PENDAHULUAN
1
Penyakit SLE menyerang penderita usia produktif yaitu 15-64 tahun.
Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa
membedakan usia dan jenis kelamin. Prevalensi SLE berbeda-beda untuk tiap
etnis yaitu etnis Afrika-Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per
2000 populasi, Cina sebesar 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000
populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di
Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian
sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6
kasus dalam 100.000 populasi (Susanti Fitriana, 2016).
Sebesar 20% penderita lupus akan mempunyai saudara yang akan
menderita lupus. Sekitar 5% anak yang lahir dari individu yang terkena lupus,
akan menderita penyakit lupus, apabila kembar identik maka salah satu dari
bayi kembar tersebut akan menderita lupus. Sebesar 10% penderita lupus,
mengalami kelainan pada lebih dari satu jaringan tubuh. Kelainan jaringan
tersebut dikenal dengan istilah “overlap syndrom” atau “mixed connective
tissue disease” (Susanti Fitriana, 2016).
Penelitian Komalig, dkk (2008), menyatakan bahwa perempuan lebih
banyak menderita lupus (94,5%), kelompok umur terbanyak pada usia 25-34
tahun (45%), suku terbanyak yang sakit lupus berasal dari suku Jawa (33,7%),
penderita lupus paling banyak tidak bekerja (32,2%), penderita lupus paling
banyak tamat akademi/perguruan tinggi (58,4%), penyakit ISPA lebih banyak
ditemukan pada penderita lupus sebelum sakit, jenis obat yang sering
dikonsumsi sebelum sakit yakni golongan ampisilin/amoksilin (63,1%),
penderita lupus tidak merokok (88,1%), menggunakan kontrasepsi (44%),
melakukan aktivitas sehari-hari di luar rumah (22,2%), sering mengalami stres
(85,6%), pelayanan kesehatan yang paling banyak yakni rumah sakit (62,8%),
dan paling banyak responden tidak mengenal istilah LES sebelum sakit
(58,9%). Penelitian Washio, dkk (2006), diperoleh hasil bahwa perokok dan
mantan perokok lebih berisiko terkena SLE daripada orang yang bukan
perokok (p< 0,001) (Saputri FH, 2017).
2
Paparan rokok tidak hanya didapat karena menghisap rokok, menjadi
perokok pasif juga berisiko terkena berbagai macam penyakit, diantaranya
kanker, sakit jantung (penyakit kardiovaskular), pneumonia pada anak, risiko
terkena BBLR bagi ibu hamil, dan lain-lain (Stoppler, 2011). Hal tersebut
menunjukkan bahwa ada peran lingkungan terhadap kesehatan. Asap rokok
merupakan salah satu dari radikal bebas. Menurut Hyde (2009), radikal bebas
dapat menyerang molekul penting seperti DNA, protein dan lipid. Radikal
dapat memperbanyak diri dan dapat menciptakan kerusakan yang signifikan.
Selain radikal bebas, metabolit nikotin dapat membentuk ikatan pada basa
nitrogen DNA dan menyebabkan mutasi (Saputri FH, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana konsep medis dari SLE ?
b. Bagaimana konsep keperawatan dari SLE ?
b.1 Tujuan
a. Mendeskripsikan konsep medis dari SLE.
b. Mendeskripsikan konsep keperawatan dari SLE.
3
BAB II
KONSEP MEDIS
2.1 Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan.
Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan
oleh gigitan anjing hutan.
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang
hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang
juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.13
Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun
sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi
kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat
eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan
akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat
bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang
menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang
muncul dan organ yang terlibat. (Sudoyo Aru, 2015)
2.2 Etiologi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui
faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini
beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
4
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE,
sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%.
Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
5
c. Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen
dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan
kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Factor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE.
4. Factor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan
respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan
6
stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang
sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid. . (Sudoyo Aru,
2015)
2.3 Prognosis
Beberapa instrument digunakan untuk memperkirakan prognosis pasien
dengan SLE seperti Systemic Lupus Activity Measure(SLAM),
SLEDAI, Lupus Activity Index (LAI), dan European Consensus Lupus
Activity Measurement (ECLAM).
