KEPERAWATAN ANAK II
Disusun Oleh:
KELOMPOK 9 / 3B
1. Auda Nur Imania (0117040)
2. M.Syaihu Abdi (0117054)
1|Page
Lembar Pernyataan
2|Page
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Anak dengan
Penyakit Terminal AIDS, DHF, dan SLE”. Terima kasih kepada Dosen yang telah
membantu memberikan arahan dan petunjuk untuk pembuatan makalah ini.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang asuhan
keperawatan beserta dampak yang diberikan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
manusia.
Akhirnya kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan
dalam penulisan makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
3|Page
DAFTAR ISI
Cover ............................... 1
LEMBAR PERNYATAAN ............................... 2
KATA PENGANTAR ............................... 3
DAFTAR ISI ............................... 4
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................... 5
B. Rumusan Masalah ............................... 5
C. Tujuan ............................... 5
BAB II PEMBAHASAN ............................... 6
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ............................... 23
BAB IV PENUTUPAN
A. Simpulan ............................... 46
B. Saran ............................... 46
DAFTAR PUSTAKA ............................... 47
4|Page
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah
sekumpulan gejala infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virusnya Human
Immunodeficiency Virus HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan
pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun
penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar- benar bisa disembuhkan.
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi
yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang
masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ
tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya,
maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di
ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah
trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat
mengakibatkan kematian, terutama pada anak serta sering menimbulkan
wabah. Jika nyamuk Aedes aegypti menggigit orang dengan demam
berdarah, maka virus dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang
diisapnya.
Masalah-masalah penyakit terminal pada tidak yang mengganggu
pada kebutuhan dasarnya saja, tetapi juga berdampak pada keluarga si anak.
Karena apa yang terjadi pada anak akan merubah kondisi kelurga baik
secara, psikologis, biologis, ekonomi, maupun lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan mengenai patofisiologi dan konsep asuhan
keperawatan pada anak dengan penyakit AIDS?
2. Bagaimana penjelasan mengenai patofisiologi dan konsep asuhan
keperawatan pada anak dengan penyakit DHF?
3. Bagaimana penjelasan mengenai patofisiologi dan konsep asuhan
keperawatan pada anak dengan penyakit SLE?
5|Page
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dan konsep asuhan
keperawatan pada anak dengan penyakit AIDS.
2. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dan konsep asuhan
keperawatan pada anak dengan penyakit DHF.
3. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dan konsep asuhan
keperawatan pada anak dengan penyakit SLE.
6|Page
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
AIDS
A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS.
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas
menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki
CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit.
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada
seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan
tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun,
penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya (Laurentz, 2005). AIDS
adalah suatu gejala penyakit yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan
daya tahan tubuh atau gejala penyakit infeksi tertentu/keganasan tertentu yang
timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan). (H. JH.
Wartono, 1999 : 09)
B. Patofisiologi
Peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit dan
makrofag, membuat sel T penolong dapat dianggap sebagai “tombol utama”
sistem imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong,
menghancurkan atau melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian
besar respon imun. Virus ini juga menyerang makrofag, yang semakin
melumpuhkan sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak,
sehingga timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang
dijumpai pada sebagian pasien AIDS.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah
10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi
adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,
diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik
(tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10
partikel setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi
dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.
7|Page
C. Manifestasi Klinik
Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang
penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan
pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati
pada berbagai penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya
dikemukakan sebagai berikut :
1. Rasa lelah dan lesu,
2. Berat badan menurun secara drastis,
3. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam,
4. Mencret dan kurang nafsu makan,
5. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut,
6. Pembengkakan leher dan lipatan paha,
7. Radang paru-paru,
8. Kanker kulit,
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara
lain tumor dan infeksi oportunistik :
a. Manifestasi tumor diantaranya:
1. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh.
Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok
homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang
menjadi sebab kematian primer.
2. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang
syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi Oportunistik diantaranya
1. Manifestasi pada Paru-paru
a) Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering,
sakit bernafas dalam dan demam.
b) Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-
paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan
penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.
c) Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan
sulit disembuhkan.
d) Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan
cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10%
per bulan.
8|Page
3. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang
biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang
umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan
neuropari perifer.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang
diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Disease
Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang,
hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan
sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral
selama >2 bulan), parotitis, dan diare. Diantara semua anak yang terdiagnosis
dengan infeksi HIV, sekitar 90% akan memunculkan gejala ini,
kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi dicoba oleh studi the European
Collaborative pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. Mereka
menemukan bahwa dua pertiga bayi yang terinfeksi memperlihatkan tanda dan
gejala yang tidak spesifik pada usia 3 bulan, dengan angka yang lebih rendah
diantara bayi yang tidak terinfeksi. Pada penelitian ini, kondisi yang
didiskriminasi paling baik antara bayi terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah
kandidiasis kronik, parotitis, limfadenopati persistem, hepatosplenomegali.
Otitis media, tinitis, deman yang tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata
paling sering pada bayi yang terinfeksi daripada bayi yang tidak terinfeksi.
9|Page
Anak Yang Terbukti Terinfeksi, Tetapi Tampa Gejala P-2; Mungkin
Memiliki Fungsi Imun Normal (P-1a) Atau Abnormal (P-1b)
Kelas P-2: Infeksi Sitomatik
P-2a: Gambaran Demam Nonspesifik (>2 Lebih Dari 2 Bulan) Gagal
Berkembang, Limfadenopati, Hepatomegali, Splenomegali, Parotitis, Atau
Diare Rekuren Atau Persistem Yang Tidak Spesifik.
