Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN

SYNDROM LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)


MAKALAH

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4:

1. Amatullah Hilma Nuqirul ’Izza (201714201002)


2. Faishol Hamammy (201714201004)
3. Pheby Alfimay Natysya Putri (201714201019)
4. Siti Karomatun Nikmah (201714201024)
5. Sulastri (201714201025)

PRODI PENDIDIKAN NERS


SEMESTER V

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


SATRIA BHAKTI NGANJUK
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
dan taklupa pula kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas Makalah tentang Asuhan Keperawatan Pasien Dengan SLE.
Adapun tugas makalah Asuhan Keperawatan Pasien Dengan SLE telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai referensi,
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa
menyampaikan banyak terima kasih kepada seluruh referensi-referensi yang telah
membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun yang
membacanya.

Nganjuk, 16 September 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
a. Latar Belakang..........................................................................................1
b. Rumusan Masalah....................................................................................1
c. Tujuan.......................................................................................................2
Bab II Konsep Medis
a. Definisi.....................................................................................................3
b. Etiologi.....................................................................................................3
c. Faktor predisposisi....................................................................................4
d. Patofisiologi .............................................................................................6
e. Manifestasi klinis......................................................................................7
g. Penatalaksanaan........................................................................................8
h. Pemeriksaan penunjang............................................................................9
i. WOC........................................................................................................10
Bab III Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian ..............................................................................................11
b. Analisa data............................................................................................15
c. Diagnosa keperawatan............................................................................19
d. Rencana keperawatan.............................................................................21
Bab IV Penutup
a. Simpulan.................................................................................................28
b. Saran.......................................................................................................29
Daftar Pustaka...................................................................................................30
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

SLE (Systemic Lupus Erythematosus) atau yang bisa disebut penyakit lupus
merupakan penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibody yang
sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada ditubuh, tetapi
antibody tersebut ternyata marusak organ tubuhnya sendiri. Organ tubuh yang sering
dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem pembuluh darah
(Samsuridjal, 2009).

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang


ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan deposisi autiantibodi dan kompleks
imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Sudoyo Aru, 2009).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Medis SLE?


2. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Pasien SLE?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Konsep Medis SLE?


2. Untuk Mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan Pasien SLE?
BAB II
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,”
atau “Serigala,” merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi
dan hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah
berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-
bercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ
tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk
menggambarkan salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di
pipi yang membuat penampilan seperti serigala. Meskipun demikian, hanya
sekitar 30% dari penderita lupus benar-benar memiliki ruam “kupu-kupu,” klasik
tersebut.

SLE (Systemic Lupus Erythematosus) atau yang bisa disebut penyakit


lupus merupakan penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibody yang
sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada ditubuh, tetapi
antibody tersebut ternyata marusak organ tubuhnya sendiri. Organ tubuh yang
sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem
pembuluh darah (Samsuridjal, 2009).

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik


autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi
setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan deposisi
autiantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan
(Sudoyo Aru, 2009).
B. Etiologi
Penyebab SLE belum diketahui secara pasti, tetapi didapatkan faktor resiko
yaitu
1. Genetik

Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8x lebih sering


daripada pria dewasa), umur (lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan
faktor keturunan (frekuensinya 20x lebih sering dalam keluarga dimana
terdapat anggota dengan penyakit tersebut).

2. Hormon

Estrogen menambah resiko SLE, sedang androgen mengurangi resiko ini

3. Sinar ultraviolet

Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang


efektif, sehngga SLE kambuh atau bertamabah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi ditempat
tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran dipembuluh darah.

4. Imunitas

Pada pasien SLE terdapat hyperaktifitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.