Angka kesintasan SLE untuk 5 tahun melebihi 90% sedangkan untuk 15
tahun sekitar 80%. Saat ini, kebanyakan kematian disebabkan karena efek
samping obat (infeksi akibat imunosupresi) atau masalah kardiovaskular
(Sudoyo Aru,2015)
7
b. Demam 41-86
c. Penurunan berat badan 31-71
3. Mukokutan 55-85
a. Ruam kupu-kupu (butterfly atau 10-61
malar rash)
b. Fotosensitivitas 11-45
c. Fenomena Raynaud’s 10-44
d. SLE berbentuk cakram (diskoid) 9-29
8
2.5 Klasifikasi/Stage
a. Discoid lupus
Discoid lupus, dikenal sebagai Cutaneus lupus, yaitu penyakit lupus yang
menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh
batas eritema yang meninggi. Lesi timbul dikulit kepala, telinga wajah,
lengan, punggung dan dada. CLE dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu acute
cutaneous lupus srythematosus (ACLE), subacute cutaneous lupus
erythematosus (SCLE), dan chronic cutaneous lupus srythematosus
(CCLE).
2.6 Patofisiologi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ditujukan kepada bentuk penyakit
LE yang melibatkan sistem organ multipel, yang menyebabkan inflamasi
sitemik pada berbagai sistem oran bersifat kronis disertai serangkaian
eksaserbasi dan remisi yang silih berganti. Organ yang sering terkena yaiu
9
sendi, kulit, ginjal, otak, hati dan lesi dasar pada organ tersebut adalah suatu
vaskulitas yang terjadi oleh karena pembentukan dan pengendapan kompleks
antigen-antibody. (Gunawan, Yadi. 2015)
10
Pathway Sistemik Lupus Eritematosus
FAKTOR RISIKO
Genetik, Lingkungan, Jenis Kelamin, Obat-obatan tertentu
Gangguan Imunoregulasi
1
Kegagalan Sumsum Tulang Membentuk
Gangguan
Eritrosit
Fungsi Ginjal
Gangguan Kognitif
Degrada Efusi
Butterfly Rash si Pleura
DX :
Kerusakan Terbentuknya Ekspansi Paru Peningkatan Ureum di dalam tubuhDX :
Integritas Gangguan Memori
endapan pada sendi Menurun
Kulit/Jaringan
Hb dalam Darah Menurun
Artritis DX : Pola Napas Tidak Efektif
Anoreksia
DX : DX : Penggumpalan Darah
DX : Nyeri Akut
Intoleransi Keletiha oleh Trombosit
Aktivitas
Mengendap pada Arteri
Perikarditis Inflamasi
Arteriol
1
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Lupus Eritematosus
Sistemik (LES) antara lain :
a. Gagal ginjal
b. Gangguan pada darah, seperti anemia
Peningkatan risiko pendarahan atau sebaliknya pembekuan darah, dapat
diakibatkan oleh lupus
c. Tekanan darah tinggi
d. Kejang
e. Stroke
f. Penyakit jantung
SLE dapat menyebabkan inflamasi pada jantung, pembuluh darah
(vaskulitis) dan selaput jantung(perikarditis).
g. Masalah pada paru-paru
Peradangan pada paru-paru dan pneumonia
h. Mudah terserang berbagai penyakit infeksi dikarenakan penderita lupus
memiliki sistem imun yang lebih lemah akibat obat dan penyakit lupus itu
sendiri. Maka mereka rentan terkena infeksi. Infeksi yang sering terjadi
pada penderita lupus yaitu infeksi saluran kemih, saluran pernapasan yang
dapat disebabkan oleh bakteri
i. Kanker
(Hastani DR.2016)
2.8 Penatalaksanaan
a. Non Farmakologi
1. Edukasi
SLE merupakan penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali
informasi yang cukup tentang berbagai mmacam manifestasi klinis
yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda
sehingga penderita dapat memahamii dan mengurangi rasa cemas.
