Nama Kelompok:
PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES BHAKTI
HUSADA MULIA MADIUN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya, tentunya
kami tidak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam,
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan Dewasa Sistem
Endokrin, Pencernaan, Perkemihan, dan Imunologi Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak, khususnya kepada Mega Arianti Putri , S.Kep., Ns., M.Kep. selaku
dosen mata kuliah Keperawatan Dewasa Sistem Endokrin, Pencernaan, Perkemihan, dan
Imunologi.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran yang membangun dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian, apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................1
C. Tujuan Makalah.............................................................................................................2
A. Definisi SLE..................................................................................................................3
B. Etiologi SLE...................................................................................................................3
D. Patofisiologi SLE...........................................................................................................4
E. Farmakologi SLE...........................................................................................................5
F. Asuhan Keperawatan......................................................................................................5
A. Kesimpulan ..................................................................................................................10
B. Saran.............................................................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit hasil dari regulasi
sistem imun yang terganggu, yang menyebabkan autoantibodi diproduksi berlebihan,
yang pada kondisi normal di produksi dan digunakan untuk melindungi tubuh dari
benda asing (virus, bakteri, alergen, dan lain - lain) namun pada kondisi Systemic
Lupus Erythematosus, antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan
antara benda asing dan jaringan tubuh sendiri (Fatmawati, 2018). Systemic Lupus
Erythematosus merupakan suatu penyakit yang terjadi karena adanya penurunan
sistem kekebalan tubuh dan menyerang seluruh organ tubuh manusia mulai dari ujung
kaki hingga ujung rambut. Keluhan yang disampaikan oleh pasien dapat berupa
kelelahan, penurunan berat badan, demam, manifestasi muskuloskeletal, kulit, paru,
jantung, ginjal, gastrointestinal, neuropsikiatri, dan hemilimfatik. Demam sebagai
gejala yang dapat merujuk adanya infeksi pada tubuh, suhu tubuh dapat lebih dari
400C (Alamanda, 2018). World Health Organization (WHO) mencatat jumlah
penderita Systemic Lupus Erythematosus di dunia hingga saat ini mencapai lima juta
orang, dan setiap tahunnnya ditemukan lebih dari 100 ribu kasus baru. Menurut data
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) online, pada tahun 2016 terdapat 858 rumah
sakit yang melaporkan datanya diketahui terdapat 2.166 pasien rawat inap yang di
diagnosis penyakit Systemic Lupus Erythematosus dengan 550 (25%) pasien
diantaranya meninggal dunia. Penyakit Systemic Lupus Erythematosus pada pasien
rawat inap rumah sakit meningkat sejak tahun 2014-2016. Jumlah kasus tahun 2016
meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 2014, yaitu sebanyak 1.169 kasus.
Sebagian penderita Systemic Lupus Erythematosus adalah perempuan dari kelompok
usia produktif (15-50 tahun), meski begitu penyakit ini juga dapat menyerang laki-
laki, anak-anak dan remaja. Pada tahun 2016, Perhimpunan Systemic Lupus
Erythematosus Indonesia (PESLI) mendapatkan rata-rata insiden Systemic Lupus
Erythematosus dari data 8 rumah sakit adalah sebesar 10,5% (Kemenkes RI, 2017).
B. Rumusan Masalah
A. Apa definisi dari SLE?
B. Bagaimana Etiologi dari SLE?
C. Bagaimana Manisfestasi klinis dari SLE?
1
D. Bagaimana Patofisiologi dari SLE?
E. Bagaimana Farmakologi dari SLE?
F. Apa saja Asuhan Keperawatan pada pasien SLE?
C. Tujuan Makalah
A. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan SLE
B. Untuk mengetahui etiologi dari SLE
C. Untuk mengetahui Bagaimana Manisfestasi klinis dari SLE
D. Untuk mengetahui Patofisiologi dari SLE
E. Untuk mengetahui Farmakologi dari SLE
F. Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien SLE
2
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Definisi SLE
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit kolagen autoimun
inflamasi yang sifatnya kronis yang disebabkan oleh gangguan pengaturan imun yang
mengakibatkan produksi antibodi yang berlebihan (Susan C, 2017).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang
kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini
bisa bermacam-macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu
angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang penyakit ini sulit diperoleh.