5. Obat

Obat tertentu dalampresentasi kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (drup induced
lupus erythematosus atau DILE)

6. Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah :

a. Obt yang pasti menyebbakan lupus : klorpromazin, metildopa, hidralasin,


prokainamid, dan isoniazid.
b. Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus : dilantin, peninsilamin,
dan kuinidin.

c. Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotik, dan


griseofulvin

7. Infeksi

Pasien SLE cenderung mundah mendapat infeksi dan kadang-kadang


penyakit ini kambuh setelah infeksi. Infeksi virus dan bakteri menyebabkan
peningkatan antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit yang
akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al,2000).

8. Stres

Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini (Arif Mansjoar, 2000)

C. Faktor predisposisi
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE,
sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%.
Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),
telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur
komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang
dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q
homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan
bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko
lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
Pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu:
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapareseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel
B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki
reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan
sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan
produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen
dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan
kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor
resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.

D. Patofisiologi
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali
dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar
ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon
imun didalam tubuh yaitu:
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan silokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain:
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun
maupun sitokin didalam tubuh.
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis.
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekul.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam
tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang
membentuk kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan / organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetika, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh penyakit yang biasannya terjadi selama usia
prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-alfa turut
terlihat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

E. Manifestasi klinis
1. Manifestasi kutaneus

a. Fotosensitifitas (sunsensitify) : 2/3 pasien SLE mengeluhkan sensitif


terhadap sinar ultraviolet (UV). Riaksinya dapat berupa ruam ringan,
demam arthritis, kelelahan sampai keruam yang berat.

b. Ruam malar (ruam kupu-kupu) : makulopopular hiperemi didaerah


malar.

c. Ulukus oral : 20% pasien SLE mengalami ulkus oral yang biasanya
mengenai mukosa bukal dan langit-langit lunak. Lesinya berbatas tegas,
tetapi berwarna keputihan, dan biasanya tidak nyeri.

d. Alopecia (rambut rontok)

2. Manifestasi kutaneuvaskuler:

a. Vaskulitis kutaneus : radang pembuluh darah kecil yang terlihat di kulit


pada bagian tubuh tertentu (biasanya ditangan dan kaki). Terlihat
sebagai petikhie atau purpura yang dapat diraba, dan sangat jarang
terjadi nekrosis, ulserasi, gangrene.

b. Fenomena raynuaud : terjadi karena hyperplasia tunika intima dari


arteriol jari-jari disertai instabilitas vasomotor yang diperantarai syaraf
autonom. Hal ini akan menyebabkan vasodilatasi pada keadaan hangat,
dan vasokontriksi pada keadaan dingin, sehingga akan menimbulkan
perubahan pada jari dari merah, pucat sampai kebiruan. Jika berat dapat
menimbulkan ulkus atau gangrene pada jari (fingertip).

3. Manifestasi muskuloskeletal:

a. Artralghia dan artritis : arthragia terjadi pada 80-90% SLE. Disini tidak
terdapat tanda-tanda inflamasi obyektif yang ditemukan, pasien hanya
mengeluh nyeri saat diam maupun digerakkan, pada arthritis mengenai
50% pasien SLE, terdapat tanda-tanda lain selain nyeri yaitu bengkak
sendi, kemerahan, sendi teraba hangat, kekuatan pagi hari setelah
bangun tidur.

b. Myalgia dan mysositis : myalgia terjadi pada 70% pasien, sedangkan


myositis pasa 5-10% pada myositis terjadi peningkatan enzim CPK.

c. Osteopenia dan osteoporosis : inflamasi kronik karena SLE serta obat-


obatan misalnya kortikosteroid dan methotrexate, dapat menyebabkan
osteopenia dan osteoporosis pada pasien SLE. Hal ini ditambahkan
dengan kekurangan vitamin D karena pasien SLE harus menghindari
paparan sinar ultraviolet.