2. Dukungan sosial dan psikologis
1
Hal ini bisa bersal dari Dokter, keluarga, teman, maupun
mengikusertakan peer group atau support group sesama penderita
lupus
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami Fatigue sehingga perlu istirahat yang
cukup selain dipikirkan penyebab lain.
4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktivitas penyakit dapat meningkat setelah
terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari
paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya
dengan SPF >30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang 4-6 jm
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai
hingga terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya.
b. Farmakologi
Terapi imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat,
terutama nefropati lupus, pengobatan dengan kostikorterod dan
siklofosfamid lebih efektif dibandingkan hanya dengan kostikosteroid
saja. Efek samping yang dapat terjadi adalah, mual, muntah, kadang
dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan .
2. Mycophonelate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversible suatu enzim yang penting untuk
isntesis purin, MMF akan mencegah foliferasi sel B dan T serta
mengurangi ekspresi molekul adhesi. Efek samping yan terjadi
umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare.
3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam
nukleat dan mempengaruhi fungsi imun selular dan humoral. Pada
1
SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk
pengobatan lupus nefritis atau sebagai mkanifestasi non renal.
4. Leflunomide (Arava)
Suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada
pengobatan reumatroid artritis. Keuntungan pada pasien SLE yang
pada walnya diberikan karena ketergantungan steroid.
5. Methoteraxate
Efek samping yang terjadi adalah peningkatan serum transaminase.
6. Siklosporin
Menimbulkan perbaikan pada ptotein uria, sitopenia, parameter
imunologi.
(Hastani Dr.2016)
1
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Identifikasi Kebutuhan Dasar Yang Mengalami Gangguan
Kategori dan Subkategori Masalah Normal
Tidak mengalami kelebihan atau
Respirasi Pola Nafas Tidak Efektif
kekurangan oksigenasi
Tidak mengalami penurunan
Sirkulasi -
sirkulasi darah
Nutrisi & Defisit Nutrisi Tidak mengalami penurunan
Fisiologis Cairan Asupan nutrisi dan cairan
- Tidak mengalami gangguan dalam
Eliminasi
BAB dan BAK
Aktivitas dan 1. Keletihan Aktivitas dan Istirahat normal
Istirahat 2. Intoleransi Aktivitas
Tidak mengalami gangguan pada
Neurosensori Gangguan Memori
neurosensori
Reproduksi dan Tidak mengalami gangguan pada
-
Seksualitas reproduksi dan seksualitas
Nyeri dan Nyeri Akut Tidak mengalami gangguan nyeri
Kenyamanan dan kenyamanan
Tidak mengalami gangguan pada
Integritas Ego -
Psikologis emosi dsb
Pertumbuhan Tidak mengalami gangguan
dan - pertumbuhan dan perkembangan
Perkembangan
Tidak mengalami gangguan
Kebersihan diri -
kebersihan diri
Perilaku Penyuluhan - Tidak mengalami gangguan dalam
dan mendapat informasi tentang
Pembelajaran penyuluhan kesehatan
1
- Individu dapat berinteraksi social
Relasional Interaksi Sosial
dengan baik
Keamanan dan Gangguan Integritas Tidak mengalami gangguan pada
Lingkungan
Proteksi Kulit/Jaringan keamanan dan proteksi
b. Pemeriksaan Laboratorium
No Tes Definisi Nilai Normal Kelainan yang ditemukan
1 Tes anti ds-DNA 70-200 IU/mL Positif : >200 IU/mL
Negatif : <70 IU/mL
2 Tes Antinuclear ANA sensitive terhadap Positif : Sebaiknya dilakukan tes