SLE menyerang perempuan kira kira delapan kali lebih sering daripada laki-laki.
Penyakit ini seringkali dimulai diakhir masa remaja atau awal masa dewasa. Di
Amerika Serikat, penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih
sering daripada perempuan Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada usia di atas
60 tahun, biasanya akan lebih mudah untuk diatasi (Michael A, 2006).
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun
1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”,
melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan
serangga (lupus adalah kata dalam bahasa latin yang berarti serigala).
B. Etiologi SLE
SLE mungkin timbul akibat interaksi antara gena keturunan dan lingkungan.
Interaksi ini menyebabkan respon imun abnormal disertai hiperreaktivitas limfosit T
dan B yang tidak terkendali oleh proses imunoregulatorik yang lazim.
Penyebab SLE tidak diketahui, walaupun penyakit ini sering terjadi pada
orang-orang dengan kecenderungan mengidap penyakit autoimun. Bukti yang
menunjang hal ini adalah tingginya angka kejadian kembar identik pada bayi kulit
hitam dibandingkan kulit putih. Kecenderungan terjadinya SLE dapat berhubungan
dengan perubahan gen MHC spesifik dan bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan
dikenali. Wanita lebih cenderung mengalami SLE dibandinngkan pria, karena peran
hormon seks. SLE dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan
atau menyusui. Penyakit ini biasanya mengenai wanita muda selama masa subur.
Dapat bersifat ringan selama bertahun-tahun atau dapat berkembang dan
menyebabkan kematian.
3
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE umumnya tidak
diketahui, kecuali sinar UV-B (dan kadang-kadang UV-A). hampir 70% pasien
bersifat fotosensitif
C. Manifestasi Klinis SLE
Awitan penyakit ini sifatnya membahayakan atau akut, SLE bisa saja tak-
terdiagnosis selama beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi ekaserbasi dan
remisi
a. Gejala klasik
Demam, keletihan, penurunan berat badan, dan kemungkinan artritis, pleurisi.
yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalanan
penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai gejala sekunder dari
anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE
b. Sistem muskuloskeletal
Artralgia dan artritis(sinovitis) adalah ciri yang paling sering muncul.
Pembengkakan sendi, nyeri tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang lazim,
disertai dengan kekakuan pada pagi hari. Sendi yang paling sering diserang
terserang adalah sendi sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu,
lutut, dan pergelangan kaki.
c. Sistem integumen
Terlihat beberapa jenis SLE yang berbeda misalnya lupus eritematosus kutancus
subakut (SCLE), lupus eritematosus diskoid (DLE). Ruam kupu-kupu pada batang
hidung dan pipi muncul pada lebih dari separuh pasien dan mungkin merupakan
prekusor untuk gangguan yang sistemik.lesi memburuk selama periode
eksaserbasi (ledakan) dan dapat distimulasi oleh sinar matahari atau sinar
ultraviolet buatan. Ulkus oral dapat mengenai mukosa bukal dan palatum.
d. Sistem kardiovaskular
Perikarditis adalah manifestasi klinis pada jantung yang paling sering dijumpai.
Wanita yang menderita SLE juga beresiko mengalami arterosklerosis dini. Lesi
papular, eritematosus, dan purpura dapat muncul di ujung jari, siku, jari kaki,
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan dapat berlanjut
menjadi nekrosis
e. Tampilan neuropsikiatrik yang beragam dan kerap muncul, biasanya ditunjukkan
dengan sedikit perubahan pada perilaku atau kemampuan kognitif.