4. Manifestasi paru dan pleura :

a. Pleuritis : 60% SLE pernah mengalami gejala pleuritis yaitu nyeri saat
inspirasi, dan sekitar 25% pernah mengalami efusi pleura yang
bermakna. Pleuritis dan efusi pleura tidak termasuk organ threatening
diasese karena panrenkim paru tidak terkena.

b. Lupus pneumonitis akut, interstitial lung diasease (bersifat kronik, gejala


biasanya sesak)

5. Manifestasi kardiovaskular
a. Perikarditis : pasien mengeluh dadanya seperti ditekan dan membaik
jika dia agak membungkuk kedepan, sekitar 25% diantaranya terdapat
efusi pericardial.

b. Mykarditis, endokarditis (libma-sack endokarditis).

c. Hipertensi : terutama terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal, juga


yang dengan terapi kortikosteroid.

d. Accelerated atherosclerosis.

6. Manifestasi renal.

Lupus nefritis terjadi karena penumpukan kompleks imun di ginjal.


Pemeriksaan urinalisa menunjukkan adanya proteinuria, hematuria micros,
adanya silinder. Para ahli sangat menyarankan untuk dilakukan biopsy ginjal
untuk diagnosis standar lupus nefritis sehingga terapi lebih terarah.

7. Manifestasi hematologi

a. Anemia karena penyakit kronik, autoimmune haemolitic anemia (AIHA)

b. Leucopenia (<4000/mm3), limfopenia (<1500/mm3), trombositopenia.

c. Trombosis (APS), splenomegali, limfadenopati.

8. Manifestasi neuropskiatrik

a. Susunan saraf pusat : psikosis, kejang, aseptic meningitis, stroke,


demyelinating disorder, myelopati, anxiety disorder, mood disorder,
cognitive dysfunction, sakit kepala.

b. Susunan saraf tepi : polineuripathy, guillain barre’ syndrome,


mononeropathy, cranial neuropathy, myasthenia gravis.

9. Manifestasi gaastrointerstinal

Asites, peningkatan enzim hepar, vaskulitis arteri di abdomen, pancreatitis.


Pada tahun 1982 American college of rheumatology atau American
rheumatism association (ARA) menetapkan “sebelas kriteria lupus” untuk
membantu dokter mendiagnosis lupus dan yang diperbarui tahun 1997.

F. Penatalaksanaan
Meski belum dapat disembuhkan, odapus (orang dengan penyakit lupus)
tetap bisa mendapatkan pengobatan agar dapat hidup lebih lama seperti orang
yang sehat.
1. Terapi non farmakologis

a. Pengaturan istirahat dan olahraga yang ringan dan teratur. Hal ini
dilakukan untuk mengatasi fatigue yang umumnya dialami oleh pasien
SLE.

b. Hindari merokok, terkait dengan kandungan hydrazine yang terkandung


dalam rokok dan dapat menjadi faktor pencetus SLE serta menambah
resiko terjadi CAD.

c. Pemberian asupan minyak ikan untuk menghindari terjadi yang


keguguran pada wanita hamil dengan antifosfolipid antibody.

d. Menghindari paparan sinar matahari langsung. Cara yang dapat


dilakukan adalah dengan menggunakan payung, topi, hingga memakai
sunscreen maupun sunblock.

e. Menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan stress karena dapat


memicu terjadinya SLE.

f. Merencanakan kehamilan/hindari kehamilan.

2. Terapi farmakologis.

Tujuannya adalah menentukan autoimun dan mengendalikan inflamasi.


a. OAINS (obat anti inflamasi non steroid), dipakai untuk mengatasi
artritis dan athralgia. Penggunaan ini pada pasien dengan gejala awal
merupakan pilihan yang logis.

b. Obat antimalaria, terapi ini kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS


tidak dapat mengendalikan gejala-gejala SLE.

c. Kortikosteroiad, merupakan obat yang paling sering digunakan dalam


terapi SLE.

d. Obat sitotoksik (imunosupresif), terapi untuk menekan aktivitas


autoimun SLE.

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan terhadap pasien SLE
meliputi :
1. Ana (Anti Nucler Antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi
namun spesifikasitas yang rendah.

2. Anti dsDNA (double stranded). Tes yang sangant spesifik untuk LES,
biasanya titernya akan meningkat sebelum LES sembuh.