Antibodies (ANA) SLE, terjadi sebanyak 95% serologi yang lain untuk menunjang
pada penderita SLE diagnose
Negatif : Belum tentu negative
terhadap LES
1
g. Intoleransi Aktivitas b.d Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen d.d mengeluh lelah, frekuensi jantung meningkat >20% dari
kondisi istirahat
1
3.3 Rencana Intervensi Keperawatan
1
1. Ortopnea 5. Pemberian oksigen Meningkatkan
kelembapan udara terinsipirasi
Objektif : dan akan mengurangi ketebalan
1. Ventilasi semenit menurun sekresi serta membantu
2. Kapasitas vital menurun pengankatannya
3. Ekskursi dada berubah
Edukasi : Edukasi :
6. Ajarkan teknik batuk efektif 6. Untuk membersihkan jalan napas
dan membantu mencegah
komplikasi pernapasan
Kolaborasi Kolaborasi :
7. Kolaborasi pemberian 7. Bronkodilator adalah substansi
bronkodilator, ekspektoran, yang dapat memperlebar luas
mukolitik, jika perlu permukaan broncus dan
brokceolus pada paru-paru, dan
mambuat kapasitas serapan
oksigen paru-paru meningkat
serta pemberian ekspektoran dan
mukolitik berguna untuk
meredakan batuk berdahak dan
mempermudah pengeluaran secret
2
2 Defisit Nutrisi (D. 0019) Setelah dilakukan intervensi Intervensi : Manajemen Nutrisi Rasional intervensi : Manajemen
Kategori : Fisiologis keperawatan selama 3 x 24 jam Nutrisi
Subkategori : Nutrisi dan Cairan maka Status Nutrisi Membaik
dengan kriteria hasil : Observasi : Observasi :
Definisi : 1. Berat badan 1. Identifikasi status nutrisi 1. Pengkajian penting dilakukan
Asupan nutrisi tidak cukup untuk 2. Nafsu makan 2. Identifikasi makanan yang disukai untuk mengetahui status nutrisi
memenuhi kebutuhan metabolisme. 3. Frekuensi makan 3. Identifikasi kebutuhan kalori dan pasien sehingga dapat
4. Nyeri abdomen menurun jenis nutrien menentukan intervensi yang
Penyebab : 4. Monitor asupan makanan diberikan
1. Ketidakmampuan mengabsorbsi 5. Monitor berat badan 2. Membantu/memudahkan pasien
nutrien mengatur pola gizi seimbang
3. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
Gejala dan Tanda Mayor : menentukan jumlah kalori dan
Objektif : nutrisi yang dibutuhkan pasien
1. Berat badan menurun minimal 4. Untuk mengetahui kebutuhan
10% di bawah rentang ideal nutrisi pasien
5. Untuk mengetahui perkembangan
Gejala dan Tanda Minor pasien terhadap kebutuhan pola
Subjektif : makan
1. Nafsu makan menurun
2. Kram/nyeri abdomen Terapeutik : Terapeutik
6. Berikan makanan tinggi kalori dan 6. Membantu klien
tinggi protein mencukupi/menjaga pola gizi
7. Berikan suplemen makanan, jika seimbang
perlu 7. Membantu klien
2
mencukupi/menjaga pola gizi
seimbang
Kolaborasi Kolaborasi
8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk 8. Membantu klien
menentukan jumlah kalori dan mencukupi/menjaga pola gizi
jenis nutrien yang dibutuhkan, jika seimbang
perlu
3 Intoleransi Aktivitas (D. 0056) Setelah dilakukan intervensi Intervensi : Manajemen Energi Rasional intervensi : Manajemen
Kategori : Fisiologis keperawatan selama 3 x 24 jam Energi
Subkategori : Aktivitas/Istrahat maka Toleransi Aktivitas
Definisi : Meningkat dengan kriteria hasil : Observasi : Observasi :
Ketidakcukupan energi untuk 1. Keluhan lelah menurun 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh 1. Perawat monitor pasien untuk
melakukan aktivitas sehari-hari. 2. Kekuatan tubuh bagian atas yang mengakibatkan kelelahan membatasi aktivitas pasien supya
3. Kekuatan tubuh bagian bawah 2. Monitor lokasi dan tidak mudah lelah