4
Tabel Manifestasi Klinis SLE
Gambar Ruam
6
D. Patofisiologi SLE
Gangguan ini muncul akibat kombinasi beberapa faktor genetik, hormonal
(yang dibuktikan dengan awitan penyakit yang biasanya terjadi pada masa usia
subur), dan faktor lingkungan (sinar matahari, luka bakar termal). Medikasi tertentu,
seperti hidralazin (Apresoline), prokainamide (Pronestyl), isoniazid atau INH
(Nydrazid), klorpromazin (Thorazine), dan beberapa medikasi anti kejang, diketahui
berperan memunculkan respons imun pada kasus SLE. Sel B berpengaruh dalam
memicu awitan dan ledakan penyakit.
Respons imun abnormal yang ditemukan termasuk juga pem- bentukan terus
menerus subset autoantibodi dan kompleks-imun (KI) yang patogenik. Belum
diketahui adanya gena imunoglobulin yang secara eksklusif mengkode autoantibodi
yang merugikan, walaupun gena regio V tertentu (terutama V,) tampaknya sering
terpakai, dan mungkin terdapat seleksi klonal sel B yang mensekresikan antibodi
beraviditas tinggi terhadap autoantigen. Pada sebagian model lupus pada murine,
peran sel T penolong sangat menentukan timbulnya penyakit. Telah dilakukan
penelitian supresi sel T sebagai intervensi terapeutik untuk pasien. Kelainan yang
memungkinkan hiperaktivasi sel T dan B autoreaktif mendominasi respons imun pada
SLE masih belum diketahui. Sel ini lolos dari mekanisme toleransi normal; mereka
tidak mengalami deplesi atau anergi. Bukti terbaru pada tikus mengisyaratkan bahwa
gangguan apoptosis, yang dikode secara genetis, mungkin menghambat eliminasi sel
autoreaktif. Terdapat bukti bahwa prekursor sel induk sumsum tulang untuk sel B dan
mungkin sel T, secara intrinsik tidak normal. Selain itu, mungkin lingkungan mikro
tempat sel induk ini berkembang yang tidak normal. Kemungkinan gena, hormon
seks, dan antigen eksogen mem- pengaruhi toleransi dan pengaktifan sel. Selain itu,
sel ini mungkin mengalami perubahan akibat adanya antibodi antilimfosit. Struktur
antigen yang merangsang autoantibodi masih dalam penelitian. Beberapa di antaranya
jelas berasal dari diri sendiri (histon, RNP, antigen permukaan eritrosit); sebagian
lainnya mungkin berasal dari lingkungan luar dan mirip dengan komponen diri (mis
komponen virus stomatitis vesikuler mirip dengan peptida pada antigen Ro).
Beberapa autoantibodi menginduksi penyakit melalui reaksi langsung dengan
antigennya, misalnya antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan eritrosit atau
trombosit. Sebagian lagi mungkin melekat ke membrana sel (misalnya membrana
7
basal glomerulus, MBG) melalui muatan kation atau karena mereka bereaksi silang
dengan komponen jaringan, misalnya beberapa antibodi DNA bereaksi dengan
laminin pada BMG. Bila antibodi ini, setelah berikatan dengan antigen, dapat
memfiksasi komplemen, akan terjadi kerusakan jaringan. Juga dapat terjadi perubahan
fungsi sel setelah antibodi berikatan dengan membrana tanpa tergantung pada
pengaktifan komplemen. Karakteristik autoantibodi pada SLE dicantumkan dalam
Tabel 284-1.
SLE terjadi jika terdapat kelainan pengaturan respons imun. Pembersihan
kompleks-imun tidak adekuat. Reseptor CRI pada eritrosit jumlahnya sedikit
(biasanya reseptor tersebut berkurang akibat tingginya kadar KI, kadang-kadang
karena kontrol genetik) sehingga banyak KI tidak ditransportasikan ke sistem fagosit
mono- nukleus (SFM). SFM tidak mampu mengolah KI secara normal. Jaringan
idiotipe-anti-idiotipe tidak dapat menekan sel T dan B yang hiperaktif. Pada SLE,
sebagian besar fungsi limfosit T menjadi fungsi penolong: sel T CD4+CD8-, CD4-
CD8+, CD4-CD8-, alfa/beta, dan gama/delta telah dibuktikan membantu sel B
memproduksi auto- antibodi. Dengan demikian, fungsi penekan yang biasanya
dimiliki oleh sel CD4-CD8+ dan sel NK menghilang. Akhirnya, mekanisme toleransi
normal yang melenyapkan atau menginaktifkan limfosit T dan B yang sangat
autoreaktif juga terganggu.