3. Antibody anti-S (smith). Antibody spesifik terdapat pada 20-30% pasien.

4. Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A, antikoagulan lupus, anti-


SSB, dan antibody antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya
SLE.

5. Komponen C3, C4, dan CH50 (komponen hemolitik).

6. Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis reumatoid, sindrom
sjogren, skleroderna, obat, dan bahan-bahan kimia lain.

7. Anti ssDNA (single stranded).

8. Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis (Arif


Mansjoer, 2000)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun
pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria 8 : 1. Artinya wanita 8x lebih beresiko
dibandingkan pria.
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan filiphina
c. Lebih sering pada usia 20 - 40 tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup
serta citra dari pasien.
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada pasien biasanya SLE pernah menderita penyakit ginjal atau
manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada umumnya pasien SLE akan mengeluhkan adanya ruam malar-
fotosensitif, ruam discoid bintik-bintik eritematosa menimbulkan:
artaralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis,
bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada faktor keturunan, frekuensinya 20x lebih sering dalam keluarga
dimana terdapat anggota dengan penyakit tersebut.
e. Kondisi lingkungan tempat tinggal
Apakah tempat tinggal klien langsung terpapar dengan sinar UV atau
matahari.

3. Pola Fungsi Gordon


a. Pola persepsi dan penanganan kesehatan
Keluhan utama demam, adanya sesak nafas, pembengkakan sendi,
inspeksi adanya ruam kupu-kupu dibagian pipi dan hidung.
b. Pola nutrisi dan metabolic
Adanya kehilangan berat badan sampai beberapa kg, adanya rasa mual
dan muntah sehingga mengakibatkan nafsu makan menurun.
c. Pola eliminasi
Ada perubahan pola eliminasi (adanya diare), dan juga sebagian
penderitaan SLE ini juga mengalami nefritis proliferative mesangial.
d. Pola aktivitas dan latihan
Sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan sering mengalami
nyeri pada persendiannya, sering merasa lelah dan lemah sehingga
aktivitas terganggu.
e. Pola istirahat dan tidur
Keluhan mengalami gangguan tidur karena nyeri yang dirasakan.
f. Pola kognitif dan persepsi
Adanya perubahan pada daya perabaan yang mana pada jari-jari
tangannya terdapat lesi vaskultik. Pada system neurologis, penderita bisa
mengalami depresi, psychosis, neuropthies.
g. Pola persepsi diri dan konsep diri
Karena terjadinya lesi pada kulit yang bersifat irreversible yang
menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit
penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan adanya lesi
kulit yang ada, seperti timbulnya kemerahan pada pipi dan kulit.
h. Pola peran hubungan
Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan selama
skait. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama skait, tidak dapat
melakukan perannya dengan baik.

i. Pola reproduksi dan seksualitas


Tidak ada gangguan dalam pola seksualitas dan reproduksi.
j. Pola koping dan toleransi stress
Timbulnya rasa depresi karenya penyakitnya dan juga stress karena nyeri
ynag dihadapi. Untuk itu, dukungan dari keluarga dan tetangga sangat
diperlukan sehingga penderita semangat untuk sembuh.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah penderita terganggu karena keterbatasan
aktivitas akibat kelemahan dan nyeri sendi yang dirasakan.
4. Pemeriksaan sitemik (head to toe):
Dikaji secara sistematis:
a. Pemeriksaan Head to toe
1) Kepala (wajah)
a) Terdapat ruam (malar) pada pipi yang tampak kemerah-merahan.
b) Terdapat lesi pada kulit kepala.
c) Rambut rontok.
d) Terdapat butterfly rash abersisik pada wajah tertuma pipi dan sekitar
hidung, telinga, dagu, daerah V pada leher.
e) Hidung mimisan
f) Kulit gatal
2) Mata
Mata simetris, konjungtiva anemis, biasanya akan mengalami
gangguan penglihatan.
3) Mulut/bibir
Terdapat sariawan, mulut kotor, nyeri pada mukosa, mukosa bibir
kering, dan gangguan menelan.
4) Punggung
Terdapat butterfly rash (bersisik) pada punggung atas.