Penyebab : 4. Kemudahan dalam melakukan ketidaknyamanan selama 2. Mengetahui lokasi dan
1. Imobilitas aktivitas sehari-hari melakukan aktivitas ketidaknyamanan melakukan
5. Aritmia saat aktivitas menurun aktifitas
Gejala dan Tanda Mayor : 6. Aritmia setelah aktivitas
Subjektif : menurun Terapeutik : Terapeutik :
1. Mengeluh lelah 3. Lakukan latihan rentang gerak 3. Agar pasien bisa
pasif dan/atau aktif mempertahankan atau
Gejala dan Tanda Minor : 4. Berikan aktivitas distraksi yang meningkatkan kekuatan
Subjektif : menenangkan otot,menstimulus sirkulasi darah,
1. Merasa lemah 5. Fasilitasi duduk di sisi tempat dan mempertahankan
2
Objektif : tidur, jika tidak dapat berpindah flekxibelitas sendi
1. Gambaran EKG menunjukkan atau berjalan 4. Aktifitas distraksi untuk
aritmia saat/setelah aktivitas pengalihan atau menjauhi
perhatian terhadap sesuatu yang
sedang dihadapi supya pasien bisa
lebih santai atau lebihnyaman
5. Tirah baring atau bedrest suatu
prosedur dimana perawatan yang
dilakukan dengan memastikan
pasien untuk berbaring atau
beristrht dalam waktu tertentu
supya bisa beristrht dengn total
Edukasi : Edukasi :
6. Anjurkan tirah baring 6. Tirah baring atau bedrest suatu
7. Anjurkan menghubungi perawat prosedur dimana perawatan yang
jika tanda dan gejala kelelahan dilakukan dengan memastikan
tidak berkurang pasien untuk berbaring atau
beristrht dalam waktu tertentu
supya bisa beristrht dengn total
7. Agar supya pasien untuk
langsung ditindak lanjut untu
pemeriksaan selanjutnya
2
4 Keletihan (D. 0057) Setelah dilakukan intervensi Intervensi : Manajemen Energi Rasional intervensi : Manajemen
Kategori : Fisiologis keperawatan selama 3 x 24 jam Energi
Subkategori : Aktivitas/Istrahat maka Tingkat Keletihan Meningkat
Definisi : dengan kriteria hasil : Observasi : Observasi :
Penurunan kapasitas kerja fisik dan 1. Tenaga 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh 1. Perawat monitor pasien untuk
mental yang tidak pulih dengan 2. Kemampuan melakukan yang mengakibatkan kelelahan membatasi aktivitas pasien supya
istirahat aktivitas rutin 2. Monitor lokasi dan tidak mudah lelah
3. Lesu menurun ketidaknyamanan selama 2. Mengetahui lokasi dan
Penyebab : 4. Verbalisasi lelah menurun melakukan aktivitas ketidaknyamanan melakukan
1. Kondisi fisiologis aktifitas
2
dilakukan dengan memastikan
pasien untuk berbaring atau
beristrht dalam waktu tertentu
supya bisa beristrht dengn total
Edukasi : Edukasi :
6. Anjurkan tirah baring 6. Tirah baring atau bedrest suatu
7. Anjurkan menghubungi perawat prosedur dimana perawatan yang
jika tanda dan gejala kelelahan dilakukan dengan memastikan
tidak berkurang. pasien untuk berbaring atau
beristrht dalam waktu tertentu
supya bisa beristrht dengn total
7. Agar supya pasien untuk
langsung ditindak lanjut untu
pemeriksaan selanjutnya
5 Nyeri Akut (D. 0077) Setelah dilakukan intervensi Intervensi : Manajemen Nyeri Rasional Intervensi : Manajemen
Kategori : Psikologis keperawatan selama 3 x 24 jam Nyeri
Subkategori : Nyeri dan Keamanan maka Tingkat Nyeri Menurun
Definisi : dengan kriteria hasil : Observasi : Observasi :
Pengalaman sensorik atau 1. Keluhan nyeri 1. identifikasi lokasi, karakteristik, 1. Untuk Membantu Mengevaluasi
emosional yang berkaitan dengan 2. Meringis durasi, frekuensi, kualitas, Nyeri dan peredaan nyeriserta
kerusakan jaringan aktual atau 3. gelisah intensitas nyeri mengidentifikasi sumber
fungsional, dengan onset mendadak 2. identifikasi skala nyeri sumbermultiple dan jenis Nyeri.