Secara ringkas, sebagian individu secara genetis memiliki ke- cenderungan
mengalami SLE. Di bawah pengaruh berbagai gena. sering dicetuskan oleh pengaruh
lingkungan dan sangat dipengaruh oleh jenis kelamin, individu tersebut dapat
mengalami berbagai sindroma klinis yang memenuhi kriteria SLE. Penyebab
sindroma ini sangat kompleks dan mungkin berbeda untuk tiap-tiap pasien
8
PATHWAY
Genetik, sinar ultaviolet, lingkungan dan obat-obatan tertentu
Gangguan imunoregulasi
Intoleransi
Aktivitas
E. Farmakologi SLE
Diagnosis didasarkan pada riwayat lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes darah.
Tidak ada pemerıksaan laboratorium tunggal untuk menegakkan diagnosis SLE.
Pemerik- saan mengungkap anemia sedang hingga berat, trombositopenia,
leukositosis, atau leukopenia dan antibodi antinuklear positif. Pemeriksaan
imunologis diagnostik lainnya mendukung tapi tidak membuktikan diagnosis tersebut.
Penatalaksanaan Medis
Upaya penanganan meliputi penatalaksanaan penyakit akut dan kronis, Tuian
nganan antara lain mencegah kehilangan fungsi organ yang progresif, menguran
kemungkinan penyakit akut, meminimalkan diasbilitas yang disebabkan oleh penvaki
9
dan mencegah komplikasi akibat terapi. Pemantauan dilakukan untuk mengkaii ak
tivitas penyakit dan keefektifan terapi.
Terapi Farmakologis
a. Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) digunakan bersama kortikosteroid untuk
meminimalkan kebutuhan akan kortikosteroid.
b. Kortikosteroid digunakan secara topikal untuk mengatasi manifestasi klinis.
c. Pemberian kortikosteroid IV adalah upaya alternatif untuk penggunaan kortiko
steroid oral dosis-tinggi yang selama ini berlaku.
d. Karakteristik SLE sistemik ringan, muskuloskeletal, dan kutaneus ditangani
dengan obat antimalaria.
e. Pemberian agens imunosupresif biasanya ditunda untuk kasus SLE yang paling
serius yang tidak berespons terhadap terapi konservatif.
F. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data melalui wawancara, observasi,
pemeriksaan fisik pada sasaran yang dituju, selain itu pengumpulan data dapat
diperoleh dari pasien, keluarga, tenaga kesehatan, catatan medis, medical recod dan
literature (Nurarif, 2015). Hal-hal yang dibagi pada pasien
antara lain:
a. Identitas : nama, umur, agama, pendidikan, alamat, diagnosis
b. Status kesehatan :
1) Keluhan utama
Biasanya klien dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus datang ke RS
dengan keluhan nyeri dan kaku pada seluruh badan, kulit kering, bersisik dan
mengelupas pada beberapa bagian kulit, rasa sakit biasanya dirasakan sejak 3
bulan yang lalu, pasien juga merasa lemah
2) Alasan MRS
Pasien masuk rumah sakit dikarenakan muncul gejala nyeri dan kaku seluruh
badan, kulit kering dan bersisik, kulit mengelupas pada beberapa bagian kulit,
dan semakin parah apabila terpapar sinar matahari
3) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya pada pasien yang menderita Systemic Lupus Erythematosus pada saat
dikaji keluhan yang dirasakan seperti nyeri dan kaku seluruh badan, kulit
menegelupas dibeberapa bagian, pasien lemas
10
c. Riwayat kesehatan terdahulu
1) Riwayat penyakit sebelumnya.
Biasanya pada penderita Systemic Lupus Erythematosus mengalami penyakit
nyeri terutama pada persendian. Pasien merasa panas seluruhbadan badan
selama 1 bulan, dan pasien merasakan kulitnya kering/bersisik, pecah-pecah
rambut rontok dan semakin parah apabila terpapar sinar matahari.
