Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)


Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan
Anak Sakit Kronis dan Terminal

Dosen Pengampu
Ns. Vike Dwi Hapsari, S. Kep., M. Kep

Disusun Oleh
Medina Aghni Salim 211030121728
Mutia Rosa Ashilah 211030121659

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG
2023
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang menahun
menimbulkan peradangan dan isa menyerang organ tubuh manusia, termasuk kulit, dan
persendian ( Desmawati, 2013). Penderita SLE kronis dapat menyebabkan gangguan
psikologis seperti depresi dan kecemasan (2 Healthy). Gejala umum yang sering dialami
para penderita SLE diantaranya demam, cepat lelah, penurunan atau peningkatan berat
badan, terjadi ruam area muka yang berbentuk kupu-kupu, nyeri pada bagian badan, dan
gejala tersebut sulit dilihat secara kasat mata (3 healty).

World Health Organization, 2017 menjelaskan bahwa Sistemik Lupus Eritematosus salah
satu penyakit tidak menular yang merupakan faktor utama dari penyebab kematian. The
lupus foundation of America menyebutkan bahwa sekitar 1,5 juta kasus SLE terjadi di
Amerika, setidaknya 5 juta kasus terjdai di Dunia, dan diperkirakan sebanyak 16 ribu
kasus terjadi di Dunia (4 Healthy). Menurut Pusdatin 2017, di Indonesia kasus SLE
belum diperkirakan jumlah kasus yang terjadi (5 Healthy).

Berdasarakan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS), 2017 jumlah kasus SLE dan
mengalami kematian pada pasien rawat inap di RS Indonesia pada tahun 2014-2016
mengalami peningkatan, pada 2014 terdapat 1,169 jiwa, pada 2015 terdapat 1,336 jiwa
dengan kematian 110 kematian, dan pada tahun 2016 sebanyak 2,166 jiwa. Peningkatan
kasus lupus sekitar 25% atau sekitar 550 jiwa meninggal (7 Healthy). SLE dikenal
dengan penyakit 1000 wajah dengan manifestasi klinis luas terkadang mirip dengan
penyakit sistemik lainnya sehinggga di dalam klinik sering menimbulkan problema baik
diagnostik maupun penanganannya Blondina Marpaung). Samapai saat ini SLE
merupakan problem yang luas karena mayoritas masyarakat belum menyadari bahaya
penyakit ini.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)?


2. Bagaimana patofisiologi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)?
3. Bagaimana tanda dan gejala Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)?
4. Bagaimana Tatalaksana Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)?
5. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)?

1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)


2. Untuk mengetahui patofisiologi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
4. Untuk mengetahui Tatalaksana Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
5. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi

Penyakit lupus / Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun.


Penyakit ini memiliki interaksi yang kompleks dari gangguan pembersihan apoptosis,
peningkatan regulasi sistem imun bawaan dan adaptif, aktivasi komplemen, kompleks
imun, dan peradangan jaringan yang semua hal tersebut berpuncak pada proses autoimun
secara mandiri (Fava & Petri, 2019).

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit hasil dari regulasi sistem imun
yang terganggu, yang menyebabkan autoantibodi diproduksi berlebihan, yang pada
kondisi normal di produksi dan digunakan untuk melindungi tubuh dari benda asing
(virus, bakteri, alergen, dan lain - lain) namun pada kondisi ini antibodi tersebut
kehilangan kemampuan untuk membedakan antara benda asing dan jaringan tubuh
sendiri (Fatmawati, 2018).

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak
normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat
terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf. Seluruh
pasien SLE dianggap beresiko tinggi karena adanya potensi terjadi komplikasi (Petri,
2019).

Menurut Laeli (2016) Systemic Lupus Erythematosus merupakan penyakit autoimun


yang bukan disebabkan oleh virus, kuman atau bakteri. Faktor hormon, lingkungan dan
genetik adalah sebagai pemicu penyakit lupus. Keterbatasan fisik yang mudah lelah,
sensitif terhadap perubahan suhu, kekakuan sendi, nyeri tulang belakang dan pembuluh
darah yang mudah pecah sering dialami oleh penderita lupus. Penderita dapat mengalami
rasa letih yang berlebihan, penampilan fisik yang berubah karena efek dan pengobatan
yang bisa menyebabkan kebotakan, muncul ruam pada wajah dan pembengkakan pada
kaki.