P-2b: Penyakit Neurologi Yang Progresif
P-2c: Pneumonitis Interstisial Limfoid
P-2d: Infeksi Oportunistik Menjelaskan Aids, Infeksi Bakteri
Rekuren, Kandidiasis Oral Persisten, Stomatitis Herpes Rekuren, Atau Zoster
Multidermatomal.
P-2e: Kanker Sekunder, Termasuk Limfoma Non-Hodgkin Sel-B
Atau Limforma Otak
P-2f: Penyakit End-Organ Hiv Lain (Hepatitis, Karditis, Nefropati,
Gangguan Hematologi)
10 | P a g e
dengan perkembangan penyakit. Masing-masing dibahas secara singkat
dibawah :
1. Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP)
PCP merupakan penyakit indicator AIDS paling sering, yang terjadi pada
sekitar sepertiga anak dan bayi yang terinfeksi. Usia rata untuk munculnya
penyakit adalah sekitar usia 9 bulan, meskipun puncaknya sampai usia 3
sampai 6 bulan diantara bayi-bayi yang berkembang sangat cepat, infeksi
ini biasanya merupakan infeksi primer pada anak yang terinfeksi HIV,
bergejala subkutan atau mendadak dengan demam, batuk, takipnea, dan
ronki.
2. Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP)
Infiltrasi paru intersisial kronik telah ditentukan pada orang dewasa yang
terinfeksi HIV dalam jumlah kecil, tetapi terjadi pada sekitar 20% anak yang
terinfeksi HIV.
3. Infeksi Bakteri Rekuren.
Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi bakteri rekuren adalah dua atau
lebih episode sepsis, meningitis, pneumonia, abses internal, atau infeksi
tulang dan sendi, ini semua terlihat pada 15% anak-anak dengan AIDS
pediatric. Infeksi bakteri yang lebih sedikit, seperti infeksi sinus rekuren
atau kronik, otitis media, dan pioderma masih sering terjadi. Streptococcus
pneumonia merupakan isolate darah yang paling sering pada anak yang
terinfeksi HIV, meskipun stafilokokal gram-negatif, dan bahkan bakteremia
pseudomonal terjadi berlebihan. Penanganan episode demam pada anak
yang terinfeksi HIV sama dengan penanganan anak dengan kondisi yang
menganggu imunitas lain. Gangguan kemampuan untuk menjaga respons
antibody yang efektif dan kurangnya pajanan membuat anak yang terinfeksi
HIV rentang terhadap penyakit bakteri yang lebih setius. Profilaksis dengan
immunoglobulin intravena dapat mengurangi frekuensi dan keparahan
infeksi bakteri yang serius.
4. Penyakit Neurologi Progresif
Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV dapat munculkan tanda infeksi
system saraf pusat. Pada sekitar seperempatnya, infeksi ini dalam bentuk
11 | P a g e
ensefalopati static yang biasanya bermanifestasi pada tahun pertaman
dengan keterlambatan perkembangan. Pada sekitar sepertiganyan, terjadi
ensefalopati progresif, dengan kehilangan kejadian yang penting
sebelumnya dan deficit motorik dan kognitif yang berat. Pencitraan saraf
dapat memperlihatkan atrofi serebral, kelainan subtansi alba, atau klasifikasi
ganglion basal, atau kesemuanya, meskipun keparahan abnormalitas
pencitraan sering tidak berkorelasi dengan gambaran klinis.
5. Wasting Syndrome
Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi HIV lanjut terjadi pada sekitar
10% bayi dan anak dengan AIDS dan hamper selalu multifaktorial. Deficit
system saraf pusat dari latergi sampai kelemahan dalam mengunyah;
abnormalitas neuroendokrin; malabsorpsi dan diare akibat infeksi HIV
primer, infeksi usus sekunder, atau terapi; dan katabolisme yang diinduksi
infeksi sering berperang pada masalah yang menjengkelkan ini.
6. Infeksi Oportunistik
Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik spesifik memenuhi AIDS,
meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS pediatric adalah esofagistis
kandida, terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi kompleks, Mycobakterium
avium. Diantara virus-virus, infeksi CMV diseminata dan lama pada saluran
cerna, dan infeksi virus varisela zoster apitikal, rekuren dan ekstensif sering
terjadi. Walaupun daftar panjang pathogen yang menyebabkan penyakit
berat dan lama tidak lazim pada penjamu ini, virus respirasi yang lazim,
mencakup virus sinsitial respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang
berkomplikasi.
7. Terkenanya organ lain
Terkenanya hepar padi infeksi HIV pediatric sering mengambil bentuk
organ yang membesar sedang sampai berat, transaminitis berfluktuasi. Yang
jarang adalah hepatitis kolestatik berat yang terjadi pada bayi yang terinfeksi
pada tahun pertama, dengan prognosis buruk. Kelainan hati dapat
disebabkan oleh infeksi yang bersama dengan CMV, HCV, atau HBV, oleh
infeksi HIV itu sendiri, atau banyak agen infeksius lain. Penyakit ginjal yang
sering terjadi, paling sering bermanifestasi protenuria. Perubahan mesangial
12 | P a g e
dan glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai patologi yang
paling sering terjadi pada anak dengan AIDS. Kelainan jantung dapat
diperhatikan pada separuh anak semua usia penyakit HIV, meskipun insiden
kardiomiopati simtomatik hanya 12 sampai 20%; efusi pericardial dan
gangguan fungsi ventrikel merupakan kelainan ekokardiografi yang paling
sering ditemukan. Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada pasien ini,
terkenanya vertikel kiri beberapa kali lebih sering daripada yang kanan.