2) Riwayat penyakit keluarga
Pada penyakit Systemic Lupus Erythematosus ini belum diketahui secara pasti
penyebab penyakitnya tetapi faktor genetik juga sering dikaitkan dengan
penderita
3) Riwayat pengobatan
Pada penderita Systemic Lupus Erythematosus sebelum mengalami penyakit
ini biasanya sering mengkonsumsi obat asam urat seperti Allopurinol 100 mg
yang diminum setiap hari selama 1 tahun
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien menurut Hikmah (2018):
1) Keadaan umum
a) Kesadaran
Pada pasien Systemic Lupus Erythematosus kesadarannya composmentis
bahkan bisa sampai terjadi penurunan kesadaran.
b) Tanda-tanda vital
Biasanya pada penderita Systemic Lupus Erythematosus ini ditemukan
peningkatan suhu dan nadi diatas rentang normal.
2) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala
Terdapat ruam (malar) pada pipi yang tampak kemerah – merahan, terdapat
butterfly rash pada wajah terutama pipi dan sekitar hidung, telinga, dagu, daerah
pada leher
b) Mata
Pada pemeriksaan mata di dapatkan hasil mata tampak pucat (anemis)
c) Telinga
11
Melakukan inspeksi dan palpasi struktur telinga luar, melakukan inspeksi struktur
telinga tengah dengan ostoskop dan menguji telinga dalam dengan mengukur
ketajaman pendengaran.
d) Hidung
Mengobservasi bentuk, ukuran, warna kulit, dan adanya deformitasatau inflamasi.
Jika ada pembengkakan, perawat melakukan palpasidengan hati-hati.
e) Mulut
Mengobservasi bentuk, ukuran, warna kulit, dan adanya deformitas atau inflamasi.
Melakukan palpasi ada nyeri tekan terhadap pasien pada bagian mulut & bibirnya.
Pada pasien biasanya akan terjadi sariawan dan bibir pecah – pecah.
f) Leher
Memulai dengan leher dalam posisi anatomik biasa dengan sedikit hiperekstensi.
Inspeksi kesimetrisan bilateral dari otot leher untuk menguji fungsi otot
sternokleidomastoideus. Periksa adanya pembesaran kelenjar tiroid
g) Payudara
Mengenali adanya abnormalitas dengan tampilan payudara pasien. Melakukan
palpasi untuk menentukan adanya nyeri tekan, konsistensi dan ukuran besarnya
payudara
h) Genetalia
Melakukan inspeksi karakteristik warna kulit sekitar genetalia adanya gangguan
serta nyeri tekan hingga benjolan lain yangdidapatkan saat sakit
i) Dada
Inspeksi adanya luka/parut sekaligus bekas luka dan kesimetrisan dinding dada,
perkusi biasanya peranannya menurun sesudah ada foto rontgen toraks sekaligus
dapat dilakukan dengan cara sederhana untuk menentukan letak jantung dengan
ketukan
j) Muskuloskeletal
Sistem otot dikaji dengan memperhatikan kemampuan mengubah posisi, kekuatan
otot pasien serta kelemahan yang dialami.Sendi dilakuakn dengan tes ROM yang
menentukan gerakan sendi normal/tidak. ROM dibagi menjadi 2 yaitu pasif dan
aktif
k) Abdomen
12
Pemeriksaan abdomen pasien harus rileks. Otot abdomen yang mengencang akan
menyembunyikan keakuratan palpasi dan auskultasi. Perawat meminta pasien
untuk berkemih sebelum pemeriksaan dimulai. Inspeksi dilakukan dengan cara
melihat kondisi abdomen secara keseluarahan yang nampak
3) Pemeriksaan Sistemik
Menurut Hidayat dalam Judha (2015) data yang ditemukan pada pasien Systemic
Lupus Erythematosus adalah :
a) Sistem Muskuloskeletal
Artalgia, artritis, pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak,
rasa kaku pada pagi hari.
b) Sistem Integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal serta pipi.
