Dosen Pengampu
Ns. Vike Dwi Hapsari, S. Kep., M. Kep
Disusun Oleh
Medina Aghni Salim 211030121728
Mutia Rosa Ashilah 211030121659
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang menahun
menimbulkan peradangan dan isa menyerang organ tubuh manusia, termasuk kulit, dan
persendian ( Desmawati, 2013). Penderita SLE kronis dapat menyebabkan gangguan
psikologis seperti depresi dan kecemasan (2 Healthy). Gejala umum yang sering dialami
para penderita SLE diantaranya demam, cepat lelah, penurunan atau peningkatan berat
badan, terjadi ruam area muka yang berbentuk kupu-kupu, nyeri pada bagian badan, dan
gejala tersebut sulit dilihat secara kasat mata (3 healty).
World Health Organization, 2017 menjelaskan bahwa Sistemik Lupus Eritematosus salah
satu penyakit tidak menular yang merupakan faktor utama dari penyebab kematian. The
lupus foundation of America menyebutkan bahwa sekitar 1,5 juta kasus SLE terjadi di
Amerika, setidaknya 5 juta kasus terjdai di Dunia, dan diperkirakan sebanyak 16 ribu
kasus terjadi di Dunia (4 Healthy). Menurut Pusdatin 2017, di Indonesia kasus SLE
belum diperkirakan jumlah kasus yang terjadi (5 Healthy).
Berdasarakan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS), 2017 jumlah kasus SLE dan
mengalami kematian pada pasien rawat inap di RS Indonesia pada tahun 2014-2016
mengalami peningkatan, pada 2014 terdapat 1,169 jiwa, pada 2015 terdapat 1,336 jiwa
dengan kematian 110 kematian, dan pada tahun 2016 sebanyak 2,166 jiwa. Peningkatan
kasus lupus sekitar 25% atau sekitar 550 jiwa meninggal (7 Healthy). SLE dikenal
dengan penyakit 1000 wajah dengan manifestasi klinis luas terkadang mirip dengan
penyakit sistemik lainnya sehinggga di dalam klinik sering menimbulkan problema baik
diagnostik maupun penanganannya Blondina Marpaung). Samapai saat ini SLE
merupakan problem yang luas karena mayoritas masyarakat belum menyadari bahaya
penyakit ini.
1.3. Tujuan
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit hasil dari regulasi sistem imun
yang terganggu, yang menyebabkan autoantibodi diproduksi berlebihan, yang pada
kondisi normal di produksi dan digunakan untuk melindungi tubuh dari benda asing
(virus, bakteri, alergen, dan lain - lain) namun pada kondisi ini antibodi tersebut
kehilangan kemampuan untuk membedakan antara benda asing dan jaringan tubuh
sendiri (Fatmawati, 2018).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak
normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat
terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf. Seluruh
pasien SLE dianggap beresiko tinggi karena adanya potensi terjadi komplikasi (Petri,
2019).
2.2. Epidemiologi
Saat ini angka harapan hidup (five years survival rate) mencapai 90-95% karena
kemajuan terapi serta penggunaan steroid dan imunosupresan yang agresif. Penyebab
Kematian 2 tahun pertama biasanya disebakan oleh aktivitas penyakit yang mengenai
organ vital (SSP, paru, ginjal ) atau karena infeksi sedangkan kematian setelah 5 tahun
adalah aterosklerosis dan kerusakan organ. Prevalensi SLE diketahui bervariasi luas
diantara berbagai etnis. Dilaporkan di AS, insidensi SLE lebih tinggi pada ras
Afroamerika dan Hispanik dibandingkan dengan Kaukasia. Demikian juga di China dan
Asia Selatan. Di Amerika Serikat diperkirakan prevalensi SLE mencapai 1.500.000
orang pada usia 15-44 tahun atau 1 kasus per 4000 penduduk. Sedangkan di Asia sekitar
1 diantara 2000 penduduk. SLE sendiri lebih sering dijumpai pada wanita muda, dengan
angka kejadian 10 kali lipat lebih banyak dibanding dengan pria (fava & Petri, 2019).
2.3. Etiologi
2.4. Patogenesis
SLE ditandai dengan pembentukan antibodi dan pembentukan imun kompleks yang
dapat menyebabkan terjadinya deposisi jaringan. Etiologi dari SLE belum dikaetahui
secara pasti, diduga terjdai secara multifaktorial: Lingkungan, genetik dan hormonal.
Selaian itu, fakor risiko genetik termasuk di wilayah kompleks histokompabilitas utama
(HMC), defisiensi dari komponen-komponen, serta adanya mutasi pada gen pengkode
enzim pendegradasi DNA, aptosis, produksi sitokin, dan pensinyalan sel B dan T.
mengingat terjadinya peningkatan pada wanita, evaluasi kontribusi dari faktor hormonal,
seperti penggunaan obat kontrasepsi oral kombinasi, menarche dini dan menopouse dini.
Faktor sosio ekonomi serta paparan zat luar termasuk polusi dan agen infeksi dapat
kemungkinan terjadinya patogenesis penyakit autoimun ( Polic & Obican, 2020).
2.5. Klasifikasi
a. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas pada kulit
dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka, leher, atau kulit
kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit yang terkena
sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat beberapa
macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul,
bersisik dan merah, tetapi tidak gatal.
b. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ. Untuk
beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan kulit dan sendi.
Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ dan/atau
jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa
dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat
menjadi aktif (flare).
c. Drug-induced lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis hidralazin (untuk
penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detak
jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang memakan obat ini
akan terkena drug-induced lupus. Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi
obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit
sekali yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala
lupus ini biasanya akan hilang dengan sendirinya.
Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic Lupus selalu
lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan dapat menyerang organ atau sistem
tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang diserang. Meski begitu,
pada orang lain bisa merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau jaringan
lain.
Manifestasi lupus pada setiap orang dapat berbeda-beda dan gejala tersebut dapat bersifat
hilang timbul. Beberapa gejala yang dapat muncul pada penderita lupus anatara laini
(Centers fo Disease Control and prevention, 2018):
a. Nyeri sendi dan otot: penderita lupus biasanya merasakan kekakuan pada sendi dan
ototnya baik dengan atau tidak adanya pembengkakan
b. Demam: demam biasanya disebabkan karena infeksi ataupun inflamasi
c. Ruam: ruam dapat muncul diseluruh tubuh yang terpapar maytahari, seperti contoh
pada area wajah, lengan dan tangan. Salah satu gejala umumnya muncul pada
penderita lupus adalah ruam pada area hidung dan pipi sehingga sering disebut
butterfly shaped rash.
d. Nyeri dada: lupus dapat memicu terjadinya inflamasi pada paru yang menyebabkan
nyeri dada saat bernafas adalam
e. Rambut rontok: kerontokan rambut biasanya disebabkan oleh karena infeksi ataupun
pengobatan
f. Sensitif terhadap cahaya / matahari: rata-rata penderita lupus akan mengalami
photosensitivity, dimana jika penderita lupus terpapar sinar maka akan muncul gejala
berupa ruam, demam, dan nyeri sendi.
g. Ganguan ginjal: penderita lupus umumnya dapat mengalami gangguan pada
ginjalnya yang ditandai dengan peningkatan berat badan, pembengkakan
pergelangan kaki, peningkatan tekanan darah, dan penurunan fungsional ginjal
h. Sariawan: disebut juga uclers, biasanya muncul pada bagian atap mulut, gusi, pipi
dalam, dan bibir.
2.8. Penatalaksanaan