2.2. Epidemiologi

Saat ini angka harapan hidup (five years survival rate) mencapai 90-95% karena
kemajuan terapi serta penggunaan steroid dan imunosupresan yang agresif. Penyebab
Kematian 2 tahun pertama biasanya disebakan oleh aktivitas penyakit yang mengenai
organ vital (SSP, paru, ginjal ) atau karena infeksi sedangkan kematian setelah 5 tahun
adalah aterosklerosis dan kerusakan organ. Prevalensi SLE diketahui bervariasi luas
diantara berbagai etnis. Dilaporkan di AS, insidensi SLE lebih tinggi pada ras
Afroamerika dan Hispanik dibandingkan dengan Kaukasia. Demikian juga di China dan
Asia Selatan. Di Amerika Serikat diperkirakan prevalensi SLE mencapai 1.500.000
orang pada usia 15-44 tahun atau 1 kasus per 4000 penduduk. Sedangkan di Asia sekitar
1 diantara 2000 penduduk. SLE sendiri lebih sering dijumpai pada wanita muda, dengan
angka kejadian 10 kali lipat lebih banyak dibanding dengan pria (fava & Petri, 2019).

2.3. Etiologi

Menurut (Hikmah, 2018) penyebab Systemic Lupus Erythematosus dibagi menjadi 2


faktor, yaitu:
a. Faktor Genetik
Jumlah, usia, dan usia anggota keluarga yang menderita penyakit autoimun
menentukan frekuensi autoimun pada keluarga tersebut. Pengaruh riwayat keluarga
terhadap terjadinya penyakit ini pada individu tergolong rendah, yaitu 3-18%. Faktor
genetik dapat mempengaruhi keparahan penyakit dan hubungan familial ini
ditemukan lebih besar pada kelaurga dengan kondisi sosial ekonomi yang tinggi.
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya Systemic Lupus
Erythematosus antara lain:
1. Hormon
Hormon estrogen dapat merangsang sistem imun tubuh dan penyakit ini sering
terjadi pada perempuan terutama saat usia reproduktif dimana terdapat kadar
estrogen yang tinggi.
2. Obat-obatan
Beberapa obat dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem imun melalui
mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat memiliki struktur yang sama
dengan molekul di dalam tubuh sehingga menyebabkan gangguan toleransi
imun.
3. Infeksi
Infeksi dapat memicu respon imun dan pelepasan isi sel yang rusak akibat
infeksi dan dapat meningkatkan respon imun sehingga menyebabkan penyakit
autoimun.
4. Paparan sinar ultraviolet
Adanya paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan kerusakan dan kematian
sel kulit serta berkaitan dengan fotosensitivitas pada penderita.

2.4. Patogenesis

SLE ditandai dengan pembentukan antibodi dan pembentukan imun kompleks yang
dapat menyebabkan terjadinya deposisi jaringan. Etiologi dari SLE belum dikaetahui
secara pasti, diduga terjdai secara multifaktorial: Lingkungan, genetik dan hormonal.
Selaian itu, fakor risiko genetik termasuk di wilayah kompleks histokompabilitas utama
(HMC), defisiensi dari komponen-komponen, serta adanya mutasi pada gen pengkode
enzim pendegradasi DNA, aptosis, produksi sitokin, dan pensinyalan sel B dan T.
mengingat terjadinya peningkatan pada wanita, evaluasi kontribusi dari faktor hormonal,
seperti penggunaan obat kontrasepsi oral kombinasi, menarche dini dan menopouse dini.
Faktor sosio ekonomi serta paparan zat luar termasuk polusi dan agen infeksi dapat
kemungkinan terjadinya patogenesis penyakit autoimun ( Polic & Obican, 2020).

SLE sebagai penyakit autoimun dengan mikrovaskular multisistemik dengan


pembentukan autoantibodi. Beberapa faktor berhubungan dengan munculnya penyakit
ini seperti genetik, hormon, faktor lingkungan dan ras. Kerentanan genetik, faktor
lingkungan, respon antigen antibodi, interaksi sel T dan B dan proses pembersihan imun
berinteraksi dan menyebabkan proses autoimunitas (Akbar, 2019).

2.5. Klasifikasi

a. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas pada kulit
dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka, leher, atau kulit
kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit yang terkena
sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat beberapa
macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul,
bersisik dan merah, tetapi tidak gatal.
b. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ. Untuk
beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan kulit dan sendi.
Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ dan/atau
jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa
dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat
menjadi aktif (flare).
c. Drug-induced lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis hidralazin (untuk
penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detak
jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang memakan obat ini
akan terkena drug-induced lupus. Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi
obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit
sekali yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala
lupus ini biasanya akan hilang dengan sendirinya.

Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic Lupus selalu
lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan dapat menyerang organ atau sistem
tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang diserang. Meski begitu,
pada orang lain bisa merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau jaringan
lain.