Tekanan HIV langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi bersama
dengan virus miotropik semuanya telah dihipotesis sebagai etiologi.
Fenomena autoimun mencakup anemia hemolitik positif-coombs dan
trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan kanker sekunder lain jarang pada
anak yang terinfeksi HIV.
D. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia
oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis
oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika
tidak diobati, kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung.
Tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan
rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal).
2. Neurologik
• Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat,
sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan
psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif
global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan
yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor,
inkontinensia, dan kematian.
• Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala,
malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-
kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.
13 | P a g e
3. Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang
diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan
BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau
kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa
adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini.
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam
atritis.
Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-
gatal dan diare.
4. Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas
(dispnea), batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan
menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh
Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,
gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti
herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel
yang nyeri dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan
infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas.
dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi
yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat
memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering
dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.
14 | P a g e
6. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,
sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.
E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji
HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian
Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi
HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western
blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24
(polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka
dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu
HIV.
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
Western blot (positif)
P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi
enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi
terhadap antigen)
Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit).
Kadar immunoglobulin (meningkat)
15 | P a g e
F. Penatalaksanaan Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara
lain :
Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang
ada
Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim
RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi
DNA HIV
Mengatasi dampak psikososial
Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit,
dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)
DHF
A. Definisi
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat
mengakibatkan kematian, terutama pada anak serta sering menimbulkan
wabah. Jika nyamuk Aedes aegypti menggigit orang dengan demam
berdarah, maka virus dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang
diisapnya. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang biak dan menyebar
ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan sebagian besar berada di kelenjar liur.
Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain, air liur bersama virus
dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap tidak
membeku, dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain. Di
dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistim
retikuloendotelial, dengan target utama virus dengue adalah APC ( Antigen
Presenting Cells ) di mana pada umumnya berupa monosit atau makrofag
jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena.Viremia timbul
pada saat menjelang gejala klinik tampak hingga 5 - 7 hari setelahnya. Virus
16 | P a g e
bersirkulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit
B dan sel limfosit T.
B. Patofisiologi
Sistim vaskuler
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut
permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan
tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus
berat, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Tidak terjadinya lesi destruktif nyata
pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan sementara fungsi vaskuler
diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita sudah stabil dan
mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan
penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS
melibatkan 3 faktor: perubahan vaskuler, trombositopeni dan kelainan
koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas
vaskuler dan trombositopeni, dan banyak diantaranya penderita
menunjukkan koagulogram yang abnormal.
C. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari berbagai
faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Terdapat berbagai
keadaan mulai dari tanpa gejala ( asomtomatik ) demam ringan yang tidak
17 | P a g e
spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, Demam
Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue.
Demam Dengue
Demam akut 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih dari :
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Mialgia/artralgia
Ruam kulit
Manifestasi perdarahan : Uji bendung positif
Leukopenia
Pemeriksaan serologi dengue positif
Demam Berdarah Dengue
Demam atau riwayat demam akut 2-7 hari
Manifestasi perdarahan berupa :
Uji bendung positif
Petekie, ekimosis atau purpura
Perdarahan mukosa (epiktasis,gusi) saluran cerna, tempat
bekas suntikan
Kematemesis atau melena
Trombositopenia <100.000/ul
Kebocoran plasma ditandai, peningkatan hematokrit ≥ 20%, atau
penurunan hematokrit ≥ 20% setelah pemberian cairan adekuat
Tanda kebocoran plasma seperti hipoproteinemi,asites,efusi
pleura
Sindrom Syok Dengue
Seluruh kriteria DBD disertai kegagalan sirkulasi yaitu :
Penurunan kesadaran, gelisah
Nadi cepat, lemah
Hipotensi
Tekanan darah turun ≤ 20 mmHg
Perfusi perifer menurun
Kulit dingin lembab
D. Klasifikasi
Berdasarkan derajat penyakit infeksi virus dengue :
DD/DBD Derajat Tanda Hasil Laboratorium
Demam disertai 2 atau lebih tanda Leukopenia
: mialgia, sakit kepala, nyeri Trobositopenia,
retrorbital, artalgia tidak ditemukan
DD bukti ada
kebocoran plasma
Serolgi dengue
positif
Gejala diatas ditambah uji bendung Trobositopenia
DBD I
(rumplee lead) positif (<100.000/ul)
18 | P a g e
Gejala diatas ditambah perdarahan Bukti ada
DBD II
spontan kebocoran plasma
Gejala diatas ditambah kegagalan
DBD III sirkulasi (kulit dingin dan lembab
serta gelisah)
Syok berat disertai TD dan nadi
DBD IV
tidak terukur
Klasifikasi derajat DBD menurut WHO :
Derajat Tanda
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
1
perarahan adalah uji torniquet positif
2 Derajat 1 disertai perdarahan spontan dikulit dan atau perdarahan lain
Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut,
3 tekanan darah menurun atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab,
dan gelisah
4 Syok berat, nadi tidak teraba dan TD tidak dapat diukur
E. Pemeriksaan Penunjang (Price dan Wilson, 2006)
Trombositopenia (100.000/mm3 )
Hb dan PCV meningkat (20%)
Leukopenia (normal atau lekositosis)
Serologi ( Uji H) : respon antibody sekunder
Pada renjatan berat periksa : Hb, PCV berulang ( setiap jam atau 4-
6 jam apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan), Faal
hemostasis, FDP, EKG, Fotothorax, BUN dan Creatinin serum
SLE
A. Definisi
Sistemik lupus eritematosus (SLE) merupakan penyakit rematik
autoimunyang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi
setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan
deposisi autoantibody dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan. (Sudoyo Aru, dkk. 2009).