atau lambat dan berintensitas ringan 3. identifikasi respons nyeri non 2. Untuk dapat membantu dalam
hingga berat yang berlangsung verbal mengidentifikasi derajat nyeri
2
kurang dari 3 bulan. 4. monitor efek samping penggunaan serta kebutuhan untuk analgestik.
analgetik 3. Responnon verbal dapat
Penyebab : membantu mengevaluasi derajat
1. Agen pencedera fisiologis (mis, nyeri dan perubahanya.
inflamsi, iskemia, neoplasma) 4. Untuk mengantisifasidan
mencegah efek
Gejala dan Tanda Mayor : sampingmemampukan pasien
Subjektif : untuk melanjutkan penggunaan
1. Mengeluh nyeri analgestik tanpa gangguan karena
analgestik.
Objektif :
1. Tampak meringis Terapeutik : Terapeutik :
2. Gelisah 5. berikan teknik nonfarmakologis 5. Untuk dapat mengurangi Rasa
untuk mengurangi rasa nyeri (mis, Nyeri.
Gejala dan Tanda Minor : TENS, hipnosis, akupresur, terapi 6. Dengan mengkaji pola tidur maka
Objektif : musik, biofeedback, terapi pijat, dapat diketahui pola tidyr pasien
1. Tekanan darah meningkat aromaterapi, teknik imajinasi 7. Dengan mengetahui jenis dan
terbimbing, kompres sumber nyeri maka dapat
hangat/dingin, terapi bermain) ditentukan tindakan pemilihan
6. fasilitasi istirahat dan tidur peredaan nyeri.
7. pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
2
Edukasi : Edukasi :
8. Jelaskan penyebab, periode, dan 8. Agar pasuen dapat mengetahui
pemicu nyeri. penyebab dan periode dan
9. Jelaskan strategi meredakan nyeri pemicu dari nyeri tersebut
10. Anjurkan menggunakan analgetik 9. Dengan menjelaskan strategi
secara tepat peredaan nyeri pada pasien
sehingga pasien dapat
mengetahuinya
10. Agar tingkat nyeri dapat
dikendalikan
Kolaborasi Kolaborasi :
11. Kolaborasi pemberian analgetik, 11. Analgesik berfungsi
jika perlu untukmeninfkatkan ambang
nyeri.
2
6 Gangguan Memori (D.0062) Setelah dilakukan intervensi Intervensi : Latihan Memori Kolaborasi Intervensi : Latihan
Kategori : Fisiologis keperawatan selama 3 x 24 jam Memori
Subkategori : Neurosensori maka Memori Meningkat dengan
Definisi : kriteria hasil : Observasi : Observasi:
Ketidakmampuan mengingat 1. Verbalisasi kemampuan 1. Identifikasi masalah memori yang 1. Untuk mengetahui sejauh mana
beberapa informasi atau perilaku mengingat perilaku tertentu dialami masalah memori yang dialami
yang pernah dilakukan
Penyebab : 2. Verbalisasi kekmampuan Terapeutik : Terapeutik:
1. Gangguan sirkulasi ke otak mengingat peristiwa 2. Rencanakan metode mengajar 2. Untuk menyesuaikan metode
2. Gangguan neurologis 3. Verbalisasi pengalaman lupa sesuai kemampuan pasien mengajar dengan kemampuan
menurun 3. Stimulasi memori dengan yang dimiliki pasien
Gejala dan Tanda Mayor : mengulang pikiran yang terakhir 3. Untuk membantu dalam proses
Subjektif : kali diucapkan, bila perlu mengingat
1. Melaporkan pernah mengalami 4. Fasilitasi mengingat kembali 4. Untuk membantu dalam proses
pengalaman lupa pengalaman masa lalu, jika perlu mengingat
2. Tidak mampu mengingat 5. Stimulasi menggunakan memori 5. Untuk membantu dalam proses
informasi faktual pada peristiwa yang baru terjadi mengingat
3. Tidak mampu mengingat (mis, imajinasi visual, perangkat
perilaku tertentu yang pernah mnemonik, permainan memori,
dilakukan isyarat memori, teknik asosiasi,
4. Tidak mampu mengingat membuat daftar, komputer, papan
peristiwa nama)
2
kemampuan yang dipelajari perlu layanan kesehatan kepada
sebelumnya masyarakat atau pasien yang yang
mengalami gangguan fisik untuk
Gejala dan Tanda Minor : meningkatkan kemandirian
Subjektif : individu.
