantau secara seksama.
2.7.1.2 Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah kelompok obat dengan
senyawa kimia yang mempunyai struktur mirip hormon
steroid di tubuh manusia. Senyawa ini memiliki efek anti-
inflamasi atau mengurangi peradangan.
11
2.7.1.3 Antimalaria
Pemberian anti malaria kadang-kadang dapat efektif
apabila AINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala SLE.
Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan dosis
tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi
kulit merupakan parameter untuk memantau pemakaian
dosis.
2.7.1.4 Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau
azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas
autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika:
1. Diagnosis pasti sudah ditegakkan
2. Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
3. Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya,
misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan
respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena
adanya efek samping
4. Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia
dan Lorraine, 1995).
2.7.2 Penatalaksanaan Keperawatan
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik
karena sifat penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik
keperawatan reumatologi, pengobatan umum, dermatologi,
ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat
tiga komponen asuhan keperawatan yang utama.
1. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan
instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak
sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dankuesioner pengkajian
kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang
berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.
12
2. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang.
Pasien yang menyadari hubungan antara stres dan serangan
aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek
kesehatan mereka. Advice tentang keseimbangan antara
aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan
mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan
keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing,
penting dalam membantu pasien mengembangkan strategi
koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
3. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien
SLE. Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta,
setelah pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling
ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan
memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik
terhadap gaya hidupdan penatalaksanaan regimen bagi mereka
(Anisa Tri U., 2012).
2.7.3 Penatalaksanaan Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan.
Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet
yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium,
rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati
dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olahraga
diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan
normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering
dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk
menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari
harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof
sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat
meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.
13
2.8 Asuhan Keperawatan System Lupus Erythematosus (SLE)
2.8.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pertama dalam proses
keperawatan. Pengkajian merupakan metode penggalian informasi
atau data yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosa
danintervensi keperawatan. Pengkajian dapat dilakukan dengan
teknik wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan studi
dokumentasi (Tarwoto dan Wartonah, 2015). Pengkajian risiko
infeksi pada pasien anak dengan SLE menurut Kyle (2014) sebagai
berikut:
2.8.2 Riwayat Kesehatan
Kaji penjelasan lengkap sakit saat ini dan keluhan utama.
Tanda dan gejala umum yang dilaporkan selama riwayat
kesehatan adalah riwayat infeksi, keletihan, demam,
perubahan berat badan, nyeri atau pembengkakan pada
sendi, baal, kesemutan atau rasa dingin pada ekstremitas, atau
perdarahan yang memanjang. Kaji untuk faktor risiko, yang
meliputi jenis kelamin wanita; riwayat keluarga; keturunan Afrika,
Amerika Asli, atau Asia; Infeksi terbaru; reaksi obat; atau pajanan
sinar matahari berlebihan.
2.8.3 Pemeriksaan Fisik
Ukur suhu dan dokumentasikan adanya demam. Observasi
kulit untuk ruam malar (ruam yang berbentuk seperti kupu-kupu di
pipi); lesi diskoid pada wajah, kulit kepala atau leher; perubahan
pada pigmentasi kulit; atau jaringan parut. Dokumentasikan
alopesia. Inspeksi rongga mulut terhadap ulkus/ulserasi yang tidak
terasa nyeri dan sendi untuk edema. Ukur tekanan darah, karena
hipertensi dapat terjadi akibat terpengaruhnya ginjal. Auskultasi
paru; suara nafas tambahan dapat ditemukan jika sistem pulmonal
terpengaruh. Palpasi sendi, observasi area nyeri tekan (pada SLE,
14
gangguan abdomen lebih umum ditemukan pada anak daripada
orang dewasa).
2.8.4 Diagnosa
15
Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan tindakan
berhubungan dengan keperawatan selama …x24jam
perubahan dan diharapkan pasien dapat
ketergantungan fisik serta menerima keadaan tubuhnya
psikologis yang diakibatkan dengan kriteria hasil :
oleh penyakit kronik. - Body image positif
- Mempertahankan interaksi
social
- Mendiskripsikan secara
factual perubahan fungsi
tubuh
2.8.5 Perencanaan
Diagnosa SIKI
16
komplementer yang sudah diberikan
i) Monitor efek samping penggunaan
analgetic
Terapeutik :
a) Berikan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hipnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat dingin, terapi bermain.
b) Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis.suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
c) Fasilitasi istirahat dan tidur
d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi :
a) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu
nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
e) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
a) Pemberian analgetic jika diperlukan
17
Keletihan Edukasi Aktivitas
Observasi :
a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi
Terapeutik :
a) Sediakan materi dan media pengaturan
aktivitas dan istirahat
b) Jadwalkan pemberian pendidikan
kesehatan sesuai kesepakatan
c) Berikan kesempatan kepada pasien dan
keluarga untuk bertanya
Edukasi :
a) Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas
fisik/olahraga secara rutin
b) Anjurkan terlibat dalam aktivitas
kelompok, aktivitas bermain atau
aktivitas lainnya
c) Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan
istirahat
d) Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan
istirahat (misal kelelahan, sesak nafas
saat aktivitas)
e) Ajarkan cara mengidentifikasi target dan
jenis aktivitas sesuai kemampuan
Hambatan Dukungan Ambulasi
Mobilitas Fisik Observasi :
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
fisik lainnya
b) Identifikasi toleransi fisik melakukan
18
ambulasi
c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan
darah sebelum memulai ambulasi
d) Monitor kondisi umum selama
melakukan ambulasi
Terapeutik :
a) Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat
bantu (misal tongkat, kruk)
b) Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika
perlu
c) Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulasi
Edukasi :
a) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
b) Anjurkan melakukan ambulasi dini
c) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (misal berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai
toleransi)
Gangguan Citra Promosi Citra Tubuh
Tubuh Observasi :
a) Identifikasi harapan citra tubuh
berdasarkan tahap perkembangan
b) Identifikasi agama, budaya, jenis
kelamin, dan umur terkait citra tubuh
c) Identifikasi perubahan citra tubuh yang
mengakibatkan isolasi social
d) Monitor frekuensi pernyataan kritik
19
terhadap diri sendiri
e) Monitor apakah pasien bisa melihat
bagian tubuh yang berubah
Terapeutik :
a) Diskusikan perubahan tubuh dan
fungsinya
b) Diskusikan perbedaan penampilan fisik
terhadap harga diri
c) Diskusikan akibat perubahan pubertas,
kehamilan dan penuaan
d) Diskusikan kondisi stres yang
mempengaruhi citra tubuh (misal luka,
penyakit, pembedahan)
e) Diskusikan cara mengembangkan
harapan citra tubuh secara realistis
f) Diskusikan persepsi pasien dan keluarga
tentang perubahan citra tubuh
Edukasi :
a) Jelakan kepada keluarga tentang
perawatan perubahan citra tubuh
b) Anjurkan mengungkapkan gambaran diri
terhadap citra tubuh
c) Anjurkan menggunakan alat bantu (misal
pakaian, wig, kosmetik)
d) Anjurkan mengikuti kelompok
pendukung (misal kelompok sebaya)
e) Latih fungsi tubuh yang dimiliki
f) Latih peningkatan penampilan diri (misal
berdandan)
20
g) Latih pengungkapan kemampuan diri
kepada orang lain maupun kelompok
2.8.6 Implementasi
Diagnosa Implementasi
21
ambulasi
3. Memfasilitasi aktivitas ambulasi dengan
alat bantu (misal tongkat, kruk)
4. Melibatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulasi
5. Mengajarkan ambulasi sederhana yang
harus dilakukan (misal berjalan dari
tempat tidur ke kursi roda)
2.8.7 Evaluasi
22
P : Intervensi dilanjutkan
23
BAB III
PENUTUP
2.8 Kesimpulan
System Lupus Erithematosus (SLE) atau biasa yang dikenal
dengan istilah lupus adalah penyakit kronik atau menahun. SLE termasuk
penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok yang melibatkan
sistem musculoskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak menifestasi klinis sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-
vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator
penyakit tersebut.
System Lupus Erythematosus (SLE) dapat menyerang semua
usia, namun sebagian besar pasien ditemukan pada perempuan usia
produktif. Sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus)
adalah wanita dan sebagian besar wanita yang menghidap SLE ini berusia
15-40 tahun. Namun masih belum diketahui secara pasti penyebab lebih
banyaknya penyakit SLE yang menyerang wanita.
2.9 Saran
Sakit itu mahal, namun sehat lebih berharga. Semoga setelah
mengetahui penyebab dari System Lupus Erythematosus (SLE), kita
semua dapat melakukan pencegahannya dengan menghindari faktor
penyebabnya tersebut.
24
DAFTAR PUSTAKA
Hurst, Marlene., dkk. (2015). Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah Vol
2.Jakarta:EGCSuddarth, Brunner.,dkk. (2013) .
Keperawatan Medikal Bedah Brunnere Suddarth Ed.12.Jakarta: EGCMary
Digiulio.,dkk. (2014).
Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing Nopa Septia
Anggraini. (2016). Lupus Eritematosus Sistemik : Vol. 4, No. 4 : 124-
131.Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas klampung
25