5) Ekstremitas
Kulit seperti terbakar, pembengkakan pada tangan, kaki, bahu,
pinggang, kulit berwarna kemrah-merahan, kulit teraba dingin, pada
sendi terdapat bengkak.
6) Dada
Dada simetris, terdapat tarikan intercosta, nyeri saat ditekan, bunyi
nafas vesikuler, tidak terdapat bunyi nafas tambahan.
7) Jantung
Pericarditis, endocarditis, miokarditis.
8) Abdomen
Simetris, Lymfadenopati, splenomegaly, hepatomegaly.

B. Analisa data
Data Penyebab Masalah
Ds : Pasien mengatakan nyeri Ketidak mampuan fisik- Nyeri akut
pada saat inspirasi psikososial kronis
Do : (metastase kanker,
 KU : Lemah injuri neurologis,
 TTV meningkat arthritis).

 Mukosa bibir pucat


 Pasien terlihat meringis
 Pasien gelisah
 Kesulitan tidur
P : Penyebab nyeri yang
dirasakan adalah akibat
inflamasi pada tubuh
terutama pada sendi
Q : Nyeri seperti sensasi
terbakar
R : Lokasi nyeri biasanya ada
pada persendian.
S : Skala nyeri 1-10 biasanya
sampai angka 3

T : Nyeri dirasakan saat


persendian digerakkan.
Ds : Pasien mengatakan Deficit Imunologi Kerusakan integritas
adanya ruam pada kulit
seluruh tubuhnya
terutama pada wajah
Do:
 Terdapat ruam malar
(ruam kupu-kupu)
 Kulit kering
 Terdapat lesi pada kulit
kepala.

 Terdapat butterfly rash


(bersisik) pada punggung
atas
 Kulit seperti terbakar,
pembengkakan pada
tangan, kaki, bahu,
pinggang.
 Kulit berwarna kemrah-
merahan, kulit teraba
dingin, pada sendi
terdapat bengkak.
Ds : Pasien mengatakan malu Lesi kulit Gangguan citra tubuh
dengan keadannya
Do :
 Pasien terlihat murung’
 Gelisah.
 Fokus berlebihan pada
perubahan tubuh.
 Fokus pada penampilan
dan kekuatan masa lalu.
 Hubungan sosial
berubah.

C. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-psikososial kronis
(metastase kanker, injuri neurologis, arthritis) ditandai dengan pasien
mengatakan nyeri pada saat inspirasi, KU : Lemah, TTV meningkat, mukosa
bibir pucat, pasien terlihat meringis, pasien gelisah, kesulitan tidur.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan defisit imunologi ditandai
dengan pasien mengatakan adanya ruam pada seluruh tubuhnya terutama
pada wajah, terdapat ruam malar (ruam kupu-kup), kulit kering, terdapat lesi
pada kulit kepala, terdapat butterfly rash (bersisik) pada punggung atas, kulit
seperti terbakar, pembengkakan pada tangan, kaki, bahu, pinggang, kulit
berwarna kemrah-merahan, kulit teraba dingin, pada sendi terdapat bengkak.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan lesi pada kulit ditandai dengan
pasien mengatakan malu dengan keadannya, pasien terlihat murung, gelisah,
fokus berlebihan pada perubahan tubuh, fokus pada penampilan dan
kekuatan masa lalu, hubungan sosial berubah.