2.6. Manifestasi Klinis

Manifestasi lupus pada setiap orang dapat berbeda-beda dan gejala tersebut dapat bersifat
hilang timbul. Beberapa gejala yang dapat muncul pada penderita lupus anatara laini
(Centers fo Disease Control and prevention, 2018):

a. Nyeri sendi dan otot: penderita lupus biasanya merasakan kekakuan pada sendi dan
ototnya baik dengan atau tidak adanya pembengkakan
b. Demam: demam biasanya disebabkan karena infeksi ataupun inflamasi
c. Ruam: ruam dapat muncul diseluruh tubuh yang terpapar maytahari, seperti contoh
pada area wajah, lengan dan tangan. Salah satu gejala umumnya muncul pada
penderita lupus adalah ruam pada area hidung dan pipi sehingga sering disebut
butterfly shaped rash.
d. Nyeri dada: lupus dapat memicu terjadinya inflamasi pada paru yang menyebabkan
nyeri dada saat bernafas adalam
e. Rambut rontok: kerontokan rambut biasanya disebabkan oleh karena infeksi ataupun
pengobatan
f. Sensitif terhadap cahaya / matahari: rata-rata penderita lupus akan mengalami
photosensitivity, dimana jika penderita lupus terpapar sinar maka akan muncul gejala
berupa ruam, demam, dan nyeri sendi.
g. Ganguan ginjal: penderita lupus umumnya dapat mengalami gangguan pada
ginjalnya yang ditandai dengan peningkatan berat badan, pembengkakan
pergelangan kaki, peningkatan tekanan darah, dan penurunan fungsional ginjal
h. Sariawan: disebut juga uclers, biasanya muncul pada bagian atap mulut, gusi, pipi
dalam, dan bibir.

2.7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Darah Lengkap


Penderita lupus dapat mengalami anemia sehingga dapat diketahui melalui
pemeriksaan darah lengkap. Selain anemia, penderita lupus juga dapat mengalami
kekurangan sel darah putih atau trombosit.
b. Imunologi
Diantaranya adalah anti-dsDNA antibody, anti-Sm antibody, antiphospholipid
antibody, syphilis, lupus anticoagulant, dan coombs’ test. Pemeriksaan imunologi
tersebut merupakan salah satu kriteria dalam penentuan diagnosis SLE. Selain itu,
Pemeriksaan ANA (antinuclear antibody) juga diperlukan. Pemeriksaan ini
digunakan untuk memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam darah dimana
kebanyakan pengidap SLE memilikinya. Sekitar 98% penderita lupus memiliki hasil
positif jika dilakukan tes ANA sehingga ini merupakan metode yang paling sensitif
dalam memastikan diagnos is.
c. Fungsi ginjal
Urine pada penderita lupus dapat mengalami kenaikan kandungan protein dan sel
darah merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus menyerang ke ginjal.
d. Tes komplemen C3 dan C4.
Komplemen adalah senyawa dalam darah yang membentuk sebagian sistem
kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah akan menurun seiring aktifnya
SLE.
e. Ekokardiogram. Ekokardiogram berfungsi mendeteksi aktivitas jantung dan denyut
jantung menggunakan gelombang suara. Kerusakan katup dan otot jantung pada
penderita lupus, dapat diketahui melalui ekokardiogram.
f. Foto rontgen. Lupus dapat menyebabkan peradangan pada paru-paru, ditandai
dengan adanya cairan pada paru-paru. Pemeriksaan Rontgen dapat mendeteksi
adanya cairan paru-paru tersebut.

2.8. Penatalaksanaan

Menurut Hockenberry dalam Azizah (2013) Systemic Lupus Erythematosus adalah


penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan selamanya. Tujuan
pengobatan pada penderita adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat
memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah
kerusakan organ serius yang dapat menyebabkan kematian. Tatalaksana primer meliputi:

a. Mengurangi inflamasi dan meminimalisir komplikasi. Adapun obatobatan yang


dibutuhkan seperti:
1. Antiinflamasi non steroid (NSAIDs), untuk mengobati simptomatik artralgia
nyeri sendi.
2. Antimalaria, diberikan untuk penderita. Pemakaian jangka panjang memerlukan
evaluasi retina setiap 6 bulan
3. Obat imunosupresan/sitostatika, imunosupresan diberikan pada Systemic Lupus
Erythematosus dengan keterlibatan sistem saraf pusat, nefritis difus dan
membranosa, anemia hemolitik akut dan kasus yang resisten terhadap
pemberian kortikosteroid.
4. Obat antihipertensi, cara mengatasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif
5. Kalsium, semua pasien Systemic Lupus Erythematosus yang mengalami artritis
serta mendapat terapi prednison berisiko untuk mengalami mosteopenia,
karenanya memerlukan suplementasi kalsium.
6. Kortikosteroid, dosis rendah untuk mengatasi gejala klinis seperti demam,
dermatitis, efusi pleura. Kortikosteroid diberikan selama 4 minggu minimal
sebelum dilakukan penyapihan, dosis tinggi untuk mengatasi krisis lupus, gejala
nefritis, sistem saraf pusat dan anemia hemolitik.
b. Dialisis atau transplantasi ginjal
Pasien dengan stadium akhir lupus nefropati, dapat dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal
c. Penatalaksanaan infeksi
Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri. Setiap kelainan urin
harus dipikirkan kemungkinan pielonefritis.

Anda mungkin juga menyukai