B. Patofisiologi
Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya terjadi
akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara factor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana tebukti
oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu
seperti hidralazin (Apresoline), prokainamid (Pronestyl), isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
19 | P a g e
seperti kecambabh alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-akibat senyawa
kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibody diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya merangsang antibody tambahan, dan siklus
tersebut berulang kembali.
C. Manifestasi Klinik
Awitan SLE dapat bersifat perlahan-lahan dan tidak jelas atau akut.
Karena alasan inilah, penderita SLE mungkin tidak terdiagnosis selama
bertahun-tahun. Gambaran klinis SLE meliputi lebih dari satu sitem tubuh.
Sistem musculoskeletal terlibat dengan gejala artralgia dan atritis (sinovitis)
yang merupakan gambaran yang sering ditemukan pada penyakit SLE.
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak merupakan
gejala yang sering terdapat dan akan disertai dengan rasa kaku pada pagi
hari.
Beberapa tipe manifestasi kulit yang berbeda dapat terjadi pada
penderita SLE; manifestasi ini mencakup lupus eritematosus kutan subakut
(SCLE; subacute cutaneous lupus erythematosus) dan lupus eritematosus
discoid (DLE; discoid lupus erythematosus). Manifestasi kulit yang paling
dikenal (tetapi frekuensinya kurang dari 50% pasien) adalah lesi akut pada
kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Gambaran ini mungkin merupakan satu-satunya kelainan
kulit pada sebagian kasus lupus eritematosus (discoid). Pada sebagian
pasien, ganggguan awal pada kulit dapat menjadi prekusor untuk terjadinya
gangguana yang bersifat lebih sistemik. Lesi sering memburuk pada saat
eksaserbasi (flares) penyakit sistemik dan dapat dipicu oleh cahaya matahari
atau sinar ultraviolet artificial.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. Ulkus
ini terbentuk dimana-mana serta sering dengan eksaserbasi dan mungkin
disertai lesi kulit. Perikarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling
sering ditemukan dan terjadi pada sampai 30% paisien. Kelainan ini
20 | P a g e
mungkin asimtomatik dan sering disertai dengan efusi pleura. Gangguan
paru dan pleura terjadi pada 20% hingga 40% pasien; gangguan ini paling
sering dimanifestasikan dalam bentuk pleuritis atau efusi pleura.
Sistem vaskuler dapat terlihat dengan proses inflamasi pada arteriole
terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura. Semua
lesi ini dapat timbul pada ujung jari tangan, siku, jari kaki serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan dapat berlanjut manjadi
nekrosis.
Limfadenopati terjadi pada 50% dari seluruh pasien SLE pada waktu
tertentu selama perjalanan penyakit tersebut. Gangguan renal terdapat pada
sekitar 52% penderita SLE, dan glomerulus renal merupakan bagian yang
biasanya terkena. Derajat kerusakan ginjal menunjukkan apakah gangguan
renal akan bersifat reversible.
Gambaran neuropsikiatrik yang bervariasi dan frekuen pada SLE
kini sudah lebih banyak dikenali. Gambaran ini umumnya diperlihatkan
oleh perubahan yang tidak jelas pada pola perilaku atau kemampuan
kognitif. Spectrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup
seluruh bentuk penyakit neurologic. Sering terjadi depresi dan psikosis.
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah : leukopeni/limfopeni, anemia, trombositopenia,
LED meningkat
Imunologi : ANA (antobodi antinuklear), antibodi DNA untai ganda
meningkat, kadar komplemen C3 dan C4 menurun, tes CRP (C-reactive
protein) positif
Fungsi ginjal : kreatinin serum meningkat, penurunan GFR, protein urin
(>0,5 gr/24 jam), ditemukan sel darah merah
Kelaianan pembekuan darah yang berhubungan dengan antikoagulan
lupus
Serologi VDRL (sifilis) : hasil postif palsu
Tes Vital Lupus : adanya pita Fg 6 yang khas atau deposit Ig M pada
persambungan dermo-epidermis pada kulit
21 | P a g e
E. Penatalaksaan
Mencakup obat, diit, dan aktivitas. Obatnya meliputi anti-inflamasi, anti
malaria, kortikosteroid,imunosuppresan. Untuk dietnya, cukup kalsium,
rendah lemak, dan rendah garam. Aktivitas pasien lupus tetap dapat
beraktivitas normal.
22 | P a g e
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
AIDS
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MRS.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi
respiratori ditemui keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama
lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu, demam yang
berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari
satu bulan berulang maupun terus menerus, penurunan berat
badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi
pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur
Candida Albicans, pembengkakan kelenjer getah bening
diseluruh tubuh, munculnya Harpes zooster berulang dan
bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien
HIV AIDS adalah : pasien akan mengeluhkan napas sesak
(dispnea) bagi pasien yang memiliki manifestasi respiratori,
batuk-batuk, nyeri dada dan demam, pasien akan
mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan
drastis.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama.
Adanya riwayat penggunaan narkotika suntik, hubungan
seks bebas atau berhubungan seks dengan penderita
HIV/AIDS, terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
23 | P a g e
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang
menderita penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan dengan
adanya orang tua yang terinfeksi HIV. Pengkajian lebih
lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga,
adanya keluarga bekerja di tempat hiburan malam, bekerja
sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).
c. Pola aktivitas sehari-hari
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami
perubahan atau gangguan pada personal hygiene, misalnya
kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK dikarenakan
kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan melakukan
kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh
keluarga atau perawat.
2. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan
nafsu makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan
mengalami penurunan BB yang cukup drastis dalam waktu
singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
3. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus
berdarah.
4. Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur
mengalami gangguan karena adanya gejala seperi demam dan
keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga
didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap
penyakitnya.
5. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan
mengalami perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat
24 | P a g e
melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan
mereka yang menarik diri dari lingkungan masyarakat
maupun lingkungan kerja, karena depresi terkait penyakitnya
ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.
6. Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah,
cemas, depresi, dan stres.
7. Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan
pengecapan, dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya
mengalami penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi,
kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang
terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.
8. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran
yang dapat mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien
merasa malu atau harga diri rendah.
9. Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami
cemas, gelisah dan depresi karena penyakit yang dideritanya.
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit, yang kronik,
perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan
reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan,
mudah tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan penderita
tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang kontruksif
dan adaptif.
10. Pola reproduksi seksual
Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya
terganggu karena penyebab utama penularan penyakit adalah
melalui hubungan seksual.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
25 | P a g e
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal
nya akan berubah, karena mereka menggap hal menimpa
mereka sebagai balasan akan perbuatan mereka. Adanya
perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh
mempengaruhi nilai dan kepercayaan pasien dalam kehidupan
pasien, dan agama merupakan hal penting dalam hidup pasien.
d. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum : ditemukan pasien anak tampak lemah.
b. Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi
penurunan tingkat kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan
coma.
c. Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan : Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan
meningkat
Suhu : Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karena
demam.
d. BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB)
TB : Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
e. Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena
dermatitis seboreika
f. Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak
ikhterik,
pupil isokor, reflek pupil terganggu
g. Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
h. Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya
bercak-bercak putih seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.
i. Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena
infeksi jamur Cryptococcus Neoformans), biasanya ada
pembesaran kelenjer getah bening
j. Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
26 | P a g e
k. Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi
dinding dada pada pasien AIDS yang disertai dengan TB,
Napas pendek (cusmaul), sesak nafas (dipsnea).
l. Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang hiperaktif
m. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya
tanda-tanda lesi (lesi sarkoma kaposi).
n. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot
menurun, akral dingin.
2. Diagnosa Keperawatan
3. Intervensi Keperawatan
27 | P a g e
2) Perubahan 2) Deviasi ringan pelan, dalam,
frekuensi dari kisaran berputar dan batuk
nafasan normal irama 4) Instruksikan
3) Perubahan irama pernafasan bagaimana agar
nafas 3) Deviasi ringan bisa melakukan
4) Penurunan dari kisaran batuk efektif
bunyi nafas normal suara 5) Auskultasi suara
5) Sputum dalam auskultasi nafas nafas, catat area
jumlah 4) Deviasi ringan yang ventilasinya
berlebihan dari kisaran menurun atau
6) Batuk tidak normal tidak dan adanya
efektif kepatenan jalan suara nafas
nafas tambahan
5) Deviasi ringan 6) Monitor status
dari kisaran pernafasan dan
normal saturasi oksigenasi
oksigen sebagaimana
6) Tidak ada mestinya
retraksi dinding Fisioterapi dada
dada 1) Jelaskan tujuan dan
prosedur fisioterapi
dada kepada pasien
2) Monitor status
respirasi dan
kardioloogi
(misalnya, denyut dan
suara irama nadi,
suara dan kedalaman
nafas)
3) Monitor jumlah dan
karakteristik sputum
28 | P a g e
4) Instruksikan pasien
untuk mengeluarkan
nafas dengan teknik
nafas dalam
Terapi Oksigen
1) Bersihkan mulut,
hidung dan sekresi
trakea dengan tepat
2) Siapkan peralatan
oksigen dan berikan
melalui sistem
hemodifier
3) Monitor aliran
oksigen
4) Monitor efektifitas
terapi oksigen
5) Pastikan penggantian
masker oksigen/ kanul
nasal setiap kali
pernagkat diganti
Monitor Pernafasan
1) Monitor pola nafas
(misalnya, bradipneu)
2) Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
3) Auskultasi suara nafas
4) Kaji perlunya
penyedotan pada jalan
nafas dengan
auskultasi suara nafas
ronci di paru
29 | P a g e
5) Auskultasi suara nafas
setelah tindakan,
untuk dicatat
6) Monitor kemampuan
batuk efektif pasien
2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan Menajemen Jalan Nafas :
Pola Nafas asuhan 1) Posisikan pasien
Definisi : keperawatan untuk
Inspirasi dan atau diharapkan status Memaksimalkan
ekspirasi yang tidak pernafasan tidak ventilasi
memberi ventilasi terganggu dengan 2) Lakukan fisioterapi
adekuat kriteria hasil : dada sebagaimana
Faktor Resiko : 1) Frekuensi mestinya
1) Perubahan pernafasan tidak 3) Buang secret dengan
kedalamam ada deviasi dari memotivasi klien
pernafasan kisaran normal untuk melakukan
2) Bradipneu 2) Irama batuk atau menyedot
Dipsnea pernafasan tidak lendir
3) Pernafasan ada deviasi dari 4) Motivasi pasien untuk
cuping hidung kisaran normal bernafas pelan, dalam,
4) Takipnea 3) Suara berputar dan batuk.