D. Perencanaan
No Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
hasil
1. Setelah dilakukan 1. Posisikan pasien 1. Posisi semifowler
tindakan selama 1 x 12 semifowler dapat meningkatkan
jam diharapkan nyeri 2. Ajarkan pasien untuk kenyamanan pasien
berkurang sampai melakukan distrkasi. dan mengurangi
hilang 3. Observasi TTV nyeri pasien
Kriteria hasil : oasien 2. Distraksi
 KU : baik 4. Observasi skala nyeri mengurangi nyeri
 TTV salam batas pasien pasien
normal 5. Anjurkan pasien 2 3. TTV
 Mukosa bibir jam sekali mengindikasikan
lembab mengambil posisi tingkat nyeri pasien

 Pasien tampak yang nyaman 4. Untuk mengetahui

tenang 6. Kolaborasi dengan skala nyeri pasien

 Pasien dapat tidur dokter unuk 5. Untuk

nyenyak pemberian analgesik meningkatkan rasa


nyaman pasien
6. Untuk pemberian
terapi medis pasien.
2. Setelah dilakukan 1. Berikan perawatan 1. Perawatan luka
tindakan 2 x 24 jam luka pada area lesi dapat mengurangi
diharapkan lesi pasien. dan menyembuhkan
berkurang sampai 2. Observasi ruam dan lesi.
hilang lesi pada tubuh 2. Mengidentifikasi
Kriteria hasil pasien. lesi pasien.
 Terdapat ruam 3. Anjurkan pasien 3. Sinar UV dapat
malar (ruam kupu- untuk menghindari memperparah
kupu) berkurang sinar UV keadaan lesi pada
sampai hilang 4. Kolaborasi dengan pasien lupus
 Kulit lembab dokter untuk 4. Untuk terapi medis
 Tidak ada lesi pada pemberian pasien
kulit kepala.. antiinflamasi dan
obat topikal lain.
 Kulit berwarna
lembab, kulit teraba
hangatdingin, pada
sendi terdapat
normal.
3. Setelah dilakukan 1. Bantu pasien untuk 1. Penilaian personal
tindakan selama 2 x15 meningkatkan tentang harga diri
menit diharapkan penilaian personal akan membuat
ganguan citra tubuh tentang harga diri. pasien percaya diri
berkurang. 2. Observasi respon akan citra
Kriteria hasil : verbal dan nonverbal tubuhnya.
 Pasien terlihat pasien tentang tubuh 2. Respon pasien
bersemangat pasien. mengidentifikasi
 Pasien tampak 3. Ajarkan pasien dan pasien terhadap
tenang keluarga pasien cara status citra tubuh
 Menunjukkan perawatan diri pasien.
citra tubuhnya termasuk komplikasi 3. Perawatan diri
 Hubungan sosial kondisi medis. pasien dapat
baik. 4. Kolaborasi dengan mmeningkatkan
psikolog. kepercayaan diri
pasien terhadap
citra tubuh pasien.
4. Untuk terapi
psikologis pasien
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

SLE (Systemic Lupus Erythematosus) atau yang bisa disebut penyakit lupus
merupakan penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibody yang
sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada ditubuh, tetapi
antibody tersebut ternyata marusak organ tubuhnya sendiri. Organ tubuh yang
sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem
pembuluh darah (Samsuridjal, 2009).

Penyebab SLE belum diketahui secara pasti, tetapi didapatkan faktor resiko
yaitu : genetik, hormon, sinar ultraviolet, imunitas, obat, stres. Penyakit SLE
terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetika, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
penyakit yang biasannya terjadi selama usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan
disamping makanan seperti kecambah alfa-alfa turut terlihat dalam penyakit SLE
akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami tentang


Konsep Keperawatan Medikal Bedah dengan Syndrom Lupus Erythematosus
(SLE) dan Asuhan Keperawatan dengan Syndrom Lupus Erythematosus (SLE).
Dan bagi pembaca yang berprofesi sebagai seorang perawat atau tenaga medis
lainnya dapat mengetahui rencana asuhan keperawatan medikal bedah dengan
Syndrom Lupus Erythematosus (SLE).
DAFTAR PUSTAKA

Tim Kopja SDKI DPP PPNI.(2016). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (Edisi
1). Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawan Nasional
Indonesia.

Wilkinson, Judith M. (2016). Diagnosa Keperawatan (Edisi 10). Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai