Anda di halaman 1dari 7

RESUME

SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Patofisiologi

Dosen Pengampu : Dwi Ari MW , MN

KELOMPOK 8
1. Ferdinand Alfairuz (P1337420722044)
2. Firnanda Pratiwininggar (P1337420722045)
3. Raihan Akbar Hilmy (P1337420722046)
4. Faiza Fitriani (P1337420722047)
5. Syadina Cahya Della Fatika (P1337420722048)

KEPERAWATAN MAGELANG
PROGRAM SARJANA TERAPAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2023/2024
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SLE
Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus adalah suatu penyakit
autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari
penyakit ini bisa bermacam – macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis karena itu
angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE
menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering dari pada laki-laki. Penyakit ini
seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau awal dewasa. Di Amerika Serikat, penyakit ini
menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering daripada perempuan Kaukasia. Jika
penyakit ini baru muncul pada usia di atas 60 tahun, biasanya akan lebih mudah untuk diatasi
(Sylvia & Lorraine, 2005).
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun yang
menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan
tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya
bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi
tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada
antigen) di dalam jaringan (Underwood, 1999).

B. PATOGENESIS

Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena komponen


komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur membran, dapat dijumpai kedua
kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus eritematosus sistemik (Robbins dkk; 1999).

Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh biasanya akan membuat anti-bodi yang
fungsinya melindungi tubuh dari berbagai macam serangan virus, kuman, bakteri maupun benda
asing lainnya (anti-gen). Pada penyakit autoimun seperti lupus, sistem kekebalan tubuh seperti
kehilangan kemampuan melihat perbedaan antara substansi asing dengan sel maupun jaringan
tubuhnya sendiri. Pada lupus, produksi anti-bodi yang seharusnya normal menjadi berlebihan.
Akibatnya, anti-bodi ini tidak lagi berfungsi untuk menyerang virus, kuman atau bakteri yang ada
di tubuh, tetapi justru menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan tubuhnya sendiri. Anti-bodi
seperti ini disebut auto anti-bodi. Ia bereaksi dengan anti-gen membentuk immune complex/
komplek imun (Joseph, 1993).

Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan
komplek imun dalam hati dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-
gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang
inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya (Joseph, 1993).

Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self-tolerance bersama


aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor:

a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B.


b. Hiperaktivitas sel T helper.
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor (Robbins dkk; 1999).

C. PENYEBAB

Faktor yang diduga sangat berperan untuk seseorang terserang penyakit lupus adalah faktor
lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis obat, dan virus. Faktor tersebut
dapat dikelompokkan menjadi faktor kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi,
pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stres. Penyakit ini
kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun namun ada juga pria yang
mengalaminya. Oleh karena itu diduga penyakit ini berhubungan dengan hormon estrogen
(Aulawi, 2008).

Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor
yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan
faktor mana yang menjadi penyebab utama sehingga masih menjadi fokus utama penelitian.

1. Genetik

Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang mempunyai
riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita penyakit tidak terbatas hanya
Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya seperti arthritis reomathoid atau Sjorgen’s Syndrome.
Pada kembar identik, risiko lupus meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang
menyandang lupus (Djoerban, 2002).

2. Hormon

Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Dan sebagian besar penyandang wanita adalah
mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor hormonal. Estrogen terbukti
sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya lupus dalam penelitian hewan baik secara invitro
maupun invivo. Sehingga harus benar-benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan alat
kontrasepsi yang mengandung estrogen pada Odapus (Djoerban, 2002).

3. Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus, diantaranya


adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.

a. Infeksi

Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat adalah EBV
(Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar (mononucleosis). Sebagian besar odapus
tercatat pernah terinfeksi virus ini dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa
system imun mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel tubuhnya
sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan dengan penyebab lupus.

b. Zat kimia dan racun


Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan racun termasuk
pekerjaan yang berhubungan silika.
c. Merokok

Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya lupus. Merokok juga
meningkatkan risiko penyakit autoimun lainnya seperti arthritis reumathoid dan multiple
sclerosis.

d. Sinar matahari

Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan perburukan manifestasi


lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit dan munculnya gejala lupus pada organ
lainnnya. Menghindari sinar matahari dan menggunaka tabir surya (sun block) adalah hal yang
tidak mudah namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat bermanfaat (Djoerban,
2002).
D. PENCEGAHAN
Dalam melakukan pencegahan ada berbagai masalah yang dihadapi pengidap lupus. Masalah
pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat diketahui dan diobati dengan benar karena
cukup banyak dokter yang tidak mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus
dan dampak lupus terhadap kesehatan.

Biasanya paramedis akan melakukan pemeriksaan ANA (Anti Nuclear Antibodi) bisa
positif, di laboratorium dan patologi. Bila sudah diketahui diagnosanya lupus, maka pihak medis
akan memberikan pengobatan berupa terapi, theraphy sintomatik (penghilangan gejala),
kortikortiroid (antipenurun kekebalan tubuh), serta menekan daya tahan tubuh berlebihan, dengan
pemberian obat demam dan penghilang rasa sakit. Hanya saja, untuk terapi yang dilakukan
berbeda-beda dengan setiap penderita. Penyembuhannya pun bisa memakan waktu berbulan-
bulan, itupun dengan catatan penderita rajin memeriksakan diri. Bahkan tak jarang, terkadang
diagnosa baru didapat justru setelah penderita meninggal. Atau penyakit lupusnya tiba-tiba
sembuh sendiri. Karena itulah, fokus pengobatan dokter adalah dengan melakukan pencegahan
dengan meminimalisir meluasnya penyakit sehingga tidak menyerang organ vital tubuh lainnya.
Oleh karena itu, untuk melakukan upaya preventif terhadap penyakit lupus perlu ditingkatkan
pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun semua pihak yang terkait dengan
pelayanan kesehatan. Selain itu, peningkatan kompetensi petugas-petugas pelayan kesehatan juga
harus di tingkatkan agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang akan membahayakan jiwa pasien
(Djoerban, 2002).

Pengembangan metode pengobatan yang lebih baik dan efisien juga perlu dilakukan.
Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, apa bahayanya dan bagaimana
gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif dalam upaya pencegahan penyakit lupus. Masalah
berikutnya adalah belum terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang
informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali
meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus terhadap
kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan pasien, namun juga
mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat untuk pasien maupun keluarganya.
Dalam hal ini peran sarjana kesehatan masyarakat selaku tenaga kesehatan yang berorientasi pada
upaya preventif dan promotif sangat diperlukan. Masyarakat harus secara intensif diberi
penyuluhan tentang apa itu lupus, gejala yang ditimbulkan, dampak yang ditimbulkan,serta
bagaimana cara pencegahannya. Kebersihan dan kesehatan lingkungan juga harus diperhatikan
karena, seperti yang telah dijelaskan dalam subbab “penyebab” bahwa faktor yang diduga
menyebabkan lupus ada berberapa macam diantaranya faktor lingkungan (Djoerban, 2002).

Masalah lain adalah kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan
obat-obat penyakit lupus yang baru, yang aman dan efektif, dibandingkan dengan penelitian
penyakit-penyakit lain, yang sebanding besaran masalahnya. Upaya preventif yang harus
dilakukan adalah berusaha mengembangkan penelitian-penelitian mengenai penyakit lupus
mengingat bahaya dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh penyakit ini.

Hal yang harus dilakukan penderita lupus (odipus) agar penyakit lupusnya tidak kambuh adalah :

1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu (Djoerban, 2002).

Odipus dapat memeriksakaan diri pada dokter-dokter pemerhati penyakit ini, dokter
spesialis penyakit dalam konsultasi hematologi, rheumatology, ginjal, hipertensi, alergi
imunologi, jika lupus dapat tertanggulangi, berobat dengan teratur, minum obat teratur yang di
berikan oleh dokter (yang biasanya diminum seumur hidup), odipus akan dapat hidup layaknya
orang normal. Dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan, mengingat keluarga adalah orang yang
paling dekat dan yang selalu berinteraksi dengan odipus. Dukungan (social support) dalam teori
ilmu psikologi merupakan salah satu media bertahan dari stress (coping stress) yang mampu
memberi pengaruh besar (Djoerban, 2002).

E. JENIS-JENIS PENYAKIT LUPUS


1. Lupus Eritematosis Diskoid (DLE)

Paling sering menyerang dan merupakan lupus kulit dengan manifestasi beberapa jenis
kelainan kulit. Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka (terutama hidung, pipi), telinga
atau leher. Penyakit yang terbatas pada lesi kulit yang makroskopik dan mikroskopik menyerupai
SLE. Hanya 35% penderita mengalami antibodi antinukleus positip. Berbeda dengan SLE, hanya
lesi kulit yang menunjukkan deposit Ig-komplemen pada membran basal. Setelah beberapa tahun,
5%-10% penderita bermanifestasi sistemik. Diskoid Lupus tidak serius dan jarang sekali
melibatkan organ-organ lain (Robbins dkk; 1999).

2. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)


SLE merupakan penyakit demam sistemik, kronik, berulang dengan gejala yang
berhubungan dengan semua jaringan, terutama sendi, kulit, dan membran serosa. Dapat
menimbulkan komplikasi seperti lupus otak, lupus paru-paru, lupus pembuluh darah jari-jari
tangan atau kaki, lupus kulit, lupus ginjal, lupus jantung, lupus darah, lupus otot, lupus retina,
lupus sendi, dan lain-lain (Robbins dkk; 1999).

3. Lupus Eritematosus yang disebabkan obat

Obat-obatan seperti hidralazin (obat hipertensi), prokainamid (untuk mengobati detak


jantung yang tidak teratur), isoniazid, dan D-penisilamin sering menyebabkan ANA positip,
kurang sering menyebabkan sindrom seperti LE. Pada sindrom seperti LE, meskipun melibatkan
banyak organ, penyakit ginjal dan susunan saraf pusat jarang terjadi. Penyakit mempunyai
hubungan dengan HLA-DR4. Penyakit ini timbul akibat efek samping obat dan akan sembuh
sendiri dengan memberhentikan obat terkait (Robbins dkk; 1999).

Anda mungkin juga menyukai