Faktor yang Auskultasi nafas 5) Auskultasi suara
berhubungan : tidak ada deviasi nafas, catat area yang
1) Kerusakan dari kisaran ventilasinya menurun
neurologis normal atau tidak ada dan
2) Imunitas 4) Saturasi oksigen adanya suara nafas
neurologis tidak ada deviasi tambahan
dari kisaran 6) Kelola nebulizer
normal ultrasonik,
5) Tidak ada sebgaimana mestinya
retraksi dinding
dada
30 | P a g e
6) Tidak ada suara 7) Posisikan untuk
nafas tambahan meringankan sesak
7) Tidak ada nafas
pernafasan 8) Monitor status
cuping hidung pernafasan dan
oksigen, sebagaimana
mestinya
Pemberian Obat :
1) Pertahankan aturan
dan prosedur yang
sesuai dengan
keakuratan dan
keamanan pemberian
obat-obatan
2) Ikuti prosedur lima
benar dalam
pemberian obat
3) Beritahu klien
mengenai jenis obat,
alasan pemberian
obat, hasil yang
diharapkan, dan efek
lanjutan yang akan
terjadi sebelum
pemberian obat.
4) Bantu klien dalam
pemberian obat
Terapi Oksigen :
1) Bersihkan mulut,
hidung, dan sekresi
trakea dengan tepat
31 | P a g e
2) Berikan oksigen
tambahan seperti yang
diperintahkan
3) Monitor aliran
oksigen
4) Periksa perangkat
(alat)
5) pemberian oksigen
secara berkala untuk
mmastikan bahwa
konsentrasi (yang
telah) ditentukan
sedang diberikan
Monitor Pernafasan :
1) Monitor kecepatan,
irama, kedalaman dan
kesulitan bernafas
2) Catat pergerakan
dada, catat
ketidaksimetrisan,
penggunaan otot-otot
bantu nafas
3) Palpasi kesimetrisan
ekstensi paru
4) Auskultasi suara
nafas, catat area
dimana terjadinya
penurunan atau tidak
adanya ventilasi dan
keberadaan suara
nafas tambahan
32 | P a g e
5) Auskultasi suara nafas
setelah tindakan untuk
dicatat
6) Monitor sekresi
pernafasan pasien
7) Berikan bantuan
terapi nafas jika
diperlukan (misalnya
nebulizer)
Monitor tanda-tanda vital :
1) Monitor tekanan
darah, Nadi, Suhu,
dan status pernafasan
dengan tepat
2) Monitor suara paru-
paru
3) Monitor warna kulit,
suhu dan kelembaban
33 | P a g e
Situasional : 3) Diare tidak ada 2) Ambil tinja untuk
1) Penyalahgunaan Setelah dilakukan pemeriksaan kultur
alkohol tindakan dan sensitifitas bila
Fisiologis : keperawatan diare berlanjut
1) Proses Infeksi diharapkan tidak 3) Instruksikan pasien
terjadi keparahan atau anggota keluarga
infeksi dengan utuk mencatat warna,
kriteria volume, frekuensi,
hasil : dan konsistensi tinja
1) Malaise tidak 4) Identifikasi faktor
ada yang bisa
2) Nyeri tidak ada menyebabkan diare
3) Depresi jumlah (misalnya medikasi,
sel darah putih bakteri, dan
pemberian makan
lewat selang)
5) Amati turgor kulit
secara berkala
6) Monitor kulit
perineum terhadap
adanya iritasi dan
ulserasi
7) Konsultasikan dengan
dokter jika tanda dan
gejala diare menetap
Pemasangan Infus :
1) Verifikasi instruksi
untuk terapi IV
2) Beritahu pasien
mengenai prosedur
34 | P a g e
3) Pertahankan teknik
aseptik secara
seksama
4) Pilih vena yang sesuai
dengan penusukan
vena, pertimbangkan
prevelansi pasien,
pengalaman masa lalu
dengan infus, dan
tangan non dominan
5) Berikan label pada
pembalut IV dengan
tanggal, ukuran, dan
inisiasi sesuai
protokol lembaga
35 | P a g e
2) Penurunan 3) Berat badan cairan (misalnya,
tekanan nadi stabil tidak peningkatan berat
3) Penurunan terganggu jenis, peningkatan
turgor kulit 4) Turgor kulit BUN, penurunan
4) Kulit kering tidak terganggu hematokrit, dan
5) Penurunan Setelah dilakukan peningkatan kadar
frekuensi nadi tindakan osmolitas urin)
6) Penurnan berat keperawatan 5) Monitor status
badan tiba-tiba diharapkan hidrasi hemodinamika CVP,
7) Kelemahan tidak terganggu MAP, PAP, dan
Faktor yang dengan kriteria PCWP, jika ada)
berhubungan : hasil : 6) Monitor tanda-tanda
1) Kehilangan 1) Turgor kulit vital
cairan aktif tidak terganggu 7) Beri terapi IV, seperti
2) Membran yang ditentukan
mukosa lembab 8) Berikan cairan dengan
tidak terganggu tepat
3) Intake cairan 9) Berikan diuretik yang
tidak terganggu diresepkan
4) Output cairan 10) Distribusi asupan
tidak terganggu cairan selama 24 jam
5) Perfusi Jaringan Monitor Cairan :
tidak terganggu 1) Tentukan jumlah dan
6) Tidak ada nadi jenis intake/asupan
cepat dan lemah cairan serta kebiasaan
7) Tidak ada eliminasi
kehilangan berat 2) Tentukan faktor-
badan faktor yang
menyebabkan
ketidakseimbangan
cairan
36 | P a g e
3) Periksa isi kulang
kapiler
4) Periksa turgor kulit
5) Monitor berat badan
6) Monitor nilai kadar
serum dan elektrolit
urin
7) Monitor kadar serum
albumin dan protein
total
8) Monitor tekanan
darah, denyut jantung,
dan status pernafasan
9) Monitor membran
mukosa, turgor kulit,
dan respon haus
4. Implementasi Keperawatan
Tindakan aplikasi intervensi yang sudah dibuat, yang mana sesuai standar
operasional dan SOP yang ada.
5. Evaluasi
Hasil dari tindakan keperawatan yang dapat dilihat dengan SOAP. Dan hasil
yang diharapkan sesuai dengan kriteria hasil yang ditetapkan.
DHF
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama, umur (pada DHF paling sering menyerang anak-anak dengan usia kurang
dari 15 tahun), jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang tua, pendidkan orang
tua, dan pekerjaan orang tua.
2. Keluhan Utama
Alasan/keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang ke rumah sakit
adalah panas tinggi dan anak lemah.
37 | P a g e
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil dan saat
demam kesadaran kompos mentis.Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 dan ke-
7, dan anak semakin lemah.Kadang-kadang disertai dengan keluhan batuk, pilek,
nyeri telan, mual, muntah anoreksia, diare/konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan
persendian, nyeri ulu hati dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya
manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV), melena atau hematemesis.
4. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF, anak bias mengalami serangan
ulangan DHF dengan tipe virus yang lain.
5. Riwayat Imunisasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan akan timbulnya
komplikasi dapat dihindarkan.
6. Riwayat Gizi
Status gizi anak yang menderita DHF dapat bervariasi.Semua anak dengan status
gizi baik maupun buruk dapat berisiko, apabila terdapat factor prediposisinya.Anak
yang menderita DHF sering mengalami keluhan mual, muntah, dan nafsu makan
menurun.Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhan nutrisi
yang mencukupi, maka anak dapat mengalami penurunan berat badan sehingga
status gizinya menjadi kurang.
7. Kondisi Lingkungan
Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang kurang
bersih (seperti air yang menggenang dan gantungan baju di kamar).
8. Pola Kebiasaan
38 | P a g e
f. Perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta upaya untuk
menjaga kesehatan.
9. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Berdasarkan tingkatan (grade) DHF, keadaan fisik anak
adalah sebagai berikut:
39 | P a g e
h. Asidosis metabolic: pCO2 < 35-40 mmHg dan HCO3 rendah.
i. SGOT/SGPT mungkin meningkat.
B. Diagnosa Keperawatan
40 | P a g e
2. Defisit volume cairan Tujuan : 1. Kaji keadaan umum klien
dan elektrolit Volume cairan tubuh dan tanda-tanda vital.
seimbang, dengan 2. Kaji input dan output
berhubungan dengan
kriteria: cairan.
(defisit volume cairan) - Turgor kulit baik 3. Observasi adanya tanda-
tubuh berhubungan - Tanda-tanda vital tanda syok.
dalam batas normal 4. Anjurkan klien untuk
dengan
banyak minum.
ketidakseimbangan 5. Kolaborasi dengan dokter
input dan output cairan. dalam pemberian cairan IV
3. Nutrisi kurang dari Tujuan : 1. Kaji keadaan umum klien.
kebutuhan berhubungan Kebutuhan nutrisi 2. Beri makanan sesuai
dengan mual, muntah, klien terpenuhi, kebutuhan tubuh klien.
dan anoreksia. dengan kriteria: 3. Anjurkan orang tua klien
- Porsi makan yang untuk memberi makanan
disajikan dihabiskan. sedikit tapi sering.
4. Anjurkan orang tua klien
memberi makanan TKTP
dalam bentuk lunak.
5. Timbang berat badan klien
tiap hari.
6. Kolaborasi pemberian obat
reborantia.
F. Implementasi Keperawatan
Tindakan aplikasi intervensi yang sudah dibuat, yang mana sesuai standar
operasional dan SOP yang ada.
G. Evaluasi
Hasil dari tindakan keperawatan yang dapat dilihat dengan SOAP. Dan hasil
yang diharapkan sesuai dengan kriteria hasil yang ditetapkan.
41 | P a g e
SLE
1. Pengkajian
a. Identitas
Penyakit SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kebanyakan menyerang wanita, bila
dibandingkan dengan pria perbandingannya adalah 8 : 1. Penyakit ini lebih sering
dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada orang yang berkulit putih.
b. Keluhan utama
Pada SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kelainan kulit meliputi eritema malar (
pipi ) ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh, sebelumnya
pasien mengeluh demam dan kelelahan.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada penderita SLE, di duga adanya riwayat penyakit anemia hemolitik,
trombositopeni, abortus spontan yang unik. Kelainan pada proses pembekuan darah
( kemungkinan sindroma, antibody, antikardiolipin ).
d. Riwayat penyakit keluarga
Faktor genetik keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga cenderung
memproduksi auto antibody tertentu sehingga keluarga mempunyai resiko tinggi
terjadinya lupus eritematosus.
e. Pola – pola fungsi kesehatan
· Pola nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa kg,
penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan
penderita nafsu makannya menurun.
· Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
· Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial, namun,
secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
· Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari – jari
tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
· Pola persepsi dan konsep diri
42 | P a g e
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas seperti
luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat penderita
merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
f. Pemeriksaan fisik
o Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar yang
bersifat irreversibel.
o Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan yang sifatnya
reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh kembali.
o Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
o Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
o Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
o Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan jari
jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
o Paru – paru
Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis, interstilsiel
fibrosis.
o Leher
Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyperparathyroidisme, intolerance
glukosa.
o Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis, vaskulitis.
o Gastro intestinal
Penderita SLE mengalami hepatomegaly / pembesaran hepar, nyeri pada perut.
o Muskuluskletal
Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan joint swelling.
o Sensori
43 | P a g e
Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
o Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
g. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada pemeriksaan
histologi terlihat adanya infiltrat limfositik periadneksal, proses degenerasi berupa
mencairnya lapisan basal epidermis penyumbatan folikel, dan hyperkeratosis.
Imunofluoresensi langsung pada kulit yang mempunyai lesi memberikan gambaran
pola deposisi immunoglobulin seperti yang terlihat pada SLE. Pemeriksaan
laboratorium yang penting adalah pemeriksaan serologis terhadap autoantibodi /
antinuklear antibodi / ana yang diproduksi pada penderita le. Skrining tes ana ini
dilakukan dengan teknik imunofluoresen indirek, dikenal dengan fluorescent
antinuclear antibody test ( fana ).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan SLE adalah:
a. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan peningkatan aktivitas penyakit,
kerusakan jaringan, keterbatasan mobolitas atau tingkat toleransi yang rendah.
b. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
tidur/aktivitas yang tidak memadai, nutrisi yang tidak memadai dan depresi/stres
emosional.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik,
kurangnya atau tidak tepatnya pemakaian alat-alat ambulasi.
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
serta psikologis yang diakibatkan oleh penyakit kronik.
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan 1. Kolaborasi pemberian
dengan inflamasi dan tindakkan analgetik dan kaji skala nyeri
peningkatan aktivitas keperawatan selama 2. Ukur TTV pasien
penyakit, kerusakan ... x 24 jam 3. Observasi respon
jaringan, keterbatasan diharapkan nyeri nonverbal dari
mobolitas atau tingkat berkurang dengan ketidaknyamanan
toleransi yang rendah. kriteria hasil: 4. Menggunakan agens
- Skala nyeri farmakologi untuk meredakan
berkurang atau menghilangkan nyeri
- TTV dalam batas 5. Mengetahui perubahan
normal TTV pasien
44 | P a g e
- Kegelisahan 6. Mengetahui respon pasien
berkurang terhadap nyeri
2. Keletihan berhubungan Setelah dilakukan 1. Monitor nutrisi dan
dengan peningkatan tindakkan sumber energi yang adekuat
aktivitas penyakit, rasa keperawatan selama 2. Kaji tingkat kecemasan
nyeri, tidur/aktivitas ... x 24 jam pasien
yang tidak memadai, diharapkan keletihan 3. Monitoring pola tidur dan
nutrisi yang tidak teratasi dengan lamanya tidur/ istirahat pasien
memadai dan kriteria hasil: 4. Mengontrol asupan nutrisi
depresi/stres emosional. - Glukosa darah pasien untuk mengurangi
adekuat keletihan
- Kecemasan 5. Mengetahui apakah pasien
menurun cemas untuk mengurangi
- Istirahat cukup keletihan
6. Mengetahui apakah
istirahat/ tidur pasien cukup
6. Implementasi Keperawatan
Tindakan aplikasi intervensi yang sudah dibuat, yang mana sesuai standar
operasional dan SOP yang ada.
7. Evaluasi
Hasil dari tindakan keperawatan yang dapat dilihat dengan SOAP. Dan hasil
yang diharapkan sesuai dengan kriteria hasil yang ditetapkan.
45 | P a g e
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak mengenai
penyakit terminal seperti penyakit AIDS, DHF, dan SLE. Terjadi perubahan
dalam kehidupan dan pola asuhan keperawatan karena asuhan keperawatan
juga berfokus pada keluarga.
B. Saran
Pemberian asuhan keperawatan yang intensif dan efektif pada anak
dengan penyakit terminal juga terhadap keluarganya.
46 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/34884395/ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_ANAK_DENGA
N_HIV_AIDS 8 sept 2019 jam 19.47
https://www.google.co.id/url?q=http://eprints.ums.ac.id/31753/2/05._BAB_II.pdf&sa=
U&ved=2ahUKEwj_6teTp8HkAhUtIbcAHbAhCFwQFjAAegQICRAB&usg=AOvVaw3UIPUpp
xSZkOlamqElSVTI 8 sept 2019 20.14
https://www.google.co.id/url?q=https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_di
r/3bd26838561de03985bfae69c574e734.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwjp4v_yqMHkAhVMQ
48KHd5-CHgQFjAAegQIARAB&usg=AOvVaw3FTYBg0AClTm1JGO6EkSs3 8 sept 2019 jam
20.23
https://www.google.co.id/url?q=https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_di
r/4b5af7f9d2503f55a347e689e5d7f2ab.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwjp4v_yqMHkAhVMQ4
8KHd5-CHgQFjABegQICRAB&usg=AOvVaw2iMoz1AfWvHA8VjLHvij8D 8 sept 2019 20.25
https://www.google.co.id/url?q=https://osf.io/7j63d/download&sa=U&ved=2ahUKEwiu
-vnJqcHkAhXKuo8KHY6LCK8QFjAAegQIBRAB&usg=AOvVaw2u0K8HtLk0O_KWT3Bdn9Jd
8 sept 20.29
https://www.google.co.id/url?q=https://media.neliti.com/media/publications/104710-
ID-pengaruh-health-education-terhadap-
penin.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwjkgv_jqsHkAhVmmI8KHcWFAEUQFjACegQIChAB&usg=A
OvVaw1g42JpLy-rIb_UfHuKJ75d 8 sept 2019 20.31
47 | P a g e