c) Sistem Kardiaovaskuler
Pericarditis merupakan manifestasi kardiak.
d) Sistem Pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
e) Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriole, dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku, serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjur nekrosis.
f) Sistem Perkemihan
Biasanya yang terkena glomerulus renal.
g) Sistem saraf
Spektum gangguan sistim saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologi, sering terjadi depresi dan psikosis.
h) Sistem Gastrointestinal
Asites dan nyeri
2. Masalah Keperawatan
a. Nyeri Akut
b. Gangguan Integritas Kulit
c. Gangguan Mobilitas Fisik
d. Intoleransi Aktivitas
e. Defisit Nutrisi
3. Intervensi
13
Diagnosa Intervensi
14
Edukasi
Anjurkan menggunakan pelembab (mis. lotion, serum) Anjurkan minum air yang cukup
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
Gangguan Dukungan Mobilisasi
Mobilitas fisik Observasi
Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi Monitor kondisi
umum selama melakukan mobilisasi
Terapeutik
Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. pagar tempat tidur) Fasilitasi
melakukan pergerakan, jika perlu Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis, duduk di (empat tidur, duduk di
sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi)
Intoleransi Manajemen Energi
Aktivitas Observasi
Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan Monitor kelelahan fisik
dan emosional
Monitor pola dan jam tidur
Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik
Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara, kunjungan)
Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
Anjurkan tirah baring Anjurkan melakukan aktivtas secara bertahap
Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang
Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan Kolaborasi
Kolaborasi
dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan.
Defisit Nutrisi Manajemen Nutrisi
15
Observasi
Identifikasi status nutrisi
Identifikasi alergi dan intoteransi makanan
Identifikasi makanan disukai
Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien Identifikasi perlunya penggunaan selang
nasogastrik
Monitor asupan makanan
Monitor berat badan
Monitor hasil pemeriksaan laboratorium v
Terapeutik
Lakukan kebersihan mulut sebelum makan, bila perlu
Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida makanan) Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang sesuai Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein Berikan suplemen makanan bila perlu
Hentikan pemberian makan melalui selang nasogatrik jika asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
Anjurkan posisi duduk, jika mampu Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis, pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu
16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik
dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh
2. Penyebab SLE tidak diketahui, walaupun penyakit ini sering terjadi pada orang-
orang dengan kecenderungan mengidap penyakit autoimun. Bukti yang
menunjang hal ini adalah tingginya angka kejadian kembar identik pada bayi kulit
hitam dibandingkan kulit putih.
3. Gejala klasik Demam, keletihan, penurunan berat badan, dan kemungkinan artritis
Artralgia dan artritis(sinovitis) adalah ciri yang paling sering muncul
Pembengkakan sendi, nyeri tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang lazim,
disertai dengan kekakuan pada pagi hari
4. SLE ini muncul akibat kombinasi beberapa faktor genetik, hormonal (yang
dibuktikan dengan awitan penyakit yang biasanya terjadi pada masa usia subur),
dan faktor lingkungan (sinar matahari, luka bakar termal).
5. Terapi Farmakologis
a. Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) digunakan bersama kortikosteroid
untuk meminimalkan kebutuhan akan kortikosteroid.
b. Kortikosteroid digunakan secara topikal untuk mengatasi manifestasi klinis.
c. Pemberian kortikosteroid IV adalah upaya alternatif untuk penggunaan kortiko
steroid oral dosis-tinggi yang selama ini berlaku.
B. SARAN
Kita harus Melakukan tindakan pencegahan penyakit SLE ini karena
merupakan penyakit berbahaya yang jarang diketahui oleh masyarakat dengan cara
melakukan edukasi terkait dengan penyakit SLE ini
17
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, elizabeth j. (2009). Buku saku patofisiologi.Jakarta:penerbit kedokteran EGC
Price, Sylvia A. Lorraine M Wilson. (2006). patofisiologi konsep klinis proses proses
penyakit. Jakarta:penerbit kedokteran EGC
Smeltzer, Susan C. (2017). Keperawatan medikal bedah. Jakarta: penerbit kedokteran
EGC
18