1. Lupa melakukan perilaku pada
waktu yang telah dijadwalkan
2. Merasa mudah lupa
7 Gangguan Integritas Kulit/Jaringan Setelah dilakukan intervensi Intervensi : Perawatan Integritas Kulit Rasional Intervensi : Perawatan
(D.0129) keperawatan selama 3 x 24 jam Integritas Kulit
Kategori : Lingkungan maka Integritas Kulit dan Jaringan
Subkategori : Keamanan dan Meningkat dengan kriteria hasil : Observasi : Observasi
Proteksi 1. Kerusakan lapisan kulit 1. Identifikasi penyebab gangguan 1. Agar dapat mengetahui dan
Definisi : integritas kulit (mis, perubahan mencegah agar tidak G3
menurun
Kerusakan kulit (dermis dan/atau sirkulasi, perubahan status nutrisi, intergritas kulit
2. Perfusi jaringan
epidermis) atau jaringan (membran penurunan kelembaban, suhu
mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, lingkungan ekstrem, penurunan
tulang, kartilago, kapsul sendi mobilitas)
dan/atau ligamen)
Terapeutik : Terapeutik
Penyebab : 2. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah 2. Agar tidak terjadi tekanan yang
1. Perubahan sirkulasi baring lama dan meningkatkan aliran
darah
2
2. Perubahan status nutrisi 3. Gunakan produk berbahan 3. Untuk mencegah agar tidak
ringan/alami dan hipoalergik pada terjadi alergi
Gejala dan Tanda Mayor : kulit sensitf 4. Produk mengandung alkohol
Objektif : menperparah kulit kering
4. Hindari produk berbahan dasar
1. Kerusakan jaringan dan/atau alkohol pada kulit kering
lapisan kulit
Edukasi : Edukasi :
Gejala dan Tanda Minor : 5. Anjurkan menggunakan 5. Menjaga kelembapan kulit
Objektif : pelembab (mis, lotion, serum) 6. Agar tidak terjadi kerusakan kulit
1. Nyeri 6. Anjurkan minum air yang cukup
7. Anjurkan menghindari terpapar
suhu ekstrim
3
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan.
Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan
oleh gigitan anjing hutan. Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui,
namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis
terjadinya penyakit ini diantaranya : Faktor Genetik, Factor Imunologi, Factor
Hormonal, Factor Lingkungan dan Obat-obatan.
4.2 Saran
a. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan bagi rumah sakit, sehingga ke depan ada
perencanaan dan tindakan atau rancangan yang lebih baik dalam rangka
untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
b. Bagi mahasiswa
Tulisan ini dapat digunakan sebagai bahan referensi yang berkaitan dengan
asuhan keperawatan pada Systemic Lupus Erythematosus sehingga dapat
menambah pengetahuan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa di fakultas
ilmu kesehatan.
c. Bagi Institusi pendidikan
Sebagai tambahan informasi dan bahan kepustakaan dalam pemberian
asuhan keperawatan Systemic Lupus Erythematosus.
3
DAFTAR PUSTAKA
Dr Hastani. 2016. Terapi Pada Anak Dengan Nefritis Lupus. Dikutip dari
http://repository.lppm.unila.ac.id/8865/1/Fenomena%20Raynaud%20%28Rayn
aud%20Phenomenon%29%20dan%20Pekerja%20dengan%20Paparan%20Get
aran%20Mekanik.pdf (Diakses pada hari rabu, 8 mei 2019 15.00 WITA)